You are on page 1of 64

KAJIAN KINERJA PEMBORAN PADA PEMBUATAN

LUBANG BUKAAN DI TAMBANG BIJIH EMAS


BAWAH TANAH LEVEL 600 CIURUG,UBPE
PONGKOR, BOGOR, JAWA BARAT

SKRIPSI

Oleh
LAURA PUSPITA SARI
NIM. 112070020

JURUSAN TEKNIK PERTAMBANGAN


FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN
YOGYAKARTA
2011
RINGKASAN

Operasi penambangan dalam pekerjaan tambang bawah tanah yang berupa


pembongkaran dilakukan dengan menggunakan pemboran dan peledakan. Sehingga
dalam proses pembongkaran, kelancaran operasi peledakan sangat tergantung pada
kegiatan pemboran yang dilakukan. Apabila kemampuan produksi alat bor tidak
optimal, maka target produksi sulit tercapai.
Untuk mengevaluasi kinerja mesin bor perlu diketahui faktor-faktor yang
mempengaruhi kegiatan pemboran itu sendiri, yaitu batuan, umur, dan kondisi mesin
bor. Sedangkan untuk mengetahui produksi mesin bor perlu diketahui variabel yaitu
kecepatan pemboran, volume, dan efisiensi kerja.
Pemboran produksi di UBPE Pongkor, Bogor, Jawa Barat, menggunakan mesin
bor Shenyang, dengan jenis tumbuk putar. Dari hasil penelitian lapangan di Level 600
Ciurug mempunyai kekuatan sebesar 72 MPa. Penggunaan mesin bor tersebut telah
sesuai, mata bor tipe cross bit yang digunakan juga cocok untuk kondisi batuan yang
memiliki kekerasan dan abrasivitas tinggi.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, dapat diketahui bahwa kecepatan
pemboran sebesar 0,21 m/menit, sedangakan kecepatan pemboran kotor sebesar
0,24m/menit. Adanya selisih diantara kecepatan pemboran dengan kecepatan pemboran
kotor dikarenakan adanya waktu untuk mengatasi hambatan. Namun untuk mengetahui
produktivitas kecepatan yang dipakai adalah kecepatan pemboran kotor. Kemudian
untuk volume setara didapatkan sebesar 0,311 m3/menit.
Peningkatan produksi akan dilakukan dengan menekan waktu hambatan dari
308,75 menit menjadi 234,86 menit. Sehingga waktu efektif yang didapat setelah adanya
penekanan waktu hambatan akan bertambah dari 351,25 menit menjadi 425,4 menit dari
waktu terjadwal yaitu 660 menit atau 11 jam dan efisiensi meningkat menjadi 64,41%.
Produktivitas yang diperoleh setelah penekanan waktu hambatan adalah 27,76
m3/shift/alat bor atau 2,74 m3/jam/alat bor. Upaya peningkatan efisiensi ini membuat
target produksi dengan kemajuan per peledakan 1,7 m tercapai setelah dikonversikan
dengan densitas batuan yang dibongkar sebesar 2,20 ton/m3 yaitu 61,07 ton/shift/alat bor
yang melebihi target produksi sebesar 59,84 ton/shift/alat bor.
Rangkaian batang bor memiliki umurnya masing-masing. Umur mata bor dan
batang bor dipengaruhi oleh medan kerja, operator, dan ketersediaan air dan angin yang
membantu proses pembilasan juga membantu proses pemboran dalam menggali batuan
karena jika tekanan air >3,5 Bar dan tekanan angin >5 Bar maka kerja mesin bor tanpa
adanya dukungan air dan angin akan merusak komponen batang bor sehingga komponen
batang bor tersebut cepat auss. Hal itu akan mengurangi umur dari komponen batang bor
itu sendiri.
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Operasi penambangan bijih emas PT Karya Sakti Purnama, Site Unit Bisnis
Pertambangan Emas (UBPE) Antam, Pongkor, meliputi kegiatan pembongkaran,
pemuatan, dan pengangkutan dari lokasi penambangan ke lokasi peremukan (crushing
plant) maupun lokasi penimbunan. Kegiatan ini merupakan serangkaian untuk
mengoptimalisasi produksi guna memenuhi kebutuhan konsumen.
Operasi penambangan bijih emas dalam pekerjaan pada tambang bawah tanah
pada tambang bijih, pembongkaran bijih emas dilakukan dengan menggunakan
pengeboran dan peledakan karena kondisi batuan yang relative keras. Untuk
pembongkaran bijih, kelancaran operasi peledakan tergantung pada kegiatan pengeboran
yang dilakukan.
Tadinya perusahaan memakai batang bor jenis batang bor berulir (tapered rod)
yang satu bagiannya utuh ditambah dengan cross bit, kemudian akan diganti dengn
batang bor yang terdiri dari shank adapter, coupling sleeve, extension rod dan cross bit.
Oleh karena itu butuh perencanaan yang baik yang mencakup pemilihan alat bor
yang tepat, sebab kegiatan pengeboran sangat dipengaruhi oleh kinerja alat bor dan sifat-
sifat batuan yang dibor. Maka perlu dilakukan kajian terhadap kemampuan produksi alat
bor.
1.2 Maksud dan Tujuan Penelitian

1.2.1 Maksud Penelitian


Maksud dari penelitian ini adalah untuk mempergunakan data yang diperoleh
dari hasil pengeboran di akses ramp up utara Level 600 Ciurug UBPE Pongkor dalam
usaha untuk mengetahui efisiensi kerja mesin bor.
1.2.2 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kinerja pemboran lubang ledak
khususnya kinerja pemboran dengan menggunakan batang bor R22 sandvick.
Penelitian ini juga bertujuan untuk mencari solusi dari permasalahan yang ada dan
memberikan masukan yang berguna untuk peningkatan produksi alat bor dan
peningkatan efisiensi kerja.

1.3 Identifikasi Masalah


Masalah yang diidentifikasi adalah mengenai produktivitas pemboran dan kinerja
mesin bor dalam penyediaan lubang ledak di Level 600 Ramp-Up Utara dengan
menggunakan batang bor R22 Sandvick.

1.4 Batasan Masalah


Adapun batasan masalah dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :
a) Lokasi penelitian pada akses ramp-up Level 600 Ciurug tambang bijih emas
bawah tanah PT. UBPE, Antam, Pongkor, Bogor, Jawa Barat.

b) Penelitian dilakukan hanya sebatas kondisi mesin bor yaitu mengevaluasi kinerja
mesin bor dalam penyediaan lubang ledak untuk kemajuan tunnel dengan asumsi
data geoteknik dan data waktu pemboran guna meningkatkan efisiensi kerja dan
produksi dengan menggunakan batang bor R22 Sandvick dimana rangkaian
(drilling string) terdiri dari shank adapter, coupling slevee, extension rod, cross
bit.

1.5 Metodologi Penelitian


Metodologi Penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut :
a) Studi Literatur
Studi literatur dilakukan di perpustakaan Jurusan Teknik Pertambangan
UPNVeteranYogyakarta dan dari Laporan Penelitian yang sudah dilakukan oleh
pihak perusahaan
b) Survei Lapangan
Survei lapangan dilakukan dengan cara meninjau lapangan untuk melakukan
pengamatan langsung terhadap kondisi lapangan yang ada.
c) Pengumpulan Data
Data Primer berupa:
a. Data lubang bor
b. Data waktu kerja
Data sekunder berupa :
a. Data-data geoteknik
b. Peta development dan produksi Tambang Bawah Tanah UBPE Antam,Tbk,
Pongkor, Bogor, Jawa Barat.
c. Data Spesifikasi Alat
d) Pengelompokan Data
Pengelompokan data dilakukan untuk mempermudah dalam pengolahan data
selanjutnya.
e) Perhitungan Efisiensi kerja pemboran
Perhitungan efisiensi kerja pemboran dilakukan dengan menggunakan bantuan
statistika.

1.6 Manfaat Penelitian


Dengan dilakukannya kajian teknis terhadap efisiensi kerja pemboran pada unit
pemboran PT. Karya Sakti Purnama ini, penulis dapat mengetahui permasalahan yang
terjadi dan dapat sebagai tambahan pengetahuan dalam pembelajaran.
BAB II
TINJAUAN UMUM

2.1 Lokasi dan Kesampaian Wilayah


UBPE Pongkor secara administratif terletak di Gunung Pongkor, Desa Bantar
Karet, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat dengan wilayah
Kuasa Pertambangan seluas 6.047 ha. (Gambar 2.1)
Areal pertambangan tersebut meliputi wilayah KP eksploitasi No. KW 98
PP/0138/ Jabar seluas 6047 Hektar dan KP Eksplorasi No.KW 96 PP 0127B/Jabar seluas
3870 hektar. Sedangkan posisi geografis KP Eksploitasi ini terletak pada koordinat 106 o
30 1 BT sampai dengan 106o 35 38 BT dan 6o 36 37.2 LS sampai dengan 6o 48
11 LS. (Gambar 2.2)
2.2 Keadaan Iklim dan Curah Hujan 8)
Daerah penelitian beriklim tropis yang dipengaruhi angin musim, dengan curah
hujan relatif tinggi dan memiliki kelembapan udara yang tinggi. Kisaran temperatur
sepanjang tahun terjadi antara 15o C pada musim penghujan hingga 300 C pada musim
kemarau. Musim hujan rata-rata berlangsung dari bulan Mei hingga Agustus.
Berdasarkan data klimatologi yang diperoleh dari pusat stasiun pengukuran curah
hujan PT.Antam,Tbk UBPE Pongkor, diperoleh bahwa Pongkor memiliki curah hujan
antara 2028 mm/th 5783 mm/th dengan curah hujan rata-rata 3847,8 mm/th untuk
periode tahun 1997-2006.
2.3 Geologi Daerah Penelitian
2.3.1 Morfologi 8)
Daerah Pertambangan UBPE Pongkor dan sekitarnya merupakan daerah
pegunungan dengan ketinggian berkisar antara 300 mdpl sampai dengan 900 mdpl
dengan puncak bukit yang masih tajam sampai agak membulat dengan grade berkisar
antara 200% hingga 600%, dengan komposisi 15% daerah datar hingga bergelombang
60% daerah bergelombang hingga berbukit, dan 25% daerah berbukit sampai
pegunungan. Beberapa gunung yang terdapat di sekitar daerah tersebut antara lain
Gunung Halimun (1929 mdpl), Gunung Salak (2211 mdpl) dan Gunung Kendeung
(1764 mdpl). Kegiatan penambangan dilakukan pada punggungan Gunung Pongkor
yang berada pada elevasi 500-700 mdpl. Puncak tertinggi, Pongkor berada pada elevasi
750 mdpl.
Pada daerah ini memilih dua sungai utama yaitu sungai Cikaniki dan sungai
Ciguha yang terletak di sebelah Timur dan Utara lokasi penambangan. Sungai Cikaniki
memiliki beberapa anak sungai antara lain adalah Sungai Cisarua, Sungai Cikaret,
Sungai Cimanganten, Sungai Ciguha, Sungai Ciparay, Sungai Cisaninten, dan Sungai
Ciparingi. Sungai Cikaniki mengalir berarah Tenggara-Timur laut dan bermuara ke
Sungai Cisadane, yang berada pada sisi Timur Laut. Lembah-lembah sungai Cikaniki
umumnya sempit dan curam namun di beberapa tempat ditemukan juga lembah sungai
yang agak lebar dan landai.
Lembah-lembah sungai yang ada umumnya sempit, curam dan berbentuk V.
Pada beberapa tempat juga ditemukan lembah sungai yang agak lebar dan landai serta
berkelok-kelok sehingga membentuk endapan pasir yang cukup subur yang dapat
dimanfaatkan oleh penduduk setempat sebagai daerah persawahan. Namun umumnya
tebing sungai Cikaniki dan anak sungai Ciguha sangat terjal karena merupakan daerah
aliran hulu yang deras dengan pengikisan batuan yang aktif dan mengakibatkan tebing
ini sangat sulit untuk dilewati.
2.3.2 Stratigrafi 8)
Satuan batuan tertua yang tersingkap di daerah ini adalah Formasi Cimapag yang
berumur Miosen, merupakan sedimen gunungapi (vulkano-klastik), terdiri dari tufa
breksi dan breksi andesitik. Formasi Cimapag setempat tertindih tidak selaras oleh
formasi Genteng atau satuan batuan yang lebih muda lainnya. Formasi Genteng berumur
Pleiosen Awal bercirikan sedimen epiklastik tufaan dan tertindih oleh batuan gunungapi,
tufa dan lava, serta endapan termuda yaitu endapan sungai.
Gambar 2.2 10)
Peta eksplorasi dan eksploitasi Pongkor
Jalur batuan gunungapi berbatasan dengan penyebaran batuan sedimen di sebelah
utara-selatan yang umumnya telah mengalami perlipatan dengan arah umum sumbu
lipatan barat-timur. Jalur batuan sedimen disebelah utara disusun oleh batuan sedimen
yang berumur Miosen tengah sampai Miosen atas, yakni Formasi Bojongmanik, Formasi
Kepala Nunggal, Formasi Jatiluhur, dan Formasi Genteng. Lebih ke utara lagi adalah
jalur cekungan minyak Jawa bagian utara.

