You are on page 1of 33

LAPORAN KASUS

Pasien Obesitas Dengan Fraktur Collumna Dextra dan Penyulit


Anestesi Pada Obesitas

Oleh :
Ferdy Alviando
1610221037

Pembimbing :
dr. I Dewa Ketut S , Sp. An

Kepaniteraan Klinik Departemen Anestesi dan Reanimasi


Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan
Fakultas Kedokteran UPN Veteran Jakarta
Tahun 2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan berkah
dan rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus. Makalah ini disusun
untuk memenuhi salah satu tugas kepaniteraan klinik bagian ilmu anestesi dan reanimasi
Fakultas Kedokteran UPN Veteran Jakarta di RSUP Persahabatan Jakarta periode 2017.
Penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada dr. I Dewa Ketut S, Sp.An selaku
pembimbing makalah ini, dan kepada seluruh dokter yang telah membimbing selama
kepaniteraan. Tidak lupa ucapan terimakasih kepada seluruh pihak yang tidak dapat
disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun agar makalah ini
dapat bermanfaat bagi pembacanya.
Terimakasih atas perhatiannya, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
pihak yang terkait dan kepada seluruh pembaca.

Jakarta, Januari 2017

Penulis

i
LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Ferdy Alviando


NIM : 161.0221.037
Departemen : Instalasi Anestesi dan Reanimasi RSUP Persahabatan Jakarta
Instansi : Fakultas Kedokteran UPN Veteran Jakarta
Periode : Januari 2017 Februari 2017
Pembimbing : dr. I Dewa Ketut S, Sp.An
Judul : Fraktur Collumna Femur Dextra

Jakarta, Januari 2017

dr. I Dewa Ketut S, Sp.An

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Seiring dengan perkembangan zaman dan perubahan pola hidup, maka tidak dapat
dipungkiri lagi obesitas telah menjadi masalah yang cukup sering ditemui dalam praktik
kesehatan. Masalah obesitas tidak hanya banyak ditemukan di negara maju, namun juga
di negara berkembang seperti Indonesia. Pada tahun 2014, World Health Organization
(WHO) mencatat bahwa terdapat lebih dari 1.9 milyar penduduk dunia yang memiliki
BMI 25kg/m2 (overweight), diantaranya terdapat lebih dari 600 juta penduduk memiliki
BMI 30kg/m2 atau mengalami obesitas. 39% penduduk dunia (38% pria dan 40%
wanita) pada tahun 2014 mengalami berat badan berlebih (overweight) dan 13% (11%
pria dan 15% wanita) mengalami obesitas.

Di Indonesia sendiri, prevalensi berat badan lebih pada tahun 2013 adalah sebesar
13.5% dan obesitas sebesar 15.4%. Prevalensi penduduk laki-laki dewasa obesitas pada
tahun 2013 sebanyak 19,7 persen, lebih tinggi dari tahun 2007 (13,9%) dan tahun 2010
(7,8%). prevalensi obesitas perempuan dewasa (>18 tahun) 32,9 persen, naik 18,1 persen
dari tahun 2007 (13,9%) dan 17,5 persen dari tahun 2010 (15,5%). Selain itu,
Departemen Kesehatan Indonesia juga melakukan pendataan status gizi berdasarkan nilai
lingkar perut dengan kriteria WHO Asia Pasifik, dimana nilai LP > 90cm pada laki-laki
dan LP > 80cm pada perempuan dinyatakan sebagai obesitas sentral. Secara nasional,
prevalensi obesitas sentral adalah 26.6 persen, lebih tinggi dari prevalensi pada tahun
2007 (18,8%). DKI Jakarta menduduki peringkat tertinggi dengan angka sebesar 39.7%.

Obesitas berkaitan erat dengan berbagai macam penyakit seperti hipertensi, diabetes
mellitus, hiperlipidemia, dan obstructive sleep apnea (OSA).3 Kondisi-kondisi seperti ini
tentu sangat berperan besar dalam menentukan tindakan medis yang akan diambil oleh
para klinisi, tidak terkecuali dalam manajemen anestesi. Seorang dokter harus mampu
membuat keputusan medis bagi pasien obesitas yang hendak menjalani operasi mulai

1
dari penilaian pra-operasi, manajemen anestesi, hingga pada saat pasien berada di ruang
pemulihan. Untuk itu, pemahaman yang menyeuruh mengenai patofisiologi obesitas dan
komplikasi yang dapat terjadi berkaitan dengan anestesi perlu dipahami oleh seorang
calon klinisi.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana manajemen anestesi pada pasien obesitas ?

1.3 Tujuan

1.3.1Mengetahui perubahan-perubahan fisiologis yang terjadi pada pasien obesitas.

1.3.2 Mengetahui manajemen anestesi yang tepat untuk pasien obesitas.

2
BAB II
STATUS PASIEN

II.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. N
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir : 02 November 1938
Usia : 78 tahun
Alamat : Harapan Indah Bekasi RT.03 Bekasi
No. Rekam Medis : 228-28-51
Tanggal Masuk RS : 17 Januari 2017
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status : Menikah

II.2 Hasil Anamnesa


Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 16 Januari
2017, pukul 17.00 WIB di ruang Mawar Bawah.

Keluhan Utama : Pasien datang dengan keluhan utama Nyeri pada kaki sebelah kanan.
Keluhan Tambahan : Pasien mengeluhkan tidak bisa berdiri atau berjalan, hanya dapat
miring ke sebelah kiri.

Riwayat Penyakit Sekarang


Sejak 3 bulan lalu pasien jatuh dari kamar mandi saat hendak BAK. Setelah jatuh
pasien merasa kakinya sakit, bengkak dan terjadi deformitas pada tungkai sebelah kiri
sehingga keluarga membawa pasien ke tukang urut khusus patah tulang. Seminggu
setelahnya pasien merasa tidak ada perubahan dan merasa semakin buruk hingga tidak bisa
berjalan sama sekali. Akhirnya pasien dibawa ke Rumah Sakit dan dilakukan pemeriksaan
3
Rontgen. Dari hasil pemeriksaan Rontgen didapatkan hasil pada pemeriksaan foto panggul
terdapat fraktur pada collum femur dextra.

Riwayat Pengobatan
Tidak ada

Riwayat Kebiasaan
Pasien tidak pernah merokok, minum alcohol, ataupun mengkonsumsi obat-obatan
terlarang dan obat penenang.

