You are on page 1of 108

EFEK PENGOLAHAN TERHADAP GIZI BAHAN PANGAN

03.59 HENDRAYANA TAUFIK

EFEK PENGOLAHAN TERHADAP GIZI BAHAN PANGAN


PENDAHULUAN
Ada dua hal penting yang dipertimbangkan mengapa pengolahan pangan perlu dilakukan. Yang
pertama adalah untuk mendapatkan bahan pangan yang aman untuk dimakan sehingga nilai
gizi yang dikandung bahan pangan tersebut dapat dimanfaatkan secara maksimal. Yang kedua
adalah agar bahan pangan tersebut dapat diterima, khususnya diterima secara sensori, yang
meliputi penampakan (aroma, rasa, mouthfeel, aftertaste) dan tekstur (kekerasan, kelembutan,
konsistensi, kekenyalan, kerenyahan).
Di satu sisi pengolahan dapat menghasilkan produk pangan dengan sifat-sifat yang diinginkan
yaitu aman, bergizi dan dapat diterima dengan baik secara sensori. Di sisi lain, pengolahan juga
dapat menimbulkan hal yang sebaliknya yaitu menghasilkan senyawa toksik sehingga produk
menjadi kurang atau tidak aman, kehilangan zat-zat gizi dan perubahan sifat sensori ke arah
yang kurang disukai dan kurang diterima seperti perubahan warna, tekstur, bau dan rasa yang
kurang atau tidak disukai. Dengan demikian diperlukan suatu usaha optimasi dalam suatu
pengolahan agar apa-apa yang diinginkan tercapai dan apa yang tidak diinginkan ditekan
sampai minimal. Untuk itulah pentingnya pengetahuan akan pengaruh pengolahan terhadap
nilai gizi dan keamanan pangan. Walaupun demikian, hal yang lebih penting adalah bagaimana
seharusnya melakukan suatu pengolahan pangan agar bahan pangan yang kita hasilkan bernilai
gizi tinggi dan aman.
Jika kita berbicara pengolahan pangan maka sebenarnya kita berbicara suatu proses yang
terlibat dari mulai penanganan bahan pangan setelah bahan pangan tersebut dipanen (nabati)
atau disembelih (hewani) atau ditangkap (ikan) sampai kepada usaha-usaha pengawetan dan
pengolahan bahan pangan menjadi produk jadi serta penyimpanannya. Disamping itu,
dimaksudkan pula pengolahan yang biasa dilakukan oleh ibu-ibu di dapur dalam menyiapkan
masakan yang siap untukdihidangkan. Pemahaman yang benar dalam pengolahan makanan
sangat dibutuhkan oleh ibu-ibu agar makanan yang disiapkannya aman dikonsumsi dan tidak
banyak berkurang gizinya.
1. Efek Pengolahan terhadap Protein
Tujuan pengolahan pada rumah tangga adalah a) meningkatkan daya cerna dan kenampakan,
b) memperoleh flavor, c) dan merusak mikroorganisme dalam bahan pangan. Sedangkan proses
yang penting dalam pengolahan adalah : a) perebusan, b) pengukusan, c) pengovenan, d)
penggorengan, e) pembakaran, f) pengalengan dan g) dehidrasi. Di dalam bahan pangan zat
gizi makro tidak berdiri sendiri, melainkan saling berdampingan, sehingga efek pengolahanpun
terjadi juga karena efek yang bersamaan dengan senyawa tersebut. Beberapa proses pemanasan
seperti penggorengan, oven, perebusan dilaporkan memberi efek yang merugikan terhadap nilai
gizi seperti pada cerealia, minyak biji kapas, dan pakan ternak. Efek tersebut karena reaksi
antara amino group dari asam amino esensial seperti lisin dengan gula reduksi yang terkandung
bersama-sama protein dalam bahan pangan, yang disebut reaksi Maillard. Pemanasan lebih
lanjut dapat menyebabkan asam amino : arginin, triptofan, dan histidin bereaksi dengan gula
reduksi. Ketersediaan lisin dan asam amino dari protein yang diproses dengan pemanasan lebih
kecil daripada protein yang tidak diproses karena terjadinya reaksi Maillard.
Pengolahan komersial melibatkan proses pemanasan, pendinginan, pengeringan, penambahan
bahan kimia, fermentasi, radiasi dan perlakuan-perlakuan lainnya. Dari semua proses ini,
pemanasan merupakan proses yang paling banyak diterapkan dan dipelajari. Oleh karena itu
pembahasan akan dititikberatkan pada pengaruh pemanasan pada sifat kimia dan nilai gizi
protein, khususnya pada pemanasan yang moderat.
Pemanasan protein dapat menyebabkan terjadinya reaksi-reaksi baik yang diharapkan maupun
yang tidak diharapkan. Reaksi-reaksi tersebut diantaranya denaturasi, kehilangan aktivitas
enzim, perubahan kelarutan dan hidrasi, perubahan warna, derivatisasi residu asam amino,
cross-linking, pemutusan ikatan peptida, dan pembentukan senyawa yang secara sensori aktif.
Reaksi ini dipengaruhi oleh suhu dan lama pemanasan, pH, adanya oksidator, antioksidan,
radikal, dan senyawa aktif lainnya khususnya senyawa karbonil. Beberapa reaksi yang tidak
diinginkan dapat dikurangi. Penstabil seperti polifosfat dan sitrat akan mengikat Ca2+, dan ini
akan meningkatkan stabilitas panas protein whey pada pH netral. Laktosa yang terdapat pada
whey pada konsentrasi yang cukup dapat melindungi protein dari denaturasi selama
pengeringan semprot (spray drying).
Kebanyakan protein pangan terdenaturasi jika dipanasakan pada suhu yang moderat (60-90oC)
selama satu jam atau kurang. Denaturasi adalah perubahan struktur protein dimana pada
keadaan terdenaturasi penuh, hanya struktur primer protein saja yang tersisa, protein tidak lagi
memiliki struktur sekunder, tersier dan quarterner. Akan tetapi, belum terjadi pemutusan ikatan
peptida pada kondisi terdenaturasi penuh ini. Denaturasi protein yang berlebihan dapat
menyebabkan insolubilisasi yang dapat mempengaruhi sifat-sifat fungsional protein yang
tergantung pada kelarutannya.
Dari segi gizi, denaturasi parsial protein sering meningkatkan daya cerna dan ketersediaan
biologisnya. Pemanasan yang moderat dengan demikian dapat meningkatkan daya cerna
protein tanpa menghasilkan senyawa toksik. Disampingitu, dengan pemanasan yang moderat
dapat menginaktivasi beberapa enzim seperti protease, lipase, lipoksigenase, amilase,
polifenoloksidase dan enzim oksidatif dan hidrolotik lainnya. Jika gagal menginaktivasi enzim-
enzim ini maka akan mengakibatkan off-flavour, ketengikan, perubahan tekstur, dan perubahan
warna bahan pangan selama penyimpanan. Sebagai contoh, kacang-kacangan kaya enzim
lipoksigenase. Selama penghancuran bahan, untuk mengisolasi protein atau lipidnya, dengan
adanya oksigen enzim ini bekerja sehingga dihasilkan senyawa hasil oksidasi lipid yang
menyebabkan off-flavour. Oleh karena itu, sering dilakukan inaktivasi enzim dengan
menggunakan pemanasan sebelum penghancuran. Sebagai tambahan, perlakuan panas yang
moderat juga berguna untuk menginaktivasi beberapa faktor aninutrisi seperti enzim antitripsin
dan lektin.
Reaksi Maillard (interasksi protein dan gula pereduksi)
Reaksi antara protein dengan gula-gula pereduksi merupakan sumber utama menurunnya nilai
gizi protein pangan selama pengolahan dan penyimpanan. Reaksi Maillard ini dapat terjadi
pada waktu pembuatan (pembakaran) roti, produksi breakfast cereals (serpihan jagung, beras,
gandum, dll) dan pemanasan daging terutama bila terdapat bahan pangan nabati ; tetapi yang
paling penting adalah selama pengolahan susu (sapi) dengan pemanasan, karena susu
merupakan bahan pangan berprotein tinggi yang juga mengandung gula pereduksi (laktosa)
dalam jumlah tinggi.
Reaksi Maillard Dalam Produk Bahan Pangan
Pemasakan dirumah-rumah tangga dan pengalengan makanan secara komersil hanya memberi
sedikit pengaruh terhadap nilai gizi protein bahan pangan. Akan tetapi proses industri lainnya,
yang menyangkut penggunaan panas pada kadar air yang rendah, misalnya selama pengeringan
dan pembakaran (roti), serta proses penyimpanan selanjutnya dari produk yang dihasilkan,
dapat mengakibatkan penurunan gizi yangcukup besar.
Reaksi Maillard dapat terjadi, misalnya selama produksi pembakaan roti. Kehilangan tersebut
terutama terjadi pada bagian yang berwarna coklat (crust), yang mungkin karena terjadinya
reaksi dengan gula pereduksi yang dibentuk selama proses fermentasi tetapi tidak habis
digunakan oleh khamir (dari ragi roti). Meskipun gula-gula nonreduksi (misalnya sukrosa)
tidak bereaksi dengan protein pada suhu rendah, tetapi pada suhu tinggi ternyata dapat
menimbulkan reaksi Maillard, yang pada suhu tinggi terjadi pemecahan ikatan glikosidik dari
sukrosa dan menghasilkan glukosa dan fruktosa.
Perubahan Kimia dan Nilai Gizi Asam Amino
Pada pengolahan dengan menggunakan panas yang tinggi, protein akan mengalami beberapa
perubahan. Perubahan-perubahan ini termasuk rasemisasi, hidrolisis, desulfurasi, dan
deamidasi. Kebanyakan perubahan kimia ini bersifat ireversibel, dan beberapa reaksi dapat
menghasilkan senyawa toksik.
Pengolahan panas pada pH alkali seperti pada pembuatan texturized foods dapat
mengakibatkan rasemisasi parsial dari residu L-asam amino menjadi D-asam amino. Laju
rasemisasi residu dipengaruhi oleh daya penarikan elektron dari sisi samping. Dengan
demikian, residu seperti Asp, Ser, Cys, Glu, Phe, Asn, dan Thr akan terasemisasi lebih cepat
dari residu asam amino lainnya. Laju rasemisasi juga dipengaruhi oleh konsentrasi ion
hidroksil, tetapi tidak tergantung pada konsentrasi protein itu sendiri. Sebagai tambahan,
karbanion yang terbentuk pada suhu alkali dapat mengalami reaksi -eliminasi menghasilkan
dehidroalanin.
Rasemisasi residu asam amino dapat mengakibatkan penurunan daya cerna protein karena
kurang mampu dicerna oleh tubuh. Kerugian akan semakin besar apabila yang terasemisasi
adalah asam amino esensial. Pemanasan protein pada pH alkali dapat merusak beberapa residu
asam amino seperti Arg, Ser, Thr dan Lys. Arg terdekomposisi menjadi ornithine. Jika protein
dipanaskan pada suhu sekitar 200oC, seperti yang terjadi pada permukaan bahan pangan yang
mengalami pemanggangan, broiling, grilling, residu asam aminonya akan mengalami
dekomposisi dan pirolisis. Beberapa hasil pirolisis yang diisolasi dari daging panggang ternyata
bersifat sangat mutagenik. Yang paling bersifat mutagenik adalah dari pirolisis residu Trp dan
Glu. Satu kelas komponen yaitu imodazo quinoline (IQ) merupakan hasil kondensasi kreatinin,
gula dan beberapaasam amino tertentu seperti Gly, Thr, Al dan Lys, komponen ini juga toksik.
Senyawa-senyawa toksik ini akan jauh berkurang apabila pengolahan tidak dilakukan secara
berlebihan (suhu lebih rendah dan waktu yang lebih pendek).
2. Efek Pengolahan terhadap Karbohidrat
Pemasakan karbohidrat diperlukan unutk mendapatkan daya cerna pati yang tepat, karena
karbohidrat merupakan sumber kalori. Pemasakan juga membantu pelunakan diding sel
sayuran dan selanjutnya memfasilitasi daya cerna protein. Bila pati dipanaskan, granula-
granula pati membengkak dan pecah dan pati tergalatinisasi. Pati masak lebih mudah dicerna
daripada pati mentah.
Dalam bahan pangan keberadaan karbohidrat kadang kala tidak sendiri melainkan
berdampingan dengan zat gizi yang lain seperti protein dan lemak. Interaksi antara karbohidrat
(gula) dengan protein telah dibahas, seperti tersebut diatas. Bahan pangan yang dominan
kandungan karbohidratnya seperti singkong, ubi jalar, gula pasir, dll. Dalam pengolahan yang
melibatkan pemanasan yang tinggi karbohidrat terutama gula akan mengalami karamelisasi
(pencoklatan non enzimatis). Warna karamel ini kadang-kadang justru dikehendaki, tetapi jika
dikehendaki karamelisasi yang berlebihan sebaliknya tidak diharapkan .
Faktor pengolahan juga sangat berpengaruh terhadap kandungan karbohidrat, terutama
seratnya. Beras giling sudah barang tentu memiliki kadar serat makanan dan vitamin B1
(thiamin) yang lebih rendah dibandingkan dengan beras tumbuk. Demikian juga pencucian
beras yang dilakukan berulang-ulang sebelum dimasak, akan sangat berperan dalam
menurunkan kadar serat. Pengolahan buah menjadi sari buah juga akan menurunkan kadar
serat, karena banyak serat akan terpisah pada saat proses penyaringan.
3. Efek Pengolahan Terhadap Lemak
Pemasakan yang biasa dilakukan pada rumah tangga sedikit sekali berpengaruh terhadap
kandungan lemak, tetapi pemanasan dalam waktu lama seperti penggorengan untuk beberapa
kali, maka asam lemak esensial akan rusak dan terbentuk produk polimerisasi yang beracun.
Lemak yang dipanaskan berulangkali dapat menurunkan pertumbuhan pada tikus percobaan.
Dengan proses pemanasan, makanan akan menjadi lebih awet, tekstur, aroma dan rasa lebih
baik serta daya cerna meningkat.salah satu komponen gizi yang dipengaruhi oleh prose
pemanasan adalah lemak. Akibat pemanasan daging maka lemak dalam daging akan mencair
sehingga menambah palatabilitas daging tersebut.hal ini disebabkan oleh pecahnya komponen-
komponen lemak menjadi produksi volatil seperti aldehid, keton, alkohol, asam, dan
hidrokarbon yang sangat berpengaruh terhadap pembentukan flavor.
Selama penggorengan bahan pangan dapat terjadi perubahan-perubahan fisikokimiawi baik
pada bahan pangan yang digoreng, maupun minyak gorengnya. Apabila suhu penggorengannya
lebih tinggi dari suhu normal (168-196 oC) maka akan menyebabkan degradasi minyak goreng
berlangsung dengan cepat (antara lain titik asap menurun). Titik asap minyak goreng
tergantung pada kadar gliserol bebas. Titik asap adalah saat terbentuknya akrolein yang tidak
diinginkan dan dapat menimbulkan rasa gatal pada tenggorokan.
Lemak hewan (babi dan kambing) banyak mengandung asam lemak tidak jenuh seperti oleat
dan linoleat. Asam lemak ini dapat mengalami oksidasi, sehingga timbul bau tengik pada
daging. Proses penggorengan pada suhu tinggi dapat mempercepat proses oksidasi. Hasil
pemecahan dan oksidasi ikatan rangkap dari asam lemak tidak jenuh adalah asam lemak bebas
yang merupakan sumber bau tengik. Dengan adanya anti oksidan dalam lemak seperti vitamin
E (tokoferol), maka kecapatan proses oksidasi lemak akan berkurang. Sebaliknya dengan
adanya prooksidan seperti logam-logam berat (tembaga, besi, kobalt, dan mangan) serta logam
porfirin seperti pada mioglobin, klorofil, dan enzim lipoksidase maka lemak akan dipercepat.
Kecepatan oksidasi berbanding lurus dengan tingkat ketidak jenuhan asam lemak. Asam
linoleat dengan 3 ikatan rangkap akan lebih mudah teroksidasi daripada asam lemak linoleat
dengan 2 ikatan rangkapnya dan oleat dengan 1 ikatan rangkapnya. Pada minyak kedelai kurang
baik dijadikan minyak goreng, karena banyak mengandung linoleat. Sedangkan minyak jagung
baik digunakan sebagai minyak goreng, karena linoleatnya rendah. Untuk mengatasi masalah
pada minyak kedelai, maka dilakukan proses hidrgenasi sebagian untuk menurunkan kadar
asam linoleatnya.
Reaksi-reaksi yang terjadi selama degradasi asam lemak didasarkan atas penguraian asam
lemak. Produk degradasi terbentuk menjadi dua :
Hasil dekomposisi tidak menguap, yang tetap terdapat dalam minyak dan diserap oleh
bahan panganyang digoreng.
Hasil dekomposisi yang dapat menguap, yang keluar bersama-sama uap pada waktu
lemak dipanaskan.
Pembentukan produk yang tidak menguap sebagian besar disebabkan olehotooksidasi,
polimeriasai thermal, dan oksidasi thermal dari asam lemak tidak jenuh yang terdapat pada
minyak goreng. Reaksi-reaksi minyak dibagi atas tiga tahap, yaitu inisiasi, propagasi
(perambatan), dan terminasi (penghentian). Oksidasi dari hidroperoksida yang lebih lanjut juga
menghasilkan produk-produk degradasi dengan tiga tipe utama yaitu pemecahan menjadi
alkohol, aldehid, asam, dan hidrokarbon, dimana hal ini juga berkontribusi dalam perubahan
warna minyak goreng yang lebih gelap dan perubahan flavor, dehidrasi membentuk keton, atau
bentuk radikal bebas yang berbentuk dimer, trimer, epksid, alkohol, dan hidrokarbon.
Seluruh komponen tersebut berkontribusi terhadap kenaikan vuiskositas dan pembentukan
fraksi NUAF (Nonurea Aduct Forming). Fraksi NUAF yang merupakan derifat dari asam
lemak yang tidak dapat membentuk kompleks dengan urea, bersifat toksis bagi manusia. Pada
dosis 2,5 % dalam makanan, fraksi ini dapat mengakibatkan keracunan yang akut pada tikus
setelah tujuh hari masa percobaan.
Jika minyak dipanaskan pada suhu tinggi dengan adanya oksigen, disebut oksidasi thermal.
Derajat ketidak jenuhan yang diukur dengan bilangan iod, akan berkurang selama pemanasan,
jumlah asam tak berkonyugasi misalnya linoleat akan berkurang dan asam berkonyugasi (asam
linoleat berkonyugasi) bertambah sampai mencapai maksimum, dan kemudian berkurang
karena proses penguraian.
Proses pemanasan dapat menurunkan kadar lemak bahan pangan. Demikian juga dengan asam
lemaknya, baik esensial maupun non esensial. Kandungan lemak daging sapi yang tidak
dipanaskan (dimasak) rata-rata mencapai 17,2 %, sedangkan jika dimasak dengan suhu 60 oC,
kadar lemaknya akan turun menjadi 11,2-13,2%.
Adanya lemak dalam jumlah berlebihan dalam bahan pangan kadang-kadang kurang
dikehendaki. Pada pengolahan pangan dengan teknik ekstrusi, diinginkan kadar lemak yang
rendah. Tepung yang kadar lemaknya telah diekstrak sebelum proses ekstrusi akan
menghasilkan produk yang mempunyai derajat pengembangan yang lebih tinggi. Kompleks
lemak dengan pati pada proses ekstrusi akan menyebabkan penurunan derajat pengembangan.

