Professional Documents
Culture Documents
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANATOMI LENSA
Pada manusia, lensa mata bikonveks, tidak mengandung pembuluh darah
(avaskular), tembus pandang, dengan diameter 9 mm dan tebal 5 mm yang memiliki fungsi
untuk mempertahankan kejernihan, refraksi cahaya, dan memberikan akomodasi. Ke arah
depan, lensa berhubungan dengan cairan bilik mata, sedangkan ke arah belakang
berhubungan dengan badan kaca. Lensa mata digantung oleh zunula zinii (ligamentum
suspensorium lentis) yang menghubungkannya dengan korpus siliaris. Permukaan
posterior lensa lebih cembung daripada permukaan anterior. Lensa diliputi oleh kapsula
lentis yang bekerja sebagai membran yang semipermeabel, yang akan memperbolehkan air
dan elektrolit untuk masuk.3,7,8
Di sebelah depan lensa terdapat selapis epitel subkapsular. Nukleus lensa lebih keras
daripada korteksnya. Sesuai dengan pertambahan usia, serat-serat lamelar subepitel terus
diproduksi sehingga lensa lama-kelamaan menjadi lebih besar dan kurang elastik. Nukleus
dan korteks terbentuk dengan persambungan lamela ini, sehingga dari ujung ke ujung
berbentuk (Y) bila dilihat dengan slitlamp. Bentuk (Y) tegak di anterior dan terbalik di
posterior. Lensa ditahan berada di tempatnya oleh ligamen yang dikenal sebagai zonula
zinii, yang tersusun dari banyak fibril dari permukaan korpus siliaris dan menyisip ke dalam
ekuator lensa.3,7,8
Lensa terdiri atas 65% air dan 35% protein (kandungan tertinggi di antara jaringan-
jaringan tubuh yang lain), serta sedikit sekali mineral yang biasa berada di dalam jaringan
tubuh lainnya. Kandungan kalium lebih tinggi di lensa daripada kebanyakan jaringan lain.
Asam askorbat dan glutation terdapat dalam bentuk teroksidasi maupun tereduksi. Tidak
ada serabut nyeri, pembuluh darah, atau saraf di lensa.3,7,8
Gambar 2. Lensa7
B. FISIOLOGI LENSA
Fungsi utama lensa adalah memfokuskan berkas cahaya ke retina. Untuk
memfokuskan cahaya yang datang dari jauh, otot-otot siliaris akan berelaksasi,
menegangkan serat zonula zinii, dan memperkecil diameter anteroposterior lensa sampai
ukurannya yang terkecil. Dalam posisi ini daya refraksi lensa diperkecil sehingga berkas
cahaya paralel akan terfokus ke retina. Untuk memfokuskan cahaya dari benda dekat, otot
siliaris akan berkontraksi sehingga tegangan zonula berkurang. Kapsul lensa yang elastik
kemudian mempengaruhi lensa menjadi lebih sferis diiringi oleh peningkatan daya biasnya.