Riwayat Operasi
Tidak ada

II.3 Pemeriksaan Fisik


Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Berat Badan : 70 Kg BMI : 35,1 (Obese II)
Tinggi Badan : 140 Cm
Tekanan Darah : 140/90 mmHg
Nadi : 90 x/menit
Pernafasan : 22 x/menit
Suhu : 36,8 C

Kepala
Bentuk : Normocephale
Rambut : Warna putih, distribusi rambut merata, rambut tidak mudah
dicabut.
4
Mata : Pelpebra tidak cekung dan tidak edema, konjungtiva tidak
anemis (-/-), sklera tidak ikterik (-/-), pupil mata iskor kanan
dan kiri, reflex cahaya positif (+/+).
Telinga : Normotia, tidak ada cairan yang keluar dari telinga.
Hidung : Bentuk normal, tidak ada deviasi septum, tidak hiperemis, dan
tidak ada secret yang keluar dari lubang hidung.
Tenggorokan : Faring tidak hiperemis, tonsil T1-T2.
Mulut : Mukosa bibir lembab, tidak pucat, tidak sianosis.

Leher
Inspeksi : Proporsi leher dalam batas normal, tidak terlihat adanya massa
atau benjolan, tidak ada hambatan dalam pergerakan.
Palpasi : Trakea terletak ditengah, tidak teraba pembesaran tiroid, KGB
tidak teraba.

Thorax
1) Paru-paru
Inspeksi : Bentuk dada normochest, pergerakan dinding dada simetris,
tidak terlihat adanya luka/ massa didaerah dada
Palpasi : Vocal fremitus sama antara dada kanan dan kiri.
Perkusi : Suara perkusi sonor pada seluruh lapang paru.
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, tidak ada ronkhi (-/-), tidak ada
wheezing (-/-).
2) Jantung
Inspeksi : Pulsasi iktus kordis tidak terlihat.
Palpasi : Tidak teraba pulsasi iktus kordis.
Perkusi : Perkusi tidak dilakukan secara maksimal (batas jantung paru
sulit dinilai)
Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni regular, tidak ada murmur dan tidak
ada gallop.

5
Abdomen
Inspeksi : Datar, dinding perut tidak tegang, tidak terlihat ada massa
menonjol.
Auskultasi : Bising usus (+) normal.
Palpasi : Perut supel, tidak teraba adanya massa, tidak teraba hati dan
lien, nyeri tekan tidak ada.
Perkusi : Timpani pada seluruh region abdomen.

Kulit
Kulit tidak kering, tidak ada lesi, tidak sianosis dan tidak ikterik. Turgor kulit baik, CRT <2
detik

Ekstremitas
Superior : Deformitas (-/-), jari tabuh (-/-), sianosis (-/-), tremor (-/-),
edema (-/-), akral dingin (-/-), kesemutan (-/-), sensorik dan
motoric baik.
Inferior : Deformitas pada regio collumna femur dextra, edema (+),
Nyeri (+) jari tabuh (-/-), sianosis (-/-), tremor (-/-),
akral dingin (-/-), kesemutan (-/-) .

Kesulitan Airway
Gigi : gigi yang hilang bagian depan dan geraham bagian atas dan
bawah atau goyang. Tidak ada pemakaian gigi palsu
Malampati : 1 (tampak pilar faring, palatum mole, dan uvula).
3-3-2 rules : Bukaan mulut (3), jarak mentum ke hyoid (3), jarak tiroid ke
hyoid (2).
Mobilisasi leher : Baik
Trauma cervical : Tidak ada
Leher pendek : Tidak ada

6
II.4 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboraturium

Hasil Pemeriksaan Hematologi (16-01-2017)


Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
DARAH PERIFER
LENGKAP
Hb 11,4 12,0-14,0 g/dL
Ht 38,5 37,0-43,0 %
Eritrosit 4,98 4,00-5,00 juta/uL
Leukosit 9.500 5000-10000 /uL
Trombosit 232.000 150.000-400.000 /uL
MCV 80,1 82-92 fL
MCH 27,3 27-31 g/dL
MCHC 33 32-36 g/dL

HITUNG JENIS
Basofil 1,1 0-1 %
Eosinofil 2,7 1-3 %
Neutrophil 50,4 52,0-76,0 %
Limfosit 36,7 20-40 %
Monosit 9,1 2-8 %
RDW-CV 15,4 11,5-14,5 %

7
Asam Urat 7,3 3,4 6 mg/dL

Hasil Pemeriksaan Hemostasis (16-01-2017)


Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
PT + INR
PT pasien 10,3 9,8-11,2 detik
PT control 11,5
INR 0,85
APTT
APTT pasien 31,72 31,0-47,0 detik
APTT control 32,5

Hasil Pemeriksaan Urinalis (16-01-2017)


Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Warna Kuning muda Kuning
Kejernihan Jernih Jernih
8
Leukosit 3-5 0-5 /LPB
Eritrosit 0-1 0-2 /LBP
Silinder Negative
Sel epitel 1+
Kristal Negative Negative
Bakteria Negative
Berat jenis 1.053 1.005-1.030
pH 5,5 4,5-8,0
Albumin Negatif Negative
Glukosa Negatif Negative
Keton Negative Negative
Darah/ Hb Negatif Negative
Bilirubin Negatif Negative
Urobilinogen 34 34-170 umol/L
Nitrit Negatif Negative
Leukosit ekstrase Negative Negative

Hasil Pemeriksaan Kimia Klinik (16-01-2017)


Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
SGOT (AST) 16 5-34 U/L
SGPT (ALT) 13 0-55 U/L
Albumin 3,80 3,5-5,2 g/dL
Ureum darah 41 21-43 mg/dL
Kreatinin darah 1,9 0,6-1,2 mg/dL
Glukosa sewaktu 120 70-200 mg/dL

Hasil Pemeriksaan Elektrolit (16-01-2017)


Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

9
Natrium (Na) darah 127 135-145 mEq/L
Kalium (K) darah 3,50 3,50-5,00 mEq/L
Klorida (Cl) darah 100 99,0-107,0 mEq/L

Pemeriksaan Rontgen Thorax

Sinus Costophrenikus dan diafragma baik.


