Professional Documents
Culture Documents
Oleh :
Ferdy Alviando
1610221037
Pembimbing :
dr. I Dewa Ketut S , Sp. An
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan berkah
dan rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus. Makalah ini disusun
untuk memenuhi salah satu tugas kepaniteraan klinik bagian ilmu anestesi dan reanimasi
Fakultas Kedokteran UPN Veteran Jakarta di RSUP Persahabatan Jakarta periode 2017.
Penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada dr. I Dewa Ketut S, Sp.An selaku
pembimbing makalah ini, dan kepada seluruh dokter yang telah membimbing selama
kepaniteraan. Tidak lupa ucapan terimakasih kepada seluruh pihak yang tidak dapat
disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun agar makalah ini
dapat bermanfaat bagi pembacanya.
Terimakasih atas perhatiannya, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
pihak yang terkait dan kepada seluruh pembaca.
Penulis
i
LEMBAR PENGESAHAN
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Seiring dengan perkembangan zaman dan perubahan pola hidup, maka tidak dapat
dipungkiri lagi obesitas telah menjadi masalah yang cukup sering ditemui dalam praktik
kesehatan. Masalah obesitas tidak hanya banyak ditemukan di negara maju, namun juga
di negara berkembang seperti Indonesia. Pada tahun 2014, World Health Organization
(WHO) mencatat bahwa terdapat lebih dari 1.9 milyar penduduk dunia yang memiliki
BMI 25kg/m2 (overweight), diantaranya terdapat lebih dari 600 juta penduduk memiliki
BMI 30kg/m2 atau mengalami obesitas. 39% penduduk dunia (38% pria dan 40%
wanita) pada tahun 2014 mengalami berat badan berlebih (overweight) dan 13% (11%
pria dan 15% wanita) mengalami obesitas.
Di Indonesia sendiri, prevalensi berat badan lebih pada tahun 2013 adalah sebesar
13.5% dan obesitas sebesar 15.4%. Prevalensi penduduk laki-laki dewasa obesitas pada
tahun 2013 sebanyak 19,7 persen, lebih tinggi dari tahun 2007 (13,9%) dan tahun 2010
(7,8%). prevalensi obesitas perempuan dewasa (>18 tahun) 32,9 persen, naik 18,1 persen
dari tahun 2007 (13,9%) dan 17,5 persen dari tahun 2010 (15,5%). Selain itu,
Departemen Kesehatan Indonesia juga melakukan pendataan status gizi berdasarkan nilai
lingkar perut dengan kriteria WHO Asia Pasifik, dimana nilai LP > 90cm pada laki-laki
dan LP > 80cm pada perempuan dinyatakan sebagai obesitas sentral. Secara nasional,
prevalensi obesitas sentral adalah 26.6 persen, lebih tinggi dari prevalensi pada tahun
2007 (18,8%). DKI Jakarta menduduki peringkat tertinggi dengan angka sebesar 39.7%.
Obesitas berkaitan erat dengan berbagai macam penyakit seperti hipertensi, diabetes
mellitus, hiperlipidemia, dan obstructive sleep apnea (OSA).3 Kondisi-kondisi seperti ini
tentu sangat berperan besar dalam menentukan tindakan medis yang akan diambil oleh
para klinisi, tidak terkecuali dalam manajemen anestesi. Seorang dokter harus mampu
membuat keputusan medis bagi pasien obesitas yang hendak menjalani operasi mulai
1
dari penilaian pra-operasi, manajemen anestesi, hingga pada saat pasien berada di ruang
pemulihan. Untuk itu, pemahaman yang menyeuruh mengenai patofisiologi obesitas dan
komplikasi yang dapat terjadi berkaitan dengan anestesi perlu dipahami oleh seorang
calon klinisi.
1.3 Tujuan
2
BAB II
STATUS PASIEN
Keluhan Utama : Pasien datang dengan keluhan utama Nyeri pada kaki sebelah kanan.
Keluhan Tambahan : Pasien mengeluhkan tidak bisa berdiri atau berjalan, hanya dapat
miring ke sebelah kiri.