Jalur batuan sedimen sebelah selatan disusun oleh batuan yang berumur Miosen
sampai Miosen atas yang menyebar di daerah Bayah-Pelabuhan Ratu-Cimandiri, sampai
ke selatan lagi ditemukan penyebaran batuan gunungapi-sedimen yang termasuk
Formasi Jampang. Sisi sebelah tenggara Fomasi Jampang ditemukan penyebaran batuan
Pra-Tersier sampai Eosen (Kompleks Ciletuh).

2.3.3 Struktur Geologi 8 )


Geologi daerah Pongkor dan sekitarnya tersusun dari batuan gunung api
piroklastik bersifat andesitic sampai dasitik yang dapat dikelompokkan dalam satuan
batuan tufa breksi, aglomerat, andesit, breksi andesitic, dan dasit.
Satuan batuan tufa breksi menyebar di bagian selatan, terutama disepanjang
Sungai Cikaniki. Satuan ini diterobos dan terpotong oleh urat kuarsa yang mengandung
emas. Satuan batuan tufa breksi terutama disusun oleh tufa, tufa lapili, tufa breksi,
anglomerat, dan sisipan lempung. Satuan batuan tufaan lebih banyak ditemukan pada
arah barat laut. Tufa breksi disusun oleh komponen-komponen andesit, batu lempung
lanauan, batuan tersilifikasi, dan tufa yang berbentuk menyudut hingga agak membundar
berukuran 2-3 cm.
Ubahan (alterasi) hidrotermal dari tipe-tipe batuan terjadi melalui proses utama
propilitasi (mineral teralterasi menadi klorit), argiltrasi (mineral-mineral teralterasi
menjadi lempung), dan silifikasi (pengubahan silica). Derajat pelapukan massa batuan
sangat bervariasi dan kompleks. Umumnya batuan terlapukan sempurna di permukaan
dan derajat pelapukan menurun sesuai dengan kedalaman batuan.
Struktur geologi yang tampak terdiri dari kekar dan sesar. Sesar dengan arah
N190oE dan N255oE dengan sudut kemiringan tegak lurus dan telah teisi oleh urat
kuarsa. Sesar yang ditemukan dicirikan oleh adanya pereseran antara 2-5 m pada arah
vertical pada lapisan batulempung. Pola penyebaran kekar memperlihatkan arah umum
sejajar dengan penyebaran urat dan bidang perlapisan batuan, yang umumnya terisi
kuarsa, lempung-mangan oksida, pirit, dan limonit.
2.4 Genesa Batuan 3)
Emas terbentuk dari proses magmatisme atau pengkonsentrasian dipermukaan.
Beberapa endapan terbentuk karena proses metasomatisme kontak dan larutan
hydrothermal, sedangkan pengkonsentrasian secara mekanis menghasilkan endapan
letakan (placer). Genesa emas dikategorikan menjadi dua yaitu:
1. Endapan Primer
Endapan tersebut terjadi didekat batuan induknya ini dikarenakan kecepatan arus
atau medium transportasi tidak terlalu cepat, kestabilan wilayah yang cukup
lama tidak mengganggu proses akumulasi, reliefnya rendah, berupa daerah landai
sehingga mineral berharga tidak terkikis, iklimnya sesuai untuk pelapukan kimia
yang dominan, dan terdapatnya batuan yang menjadi sumber unsur.
2. Endapan Placer
Prinsip terbentuknya dikarenakan adanya pemisahan mineral ringan oleh medium
transportasi. Proses yang terjadi adalah pelepasan mineral-mineral berat baik
logam maupun non logam dari ikatannya didalam batuan induknya.
Pelepasan tersebut terjadi karena proses pelapukan oleh air kemudian mengalami
proses transportasi sehingga mineral ringan terbawa, sedangkan yang lebih berat
akan terendapkan. Mineral-mineral yang diendapkan akan terkonsentrasi dalam
jumlah banyak apabila memenuhi syarat:
- Berat jenis tinggi
- Daya tahan terhadap pelapukan cukup kuat
- Kekerasan tinggi
Contoh mineral yang bisa terakumulasi karena proses ini: emas, platina, timah
(Kasiterit), Besi (Magnetit), Khromit.
Batuan induk yang bisa menghasilkan endapan ini dapat berupa:
- Endapan Lode komersial, missal berupa Hydrothermal
- Endapan bijih tersebut, missal kromit didalam batuan beku ultrabasa
- Mineral-mineral pembentuk batuan berupa magnetit, ilmenit, zircon, dll.
- Endapan placer purba berupa placer terpendam
Tempat atau lokasi pengendapan mineral placer biasanya terletak pada daerah-
daerah tertentu dimana kecepatan arusnya relatif rendah atau karena adanya
endapan (lode) yang tertanam atau terpotong arus sungai
Jenis-Jenis Edndapan Placer dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a) Eluvial Placer, terdapat tidak jauh dari sumber batuan asalnya, misalnya
endapan timah (kasiterit) di Pulau Bangka Belitung.
b) Stream Placer, terjadi bila endapan dibawa terus oleh arus bahkan bisa sampai
ke pantai (Beach placer), terutama bila bentuk dan ukuran butirnya
memungkinkan terbawa jauh. Contohnya pasir besi dan endapan timah.
c) Eolian Placer adalah endapan placer yang ditransport oleh angin, missal
didaerah iklim kering atau gurun pasir.

2.5 Kegiatan Penambangan


Saat ini aktivitas pertambangan di UBPE Pongkor terpusatkan di beberapa
tempat yaitu, tambang Ciurug, tambang Gudang Handak, tambang Kubang Cicau, dan
tambang Ciguha. Aktivitas-aktivitas yang dilakukan berupa aktivitas development dan
produksi.
2.5.1 Metode Penambangan
Pada tambang Ciurug dan Gudang handak diterapkan sistem penambangan
dengan metode cut and fill stoping. Pada sistem penambangan ini bijih emas diambil
kemudian rongga yang berbentuk diisi dengan material filling yaitu slurry hasil
pengolahan material limbah yang telah bersih dari unsur-unsur berbahaya. Ditambang
Kubang Cicau diterapkan metode shringkage stoping. Pada tambang Ciguha juga
diterapkan sistem penambangan dengan metode shringkage stoping karena mempunyai
vein dengan tebal rata-rata 3 meter.
Metode penambangan cut and fill biasanya diterapkan pada endapan dengan kondisi
bijih yang relatif sempit dan vertical. Penerapan metode cut and fill ini juga
dikombinasikan dengan metode-metode lain seperti sringkage stoping yang disesuaikan
dengan karakter badan bijih yang dihadapi. Material filling yang digunakan untuk
mengisi rongga setelah produksi berasal dari sisa pengolahan bijih yang diangkut
menggunakan pipa.
Pada tahap persiapan tambang, tiap urat bijih yang akan ditambang dibuat Drift Foot
Wall (DFW) dengan metode cut and fill atau Drift Vein Bawah (DVB) untuk metode
shringkage stoping semi-mekanis. Melalui drift foot wall yang telah terbentuk
kemudian persiapan penambangan dilakukan dengan membagi badan bijih baik vertikal
maupun horizontal pada jarak2-jarak tertentu sehingga membentuk blok penambangan
atau lombong (stope).
Untuk keperluan pengangkutan mineral bijih dari dalam tambang ke stock pile dibuatlah
Main Haulage Level (MHL) yang juga berfungsi untuk keperluan pengangkutan
karyawan dan peralatan, jalur ventilasi, jalur penyaliran, dan keperluan lain untuk
melayani kegiatan produksi dan development.
Pada tahap persiapan penambangan dibuat adit yang memanjang ke selatan memotong
ke tiga yang memanjang ke selatan memotong ketiga urat bijih, sedang untuk
menyediakan jalan angkut mengikuti arah penyebaran bijih dibuat Drift Foot Wall
(DWF) dari tiap urat bijih yang akan ditambang.
Untuk menjaga kestabilan lereng bukaan dan meninggikan lantai kerja pada lombong
setelah dilakukan penambangan, dilakukan pengisian kembali (back filling) rongga yang
terbentuk dari material pengisi (filling material).
Dimensi lubang bukaan awal yang diterapkan di UBPE Pongkor untuk MHL
mempunyai lebar 3,3 m dan tinggi 3,0 m dan DFW mempunyai lebar 2,8 m dan
mempunyai tinggi 2,5 m. Bukaan lombong berdimensi lebar antara 1,3 m sampai lebih
dari 20 m tergantung pada dimensi bijih.
Rangkaian siklus penambangan pada tiap permukaan kerja dapat diringkas sebagai
berikut:
Pemboran
(Drilling)

Peledakan
(Blasting)

Pembersihan asap
Gambar 2.1
Diagram alir siklus kegiatan penambangan

Kegiatan penggalian lubang bukaan dilakukan dengan cara pemboran dan peledakan.
Pemboran dikerjakan dengan menggunakan alat jackleg dan jumbo drill. Jumlah lubang
bor dan banyaknya bahan peledak yang digunakan tergantung pada kekerasan batuan
dan jauhnya kemajuan lubang yang diinginkan.
Gambar 2.3
Kegiatan pemboran untuk membuat lubang ledak

Setelah dilakukan pemboran kemudian dilakukan pengisian atau charging bahan


peledak. Bahan peledak yang digunakan adalah powergel dan ANFO. Sedangkan di
Tambang Kubang Cicau bahan peledak yang digunakan adalah dinamit karena
permukaan kerja yang basah. Dimensi lubang bukaan yang dibuat umumnya berbentuk
tapal kuda.
Setelah selesai peledakan kemudian dilakukan pembersihan asap dan penjatuhan batu
gantung dengan tujuan menjaga keselamatan baik pekerja maupun alat. Apabila kegiatan
tersebut sudah dilakukan, selanjutnya mulai dilakukan pemasangan penyanggaan.
Gambar 2.4 8)
Sketsa Penambangan Cut and fill