Cor membesar
CTR 64%, aorta dilatasi dan elongasi
Trakea ditengah
Paru baik.

Pemeriksaan Rontgen Panggul

10
Pemeriksaan Echocardiography
Dimensi ruang jantung : Dalam batas normal
Kontraktilitas global LV dalam batas normal
Disfungsi diastolik LV grade 1
LVEF 57 %
Gangguan Relaksasi
MR Mild

II.5 Diagnosis Klinis


Fraktur Tertutup Collum Femur Dextra

11
II.6 Tindakan
Hemiarthroplasti Bipolar

II.7 Hasil Konsul


Penyakit Dalam : Toleransi operasi risiko ringan-sedang.
Jantung : Toleransi operasi risiko ringan-sedang.
Paru : Toleransi operasi risiko ringan-sedang.
Anestesi : Puasa 6 jam sebelum operasi dilaksanakan.

II.8 Kesimpulan
ASA 2 dengan Geriatri, Hiponatremia, AKI dan Hiperuricemia

II.9 Rencana Anestesi


Anestesi Teknik Spinal Setinggi L2-L3 namun karena gagal dilakukan anestesi teknik
epidural

II.10 Tatalaksana
PREMEDIKASI
1) Midazolam
Dosis : 0,05 - 0,1 mg/kgbb.
Rentang dosis : 3,5 mg 7 mg 5 mg
Sediaan : 1 mg/ml 5 ml
MAINTENANCE
1) Obat-obatan lain
Dexamethasone 10 mg.
Ondansetron 4 mg.
Tranxamine 1 gr.

12
Dycinone 500 mg.
Tramadol 100 mg.

II.11 Tindakan
1) Epidural
Epidural dipasang di lokasi setinggi L2 L3, dengan fiksasi kateter sedalam 2 cm.
2) Pemasangan 2 I.V line

II.4 Monitoring
1) Pemantauan oksigenasi selama anestesi :
Pemantauan saturasi oksigen dilakukan dengan pemasangan pulse oximetry
dan pemantauan melalui monitor.
2) Pemantauan adekuat atau tidaknya fungsi sirkulasi pasien :
Pemantauan tekanan darah dan denyut jantung.
Pemantauan EKG secara continue mulai sebelum induksi anestesi.
Pemantauan kebutuhan cairan pasien selama anestesi :
- Input : Cairan infus (RL, asering, gelofusin, darah)

- Output: Perdarahan dan urin.

PEMANTAUAN TANDA VITAL

Hasil Pemantauan Tanda Vital Pasien Selama Operasi


Nadi Keterangan
Jam TD (mmHg) RR (x/menit) SpO2 (%)
(x/menit)
09.15 180/70 70 18 100
09.30 170/80 75 14 100
09.45 160/100 75 14 100
10.00 150/80 76 14 100
10.15 160/70 56 14 100 Dexamethason
10.30 120/80 73 14 100 e 10 mg,
10.45 110/70 70 14 100 Ranitidine 50
13
11.00 110/80 70 14 100 mg,
11.15 110/80 70 14 100 Ondansentrone
11.30 120/80 76 14 100 4 mg,
11.45 110/60 75 15 100 Transamin 1
12.00 120/80 76 14 100 mg, Dicikon
500 mg,
Tramadol 100
mg, Ephedrine
10 mg

PEMANTAUAN CAIRAN
Pemberian cairan :
- Kebutuhan cairan :

Maintenance : 2 ml/ kgbb 2 ml x 70 = 140 ml.


Pengganti puasa : lama puasa x maintenance 6 jam x 140 ml = 840
ml.
Stress operasi : skala sedang x BB 6 x 70 kg = 420 ml / jam operasi
selama 1 jam 40 menit = 600 ml
Perdarahan : 100 ml
EBV 65 x 70 kg = 4550 ml
Total Perdarahan = Perdarahan selama operasi/EBV x 100 %
100 / 4550 x 100% = 2,1 %

14
Termasuk perdarahan ringan dapat diganti dengan cairan kristaloid dengan
perbandingan 3 :1 = 300 ml
Urin output : 100 ml
Total kebutuhan cairan :
Jumlah total kebutuhan cairan selama operasi = total cairan pemeliharaan + defisit
puasa + pengganti stress operasi + pengganti pendarahan

(140 + 840 + 600 + 300) ml


1980 ml
Jumlah pemberian cairan :
Total pemberian cairan adalah 2.000 cc, dengan rincian :
- Ringer laktat : 1500 cc

- Asering : 500 cc

Keseimbangan Cairan

Jumlah cairan yang diberikan selama operasi adalah sebanyak 2000 ml


Maka Balance cairan = Input Output
2000 ml 1980 ml
20 ml Keseimbangan Positif

II.5 Pasca Operasi


Pengelolaan nyeri :
Paracetamol 1 gram i.v dan Ketorolac 30 mg i.v

Pengelolaan mual-muntah :
Ondansetron 4 mg.
Antibiotika :
Sesuai kepentingan Orthopedi
Infus :
RL 100 cc/jam
Diet dan nutrisi :
15
Minum sedikit-sedikit dan bertahap jika tidak ada mual dan muntah.
Pemantauan TTV :
Pemantauan tiap 15 menit selama 24 jam.

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

III.1 Definisi dan Klasifikasi Obesitas

Obesitas merupakan suatu kelainan komplek pengaturan nafsu makan dan


metabolisme energi yang dikendalikan oleh beberapa faktor biologik spesifik. Faktor genetik
diketahui sangat berpengaruh bagi perkembangan penyakit ini. Secara fisiologis obesitas
didefinisikan sebagai akumulasi lemak yang tidak normal atau berlebihan dijaringan adiposa
sehingga dapat mengganggu kesehatan.

Keadaan obesitas ini, terutama obesitas sentral, meningkatkan risiko penyakit


kardiovaskular karena keterkaitannya dengan sindrom metabolik atau sindrom resistensi
insulin yang terdiri dari resistensi insulin / hiperinsulinemia, hiperuresemia, gangguan
fibrinolisis, hiperfibrinogenemia dan hipertensi.