http://www.x3-prima.com/2010/02/efek-pengolahan-terhadap-gizi-bahan.html
NUTRISI DAN PERILAKU
(NUTRITION AND BEHAVIOR)
Pendahuluan
Anggapan bahwa makanan sangat mempengaruhi perilaku seseorang sebenarnya sudah lama
dikenal. Perilaku suatu bangsa atau ras sering dikaitkan dengan kebiasaan makannya.
Pengertian bahwa pemakan daging sering berdarah panas, daging kambing sering
meningkatkan perilaku seks seseorang, pemakan sayur sering bersifat lebih kalem, merupakan
beberapa contoh anggapan masyarakat kita tentang pengaruh makanan terhadap perilaku
seseorang.
Jean Anthelme Brillat-Savarin seorang filosof dari Perancis, sekitar 160 tahun yang lalu telah
menulis : The Physiology of Taste, Tell me what you eat, and I will tell you what you
are. Para sarjana Mesir kunopun telah menuliskan bahwa makanan dapat secara integral
merupakan obat, baik bagi penyakit fisik ataupun psikologisnya. Sebenarnya kisah Nabi Adam
dan Hawapun yang telah ditulis dalam kitab suci, tentang larangan Tuhan untuk memakan suatu
buah, telah pula menggambarkan bahwa kita tidak boleh makan makanan sembarangan , karena
hal demikian dapat menimbulkan penyakit fisik maupun mental (penyimpangan perilaku).
Berbagai penyakit metabolik terutama yang bersifat turunan (inborn error), menunjukkan
betapa besar pengaruh makanan terhadap pertumbuhan fisik maupun mental seseorang. 1
Dr.Peter J.DAdamo dalam bukunya Eat Right For Your Type telah menuliskan berbagai jenis
makanan yang cocok untuk berbagai jenis golongan darah. Misalnya kelompok golongan darah
O dianjurkan untuk banyak makan daging (tinggi protein dan rendah karbohidrat), kelompok
golongan darah A sebaiknya vegetarian (tinggi karbohidrat dan rendah lemak), kelompok
golongan darah B sebaiknya makanannya bervariasi, sedangkan untuk golongan darah AB yang
baik untuk golongan darah A dan B pada umumnya juga baik untuk mereka, tetapi yang tidak
baik untuk golongan darah A dan B juga tidak baik untuk mereka.2
Penelitian terhadap hubungan nutrisi dan perilaku tidaklah mudah dilakukan; pada umumnya
dilakukan dengan memakai metoda korelasi, namun dapat pula dengan melalui penelitian
eksperimental (Dietary replacement studies atau Dietary Challenge studies).
Nutrisi mempengaruhi perilaku seseorang karena dapat menyebabkan penyimpangan pada otak
baik anatomis maupun fungsionalnya, diantaranya dengan mempengaruhi:
Jumlah, besar dan posisi sel neuron
Pertumbuhan dendrit dan axon
Pertumbuhan synaps
Produksi neurotransmiter
Perkembangan sel glia
Myelinisasi dari axon
Perubahan dalam keseimbangan neurotransmiter merupakan keadaan yang sangat penting
sebagai penyebab perubahan perilaku. Makanan (asam amino) dapat secara langsung
berpengaruh terhadap produksi neurotransmiter, yang pada akhirnya dapat menyebabkan
terjadinya penyimpangan perilaku. Neurotransmiter pada binatang mamalia dikenal sebanyak
30-40 bahan, mereka dibagi dalam 3 kelompok kimia:
Kelompok asam amino: Glycine, glutamine, dan aspartat
Kelompok peptida: endorphine, cholecystokinine, dan thyrotropin-releasing hormone
Kelompok monoamine: acetylcholine, dopamine, norepinephrine dan serotonine
Sedangkan makanan, menyebabkan perubahan pada otak, bisa oleh karena bahan makanan itu
sendiri ataupun karena terkontaminasi dengan bahan toksik yang berasal dari lingkungan
seperti logam-logam berat (merkuri, aluminium, tembaga), serta bahan-bahan toksik lain.
Makanan yang kita makan atau kita berikan pada anak kita harus benar-benar tepat, tepat jenis,
tepat jumlah (sesuai kebutuhan), tepat kombinasi, tepat waktu; serta harus senantiasa dimonitor
atas kemungkinan terdapatnya efek samping; kadang-kadang makanan yang baik untuk
seseorang anak, belum tentu baik pula untuk anak yang lain.
Sebenarnya istilah terapi nutrisi sudah lama dikenal, sehingga makanan tidak semata-mata
dianggap sebagai komponen penting dalam tumbuh kembang, tetapi dianggap sebagai bagian
integral dalam pengobatan, fungsi kekebalan dari makananpun sudah banyak dituliskan di
berbagai publikasi ilmiah.
Pengaruh Defisiensi Protein Enersi (DPE)
Otak sebagai organ penentu perilaku seseorang, dibentuk sejak dalam masa kandungan
trimester I, yang bertumbuh secara cepat sampai masa kelahiran dan terus bertumbuh secara
cepat sampai pada 6 bulan pertama, kemudian pertumbuhannya melambat dan pada umur 2-3
tahun tidak tumbuh lagi. Kalau pada masa-masa pertumbuhan otak ini, anak mengalami
defisiensi protein-enersi yang sangat dibutuhkan oleh otak yang sedang tumbuh, maka dapatlah
dimengerti
bahwa pertumbuhan otak akan sangat terganggu baik secara anatomis, maupun fungsionil; hal
ini tentunya akan sangat berpengaruh pada perilaku anak tersebut.
Demikian pula berbagai defisiensi vitamin dan mineral yang sering menyertai kondisi DPE,
dapat mengganggu baik pembentukan sel neuron, proses myelinisasi, serta pembentukan
neurotransmiter.
Penderita Marasmik disamping perkembangan motoriknya yang lambat, sering disertai dengan
perilaku cengeng (irritable), bahkan kadang-kadang apatis. Kwashiorkor sering mempunyai
perilaku apatis, kadang-kadang cengeng.4
Telah terbukti pula bahwa kekurangan nutrisi yang terjadi dalam waktu pendekpun
(menghilangkan sarapan) dapat mempengaruhi perilaku, termasuk nilai pelajaran disekolah.
Pengaruh Vitamin
Vitamin berfungsi sangat penting dalam proses metabolisme, sebagai katalisator dan koenzim
dalam berbagai kegiatan enzim metabolisme, sehingga sangat mempengaruhi tumbuh kembang
dan perilaku seseorang. Kondisi defisiensi vitamin sering terjadi akibat asupan yang kurang,
tetapi kadang-kadang karena kebutuhan yang meningkat.
Berbagai vitamin seperti thiamin, niacin, pyridoxine, cobalamin dan asam folat, dikenal sangat
mempengaruhi fungsi otak, sehingga juga sangat berpengaruh pada perilaku dan tumbuh
kembang anak. Deficiensi terhadap vitamin-vitamin tersebut, sering diikuti dengan perubahan
perilaku gampang tersinggung dan pemarah. Telah banyak dilaporkan bahwa penyimpangan
perilaku demikian akan menghilang setelah pemberian vitamin vitamin tersebut.5,6,7
Thiamin adalah bagian dari koenzim thiamin pyrophosphate (TPP), yang befungsi sangat
penting dalam metabolisme karbohidrat. Ternyata thiamin juga berfungsi dalam sintesa dan
pelepasan neurotransmiter sistem syaraf.8,9
Pemberian niacin pada schizophrenia, dapat meringankan penyakitnya, karena dapat sebagai
akseptor methyl sehingga dapat menurunkan hallusinigen yang endogen. Pada umumnya
dikatakan pemberian megavitamin pada penderita schizophren dianggap bermanfaat.
Mineral
Fungsi mineral dalam proses kehidupan sangatlah penting, terutama dalam pembuatan berbagai
enzim, misalnya Zat besi (Fe) un tuk katalase cytochrom, iodium untuk pembuatan hormon
thyroxin, cobalt untuk pembuatan vitamin B12 , Sebagai katalisator atau kofaktor dalam
berbagai fungsi biologis, mineral penting dalam proses absorpsi maupun masuknya berbagai
nutrien kedalam sel termasuk sel otak.
Fe, I dan Zn sangat penting dalam pengaturan fungsi otak, sehingga sangat berpengaruh
terhadap berbagai penyimpangan perilaku7,8,9,10
Dopamin sebagai neurotransmiter yag penting di otak dalam metabolismenya sangat
membutuhkan Fe, Fe bekerja sebagai ko-faktor enzim metabolik untuk dopamin, bahkan juga
untuk serotonin dan epinephrin; kekurangan Fe berarti menurunnya jumlah dopamin yang
dapat mengganggu kemampuan belajar, bahkan dapat terjadi gangguan perilaku. Telah banyak
penelitian membuktikan bahwa defisiensi zat besi pada anak remaja dapat memacu terjadinya
gangguan perilaku berpa sindroma perilaku agresif 11,12,13
Lithium pada dosis farmakologik (sekitar 900 g/hari) ternyata dapat mengurangi terjadinya
perilaku agresif. Pada studi epidemiologi, telah terbukti bahwa di negara yang air minumnya
mengandung lithium cukup, angka kelainan perilaku penduduknya yang berupa kemauan
bunuh diri, pemerkosa, pelaku perampokan, serta pemakai obat terlarang, secara bermakna
lebih rendah dibandingkan dengan negara yang air minumnya mengandung lithium lebih
rendah. Namun demikian karena dosis toksik dari lithium berada hanya sedikit diatas dosis
farmakologiknya, maka pemberian lithium harus dalam pengamatan yang ketat. Pada
umumnya dosis farmakologik dari lithium 150 g/hari, sedangkan kadar lithium dalam air
minum berkisar antara 8-70-170 /L15,16,17,18
Defisiensi magnesium, dapat meningkatkan sekresi dari catecholamin, serta sensitip terhadap
stres. Peningkatan catecholamin dapat meningkatkan pengeluaran magnesium dari dalam sel,
serta pengeluarannya lewat air seni. Perilaku berupa stres yang kronik, agresif, kemauan bunuh
diri, serta kekerasan, sering dihubungkan dengan rendahnya kadar magnesium dalam cairan
serebro-spinal.
Mangan merupakan mineral sekelumit (trace mineral) yang esensiel. Pemberian yang
berlebihan (intoksikasi) yang terbukti dengan terdapatnya penigkatan kadarnya dalam akar
rambut, dapat menyebabkan manganese madness dengan perilaku kekerasan, perbuatan
kriminal, yang akhirnya muncul sebagai gejala penyakit Parkinson.
Pada anak sering muncul sebagai gejala hiperaktif.
Logam berat
Otak yang mengalami keracunan logam berat, sering memunculkan perilaku yang agresif,
antisosial, serta berbagai tindakan kekerasan. Hal ini banyak dilaporkan pada intoksikasi
tembaga, cadmium, aluminium serta merkuri.
Asam amino
Tryptophan adalah asam amino esensiel yang merupakan prekursor dari serotonin. Pemberian
trytophan yang berlebihan dapat menyebabkan munculnya perilaku yang agresif, impulsif,
kekerasan, sampai pada kemauan bunuh diri. Efek dari tryptophan ini juga tergantung pada
rasio dari asam amino netral lain karena masuknya kedalam otak, melalui sawar otak secara
kompetitip.
Kondisi hipoglikemi
Kondisi hipoglikemi ternyata dapat menyebabkan perilaku yang agresif, berupa kekerasan
dengan berbagai macam tindakan kriminal. Pemberian gula sering pula menyebabkan
terjadinya reactive hypoglycaemia, akibat terjadinya rangsangan terhadap pembentukan
insulin.
Kondisi sensitiv terhadap makanan
Dengan cara penelitian eliminasi-tantangan, ternyata banyak dari kelainan perilaku yang
terbukti timbul akibat mengkonsumsi makanan yang sensitiv. Kelainan perilaku yang hilang
pada saat dilakukan eliminasi ternyata dapat muncul kembali setelah diberi tantangan.
Dikatakan bahwa hal ini terutama akibat adanya berbagai bahan aditif.
Dari kenyataan-kenyatan diatas nampaknya peranan berbagai makanan sangat penting sebagai
pencetus sekaligus upaya pengobatan pada terjadinya berbagai penyimpangan perilaku.
Masalahnya sering kita mengalami kesukaran dalam mencari kepastiannya, keadaan ini
sekaligus merupakan penyebab rendahnya kepatuhan untuk membatasi atau menghindari
makanan yang bersangkutan35,36

ASPEK GIZI PADA AUTISME


Autisme dikenal sebagai suatu sindroma penyimpangan perilaku pada anak yang melibatkan
sistem sensoris, kemampuan komunikasi, serta kemampuan sosialisasi di masyarakat.. Autisme
bukan suatu kelainan mental. Sampai saat ini upaya-upaya penyembuhannya masih bersifat
simtomatis, suportif serta rehabilitatip, belum dapat dianggap sebagai tindakan kuratif. Hal ini
karena selain penyebab pastinya yang belum diketahui, juga karena terdapatnya banyak variasi
yang didapat pada penderita, baik pada gejalanya yang nampak, sampai pada kelainan
laboratorium yang didapat serta respon terhadap upaya pengobatannya. Namun pada dasarnya
disepakati bahwa penyimpangan metabolisme hampir senantiasa terdapat pada anak dengan
autisme. Bahan metabolit yang terjadi sebagai hasil-antara pada proses metabolisme (sering
berupa asam organik) merupakan bahan yang dapat mengganggu fungsi otak yang akhirnya
diperkirakan sebagai penyebab terjadinya gejala seperti diatas, Keadaan ini sering pula
didahului dengan gangguan pencernaan yang dianggap sebagai penyebab utama terjadinya
penyimpangan metabolisme. Jalur penyebab terjadinya penyimpangan metabolisme sering
melalui proses alergi, infeksi, gangguan imunologi, infeksi, serta terjadinya perubahan flora
bakteri, yang ditandai dengan perkembangan dari berbagai jamur seperti candida, yang dapat
menyebabkan terjadinya ganggua pencernan yang akhirnya berlanjut mejadi penyebab
terjadinya gangguan fungsi dari otak. Dikatakan bahwa sekitar 50% penyandang autisme
mengalami gangguan pencernaan (Shaw W, 1998). Dari penelitian lebih jauh ternyata bahwa
pemberian secretin sebagai upaya memperbaiki pencernaan, mempunyai tingkat kegagalan
yang masih tinggi (sampai 40%)
Penegakan diagnosa pasti dari autisme tidaklah mudah karena banyak diantara mereka yang
mempunyai penampilan normal, gejalanya sangat bervariasi dari yang sangat ringan sampai
yang berat, bahkan sebenarnya banyak penyakit-penyakit lain yang memberikan gejala mirip
dengan autis, seperti : Attention Deficit Disorder (ADD), Pervasive Developmental
Disorder (PDD). Diagnosanya sering hanya didasarkan atas keluhan dari orang tua dan gejala
yang nampak, walaupun sebenarnya diagnosa yang lebih tepat dapat dilakukan dengan
pemeriksaan laboratorium terhadap berbagai kandungan asam organik baik dari darah maupun
air seni. Pada umumnya gejala autis baru nampak jelas pada anak yang telah berumur 11/2-3
tahun.
Menurut laporan dari Cathy Pratt direktur Indiana Resource Center for Autism, angka
kejadian Autisme di Amerika 10 tahun yang lalu berkisar antara 5-15 /10.000 penduduk,
sekarang dilaporkan 7-48 /10.000. Edelson S.M. dari Center for the Study of Autism, Salem,
Oregon, mengatakan bahwa prevalensi autisme di Amerika dan di Inggris berkisar sekitar 4,5
pada setiap 10.000 kelahiran hidup. Pada laporannya yang terakhir dikatakan bahwa prevalensi
autisme berkisar 1/4%-1/2% dari penduduk.
Penyebab autisme
Walaupun sampai saat ini belum diketahui penyebab pasti dari autisme tetapi beberapa keadaan
dianggap dapat menjadi penyebabnya, diantaranya:40,41,42
Genetik, hal ini terbukti dengan lebih banyaknya kejadian autisme pada saudara
kembar satu zigot, daripada mereka yang dua zigot. Bahkan terakhir telah
diketemukan lokasi gen-autis; namun kemudian beberapa peneliti lain mengatakan
bahwa gen itu adalah gen kelemahan sistem kekebalan, sehingga akhirnya diduga
terjadinya autisme melalui proses infeksi.
Virus, terutama virus rubella, cytomegalo, yang menginfeksi ibu hamil pada
trimester pertama, sering memberikan resiko kejadian autisme yang tinggi. Bahkan
dilaporkan adanya kasus autis setelah pemberian vaksinasi MMR yang diduga
karena komponen campaknya, DTP karena komponen pertusisnya.
Toksin dan polutan, dianggap pula sebagai penyebab terjadinya autisme. Hal ini
terbukti dari perbandingan angka kejadian autis diberbagai daerah.
Gangguan fungsi sistem imun, dikatakan bahwa semua keadaan yang
mempengaruhi sistem imun mulai dari kejadian infeksi, tingginya polusi, sampai
pada faktor genetik dapat menimbulkan autisme. Karena ternyata pada banyak
penderita terdapat penurunan dari sel T-helper.
Saat ini sedang dikembangkan teori bahwa terdapatnya gangguan pada sistem
gastrointestinal (pencernaan) merupakan penyebab penting terjadinya autisme, hal
ini karena terbukti pada banyak penderita autis, terdapat perkembang biakan
jamur Candida albicans yang berlebihan, serta terdapat rendahnya kadar phenyl
sulfur transferase, dan sering diketemukannya virus campak dalam sistem gastro-
intestinal. Laporan tentang kasus Parker Beck yang dinyatakan sembuh dari
autisnya setelah mendapat terapi hormon secretin yang berfumgsi memperbaiki
pencernaan, memperkuat teori ini. Pada penelitian lebih lanjut banyak pula
didapatkan kegagalan dalam upaya penyembuhan autisme dengan pemberian
secretin, walau kenyataannya sekitar 50% penderita autisme mempunyai gangguan
pencernaan. Jamur serta bakteri yang resisten terhadap antibiotika yang mengalami
pertumbuhan berlebihan karena berbagai sebab dapat mengeluarkan bahan kimia
(asam organik) yang sering disebut sebagai gliotoxin yang berpengaruh terhadap
fungsi otak. Demikian pula jamur serta kuman tersebut yang menempel pada
dinding usus dapat mengeluarkan enzim yang dapat merusak epitel usus dan dapat
menyebabkan kebocoran leaky gut syndrome. Keadaan ini akan sangat
mengganggu produksi enzim pencernaan yang dapat mengakibatkan tidak
sempurnanya proses pencernaan. Banyak dari protein yang tidak tercerna secara
sempurna akan menjadi peptida yang terserap kedalam darah dan dapat meracuni
otak karena dapat berfungsi sebagai transmitter palsu, mereka dapat ditangkap oleh
reseptor opioid sehingga dapat berfungsi sebagai opium atau morfin. Melimpahnya
bahan-bahan yang bekerja sebagai opium kedalam otak menyebabkan terganggunya
fungsi otak, dapat mengganggu bidang persepsi, kognisi, emosi serta perilaku.
Kekurangan enzim pencernaan juga dapat terjadi akibat faktor genetik.
Protein yang sulit dicerna dan sering diserap sebagai peptida adalah casein (protein yang
berasal dari susu sapi atau domba) dan gluten, protein gandum (wheat, oats, rye, barley).
Peptida dari casein bila diserap kedalam otak berubah menjadi casomorphin, sedangkan dari
gluten berubah menjadi gliadinomorphin atau gluteomorphin
Dalam mencari penyebabnya dalam otak, ternyata beberapa peneliti memang mendapatkan
kelainan otak pada penderita autisme, tetapi mereka tidak dapat menerangkan hubungan
kelainan otak yang ada dengan gejala yang nampak. Akhirnya mereka menyimpulkan bahwa
pada autisme perubahan otak dapat terjadi berupa perubahan struktural maupun fungsionil yang
terbukti dengan adanya penyimpangan biokimia.
Drs. Bauman dan Kemper telah melakukan penelitian post-mortem pada penderita autisme,
ternyata beliau mendapatkan adanya dua kelainan didaerah sistem limbik: amigdala, dan
hipokampus. Daerah ini memang dikenal sebagai pengatur emosi, agresivitas, masukan sensori,
serta proses belajar. Peneliti ini juga mendapatkan adanya defisiensi sel Purkinye dalam
serebellum.
Dr. Courchesne dengan memakai Magnetic Resonance Imaging (MRI), menemukan
kelainan di dua tempat di serebellum, di lobulus vermal VI dan VII, yang ternyata ukurannya
lebih kecil pada penderita autisme dibandingkan dengan anak yang normal. Daerah ini dikenal
sebagai pusat untuk pemusatan perhatian.43
Pada pemeriksaan biokimia penderita autis didapatkan peningkatan kadar serotonin baik di
dalam darahnya maupun dari cairan serebro-spinal, sedangkan pada kelainan-kelainan lain
seperti pada Down Syndrome, ADD didapatkan penurunan. Demikian pula terbukti bahwa
pada penderita autisme terdapat peningkatan kadar beta-endorphins dan endogenous opiate-
like substance, hal ini diperkirakan sebagai penyebab terdapatnya ketahanan terhadap rasa
sakit yang tinggi. Pada pemeriksaan urine sering didapatkan peptida-peptida asing, yang
sebenarnya sebagai hasil sampingan metabolisme protein yang tidak sempurna.