Jenis-jenis penyanggaan yang digunakan adalah penyanggan kayu seperti three piece set
dan cribbing, penyangga baja (steel support) serta penyangga beton berupa beton
tembak (shortcrete). Penyangga baja dan penyangga kayu umumnya digunakan pada
cross cut dan drift, sedangkan untuk lokasi lombong biasanya hanya diberikan perkuatan
seperti split set, rock bolt, dan welded mesh dengan ukuran 10cmx10cm.
Pemasangan rockbolt dan wire mesh

rockbolt

Gambar 2.4
Pemasangan rockbolt dan wire mess

Lombong yang tidak mengandung bijih akan ditimbun dengan material pengisi.
Untuk kegiatan produksi pada lombong, tepatnya pada kegiatan sebelum peledakan
untuk kemajuan pengambilan urat kuarsa, split set digunakan untuk menyangga batuan
samping yang lapuk agar tidak runtuh setelah peledakan dilakukan penyanggaan dengan
pemasangan rock bolt, wire mesh dan sebagainya tergantung keadaan batuan.
kegiatan pengumpul bijih lepas (broken ore) hasil peledakan kearah corongan (ore pass)
di tambang Kubang Cicau menggunakan cara manual dengan scrapper yang ditarik oleh
tenaga manusia. Pada daerah Ciurug yang menggunakan sistem mekanis, pemuatan bijih
lepas ke lori menggunakan Load Haul Dump (LHD) Toro tipe 301 DL dan EJC 100.
Selanjutnya, lombong yang telah ditambang diisi dengan material pengisi yang
berasal dari limbah pabrik (sand tailing) yang telah dipisahkan dari material halusnya
(kurang dari 10 mikrometer). Pengisi tersebut dimaksudkan untuk menyangga batuan
samping dan menaikkan lantai kerja lombong sehingga bijih pada slice selanjutnya dapat
terjangkau.
2.6 Operasi Pemboran dan Peledakan
2.6.1 Pemboran
Pemboran dilakukan dengan menggunakan mesin bor jenis Leg drill dan Jumbo
drill. Dua jeis mesin bor ini cara kerjanya sangatlah berbeda, mesin bor jenis Leg drill
menggunakan pusher leg sebagai kaki untuk menyangga drill dan nomy pada saat
melakukan pekerjaan pemboran sedangkan jumbo drill menggunakan mesin untuk
menentukan arah pemborannya yang dioperasikan oleh operator.
Pola pemboran yang diterapkan adalah Burn-cut merupakan suatu cara peledakan
dengan membuat lubang-lubang sejajar satu sama lain, yang salah satu lubang dalam cut
ditinggalkan kosong sebagai bidang bebas lubang lain. Lubang yang dibor ada 44 buah
dan 1 lubang lagi dibiarkan kosong karena difungsikan sebagai bidang bebas.
Pola pemboran disesuaikan dengan kelas batuannya. Semakin baik kelas batuan
tersebut maka bidang bebas akan dibuat lebih banyak agar proses peledakkan berhasil
dengan lancar.

pemboran
Gambar 2.5
Pemboran untuk membuat lubang ledak
dengan menggunakan Jumbo Drill

2.6.2 Peledakan
Peledakan di tambang bijih emas UBPE Pongkor, Antam disesuaikan dengan
kondisi kerja. Jika kondisi kering maka dipakai Anfo sebagai bahan peledaknya,
sedangkan pada kondisi lembab atau basah dipakai nonel. Jumlah nonel yang
dimasukkan sesuai dengan kedalaman lubang yang dibor. Panjang nonel 0,2 m
sedangkan target kedalaman lubang 2 m maka nonel yang akan dimasukkan kedalam
lubang sebanyak 10 biji sekaligus 1 primer yang sudah diberikan delay time atau waktu
meledaknya.
Jenis batuan tersebut akan sangat mempengaruhi hasil fragmentasi yang
dihasilkan dari peledakan itu sendiri. Namun untuk mengatasi hal ini biasanya jumlah
lubang kosong diperbanyak untuk menghasilkan banyak bidang bebas, sehingga
fragmentasi yang dihasilkan sesuai dengan keinginan dan tidak menghambat proses
loading nantinya.
Peledakan tersebut dilaksanakan sesuai jam blasting yang sudah ditentukan oleh PT.
Antam.
Nonel Primer

Gambar 2.6
Rangkaian Primer menggunakan Nonel
BAB III
DASAR TEORI

Dalam kegiatan penambangan, operasi peledakan yang baik akan menunjang


pencapaian target produksi. Oleh karena itu agar operasi peledakan berhasil maka perlu
adanya tata cara yang harus diketahui dan diterapkan. Salah satunya adalah dalam
kegiatan pemboran untuk pembuatan lubang ledak, agar hasilnya sesuai harapan maka
diperlukan adanya pengetahuan dasar mendukung kelancaran proses pemboran tersebut.
3.1 Sistem Pemboran Secara Mekanik (Mechanical Drilling)
Mechanical Drilling merupakan operasi pemboran yang peralatan pemborannya
digerakkan secara mekanis sehingga operator pemboran dapat mengendalikan semua
parameter pemboran lebih mudah. Peralatan pemboran ini disangga diatas rigs dan
menggunakan roda atau ban rantai. Komponen utama pada mechanical drilling adalah,
a. Mesin (sumber energi mekanik)
b. Batang Bor (mentransmisi energi mekanik)
c. Mata Bor (menggunakan energi mekanik untuk menembus batuan)
d. Flushing (membersihkan lubang bor dari cuttings)

Mechanical drilling terbagi menjadi tiga macam berdasarkan cara penetrasi


terhadap batuan, yaitu: rotary drilling, percussive drilling, dan rotary-percussive
drilling.
3.1.1 Metode Pemboran Rotary Drilling
Rotary Drilling adalah metode pemboran yang menggunakan aksi putaran untuk
melakukan penetrasi terhadap batuan. Pada metode ini ada dua jenis mata bor,
yaitu tricone bit dengan hasil penetrasinya berupa gerusan dan drag bit dengan
hasil penetrasinya berupa potongan (cutting).
Gambar 3.1
Sistem Pemboran Rotary 13)

3.1.2 Metode Pemboran Percussive Drilling


Percussive Drill adalah metode pemboran yang menggunakan aksi tumbukan
untuk melakukan penetrasi terhadap batuan. Komponen utama Percussive
drilling adalah piston. Energi tumbukan piston diteruskan ke batang bor dan mata
bor dalam bentuk gelombang kejut yang bergerak sepanjang batang bor untuk
meremukkan permukaan batuan.

Gambar 3.2
Sistem Pemboran percussive 13)

3.1.3 Metode Pemboran Rotary Percussive Drilling


Rotary-Percussive Drilling adalah metode pemboran yang menggunakan aksi
tumbukan yang dikombinasikan dengan aksi putaran, sehingga terjadi proses
peremukan dan penggerusan batuan. Metode ini terbagi menjadi dua :
a. Top Hammer
Pada metode ini, aksi putaran dan tumbukan dihasilkan diluar lubang bor yang
kemudian ditransmisikan melalui batang bor yang menuju mata bor.
b. Down The Hole Hammer
Pada metode ini, aksi tumbukan dihasilkan didalam lubang bor yang dialirkan
langsung ke mata bor, sedangkan aksi putarannya dihasilkan diluar mata bor
yang kemudian ditransmisikan melalui batang bor menuju mata bor.

Gambar 3.3
Sistem Pemboran Rotary-percussive 13)
3.2 Perlengkapan Metode Pemboran Rotary-Percussive 4)
Batang bor yang digunakan pada pemboran rotary-percussive ada dua macam,
yaitu integral drill steel dan extention drill Steel.
3.2.1 Integral Drill Steel
Integral drill steel tidak memerlukan couplings karena mata bor dan batang
bornya menjadi satu. Batang bor ini biasanya digunakan untuk jenjang yang
relative rendah atau kedalaman pemboran relative dangkal dan diameter lubang
bor antara 22-41 mm.
Gambar 3.4
Komponen Batang Bor Jenis Integral 4)
3.2.2 Extension Drill Steel
Berbeda dengan Integral drill, extension drill memerlukan coupling untuk
menghubungkan shank rod dengan extension rods. Selain itu, batang bor jenis
extension dapat dipakai untuk mendapatkan kedalaman pemboran yang
diinginkan.

Gambar 3.5
Komponen batang extension 4)
Perlengkapan pemboran pada alat bor rotary-percussive drilling dengan
menggunakan extension drill steel adalah :
1) Threads
Drill Steel threads berfungsi menghubungkan, shank, coupling sleeve, rods
dan bits selama operasi pemboran. Threads terdiri dari 4 macam, yaitu:
a. R Thread
R thread digunakan pada lubang berdiameter kecil (22-38 mm), R-thread
memiliki sebuah pitch berukuran 12,77 mm dan mempunyai profil sudut
yang besar.

Gambar 3.6
Jenis R, T, C, GD-Thread
b. T Thread
Dapat digunakan pada semua kondisi pemboran dengan batang bor
berukuran 38 51 mm. T-thread memiliki ukuran pitch yang lebih besar dan
sudut yang lebih kecil sehingga pelepasan koplingnya lebih mudah daripada
R thread. Umur pakai thread tipe ini lebih panjang.
c. C Threads
C thread didesain untuk batang berukuran 51 mm atau lebih. Pitch pada
thread ini berukuran besar dan slope angle mirip dengan T- thread.
d. GD or HL Thread
Thread ini mempunyai karakteristik diantara R- thread dan T thread.
Thread ini mempunyai asymmetrical sawtooth profil dan digunakan pada
batang bor berukuran 25 57 mm.

2) Shank Adaptor
Shank adaptor merupakan komponen mesin bor yang pertama yang
menstransmisikan energi pukulan dari piston ke batang bor. Shank adaptor
ini terletak didalam mesin bor dan dihubungkan dengan couplings ke batang
bor pertama.

Gambar 3.7
Jenis Shank adaptor 4)
3) Batang Bor
Batang bor berguna untuk meneruskan energi putaran dan energi pukulan
dari shank adaptor ke mata bor. Pada pemboran dengan top hammer batang
bor merupakan komponen setelah drill chuck dan dapat berbentuk hexagonal
maupun round cross section.

Gambar 3.8
Tipe Batang bor 4)
4) Couplings
Coupling berguna untuk menyambungkan batang bor yang satu dengan
batang bor lainnya. Tujuan penggunaan coupling untuk memperoleh
kedalaman yang diinginkan. (Gambar 3.9)
5) Mata bor
Mata bor berguna untuk meneruskan energi putaran dan tumbukan dari
batang bor ke batuan. Alat bor rotary-percussive drill terdiri dari 2 jenis
mata bor, yaitu:
a. Button Bit
Button bit berbentuk silinder. Pada bagian permukaan button bit terbesar
tungstan carbide dalam berbagai bentuk dengan diameter antara 50 mm
251 mm. button bit ini lebih cocok digunakan pada rotary-percusive drilling,
mempunyai kecepatan yang lebih tinggi daripada insert bit, lebih resisten
terhadap pengerutan dan cold-pressing, dan mampu meneruskan energy dari
batang bor secara lebih efektif. (Gambar 3.10)

Sleeve-type Semi-bridge type

Full-bridge type Helical-splines type

Gambar 3.9
Jenis Coupling 4)

b. Insert Bit
Insert bit ini terdiri dari dua bentuk yaitu cross bits dan X-bits. Cross bits
terdiri dari empat buah tungsten carbide yang saling membentuk sudut 90 o
sedangkan X-bits terdiri dari empat buah tungsten carbide yang saling
membentuk sudut 75o dan 105o. Insert bits memiliki ukuran diameter mulai
dari 35 mm sampai 57 mm untuk cross bits dan 64 mm untuk X-
bits.(Gambar 3.10)
3.3 Kegiatan Dasar pada Pemboran Rotary-Percussive 1)
3.3.1 Percussion
Energi pukulan dihasilkan dari shock wave yang menggerakkan piston secara
berulang-ulang kemudian ditransmisikan dari hammer ke mata bor melalui
batang bor.

Button Bit

Cross Bit X-Bit


Gambar 3.10
Jenis-jenis Mata bor
3.3.2 Rotation
Gerakan putaran yang menghasilkan perputaran mata bor diantara energi pukulan
berulang-ulang. Gerakan ini mengakibatkan terjadinya tumbukan mata bor
batuan dengan posisi yang berbeda-beda.
Gambar. Metode Pemboran di Permukaan dan Pemakaiannya
3.3.3 Feed, or Thrust Load
Trhust Load adalah energi yang dihasilkan oleh pull down motor untuk
menggerakkan hammer dan kemudian diteruskan ke mata bor sehingga terjadi
kontak permanen dengan batuan. Feed adalah komponen dari rotary-percussive
rock drill yang menggerakkan pneumatic maupun hydraulic hammers maju
mundur. Feed juga menyediakan thrust load yang diperlukan pada operasi
pemboran.
3.3.4 Flushing
Flushing adalah semburan udara, air, atau busa ke dalam lubang bor untuk
mengeluarkan cutting dari dalam lubang bor serta bertujuan untuk membersihkan
lubang bor.