Riwayat Pengobatan
Tidak ada
Riwayat Kebiasaan
Pasien tidak pernah merokok, minum alcohol, ataupun mengkonsumsi obat-obatan
terlarang dan obat penenang.
Riwayat Operasi
Tidak ada
Kepala
Bentuk : Normocephale
Rambut : Warna putih, distribusi rambut merata, rambut tidak mudah
dicabut.
4
Mata : Pelpebra tidak cekung dan tidak edema, konjungtiva tidak
anemis (-/-), sklera tidak ikterik (-/-), pupil mata iskor kanan
dan kiri, reflex cahaya positif (+/+).
Telinga : Normotia, tidak ada cairan yang keluar dari telinga.
Hidung : Bentuk normal, tidak ada deviasi septum, tidak hiperemis, dan
tidak ada secret yang keluar dari lubang hidung.
Tenggorokan : Faring tidak hiperemis, tonsil T1-T2.
Mulut : Mukosa bibir lembab, tidak pucat, tidak sianosis.
Leher
Inspeksi : Proporsi leher dalam batas normal, tidak terlihat adanya massa
atau benjolan, tidak ada hambatan dalam pergerakan.
Palpasi : Trakea terletak ditengah, tidak teraba pembesaran tiroid, KGB
tidak teraba.
Thorax
1) Paru-paru
Inspeksi : Bentuk dada normochest, pergerakan dinding dada simetris,
tidak terlihat adanya luka/ massa didaerah dada
Palpasi : Vocal fremitus sama antara dada kanan dan kiri.
Perkusi : Suara perkusi sonor pada seluruh lapang paru.
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, tidak ada ronkhi (-/-), tidak ada
wheezing (-/-).
2) Jantung
Inspeksi : Pulsasi iktus kordis tidak terlihat.
Palpasi : Tidak teraba pulsasi iktus kordis.
Perkusi : Perkusi tidak dilakukan secara maksimal (batas jantung paru
sulit dinilai)
Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni regular, tidak ada murmur dan tidak
ada gallop.
5
Abdomen
Inspeksi : Datar, dinding perut tidak tegang, tidak terlihat ada massa
menonjol.
Auskultasi : Bising usus (+) normal.
Palpasi : Perut supel, tidak teraba adanya massa, tidak teraba hati dan
lien, nyeri tekan tidak ada.
Perkusi : Timpani pada seluruh region abdomen.
Kulit
Kulit tidak kering, tidak ada lesi, tidak sianosis dan tidak ikterik. Turgor kulit baik, CRT <2
detik
Ekstremitas
Superior : Deformitas (-/-), jari tabuh (-/-), sianosis (-/-), tremor (-/-),
edema (-/-), akral dingin (-/-), kesemutan (-/-), sensorik dan
motoric baik.
Inferior : Deformitas pada regio collumna femur dextra, edema (+),
Nyeri (+) jari tabuh (-/-), sianosis (-/-), tremor (-/-),
akral dingin (-/-), kesemutan (-/-) .
Kesulitan Airway
Gigi : gigi yang hilang bagian depan dan geraham bagian atas dan
bawah atau goyang. Tidak ada pemakaian gigi palsu
Malampati : 1 (tampak pilar faring, palatum mole, dan uvula).
3-3-2 rules : Bukaan mulut (3), jarak mentum ke hyoid (3), jarak tiroid ke
hyoid (2).
Mobilisasi leher : Baik
Trauma cervical : Tidak ada
Leher pendek : Tidak ada
6
II.4 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboraturium
HITUNG JENIS
Basofil 1,1 0-1 %
Eosinofil 2,7 1-3 %
Neutrophil 50,4 52,0-76,0 %
Limfosit 36,7 20-40 %
Monosit 9,1 2-8 %
RDW-CV 15,4 11,5-14,5 %
7
Asam Urat 7,3 3,4 6 mg/dL
9
Natrium (Na) darah 127 135-145 mEq/L
Kalium (K) darah 3,50 3,50-5,00 mEq/L
Klorida (Cl) darah 100 99,0-107,0 mEq/L
10
Pemeriksaan Echocardiography
Dimensi ruang jantung : Dalam batas normal
Kontraktilitas global LV dalam batas normal
Disfungsi diastolik LV grade 1
LVEF 57 %
Gangguan Relaksasi
MR Mild
11
II.6 Tindakan
Hemiarthroplasti Bipolar
II.8 Kesimpulan
ASA 2 dengan Geriatri, Hiponatremia, AKI dan Hiperuricemia
II.10 Tatalaksana
PREMEDIKASI
1) Midazolam
Dosis : 0,05 - 0,1 mg/kgbb.