Intervensi gizi pada autisme


Anak autis dengan berbagai macam kesukarannya harus diupayakan untuk tetap dapat
bertumbuh dan berkembang secara optimal serta dapat menjadi manusia yang berguna.
Diantara mereka ada yang dilaporkan sembuh serta ada pula yang sampai lulus perguruan tinggi
dan menikah. Walaupun pada umumnya mereka susah untuk mencari pekerjaan karena sering
gagal pada saat wawancara. Dengan diketemukannya teori bahwa salah satu penyebab dari
autism adalah gangguan pencernaan dan penyimpangan metabolisme, maka peranan makanan
bagi penderita autis sangatlah penting, karena disamping sebagai modal untuk tumbuh
kembang juga untuk menghindari timbulnya penyimpangan metabolisme yang kalau perlu
dilakukan dengan suatu intervensi. Pemberian makanan pada bayi dan anak harus bertujuan
untuk menumbuhkembangkan bayi dan anak secara optimal sehingga mereka dapat menjadi
manusia yang berkualitas. Pemberian makanan yang benar dan baik akan membawanya
menjadi manusia yang bergizi baik, sehingga memberikan kemungkinan yang besar bagi
dirinya untuk mengembangkan seluruh potensi genetiknya secara optimal. Khusus pada anak,
yang sedang bertumbuh dan berkembang, pemberian makanan yang benar sangatlah penting
artinya karena pemberian makan yang salah akan sangat mengganggu tumbuh kembangnya,
yang tentunya akan sangat berpengaruh terhadap kemampuannya di kemudian hari.

Organ-organ penentu kualitas manusia seperti otak, jantung, ginjal, paru, mata, tulang serta
berbagai organ endokrin, pertumbuhannya sangat dipengaruhi kondisi gizi pada masa anak-
anak. Sel-sel otak terbentuk sejak trimester pertama kelahiran. Pertumbuhan ini berkembang
pesat selama masa prenatal dan diteruskan beberapa waktu sesudah bayi dilahirkan
(postnatal), sampai bayi berumur 2-3 tahun; dengan periode tercepat pada 6 bulan pertama,
sesudah itu praktis tak ada pertumbuhan lagi, kecuali pembentukan sel-sel neuron baru untuk
mengganti sel-sel yang mati. Dengan demikian diferensiasi dan pertumbuhan otak berlangsung
hanya sampai 3 tahun pertama kehidupan. Kekurangan gizi pada masa kehamilan akan
menghambat multiplikasi sel-sel janin, sehingga jumlah sel-sel neuron di otakpun dapat pula
berkurang secara permanen. Sedangkan kekurangan gizi pada masa postnatal, akan sangat
berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan sel-sel glia dan proses mielinisasi.
Karenanya setiap gangguan gizi akibat pemberian makanan yang salah pada ibu hamil maupun
anak yang berumur dibawah 2-3 tahun akan sangat mempengaruhi kualitas otaknya. Dikatakan
bahwa gizi kurang yang terjadi pada anak dibawah umur 2 tahun akan menyebabkan jumlah
sel otaknya berkurang sampai 15-20%, sehingga anak yang demikian kelak kemudian hari akan
menjadi manusia dengan kualitas otak sekitar 80-85%. Anak yang demikian kalau disuruh
bersaing dengan mereka yang berkualitas otak 100% tentunya akan menemui banyak
kesukaran.45
Sejak bertahun-tahun diusahakan pengobatan terhadap autisme baik secara tradisional maupun
non-tradisional untuk mengurangi perilaku yang autistik. Sudah banyak pula obat yang telah
dicobakan namun ternyata tidak satupun obat yang dapat memberikan manfaat yang konsisten.
Saat ini obat yang masih banyak dipakai untuk penderita autis adalah Ritalin, suatu stimulan
untuk mengobati Attention Deficit/Hyperactivity Disorder.

Pemberian suplemen vit.B6, dengan magnesium, sering memperbaiki keadaan umum penderita

autisme serta dapat meningkatkan kesadaran serta perhatian mereka. Suplemen lain yang

dilaporkan memberikan efek baik terutama dalam kemampuan berkomunikasi adalah Di-

methylglycine (DMG).

Pengaturan diet yang bebas protein casein dan gluten, dilaporkan sering memberikan hasil yang
sangat menggembirakan pada penderita autisme. Hal ini karena pada penderita autisme sering
terdapat intoleransi pada kedua jenis protein yang menyebabkan metabolismenya berjalan tidak
sempurna sehingga terjadi peptida-peptida yang juga dapat mempengaruhi fungsi otak. Oleh
karenanya pada penderita autis sebaiknya tidak diberikan susu sapi dan segala produknya
(mentega, keju), serta tepung gandum (terigu, roti, biskuit dsb).

Sumber protein bisa didapatkan dari bahan makanan lain seperti kedele (susu kedele, tempe,
tahu), daging sapi, ayam, ikan segar, ikan laut. Penderita sebaiknya juga tidak terlalu sering
diberi makanan/kue yang manis-manis, karena makanan demikian juga akan menambah
suburnya perkembangan jamur dan mikroba usus. Diet yang diberikan pada anak autis harus
mampu menumbuhkembangkan anak secara normal. Substitusi terhadap berbagai nutrisi yang
dieliminir harus diberikan. Pemberian multivitamin, kalsium serta minyak ikan juga
dianjurkan. Pada setiap tindakan pembatasan diet, harus dilakukan dengan monitoring yang
ketat, dengan berbagai pemeriksaan laboratorium yang dapat memantau gangguan
metabolisme yang terjadi. Pemberian diet pada penderita autis tidaklah menyembuhkan
keseluruhan gejalanya, tetapi sering dilaporkan terjadinya berbagai kemajuan pada sifat-sifat
penderita.
Adanya kenyataan sering terdapatnya pertumbuhan jamur Candida albicans yang berlebihan
dalam sistem gastrointestinal penderita autisme yang dapat mengeluarkan bahan toksin yang
bisa mempengaruhi fungsi otak, dianggap pula sebagai suatu penyebab yang tidak boleh
dilupakan dalam pengobatan penderita autisme. Hal ini sering terjadi pada penderita infeksi
telinga yang sering mendapatkan obat antibiotika berlebihan. Obat anti jamur seperti Nystatin
dapat diberikan dengan dosis yang dinaikkan secara bertahap.
Disamping berbagai pengobatan diatas pada penderita autis sering dianjurkan berbagai fisio
terapi yang menyangkut perbaikan sifat/perilaku (behavior) serta latihan integritas
pancaindera.

Kesimpulan dan saran


1. Makanan sangat berpengaruh pada perkembangan perilaku anak
2. Penyimpangan perilaku dapat terjadi akibat kelainan anatomis maupun fungsionil
otak
3. Kelainan fungsionil otak terutama akibat pengaruh makanan pada neurotransmiter
otak
4. Autisme adalah suatu kelainan yang sangat kompleks, berbasis penyimpangan
metabolisme yang mengganggu fungsi otak. Oleh karenanya pengobatannya pun sering
harus dilakukan secara kompleks.
5. Terdapatnya intoleransi terhadap protein casein dari susu, serta gluten dari gandum
sering merupakan penyebab yang harus diantisipasi pada pengobatan diet penderita
autis
6. Pertumbuhan yang berlebihan dari jamur serta mikroba usus sering pula dianggap
sebagai penyebab dari autisme.
7. Kelainan genetik yang ada sering terkait dengan kondisi status defisiensi sistem imun.
8. Pengobatan diet khusus pada penderita autis ataupun kelainan perilaku pada anak
sering diperlukan, tetapi tidak boleh sampai mengganggu tumbuh kembang mereka.
9. Perlu senantiasa melakukan monitoring tumbuh kembang, agar setiap adanya
penyimpangan baik fisik maupun mental segera dapat diantisipasi.

Pendahuluan
Masalah gizi tidak terlepas dari masalah makanan karena masalah gizi timbul sebagai akibat
kekurangan atau kelebihan kandungan zat gizi dalam makanan. Kebiasaan mengkonsumsi
makanan yang melebihi kecukupan gizi menimbulkan masalah gizi lebih yang terutama
terjadi di kalangan masyarakat perkotaan. Dilain pihak empat masalah gizi kurang seperti
gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY), anemia gizi besi (AGB), kurang vitamin
A(KVA), kurang energi protein (KEP) masih tetap merupakan gangguan khususnya di
pedesaan.

Dengan meningkatnya taraf hidup sebagian masyarakat yang tinggal baik di perkotaan
maupun di pedesaan akan memberikan perubahan pada gaya hidup. Pemilihan makanan yang
cenderung menyukai makanan siap santap dimana kandungan gizinya tidak seimbang. Rata-
rata makanan jenis ini mengandung lemak dan garam tinggi, tetapi kandungan serat yang
rendah. Disamping itu masih banyak masyarakat yang hidup dibawah garis kemiskinan
dimana pemenuhan kebutuhan makanan kurang sehingga timbul masalah gizi kurang. Jadi
masalah gizi yang timbul, baik masalah gizi kurang maupun masalah gizi lebih sebenarnya
disebabkan oleh perilaku makan seseorang yang salah yaitu tidak adanya keseimbangan
antara konsumsi gizi dengan kecukupan gizinya.

Untuk mengatasi masalah gizi, pemerintah menggalakkan program perbaikan gizi antara lain
melalui peningkatan mutu konsumsi pangan dan penganekaragaman konsumsi pangan.
Disamping itu sasaran program perbaikan gizi juga ditujukan untuk menanamkan perilaku
gizi yang baik dan benar sesuai dengan Pedoman Umum Gizi Seimbang (Kodyat, 1997).

PUGS merupakan acuan bagi setiap individu untuk berperilaku gizi yang baik dan benar
sesuai dengan situasi dan kondisi kesehatan atau gizi seseorang dan lingkungannya (Rai,
1997). PUGS yang terdiri dari 13 pesan dasar, merupakan pedoman bagi setiap individu agar
selalu mengkonsumsi makanan yang sehat, seimbang dan aman guna mempertahankan status
gizi dan kesehatannya secara optimal.

Perilaku Makan Dan Gaya Hidup

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa perilaku makan yang salah akan menyebabkan
masalah gizi dan perilaku makan tersebut dipengaruhi oleh aneka faktor sosial, ekonomi,
budaya dan ketersediaan pangan. Analisis menggunakan data Susenas menunjukkan adanya
kecenderungan perilaku konsumsi makanan jadi (termasuk minuman) yang semakin
meningkat dari tahun ke tahun. Konsumsi makanan yang berasal dari terigu seperti roti, mie,
kue kering dan konsumsi kue basah serta minuman es merupakan bagian dari makanan
tradisional yang cenderung menurun (Surbakti, S dkk 1997).

Pola umum perilaku konsumen makanan jadi adalah semakin tinggi pendapatan semakin
besar proporsi pengeluaran makanan jadi terhadap pengeluaran pangan total. Pada tahun 1996
sekitar seperlima pengeluaran pangan rumah tangga diperkotaan dialokasikan pada makanan
jadi, sedangkan oleh rumah tangga di pedesaan sekitar seperdelapan dari pengeluaran pangan.
Di kota-kota besar seperti Jakarta dan Yogyakarta pengeluaran untuk makanan jadi
(termasuk fast food) lebih besar lagi yaitu seperempat dari total pengeluaran pangan.

Kini makanan fast food telah menjadi bagian dari perilaku sebagian anak sekolah dan remaja
diluar rumah diberbagai kota (Mudjianto, dkk 1997) dan diperkirakan cenderung akan
semakin meningkat. Kelebihan dan daya tarik bisnis fast food ini terletak pada teknik
promosi, hadiah, media campuran, penciptaan suasana, tempat dan pelayanan yang
meningkatkan gengsi konsumen.

Perubahan perilaku hidup atau gaya hidup sangat mempengaruhi pola makan masyarakat.
Akibat perubahan perilaku masyarakat dalam gaya hidup yang kemudian berlanjut pada
perubahan konsumsi makanan sehari-hari telah terbukti mempengaruhi prevalensi obesitas
dan penyakit kardiovaskuler.

Kegiatan fisik atau olahraga perlu dikembangkan secara terus menerus karena dapat
membantu meningkatkan kesehatan masyarakat. Dimana kegiatan fisik dan olahraga
mempunyai tujuan ganda yaitu disatu sisi untuk peningkatan pengeluaran energi sebagai
upaya penyeimbangan masukan dan pengeluaran energi dalam tubuh manusia, sedangkan
dipihak lain merupakan upaya peningkatan kebugaran tubuh dan organ tubuh termasuk sistem
kardiovaskuler.

Pemberian makanan yang cukup sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan fisik,
mental dan kecerdasan bayi. Dampak kekurangan makanan pada masa bayi akan diderita
seumur hidup. Cara terbaik memberi makanan bayi adalah menyusui secara ekslusif.
Pemberian Air Susu Ibu (ASI) ekslusif berarti bayi hanya minum ASI saja dan tidak diberikan
makanan tambahan, air atau cairan lain kecuali obat-obatan dan vitamin. Berdasarkan studi
IPB, Depkes dan WHO tahun 2001 dikota Bogor diperoleh data dari 1102 bayi, yang diberi
ASI ekslusif sampai umur 4 bulan hanya 22,8% (BKKBN, 2002)

Masalah Gizi Di Indonesia


Masalah Gizi Lebih
Memasuki era Pembangunan Jangka Panjang II (PJP II) Indonesia menghadapi masalah gizi
ganda yaitu masalah gizi lebih dan masalah gizi kurang dengan berbagai resiko penyakit yang
menyertainya. Salah makan yang sebagian atau seluruhnya dipengaruhi oleh gaya hidup
seseorang, merupakan faktor resiko yang sumbangannya sangat tinggi terhadap munculnya
penyakit-penyakit degeneratif. Makan lebih banyak dari kebutuhan, dan makan tidak
seimbang dalam arti kebanyakan, faktor resiko dalam makanan dan kurangnya faktor proteksi
dapat menyebabkan keadaan gizi lebih, yang pada gilirannya dapat membawa resiko masalah
kesehatan. Di negara maju kelompok masyarakat usia 20-45 tahun dengan gizi lebih memiliki
resiko relatif sebesar 5,9 kali untuk hipertensi dan 2,9 kali untuk diabetes mellitus,
dibandingkan dengan kelompok gizi normal. Uji toleransi glukose penderita kelebihan berat
badan hampir selalu menunjukan ketidaknormalan yang merupakan indikator resistensi
diabetes mellitus.

Contoh-contoh berbagai penyakit yang dikategorikan sebagai penyakit gaya hidup seperti
penyakit kardiovaskuler (penyakit jantung, stroke, hipertensi, diabetes melitus dll).

Masalah Gizi Kurang


Anak-anak yang kekurangan gizi akan mengalami gangguan pertumbuhan fisik, mental dan
intelektual. Gangguan tersebut akan menyebabkan tingginya angka kematian dan kesakitan
serta berkurangnya potensi belajar, daya tahan tubuh dan produktifitas kerja. Dampak
kekurangan gizi pada umur dini dimanifestasikan dalam bentuk fisik yang lebih kecil dengan
tingkat produktivitas yang lebih rendah dan beberapa hasil analisis mengungkapkan
terjadinya penyakit degeneratif pada masa dewasa yang justru merupakan umur produktif.