3.4 Pola Pemboran Pada Tambang Bawah Tanah


Mengingat ruang sempit pada tambang bawah tanah yang membatasi kemajuan
pemboran dan hanya terdapat satu bidang bebas, maka harus dibuat satu pola pemboran
yang sesuai dengan kondisi tersebut.Pada operasi peledakan minimal terdapat dua bidang
bebas agar proses pelepasan energi berlangsung sempurna, sehingga batuan akan terlepas
atau terberai dari induknya lebih ringan.

Gambar 3.11
Macam-macam cut hole 11)
Cut yang biasa digunakan untuk membuat terowongan adalah large hole cut untuk
pemboran horizontal tegak lurus pada permukaan batuan semua lubang dalam cut dibor
pararel sama terhadap yang lain dan peledakan dilaksanakan kea rah lubang kosong yang
bertindak sebagai bukaan.
Secara umum terdapat empat tipe cut yang kemudian dikembangkan lagi sesuai
kondisi batuan, yaitu:
a. Center cut disebut juga pyramid atau diamond cut. Empat atau enam lubang dengan
diameter yang sama dibor kea rah satu titik, sehingga berbentuk pyramid. Puncak
pyramid di bagian dalam dilebihkan sekitar 15 cm (6 inchi) dari kedalaman seluruh
lubang bor yang ada. Dengan meledakkan center cut ini secara serentak akan
terbentuk bidang bebas baru bagi lubang-lubang ledak disekitarnya. Center cut sangat
efektif untuk batuan kuat, tetapi konsumsi bahan peledak banyak dan mempunyai efek
getaran tinggi yang disertai oleh lemparan batu-batu kecil.
b. V Cut disebut juga Wedge-cut, angled cut atau cut berbentuk baji: setiap pasang
empat atau enam lubang dengan diameter yang sama dibor kearah satu titik, tetapi
lubang bor antar pasangan sejajar, sehingga berbentuk baji.Pola pemboran tipe ini
lebih mudah dibandingkan dengan pola pemboran tipe pyramid cut, tetapi kurang
efektif untuk meledakkan batuan keras.
c. Drag cut atau pola kipas: bentuknya mirip dengan V-cut, yaitu berbentuk baji.
Perbedaannya terletak pada posisi bajinya tidak ditengah-tengah bukaan. Cara
membuatnya adalah lubang dibor miring untuk membentuk rongga dilantai atau
dinding. Pemboran untuk membuat rongga dari bagian dinding disebut juga denga fun
cut atau cut kipas.
Beberapa pertimbangan pada pola drag cut:
- Sangat cocok untuk batuan berlapis, misalnya shale, slate atau batuan sedimen
lainnya.
- Tidak efektif diterapkan pada batuan keras
- Dapat berperan sebagai controlled blasting, yaitu apabila terdapat instalasi yang
penting diruang bawah tanah atau pada bukaan dengan penyangga kayu.
d. Burn cut disebut juga dengan cylinder cut. Pola ini sangat cocok untuk batuan yang
keras dan regas seperti batu pasir (sandstone) atau batuan beku. Pola ini tidak cocok
untuk batuan berlapis, namun demikian, dapat disesuaikan dengan berbagai variasi.
Ciri-ciri pola Burn cut antara lain:
- Lubang bor dibuat sejajar, sehingga dapat member lebih dalam disbanding jenis
cut lainnya.
- Lubang tertentu dikosongkan untuk membuat bidang bebas mini, sehingga
pelepasan gelombang kompresi menjadi tarik dapat berlangsung efektif.
Sedangkan untuk lubang kosong berperan sebagai ruang terbuka tempat batuan
terlempar karena muatan bahan peledak.

Pyramid-Cut

V-cut Drag cut

Burn cut
Gambar 3.12
Macam Pola Pemboran 11)
Setelah bukaan atau cut terbentuk, maka stoping kearah cut dimulai. Lubang kontur
(contour hole) yang terdiri atas: lubang atap (roof hole), lubang dinding (wall hole), dan
lubang lantai (floor hole) dibuat agak diserongkan keluar dari kontur (look out), sehingga
terowongan yang dihasilkan mempunyai bentuk seperti yang direncanakan.
Cut dapat diletakkan di sembarang tempat pada muka terowongan tetapi harus
diperhatikan bahwa letak cut mempengaruhi: lemparan, konsumsi bahan peledak, dan
jumlah ledak dalam round. Apabila letak cut dekat dengan dinding mungkin dapat
mengurangi jumlah lubang tembak dalam round, tetapi ada kelemahan-kelemahan lainnya.

Gambar 3.13 7)
Penamaan Lubang ledak pada peledakan di terowongan

Untuk mendapatkan arah peledakan ke depan, cut diletakkan ditengah-tengah


penampang dan agak ke bawah. Posisi ini akan menghasilkan lemparan yang dekat dan
konsumsi bahan peledak lebih sedikit karena semua lubang stoping kearah bawah. Posisi
cut yang tinggi akan memberikan kemudahan pemuatan hasil peledakan. Tetapi konsumsi
bahan peledak lebih tinggi karena banyak lubang stoping kearah atas. Umumnya letak cut
adalah pada deretan lubang tembak pertama diatas terowongan.
Gambar 3.14 7)
Posisi penempatan cut hole

3.5 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Pemboran 7)


Kinerja suatu mesin bor dipengaruhi oleh faktor-faktor sifat batuan yang dibor,
rock drillability, geometri pemboran, umur dan kondisi mesin bor, dan ketrampilan
operator.
3.5.1 Sifat Batuan
Sifat batuan yang berpengaruh pada penetrasi dan sebagai konsekuensi pada
pemilihan metode pemboran yaitu : kekerasan, kekuatan, elastisitas, plastisitas,
abrasivitas, tekstur, struktur, dan karakteristik pembongkaran.
2. Kekerasan
Kekerasan adalah daya tahan permukaan batuan terhadap goresan. Batuan yang
keras akan memerlukan energy yang besar untuk menghancurkanya. Pada
umumnya batuan yang keras mempunyai kekuatan yang besar pula (Lihat tabel
3.1). Kekerasan batuan diklasifikasikan dengan skala Fredrich Van Mohs (1882).
3. Kekuatan (strength)
Kekuatan mekanik suatu batuan merupakan daya tahan batuan terhadap gaya dari
luar, baik bersifat static maupun dinamik. Kekuatan batuan dipengaruhi oleh
komposisi mineralnya, terutama kandungan kuarsa. Batuan yang kuat
memerlukan energi yang besar untuk menghancurkanya.
Tabel 3.1
Kekerasan dan Kekuatan
Klasifikasi Skala mohs Kuat tekan batuan (MPa)

Sangat keras +7 +200


Keras 6-7 120 200

Kekerasan sedang 4,5 6 60 120


Cukup lunak 3 4,5 30 60

Lunak 23 10 30
Sangat lunak 1-2 -10

4. Bobot isi / Berat jenis


Bobot isi (density) batuan merupakan berat batuan per satuan volume. Batuan
dengan bobot isi yang besar untuk membongkarnya memerlukan energy yang
besar pula.
5. Kecepatan Rambat Gelombang Seismik
Batuan yang masif mempunyai kecepatan rambat gelombang yang besar. Pada
umumnya batuan yang mempunyai kecepatan rambat gelombang yang besar
akan mempunyai bobot isi dan kekuatan yang besar pula sehingga sangat
mempengaruhi pemboran.
6. Abrasivitas
Abrasivitas adalah sifat batuan yang dapat digores oleh batuan lain yang lebih
keras. Sifat ini dipengaruhi oleh kekerasan butiran batuan, bentuk butir, ukuran
butir, porositas batuan, dan sifat heterogenitas batuan.
7. Tekstur
Tekstur batuan dipengaruhi oleh struktur butiran mineral yang menyusun batuan
tersebut. Ukuran butir mempunyai pengaruh yang sama dengan bentuk batuan,
porositas batuan, dan sifat-sifat batuan lainya. Semua aspek ini berpengaruh
dalam keberhasilan operasi pemboran.

8. Elastisitas
Sifat elastisitas batuan dinyatakan dengan modulus elastisitas atau modulus
Young (E). Modulus elastisitas batuan bergantung pada komposisi mineral dan
porositasnya. Umumnya batuan dengan elastisitas yang tinggi memerlukan
energi yang besar untuk menghancurkanya.
9. Plastisitas
Plastisitas batuan merupakan perilaku batuan yang menyebabkan deformasi
permanen setelah tegangan dikembalikan ke kondisi awal, dimana batuan
tersebut belum hancur. Sifat ini sangat dipengaruhi oleh komposisi mineral
penyusunya, terutama kuarsa. Batuan yang plastisitasnya tinggi memerlukan
energi yang besar untuk menghancurkannya.
10. Struktur Geologi
Struktur geologi seperti sesar, kekar, dan bidang perlapisan akan berpengaruh
terhadap peledakan batuan. Adanya rekaha-rekahan dan rongga-rongga di dalam
massa batuan akan menyebabkan terganggunya perambatan gelombang energi
akibat peledakan. Namun adanya rekahan-rekahan tersebut juga sangat
menguntungkan untuk mengetahui bidang lemahnya, sehingga pemboran akan
dilakukan berlawanan arah dengan bidang lemahnya.

3.5.2 Drilabilitas Batuan (Drillability of Rock)


Drilabilitas batuan adalah kecepatan penetrasi rata-rata mata bor terhadap
batuan. Nilai drilabilitas ini diperoleh dari hasil pengujian terhadap toughness
berbagai tipe batuan oleh Sievers dan Furby. Hasil pengujian mereka
memperlihatkan kesamaan nilai penetration speed dan net penetration rate untuk
tipe batuan yang sejenis.
Tabel 3.2
Nilai Faktor Drilabilitas dan Abrasivitas berbagai batuan
Batuan Lokasi Drillability Abrasion index
Barre Granite Barre, VT 1,00 1,00
Granite Dvorshak, ID 1,11 1,14
Granite California 1,10 0,54
Granite Newark, NJ 1,05 1,27
Granite Mt.Blanc, France 0,92 0,86
Granite Grand Coulee, WA 0,50 2,40
Granite Bulgaria 0,45 2,29
Granite Gneiss Denver, CO 1,52 1,00
Granite Gneiss Vancouver, BC, Canada 0,89 1,03
Granite Gneiss Hamburg, NJ 0,67 1,46
Quartzite Capetown, South Africa 1,22 2,70
Quartzite Corter Dam, GA 1,00 1,40
Quartzite New Zealand 0,78 1,70
Quartzite Canada 0,72 3,17
Quartzite Minnesota 0,56 8,60
Quartzite Canada 0,33 1,45
Magnetite Kiruna, Sweden 1,00 1,23
Magnetite Kirkland, ON, Canada 0,59 1,41
Taconite Kirkland, ON, Canada 0,84 4,13
Hematite (red) Sarajevo, Yugoslavia 1,50 0,40
Hematite (dark) Sarajevo, Yugoslavia 2,20 0,70
Siderite Sarajevo, Yugoslavia 0,90 0,80
Siderite Suffern, NY 0,89 0,55
Sandstone Nova, Scotia, Canada 2,70 0,14
Sandstone Ohio 3,10 0,11
Sandstone New Zealand 2,30 1,20
Shale Michel, BC, Canada 0,75 2,80
Shale Scranton, PA 2,00 0,00
Limestone Davenport, IA 1,79 0,28
Limestone Portsmounth, NH 1,77 0,65
Limestone Saratoga, NY 1,22 0,01
3.5.3 Umur dan Kondisi Mesin Bor 13)
Alat yang sudah lama digunakan biasanya dalam kegiatan pemboran,
kemampuan mesin bor akan menurun sehingga sangat berpengaruh pada
kecepatan pemboran. Umur mata bor dan batang bor ditentukan oleh meter
kedalaman yang dicapai dalam melakukan pemboran.
Untuk menilai kondisi suatu alat dapat dilakukan dengan mengetahui empat
tingkat ketersediaan alat, yaitu:
a. Ketersediaan Mekanik (Mechanical Availability, MA)
Ketersediaan mekanik adalah suatu cara untuk mengetahui kondisi mekanik
yang sesungguhnya dari alat yang digunakan. Kesediaan mekanik (MA)
menunjukkan ketersediaan alat secara nyata karena adanya waktu akibat
masalah mekanik. Persamaan dari ketersediaan mekanik adalah