Rentang dosis : 3,5 mg 7 mg 5 mg
Sediaan : 1 mg/ml 5 ml
MAINTENANCE
1) Obat-obatan lain
Dexamethasone 10 mg.
Ondansetron 4 mg.
Tranxamine 1 gr.
12
Dycinone 500 mg.
Tramadol 100 mg.
II.11 Tindakan
1) Epidural
Epidural dipasang di lokasi setinggi L2 L3, dengan fiksasi kateter sedalam 2 cm.
2) Pemasangan 2 I.V line
II.4 Monitoring
1) Pemantauan oksigenasi selama anestesi :
Pemantauan saturasi oksigen dilakukan dengan pemasangan pulse oximetry
dan pemantauan melalui monitor.
2) Pemantauan adekuat atau tidaknya fungsi sirkulasi pasien :
Pemantauan tekanan darah dan denyut jantung.
Pemantauan EKG secara continue mulai sebelum induksi anestesi.
Pemantauan kebutuhan cairan pasien selama anestesi :
- Input : Cairan infus (RL, asering, gelofusin, darah)
PEMANTAUAN CAIRAN
Pemberian cairan :
- Kebutuhan cairan :
14
Termasuk perdarahan ringan dapat diganti dengan cairan kristaloid dengan
perbandingan 3 :1 = 300 ml
Urin output : 100 ml
Total kebutuhan cairan :
Jumlah total kebutuhan cairan selama operasi = total cairan pemeliharaan + defisit
puasa + pengganti stress operasi + pengganti pendarahan
- Asering : 500 cc
Keseimbangan Cairan
Pengelolaan mual-muntah :
Ondansetron 4 mg.
Antibiotika :
Sesuai kepentingan Orthopedi
Infus :
RL 100 cc/jam
Diet dan nutrisi :
15
Minum sedikit-sedikit dan bertahap jika tidak ada mual dan muntah.
Pemantauan TTV :
Pemantauan tiap 15 menit selama 24 jam.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Sangat sulit untuk mengukur lemak tubuh secara langsung sehingga sebagai
penggantinya dipakai body mass index (BMI) atau indeks massa tubuh (IMT) untuk
menentukan berat badan lebih dan obesitas pada orang dewasa. Pengukuran ini merupakan
langkah awal dalam menetukan derajat adipositas, dan dikatakan berkorelasi kuat dengan
jumlah massa lemak tubuh. Untuk penelitian epidemiologi digunakan IMT atau indeks
Quetelet yaitu berat badan dalam kg dibagi tinggi badan dalam meter kuadrat (m 2). Karena
IMT menggunakan tinggi badan, maka pengukurannya harus dilakukan dengan teliti.
Disamping IMT, menurut rekomendasi WHO lingkar pinggang (LP) juga harus dihitung
untuk menilai adanya obesitas sentral dan komorbid obesitas terutama pada IMT 25- 34,9
kg/m2.
16
Klasifikasi IMT yang direkomendasikan untuk digunakan adalah klasifikasi yang
diadopsi dari the National Institute of Health (NIH) dan World Health Organization (WHO),
yang tertera pada tabel di bawah ini.
17
Kategori IMT (kg/m2)
Berat badan kurang < 18.5
Kisaran normal 18.5 24.9
Berat badan lebih > 25
Pra-obes 25.0 29.9
Obes tingkat I 30.0 34.9
Obes tingkat II 35.0 39.9
Obes tingkat III > 40.0
Tabel 1. Klasifikasi Indeks Massa Tubuh menurut WHO
Karena definisi berat badan lebih dan obesitas sangat tergantung pada ras, maka
wilayah Asia Pasifik pada saat ini telah menggunakan klasifikasi dan kriteria obesitas
sendiri seperti yang terdapat didalam tabel. Hingga saat ini masih terdapat perdebatan
menentukan cut-off yang digunakan sebagai patokan batas obesitas pada populasi Asia.