Kerjasama fisiologis antar zonula, korpus siliaris, dan lensa untuk memfokuskan benda
dekat ke retina dikenal sebagai akomodasi.2,7
Pada orang dewasa lensa mata lebih padat dan bagian posterior lebih konveks. Proses
sklerosis bagian sentral lensa dimulai pada masa kanak-kanak dan terus berlangsung
perlahan-perlahan sampai dewasa dan setelah ini proses bertambah cepat, di mana nukleus
menjadi besar dan korteks bertambah tipis. Pada orang tua lensa lebih besar, lebih gepeng,
warnanya kekuningan, kurang jernih, dan tampak seperti gray reflek atau senil reflek,
yang sering disangka sebagai katarak. Karena proses sklerosis ini, lensa menjadi kurang
elastis dan daya akomodasinya perlahan akan semakin berkurang. Keadaan ini disebut
presbiopia, di mana pada orang Indonesia dimulai kebanyakan pada usia 40 tahun.2,7
C. PEMERIKSAAN LENSA
Pemeriksaan yang dilakukan pada penyakit yang melibatkan lensa adalah
pemeriksaan tajam penglihatan dan melihat lensa melalui slitlamp, oftalmoskop, penlight,
dan loop. Sebaiknya pemeriksaan lensa dilakukan dengan keadaan pupil dilatasi.8
Gangguan penglihatan yang dirasakan oleh penderita katarak tidak terjadi secara
instan tetapi terjadi berangsur-angsur, sehingga penglihatan penderita terganggu secara
tetap atau penderita mengalami kebutaan. Katarak tidak menular dari satu mata ke mata
yang lain, namun dapat terjadi pada kedua mata secara bersamaan.3,8
Katarak biasanya berkembang lambat selama beberapa tahun dan pasien mungkin
meninggal sebelum diperlukan pembedahan. Apabila diperlukan pembedahan maka
pengangkatan lensa akan memperbaiki ketajaman penglihatan pada >90% kasus, sisanya
mungkin mengalami kerusakan retina atau mengalami penyulit pasca bedah serius
misalnya glaukoma, ablasio retina, atau infeksi yang menghambat pemulihan daya
pandang.3,8
V. PATOFISIOLOGI
Perubahan fisik dan kimia dalam lensa mengakibatkan hilangnya
transparansi. Perubahan dalam serabut halus multipel (zonula) yang memanjang dari
badan siliar ke sekitar daerah di luar lensa. Perubahan kimia dalam protein lensa dapat
menyebabkan koagulasi, sehingga mengakibatkan hambatan jalannya cahaya ke
retina. Salah satu teori juga menyebutkan terjadi kondisi terputusnya protein lensa normal
disertai influks air ke dalam lensa. Proses ini mematahkan serabut lensa yang tegang dan
mengganggu transmisi sinar. Teori lain mengatakan bahwa suatu enzim mempunyai peran
dalam melindungi lensa dari degenerasi. Jumlah enzim akan menurun dengan
bertambahnya usia dan tidak ada pada kebanyakan pasien yang menderita katarak.3,8
Terdapat 2 teori yang menyebabkan terjadinya katarak yaitu teori hidrasi dan
sklerosis:
1. Teori hidrasi di mana terjadi kegagalan mekanisme pompa aktif pada epitel lensa
yang berada di subkapsular anterior, sehingga air tidak dapat dikeluarkan dari
lensa. Air yang banyak ini akan menimbulkan bertambahnya tekanan osmotik
yang menyebabkan kekeruhan lensa.6
2. Teori sklerosis lebih banyak terjadi pada lensa manula di mana serabut kolagen
pada lensa terus bertambah, sehingga terjadi pemadatan serabut kolagen di
tengah lensa. Makin lama serabut tersebut semakin bertambah banyak sehingga
terjadilah sklerosis nukleus lensa.6
Perubahan yang terjadi pada lensa usia lanjut:8
1. Kapsula
a. Menebal dan kurang elastic (1/4 dibanding anak)
b. Mulai presbiopia
c. Bentuk lamel kapsul berkurang atau kabur
d. Terlihat bahan granular
2. Epitel semakin tipis
a. Sel epitel (sel germinatif pada ekuator bertambah besar dan berat)
b. Bengkak dan vakuolisasi mitokondria yang nyata
3. Serat lensa
a. Serat iregular
b. Pada korteks jelas terlihat kerusakan serat sel
c. Brown sclerotic nucleus, sinar ultraviolet lama - kelamaan merubah protein
nukleus lensa, di mana warna coklat protein lensa nucleus pada penderita
katarak mengandung lebih banyak histidin dan triptofan dibandingkan lensa
normal
d. Korteks tidak berwarna karena kadar asam askorbat tinggi dan menghalangi
foto oksidasi.