Sangat sulit untuk mengukur lemak tubuh secara langsung sehingga sebagai
penggantinya dipakai body mass index (BMI) atau indeks massa tubuh (IMT) untuk
menentukan berat badan lebih dan obesitas pada orang dewasa. Pengukuran ini merupakan
langkah awal dalam menetukan derajat adipositas, dan dikatakan berkorelasi kuat dengan
jumlah massa lemak tubuh. Untuk penelitian epidemiologi digunakan IMT atau indeks
Quetelet yaitu berat badan dalam kg dibagi tinggi badan dalam meter kuadrat (m 2). Karena
IMT menggunakan tinggi badan, maka pengukurannya harus dilakukan dengan teliti.
Disamping IMT, menurut rekomendasi WHO lingkar pinggang (LP) juga harus dihitung
untuk menilai adanya obesitas sentral dan komorbid obesitas terutama pada IMT 25- 34,9
kg/m2.

16
Klasifikasi IMT yang direkomendasikan untuk digunakan adalah klasifikasi yang
diadopsi dari the National Institute of Health (NIH) dan World Health Organization (WHO),
yang tertera pada tabel di bawah ini.

17
Kategori IMT (kg/m2)
Berat badan kurang < 18.5
Kisaran normal 18.5 24.9
Berat badan lebih > 25
Pra-obes 25.0 29.9
Obes tingkat I 30.0 34.9
Obes tingkat II 35.0 39.9
Obes tingkat III > 40.0
Tabel 1. Klasifikasi Indeks Massa Tubuh menurut WHO

Karena definisi berat badan lebih dan obesitas sangat tergantung pada ras, maka
wilayah Asia Pasifik pada saat ini telah menggunakan klasifikasi dan kriteria obesitas
sendiri seperti yang terdapat didalam tabel. Hingga saat ini masih terdapat perdebatan
menentukan cut-off yang digunakan sebagai patokan batas obesitas pada populasi Asia.
Beberapa negara seperti Jepang dan Cina sudah menggunakan batasan yang lebih rendah
sebagai kriteria obesitas.

Risiko Komorbiditas
Lingkar Pinggang
Klasifikasi IMT (kg/m2)
< 90 cm (pria) 90 cm (pria)
< 80 cm (wanita) 80 cm (wanita)
Berat badan kurang < 18.5 Rendah Sedang
Kisaran normal 18.5 22.9 Sedang Meningkat
Berat badan lebih 23.0
Berisiko 23.0 24.9 Meningkat Moderat
Obes I 25.0 29.9 Moderat Berat
Obes II 30.0 Berat Sangat berat
Tabel 2. Kategori Indeks Masa Tubuh berdasarkan klasifikasi Asia-Pasifik

III.2 Perubahan Fisiologi yang Terjadi Pada Pasien Obesitas

III.2.1 Sistem Kardiovaskular

Obesitas berhubungan dengan bertambahnya volume darah dan cardiac output


sebesar 20 - 30 ml untuk setiap kilogram lemak yang berlebih. Peningkatan cardiac output ini
18
disebabkan oleh dilatasi ventrikel dan bertambahnya volume sekuncup. Dilatasi ventrikel
mengakibatkan bertambahnya stress pada dinding ventrikel kiri yang menyebabkan hipertrofi
ventrikel. Hipertrofi dari ventrikel kiri ini akan menurunkan compliance dan fungsi diastolik
ventrikel kiri. Pada keadaan ini akan terjadi gangguan pengisian ventrikel, elevasi dari
LVEDP (left ventricular end diastolic pressure) dan edem paru. Kapasitas dilatasi untuk
ventrikel juga memiliki batasan, sehingga jika penebalan dinding ventrikel kiri tidak dapat
mengiringi dilatasi maka fungsi sistolik akan terganggu dan terjadilah kardiomiopati obesitas.

Pasien obesitas cenderung memiliki berbagai macam penyakit sistem


kardiovaskular seperti iskemia, hipertensi, hingga gagal jantung. Hipertensi ringan sampai
sedang terjadi pada 50-60% pasien obesitas dan hipertensi berat pada 5-10% pasien. Diduga
hipertensi pada pasien obesitas terjadi karena pengaruh faktor genetik, hormonal, renal, dan
hemodinamik. Terdapat peningkatan tekanan sistolik sebesar 3-4 mmHg dan diastolik 2
mmHg untuk setiap kenaikan berat badan 10 kg. Adanya cairan pada ekstraseluler akan
berakibat terjadinya hipervolemia dan peningkatan cardiac output. Hiperinsulinemia sebagai
karakteristik pada obesitas juga memberikan kontribusi dengan mengaktifkan sistem saraf
simpatik yang menyebabkan retensi sodium. Selain itu, resistensi insulin juga bertanggung
jawab terhadap aktivitas norepinefrin dan angiotensin II.

Selain hipertensi, obesitas (terutama obesitas sentral) juga merupakan faktor risiko
terjadinya iskemia jantung. Faktor lain seperti diabetes mellitus, hiperkolesterolemia dan
rendahnya HDL (High Density Lipoprotein) menambah beratnya risiko penyakit ini.

Pasien obestias juga cenderung mengalami aritmia jantung. Terdapat beberapa


faktor presipitasi yang menyebabkan hal ini diantaranya hipoksia, hiperkapnia,
ketidakseimbangan elektrolit akibat terapi dengan diuretik, penyakit jantung koroner,
bertambahnya konsentrasi katekolamin dalam sirkulasi, obstructive sleep apnea, hipertrofi
miokard, dan penumpukan lemak dalam sistem konduksi.

III.2.2 Sistem Respirasi

Kenaikan berat badan sebanding dengan meningkatnya kesulitan bernapas. Pada


kasus berat, penurunan kemampuan bernapas dapat mencapai tiga puluh persen. Kombinasi
19
dari tekanan intraabdomen, reduksi dari compliance, dan meningkatnya kebutuhan metabolik
dengan gerakan otot dada, menghasilkan gerak inefisien dari otot dada tersebut, sehingga
pada orang tersebut terjadi usaha bernapas lebih berat. Walaupun terdapat akumulasi jaringan
lemak di dalam dan sekitar dinding dada yang berakibat tertahannya gerak dinding dada
(restriksi), namun beberapa penelitian mengemukakan bahwa hal ini disebabkan oleh
peningkatan volume darah paru. Tertahannya gerak dinding dada juga berhubungan dengan
penurunan FRC, terhimpitnya saluran napas, dan kegagalan pertukaran gas. Perubahan
compliance dan resistensi thorax terlihat dengan adanya napas cepat dan dangkal, frekuensi
yang meningkat dan berkurangnya kapasitas paru. Selain hal-hal di atas, ambilan oksigen dan
pelepasan karbondioksida pada penderita obesitas juga meningkat sebagai hasil dari aktivitas
metabolik karena jumlah lemak yang berlebih dan bertambahnya simpanan pada jaringan.
Aktivitas metabolik basal (Basal Metabolic Activity atau BMA) berhubungan dengan luasnya
permukaan tubuh.