Beberapa negara seperti Jepang dan Cina sudah menggunakan batasan yang lebih rendah
sebagai kriteria obesitas.
Risiko Komorbiditas
Lingkar Pinggang
Klasifikasi IMT (kg/m2)
< 90 cm (pria) 90 cm (pria)
< 80 cm (wanita) 80 cm (wanita)
Berat badan kurang < 18.5 Rendah Sedang
Kisaran normal 18.5 22.9 Sedang Meningkat
Berat badan lebih 23.0
Berisiko 23.0 24.9 Meningkat Moderat
Obes I 25.0 29.9 Moderat Berat
Obes II 30.0 Berat Sangat berat
Tabel 2. Kategori Indeks Masa Tubuh berdasarkan klasifikasi Asia-Pasifik
Selain hipertensi, obesitas (terutama obesitas sentral) juga merupakan faktor risiko
terjadinya iskemia jantung. Faktor lain seperti diabetes mellitus, hiperkolesterolemia dan
rendahnya HDL (High Density Lipoprotein) menambah beratnya risiko penyakit ini.
Gangguan pernapasan yang paling sering ditemui pada pasien obesitas adalah
Obstructive Sleep Apnea (OSA) yang ditandai oleh ciri-ciri sebagai berikut :
a) Episode apnea atau hipopnea yang sering terjadi saat tidur dan membangunkan
pasien secara mendadak. Episode ini digambarkan sebagai obstruktif apnea
selama 10 detik atau lebih yang menyebabkan penutupan total dari saluran
napas dan adanya usaha keras untuk tetap bernapas. Hipopnea diartikan sebagai
reduksi dari 50% aliran udara yang adekuat yang berujung pada penurunan 4%
saturasi oksigen arterial. Frekuensi episode apnea atau hipopnea tercatat lebih
20
dari lima kali per jam atau lebih dari 30 kali tiap malam. Hal yang penting
diperhatikan adalah sekuele dari keadaan ini yaitu hipoksia, hiperkapnia,
hipertensi sistemik atau pulmonal, dan aritmia.
b) Mengorok. Semakin hebat obstruksi, makan suara yang terdengar akan semakin
jelas. Mengorok pada pasien OSA juga diikuti periode sunyi (silence) saat tidak
ada aliran udara yang masuk dan setelahnya akan terjadi gasping atau choking
yang membangunkan pasien dari tidurnya, bernapas beberapa kali, dan
kemudian tidur kembali (siklus ini berulang sepanjang waktu tidur).
c) Gejala pada siang hari seperti sering mengantuk, konsentrasi dan memori
terganggu. Terkadang penderita mengeluhkan sakit kepala pada pagi hari akibat
retensi karbondioksida (CO2) pada malam harinya dan vasodilatasi serebral.
d) Perubahan fisiologi. Apnea berulang dapat menyebabkan hipoksemia,
hiperkapnia, vasokonstriksi pulmonal dan sistemik. Hipoksemia berulang dapat
berujung pada polisitemia yang meningkatkan risiko penyakit jantung iskemia
dan penyakit serebrovaskular. Sedangkan vasokonstriksi pulmonal
menyebabkan kegagalan ventrikel kanan (right ventricle failure).
III.2.3 Sistem Gastrointestinal
Risiko terjadinya aspirasi asam lambung diikuti oleh pneumonia aspirasi lebih
tinggi pada pasien obesitas. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain tekanan
intraabdomen yang tinggi, tingginya volume dan rendahnya pH dalam lambung, dan
tingginya risiko gastro-esofageal. Walaupun pasien obesitas memilki volume lambung yang
lebih besar daripada orang normal, namun pengosongan lambung justru lebih cepat
berlangsung pada penderita obesitas, terutama pada intake energi tinggi seperti emulsi lemak.
Oleh karena adanya risiko aspirasi asam, maka pasien obesitas dapat diberikan H2-reseptor
antagonis, antasid, dan prokinetik, juga dilakukan induksi secara cepat dengan tekanan pada
krikoid dan ekstubasi trakea ketika pasien sadar penuh.