MA = x 100% ... (3.1)


( )

Keterangan:
W = Jumlah jam kerja alat, yaitu waktu yang dipergunakan oleh operator
untuk melakukan kegiatan pemboran.
R = Jumlah jam perbaikan, yaitu waktu yang dipergunakan untuk perbaikan
dan waktu yang hilang akibat menunggu saat perbaikan termasuk juga waktu
penyediaan suku cadang serta waktu perawatan.
b. Ketersediaan Fisik (Physical Availability, PA)
Ketersediaan fisik menunjukkan kesiapan alat untuk beroperasi didalam
seluruh waktu kerja yang tersedia. Persamaan dari ketersediaan fisik adalah :

PA = ( x 100% (3.2)
)

Keterangan:
S = Jumlah jam siap yaitu jumlah jam alat yang tidak dipergunakan padahal
alat tersebut siap beroperasi
(W+R+S) = jumlah jam tersedia, yaitu jumlah seluruh jam jalanmatau jumlah
jam kerja yang tersedia dimana alat dijadwalkan untuk beroperasi.
c. Penggunaan Efektif
Penggunaan efektif menunjukkan berapa persen waktu yang dipergunakan
oleh alat untuk beroperasi pada saat alat tersebut dapat digunakan.
Penggunaan efektif sebenarnya sama dengan pengertian efisiensi kerja.
Persamaan dari kesediaan penggunaan efektif adalah:

EU = x 100% .(3.3)

d. Pemakaian Ketersediaan (Use of Availability, UA)


Ketersediaan Penggunaan menunjukkan berapa persen waktu yang
dipergunakan oleh alat untuk beroperasi pada saat alat tersebut dapat
digunakan. Penggunaan efektif EU sebenarnya sama dengan pengertian
efisiensi kerja. Persamaan dari ketersediaan penggunaan adalah:
UA = x 100% (3.4)

Penilaian Ketersediaan alat bor dilakukan untuk mengetahui kondisi dan


kemampuan alat bor untuk menyediakan lubang ledak. Kesediaan alat
dikatakan sangat baik jika persen 90%, dikatakan sedang jika berkisar antara
70%-80%, dikatakan buruk (kecil) jika persen kesediaan alat 70%.
3.5.4 Geometri Pemboran
1. Diameter Lubang ledak
Faktor-faktor yang mempengaruhi penentuan diameter lubang ledak adalah :
a. Volume batuan yang dibongkar
b. Tinggi jenjang dan konfigurasi isian
c. Tingkat Fragmentasi yang diinginkan
d. Mesin bor yang tersedia
e. Kapasitas alat muat yang akan menangani material hasil peledakan.
2. Arah Lubang ledak
Pada kegiatan pemboran ada dua macam arah lubang ledak yaitu arah tegak
dan arah miring. Pada tinggi jenjang yang sama, kedalaman lubang ledak
miring > dari pemboran tegak selain itu pemboran miring penempatan posisi
awal lebih sulit karena harus menyesuaikan dengan kemiringan lubang ledak
yang direncanakan.
3. Kedalaman Lubang ledak
Penentuan kedalaman lubang ledak disesuaikan dengan tinggi jenjang, dimana
kedalaman lubang ledak>tinggi jenjang. Kelebihan kedalaman lubang bor
(subdrilling) dimaksudkan untuk memperoleh jenjang yang rata.

3.6 Estimasi Produksi Mesin Bor


3.6.1 Waktu Edar (Cycle Time)13)
Waktu edar yang dibutuhkan untuk membuat satu lubang.
Ct = Bt + St + At + Pt + Dt(3.5)
Keterangan :
Ct = Waktu edar (menit)
Bt = Waktu pemboran (menit)
St = Waktu menyambung batang bor (menit)
At = Waktu melepas batang bor (menit)
Dt = Waktu untuk mengatasi hambatan (menit)
Pt = Waktu pindah ke lubang yang lain, dan mempersiapkan alat bor hingga
siap untuk melakukan pemboran (menit)

3.6.2 Kecepatan Pemboran Rata-rata ( Drilling Speeds) 13)


Kecepatan pemboran terdiri dari beberapa definisi :
1) Drilling Rate
Drilling Rate merupakan perbandingan kedalaman lubang bor yang dicapai
terhadap waktu yang diperlukan untuk membuat 1 atau lebih lubang bor, tanpa
memperhitungkan waktu untuk mengatasi hambatan (delay time).
Dr1 = ( (3.6)
)

Keterangan :
Dr1 : Kecepatan pemboran bersih (meter/menit)
H : Kedalaman lubang tembak (meter)
Ct Dt : Waktu edar pemboran tanpa hambatan (menit)
2) Gross Driling Rate
Gross Drilling Rate merupakan perbandingan kedalaman lubang bor yang
dicapai terhadap waktu yang tersedia.
GDR = (3.7)

Keterangan:
GDR = Kecepatan pemboran (m/menit)
H = Kedalaman Lubang Tembak (meter)
Ct = waktu edar pemboran (menit)
3.6.3 Efisiensi Kerja Pemboran 13)
Efisiensi kerja pemboran adalah perbandingan antara waktu kerja produktif
dengan waktu kerja yang terjadwal dan dinyatakan dalam persen. Waktu
produktif adalah waktu yang digunakan untuk kerja pemboran. Jadi efisiensi
kerja dapat dinyatakan:
EK = 100%......................................................................................... (3.8)

Keterangan:
EK = Efisiensi kerja pemboran (%)
WP = waktu kerja produktif (jam)
WT = waktu kerja yang tersedia (jam)
3.6.4 Volume Setara 13)
Volume setara (Equivalent volume, Veq) menyatakan volume batuan yang
diharapkan terbongkar untuk setiap meter kedalaman lubang ledak yang
dinyatakan dalam m3/m. Volume setara dapat dihitung denga persamaan:

Veq = (3.9)
( )
Keterangan :
Veq = volume setara (m3/m)
V = volume batuan yang diledakkan (m3)
n = jumlah lubang tembak
H = kedalaman lubang tembak (m)
3.6.5 Produksi Pemboran 13)
Produksi pemboran tergantung kecepatan pemboran mesin bor, volume setara
dan penggunaan efektif mesin bor. Produksi tersebut dinyatakan dalam m3/jam.
Maka persamaan produksi pemboran adalah:
P = Veq x GDR x EK x 60(3.10)
Keterangan :
P = produksi alat bor (m3/jam/alat)
60 = konversi dari menit ke jam
BAB IV
HASIL PENELITIAN

4.1 Gambaran Umum Keadaan Permukaan Kerja


Disepanjang lubang bukaan ini, khususnya pada permukaan kerja yang sedang
dikerjakan, material atau batuan yang ditemui adalah jenis batuan yang masif. Lapisan
ini memiliki orientasi jurus yang sejajar dengan arah penggalian terowongan yaitu N
178oE (Lampiran E). Menurut parameter klasifikasi RMR orientasi ini tidak
mengganggu pekerjaan pembuatan lubang.
Lubang bukaan yang dibuat memiliki penampang berbentuk tapal kuda.dengan
ukuran (4x4)m. Karena tergolong jenis batuan Kelas 2 maka sebagai penyanggaan
digunakan Mess Strap.
Kondisi tempat kerja yang relatif kering tidak menyulitkan para pekerja, baik
pada saat pemboran, pembuatan lubang ledak, maupun pada saat peledakan itu sendiri
karena tidak memerlukan perlakuan khusus terhadap air. Peralatan lainnya seperti
Scalling bar yang digunakan utuk meruntuhkan batu gantung seusai peledakan. Selang
air yang dipakai untuk proses pemboran dan proses pembasahan setelah peledakan,
untuk meminimalisir debu hasil peledakan. LHD yang dipakai untuk memuat hasil
peledakan ke muckbay (tempat penimbuan material sementara).

4.2 Karakteristik Masa Batuan


Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, material atau jenis batuan yang
ditemui dilokasi Akses Ramp-Up Utara L-600 adalah batu breksi bertufa. Hasil
pengujian di laboratorium menunjukkan besar nilai kuat tekan (Uniaxial Compressive
Strength) jenis batuan yang digali adalah sebesar 72 MPa, sehingga berdasarkan
klasifikasi kekuatan batuan yang digunakan oleh perusahaan, yaitu klasifikasi RMR,
digolongkan pada kelas 2 atau Good Rock. (Lampiran M).
Hasil pengujian dari tenaga ahli Geoteknik PT.UBPE Pongkor, didapat nilai bobot isi
batuan yang dibongkar sebesar 2,20gr/cm3.

4.3 Kegiatan pemboran


4.3.1 Peralatan Pemboran
Pemboran dilakukan dengan menggunakan mesin bor jenis Leg drill. Mesin bor
ini menggunakan pusher leg sebagai kaki untuk menyangga drill pada saat melakukan
pekerjaan pemboran. Drill digerakkan dengan menggunakan udara bertekanan yang
berasal dari kompresor. Mesin Bor yang digunakan pada lokasi ramp-up utara L-600
Ciurug, tambang bawah tanah UBPE Antam, Pongkor, Bogor, Jawa Barat, tepatnya di
lokasi project PT. KSP adalah SHENYANG-YT29A. (Lampiran A). Jenis batang bor
yang digunakan adalah jenis batang bor extension R22 sandvick yang memiliki tiga
bagian dan satu bit (Lampiran C). Tiga bagian tersebut yaitu extension rod, coupling
sleeve, dan shank adapter.

4.3.2 Metode pemboran


Metode pemboran yang digunakan adalah top hammer drilling. Metode Top
Hammer drilling terdiri empat komponen utama yaitu percussion, feed, rotation dan
flushing. Aktivitas putar dan tumbuk dihasilkan dari luar lubang bor dan ditransmisikan
ke mata bor melalui shank adaptor dan batang bor.

4.3.3 Geometri Pemboran


Berdasarkan Gambar 4.1 dapat diketahui geometri pemboran yang digunakan
untuk pembuatan lubang ledak dengan target kedalaman 2 m adalah
- Burden : 20 cm
- Spasi : 80 cm

Peledakan dilakukan sebanyak 1 kali pada 1 shift pada satu permukaan kerja.
Tergantung pada kegiatan yang sedang berlangsung dan jika tidak terdapat hambatan.
4.3.4 Pola pemboran dan peledakan
Pola pemboran yang diterapkan adalah Burn-cut merupakan suatu cara peledakan
dengan membuat lubang-lubang sejajar satu sama lain, yang salah satu lubang dalam cut
ditinggalkan kosong sebagai bidang bebas lubang lain. Lubang yang dibor ada 44 buah
dan 1 lubang lagi dibiarkan kosong karena difungsikan sebagai bidang bebas.

Gambar 4.19)
Geometri Pemboran pada Permukaan Kerja

Pola pemboran dan peledakan ini disesuaikan dengan kelas batuannya. Semakin baik
kelas batuan tersebut maka bidang bebas akan dibuat lebih banyak agar proses
peledakkan berhasil dengan lancar dan dapat mencapai target.