Sinar tidak banyak mengubah protein pada serat kolagen muda. Perubahan fisik dan
kimia dalam lensa mengakibatkan hilangnya transparasi. Perubahan pada serabut halus
multipel yang memanjang dari badan siliar ke sekitar daerah di luar lensa akan
menyebabkan penglihatan mengalami distorsi. Perubahan protein lensa menyebabkan
koagulasi, sehingga mengakibatkan pandangan dengan penghambatan jalannya cahaya ke
retina.8
VI. KLASIFIKASI
Tabel 1. Klasifikasi Katarak4
B. Patofisiologi
Komposisi lensa sebagian besar berupa air dan protein yaitu kristalin. Kristalin
dan adalah chaperon, yang merupakan heat shock protein. Heat shock protein berguna
untuk menjaga keadaan normal dan mempertahankan molekul protein agar tetap inaktif
sehingga lensa tetap jernih. Lensa orang dewasa tidak dapat lagi mensintesis kristalin untuk
menggantikan kristalin yang rusak, sehingga dapat menyebabkan terjadinya kekeruhan
lensa.6,8
Mekanisme terjadi kekeruhan lensa pada katarak senilis yaitu:
1. Katarak senilis kortikal
Gambar 6. Alur perkembangan katarak senilis kortikal8
Terjadi proses di mana jumlah protein total berkurang, diikuti dengan penurunan
asam amino dan kalium yang mengakibatkan kadar natrium meningkat. Hal ini
menyebabkan lensa memasuki keadaan hidrasi yang diikuti oleh koagulasi protein.5
Pada katarak senilis kortikal terjadi derajat maturasi sebagai berikut:
a. Derajat separasi lamelar
Terjadi demarkasi dari serat kortikal akibat hidrasi. Tahap ini hanya dapat diperhatikan
menggunakan slitlamp dan masih bersifat reversibel.8
b. Katarak insipien
Merupakan tahap di mana kekeruhan lensa dapat terdeteksi dengan adanya area yang
jernih diantaranya. Kekeruhan dapat dimulai dari ekuator ke arah sentral (kuneiform) atau
dapat dimulai dari sentral (kupuliform).3,5
e. Katarak hipermatur
Pada stadium ini protein-protein di bagian korteks lensa sudah mencair. Cairan keluar
dari kapsul dan menyebabkan lensa menjadi mengkerut.3,5
X. TATA LAKSANA
Terapi untuk katarak yang masih tipis dapat dibantu dengan menggunakan
kacamata, lensa pembesar, cahaya yang lebih terang, atau kacamata yang dapat
meredamkan cahaya. Operasi katarak perlu dilakukan jika kekeruhan lensa menyebabkan
penurunan tajam penglihatan, sehingga mengganggu pekerjaan sehari-hari. Operasi katarak
dapat dipertimbangkan untuk dilakukan jika katarak terjadi bersamaan dengan penyakit
mata lainnya, seperti uveitis, glaukoma, dan/atau retinopati diabetikum. Selain itu, operasi
harus dilakukan jika hasil yang didapat setelah operasi jauh lebih menguntungkan
dibandingkan dengan risiko operasi yang mungkin terjadi. Pembedahan lensa dengan
katarak dilakukan bila mengganggu kehidupan sosial atau atas indikasi medis lainnya.3
Indikasi penatalaksanaan bedah pada kasus katarak mencakup indikasi visus,
medis, dan kosmetik.8
a. Indikasi visus; merupakan indikasi paling sering. Indikasi ini berbeda pada tiap individu,
tergantung dari gangguan yang ditimbulkan oleh katarak terhadap aktivitas sehari-harinya.
b. Indikasi medis; pasien bisa saja merasa tidak terganggu dengan kekeruhan pada lensa
matanya, namun beberapa indikasi medis dilakukan operasi katarak seperti glaukoma
imbas lensa (lens-induced glaucoma), endoftalmitis fakoanafilaktik, dan kelainan pada
retina misalnya retiopati diabetik atau ablasio retina.
c. Indikasi kosmetik; kadang-kadang pasien dengan katarak matur meminta ekstraksi katarak
(meskipun kecil harapan untuk mengembalikan visus) untuk memperoleh pupil yang
hitam.
Persiapan pre-operasi katarak meliputi6
a. Pasien sebaiknya dirawat di rumah sakit semalam sebelum operasi
b. Pemberian informed consent
c. Bulu mata dipotong dan mata dibersihkan dengan larutan Povidone-Iodine 5%
d. Pemberian tetes antibiotik setiap 6 jam
e. Pemberian sedatif ringan (diazepam 5 mg) pada malam harinya bila pasien cemas
f. Pada hari operasi, pasien dipuasakan
g. Pupil dilebarkan dengan midriatikum tetes sekitar 2 jam sebelum operasi. Tetesan
diberikan setiap 15 menit
h. Obat-obat yang diperlukan dapat diberikan, misalnya obat asma, antihipertensi, atau anti
glaukoma. Akan tetapi, untuk pemberian obat antidiabetik sebaiknya tidak diberikan
pada hari operasi untuk mencegah hipoglikemia dan obat antidiabetik dapat diteruskan
sehari setelah operasi.