21
III.3 Manajemen Anestesi Pada Pasien Obesitas
III.3.1 Pra-operasi
Karena pasien obesitas memiliki risiko aspirasi asam lambung yang tinggi, maka
seluruh pasien obesitas sebaiknya diberikan profilaksis berupa kombinasi H 2 blocker
(ranitidin 150 mg per oral) dan prokinetik (metoklopramid 10 mg per oral) 12 jam dan 2 jam
sebelum pembedahan. Jika pasien menderita diabetes, maka perlu diberikan regimen insulin-
dekstrosa. Pasien obesitas juga lebih memilki risiko untuk mengalami infeksi pada luka
paska-operasi, maka pemberian antibiotik sebagai profilaksis dapat dipertimbangkan.
Sebagian besar pasien obesitas tidak dapat bergerak setelah operasi dan akan
memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami thrombosis vena dalam, oleh karena itu,
heparin dosis rendah dapat diberikan sebagai profilaksis dan diteruskan setelah operasi
sampai pasien dapat bergerak.
Evaluasi pasien obesitas yang akan menjalani operasi mayor harus dilakukan untuk
mengukur cadangan kardiopulmoner. Pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain adalah
roentgen dada, EKG, dan analisis gas darah arteri. Tekanan darah harus diukur dengan
ukuran manset yang sesuai. Lokasi potensial untuk akses intravena dan intraarteri harus
dicari dan ditentukan sebagai antisipasi saat keadaan gawat. Tebalnya lapisan lemak di
jaringan dan sulitnya memposisikan pasien mungkin akan membuat regional anestesi
dengan peralatan dan teknik biasa sulit dilakukan. Untuk menilai sistem respirasi,
kemampuan pasien untuk bernapas dalam dan patensi dari jalan napas harus diperiksa.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap, foto
thoraks, gas darah, fungsi paru dan oksimetri. Pasien yang dicurigai menderita OSA
disarankan melakukan tes polysomnografi. Pasien juga harus diingatkan risiko spesifik dari
22
anestesi, kemungkinan dilakukannya intubasi dalam kesadaran penuh, pemberian ventilasi
pascaoperasi, dan bahkan trakeostomi mengingat pasien obesitas mungkin sulit untuk
diintubasi karena pergerakan sendi temporomandibular dan antlantooksipital yang terbatas,
jalan napas yang sempit, dan jarak mandibular dan bantalan lemak sternum yang pendek.
Perlu diingat pula, setiap penderita obesitas yang akan menjalani operasi harus diperiksa
gula darahnya, baik gula darah sewaktu atau dapat juga dilakukan tes toleransi glukosa.
Respon katabolik selama operasi mungkin mengindikasikan pemberian insulin pascaoperasi
untuk mengontrol konsentrasi glukosa dalam darah. Kegagalan dalam menjaga konsentrasi
ini akan berakibat tingginya risiko infeksi pada luka operasi dan infark miokard pada
periode iskemia miokard.
III.3.2 Intra-operasi
Pasien obesitas harus dianestesi di atas meja operasi di dalam kamar operasi untuk
mempermudah proses pemindahan pasien sehingga mengurangi risiko cedera baik pada
pasien maupun pada petugas kesehatan. Setelah pasien diposisikan, maka perhatian khusus
harus diberikan pada bagian-bagian tubuh yang tertekan selama operasi untuk menghindari
kerusakan saraf akibat penekanan. Kompresi vena cava inferior harus dihindari dengan cara
sedikit memiringkan meja operasi ke kiri atau meletakkan sanggahan di bawah pasien.
Monitoring tekanan arteri secara invasif dilakukan pada hampir semua operasi
kecuali operasi minor. Jika monitoring tekanan darah dilakukan secara invasif, maka harus
tersedia ukuran manset yang sesuai. Oksimetri denyut, elektrokardiograf, kapnograf, dan
pengawasan blok neuromuskular harus dilakukan.