Konsekuensi gangguan akibat kekurangan iodium (GAKI) adalah retardasi mental, gangguan
perkembangan sistem syaraf, gangguan pertumbuhan fisik, kegagalan reproduksi dan
kematian anak. Yang amat mengkhawatirkan bagi pengembangan SDM adalah akibat negatif
terhadap sistem syaraf pusat yang berdampak pada kecerdasan dan perkembangan sosial.
Setiap penderita gondok akan mengelami defisit 10 IQ point, kretin 50 point dan GAKI lain
10 IQ point dibawah normal. Dengan perkiraan sekitar 42 juta penduduk tinggal di daerah
defisiensi yodium dimana 10 juta menderita gondok, 750-900 ribu menderita kretin endemik
dan 3,5 juta menderita GAKI lainnya maka pada saat ini Indonesia telah mengalami defisit
132,5 140 juta IQ point akibat GAKI. Dengan kondisi yang sama, setiap tahun akan terus
bertambah kehilangan IQ point sebesar 10 juta point.

Anemia gizi yang sebagian besar disebabkan oleh kekurangan zat besi merupakan masalah
gizi yang besar dan luas diderita oleh penduduk Indonesia. Akibat nyata anemia gizi terhadap
kualitas SDM tergambar pada dampaknya meningkatkan angka kematian ibu (AKI) dan
angka kematian bayi (AKB), menurunkan prestasi belajar anak sekolah serta menurunnya
produktivitas para pekerja, yaitu 10 20%.
Kekurangan Vitamin A (KVA) mempunyai dampak yang besar terhadap pengembangan
kualitas SDM karena fungsi vitamin A yang penting bagi kesehatan. Fungsi vitamin A antara
lain dalam hal penglihatan, pertumbuhan, perkembangan tulang, perkembangan dan
pemeliharaan jaringan epithel, serta proses imunologi dan reproduksi.

Pembahasan
Menyadari penyebab terjadinya masalah gizi karena adanya perubahan pola pangan dan gaya
hidup maka disusun pedoman perilaku makan untuk bangsa Indonesia yang dikenal dengan
Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS). Disamping itu PUGS merupakan tindak lanjut dari
Konferensi Gizi Internasional di Roma-Itali pada bulan Desember 1992. Hampir semua
negara yang mengikuti konferensi tersebut menilai perlunya disusun Nutritional
Guidelines atau Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS) yang berguna untuk mencegah
berbagai permasalahan gizi.

Kelahiran PUGS pada dasarnya merupakan suatu proses dinamisasi dan penjabaran secara
operasional dari slogan empat sehat lima sempurna. Faktor-faktor yang diperhatikan sebagai
dasar penyusunan PUGS adalah : a) Masalah gizi yang dihadapi, b) Keadaan sosial budaya,
c) Penemuan-penemuan mutakhir dibidang gizi dan d) Slogan empat sehat lima sempurna
(Rai, 1997).

PUGS memuat 13 pesan dasar tentang perilaku makan yang diharapkan akan dapat mencegah
permasalahan gizi dan menghindari terjadinya penyakit lain yang menyertainya. Ke 13 pesan
tersebut adalah sebagai berikut :
1. Makanlah anekaragam makanan
2. Makanlah makanan untuk memenuhi kecukupan energy
3. Makanlah makanan sumber karbohidrat setengah dari kebutuhan energy
4. Batasi konsumsi lemak dan minyak sampai seperempat dari kecukupan energy
5. Gunakan garam beryodium
6. Makanlah makanan sumber zat besi
7. Berikan ASI saja pada bayi sampai umur 4 bulan
8. Biasakan makan pagi
9. Minumlah air bersih, aman yang cukup jumlahnya
10. Lakukan kegiatan fisik dan olahraga secara teratur
11. Hindari minum minuman beralkohol
12. Makanlah makanan yang aman bagi kesehatan
13. Bacalah label pada makanan yang dikemas (Depkes, 1995).
Penutup
Sebagai penutup tulisan ini dapat dikemukakan hal-hal berikut ini :
1. Dengan pergeseran gaya hidup dan perubahan perilaku makan telah
menimbulkan masalah gizi ganda yaitu masalah gizi lebih dan gizi kurang.
2. 13 pesan Pedoman Umum Gizi Seimbang merupakan pedoman untuk
berperilaku makan dan perilaku hidup sehat yang diharapkan dapat mencegah
permasalahan gizi dan menghindari terjadinya penyakit yang menyertainya.

Pengetahuan Bahan Pangan Hewani


Bahan pangan merupakan semua jenis bahan yang dapat digunakan sebagai bahan makanan
yang bersifat aman, memiliki palatabilitas dan menyehatkan bagi manusia. Namun, walaupun
sifat dasar dari pangan itu baik, jika penanganannya kurang baik maka akan menyebabkan
terjadinya suatu penyimpangan yang mungkin dapat membahayakan bagi yang
mengkonsumsinya.
Diantara beberapa sumber bahan pangan, produk hewani merupakan salah satu bahan yang
penting sekali. Produk pangan hewani umumnya berupa daging, susu, telur, dan ikan yang
sangat kaya dengan protein. Protein ini juga mengandung asam amino esensial yang sangat
sesuai dengan kebutuhan manusia.
Hasil turunan yang berasal dari produk hewani seperti gelatin, mineral, gliserol, lemak,
emulsifier, dan lain sebagainya. Bahan-bahan ini diperoleh dengan suatu proses penanganan
dan perlakuan khusus yang apabila kurang baik secara langsung akan menurunkan mutu
bahkan mungkin menimbulkan bahaya bagi manusia.
Pada umumnya, bahan pangan akan mudah mengalami kerusakan, langkah-langkah
penanganan dari awal sampai akhir akan sangat menentukan kondisi dari bahan pangan itu
sendiri. Sama halnya dengan produk hewani, mulai dari penyembelihan untuk ternak dan
unggas, pemisahan bulu, pencacahan karkas, penyimpanan dan proses pengolahan dan pasca
pengolahan memerlukan perhatian khusus yang mempunyai resiko tersendiri baik dari quality
mau pun safety. Produk hewani memiliki tambahan risiko, mengingat kandungan nutrisinya
yang sangat kaya.
Banyak kasus yang telah terjadi akibat penanganan bahan pangan hewani yang kurang baik,
seperti gangguan pencernan dan keracunan akibat daging basi yang dikonsumsi para
karyawan pabrik. Ini tentu tidak bisa dibiarkan, perlu adanya pengetahuan khusus dalam
penanganan bahan sehingga resiko bahaya dapat dicegah.

PEMANFAATAN PENGGANTI SUMBER PROTEIN UNTUK


PENANGANAN MASALAH GIZI
Sumber protein makanan baru dapat diusahakan dari darat dan laut. Di Indonesia masih
banyak sekali sumber bahan makanan yang belum tergali di darat maupun di laut. Sudah ada
perintisan dan pemanfaatan sumber pangan baru, tapi belum menjadi bahan pengan yang
dibudidyakan secara menyeluruh, karena perubahan sikap pada sesuatu yang baru tidaklah
mudah.
Secara langsung atau tidak langsung sumber makanan berasal dari tumbuhan dan hewan. Ada
kemungkinan bahan-bahan makanan baru dapat dikembangkan sebagai bahan makanan
sintetis (tiruan) dari bahan mineral (zat lemak, fotokalium, kalsium magnesium) yang dapat
diproses menjadi protein, karbohidrat, dan lemak.
SYARAT-SYARAT PENGGANTI SUMBER PROTEIN
Saat ini di Indonesia banyak penduduk terutama anak-anak yang mengalami kekurangan
protein dan gizi yang baik, hal tersebut telah menyebabkan banyak anak yang mengalami
penyakit busung lapar, itu karena banyak harga makanan yang berprotein tinggi mahal
harganya, seharusnya bahan makanan seperti ikan laut, ikan sungai, dan banyak sumber
protein lainnya dijual murah dipasaran karena, rata-rata penduduk Indonesia banyak
menderita kemiskinan, walaupun Indonesia terkenal dengan sumber daya alamnya yang
melimpah. Tetapi banyak penduduk Indonesia yang tidak mengetahuinya.
Seharusnya pemerintah dapat menanggulangi hal tersebut dengan mudah. Kami akan
memberikan saran tentang pengganti sumber protein yang baik.
Syarat-syarat pengganti sumber protein yang baik adalah :
- Harganya dapat dijangkau dari penduduk ekonominya tinggi sampai ekonominya rendah.
- Proteinnya tinggi dan bahannya dapat ditemui dimana saja.
- Semua bahannya harus hallal
- Empat sehat, lima sempurna
Itulah syarat syarat pengganti sumber protein yang baik dan yang kami ketahui.
MENCARI BAHAN PENGGANTI SUMBER PROTEIN
Memang mencari sumber protein yang baik dan benar sudah sulit sekali ditemui, walaupun
banyak sumber protein yang ada disekitar kita, namun semuanya belum tentu baik untuk kita.
Kami akan memberikan contoh sumber protein hewani dan nabati yang kami tahu sesuai
syarat yang telah kami kemukakan diatas.
Hewani : belut, ikan gabus, dan lain-lain.
Nabati : kacang kedelai, kacang hijau, dan jenis kacang- kacangan lainnya yang mengandung
protein tinggi.
Jenis sumber protein yang telah kami kemukakan diatas sangat mudah didapatkan dimana
saja dan tidak menguras uang yang cukup banyak.
CARA MENGOLAH BAHAN SUMBER PENGGANTI YANG BAIK
CARA MENGOLAH PROTEIN NABATI
BUBUR KACANG HIJAU
- Kacang hijau disiam dahulu hingga bersih dan bebas dari penyakit.
- Kemudian kacang hijau dimasukkan ke dalam panci yang telah berisi air.
- Lalu panci yang telah berisi kacang hijau kemudian, ditaruh di atas kompor lalu direbus.
- Aduk hingga merata secara perlahan-lahan lalu diberi daun pandan dan tunggu selama 20
sampai dengan 30 menit.
- Dan bubur kacang hijau siap dihidangkan.
CARA MENGOLAH PROTEIN HEWANI
BELUT GORENG
- belut dipotong dan disirami air jeruk supaya bau amisnya hilang.
- Belut dijemur selama setengah sampai satu hari.
- Setelah dijemur lalu belut diberi bumbu-bumbu.
- Lalu belut diberi tepung dan kemudian digoreng sampai masak.
- Setelah masak belut siap untuk dihidangkan.
DAFTAR PUSTAKA
Apriantono, Anton. 2002. Pengaruh Pengolahan Terhadap Nilai Gizi dan Keamanan
Pangan. Makalah seminar Kharisma Online. Dunia Maya.
Hurrel, R.F., 1984. Reaction of food protein during processing and storage and their
nutritional consequences. Di dalam B.J.F. Hudson (Ed). Development in food Protein.
Hurrel, R.F., P.A. Finot and J.L. Cuq. 1982. Brit. J. Nutr. 47:191
Muchtadi, D., Nurheni Sri Palupi, dan Made Astawan. 1992. Metode kimia biokimia
dan biologi dalam evaluasi nilai gizi pangan olahan. Hal.: 5-28, 82-92, dan 119-121.
Swaminathan. M. 1974. Effect of cooking and heat processing on the nutritive value of
food. Di dalam Essentials of food and nutrion. Ganesh and Company Madras. India.
Vol 1. P. 384-387.
Anonim. 1995. Panduan 13 Pesan Dasar Gizi Seimbang. Departemen Kesehatan RI.
Direktora Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat Direktorat Bina Gizi Masyarakat.
Departemen Kesehatan. Jakarta.
Anonim. 1997. Get The Best from Your Food. Food and Agriculture Organization of
The United Nations. Italy.
BKKBN.2002. Upaya Mencapai Keluarga
Sejahtera. http://www.bkkbn.go.id/hqweb/ pikas/2002/artikel170502.html
Karyadi, Elvina. 1997. 13 Pesan Pengganti 4 Sehat 5
Sempurna. http://www. Indomedia.com/intisari/1997/april/pugs.htm
Kodyat,B. 1995. Gizi Seimbang untuk Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit.
Departemen Kesehatan. Jakarta.
Kodyat, B. 1997. Overview Masalah dan Program Kesehatan dan Gizi Masyarakat di
Indonesia. Makalah disampaikan pada Training Peningkatan Kemampuan Penelitian
Bidang Kesehatan dan Gizi Masyarakat. Biotrop 18-30 Agustus 1997. Bogor.
Mudjianto D.Susanto, E.Luciasari dan Hermana.1997. Kebiasaan Makanan Golongan
Remaja Di enam Kota Besar Di Indonesia. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Gizi.
Bogor.
Muhilal ; J.Idrus ; Husaini ; Dj. Fasli dan Ig. Tarwotjo. 1998. Angka Kecukupan Gizi
yang Dianjurkan dalam Risalah Widyakarya Pangan dan Gizi VI. Jakarta.
Ray,N.K. 1997. Pemasaran Sosial PUGS dan ACMI. Pra Widyakarya Nasional Pangan
dan Gizi VI. Jakarta.
Surbakti, S dan Ahmat A.1997. Arah Perkembangan Konsumsi Makanan dan Minuman
Dari 1987 1996. Pra Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VI, Jakarta.
Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. PAU. IPB. Bogor.

Sabtu, 19 Oktober 2013

PENGARUH PENGOLAHAN TERHADAP NILAI GIZI

TUGAS GIZI IKANI

PENGARUH PENGOLAHAN TERHADAP NILAI GIZI

OLEH :

CHENDRYANA R HULISELAN

2010-67-003

THP

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS PATTIMURA

AMBON

2013

PENDAHULUAN
Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang sangat penting dalam kehidupan
manusia. Pengolahan bahan makanan memiliki interelasi terhadap pemenuhan gizi masyarakat,
maka tidak mengherankan jika banyak orang selalu berusaha untuk menyediakan suplai pangan yang
cukup, aman dan bergizi. Salah satunya dengan melakukan berbagai cara pengolahan dan
pengawetan pangan yang dapat memberikan perlindungan terhadap bahan pangan yang akan
dikonsumsi.

Pengolahan pangan perlu dilakukan untuk mendapatkan bahan pangan yang aman untuk dimakan
sehingga nilai gizi yang dikandung bahan pangan tersebut dapat dimanfaatkan secara maksimal dan
agara bahan pangan tersebut dapat diterima secara sensori yang meliputi kenampakan, aroma, rasa,
tekstur dan lain-lain.

Selain pengaruh baik seperti diatas, pengolahan terhadap bahan pangan pun dapat
menimbulkan hal yang tidak mengutungkan, seperti senyawa toksik sehingga produk kurang aman,
kehilangan zat-zat gizi dan perubahan sifat sensori ke arah yangt kurang disukai. Dengan demikian
diuayakan suatu usaha agar dalam suatu pengolahan, hal-hal yang dinginkan tercapai dan yang tidak
diinginkan diminimalisasi. Problematika mendasar pengolahan makanan yang dilakukan masyarakat
lebih disebabkan budaya pengelohan pangan yang kurang berorientasi terhadap nilai gizi, serta
keterbatasan pengetahuan sekaligus desakan ekonomi sehingga masalah pemenuhan dan
pengolahan bahan pangan terabaikan. Untuk hal inilah pentingnya pengetahuan akan pengaruh
pengolahan terhadap nilai gizi.

Berbicara tentang pengolahan berarti berbicara tentang suatu proses yang terlibat dari mulai
penanganan bahan pangan setelah bahan pangan tersebut dipanen (nabati) atau disembelih
(hewani) atau ditangkap (ikan) sampai kepada usaha-usaha pengawetan dan pengolahan bahan
pangan menjadi produk jadi serta penyimpanannya. Disamping itu, dimaksudkan pula pengolahan
yang biasa dilakukan oleh ibu-ibu di dapur dalam menyiapkan masakan yang siap untuk dihidangkan.
Pemahaman yang benar dalam pengolahan makanan sangat dibutuhkan oleh ibu-ibu agar makanan
yang disiapkannya aman dikonsumsi dan tidak banyak berkurang gizinya.

TUJUAN

Untuk mengetahui pengaruh perlakuan beberapa pengolahan terhadap ketersediaan zat gizi :
protein, lemak, dan karbohidrat.

PENGARUH PENGOLAHAN TERHADAP NILAI GIZI

v Tujuan Pengolahan Bahan Pangan :

1. Untuk pengawetan (pengeringan,pembekuan, pengalengan dll.)

2. Membuat produk yg disukai (roti, kue, keju, sirup dll.)

3. Membuat bhn pangan dpt segera disajikan (pengupasan, penyisiran, pemanasan dll.)

4. Keamanan pangan (membunuh mikrobia patogen, menghilangkan antigizi dan racun)

Kondisi Pengolahan (pH, Oksigen, Panas, Cahaya) Berpengaruh terhadap nilai gizi bahan pangan,
aktivitas mikrobia dan enzim.
Efek Pengolahan berbeda-beda tergantung dari :

Jenis bahan pangan

Tipe pengolahan

Kondisi proses

Usaha memperkecil kehilangan gizi karena pengolahan :

Menghentikan proses pada saat hanya untuk menginaktifkan enzim dan mikrobia
patogen/pembusuk

Penggunaan panas yg tidak terlalu tinggi pasteurisasi

Kombinasi sistem pengolahan, misal pemanasan + zat additive

Penggunaan pH rendah

Nutrifikasi/fortifikasi (penambahan zat gizi dari luar)

Sedangkan proses yang penting dalam pengolahan adalah :

o perebusan,

o pengukusan,

o pengovenan,

o penggorengan,

o pembakaran,

o pengalengan dan

o dehidrasi.

o pemasakan

Pemasakan merupakan proses pengolahan dengan panas yang paling sederhana dan mudah
dilakukan. Tujuan Pemasakan pada umumnya adalah agar memperoleh makanan yang lebih lezat
dan memperpanjang daya simpan.

Pemasakan ada 2 macam :

Panas basah : perebusan dan pengukusan

Panas kering: pemanggangan,pengeringan, pengovenan dan penyangraian

Selama pemasakan terjadi perubahan zat gizi yang berpengaruh terhadapnilai gizi.

Perubahan yg terjadi terhadap zat gizi Nilai Gizi

Protein :

Protein di panaskan denaturasi daya cerna naik

Protein pada suhu tinggi rusak daya cerna turun


Karbohidrat :

KH dengan air + panas tergelatinisasi daya cerna naik

Gula pd suhu tinggi karamelisasi daya cerna turun

Lemak :

lemak dipanaskan mencair

lemak pada suhu tinggi teroksidasi, polimerisasi daya cerna turun

Vitamin :

Vitamin pada suhu tinggi sebagian rusak

pemanasan juga akan membebaskan vitamin dari ikatan senyawa lain ketersediaan meningkat

Mineral :

pemanasan juga akan membebaskan mineral dari ikatan senyawa lain ketersediaan meningkat

Zat anti Gizi

Sebagian zat anti gizi dengan panas rusak pencernaan/penyerapan meningkat

PENGARUH PENGOLAHAN TERHADAP PROTEIN

Pemanasan protein dapat menyebabkan terjadinya reaksi-reaksi baik yang diharapkan maupun yang
tidak diharapkan. Reaksi-reaksi tersebut diantaranya denaturasi, kehilangan aktivitas enzim,
perubahan kelarutan dan hidrasi, perubahan warna, derivatisasi residu asam amino, cross-linking,
pemutusan ikatan peptida, dan pembentukan senyawa yang secara sensori aktif. Reaksi ini
dipengaruhi oleh suhu dan lama pemanasan, pH, adanya oksidator, antioksidan, radikal, dan
senyawa aktif lainnya khususnya senyawa karbonil.