Pemberian tindakan anestesi pada pasien8
a. Anestesi umum
Digunakan pada orang dengan kecemasan yang tinggi, tuna rungu, atau retardasi mental,
juga diindikasikan pada pasien dengan penyakit Parkinson, dan reumatik yang tidak
mampu berbaring tanpa rasa nyeri.
b. Anestesi lokal :
i. Peribulbar block
Paling sering digunakan. Diberikan melalui kulit atau konjungtiva dengan jarum 25
mm. Efek : analgesia, akinesia, midriasis, peningkatan tekanan intra okuler, serta
hilangnya refleks oculo-cardiac (stimulasi pada nervus vagus yang diakibatkan
stimulus rasa sakit pada bola mata, yang mengakibatkan bradikardia dan bisa
menyebabkan cardiac arrest)
Komplikasi :
a) Perdarahan retrobulbar
b) Rusaknya saraf optik
c) Perforasi bola mata
d) Injeksi nervus opticus
e) Infeksi
ii. Subtenon Block
Memasukkan kanula tumpul melalui insisi pada konjungtiva dan kapsul tenon 5 mm
dari limbus dan sepanjang area subtenon. Anestesi diinjeksikan di antara ekuator bola
mata.
iii. Topical-intracameral anesthesia
Anestesi permukaan dengan obat tetes atau gel (proxymetacaine 0.5%, lidocaine 2%)
yang dapat ditambah dengan injeksi intrakamera atau infus larutan lidokain 1%,
biasanya dilakukan selama hidrodiseksi.
Berikut ini akan dideskripsikan secara umum tentang prosedur operasi pada
ekstraksi katarak yang sering digunakan yaitu :
a. Intra Capsular Cataract Extraction (ICCE)
Tindakan pembedahan dengan mengeluarkan seluruh lensa bersama kapsul. Seluruh lensa
dibekukan di dalam kapsulnya dengan cryophake dan dipindahkan dari mata melalui insisi
korneal superior yang lebar. Sekarang metode ini hanya dilakukan pada keadaan subluksasi
dan dislokasi lensa. Pada ICCE tidak akan terjadi katarak sekunder dan merupakan tindakan
pembedahan yang popular untuk waktu yang sangat lama. ICCE tidak boleh dilakukan atau
merupakan kontraindikasi pada pasien berusia kurang dari 40 tahun yang masih mempunyai
ligamen hialoidea kapsular. Penyulit yang dapat terjadi pada pembedahan ini adalah
astigmatisme, glukoma, uveitis, endoftalmitis, dan perdarahan.3,6,8
c. Phacoemulsification
Phakoemulsifikasi (phaco) adalah teknik untuk membongkar dan memindahkan kristal
lensa. Pada teknik ini hanya diperlukan irisan yang sangat kecil (sekitar 2-3 mm) di kornea.
Getaran ultrasonik akan digunakan untuk menghancurkan katarak, selanjutnya mesin
PHACO akan menyedot massa katarak yang telah hancur sampai bersih. Sebuah IOL yang
dapat dilipat dimasukkan melalui irisan tersebut. Karena insisi yang kecil maka tidak
diperlukan jahitan, akan pulih dengan sendirinya, yang memungkinkan pasien dapat
dengan cepat kembali melakukan aktivitas sehari-hari. Teknik ini bermanfaat pada katarak
kongenital, traumatik, dan kebanyakan katarak senilis.3,6,8
Gambar 15. Fakoemulsifikasi6
XI. KOMPLIKASI
Komplikasi operasi dapat berupa komplikasi preoperatif, intraoperatif, postoperatif awal,
postoperatif lanjut, dan komplikasi yang berkaitan dengan lensa intra okular.6
A. Komplikasi preoperatif
1. Ansietas; beberapa pasien dapat mengalami kecemasan (ansietas) akibat ketakutan
akan operasi. Agen anxiolytic seperti diazepam 2-5 mg dapat memperbaiki keadaan.