Anestesi regional pada pasien obesitas menurunkan risiko dari kegagalan intubasi
dan aspirasi asam lambung. Untuk pembedahan dada dan abdomen, sebagian besar dokter
anestesi menggunkan teknik kombinasi epidural dan anestesi umum. Teknik ini memberikan
lebih banyak keuntungan dibandingkan jika menggunakan anestesi umum saja, karena akan
mengurangi penggunaan opioid dan anestesi inhalasi. Anestesi epidural berkelanjutan juga
memiliki keuntungan dalam meredakan nyeri dan menurunkan komplikasi pernapasan selama
masa pasca-operasi. Namun, penggunaan anestesi regional pada pasien obesitas memiliki
kesulitan sendiri, antara lain adalah sulitnya mencari patokan tulang yang biasa digunakan.
23
Jarum yang lebih panjang atau bahkan ultrasonografi mungkin dibutuhkan untuk menunjang
keberhasilan pembiusan. Perlu diketahui, pasien obesitas memerlukan dosis anestesi spinal
20-25% lebih sedikit daripada dosis normal karena vena epidural yang terdistensi dan tekanan
intra-abdomen yang meningkat menyebabkan menyempitnya ruang epidural.
Selain teknik anestesi, perhitungan dosis obat pada pasien obesitas juga harus
diperhatikan. Berat badan total (total body weight) seseorang terdiri dari berat badan tanpa
lemak (lean body weight) dan berat lemak pada tubuh orang tersebut. Secara teoritis,
cadangan lemak yang banyak akan meningkatkan volume distribusi dari obat yang larut
dalam lemak (benzodiazepin, opioid). Dosis obat-obatan seperti ini dihitung berdasarkan
berat badan total, sedangkan dosis obat-obatan yang tidak larut dalam lemak dihitung
berdasarkan berat badan tanpa lemak. Oleh karena itu, perlu diketahui jenis obat-obatan yang
larut dalam lemak dan yang larut dalam air untuk menentukan apakah dosis obat tersebut
dihitung berdasarkan berat badan total, berat badan tanpa lemak, atau bahkan berat badan
ideal. Tabel dan Tabel memperlihatkan cara penghitungan berat badan dan cara menentukan
dosis pada beberapa obat-obatan yang sering dipakai saat intra-operasi.
24
Obat Dosis Berat Badan
Thiopental Sodium LBW
Propofol LBW (bolus induksi)
TBW (pemeliharaan)
Etomidate LBW
Succinylcholine TBW
Pancuronium IBW
Rocuronium IBW
Vecuronium IBW
Cisatracurium IBW
Fentanyl LBW
Alfentanil LBW
Remifentanil LBW
Midazolam TBW (dosis bolus)
IBW (infus)
Paracetamol LBW
Neostigmine TBW
Sugammadex TBW atau IBW + 40%
Enoxaparin (profilaksis trombosis TBW 0.5mg/kgBB
vena dalam)
Tabel 4. Skala dosis berat untuk obat-obatan yang sering digunakan dalam
operasi
Oleh karena adanya risiko aspirasi dan hipoventilasi, pasien obesitas biasanya
diintubasi pada semua kasus anestesi umum kecuali pada kasus anestesi umum yang sebentar.
Namun memutuskan pemilihan intubasi dalam kesadaran penuh atau tidur dalam merupakan
pilihan sulit. Beberapa sumber menyarankan intubasi dilakukan dalam kesadaran penuh
terutama jika berat badan sesungguhnya > 175% berat badan ideal. Apabila terdapat gejala
OSA, maka sudah dapat dipastikan morfologi jalan napas bagian atas yang sedikit berbeda
yang membuat pemakaian sungkup menjadi sulit, sehingga intubasi dalam kesadaran penuh
lebih disarankan. Jika intubasi sulit dilakukan, maka digunakan bronkoskop serat optik atau
laringoskopi video. Posisi pasien saat intubasi dilakukan sangat membantu dan auskultasi
napas untuk memastikan apakah ETT sudah masuk mungkin sulit dilakukan. Ventilasi
25
terkendali mungkin membutuhkan konsentrasi oksigen inspirasi yang lebih besar untuk
mencegah hipoksia, terutama pada posisi lithotomi, Trendelenburg, atau tengkurap.
III.3.3 Paska-operasi
BAB IV
26
PEMBAHASAN
Seorang wanita Ny. N usia 79 tahun dengan Tinggi Badan 140 cm, Berat Badan 70 kg
dan Index Masa Tubuh 35,1 (Obese 2) akan menjalani pembedahan Hemiarthroplasti Bipolar.