Kebanyakan protein pangan terdenaturasi jika dipanaskan pada suhu moderat (60-90C) selama satu
jam kurang. Denaturasi adalah perubahan struktur protein dimana pada keadaan terdenaturasi
penuh, hanya struktur primer protein saja yang tersisa, protein tidak lagi memiliki struktur sekunder,
tersier dan quarterner. Akan tetapi, belum terjadi pemutusan ikatan peptida pada kondisi
terdenaturasi penuh ini. Denaturasi protein yang berlebihan dapat menyebabkan insolubilisasi yang
dapat mempengaruhi sifat-sifat fungsional protein yang tergantung pada kelarutannya.

Dari segi gizi, denaturasi parsial protein sering meningkatkan daya cerna dan ketersediaan
biologisnya. Pemanasan yang moderat dengan demikian dapat meningkatkan daya cerna protein
tanpa menghasilkan senyawa toksik. Disampingitu, dengan pemanasan yang moderat dapat
menginaktivasi beberapa enzim seperti protease, lipase, lipoksigenase, amilase, polifenoloksidase
dan enzim oksidatif dan hidrolotik lainnya. Jika gagal menginaktivasi enzim-enzim ini maka akan
mengakibatkan off-flavour, ketengikan, perubahan tekstur, dan perubahan warna bahan pangan
selama penyimpanan.

Protein komponen yang sangat reaktif, asam amino dapat bereaksi dengan :

o gula pereduksi

o polifenol
o lemak dan hasil oksidasinya

o bahan alkali

o SO2

o hidrogen peroksida

Asam amino yang paling reaktif :

o lisin

o triptofan

o metionin dan

o sistein

Protein/asam amino selama pengolahan akan membentuk kompleks kovalen atau


teroksidasi perubahan nilai gizi daya cerna turun

Reaksi-reaksi yg terjadi :

Reaksi Maillard

Reaksi antara protein/asam amino dg gula pereduksi

Gugus amin (R-NH2) dengan gugus karbonil (-C=O)

Terjadi pewarnaan coklat (browning)

Contoh :

o pada pembakaran roti

o pemanasan daging + bahan nabati

o pemanasan susu

o produksi breakfast cereals

Reaksi Maillard sangat kompleks dibagi 2 :

1. Reaksi Maillard awal

Reaksi kondensasi antara grup karbonil gula pereduksi dengan grup amino bebas protein basa
Schiff ( gula aldosa ketosa) produk Amadori (turunan deoksiketosil) warna belum
berubah unavailable

H H H

(H-C-OH)4 (H-C-OH)4 (H-C-OH)4

H-C=O H-C-OH C=O

+ C-H H-C-H
NH2 N N-H

Protein (Lisin) Protein (Basa Schiff) Protein

Akibat reaksi maillard lisin atau asam amino lainnya akan rusak penurunan ketersediaan asam
amino daya cerna protein turun

2. Reaksi Maillard Lanjutan

Pembentukan deoksiketosil Melanoidin (pigmen berwarna coklat) diduga terdapat 3 jalur reaksi :

1) Pemecahan senyawa antara metil dikarbonil (dari degradasi gula) aldehid, dikarbonil
redukton dan senyawa flavor (asetaldehid, piruvat dehid, diasetil dan asam asetat)

2) Dehidrasi 3-deoksiheksason hidroksimetil furaldehid reaksi kompleks dan N heterosiklis


(pirazin, pirol) flavor terpanggang (roasted, bready,mitty)

3) Degradasi Strecker, degradasi asam amino bebas oleh senyawa dikarbonil (terbentuk
pada reaksi 1) aldehid strecker Melanoidin

b. Reaksi Resemisasi Asam amino

Terjadi karena perlakuan alkali juga dapat terjadi pada suasana asam dan proses penyangraian
(roasting)

Asam amino bentuk L akan berubah menjadi bentuk D yang tidak dapat digunakan oleh tubuh daya
cerna tubuh

COOH COOH

H2N - C - H H - C NH2

R R

Asam amino L Asam amino D

Rasemisasi residu asam amino dapat mengakibatkan penurunan daya cerna protein karena kurang
mampu dicerna oleh tubuh. Kerugian akan semakin besar apabila yang terasemisasi adalah asam
amino esensial.

c. Interaksi Protein dengan Polifenol


Asam fenolat, flavonoid dan tanin dengan adanya oksigen suasana alkalis atau adanya enzim
polifenolase ter-oksidasi membentuk senyawa ortokuinon yg reaktif dg protein senyawa
kompleks protein-polifenol yang :

- mengikut sertakan lisin ketersediaan lisin turun

- sulit dicerna enzim protease nilai gizi protein turun

d. Pembentukan Lisinolalanin ada 2 reaksi yaitu :

1) Reaksi beta-eliminasi

2) Reaksi Substitusi

LAL terbentuk pada pH 9 dan meningkat dengan semakin tingginya pH.Jumlah LAL tergantung
dari konsentrasi lisin dan jumlah residu Sistein dan serin dlm protein juga jaraknya dlm
rantai protein.

Usaha untk mengurangi terbentuknya LAL :

Penurunan pH dan suhu sifat fungsional yg kurang dikehendaki

Menutupi grup epsilon-amino lisin dengan bahan pengasilasi (acylating agents) atau gula

Oksidasi sistein asam sistein sulfonat

LAL selain dapat menurunkan nilai gizi juga bersifat toksik :

Tikus yang diberi ransum protein kedelai yang diberi perlakuan alkali kerusakan ginjal
(nephrocytomegaly)

Walau belum ada pembatasan LAL tetapi perlu hati2 terutama padamakanan
bayi/balita susu formula seminimal mungkin terbentuk LAL pada proses sterilisasi

e. Interakasi Protein dan Lipid Teroksidasi

Oksidasi lipid berlangsung 3 tahap :

1. Pembentukan produk primer (lipid hidroperoksida)

2. degradasi hidroperoksida produk sekunder : radikal bebas (aldehid, hidrokarbon dll.)

3. Polimerisasi produk primer dan sekunder produk yg stabil

- Lipid teroksidasi dapat bereaksi dengan protein terbentuk ikatan menyilang (cross linkage)
dalam rantai protein protein modifikasi yang tahan terhadap enzim proteolitik

- Interaksi protein dengan lipid teroksidasi nilai gizi turun

Kehilangan Asam Amino Akibat Proses Pengolahan

1. Kehilangan Secara Individual

Lisin
Group epsilon asam amino lisin mudah bereaksi dengan aldehid/gula pereduksi membentuk
basa Schiff senyawa Amadori reaksi .Maillard lanjut senyawa Melanoidin

Pembentukan polimer (ikatan menyilang dlm rantai protein) lisin rusak

Bereaksi dengan lipid teroksidasi

b. Metionin

Metionin mudah teroksidasi metionin sulfoksida pada oksidasi lipid

Metionin sulfoksida dapat direduksi kembali menjadi metionin dalam hati tikus

c. Sistin dan Sistein

Mudah teroksidasi

Sistin monooksida/dioksida beta eliminasi dehidro alanin hasil antara pembentukan Lisinilalanin
(LAL)

d. Triptofan

Oksidasi triptofan N-formil-kinurenin, kinurenin dan 2 stereoisomer dari dioksindol-3-alanin

Triptofan dengan aldhid hasil oksidasi lemak reaksi Maillard lanjut

Triptofan juga dapat bereaksi formaldehid

Kehilangan asam amino secara Relatif

Kehilangan lisin dan metionin daya cerna juga turun yang paling penting dlm hal gizi

Pada bahan makanan olahan selama penyimpanan kehilangan asam amino dan daya cerna
turun

Produk-produk yang terbentuk membentuk protein modifikasi yang sulit dicerna oleh enzim
proteolitik.

Disamping itu, asam amino triptofan dan asam amino lain yang mengandung sulfur juga dapat
rusak teroksidasi oleh adanya radikal bebas dan hidroperoksida.

EFEK PENGOLAHAN TERHADAP KARBOHIDRAT

Ditinjau dari nilai gizinya, karbohidrat dalam bahan pangan dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:

i. karbohidrat yang dapat dicerna : monosakarida (glukosa, fruktosa, galaktosa dsb); disakarida
(sukrosa, maltosa, laktosa) serta pati

ii. karbohidrat yang tidak dapat dicerna : oligosakarida penyebab flatulensi (stakiosa, rafinosa
dan verbaskosa) Serat pangan (dietary fiber) yang terdiri dari selulosa, pektin, hemiselulosa, gum dan
lignin.

Berdasarkan kelarutannya, serat pangan ada 2 :

1. Serat larut air (soluble dietary fiber) : Pektin, gum, musilase, agar, karagenan dan beberapa
hemilselulosa
2. Serat tidak larut air (insoluble dietary fiber) : selulose,lignin

Pengaruh pemasakan dan pemanggangan terhadap karbohidrat

Terjadinya gelatinisasi pati akan meningkatkan nilai cernanya.

Terjadinya reaksi Maillard karbohidrat sederhana dan kompleks dapat menurunkan ketersediaan
dalam produk-produk hasil pemanggangan

Proses ekstrusi HTST (high temperature, short time)

Mempengaruhi struktur fisik granula pati metah, membuatnya kurang kristalin, lebih larut air dan
mudah terhidrolisis oleh enzim.

Suatu penelitian telah dilakukan untuk mengukur hidrolisis tepung dan pati gandum secara in vitro
menggunakan alfa-amilase saliva dan secara in vivo dengan mengukur tingkat glukosa plasma dan
insulin tikus percobaan

Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa proses ekstrusi membuat pati lebih peka terhadap
alfa-amilase bila dibandingkan dengan perebusan

Kondisi ekstrusi yang ekstrim meningkatkan kadar gula dan insulin dalam plasma lebih cepat
dibandingkan dengan proses perebusan.

Selama proses ekstrusi, beberapa hasil hidrolisis pati dihasilkan : Adanya mono- dan oligosakarida,
seperti glukosa, fruktosa, melibiosa, maltosa dan maltriosa membuktikan bahwa polisakarida
didegradasi selama proses ekstrusi

Juga rantai makromolekul terpecah menjadi dua molekul tersebut, amiloda dan amilopektin, yang
diindikasikan dari viskositas, permeasi gel-kromatografi dan berat molekul rata-ratanya

Selama proses ektrusi juga terjadi pembentukan senyawa kompleks antara amilosa dengan
lipida sehingga menurunkan daya cerna pati yangbanyak mengandung amilosa secara in vitro.

Dalam bahan pangan keberadaan karbohidrat kadang kala tidak sendiri melainkan berdampingan
dengan zat gizi yang lain seperti protein dan lemak. Interaksi antara karbohidrat (gula) dengan
protein telah dibahas, seperti tersebut diatas. Bahan pangan yang dominan kandungan
karbohidratnya seperti singkong, ubi jalar, gula pasir, dll. Dalam pengolahan yang melibatkan
pemanasan yang tinggi karbohidrat terutama gula akan mengalami karamelisasi (pencoklatan non
enzimatis). Warna karamel ini kadang-kadang justru dikehendaki, tetapi jika dikehendaki
karamelisasi yang berlebihan sebaliknya tidak diharapkan .

Faktor pengolahan juga sangat berpengaruh terhadap kandungan karbohidrat, terutama seratnya.
Beras giling sudah barang tentu memiliki kadar serat makanan dan vitamin B1 (thiamin) yang lebih
rendah dibandingkan dengan beras tumbuk. Demikian juga pencucian beras yang dilakukan
berulang-ulang sebelum dimasak, akan sangat berperan dalam menurunkan kadar serat. Pengolahan
buah menjadi sari buah juga akan menurunkan kadar serat, karena banyak serat akan terpisah pada
saat proses penyaringan.

EFEK PENGOLAHAN TERHADAP LEMAK

v Penggorengan :
Terjadi perubahan sifat fisik kimia pada bahan dan minyak goreng. Suhu penggorengan terlalu tinggi
dari suhu normal (168 169 C) terjadi :

Degradasi minyak cepat terjadi dan terbentuk akrolein yang terasa gatal di tenggorokan

Ikatan rangkap teroksidasi asam lemak bebas yang berbau tengik

Asam lemak esensial terisomerisasi ketika dipanaskan dalam larutan alkali dan sensitif terhadap
sinar, suhu dan oksigen. Proses oksidasi lemak dapat menyebabkan inaktivasi fungsi biologisnya dan
bahkan dapat bersifat toksik. Suatu penelitian telah membuktikan bahwa produk volatil hasil oksidasi
asam lemak babi bersifat toksik terhadap tikus percobaan. Kecepatan oksidasi berbanding lurus
dengan tingkat ketidakjenuhan asam lemak, makin tidak jenuh mudah teroksidasi misal :

- asam linolenat (3 ikatan rangkap) lebih mudah teroksidasi dari pada asam linoleat (2 iktan
rangkap) dan asam oleat (1 ikatan rangkap)

- Minyak kedelai (tinggi asam linolenat) kurang baik sebagaiminyak goreng mudah
teroksidasi, mudah tengik baik bagikesehatan karena kolesterol darah tidak naik

- Minyak jagung lebih baik untuk minyak goreng karena asam linolenatnya lebih rendah dan
aman bagi kesehatan

Antioksidan misal vitamin E (tokoferol) dpt mengurangi kecepatan proses oksidasi, vitamin E banyak
terdapat pada lemak nabati. Adanya logam berat (Cu, Fe, Co dan Mn) mempercepat oksidasi
lemak.

Reaksi degradasi selama penggorengan reaksi penguraian asam lemak, produk yang terbentuk :

Tidak menguap : terdapat pada minyak dan bahan yang digoreng

Yang menguap : keluar bersama asap

Hasil yang tidak menguap disebabkan dari asam lemak tidak jenuh yang terdapat pada minyak
goreng dengan reaksi :

Reaksi autooksidasi

1. inisiasi

2. Propagasi

3. terminasi

Polimerisasi termal dan

Oksidasi termal

Oksidasi dari hidroperoksida lebih lanjut menghasilkan :

Alkoho, aldehid, asam dan hidrokarbon

Perubahan warna minyak goreng lebih gelap

Perubahan flavor

Pembentukan radikal bebas toksik bagi tubuh

Viskositas meningkat
Terbentuk fraksi NUAF (nonurea aduct forming) derivat asam lemak yang tidak membentuk
kompleks dengan urea toksik

Pada proses pemanggangan yang ekstrim, asam linoleat dan kemungkinan juga asam lemak yang lain
akan dikonversi menjadi hidroperoksida yang tidak stabil oleh adanya aktivitas enzim
lipoksigenasePerubahan tersebut akan berpengaruh pada nilai gizi lemak dan vitamin (oksidasi
vitamin larut lemak).

Pemasakan yang biasa dilakukan pada rumah tangga sedikit sekali berpengaruh terhadap kandungan
lemak, tetapi pemanasan dalam waktu lama seperti penggorengan untuk beberapa kali, maka asam
lemak esensial akan rusak dan terbentuk produk polimerisasi yang beracun. Lemak yang dipanaskan
berulangkali dapat menurunkan pertumbuhan pada tikus percobaan.

Dengan proses pemanasan, makanan akan menjadi lebih awet, tekstur, aroma dan rasa lebih baik
serta daya cerna meningkat.salah satu komponen gizi yang dipengaruhi oleh prose pemanasan
adalah lemak. Akibat pemanasan daging maka lemak dalam daging akan mencair sehingga
menambah palatabilitas daging tersebut.hal ini disebabkan oleh pecahnya komponen-komponen
lemak menjadi produksi volatil seperti aldehid, keton, alkohol, asam, dan hidrokarbon yang sangat
berpengaruh terhadap pembentukan flavor.

PENGARUH PENGOLAHAN TERHADAP NILAI GIZI VITAMIN

Stabilitas vitamin dibawah berbagai kondisi pengolahan relatif bervariasi

Vitamin A akan stabil dalam kondisi ruang hampa udara, namun akan cepat rusak ketika
dipanaskan dengan adanya oksigen, terutama pada suhu yg tinggi

Vitamin akan rusak seluruhnya apabila dioksidasi dan didehidrogenasi.

Vitamin juga akan lebih sensitif terhadap sinar ultra violet dibanding sinar lain

Asam askorbat sedikit stabil dalam larutan asam dan terdekomposisi oleh adanya cahaya. Proses
dekomposisi sangat diakselerasi oleh adanya alkali, oksigen, cu dan Fe

Kelompok asam folat stabil dalam perebusan pada pH 8 selama 30 menit, namun akan banyak
hilang apabila diautoklaf dalam larutan asam dan alkali. Destruksi asam folat diakselerasi oleh
adanya oksigen dan cahaya.

Vitamin K bersifat stabil terhadap panas dan senyawa pereduksi, namun sangatlabil terhadap
alkohol, senyawa pengoksidasi, asam kuat dan cahaya.

Vitamin B12 (kobalamin) murni bersifat stabil terhadap pemanasan dalam larutan netral. Vitamin
ini akan rusak ketika dipanaskan dalam larutan alkali atau asam

Riboflavin sangat sensitif terhadap sinar dan kecepatan destruksinya akan meningkat seiring
dengan meningkatnya pH dan temperatur

Tiamin tampak tidak akan terdestruksi ketika direbus dalam kondisi asam untuk beberapa jam,
namun akan terjadi kehilangan hingga 100% apabila direbus dalam kondisi pH 9 selam 20 menit

Tokoferol bersifat stabil pada proses perebusan asam tanpa adanya oksigen dan juga akan stabil
terhadap sinat tampak (visible light). Vitamin ini bersifat tidak stabil pada suhu kamar dengan adanya
oksigen, alkali, garam feri dan ketika terekspos pada sinar ultra violet
Kehilangan tokoferol terjadi ketika terjadi oksidasi lemak dalam proses penggorengan terendam
(deep-fat frying). Hal ini terutama disebabkan karena terjadi destruksi tokoferol oleh derivat asam
lemak yang secara kimia aktif, yang terbentuk selama pemanasan dan oksidasi.

PENGARUH PENGOLAHAN TERHADAP NILAI GIZI MINERAL

Pada umumnya garam-garam mineral tidak terpengaruh secara sigifikan dengan perlakuan kimia
dan fisik selama pengolahan.

Dengan adanya oksigen, beberapa mineral kemungkinan teroksidasi menjadi mineral bervalensi
lebih tinggi, namun tidak mempengaruhi nilai gizinya.