2. Nausea dan gastritis; akibat efek obat preoperasi seperti asetazolamid dan/atau gliserol.
Kasus ini dapat ditangani dengan pemberian antasida oral untuk mengurangi gejala.
3. Konjungtivitis iritatif atau alergi; disebabkan oleh tetes antibiotik topikal preoperatif,
ditangani dengan penundaan operasi selama dua hari.
4. Abrasi kornea; akibat cedera saat pemeriksaan tekanan bola mata dengan menggunakan
tonometer Schiotz. Penanganannya berupa pemberian salep antibiotik selama satu hari
dan diperlukan penundaan operasi selama dua hari.
B. Komplikasi intraoperatif
1. Laserasi m. rectus superior; dapat terjadi selama proses penjahitan.
2. Perdarahan hebat; dapat terjadi selama persiapan conjunctival flap atau selama insisi
ke bilik mata depan.
3. Cedera pada kornea (robekan membrane Descement), iris, dan lensa; dapat terjadi
akibat instrumen operasi yang tajam seperti keratom.
4. Cedera iris dan iridodialisis (terlepasnya iris dari akarnya)
5. Lepas atau hilangnya vitreous; merupakan komplikasi serius yang dapat terjadi akibat
ruptur kapsul posterior (accidental rupture) selama teknik ECCE.
C. Komplikasi postoperatif awal
Komplikasi yang dapat terjadi segera setelah operasi termasuk hifema, prolaps iris,
keratopati striata, uveitis anterior postoperatif, dan endoftalmitis bakterial.
D. Komplikasi postoperatif lanjut
Cystoid Macular Edema (CME), delayed chronic postoperative endophtalmitis,
Pseudophakic Bullous Keratopathy (PBK), ablasio retina, dan katarak sekunder
merupakan komplikasi yang dapat terjadi setelah beberapa waktu paska operasi.
E. Komplikasi yang berkaitan dengan IOL
Implantasi IOL dapat menyebabkan komplikasi seperti uveitis-glaucoma-hyphema
syndrome (UGH syndrome), malposisi IOL, dan sindrom lensa toksik (toxic lens
syndrome).
XIII. PROGNOSIS
Tindakan pembedahan secara definitif pada katarak senilis dapat memperbaiki
ketajaman penglihatan pada lebih dari 90% kasus. Sedangkan prognosis penglihatan untuk
pasien anak-anak yang memerlukan pembedahan tidak sebaik prognosis untuk pasien
katarak senilis. Adanya ambliopia dan kadang-kadang anomali saraf optikus atau retina
membatasi tingkat pencapaian pengelihatan pada kelompok pasien ini. Prognosis untuk
perbaikan ketajaman penglihatan setelah operasi paling buruk pada katarak kongenital
unilateral dan paling baik pada katarak kongenital bilateral inkomplit yang progresif
lambat.4
DAFTAR PUSTAKA
1. Eva PR, Whitcher JP. Vaughan & Asburys General Ophthalmology. 17th ed. USA : Mc Graw-Hill; 2007.
2. Guyton AC, Hall EH. Textbook of Medical Physiology. 11th ed. Philadelphia : W.B. Saunders Company ;
2006.
3. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2010.
4. Kanski JJ, Bowling B. Clinical Ophthalmology : A Systemic Approach. 7th ed. China: Elsevier : 2011. (e-
book)
5. Ocampo VVD. Cataract, Senile : Differential Diagnosis and Workup. 2009. Diakses dari
http://emedicine.medscape.com/article/1210914-overview, tanggal 18 Juli 2017.
6. Pascolini D, Mariotti SP. Global estimates of visual impairment:2010. BR J Ophthalmol. 2011.
7. Scanlon VC, Sanders T. Indra. In. : Komalasari R, Subekti NB, Hani A, editors. Buku Ajar Anatomi dan
Fisiologi. 3rd ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2007.
8. Vaughan DG, Asbury T, Riordan Eva P. Oftalmologi Umum. Edisi 14. Jakarta: Widya
Medika, 2000.
9. Arimbi, A.T. Faktor-faktor yang berhubungan dengan katarak degeneratif di RSUD Budhi
Asih. 2014