4.4 Waktu Edar


Waktu edar adalah waktu yang dibutuhkan untuk membuat satu lubang.
Perhitungan waktu edar mesin bor dapat dilihat pada Tabel 4.1. (Lampiran I)

Tabel 4.1
Waktu Edar Pemboran
Waktu rata-rata
Operasi
No (dt)
1 Waktu Pindah posisi (Pt) 9,02
2 Waktu pemboran 1m (Bt1) 91,67
3 Waktu hambatan1 (Dt1) 48,12
4 Waktu melepas batang bor 1m (At1) 10,21
Waktu pemasangan batang bor
5 1(St1) 5,40
Waktu pemasangan batang bor 2
6 (St2) 10,67
7 Waktu pemboran 2m (Bt2) 352,57
8 Waktu hambatan 2 (Dt2) 13,79
9 Waktu melepas batang bor 2m (At2) 10,75
Waktu Edar pemboran (detik) 552,2
Kedalama pemboran (m) 1,94

Waktu Edar pemboran terdiri dari beberapa jenis operasi, antara lain :
1. Waktu Pindah Posisi (Pt)
Waktu Pindah Posisi adalah waktu yang dibutuhkan alat bor untuk menempatkan
posisi alat sebelum member batuan, yaitu dimulai sejak alat bor pindah dari titik
pemboran sebelum sampai dengan alat bor siap untuk mengebor batuan. Waktu
pindah posisi untuk pemboran dengan kedalaman 1,94 m adalah 9,02 detik.
2. Waktu Pemboran (Bt)
Waktu pemboran adalah waktu yang dibutuhkan untuk menembus batuan sampai
dengan kedalaman lubang bor yang diinginkan, jika batangnya 2 maka ada Bt1 dan
Bt2. Waktu pemboran pada saat menggunakan batang bor 1 m adalah 91,67 detik
dan waktu pemboran setelah batang bor disusun menjadi 2 m adalah 352,57 detik.
3. Waktu Melepas Batang Bor (At)
Wktu melepas batang bor adalah waktu yang digunakan untuk mengangkat
kepermukaan dan melepas setiap batang bor yang digunakan pada proses pemboran
setelah keseluruhan tahap pemboran selesai kecuali batang bor yang terakhir yang
merupakan batang bor pertama, hanya diangkat ke permukaan dan dilepas. Waktu
melepas batang bor pada saat menggunakan batang bor 1 m (At1) adalah 10,21
detik dan waktu melepas batang bor yang berukuran 2 m (At2) adalah 10,75 detik.
4. Waktu Memasang Batang Bor (St)
Waktu memasang Batang bor adalah waktu yang dibutuhkan untuk menyambung
sebuah batang bor dengan satu batang bor lainnya dari suatu proses pemboran yang
telah menyelesaikan 1 buah batang bor. Waktu memasang batang bor 1m (St1)
adalah 5,40 detik dan waktu memasang bagian batang bor yang berukuran 2 meter
(St2) adalah 10,67 detik.
5. Waktu Hambatan (Dt)
Waktu hambatan adalah waktu hambatan dimana terjadi sesuatu hal yang
mengakibatkan terganggunya proses pemboran. Waktu hambatan saat pemboran
menggunakan batang 1m (Dt1) adalah 48,12 detik dan waktu hambatan saat
pemboran menggunakan batang 2 m (Dt2) adalah 13,79 detik.

4.5 Waktu Kegiatan Pemboran


4.5.1 Waktu Kegiatan Pemboran
Berdasarkan hasil pengamatan waktu kerja pemboran digunakan data-data dan
pengamatan waktu kerja yang terdiri atas jam kerja dan waktu hambatan dalam kegiatan
pemboran (Lampiran J).

Tabel 4.2
Pengamatan waktu kerja (Lampiran J)
Waktu
No Pengamatan Waktu Kerja
(menit)
1 Jam kerja 660 menit
2 Waktu persiapan, perbaikan dan gangguan terdiri atas:
1. Waktu memasuki terowongan 31,42 menit
2. Waktu menuju Front Kerja 18,27 menit
3. Waktu Persiapan Membor 26,34 menit
4. Waktu Pemasangan Mesh dan Rockbolt (mesh front) 146,60 menit
5. Waktu charging dan Blasting 31,35 menit
6. Waktu Mucking 63,82 menit
7. Waktu Persiapan Pulang 23,05 menit
8. Waktu Perbaikan alat 34,50 menit
9. Waktu Perawatan 20,00 menit
10. Waktu terlalu awal dan terlalu lama istirahat 60,00 menit

Total 308,75 menit


3 Waktu Kegiatan (W) No.1 - No.2 351,25 menit

Berdasarkan hasil pengamatan jam kerja yang tersedia untuk setiap 1 shift adalah
11 jam atau 660 menit dengan waktu persiapan, perbaikan dang gangguan kerja yang
bisa juga dikatakan dengan waktu hambatan adalah sebesar 308,75 menit/shift, maka
diperoleh waktu kerja efektif sebesar 351,25 menit/shift. Dengan perhitungan adalah
sebagai berikut:
Waktu kerja efektif per shift = J T
= 660 menit 308,75 menit
= 351,25 menit/ shift
Keterangan :
J = Jam kerja yang tersedia dalam 1 shift yaitu 11 jam (long shift)
T = Waktu persiapan, perbaikan, dan gangguan (menit)
Maka waktu kerja atau waktu alat beroperasi yang diperoleh adalah 351,25 menit
setiap shift kerja. Penentuan kondisi alat bor dipengaruhi oleh faktor yang saling
berkaitan yaitu kerja alat (W) dan waktu tunggu.
4.5.2. Waktu Perbaikan (R)
Waktu perbaikan terdiri atas perbaikan pada gangguan kompresor dan
perawatan. Berdasarkan pengamatan diperoleh besamya waktu perbaikan yaitu sebesar
34,50 menit/shift dan waktu perawatan sebesar 20,00 menit/shift.
Tabel 4.3
Tingkat Kesediaan rata-rata mesin bor Leg Drill
Shenyang-YT29A (Lampiran J)

Tingkat kesediaan mesin bor Leg Drill Shenyang-


YT29A
MA 86,56 %
PA 98,18%
UA 54,20%
EU 53,21%

4.5.3 Kondisi Peralatan


Kondisi suatu alat dapat dinilai berdasarkan tingkat kesediaannya. Kondisi
alat berpengaruh terhadap laju pemboran. Kecepatan pemboran dipengaruhi oleh umur
alat bor.
Tingkat kesediaan mesin bor leg drill Senyang-YT29A terdiri dan empat macam dan
dapat dilihat pada Lampiran J atau pada Tabel 4.3
4.5.4 Perawatan
Pada pengamatan di lapangan sering dilakukan perawatan secara rutin.
Perawatan itu dilakukan sebelum dan sesudah operasi pemboran. Berdasarkan
pengamatan waktu perawatan diperoleh sebesar 20,00 menit/shift.
4.5.5 Waktu Tunggu
Waktu tunggu merupakan total waktu dari mesin yang tidak beroperasi akan
tetapi alat tersebut dalam keadaan siap untuk dioperasikan. Dari hasil pengamatan
waktu tunggu dapat diartikan sebagai waktu hambat karena waktu kerja yang tersedia
sebagian digunakan untuk beraktifitas di luar waktu beroperasi mesin bor meliputi
waktu persiapan memasuki front kerja, waktu memasuki terowongan, waktu persiapan
membor, charging & blasting dan mucking serta waktu pulang. Waktu tunggu
diperoleh sehesar 254,25 menit/shift

4.6 Umur Pakai Batang Bor R22 Sandvik


Pada Umur pakai batang bor setelah melakukan pengamatan di lokasi
permukaan kerja ramp-up utara Level 600 Ciurug didapatkan bahwa umur batang
bor jenis R22 Sandvik dapat dilihat di Tabel 4.4
Tabel 4.4
Rata-rata Umur dan pemakaian rangkaian Batang Bor
(Lampiran Q)

Rangkaian Batang umur Jumlah


No
bor (drm) pemakaian
1 mata bor 119,59 22
2 extension rod 202,40 13
3 coupling slevee 263,11 10
4 shank adapter 328,89 8

4.7 Kecepatan Pemboran


Kecepatan pemboran terdiri dari beberapa definisi, yaitu
4.7.1 Laju Penetrasi Bersih Nyata
Laju penetrasi bersih nyata adalah laju penetrasi nyata pemboran pada setiap
saat tanpa memperhitungkan hambatan. Laju penetrasi bersih nyata diperoleh dari hasil
pengamatan dan pengolahan data terhadap waktu edar. Laju penetrasi bersih Nyata
mesin bor Leg drill Shenyang-YT29A adalah 0,21 m/menit (Lampiran O)

4.7.2 Drilling rate


Drilling rate merupakan kecepatan pemboran dalam feet (meter) per satuan
waktu. Drilling rate meliputi satu atau lebih lubang bor yang dibuat dalam operasi
pemboran secara keseluruhan tanpa memperhitungkan delay. Drilling Rate mesin bor
Leg drill Shenyang-YT29A adalah 0,24 m/menit (Lampiran O).

4.7.3 Gross Drilling rate


Gross Drilling rate merupakan kecepatan pemboran dalam feet (meter) per
satuan waktu, termasuk hambatan secara keseluruhan dalam satu seri pemboran. Gross
drilling Rate mesin bor Leg drill Shenyang-YT29A adalah 0,21 m/menit (Lampiran O).
4.8 Efisiensi Kerja
Efisiensi kerja meliputi Efisiensi kerja alat dan efisiensi manajemen kerja.
Efisiensi kerja alat yang dimaksud disini adalah efisiensi kerja dari mesin bor yang
merupakan penggunaan efektif dari mesin bor tersebut, sedangkan efisiensi manajemen
kerja merupakan efisiensi kerja pemboran yang merupakan manajemen kerja dari
kegiatan pemboran tersebut.
Tabel 4.5
Efisiensi kerja Pemboran (Lampiran K)
Saat ini
Waktu kerja
(menit)
Waktu Kerja Teoritis perhari 660
Waktu Kerja tidak efektif 308,75
Waktu kerja efektif perhari 351,25
Efesiensi kerja (%) 53,21

4.8.1 Efisiensi kerja mesin bor


Efisiensi kerja mesin bor dinilai berdasarkan tingkat penggunaan waktu yang
tersedia untuk dapat dimanfaatkan bekerja produktif. sehingga dalam hal ini
efisiensi kerja mesin bor identik dengan penggunaan kesediaan mesin bor (UA).
Berdasarkan pengamatan dan perhitungan yang telah dilakukan terhadap tingkat
kesediaan mesin bor maka diperoleh efisiensi kerja mesin bor leg drill Shenyang-
YT29A adalah 54,20 % (Lampiran J).
4.8.2 Efisiensi kerja pemboran
Efisiensi kerja pemboran diperoleh dari perbandingan waktu kerja efektif
dengan waktu kerja teoritis per hari yang dinyatakan dalam persen (Lampiran K).
Perhitungan efisiensi kerja pemboran ialah waktu kerja efektif dibanding dengan waktu
kerja teoritis perhari. (dilihat pada Tabel 4.5)
4.9 Produksi pemboran
4.9.1 Volume Setara
Volume setara merupakan volume batuan rata-rata yang berhasil dibongkar
untuk setiap meter kedalaman pemboran. Dimana volume setara dihasilkan dari luas
lubang bukaan dikali dengan kemajuan lubang bukaan sekali peledakan berbanding
dengan jumlah lubang ledak dan kedalaman lubang ledak. Volume setara yang diperoleh
adalah sebesar 0,311 m3/menit/shift. (Lampiran P)
4.9.2 Produksi Pemboran Saat ini
Pekerjaan pemboran dan peledakan untuk kemajuan tunnel di lokasi Ramp Up
Utara L.600 Ciurug dalam satu hari dilaksanakan sebanyak dua kali, yaitu shift 1 dan
shift 2 dengan luas area yang dibongkar 16m2 (Lampiran D)
Namun berdasarkan data pengukuran kemajuan (Lampiran M) diketahui bahwa
kemajuan rata-rata per peledakan untuk setiap shift adalah 1,7 m, sehingga berdasarkan
berat batuan yang terbongkar adalah 59,84 ton (Lampiran N).
Kecepatan pemboran diperoleh sebesar 0,21 m/menit (Lampiran O). Produksi
hasil pemboran dinyatakan dalam m3/jam sehingga diperoleh produksi pemboran untuk
satu unit mesin bor leg drill Shenyang-YT29A adalah 22,93 m3/shift/alat bor atau 2,08
m3/jam/alat bor (Lampiran P). Setelah dikonversikan dengan densitas batuan yang
dibongkar yaitu 2,20 ton/m3, maka didapatkan tonase batuan yang terbongkar adalah
50,45 ton dan hasil itu tidak sesuai dengan target yang dicapai
BAB V
PEMBAHASAN