Perlakuan panas mempengaruhi absorpsi atau penggunaan beberapa mineral, terutama melalui
pemecahan ikatan, yang membuat mineral-mineral tersebut kurang dapat diabsorpsi

Fitat, fiber, protein dan mineral merupakan komponen utama sebagai penyusun kompleks
tersebut.

Beberapa mineral seperti zat besi, kemungkinan akan teroksidasi (tereduksi) selama proses
pemanggangan dan akan mempengaruhi absorpsi dan nilai biologisnya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dua senyawa besi yang digunakan dalam pengolahan
krakers soda mempunyai nilai biologis yang berbeda jauh

DAFTAR PUSTAKA

Hendrayana Taufik. 2010. Efek Pengolahan Terhadap Gizi Bahan Pangan.diakses dari http://www.x3-
prima.com/2010/02/efek-pengolahan-terhadap-gizi-bahan.html

Anonymous. 2012. diakses dari http://aulia.allalla.com/1/2012/03/pengolahan-dan-pengawetan-


bahan-makanan-serta-permasalahannya/

Dewanti Tri. 2013. Pengaruh Pengolahan Terhadap Zat Gizi. THP-FTP-Universitas Brawijaya
Malang. diakses darihttp://tridewanti.lecture.ub.ac.id/files/2012/05/Pengaruh-pengol.-thd-
gizi.ppt1_.ppt
PENGARUH PENGOLAHAN MAKANAN
PADA KANDUNGAN GIZI BAHAN
MAKANAN
by Afita Maudine 23.22.00 2 komentar

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Pengolahan bahan makanan memiliki andil yang cukup besar dalam


perubahan kandungan gizi yang ada di dalamnya. Pengolahan bahan makanan yang salah dapat
menyebabkan hilangnya kandungan gizi yang ada di dalam makanan. Sekitar 80% penduduk
Indonesia belum mengerti betul tata cara pengolahan bahan makanan yang benar. Sehingga
saat ini penyakit degeneratif yang disebabkan pola dan pengolahan bahan makanan yang salah
tetap menempati urutan pertama penyebab kematian masyarakat Indonesia.
Kesadaran untuk mengolah makanan dengan baik dan benar di Indonesia masih minim.
Hal ini dibuktikan dari banyaknya anak-anak sekolah yang lebih suka membeli panganan di
pinggir jalan, bukan dari rumahnya. Selain itu, para ibu juga belum memiliki pengetahuan yang
cukup tentang pengolahan makanan yang baik, seperti frekuensi penggunaan minyak, cara
memasak yang benar, dan sebagainya.
Pengolahan bahan makanan tidak hanya menggoreng, mengukus, memanggang, dan
sebagainya. Tapi juga termasuk pasteurisasi, pengovenan, fermentasi, dan lainnya. Untuk
mendapatkan makanan yang sehat, diperlukan proses pengolahan bahan makanan yang benar
agar kandungan gizi yang ada di dalam bahan makanan tidak hilang.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada penelitian ini adalah apakah pengolahan bahan makanan
memiliki pengaruh pada kandungan bahan makanan?

1.3 Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pengolahan bahan makanan
pada kandungan bahan makanan di dalamnya.
1.4 Hipotesis

Pengolahan bahan makanan memiliki pengaruh pada kandungan bahan makanan yang
ada di dalamnya.

1.5 Manfaat Penelitian


1.5.1 Bagi masyarakat

Diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah informasi mengenai pentingnya mengolah
bahan makanan dengan baik sehingga dapat menyebarkan informasi ini ke masyarakat luas.
Selain itu, dapat memberikan masukan kepada para ibu mengenai cara-cara pengolahan bahan
makanan yang baik dan benar. Serta sebagai bahan informasi untuk perkembangan ilmu Gizi
dalam menghindari faktor risiko terjadinya berbagai macam penyakit degeneratif pada
masyarakat Indonesia.
1.5.2 Bagi Peneliti

Memperoleh pangetahuan dan pengalaman dalam melakukan penelitian, khususnya


mengenai pengaruh pengolahan bahan makanan terhadap kandungan gizi bahan makanan.
Hasil penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai informasi dan data tambahan dalam penelitian
ilmu Gizi dan bisa dikembangkan lagi oleh peneliti selanjutnya dalam ruang lingkup yang
sama.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ZAT GIZI
2.1.1 Pengertian zat gizi
Zat gizi (Nutriens) adalah ikatan kimia yang diperlukan tubuh untuk melakukan
fungsinya, yaitu menghasilkan energi, membangun, dan memelihara jaringan, serta mengatur
proses-proses kehidupan.
2.1.2 Macam-macam zat gizi
1. Karbohidrat
2. Lemak / Lipida
3. Protein
4. Mineral
5. Vitamin
6. Air
2.1.3 Hubungan antara zat gizi dan makanan
Setiap makanan mengandung zat gizi di dalamnya, seperti karbohidrat, protein, lemak,
vitamin, maupun mineral.
2.2 MAKANAN
2.2.1 Definisi makanan
Makanan adalah bahan selain obat yang mengandung zat-zat gizi dan atau unsur-unsur
/ ikatan kimia yang dapat diubah menjadi zat gizi oleh tubuh, yang berguna bila dimasukkan
ke dalam tubuh.
2.2.2 Pengertian bahan makanan
Bahan makanan adalah makanan dalam keadaan mentah.

2.2.3 Jenis makanan


Makanan dibagi menjadi 2, yaitu yang berasal dari tumbuhan dan dari hewan. Makanan
yang berasal dari tumbuhan misalnya : sayur-sayuran, buah-buahan, biji-bijian, dan sebagainya.
Sementara itu, makanan yang berasal dari hewan misalnya : daging, susu, telur, dan sebagainya.

2.3 PENGOLAHAN MAKANAN


2.3.1 Pengertian pengolahan makanan
Pengolahan makanan adalah kumpulan metode dan teknik yang digunakan untuk
mengubah bahan mentah menjadi makanan atau mengubah makanan menjadi bentuk lain
untuk dikonsumsi oleh manusia atau hewan di rumah atau oleh industri pengolahan makanan.
2.3.2 Cara-cara pengolahan makanan
1. Penggorengan
2. Perebusan
3. Pengukusan
4. Pemanggangan
5. Fermentasi
6. Pasteurisasi
7. Pengeringan
8. Peragian
9. Pencampuran
10. Pengovenan, dan sebagainya

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 PEMBAHASAN
3.1.1 Pengaruh pengolahan terhadap nilai gizi protein
Pengolahan bahan makanan berprotein yang tidak dikontrol dengan baik dapat
menyebabkan terjadinya penurunan nilai gizinya. Proses pengolahan makanan protein dibagi
menjadi 3 cara, yaitu secara fisik, kimia, dan biologis. Secara fisik biasanya dilakukan dengan
penghancuran, atau pemanasan, secara kimia dengan menggunakan pelarut organik, oksidasi
atau asam, secara biologis dengan fermentasi atau hidrolisa enzimatis.
Diantaran cara pengolahan tersebut, yang paling banyak dilakukan adalah proses
pengolahan menggunakan pemanasan, seperti sterilisasi, pemasakan, dan pengeringan.
Pengolahan makanan berprotein yang salah dapat menyebabkan penurunan kandungan asam
amino dan penurunan daya cerna. Oleh karena itu, pengolahan makanan berprotein jangan
dilakukan dengan cara yang benar, seperti tidak melakukan pembakaran, karena dapat
menurunkan nilai biologis protein secara signifikan.
3.1.2 Pengaruh pengolahan terhadap nilai gizi karbohidrat
Ditinjau dari daya cernanya, karbohidrat dibagi menjadi 2, yaitu :
1. Karbohidrat yang dapat dicerna, yaitu monosakarida (glukosa, fruktosa, galaktosa, dsb);
disakarida (sukrosa, maltosa, laktosa); serta pati.
2. Karbohidrat yang tidak dapat dicerna, seperti oligosakarida dan serat pangan yang terdiri dari
selulosa, hemiselulosa, gum, dan lignin.
Pengaruh pemanggangan terhadap karbohidrat umumnya terkait dengan terjadinya
hidrolisis. Contohnya pemanggangan akan menyebabkan gelatinisasi pati yang akan
meningkatkan nilai cernanya. Sebaliknya, peranan karbohidrat sederhana dan kompleks dalam
reaksi Maillard dapat menurunkan ketersediaan karbohidrat dalam produk-produk hasil
pemanggangan.

Berbagai pengujian telah diterapkan untuk mengukur serat pangan, termasuk metode
penentuan kadar serat kasar secara klasik yang hasilnya biasanya lebih rendah dibandingkan
penentuan serat pangan secara enzimatis. Istilah serat kasar berbeda dari serat pangan. Serat
kasar merupakan bagian dari bahan pangan yang tidak dapat dihidrolisis oleh bahan-bahan
kimia yang digunakan untuk menentukan serat kasar. Sedangkan serat pangan adalah bagian
dari bahan pangan yang tidak dapat dihidrolisis oleh enzim-enzim pencernaan. Oleh karena itu,
nilai kadar serat kasar biasanya lebih rendah dari serat pangan karena asam sulfat dan natrium
hidroksida mempunyai kemampuan yang lebih besar dalam menghidrolisis komponen bahan
pangan dibandingkan dengan enzim-enzim pencernaan.
Serealia dan kulitnya dianggap merupakan sumber serat yang baik. Oleh karena bahan
tersebut banyak mengalami proses pengolahan terutama ekstrusi HTST (High Temperature
Short Time), maka diperkirakan terdapat pengaruh pegolahan terhadap kandungan seratnya.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan bahwa proses ekstrusi hanya sedikit
mempengaruhi kandungan serat dalam bahan pangan yang diuji.

3.1.3 Pengaruh pengolahan terhadap nilai gizi lemak


Pada umumnya, setelah proses pengolahan bahan pangan akan terjadi kerusakan lemak
yang terkandung di dalamnya. Tingkat kerusakannya sangat bervariasi tergantung suhu yang
digunakan serta lamanya waktu proses pengolahan. Makin tinggi suhu yang digunakan, maka
kerusakan lemak akan semakin intens. Asam lemak esensial akan terisomerisasi ketika
dipanaskan dalam larutan alkali dan sensitif terhadap sinar, suhu, dan oksigen. Proses oksidasi
lemak dapat menyebabkan inaktifasi fungsi biologisnya dan bahkan dapat bersifat toksik. Suatu
penelitian telah membuktikan bahwa produk voliatil hasil oksidasi asam lemak babi bersifat
toksik terhadap tikus percobaan.
Pada proses pemanggangan yang ekstrim, asam linoleat dan kemungkinan juga asam
lemak yang lain akan dikonversi menjadi hidroperoksida yang tidak stabil oleh adanya aktivitas
enzimlipoksigenase. Perubahan tersebut akan berpengaruh pada nilai gizi lemak dan vitamin
(oksidasi vitamin larut lemak) produk.

3.1.4 Pengaruh pengolahan terhadap nilai gizi vitamin


Stabilitas vitamin di bawah berbagai kondisi pengolahan relatif bervariasi. Vitamin A
akan stabil dalam kondisi ruang hampa udara, namun akan cepat rusak ketika dipanaskan
dengan adanya oksigen, terutama pada suhu yang tinggi. Vitamin tersebut akan rusak
seluruhnya apabila dioksidasi didehidrogenisaasi. Vitamin ini juga akan lebih sensitif terhadap
sinar ultraviolet dibandingkan dengan sinar pada panjang gelombang lain.
Asam askorbat sedikit stabil dalam larutan asam dan terdekomposisi oleh adanya
cahaya. Proses dekomposisi sangat diakselerasi oleh adanya alkali, oksigen, tembaga dan zat
besi.
Stabilitas vitamin D dipengaruhi oleh pelarut pada saat vitamin tersebut dilarutkan,
namun akan stabil apabila dalam bentuk kristal disimpan dalam botol gelas tidak tembus
pandang. Pada umumnya vitamin D stabil terhadap panas, asam dan oksigen. Vitamin ini akan
rusak secara perlahan-lahan apabila suasana sedikit alkali, terutama dengan adanya udara dan
cahaya.
Kelompok asam folat stabil dalam perebusan pada pH 8 selama 30 menit, namun akan
banyak hilang apabila diautoklaf dalam larutan asam dan alkali. Destruksi asam folat
diakselerasi oleh adanya oksigen dan cahaya.
Vitamin K bersifat stabil terhadap panas dan senyawa preduksi, namun sangat labil
terhadap alkohol, senyawa pengoksidasi, asam kuat dan cahaya.
Niasin akan terhidrolisis sebagian dalam asam dan alkali, namun masih mempunyai
nilai biologis yang sama. Pada umumnya, niasin stabil terhadap udara, cahaya, panas, asam,
dan alkali.
Asam pantotenat paling stabil pada pH 5,5-7, secara cepat akan terhidrolisis dalam asam
kuat dan kondisi alkali akan labil dalam pemanasan kering, larutan asam, dan alkali panas.
Vitamin 12 (kobalamin) murni bersifat stabil terhadap pemanasan dalam larutan netral.
Vitamin ini akan rusak ketika dipanaskan dalam larutan alkali atau asam dalam bentuk kasar,
misalnya dalam bahan pangan. Kolin sangat alkalis dan sedikit tidak stabil dalam larutan yang
mengandung oksigen.

Kelompok vitamin B6 meliputi peridoksin, peridoksal, dan peridoksamin. Peridoksin


bersifat labil terhadap pemanasan, alkali kuat atau asam, tetapi sensitif terhadap sinar, terutama
sinar ultraviolet ketika berada di dalam larutan alkali. Peridoksal dan peridoksamin secara cepat
akan rusak ketika diekspos di udara, panas, dan sinar. Ketiganya sensitif terhadap sinar
ultraviolet ketika berada di dalam larutan netral atau alkali. Peridoksamin dalam bahan
makanan bersifat sensitif terhadap pengolahan.
3.1.5 Pengaruh pengolahan terhadap nilai gizi mineral
Pada umumnya, garam-garam mineral tidak terpengaruh secara signifikan dengan
perlakuan kimia dan fisik selama pengolahan. Dengan adanya oksigen, beberapa mineral
kemungkinan teroksidasi menjadi mineral bervalensi lebih tinggi, namun tidak mempengaruhi
nilai gizinya.
Meskipun beberapa komponen pangan rusak dalam proses pemanggangan bahan
pangan, proses tersebut tidak mempengaruhi kandungan mineral dalam bahan pangan.
Sebaliknya, perlakuan panas akan sangat mempengaruhi absorpsi atau penggunaan beberapa
mineral, terutama melalui pemecahan ikatan, yang membuat mineral-mineral tersebut kurang
dapat diabsorpsi meskipun dibutuhkan secara fisiologis. Fiber, protein, dan mineral diduga
merupakan komponen utama sebagai penyusun kompleks tersebut.Beberapa mineral seperti zat
besi, kemungkinan akan teroksidasi selama proses pemanggangan dan akan mempengaruhi
absorppsi dan nilai biologisnya.
DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, Sunita Prinsip Dasar Ilmu Gizi, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Cetakan ke
: 8, 2009
Palupi, NS ; Zakaria, FR ; Prangdimurti, E Pengaruh Pengolahan terhadap Nilai Gizi
Pangan, Modul e-Learning ENBP, IPB 2007
http://id.wikipedia.org/wiki/Pengolahan_makanan