Penurunan kapasitas residu fungsional (Functional Residual Capacity atau FRC),


volume ekspirasi cadangan (Expiratory Reserve Volume atau ERV) dan kapasitas total dari
paru-paru merupakan masalah yang dihadapi penderita obesitas seiring dengan peningkatan
berat badan. Kapasitas residu fungsional menurun akibat penyempitan saluran napas,
ketidakseimbangan perfusi dan ventilasi, shunt dari kanan ke kiri, dan hipoksemia arteri.
Pemberian anestesi dikatakan menurunkan FRC sebesar 50% pada penderita obesitas,
sedangkan pada orang normal terjadi penurunan FRC sebesar 20%. Karena kurangnya FRC,
pada penderita obesitas terjadi kegagalan toleransi ketika terjadi apnea, disamping itu juga
terjadi desaturasi oksigen segera setelah induksi anestesi.

Gangguan pernapasan yang paling sering ditemui pada pasien obesitas adalah
Obstructive Sleep Apnea (OSA) yang ditandai oleh ciri-ciri sebagai berikut :

a) Episode apnea atau hipopnea yang sering terjadi saat tidur dan membangunkan
pasien secara mendadak. Episode ini digambarkan sebagai obstruktif apnea
selama 10 detik atau lebih yang menyebabkan penutupan total dari saluran
napas dan adanya usaha keras untuk tetap bernapas. Hipopnea diartikan sebagai
reduksi dari 50% aliran udara yang adekuat yang berujung pada penurunan 4%
saturasi oksigen arterial. Frekuensi episode apnea atau hipopnea tercatat lebih
20
dari lima kali per jam atau lebih dari 30 kali tiap malam. Hal yang penting
diperhatikan adalah sekuele dari keadaan ini yaitu hipoksia, hiperkapnia,
hipertensi sistemik atau pulmonal, dan aritmia.
b) Mengorok. Semakin hebat obstruksi, makan suara yang terdengar akan semakin
jelas. Mengorok pada pasien OSA juga diikuti periode sunyi (silence) saat tidak
ada aliran udara yang masuk dan setelahnya akan terjadi gasping atau choking
yang membangunkan pasien dari tidurnya, bernapas beberapa kali, dan
kemudian tidur kembali (siklus ini berulang sepanjang waktu tidur).
c) Gejala pada siang hari seperti sering mengantuk, konsentrasi dan memori
terganggu. Terkadang penderita mengeluhkan sakit kepala pada pagi hari akibat
retensi karbondioksida (CO2) pada malam harinya dan vasodilatasi serebral.
d) Perubahan fisiologi. Apnea berulang dapat menyebabkan hipoksemia,
hiperkapnia, vasokonstriksi pulmonal dan sistemik. Hipoksemia berulang dapat
berujung pada polisitemia yang meningkatkan risiko penyakit jantung iskemia
dan penyakit serebrovaskular. Sedangkan vasokonstriksi pulmonal
menyebabkan kegagalan ventrikel kanan (right ventricle failure).
III.2.3 Sistem Gastrointestinal

Risiko terjadinya aspirasi asam lambung diikuti oleh pneumonia aspirasi lebih
tinggi pada pasien obesitas. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain tekanan
intraabdomen yang tinggi, tingginya volume dan rendahnya pH dalam lambung, dan
tingginya risiko gastro-esofageal. Walaupun pasien obesitas memilki volume lambung yang
lebih besar daripada orang normal, namun pengosongan lambung justru lebih cepat
berlangsung pada penderita obesitas, terutama pada intake energi tinggi seperti emulsi lemak.
Oleh karena adanya risiko aspirasi asam, maka pasien obesitas dapat diberikan H2-reseptor
antagonis, antasid, dan prokinetik, juga dilakukan induksi secara cepat dengan tekanan pada
krikoid dan ekstubasi trakea ketika pasien sadar penuh.

21
III.3 Manajemen Anestesi Pada Pasien Obesitas

III.3.1 Pra-operasi

Obat-obatan premedikasi yang diberikan pada pasien obesitas harus


dipertimbangkan dengan baik. Opioid dan obat sedatif dapat menyebabkan depresi napas
pada pasien obesitas, maka obat-obatan jenis ini sebaiknya dihindari. Obat-obatan yang
dimasukan dengan cara injeksi intra-muskular dan sub-kutan juga sebaiknya tidak digunakan
karena absorbsinya yang tidak dapat diprediksi. Jika akan dilakukan intubasi sadar dengan
serat optik, maka pasien harus diberikan antisialogogue.

Karena pasien obesitas memiliki risiko aspirasi asam lambung yang tinggi, maka
seluruh pasien obesitas sebaiknya diberikan profilaksis berupa kombinasi H 2 blocker
(ranitidin 150 mg per oral) dan prokinetik (metoklopramid 10 mg per oral) 12 jam dan 2 jam
sebelum pembedahan. Jika pasien menderita diabetes, maka perlu diberikan regimen insulin-
dekstrosa. Pasien obesitas juga lebih memilki risiko untuk mengalami infeksi pada luka
paska-operasi, maka pemberian antibiotik sebagai profilaksis dapat dipertimbangkan.

Sebagian besar pasien obesitas tidak dapat bergerak setelah operasi dan akan
memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami thrombosis vena dalam, oleh karena itu,
heparin dosis rendah dapat diberikan sebagai profilaksis dan diteruskan setelah operasi
sampai pasien dapat bergerak.