Untuk mengetahui scecara jelas kinerja dari mesin bor leg drill Shenyang-YT29A
dan faktor-faktor yang mempengaruhi produksi pemboran, maka akan dibahas
mengenai mekanisme pemboran, tingkat kesediaan alat, umur pakai batang bor dan
produksi pemboran yang didalamnya mencakup seluruh variabel yang
mempengaruhi kegiatan pemboran. Disamping itu akan dibahas pula solusi untuk
memenuhi target produksi yang telah ditetapkan.
5.1 Tingkat Ketersediaan Mesin Bor
5.1.1 Ketersediaan Fisik
Nilai ketersediaan fisik mesin bor adalah 98,18% (Lampiran J). Nilai
ketersediaan fisik alat menurut Drevdahl (1968:1-7) termasuk baik karena lebih dari
90%.
Faktor yang mempengaruhi ketersediaan fisik adalah jumlah jam kerja, waktu
menunggu alat dan jumlah waktu yang digunakan untuk perbaikan alat. Nilai ketersediaan
fisik mesin bor menunjukkan perbandingan antara jumlah jam dimana alat seharusnya dapat
dipergunakan dengan waktu perbaikan dan perawatan cukup kecil yaitu 54,50 menit . Hal ini
menunjukkan bahwa waktu perbaikan tidak terlalu mengganggu kesiapan alat untuk bekerja.
5.1.2 Ketersediaan mekanik
Nilai ketersediaan mekanik mesin bor Leg Drill Shenyang-YT29A adalah 86,56%
(Lampiran J). Nilai ketersediaan mekanik alat menurut Drevdahl (1968:1-7)
termasuk sedang karena kurang dari 90%. Faktor yang mempengaruhi ketersediaan
mekanik adalah jumlah jam kerja alat dan waktu yang digunakan untuk perbaikan alat. Nilai
ketersediaan mekanik menunjukkan bahwa perbandingan antara jumlah kerja dan waktu
perbaikan alat sudah efisien. Walaupun alat bor yang digunakan sudah berumur cukup tua,
tetapi nilai waktu perbaikan alat cukup kecil. Hal ini menunjukkan bahwa tidak banyak terjadi
kerusakan, sehingga komponen bor secara umum dalam keadaan baik karena nilai
ketersediaan mekanik lebih dari 80%.
5.1.3 Persen Pemakaian Ketersediaan
Nilai pemakaian ketersediaan mesin bor Leg Drill Shenyang-YT29A adalah 54,20%
(Lampiran J) dan menurut Drevdahl (1968:1-7) termasuk kurang baik karena dibawah
70%, artinya pengoperasian alat tidak efisien.
Faktor yang mempengaruhi pemakaian ketersediaan alat adalah jam kerja alat dan
waktu menunggu alat. Nilai pemakaian ketersediaan mesin bor menunjukkan bahwa
perbandingan antara jumlah jam kerja alat yaitu 351,15 menit dengan jumlah jam menunggu
alat yaitu 254,25 menit menunjukkan jam kerja alat lebih kecil daripada jam kerja menunggu
alat. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan alat tidak efisien karena lebih sedikit waktu
yang dipergunakan untuk beroperasi.
5.1.4 Ketersediaan Efektif
Nilai ketersediaan efektif mesin bor adalah 53,21% (Lampiran J). Ketersediaan
efektif alat menurut Drevdahl (1968:1-7) termasuk kurang baik karena di bawah 70% ,
artinya pengoperasian alat tidak efisien.
Hal ini berarti bahwa penggunaan alat belum efisien karena sedikit waktu yang
digunakan untuk berproduksi yaitu 351,25 menit dari waktu yang sudah terjadwal yaitu
660 menit. Waktu yang digunakan untuk perbaikan tidak terlalu berpengaruh karena
nilainya jauh lebih kecil dibanding jumlah jam kerja alat dan waktu menunggu alat.
5.2 Kinerja Mesin Bor
Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja mesin bor adalah,
1. Umur pakai mesin bor
2. Umur Batang Bor
3. Efisiensi mesin bor
4. Efisiensi kerja pemboran
5.2.1 Umur Pakai Mesin Bor
Umur pakai mesin bor leg drill berdasarkan spesifikasinya adalah 5
tahun. Mesin bor leg drill untuk penyediaan lubang ledak pada tambang bawah
tanah di PT.KSP yang berlokasi di tambang bawah tanah UBPE Pongkor, Antam
digunakan sejak tahun 2009. Walaupun umur pakai alat belum berumur 5 tahun
selalu dilakukan perbaikan serta perawatan secara berkala dan menyeluruh yang
dilakukan oleh PT.KSP, mesin bor tersebut dapat digunakan secara optimum
untuk penyediaan lubang ledak guna memperlancar dalam kemajuan tunnel. Hal
ini ditunjukkan dengann cukup tingginya nilai kesediaan fisik dan nilai kesediaan
mekanik yang dimiliki mesin bor tersebut.
5.2.2 Umur Pakai Batang Bor
Umur dari batang bor merupakan jumlah kedalaman total yang diperoleh
dalam kegiatan pemboran sampai batang bor tersebut ditetapkan tidak layak lagi
digunakan dan satuan umur pakainya adalah meter pemboran (drm).
Faktor yang mempengaruhi umur dari rangkaian batang bor tersebut selama
pengamatan adalah kurangannya ketersediaan angin dan air untuk pemboran
sehingga menyulitkan proses flushing dan pemboran. Tekanan air harus lebih dari 3,5
Bar dan tekanan angin harus lebih dari 6,5 Bar. Karena jika tekanan air dan angin tidak
terpenuhi maka kerja mesin akan maksimal dan hal itu akan merusak komponen dari
batang bor. Air pada pemboran difungsikan untuk melunakkan dinding batuan yang
dibor sehingga mempermudah kerja pemboran sedangkan angin digunakan untuk
membersihkan lubang bor. Selain kurangnya ketersediaan angin dan air, kondisi
batuan yang dibor juga mempengaruhi umur dari mata bor. Dari analisis pengujian
kuat tekan didapatkan 72 MPa dimana batuan tersebut memiliki kekerasan yang
sedang. Hal tersebut akan mempengaruhi abrasivitas batuan yang nantinya juga
berpengaruh pada umur mata bor. Rangkaian bagian batang bor tersebut memiliki
umurnya masing-masing, umur pakai mata bor (cross bit) adalah 119,59 drm, umur
extension rod adalah 202,40 drm, umur coupling slevee adalah 263,11 drm, dan umur
shank adapter adalah 328,89 drm. (Lampiran Q).
Umur mata bor dapat diperpanjang jika dilakukan penajaman kembali mata
bor (Bit Grinding). Sedangkann untuk memperpanjang umur batang bor dapat
dilakukan berdasarkan ketentuan WI (Work Instruction) dan SOP (Standard
Operasional Prosedure). Upaya-upaya tersebut dapat memperpanjang umur dari
komponen batang bor.
5.2.3 Efisiensi Mesin Bor
Efisiensi mesin bor dinilai berdasarkan tingkat penggunaan alat dari waktu
yang tersedia untuk melakukan pemboran sehingga dalam hal ini efisiensi kerja
mesin bor tergantung pada penggunaan efektif mesin bor (UA). Efisiensi kerja
mesin bor Leg Drill Shenyang-YT29A adalah 54,20 % (Lampiran J). Efisiensi kerja mesin
bor tersebut kurang baik karena dibawah 70%, ini dikarenakan banyak waktu operasi
dibandingkan waktu alat tersebut digunakan secara efektif .Efisiensi kerja mesin bor akan
mempengaruhi produksi pemboran, semakin besar efisiensi kerja mesin bor makan semakin
besar pula produksi yang dihasilkan.
5.2.4 Efisiensi Kerja Pemboran
Efisiensi pemboran sangat mempengaruhi produksi pemboran dimana
peningkatan efisiensi kerja pemboran akan menambah jumlah waktu yang tersedia untuk
melakukan kegiatan pemboran sehingga produksi pemboran secara otomatis akan
meningkat.
Waktu kerja efektif selama pengamatan adalah 5,54 jam per hari yang diperoleh
dari pengurangan jam kerja teoritis per hari yaitu 11 jam dengan jumlah waktu tidak
efektif yaitu 5,46 jam (Tabel 5.).
1. Hambatan yang tidak dapat ditekan:
- Waktu Memasuki Terowongan = 31,42 menit
- Waktu menuju Front Kerja = 18,27 menit
- Waktu Charging dan Blasting = 31,35 menit
- Waktu mucking = 63,82 menit
------------------- +
=144,86 menit
2. Hambatan yang dapat ditekan sebelum perbaikan:
- Waktu Perbaikan = 34.50 menit
- Waktu Perawatan = 20,00 menit
- Waktu Persiapan menbor = 26,34 menit
- Waktu persiapan pulang = 23,05 menit
- Waktu Istirahat lebih awal dan terlalu lama = 60,00 menit
---------------------- +
163,89 menit
Jumlah Waktu hambatan saat bekerja = 144,86 menit + 163,89 menit
= 308,75 menit
Jam kerja efektif selama pengamatan = 11 jam (308,75 menit/60)jam
= 11 jam 5,46 jam
= 5,44 jam atau 351,25 menit

Efesiensi kerja = x 100%


,
= x 100%

= 53,21 %
Persen efisiensi yang didapat adalah 53,21%. Hal ini menunjukkan bahwa waktu
yang efektif yang digunakan untuk beroperasi lebih kecil dibanding waktu hambatannya.
5.3 Produksi Pemboran
5.3.1 Kecepatan Pemboran
Pemakaian gross drilling rate dikarenakan gross drilling rate memperhitungkan
waktu untuk mengatasi hambatan yang dimana pada kegiatan pemboran tidak pernah
dilepas dari hambatan.
Kecepatan pemboran diperoleh 0,21 m/menit dengan membandingkan
kedalaman rata-rata yang dapat dicapai yaitu 1,94 m dengan waktu edar yaitu 9,20
menit untuk membuat satu lubang ledak. Kecepatan pemboran dapat ditingkatkan
dengan memperkecil waktu mengatasi hambatan. Hal tersebut dapat diupayakan dengan
pemilihan komponen pemboran yang sesuai, meningkatkan keahlian operator, dan
perawatan terhadap komponen mesin bor.
5.3.2 Volume Kesetaraan
Volume setara sangat dipengaruhi dengan pola pemboran, geometri pemboran
dan jumlah lubang ledak. Volume setara yang diterapkan menggunakan pola pemboran
burn-cut dengan kemajuan lubang bukaan sekali peledakan 1,7 m dengan jumlah
lubang ledak yaitu 44 lubang isi dang 1 lubang kosong dengan kedalaman 1,94 m yang
dapat diperoleh per hari adalah 0,311 m3/menit. (Lampiran P)
5.3.3 Produktivitas Pemboran
Poduktivitas pemboran sangat dipengaruhi oleh kecepatan pemboran, volume
setara dan efesiensi kerja pemboran. Kecepatan pemboran sangat dipengaruhi oleh
waktu hambatan, jika waktu hambatan pada waktu edarnya kecil maka kecepatan
pemborannya akan lebih besar dan produktivitas pemboran meningkat. Volume setara
sangat dipengaruhi oleh kemajuan peledakannya, semakin baik hasil dari sekali
peledakan maka akan mempengaruhi produktivitas pemborannya. Efisiensi kerja
pemboran sangat dipengaruhi oleh waktu kerja efektif yang digunakan dibanding dengan
waktu kerja teoritisnya.
Produktivitas Pemboran = kecepatan pemboran x volume setara x eff.kerja x 60 x 11
= 0,21 m/menit x 0,311 m3/menit x 0,5321 x 60 x 11
= 22,93 m3/shift/alat bor atau 2,08 m3/jam/alat bor