Pasien didiagnosis Fraktur Collumna Femur Dextra. Pasien di operasi tanggal 17 Januari
2017. Selama proses pembedahan, dibagi menjadi 3 tahapan. Tahapan pertama adalah pre
operatif, intra operatif, dan post operatif.
Tahapan pertama adalah pre-operatif. Pada tahap ini, sehari sebelum operasi dilakukan
kunjungan pra anestesi. Pada kunjungan ini keluhan yang dirasakan pasien saat ini adalah
nyeri pada kakinya dan tidak dapat berjalan sendiri. Pasien mengatakan ada riwayat jatuh dari
kamar mandi saat hendak buang air kecil pada 3 bulan yang lalu. Pasien tidak demam, batuk-
pilek, mual-muntah. Kondisi ini menunjang untuk dilakukan pembiusan, karena pada kondisi
yang tidak stabil akan berpengaruh terhadap efek pasca pembiusan. Sejalan dengan keluhan
yang dirasakan pasien, pemeriksaan fisik pun tidak ada masalah berarti.Tekanan darah pasien
yaitu 120/80 mmHg. Pada pemeriksaan jantung hasil pemeriksaan ekokardiografi didapatkan
LVEF 57%, LVH (+) Konsentrik, Disfungsi Diastolik LV, gangguan relaksasi dan MR Mild.
Pemeriksaan paru dalam batas normal. Pada pemeriksaan abdomen dalam batas normal.
Pemeriksaan pada ekstremitas didapatkan adanya deformitas pada femur sebelah kanan
disertai dengan bengkak dan nyeri sedangkan pada ekstremitas bawah sebelah kiri dalam
batas normal. Keadaan fisik juga memperkuat pernyataan pasien untuk menilai pengaruh
kondisi pasien saat pembiusan. Pasien tidak memiliki riwayat hipertensi dan diabetes melitus
tipe 2. Keadaan airway pasien dalam batas normal. Pada pemeriksaan penunjang
laboraturium darah didapatkan hasil asam urat yang tinggi yaitu 7,3, pemeriksaan urin dalam
batas normal.
Sebelum operasi, direncanakan untuk maintenance oksigen, cairan, tanda vital agar
haemodinamik pasien tidak mengalami masalah saat operasi. Pasien juga dipuasakan selama
6 jam untuk mencegah terjadinya regurgitasi saat pasien dibawah pengaruh obat bius,
ditambah obat-obat anestesi memiliki efek samping mual dan muntah. Rencana teknik
anestesi yang akan dilakukan adalah anestesi spinal. Penggunaan anestesi regional pada
pasien obesitas memiliki kesulitan sendiri, antara lain adalah sulitnya mencari patokan tulang
yang biasa digunakan. Jarum yang lebih panjang atau bahkan ultrasonografi mungkin
27
dibutuhkan untuk menunjang keberhasilan pembiusan. Perlu diketahui, pasien obesitas
memerlukan dosis anestesi spinal 20-25% lebih sedikit daripada dosis normal karena vena
epidural yang terdistensi dan tekanan intra-abdomen yang meningkat menyebabkan
menyempitnya ruang epidural.Selain teknik anestesi, perhitungan dosis obat pada pasien
obesitas juga harus diperhatikan. Berat badan total (total body weight) seseorang terdiri dari
berat badan tanpa lemak (lean body weight) dan berat lemak pada tubuh orang tersebut.
Secara teoritis, cadangan lemak yang banyak akan meningkatkan volume distribusi dari obat
yang larut dalam lemak (benzodiazepin, opioid). Dosis obat-obatan seperti ini dihitung
berdasarkan berat badan total, sedangkan dosis obat-obatan yang tidak larut dalam lemak
dihitung berdasarkan berat badan tanpa lemak. Oleh karena itu, perlu diketahui jenis obat-
obatan yang larut dalam lemak dan yang larut dalam air untuk menentukan apakah dosis obat
tersebut dihitung berdasarkan berat badan total, berat badan tanpa lemak, atau bahkan berat
badan ideal.