Pengaruh memasak dengan hilangnya nutrisi makanan Berikan sebuah balasan


Mengkonsumsi makanan yang bergizi dapat meningkatkan kesehatan dan jumlah energi
Anda. Namun cara Anda memasak makanan dapat berpengaruh besar kepada jumlah
nutrisi yang ada di dalamnya, bisa mengurangi atau justru meningkatkannya. Dalam artikel
ini akan dibahas bagaimana metode memasak dan pengaruhnya terhadap kandungan gizi
yang terdapat dalam makanan. Advertisement Memasak makanan akan mempermudah
sistem pencernaan dan meningkatkan penyerapan nutrisi. Sebagai contoh, protein dari telur
mentah 180% lebih mudah dicerna daripada dari telur yang masih mentah. Namun, ada
beberapa nutrisi penting yang justru berkurang oleh beberapa cara memasak. Berikut
beberapa nutrisi yang mungkin akan berkurang setelah dimasak : Vitamin yang larut dalam
air, yaitu vitamin C dan beberapa vitamin B kompleks. Vitamin larut dalam lemak yaitu
vitamin A, D , E dan vitamin K . Mineral terutama kalium, magnesium, sodium dan kalsium.
Beberapa nutrisi yang justru meningkat setelah dimasak : Zat antioksidan yaitu molekul yang
berguna untuk melindungi molekul lain dari dampak oksidasi yang dapat merusak sel.
Fitokimia yaitu zat yang ditemukan dalam makanan nabati yang bisa berpengaruhi terhadap
kesehatan Anda. Beberapa metode memasak yang dan potensi kehilangan nutrisi pada
makanan Perebusan Sayuran pada umumnya merupakan sumber terbanyak vitamin C,
namun jumlah vitamin yang berlimpah itu akan hilang ketika dimasak dalam air. Bahkan
proses medidihkan mengurangi vitamin C lebih banyak dari metode memasak yang lain.
Brokoli, bayam dan selada bisa kehilangan nutrisi ini hingga 50% atau lebih vitamin C bila
direbus. Karena vitamin C bersifat larut dalam air dan sensitif terhadap panas, maka dapat
larut ketika sayuran terendam dalam air panas. vitamin B juga merupakan vitamin yang
sama-sama sensitif terhadap panas. Hingga 60% vitamin B mungkin akan hilang saat
daging direbus dan kaldunya terbuang. Namun ketika kaldunya dikonsumsi, 100% jumlah
mineral dan 70 hingga 90% vitamin B masih bertahan. Sementara untuk ikan yang direbus
menunjukkan bahwa kandungan asam lemak omega 3 secara signifikan lebih bertahan
daripada digoreng atau dipanggan dengan microwave. Memanggang dengan grill
Memanggang dengan sumber panas yang berasal dari bawahbisa menghilangkan vitamin B
hingga 40%, dan bahkan mineral dapat hilang ketika kaldu yang kaya gizi menetes dari
daging. Ada juga kekhawatiran tentang zat hidrokarbon aromatik polisiklik (PAH) yang
berpotensi menjadi karsinogen( zat penyebab kanker) ketika daging dipanggang dan lemak
menetes ke permukaan sumber panas. Namun untungnya para peneliti telah menemukan
bahwa zat ini bisa turun hingga 41-89% jika tetesan dikeluarkan dan asap dikurangi.
Memasak dengan microwave Microwave adalah cara memasak yang mudah, nyaman dan
aman. Singkatnya waktu memasak paparan panas yang kecil akan mempertahankan nutrisi
dalam makanan pada microwave .Studi telah menemukan bahwa microwave adalah metode
memasak terbaik untuk mempertahankan aktivitas antioksidan dalam bawang putih dan
jamur. Sementara itu hanya sekitar 20-30% vitamin C dalam sayuran hijau yang hilang
selama diproses dimicrowave yang lebih sedikit potensi kehilangannya dari metode
memasak yang lain. Memanggang Oven dan Baking Memanggang dan baking mengacu
pada makanan yang dimasak dalam oven dengan menggunakan panas kering.
Kebanyakan, kehilangan vitamin termasuk vitamin C lebih sedikit dengan cara memasak ini.
Namun, karena waktu memasak yang lama pada suhu tinggi, vitamin B dalam daging
panggang bisa menurun sebanyak 40%. Menumis dan osengan Menumis dan
mengoseng/aduk goreng adalah mengacu kepada pengolahan makanan didalam panci dan
atas api sedang dengan panas tinggi yang menggunakan minyak atau mentega. Kedua
teknik ini sangat mirip, tetapi mengoseng/aduk goreng seringkali menggunakan suhu yang
lebih tinggi dan waktu memasak yang lebih pendek. Secara umum, ini adalah cara yang
sehat untuk menyiapkan makanan. Memasak untuk waktu yang singkat tanpa air dapat
mencegah hilangnya vitamin B, dan penambahan lemak akan meningkatkan penyerapan
fitokimia dan antioksidan . Baca juga: Manfaat Terong Ungu untuk Kesehatan, Kulit, dan
Rambut Satu studi menemukan bahwa penyerapan betakaroten 6,5 kali lebih besar pada
wortel yang ditumis jika dibandingkan yang mentah. Dalam studi lain, kadar lycopene
meningkat hingga 80% lebih banyak ketika orang mengkonsumsi tomat yang tumis dengan
minyak zaitun daripada yang tanpa minyak. Sementara itu aduk goreng telah terbukti
mengurangi vitamin C secara signifikan dari brokoli dan kubis merah. Menggoreng
Menggoreng adalah memasak makanan dengan menggunakan banyak minyak dan dengan
suhu tinggi. Dan makanan yang di goreng seringkali dilapisi dengan adonan atau remah roti.
Ini adalah cara menyiapkan makanan yang populer karena kulit atau lapisan makanan
dapat menutupi makanan sehingga tetap lembab dan dapat masak secara merata. Minyak
yang digunakan untuk menggoreng juga berguna untuk membuat rasa makanan yang enak.
Namun, tidak semua makanan cocok untuk digoreng. Lemak ikan adalah sumber asam
lemak omega 3 terbaik, yang memiliki banyak manfaat bagi kesehatan . Namun jenis lemak
ini sangat halus dan rentan rusak pada suhu yang tinggi. Menggoreng ikan tuna telah
terbukti menurunkan omega 3 hingga 70-85%, sedangkan memanggang hanya
menyebabkan sedikit kehilangan. Menggoreng juga lebih mempertahankan vitamin C dan
vitamin B, dan juga dapat meningkatkan jumlah serat dalam kentang dengan mengubah pati
menjadi pati resisten. Ketika minyak dipanaskan sampai suhu yang tinggi dengan jangka
waktu yang lama, maka zat beracun yang disebut dengan aldehida terbentuk. Aldehida
adalah zat yang telah dikaitkan dengan peningkatan risiko kanker dan penyakit lainnya.
Jenis minyak, suhu dan lamanya waktu memasak bisa mempengaruhi jumlah aldehida yang
dihasilkan. Memanaskan minyak juga meningkatkan pembentukan aldehida. Jika Anda ingin
menggoreng makanan, sebaiknya tidak terlalu lama; dan gunakan minyak untuk mengoreng
yang paling sehat. Mengukus Mengukus adalah salah satu metode memasak terbaik jika
ingin mempertahankan nutrisi, termasuk jenis vitamin yang larut dalam air yang sensitif
terhadap panas. Merebus juga merupakan metode memasak yang lebih sehat daripada
menggoreng yang beresiko terhadap lemak buruk dan karsinogen. Para peneliti telah
menemukan bahwa mengukus brokoli, bayam dan selada hanya akan mengurangi kadar
vitamin C relatif lebih sedikit yaitu sekitar 9-15%. Namun sayuran yang dikukus mungkin
akan terasa hambar. Namun hal ini bisa diubah dengan menambahkan bumbu dan minyak
setelah dimasak. Tips meminimalkan berkurangnya nutrisi selama proses
memasak Gunakan hanya sedikit mungkin air untuk perebusan. Cairan sayuran di panci
juga dikonsumsi setelah sayuran memasak/menggunakannya sebagai kuah sayuran .
Tambahkan cairan/kaldu daging. Jangan mengupas sayuran ketika memasak sayur, kecuali
setelah selesai dimasak. Memasak sayuran denan jumlah jumlah yang lebih sedikit
daripada air untuk mengurangi potensi hilangnya vitamin C dan vitamin B. Kandungan
vitamin C bisa terus menurun ketika makanan yang dimasak terkena udara, jadi sebaiknya
sayuran tidak menginap. Memotong makanan lebih baik setelah di masak, jika
memungkinkan. Ketika makanan dimasak utuh, bagian yang terkena panas dan air lebih
sedikit. Masaklah sayuran hanya dalam beberapa menit jika memungkinkan. Saat memasak
daging, unggas dan ikan, pergunakan waktu memasak yang lebih singkat namun tetap
aman dikonsumsi. Jangan menggunakan baking soda saat memasak sayuran, karena
vitamin C akan hilang dalam lingkungan basa yang dibuat oleh baking soda. Pesan Sangat
penting untuk memilih metode memasak yang tepat untuk memaksimalkan kualitas gizi dari
makanan Anda. Namun tidak ada metode memasak yang sempurna yang bisa
mempertahankan semua nutrisi. Secara umum, memasak dengan durasi yang lebih pendek
dan dengan suhu rendah serta dengan jumlah air yang minimal akan menghasilkan hasil
yang terbaik. Jangan biarkan nutrisi dalam makanan Anda terbuang percuma. Referensi :
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19650196
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23239760
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24837935
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/26396332
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/26776018
http://www.ars.usda.gov/SP2UserFiles/Place/80400525/Data/retn/retn06.pdf

Read more at Manfaat Kesehatan: Pengaruh memasak dengan hilangnya nutrisi makanan
Makanan dan Minuman yang Cepat Membuat Kita Gemuk
Catering Prasmanan untuk Acara Lamaran di Dakota Bandung

Banyak orang yang tidak suka makan sayuran padahal sayuran banyak mengandung vitamin dan
mineral yang menyehatkan tubuh. Terdapat 13 jenis vitamin yang penting yang dibutuhkan
manusia yang penting bagi kesehatan, di antaranya adalah vitamin A, C, D, E, K, dan B. Walaupun
penting bagi tubuh, tubuh manusia hanya dapat memproduksi vitamin D dan K dalam bentuk
provitamin yang tidak aktif. Oleh karenanya, manusia membutuhkan asupan makanan yang
mengandung vitamin tersebut. Jika kita kekurangan vitamin, maka kita dapat menderita berbagai
penyakit seperti xeropthalmia (mata keringa) akibat kekurangan vitamin A, anemia, gusi berdarah,
dll. Vitamin-vitamin tersebut banyak terdapat pada sayuran, oleh karenanya kita harus
membiasakan diri untuk mengkonsumsi sayuran setiap harinya.

Sayuran yang Baik untuk Kesehatan Tubuh Manusia

Walaupun kita sering mengkonsumsi vitamin, namun kadang kita tidak tahu bahwa vitamin dalam
sayuran dapat rusak karena cara mengolah masakan yang salah. Meski kita sudah memakan
sayuran, tapi karena proses memasaknya salah, tubuh kita tetap kekurangan vitamin. Perhatikan
hal-hal berikut saat memasak sayuran :
Jangan menyimpan sayuran terlalu lama
Sayuran yang baik adalah sayuran yang masih segar. Sayuran yang layu banyak kehilangan
vitamin yang dikandungnya. Sayuran yang telah dimasak juga jangan terlalu lama disimpan dalam
lemari es. Setelah 24 jam disimpan dalam lemari es, sayuran yang telah dimasak kehilangan
seperempat vitamin C. Setelah dua hari, sayuran yang telah dimasak kehilangan 50 persen vitamin
C. Kita juga harus menghindari menghangatkan sayuran berulang-ulang.
Vitamin mudah rusak oleh panas
Vitamin dapat berubah strutur kimianya jika terkena panas. Panas dan oksidasi dapat
menghancurkan vitamin yang terkandung dalam sayuran. Oleh karenanya, jangan memasak
sayuran terlalu lama. Jika sayuran dimasak dengan cara direbus, maka masukkan sayuran saat
air mulai mendidih. Dengan cara ini maka vitamin dalam sayuran dapat dijaga dengan baik.
Vitamin dapat larut dalam air
Beberapa jenis vitamin, seperti vitamin B dan C, dapat larut dalam air. Agar tetap terjaga
kandungan vitamin dalam sayuran maka saat mencuci sebaiknya kita mencuci dalam air yang
mengalir dan dalam waktu yang singkat. Saat memasak, kita sebaiknya menggunakan air dalam
jumlah secukupnya saja. Agar vitamin yang dikandung sayuran tidak larut dalam air, cuci bersih
sayuran sebelum memotong-motongnya. Bukan setelah dipotong baru dicuci.
Vitamin dapat larut dalam lemak
Beberapa vitamin dapat larut dalam lemak seperti vitamin A, D, E, dan K. Jika kita memasak
menggunakan minyak seperti menumis, maka gunakanlah minyak secukupnya saja. Dan minyak
yang digunakan jangan dibuang karena mungkin mengandung vitamin yang dibutuhkan tubuh.
Potongan sayuran berukuran cukup besar
Proses oksidasi dapat membuat vitamin menjadi rusak. Ukuran sayuran yang terlalu kecil akan
memudahkan sayur untuk menyerap udara dan menyebabkan vitamin menjadi rusak. Potonglah
sayuran dalam ukuran yang proporsional, tidak terlalu besar ataupun kecil.

Pengolahan masakan yang baik akan menentukan kualitas vitamin pada masakan. Perhatikan
tips-tips memasak berikut untuk menjaga kualitas vitamin dalam sayuran.

Memakan Mentah. Sayuran dapat dimakan mentah sebagai lalaban dengan sambal. Memakan
sayuran mentah adalah cara terbaik untuk menjaga kadar vitamin dalam sayuran. Walaupun
demikian, tidak semua orang suka memakan lalaban. Selain itu, ibu hamil sebaiknya berpantang
makan makanan mentah karena dapat mengandung bakteri yang berbahaya.

Mengukus. Cara memasak sayuran dengan mengukus adalah cara memasak terbaik untuk
sayuran dari semua cara memasak yang ada. Sayangnya, tidak semua orang menyukai sayuran
yang dikukus.

Memanggang. Perhatikan besarnya nyala api saat memanggang. Sayuran lebih rapuh daripada
daging, kita harus memanggangnya dengan api secukupnya. Saat dipanggang, kulit sayuran akan
menjaga sebagian besar nilai gizi dalam sayur. Hampir semua jenis sayuran dapat dipanggang,
tetapi yang terasa paling baik adalah jagung, asparagus, terong, jamur, paprika, kubis dan bawang.
Menumis. Agar sayuran tetap sehat, kita dapat menggunakan minyak zaitun yang memiliki
kadar kolesterol yang baik. Gunakanlah minyak secukupnya saja. Jangan tambahkan air saat
menumis karena air akan membuat sayur menjadi kecoklatan dan menjadi liat.

Merebus. Merebus sayuran adalah cara memasak yang paling sering dilakukan oleh ibu-ibu di
Indonesia. Padahal, merebus sayuran adalah cara yang paling buruk untuk menjaga vitamin dalam
sayuran karena sayur akan kehilangan sebagian nutrisnya. Rebuslah sayuran saat air mulai
mendidih. Jangan pernah merebus langsung sayur yang ditempatkan dalam air dingin. Itu hanya
akan mengurangi kadar vitamin C , 10 hingga 12 kali lipat.

Kandungan Gizi, Berubah Saat Diolah


23 Desember 2013 Gizi dibaca: 9408
inShare

http://www.sinarharapan.co/sehat/read/19761/kandungan-gizi-berubah-saat-
diolahlivestrong.com /2

Sebagian besar proses pengolahan pangan bersifat sensitif terhadap panas.

Kandungan gizi bahan pangan yang sangat bermanfaat sering kali berubah, rusak,
dan berkurang. Ini dapat terjadi selama proses penanganan, penyimpanan dan pengawetan.
Zat gizi yang terkandung dalam bahan pangan akan rusak pada sebagian besar proses
pengolahan karena sensitif terhadap tingkat keasaman (pH), oksigen, sinar dan panas atau
kombinasi di antaranya. Namun proses pengolahan juga dapat bersifat menguntungkan
terhadap beberapa komponen zat gizi yang terkandung dalam bahan pangan tersebut, yaitu
perubahan kadar kandungan zat gizi, peningkatan daya cerna dan ketersediaan zat-zat
gizi serta penurunan berbagai senyawa antinutrisi yang terkandung di dalamnya. Ketahuilah
bagaimana kandungan gizi berubah karena pengolahan.

Terhadap protein
Cara pengolahan yang paling banyak dilakukan adalah menggunakan pemanasan seperti
sterilisasi, pemasakan dan pengeringan. Khusus pada protein, ini merupakan senyawa reaktif
dan dapat berikatan dengan komponen lain, misalnya gula pereduksi, polifenol, lemak dan
produk oksidasinya serta bahan tambahan kimia lainnya seperti alkali, belerang dioksida
atau hidrogen peroksida.
Reaksi yang terjadi selama pengolahan bahan pangan dapat menyebabkan menurunnya nilai
gizi protein akibat terjadinya penurunan daya cerna protein dan ketersediaan asam-asam
amino esensial.

Terhadap vitamin
Stabilitas vitamin di bawah berbagai kondisi pengolahan relatif bervariasi. Vitamin A akan
stabil dalam kondisi ruang hampa udara, namun akan cepat rusak ketika dipanaskan dengan
adanya oksigen, terutama pada suhu yang tinggi. Vitamin tersebut akan rusak seluruhnya
apabila dioksidasi dan didehidrogenasi. Vitamin ini juga akan lebih sensitif terhadap sinar
ultraviolet dibandingkan dengan sinar pada panjang gelombang yang lain.

Terhadap garam mineral


Pada umumnya garam-garam mineral tidak terpengaruh secara signifikan dengan perlakuan
kimia dan fisik selama pengolahan. Dengan adanya oksigen, beberapa mineral teroksidasi
menjadi mineral bervalensi lebih tinggi, namun tidak memengaruhi nilai gizinya. Meskipun
beberapa komponen pangan rusak dalam proses pemanggangan bahan pangan, proses
tersebut tidak memengaruhi kandungan mineral dalam bahan pangan.
Sebaliknya, perlakuan panas akan sangat memengaruhi absorpsi atau penggunaan beberapa
mineral, terutama melalui pemecahan ikatan, yang membuat mineral-mineral tersebut kurang
dapat diabsorpsi oleh usus.

Terhadap karbohidrat
Ditinjau dari nilai gizinya, karbohidrat dalam bahan pangan dapat dikelompokkan menjadi
dua: pertama adalah karbohidrat yang dapat dicerna yang terdiri dari monosakarida (glukosa,
fruktosa, galaktosa dan sebagainya; disakarida (sukrosa, maltosa, laktosa) serta pati; kedua
adalah karbohidrat yang tak dapat dicerna, seperti oligosakarida penyebab flatulensi
(stakiosa, rafinosa dan verbaskosa) serta serat pangan (dietary fiber) yang terdiri dari
selulosa, pektin, hemiselulosa, gum dan lignin. Beberapa cara pengolahan
dapat menurunkan atau meningkatkan nilai gizi karbohidrat.
Terhadap lemak
Pada umumnya setelah proses pengolahan bahan pangan, akan terjadi kerusakan lemak yang
terkandung di dalamnya. Tingkat kerusakannya sangat bervariasi tergantung suhu yang
digunakan serta lamanya waktu proses pengolahan. Makin tinggi suhu yang digunakan, maka
kerusakan lemak akan semakin intens.

Sumber : Departemen Ilmu & Teknologi Pangan-Fateta, IPB


PENGARUH PROSES TERMAL TERHADAP ZAT GIZI
MIKRO
Penggunaan panas dan waktu dalam proses pemanasan bahan pangan sangat berpengaruh pada bahan
pangan. Dalam pengolahan bahan pangan, penggunaan panas seringkali dilakukan dengan tujuan untuk
menambah citarasa dan memperpanjang daya simpan produk pangan tersebut. Di dalam kehidupan sehari-hari
jenis proses termal yang biasa dilakukan adalah penggorengan, perebusan, pengukusan, dan pemanggangan. Di
tingkat industri, kita mengenal beberapa jenis pengolahan pangan dengan menggunakan panas seperti blansir,
pasteurisasi dan sterilisasi dengan maksud agar bahan makanan dapat lebih awet disimpan. Pada umumnya
semakin tinggi jumlah panas yang diberikan semakin banyak mikroba yang mati.
Tetapi penggunaan panas pada pengolahan bahan pangan juga dapat mempengaruhi nilai gizi bahan
pangan tersebut, termasuk zat gizi mikro (vitamin dan mineral). Umumnya vitamin-vitamin (khususnya vitamin larut
air) dan mineral tidak stabil terhadap panas. Beberapa jenis bahan pangan seperti halnya susu dan kapri serta
daging, sangat peka terhadap suhu tinggi karena dapat merusak warna maupun rasanya.
Penggorengan merupakan salah satu jenis pengolahan pangan dengan menggunakan panas. Suhu
yang digunakan biasanya adalah 160 oC, sehingga dapat merusak vitamin dan mineral. Kandungan -karoten (pro-
vitamin A) minyak sawit merah (minyak goreng) juga mengalami penurunan selama proses pemanasan
(penggorengan). Hal ini tergantung dari suhu yang digunakan. Hasil penelitian melaporkan bahwa pemanasan
minyak sawit merah pada suhu 150 0C mampu mempertahankan kandungan -karoten yang lebih baik
dibandingkan suhu yang lebih tinggi (160, 170 dan 180 0C). Penurunan kandungan vitamin yang terjadi pada
pemanasan minyak goreng disebabkan terjadinya reaksi oksidasi minyak dan degradasi asam lemak akibat suhu
pemanasan yang tinggi dan lama pemanasan.
Pengukusan dan perebusan adalah metode konvensional lainnya yang telah lama dikenal untuk
memasak. Pada proses erebusan dapat menurunkan nilai gizi suatu bahan makanan lebih banyak dibandingkan
dengan pengukusan. Bahan makanan yang langsung terkena air rebusan akan menurunkan nilai gizinya terutama
vitamin-vitamin larut air (B kompleks dan C), sedangkan vitamin larut lemak (ADEK) kurang terpengaruh.
Pemanggangan juga bisa menyebabkan kerusakan zat gizi. Kerusakan zat gizi dalam bahan makanan
yang dipanggang umumnya terkait dengan suhu yang digunakan dan lamanya pemanggangan. Pada roti
misalnya, tidak ada susut gizi yang berarti dalam tahap pencampuran adonan, fermentasi, maupun
pencetakan. Tetapi pada proses pemanggangan cukup banyak zat gizi yang mengalami kerusakan sehingga
menurunkan nilai gizi. Pemanggangan roti sampai kulitnya berwarna coklat akan menurunkan kadar tiamin 17 -
22%. Roti tawar akan kehilangan tiamin (vitamin B1) lebih sedikit dibandingkan roti berukuran kecil. Riboflavin
(vitamin B2) dan niasin (asam nikotinat) relatif stabil dalam proses pemanggangan. Dilaporkan, susut niasin hanya
kurang dari 5%, sementara riboflavin sedikit sekali yang hilang. Hanya saja, dalam proses penggorengan donat
dengan minyak, susut riboflavin bisa mencapai 23%.
Blansir adalah perlakuan panas pendahuluan yang sering dilakukan dalam proses pengalengan buah dan sayuran dengan
tujuan untuk memperbaiki mutunya sebelum dikenai proses lanjutan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses blansir dapat
menurunkan nilai gizi suatu produk pangan terutama vitamin, mineral, dan komponen-komponen yang larut air
lainnya. Besarnya kerusakan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: 1) Varietas, 2) Tingkat kemasakan/kematangan, 3)
Metode penanganan (terutama tingkat pemotongan, pengirisan, dan lain-lain, yang mempengaruhi rasio luas permukaan/
volume bahan), 4) Penggunaan medium pemanas dan pendingin, 5) Lama dan suhu pemanasan, dan 6) Rasio air/bahan yang
diblansir (terutama jika digunakan air sebagai medium pemanas atau pun pendingin). Pengaruh penggunaan metode blansir
terhadap kandungan vitamin C pada beberapa bahan pangan dapat dilihat pada Tabel 1.