Dengan kecepatan pemboran 0,23 m/menit, volume setara 0,311 m3/menit, dan
efisiensi kerja 53,21% maka produktivitas pemborannya 22,93 m3/shift/alat bor atau
2,08 m3/jam/alat bor (Lampiran P). Setelah dikonversikan dengan densitas batuannya
yaitu 2,2 ton/m3, hasil produktivitas pemboran tersebut belum dapat dikatakan
mencapai target kemajuan sekali peledakan sepanjang 1,7 m yaitu 59,84 ton/shift/alat
bor (Lampiran N). Alasan tidak tercapainya target kemajuan 1,7 m dikarenakan kondisi
batuan tidak merata dan jumlah lubang bor sebanyak 45 tidak tercapai, kedalaman
lubang bor tidak sama antara satu dengan lainnya.
5.4 Kemungkinan Peningkatan Kerja Pemboran
Upaya peningkatan efisiensi kerja dilakukan dengan cara mereduksi waktu
hambatan yang dapat dihindari sehingga memperkecil waktu kerja tidak efektif. Upaya
itu dilakukan dengan cara menurunkan waktu kegiatan yang dapat ditekan.
Dari waktu perbaikan 34,5 menit dapat ditekan menjadi 25 menit . Pada waktu
perawatan mesin bor 20 menit dapat ditekan menjadi 10 menit . Upaya penekanan
waktu untuk perbaikan dan perawatan itu dilakukan dengan cara penggunaan mesin
bor yang baik dan benar sehingga meminimalisir kerusakan yang terjadi sehingga
waktu untuk perbaikan dan perawatan berkurang.
Waktu persiapan membor 26,34 menit dapat ditekan menjadi 15 menit dengan cara
melakukan scalling dan washing secara bersamaan, selain itu pengecekan terhadap
adanya ketersediaan angin dan air juga perlu dilakukan sehingga akan lebih
mempersingkat waktu .
Waktu persiapan pulang 23,05 menit dapat ditekan menjadi 10 menit dengan cara
segera melakukan housekeeping setelah kegiatan operasi pemboran selesai
sehingga dapat mempersingkat waktu. Kemudian jalur untuk pulang dari dalam
bukan dari luar. Jika lewat jalur luar maka dibutuhkan sekitar 20 menit untuk
sampai ke site. Jika melewati jalur dalam atau dari level 600 Ciurug ke level 500
Ciguha maka dibutuhkan waktu sekitar 10 menit.
Sehingga uraian perhitungan efisiensi adalah sebagai berikut:
1. Hambatan yang tidak dapat ditekan:
- Waktu Memasuki Terowongan = 31,42 menit
- Waktu menuju Front Kerja = 18,27 menit
- Waktu Charging dan Blasting = 31,35 menit
- Waktu mucking = 63,82 menit
------------------- +
=144,86 menit
2. Hambatan yang dapat ditekan diusulkan:
- Waktu Perbaikan = 25,00 menit
- Waktu Perawatan = 10,00 menit
- Waktu Persiapan menbor = 15,00 menit
- Waktu persiapan pulang = 10,00 menit
- Waktu Istirahat lebih awal dan terlalu lama = 30,00 menit
---------------------- +
90,00 menit

Jumlah Waktu kerja efektif sesudah perbaikan = 144,86 menit + 90,00 menit
= 234,86 menit
Jam kerja efektif sesudah perbaikan = 11 jam (234,86 menit/60)jam
= 11 jam 3,91 jam
= 7,09 jam = 425,14

Efesiensi kerja = x 100%


,
= x 100%
= 64,41 %
Dengan adanya upaya mereduksi waktu hambatan yang dapat dihindari maka
waktu kerja efektif akan bertambah menjadi 7,09 jam yang diperoleh dari pengurangan
jam kerja teoritis dengan jumlah waktu tidak efektif. Dengan demikian efisiensi kerja
pemboran menjadi meningkat menjadi 64,41%.
Dari penekanan yang dilakukan akan berpengaruh pada meningkatnya produksi
pemboran dan efisiensi pemboran
Peningkatan efisiensi pemboran meningkatkan produktifitas pemboran karena
waktu yang tersedia untuk kegiatan operasi pemboran menjadi bertambah.
Produktivitas pemboran = kecepatan pemboran x volume setara x eff. Kerja x 60 x 11
= 0,21 m/menit x 0,311 m3/menit x 0,6441 x 60 x 11
= 27,76 m3/shift/alat bor atau 2,52 m3/jam/alat bor

Tabel 5.1
Hambatan Kerja alat bor (Lampiran K)
Hasil Upaya
Jenis Hambatan Pengamatan Peningkatan
(menit) (menit)
A. Tidak dapat ditekan
waktu memasuki terowongan 31,42 31,42
waktu menuju front kerja 18,27 18,27
waktu pemasangan mesh dan rockbolt/mesh
146,60 146,60
front
waktu charging & Blasting 31,35 31,35
waktu mucking 63,82 63,82

B. Dapat Dihindari
Waktu perbaikan 34.5 25
waktu perawatan 20 10
waktu persiapan menbor 26,34 15
Waktu persiapan pulang 23,05 10
waktu istirahat lebih awal dan terlalu lama 60 30

Total 308,75 234,86


Jumlah Jam Kerja teoritis perhari 660,00 660,00
Jumlah waktu kerja efektif 351,25 425,14
Effesiensi kerja (%) 53,21 64,41
Catatan: Waktu pemasangan Mesh dan Rockbolt masih berkaitan dengan kerja mesin bor
sehingga pada total kerja efektif tidak diikut sertakan.
Sebelum adanya perbaikan produksi pemboran yang dihasilkan sebesar 22,93
m3/shift atau 2,08 m3/jam, namun karena adanya waktu perbaikan maka produksi
pemboran meningkat menjadi 27,76 m3/shift atau 2,52 m3/jam dari hasil
produktivitasnya setelah dikonversikan dengan densitas batuan yang dibor yaitu 2,20
ton/m3 tonase yang dihasilkan sebesar 61,07 ton/shift/alat bor dan dapat dikatakan
mencapai target produksi (Lampiran N)
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan uraian dari bab- bab sebelumnya maka dapat diambil beberapa kesimpulan
dan saran sebagai berikut:
6.1 Kesimpulan
1. Efisiensi kerja pemboran selama pengamatan di lapangan didapatkan 54,20%.
Efisiensi pemboran tersebut termasuk kurang baik karena dibawah 70%. Hal itu
dikarenakan waktu siap atau waktu dimana alat tidak dipergunakan padahal alat
tersebut siap beroperasi terlalu besar yaitu sebesar 254,25 menit ditambah
dengan waktu perbaikan serta perawat sebesar 54,50 menit.
2. Produktifitas mesin bor Shenyang-YT29A adalah 22,93 m3/shift/alat bor atau
2,22 m3/jam/alat bor. Dengan efisiensi pemboran sebesar 53,21% dan densitas
batuan yang digali sebesar 2,20 ton/m3, hasil produksi tersebut belum dapat
mencapai target kemajuan penggalian lubang bukaan karena produksi yang
dihasilkan dengan produktifitas dan densitas diatas adalah 50,45 ton/shift,
sedangkan untuk mencapai target dengan kemajuan penggalian lubang bukaan
sepanjang 1,7 m per peledakan adalah 59,84 ton/shift.
3. Umur mata bor dan batang bor dipengaruhi oleh medan kerja seperti kondisi
batuan dimana batuan tersebut memiliki kekerasan yang sedang. Hal tersebut
akan mempengaruhi abrasivitas batuan yang nantinya juga berpengaruh pada
umur mata bor. Kemudian selain dipengaruhi medan kerja, operator, dan
ketersediaan air dan angin juga berpengaruh pada umur dari batang bor dan
mata bor karena air dan angin akan membantu proses pembilasan juga
membantu proses pemboran dalam menggali batuan karena jika tekanan air
>3,5 Bar dan tekanan angin >6,5 Bar maka kerja mesin bor tanpa adanya
dukungan air dan angin akan merusak komponen batang bor sehingga komponen
batang bor tersebut cepat aus. Hal itu akan mengurangi umur dari komponen
batang bor itu sendiri.
6.2 Saran
1. Setelah adanya upaya peningkatan efisiensinya dengan cara memperkecil waktu
hambatan yang berupa waktu perbaikan menjadi 25 menit dan waktu perawatan
menjadi 10 menit dengan cara menggunakan alat dengan baik dan benar
sehingga meminimalisir waktu perbaikan dan perawatan, waktu persiapan
pemboran menjadi 15 menit dengan cara melakukan scalling dan washing secara
bersamaan, waktu persiapan pulang menjadi 10 menit dengan cara mempercepat
housekeeping sehingga waktu persiapan pulang dapat ditekan, maka efisiensi
kerja pemboran dapat mengalami peningkatan menjadi 64,41%. Dengan adanya
perbaikan jam kerja yang tersedia maka produksi pemboran meningkat menjadi
27,76 m3/shift atau 2,52 m3/jam dan produksi sudah dapat mencapai target
dengan kemajuan lubang penggalian 1,7 m adalah 59,84 ton/shift .
2. Untuk mempertahankan kecepatan pemboran maka perlu adanya penajaman
kembali mata bor (Bit Grinding) dengan alat yang dinamakan grinder sehingga
kedalaman yang dihasilkan memuaskan dan mencapai target. Hal ini dilakukan
juga untuk memperpanjang umur mata bor.
3. Untuk memperpanjang umur batang bor, diupayakan agar operator menggunakan
WI (Work Instruction) dan SOP (Standar Operational Prosedure) pemboran
yang telah ditetapkan dan tetap menjaga kestabilan penyediaan air dan angin
untuk pemboran.
DAFTAR PUSTAKA

1. Barlian Dwinagara., (2010), Panduan Praktikum Teknik Peledakan, Laboratorium


Pemboran dan Peledakan Jurusan Teknik Pertambangan UPN VETERAN
Yogyakarta

2. Drevdahl, Er, Jr, (1968), Profitable Use of Excavation Equipment, Techinical


Publication desert L Inc, Arizona.

3. http://wapedia.mobi/id/Emas:

4. Jimeno,.CL., (1995), Drilling And Blasting Of Rock, AA Bakema, Roterdam .

5. Joel Stein., (1997), Drilling The Manual Of Methods, Application And


Management, CRC, Pres LLC.

6. Johanes,Kastolan., (2004), Kompetensi Matematika Kelas 2 SMA Semester Pertama,


Jakarta.

7. Laporan Geoteknik PT. UBPE Antam (2010), Pongkor, Bogor, Jawa Barat.

8. Laporan Struktur Geologi daerah PT.UBPE Antam (2010), Pongkor, Bogor, Jawa
Barat

9. Mc Gregor (1967), The Drilling of Rock, Cr books,Ltd, Maclaren Company, London.

10. Peta wilayah Eksplorasi dan Eksploitasi PT. UBPE Antam (2010), Pongkor, Bogor,
Jawa Barat

11. S. Koehler., (1967), Mining Methods And Equipment, Montana College of Mineral
science And Technology, Chicago.IL.

12. Singgih Saptono, S. Koesnaryo (1998), Pemboran dan Peledakan Batuan,


Laboratorium Pemboran dan Peledakan Jurusan Teknik Pertambangan UPN
VETERAN Yogyakarta

13. Koesnaryo S., (2001), Pemboran untuk Penyediaan Lubang Ledak, Jurusan Teknik
Pertambangan UPN VETERAN Yogyakarta

You might also like