Tahapan kedua adalah saat intra operasi. Metode anestesi yang direncanakan
sebelumnya adalah teknik spinal dengan lokasi L2-L3 dengan obat Bupivacaine dan
Fentanyl. Penggunaan anestesi regional pada pasien obesitas memiliki kesulitan sendiri,
antara lain adalah sulitnya mencari patokan tulang yang biasa digunakan. Jarum yang lebih
panjang atau bahkan ultrasonografi mungkin dibutuhkan untuk menunjang keberhasilan
pembiusan. Perlu diketahui, pasien obesitas memerlukan dosis anestesi spinal 20-25% lebih
sedikit daripada dosis normal karena vena epidural yang terdistensi dan tekanan intra-
abdomen yang meningkat menyebabkan menyempitnya ruang epidural. namun mengalami
kendala karena pasien geriatri dengan obesitas disertai pasien kurang kooperatif pada saat
pembiusan. Posisi pasien saat pembiusan memang tidak mendukung untuk dilakukan teknik
spinal karena fraktur yang dialami pasien membatasi pergerakan pasien sehingga posisi
pasien tidak bisa mencapai posisi lateral dekubitus yang optimal, pasien berteriak saat jarum
ditusukan dan pasien selalu menegangkan punggung dan menarik punggungnya saat jarum
ditusukan sehingga teknik spinal akhirnya tidak berhasil setelah percobaan selama 30 menit.
Teknik anestesi alternatif yang dipilih oleh dokter anestesi adalah teknik anestesi epidural
murni dengan obat Marcaine 2,5 % 100 mg setinggi L3-L4 dengan fiksasi 9 cm. Metode ini
dipilih karena pertimbangan anatomis, epidural letaknya lebih di luar dari spinal sehingga
penusukan jarum tidak perlu terlalu dalam seperti pada spinal. Pemasangan epidural
28
dilakukan dengan pertimbangan nyeri yang akan timbul pasca operasi, sehingga pasien akan
mudah diberikan analgetik melalui epidural untuk melokalisasi nyerinya. Analgetik pada
kasus ini menggunakan fentanyl karena fentanyl merupakan obat dengan kerja short acting.
Pada kasus ini dilakukan tindakan operasi Hemiarthroplasty Bipolar yaitu prosedur
mengganti sendi dengan sendi buatan yang akan disambungkan kembali pada tulang yang
sebelumnya deformitas atau fraktur. Pada prosedur ini tidak memakan waktu yang lama dan
perdarahannya sedikit sekitar 100 cc.
Tahapan ketiga adalah post operatif. Pada tahapan ini dilakukan beberapa hal.
Diantaranya adalah pengelolaan nyeri dengan diberikan Paracetamol 1 gram i.v dan
Ketorolac 30 mg i.v. Kemudian untuk pengelolaan mual-muntah diberikan ondansetron 3x4
mg yang sama-sama bekerja mempengaruhi CTZ. Infus RL 140 cc/jam berdasarkan
perhitungan volum maintenance. Untuk diet dan nutrisi diberikan minum sedikit-sedikit dan
bertahap jika tidak ada mual dan muntah, karena jika masih ada mual-muntah akan semakin
memperberat. Pemantauan Tanda Vital dilakukan tiap 15 menit selama 24 jam sampai pasien
stabil.
DAFTAR PUSTAKA
29
Sugondo S. Obesitas. Di dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Marcellus SK,
Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed ke-3. Jakarta: Interna Publishing ; 2009 ; Hlm:
1977.
Rider OJ, Petersen SE, Francis JM, et al. Ventricular hypertrophy and cavity
dilatationinrelationtobodymassindexinwomenwithuncomplicatedobesity.Heart2011;
97:2038.
Lopez PP, Stefan B, Schulman CI, Byers PM ; Prevalence of sleep apnea in morbidly
obese patients who presented for weight loss surgery evaluation: more evidence for routine
screening for obstructive sleep apnea before weight loss surgery ; Am Surg 2008; 74: 834-8.
Chin KJ, Perlas A ; Ultrasonography of the lumbar spine for neuraxial and lumbar
plexus blocks ; Curr Opin Anaesthesiol 2011; 24: 567-72.
30