Evaluasi pasien obesitas yang akan menjalani operasi mayor harus dilakukan untuk
mengukur cadangan kardiopulmoner. Pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain adalah
roentgen dada, EKG, dan analisis gas darah arteri. Tekanan darah harus diukur dengan
ukuran manset yang sesuai. Lokasi potensial untuk akses intravena dan intraarteri harus
dicari dan ditentukan sebagai antisipasi saat keadaan gawat. Tebalnya lapisan lemak di
jaringan dan sulitnya memposisikan pasien mungkin akan membuat regional anestesi
dengan peralatan dan teknik biasa sulit dilakukan. Untuk menilai sistem respirasi,
kemampuan pasien untuk bernapas dalam dan patensi dari jalan napas harus diperiksa.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap, foto
thoraks, gas darah, fungsi paru dan oksimetri. Pasien yang dicurigai menderita OSA
disarankan melakukan tes polysomnografi. Pasien juga harus diingatkan risiko spesifik dari
22
anestesi, kemungkinan dilakukannya intubasi dalam kesadaran penuh, pemberian ventilasi
pascaoperasi, dan bahkan trakeostomi mengingat pasien obesitas mungkin sulit untuk
diintubasi karena pergerakan sendi temporomandibular dan antlantooksipital yang terbatas,
jalan napas yang sempit, dan jarak mandibular dan bantalan lemak sternum yang pendek.
Perlu diingat pula, setiap penderita obesitas yang akan menjalani operasi harus diperiksa
gula darahnya, baik gula darah sewaktu atau dapat juga dilakukan tes toleransi glukosa.
Respon katabolik selama operasi mungkin mengindikasikan pemberian insulin pascaoperasi
untuk mengontrol konsentrasi glukosa dalam darah. Kegagalan dalam menjaga konsentrasi
ini akan berakibat tingginya risiko infeksi pada luka operasi dan infark miokard pada
periode iskemia miokard.

III.3.2 Intra-operasi

Pasien obesitas harus dianestesi di atas meja operasi di dalam kamar operasi untuk
mempermudah proses pemindahan pasien sehingga mengurangi risiko cedera baik pada
pasien maupun pada petugas kesehatan. Setelah pasien diposisikan, maka perhatian khusus
harus diberikan pada bagian-bagian tubuh yang tertekan selama operasi untuk menghindari
kerusakan saraf akibat penekanan. Kompresi vena cava inferior harus dihindari dengan cara
sedikit memiringkan meja operasi ke kiri atau meletakkan sanggahan di bawah pasien.

Monitoring tekanan arteri secara invasif dilakukan pada hampir semua operasi
kecuali operasi minor. Jika monitoring tekanan darah dilakukan secara invasif, maka harus
tersedia ukuran manset yang sesuai. Oksimetri denyut, elektrokardiograf, kapnograf, dan
pengawasan blok neuromuskular harus dilakukan.

Anestesi regional pada pasien obesitas menurunkan risiko dari kegagalan intubasi
dan aspirasi asam lambung. Untuk pembedahan dada dan abdomen, sebagian besar dokter
anestesi menggunkan teknik kombinasi epidural dan anestesi umum. Teknik ini memberikan
lebih banyak keuntungan dibandingkan jika menggunakan anestesi umum saja, karena akan
mengurangi penggunaan opioid dan anestesi inhalasi. Anestesi epidural berkelanjutan juga
memiliki keuntungan dalam meredakan nyeri dan menurunkan komplikasi pernapasan selama
masa pasca-operasi. Namun, penggunaan anestesi regional pada pasien obesitas memiliki
kesulitan sendiri, antara lain adalah sulitnya mencari patokan tulang yang biasa digunakan.

23
Jarum yang lebih panjang atau bahkan ultrasonografi mungkin dibutuhkan untuk menunjang
keberhasilan pembiusan. Perlu diketahui, pasien obesitas memerlukan dosis anestesi spinal
20-25% lebih sedikit daripada dosis normal karena vena epidural yang terdistensi dan tekanan
intra-abdomen yang meningkat menyebabkan menyempitnya ruang epidural.

Selain teknik anestesi, perhitungan dosis obat pada pasien obesitas juga harus
diperhatikan. Berat badan total (total body weight) seseorang terdiri dari berat badan tanpa
lemak (lean body weight) dan berat lemak pada tubuh orang tersebut. Secara teoritis,
cadangan lemak yang banyak akan meningkatkan volume distribusi dari obat yang larut
dalam lemak (benzodiazepin, opioid). Dosis obat-obatan seperti ini dihitung berdasarkan
berat badan total, sedangkan dosis obat-obatan yang tidak larut dalam lemak dihitung
berdasarkan berat badan tanpa lemak. Oleh karena itu, perlu diketahui jenis obat-obatan yang
larut dalam lemak dan yang larut dalam air untuk menentukan apakah dosis obat tersebut
dihitung berdasarkan berat badan total, berat badan tanpa lemak, atau bahkan berat badan
ideal. Tabel dan Tabel memperlihatkan cara penghitungan berat badan dan cara menentukan
dosis pada beberapa obat-obatan yang sering dipakai saat intra-operasi.

Jenis Berat Badan Cara Penghitungan (berat badan dalam kg)


Berat Badan Ideal 45.4 + 0.89 x (tinggi dalam cm - 152.4) untuk wanita
49.9 + 0.89 x (tinggi dalam cm - 152.4) untuk pria
(IBW)

Berat Badan (1.07 x TBW) - (0.0148 x BMI x TBW) untuk wanita


(1.10 x TBW) - (0.0128 x BMI x TBW) untuk pria
Tanpa Lemak
ATAU
(LBW) (9,720 x TBW)/(8,780 + (244 x BMI)) untuk wanita
(9,270 x TBW)/(6,680 + (216 x BMI)) untuk pria
Tabel 3. Rumus perhitungan berat badan

24
Obat Dosis Berat Badan
Thiopental Sodium LBW
Propofol LBW (bolus induksi)
TBW (pemeliharaan)
Etomidate LBW
Succinylcholine TBW
Pancuronium IBW
Rocuronium IBW
Vecuronium IBW
Cisatracurium IBW
Fentanyl LBW
Alfentanil LBW
Remifentanil LBW
Midazolam TBW (dosis bolus)
IBW (infus)
Paracetamol LBW
Neostigmine TBW
Sugammadex TBW atau IBW + 40%
Enoxaparin (profilaksis trombosis TBW 0.5mg/kgBB
vena dalam)
Tabel 4. Skala dosis berat untuk obat-obatan yang sering digunakan dalam
operasi

Oleh karena adanya risiko aspirasi dan hipoventilasi, pasien obesitas biasanya
diintubasi pada semua kasus anestesi umum kecuali pada kasus anestesi umum yang sebentar.
Namun memutuskan pemilihan intubasi dalam kesadaran penuh atau tidur dalam merupakan
pilihan sulit. Beberapa sumber menyarankan intubasi dilakukan dalam kesadaran penuh
terutama jika berat badan sesungguhnya > 175% berat badan ideal. Apabila terdapat gejala
OSA, maka sudah dapat dipastikan morfologi jalan napas bagian atas yang sedikit berbeda
yang membuat pemakaian sungkup menjadi sulit, sehingga intubasi dalam kesadaran penuh
lebih disarankan. Jika intubasi sulit dilakukan, maka digunakan bronkoskop serat optik atau
laringoskopi video. Posisi pasien saat intubasi dilakukan sangat membantu dan auskultasi
napas untuk memastikan apakah ETT sudah masuk mungkin sulit dilakukan. Ventilasi

25
terkendali mungkin membutuhkan konsentrasi oksigen inspirasi yang lebih besar untuk
mencegah hipoksia, terutama pada posisi lithotomi, Trendelenburg, atau tengkurap.

III.3.3 Paska-operasi

Kegagalan napas merupakan masalah pasca-operasi terbesar pada pasien obesitas.


Risiko hipoksi pasca-operasi meningkat pada pasien dengan hipoksi pra-operasi yang diikuti
dengan pembedahan rongga dada atau abdomen bagian atas. Ekstubasi harus ditunggu hingga
kerja dari pelumpuh otot telah dibalikkan dan pasien sadar. Pasien obesitas harus tetap
diintubasi hingga jalur napas yang adekuat dan volume tidal dapat dipertahankan secara pasti.
Jika pasien diekstubasi di dalam kamar operasi, suplementasi oksigen harus diberikan selama
pasien dipindahkan ke PACU. Posisi duduk 45o dapat memperbaiki ventilasi dan oksigenasi.
Risiko hipoksia pada pasien obesitas tetap ada hingga beberapa hari pasca-operasi, oleh
karena itu suplementasi oksigen dan CPAP mungkin dapat dipertimbangkan. Komplikasi lain
yang sering terjadi pada pasien obesitas adalah infeksi luka, trombosis vena dalam, dan
emboli pulmoner. Untuk penatalaksanaan nyeri paska-operasi, analgesik epidural dengan
opioid atau anestesi lokal mungkin merupakan pilihan yang paling efektif dan aman bagi
pasien obesitas. Selain itu, pemberian analgesik epidural juga dapat diiringi dengan
pemberian parasetamol atau NSAIDs lainnya. Penanganan nyeri yang baik akan membuat
pasien dapat melakukan mobilisasi lebih awal, hal ini memberi keuntungan untuk
mengurangi risiko terjadinya infeksi paru dan trombosis vena dalam. Hal lain yang perlu
diperhatikan pada masa paska-operasi pasien obesitas adalah tingginya risiko untuk
mengalami infeksi pada luka bekas operasi. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk
mencegah terjadinya hal ini adalah dengan mengontrol gula darah pasien obesitas paska-
operasi. Di samping itu, pemberian antibiotik dengan waktu dan dosis yang tepat perlu
dipertimbangkan.

BAB IV

26
PEMBAHASAN

Seorang wanita Ny. N usia 79 tahun dengan Tinggi Badan 140 cm, Berat Badan 70 kg
dan Index Masa Tubuh 35,1 (Obese 2) akan menjalani pembedahan Hemiarthroplasti Bipolar.
Pasien didiagnosis Fraktur Collumna Femur Dextra. Pasien di operasi tanggal 17 Januari
2017. Selama proses pembedahan, dibagi menjadi 3 tahapan. Tahapan pertama adalah pre
operatif, intra operatif, dan post operatif.
Tahapan pertama adalah pre-operatif. Pada tahap ini, sehari sebelum operasi dilakukan
kunjungan pra anestesi. Pada kunjungan ini keluhan yang dirasakan pasien saat ini adalah
nyeri pada kakinya dan tidak dapat berjalan sendiri. Pasien mengatakan ada riwayat jatuh dari
kamar mandi saat hendak buang air kecil pada 3 bulan yang lalu. Pasien tidak demam, batuk-
pilek, mual-muntah. Kondisi ini menunjang untuk dilakukan pembiusan, karena pada kondisi
yang tidak stabil akan berpengaruh terhadap efek pasca pembiusan. Sejalan dengan keluhan
yang dirasakan pasien, pemeriksaan fisik pun tidak ada masalah berarti.Tekanan darah pasien
yaitu 120/80 mmHg. Pada pemeriksaan jantung hasil pemeriksaan ekokardiografi didapatkan
LVEF 57%, LVH (+) Konsentrik, Disfungsi Diastolik LV, gangguan relaksasi dan MR Mild.
Pemeriksaan paru dalam batas normal. Pada pemeriksaan abdomen dalam batas normal.
Pemeriksaan pada ekstremitas didapatkan adanya deformitas pada femur sebelah kanan
disertai dengan bengkak dan nyeri sedangkan pada ekstremitas bawah sebelah kiri dalam
batas normal. Keadaan fisik juga memperkuat pernyataan pasien untuk menilai pengaruh
kondisi pasien saat pembiusan. Pasien tidak memiliki riwayat hipertensi dan diabetes melitus
tipe 2. Keadaan airway pasien dalam batas normal. Pada pemeriksaan penunjang
laboraturium darah didapatkan hasil asam urat yang tinggi yaitu 7,3, pemeriksaan urin dalam
batas normal.
Sebelum operasi, direncanakan untuk maintenance oksigen, cairan, tanda vital agar
haemodinamik pasien tidak mengalami masalah saat operasi. Pasien juga dipuasakan selama
6 jam untuk mencegah terjadinya regurgitasi saat pasien dibawah pengaruh obat bius,
ditambah obat-obat anestesi memiliki efek samping mual dan muntah. Rencana teknik
anestesi yang akan dilakukan adalah anestesi spinal. Penggunaan anestesi regional pada
pasien obesitas memiliki kesulitan sendiri, antara lain adalah sulitnya mencari patokan tulang
yang biasa digunakan. Jarum yang lebih panjang atau bahkan ultrasonografi mungkin
27
dibutuhkan untuk menunjang keberhasilan pembiusan. Perlu diketahui, pasien obesitas
memerlukan dosis anestesi spinal 20-25% lebih sedikit daripada dosis normal karena vena
epidural yang terdistensi dan tekanan intra-abdomen yang meningkat menyebabkan
menyempitnya ruang epidural.Selain teknik anestesi, perhitungan dosis obat pada pasien
obesitas juga harus diperhatikan. Berat badan total (total body weight) seseorang terdiri dari
berat badan tanpa lemak (lean body weight) dan berat lemak pada tubuh orang tersebut.
Secara teoritis, cadangan lemak yang banyak akan meningkatkan volume distribusi dari obat
yang larut dalam lemak (benzodiazepin, opioid). Dosis obat-obatan seperti ini dihitung
berdasarkan berat badan total, sedangkan dosis obat-obatan yang tidak larut dalam lemak
dihitung berdasarkan berat badan tanpa lemak. Oleh karena itu, perlu diketahui jenis obat-
obatan yang larut dalam lemak dan yang larut dalam air untuk menentukan apakah dosis obat
tersebut dihitung berdasarkan berat badan total, berat badan tanpa lemak, atau bahkan berat
badan ideal.
Tahapan kedua adalah saat intra operasi. Metode anestesi yang direncanakan
sebelumnya adalah teknik spinal dengan lokasi L2-L3 dengan obat Bupivacaine dan
Fentanyl. Penggunaan anestesi regional pada pasien obesitas memiliki kesulitan sendiri,
antara lain adalah sulitnya mencari patokan tulang yang biasa digunakan. Jarum yang lebih
panjang atau bahkan ultrasonografi mungkin dibutuhkan untuk menunjang keberhasilan
pembiusan. Perlu diketahui, pasien obesitas memerlukan dosis anestesi spinal 20-25% lebih
sedikit daripada dosis normal karena vena epidural yang terdistensi dan tekanan intra-
abdomen yang meningkat menyebabkan menyempitnya ruang epidural. namun mengalami
kendala karena pasien geriatri dengan obesitas disertai pasien kurang kooperatif pada saat
pembiusan. Posisi pasien saat pembiusan memang tidak mendukung untuk dilakukan teknik
spinal karena fraktur yang dialami pasien membatasi pergerakan pasien sehingga posisi
pasien tidak bisa mencapai posisi lateral dekubitus yang optimal, pasien berteriak saat jarum
ditusukan dan pasien selalu menegangkan punggung dan menarik punggungnya saat jarum
ditusukan sehingga teknik spinal akhirnya tidak berhasil setelah percobaan selama 30 menit.
Teknik anestesi alternatif yang dipilih oleh dokter anestesi adalah teknik anestesi epidural
murni dengan obat Marcaine 2,5 % 100 mg setinggi L3-L4 dengan fiksasi 9 cm. Metode ini
dipilih karena pertimbangan anatomis, epidural letaknya lebih di luar dari spinal sehingga
penusukan jarum tidak perlu terlalu dalam seperti pada spinal. Pemasangan epidural

28
dilakukan dengan pertimbangan nyeri yang akan timbul pasca operasi, sehingga pasien akan
mudah diberikan analgetik melalui epidural untuk melokalisasi nyerinya. Analgetik pada
kasus ini menggunakan fentanyl karena fentanyl merupakan obat dengan kerja short acting.
Pada kasus ini dilakukan tindakan operasi Hemiarthroplasty Bipolar yaitu prosedur
mengganti sendi dengan sendi buatan yang akan disambungkan kembali pada tulang yang
sebelumnya deformitas atau fraktur. Pada prosedur ini tidak memakan waktu yang lama dan
perdarahannya sedikit sekitar 100 cc.
Tahapan ketiga adalah post operatif. Pada tahapan ini dilakukan beberapa hal.
Diantaranya adalah pengelolaan nyeri dengan diberikan Paracetamol 1 gram i.v dan
Ketorolac 30 mg i.v. Kemudian untuk pengelolaan mual-muntah diberikan ondansetron 3x4
mg yang sama-sama bekerja mempengaruhi CTZ. Infus RL 140 cc/jam berdasarkan
perhitungan volum maintenance. Untuk diet dan nutrisi diberikan minum sedikit-sedikit dan
bertahap jika tidak ada mual dan muntah, karena jika masih ada mual-muntah akan semakin
memperberat. Pemantauan Tanda Vital dilakukan tiap 15 menit selama 24 jam sampai pasien
stabil.

DAFTAR PUSTAKA

29
Sugondo S. Obesitas. Di dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Marcellus SK,
Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed ke-3. Jakarta: Interna Publishing ; 2009 ; Hlm:
1977.

Rider OJ, Petersen SE, Francis JM, et al. Ventricular hypertrophy and cavity
dilatationinrelationtobodymassindexinwomenwithuncomplicatedobesity.Heart2011;
97:2038.

Lopez PP, Stefan B, Schulman CI, Byers PM ; Prevalence of sleep apnea in morbidly
obese patients who presented for weight loss surgery evaluation: more evidence for routine
screening for obstructive sleep apnea before weight loss surgery ; Am Surg 2008; 74: 834-8.

Chin KJ, Perlas A ; Ultrasonography of the lumbar spine for neuraxial and lumbar
plexus blocks ; Curr Opin Anaesthesiol 2011; 24: 567-72.

Ingrande J, Lemmens HJ; Dose adjustment of anaesthetics in the morbidly obese ; Br


J Anaesth 2010; 105: i16-23.
Leykin Y, Miotto L, Pellis T ; Pharmacokinetic considerations in the obese ; Best
Practice Res Clin Anaesthesiol 2011; 25: 27-36.
IngrandeJ,BrodskyJB,LemmensHJ;Leanbodyweightscalarfortheanesthetic
inductiondoseofpropofolinmorbidlyobesesubjects;AnesthAnalg2011;113:5762.
Gaszynski T, Tokarz A, Piotrowski D, Machala W. Boussignac ; CPAP in the
postoperativeperiodinmorbidlyobesepatients;ObeseSurgical2010;17:4526.
Jr Morgan G E., Mikhail M S., Murray M J; Anesthesia For Patient with Endocrine
Disease : Obesity ; Lange 4th Ed. Mcgraw-Hill Companies ; 2010 ; 813-15.

30

You might also like