Selain vitamin C, pengolahan pangan dengan menggunakan panas juga dapat menurunkan vitamin larut
air lainnya (vitamin B) tergantung pada metode dan suhu yang digunakan. Kandungan vitamin larut air pada
produk susu yang mengalami proses pengolahan dengan panas dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 1. Pengaruh penggunaan metode blansir terhadap kandungan vitamin C


Sumber : Cumming et al. (1984)

Tabel 2. Kandungan vitamin larut air pada susu

Sumber : Saleh (2004)

Kehilangan atau susut zat gizi mikro pada bahan pangan pada saat penggunaan panas dapat
diminimalkan dengan cara membuat kondisi asam. Zat-zat gizi mikro akan lebih stabil pada kondisi asam. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa vitamin C pada sari buah murbei lebih stabil selama penyimpanan karena kondisi
pH yang rendah walaupun mengalami proses pasteurisasi pada suhu 80 0C selama 10 menit.
Contoh lainnya adalah pada produk minuman susu. Hampir semua produk yang telah dipasteurisasi
mempunyai pH rendah (asam). Produk makanan yang tidak tahan panas umumnya stabil dalam kondisi asam,
dengan demikian kondisi asam ini akan mencegah susut gizi yang mungkin terjadi. Susu yang dipasteurisasi akan
kehilangan tiamin 10%, vitamin C 10 - 20%, dan vitamin B12 0 - 10%.
Proses termal pada pengolahan pangan juga akan berpengaruh pada penyerapan zat gizi dalam
tubuh. Banyak faktor yang mempengaruhi penyerapan zat gizi mikro (terutama mineral) di dalam tubuh. Sebagai
contoh, adanya serat dan zat anti gizi (asam fitat, dan lain-lain) dapat menghambat penyerapan zat besi, kalsium,
dan lain-lain. Proses pemanasan dapat mendegradasi heme sehingga bioavailabilitas heme iron akan menjadi
rendah. Semakin lama proses pemanasan akan menyebabkan solubiliti zat besi semakin rendah. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa proses perebusan yang dikombinasikan dengan kondisi asam dapat meningkatkan
penyerapan zat besi. Hanya saja faktor lama perebusan juga perlu diperhatikan.

Diposkan oleh Arfah Thp di 22.28

PENGARUH PENGOLAHAN TERHADAP KADAR


VITAMIN C PADA BROKOLI
Dipostkan Oleh tresnaano03

Jumat, 18 November 2016 | 00:08 WITA

View

Brokoli adalah sayuran berdaun hijau tua jenis Brassica, keluarga tanaman yang meliputi
kangkung, kubis, dan kembang kol. Sayuran ini berasal dari Italia, di mana nama 'brokoli' berasal
dari kata broccolo Italia, yang berarti 'cabang' dan pertama kali dibudidayakan di abad ke-17 atau
ke-18.Brokoli adalah salah satu sayuran yang paling populer di seluruh dunia yang digunakan
dalam berbagai hidangan dan masakan. Sayuran ini bisa dimakan mentah atau dimasak, tapi cara
terbaik adalah memakannya mentah sebagai salad, agar terlindungi nutrisi di dalamnya. Brokoli
telah lama dianggap sebagai salah satu makanan super yang dikemas dengan manfaat kesehatan
yang luar biasa.

Di Indonesia, brokoli merupakan sayuran yang sangat terkenal, terutama bagi orang-orang yang
tinggal di perkotaan. Saat pertama kali muncul, brokoli menjadi sayuran yang cukup langka dengan
harga mahal dan dianggap sebagai sayuran kelas atas.Namun, seiring dengan perkembangan
teknologi dan pengetahuan, brokoli berhasil dibudidayakan di Indonesia, terutama di daerah-
daerah dingin seperti Lembang, Bandung dan Malang. Meskipun sekarang lebih mudah
didapatkan, namun predikatnya sebagai sayuran kelas atas tetap terjaga. Hal ini karena
kandungan nutrisi dalam brokoli yang sangat bermanfaat bagi kesehatan.

Kandungan nutrisi dari brokoli bisa dibilang cukup lengkap. Dalam brokoli terdapat beberapa zat
gizi seperti vitamin A, B, C, K, dan mineral seperti kalsium juga zat besi. Pada brokoli terdapat 132
mg vitamin C. Kandungan serat dan antioksidan dalam brokoli juga sangat bagus untuk
kesehatan. Brokoli merupakan salah satu sayuran terkuat dalam diet yang menyediakan serat dan
kalori super rendah. Dengan seratnya, sayuran hijau ini telah berkontribusi terhadap kelancaran
pencernaan, mencegah sembelit, dan mempertahankan gula darah. Namun, kontribusi brokoli
ternyata tak sebatas diet, karena ada 9 manfaat utama brokoli bagi kesehatan secara menyeluruh.
Manfaat brokoli hijau bagi tubuh yang kaya akan manfaat vitamin C yaitu, tubuh akan terhindar
dari radikal bebas, karena vitamin C adalah antioksidan pencegah radikal bebas masuk ke tubuh
yang pada akhirnya menyebabkan kanker.

Umumnya cara mengolah brokoli adalah dengan direbus atau dikukus, meskipun ada juga yang
langsung memakannya mentah-mentah., proses pengolahan brokoli seperti dengan microwave
atau perebusan ternyata akan menurunkan kandungan glucosinolate atau glucoraphanin
(senyawa pembentuk sulphoraphane) secara signifikan. Studi ilmiah menunjukkan bahwa
bioavailabilitas senyawa isothiocyanates atau sulphoraphanes pada brokoli segar adalah 3 kali
lebih tinggi dibandingkan brokoli yang telah dimasak (misalnya dengan cara dipanaskan seperti
direbus). Penurunan ini disebabkan oleh inaktivasi enzim myronase oleh pemanasan. Ketika
enzim ini tidak aktif, glucosinolates tidak diubah menjadi sulphoraphane, padahal sulphoraphane-
lah yang berperan penting sebagai komponen bioaktif utama pada brokoli.

Jadi, proses pemasakan atau pengolahan yang disarankan adalah dengan proses pengukusan
karena proses ini selain meminimalkan proses inaktivasi enzim myronase dan larutnya senyawa
glucosinolates ke dalam air rebusan, pengukusan ternyata juga berpotensi memertahankan
kandungan antioksidan seperti vitamin C dan senyawa fenolik, bahkan meningkatkan kandungan
senyawa-senyawa tersebut.

Vitamin C sangat mudah dirusak oleh pemanasan, karena ia mudah dioksidasi. Dapat juga hilang
dalam jumlah yang banyak pada waktu mencincang sayur-sayuran seperti kol dan perebusan
brokoli. Di samping sangat larut dalam air, vitamin C mudah teroksidasi dan proses tersebut
dipercepat oleh panas, sinar atau enzim oksidasi, serta oleh katalis lembaga dan besi. Oksidasi
akan terhambat bila vitamin C dibiarkan dalam keadaan asam atau suhu rendah. Buah yang masih
muda (mentah) lebih banyak mengadung vitamin C. Semakin tua buah, semakin berkurang vitamin
C-nya, dan semakin tua warna sayur, semakin banyak kandungan vitamin C-nya.

https://student.unud.ac.id/tresnaano03/news/12246
MINGGU, 19 APRIL 2015

KERUSAKAN PANGAN

KERUSAKAN PANGAN

ahan makanan dianggap rusak apabila menunjukkan penyimpangan yang melewati

B batas yang dapat diterima oleh indera manusia. Kerusakan dapat ditandai oleh
adanya perubahan dalam kenampakan, misalnya, bentuk atau warna, bau, rasa,
tekstur, atau tanda-tanda penyimpangan lainnya. Kerusakan bahan pangan,
tergantung dari jenis bahan pangan, dapat berlangsung secara lambat misalnya
pada biji-bijian atau kacang-kacangan atau dapat berlangsung secara sangat cepat misalnya
pada susu dan hati.

A. JENIS dan PENYEBAB KERUSAKAN PANGAN


JENIS KERUSAKAN PANGAN

Winarno dan Jenie (1982) membedakan kerusakan bahan menurut penyebabnya, menjadi
lima, yaitu:
1. Kerusakan Mekanis
Kerusakan mekanis adalah kerusakan yang disebabkan karena bahan mengalami benturan-
benturan mekanis yang terjadi selama pemanenan, transportasi ataupun penyimpanan.
Contohnya: Pada waktu dipanen buah yang jatuh atau membentur permukaan keras menjadi
memar. Urbi-umbian yang terkena cangkul atau terpotong oleh alat pemanen, penumpukan
bahan selama pengangkutan dan penyimpanan yang tidak memadai akan merusak bahan
yang diletakkan pada bagian bawah.
2. Kerusakan Fisik
Kerusakan fisik adalah kerusakan bahan karena perlakuan-perlakuan fisik yang tidak tepat.
Contohnya: Kerusakan warna dan tekstur pada daging yang dibekukan, tepung mengeras
atau membatu karena penyimpanan pada tempat yang lembab.
3. Kerusakan Fisiologis dan Biologis
Kerusakan fisiologis terjadi karena reaksi peruraian selama proses metabolisme yang terjadi
secara alamiah dalam bahan. Contohnya: Pelunakan pada daging dan ikan setelah
disembelih, pematangan buah dilanjutkan dengan kerusakan alamiah.

Kerusakan biologis biasanya disebabkan oleh aktivitas dari hewan, seperti ulat yang merusak
buah atau sayur, tikus dan serangga yang merusak bahan-bahan makanan selama
penyimpanan, dan sebagainya.
4. Kerusakan Kimiawi
Kerusakan kimiawi adalah kerusakan yang terjadi karena reaksi kimia yang berlangsung di
dalam bahan makanan.
Misalnya : Reaksi pencokelatan pada beberapa jenis buah dan sayur, seperti pisang, kentang,
terong, dan apel, reaksi ketengikan minyak, dan sebagainya.
5. Kerusakan Mikrobiologis
Kerusakan mokrobiologis adalah kerusakan makanan karena adanya aktivitas
mikroorganisme, seperti bakteri, yeast, dan jamur yang mengkontaminasi makanan.
Kerusakan jenis ini paling banyak ditemukan pada bahan makanan. Kerusakan jenis ini juga
harus diwaspadai, karena ada kemungkinan bersama-sama dengan mikroorganisme perusak
terdapat pula mikroorganisme penyebab penyakit dan peracunan.

PENYEBAB UTAMA KERUSAKAN PANGAN.


Kerusakan bahan pangan dapat disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut :
1. Pertumbuhan dan aktivitas mikroba terutama bakteri, ragi dan kapang
2. Aktivitas enzim-enzim di dalam bahan pangan
3. Serangga, parasit dan tikus
4. Suhu termasuk suhu pemanasan dan pendinginan
5. Kadar air
6. Udara terutama oksigen
7. Sinar
8. Perlakuan fisik
9. Jangka waktu penyimpanan

Disamping itu, faktor-faktor penyebab kerusakan pangan dapat juga dikelompokkan sebagai
:
1. Faktor internal adalah sifat-sifat yang terdapat pada pangan yang bersangkutan seperti kadar
air, kadar gula, kadar garam, keasaman (pH) dan komposisi kimia.
2. Faktor eksternal adalah faktor lingkungan yang mencakup suhu, kelembaban, cahaya,
komposisi udara, cara penanganan, penyimpanan, serta distribusi.

B. KERUSAKAN PANGAN OLEH MIKROORGANISME (Bakteri, Kapang/ Jamur, Khamir)

Mikroba penyebab kebusukan pangan dapat ditemukan dimana saja, baik di tanah, air,
udara, di atas kulit atau bulu ternak dan di dalam usus. Beberapa mikroba juga ditemukan di
atas permukaan kulit buah-buahan, sayur-sayuran, biji-bijian dan kacang-kacangan. Mikroba
seharusnya tidak ditemukan di dalam jaringan hidup misalnya daging hewan, daging buah
atau air buah. Contoh misalnya : 1) Susu yang berasal dari sapi yang sehat mula-mula steril
ketika maz di dalam kelenjar susu, tetapi setelah diperah akan mengalami kontaminasi dari
udara, wadah atau dari si pemerah itu sendiri, 2) Daging sapi yang berasal dari sapi yang
sehat juga akan mengalami kontaminasi segera setelah pemotongan, 3) Buah-buahan, sayur-
sayuran, biji-bijian dan kacang-kacangan akan mengalami kontaminasi setelah dikupas
kulitnya, 4) Telur, bagian dalam dari telur sehat mula-mula adalah steril tetapi kulitnya banyak
mengandung bakteri yang berasal dari kotoran ayam.
Bakteri mempunyai beberapa bentuk yang khas, misalnya :
1. Bentuk Koki pada Steptococcus sp.,Micrococcus sp.,dan Sarcina sp.
2. Bentuk Batang pada Basil
3. Bentuk Spiral pada Spirilla dan Vibrios.

Bakteri yang terdapat dalam makanan mempunyai ukuran yang sangat kecil, yaitu
sebagian besar mempunyai usuran panjang sel 1 sampai beberapa mikron (1 mikron = 1/1000
mm). Beberapa bakteri dapat membentuk spora yang lebih tahan terhadap pemanasan,
pengaruh kimia dan pengaruh lain-lainnya. Spora bakteri ini jauh lebih tahan daripada spora
ragi atau kapang, dan lebih tahan terhadap pemanasan daripada enzim. Ragi mempunyai
ukuran panjang sel 20 mikron atau lebih. Sebagian besar ragi berbentuk bulat atau lonjong.
Jika dibandingkan dengan bakteri dan ragi, kapang berukuran lebih besar dan lebih kompleks.
Beberapa kapang tumbuh seperti bulu atau rambut yang disebut mycelia dan pada
unjungnya berbentuk seperti buah yang disebut conidia dan mengandung spora kapang.
Kapang mempunyai spora yang berwarna khas, misalnya berwarna hijau atau hitam
pada roti busuk, berwarna merah jingga pada oncom, atau berwarna putih dan hitam pada
tempe. Perbedaan warna ini disebabkan karena perbedaan warna conidia atau sporanya.
Tumbuhnya bakteri, ragi atau kapang di dalam bahan pangan dapat mengubah komposisi
bahan pangan.
Beberapa mikroba dapat menghasilkan enzim yang aktif yang dapat menghidrolisapati.
Disamping itu beberapa mikroba dapat menghasilkan enzim yang dapat
menghidrolisa selulosa atau dapat memfermentasi gula, sedangkan mikroba lainnya
menghasilkan enzim yang dapat menghidrolisa lemak yang mengakibatkan terjadinya
ketengikan, atau merusak protein yang menghasilkan bau busuk. Beberapa mikroba tersebut
dapat membentuk lendir, gas, busa, warna yang menyimpang, asam, racun dan lain-
lainnya. Jika makanan mengalami kontaminasi secara spontan dari udara, maka di dalam
makanan tersebut terdapat pertumbuhan campuran dari beberapa jenis mikroba.
Bakteri, ragi dan kapang dapat tumbuh dengan baik pada keadaan yang hangat dan
lembab. Beberapa bakteri mempunyai kisaran suhu pertumbuhan antara 45 550C yang
disebut bakteri termofilik. Beberapa bakteri yang mempunyai kisaran suhu pertumbuhan
antara 20 450C yang disebut bakteri mesofilik. Dan yang lainnya mempunyai suhu
pertumbuhan di bawah 200C yang disebut bakteri psikrofilik. Spora dari kebanyakan bakteri
dapat mempertahankan diri pada suhu air mendidih, dan pada suhu lebih rendah spora akan
bergerminasi dan berkembang biak.
Beberapa bakteri dan semua kapang yang membutuhkan oksigen untuk tumbuh,
disebut bakteri aerobik. Bakteri yang lain malahan tidak dapat tumbuh bila ada oksigen,
bakteri demikian disebut bakteri anaerobik.
Dalam keadaan optimum bakteri memperbanyak diri dengan cepat. Dari 1 sel menjadi
2 hanya memerlukan waktu 20 menit dan seterusnya tumbuh berlipat ganda menurut fungsi
eksponensial. Contoh misalnya : susu yang pada keadaan tertentu mengandung 100.000
bakteri per mililiter, jika dibiarkan pada suhu kamar selama 24 jam maka jumlah bakteri dapat
menjadi 25 juta, dan dalam 96 jam dapat menjadi 5.000 juta tiap milliliter.
Faktor-faktor lingkungan hidup yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba di antaranya
air, kelembaban nisbi, suhu, pH, oksigen, mineral, dan lain-lain.

Bentuk-Bentuk Kerusakan Bahan Pangan Oleh Mikroorganisme:


Berjamur
Kapang bersifat aerobik, paling banyak atau terutama tumbuh pada bagian luar permukaan
bahan pangan yang tercemar. Bahan pangan mungkin menjadi lengket, berbulu sebagai hasil
produksi miselium dan spora kapang dan berwarna.
Pembusukan (rots)
Pada umumnya diartikan sebagai pembusukan dari produk-produk dengan tekstur yang cukup
baik seperti buah-buahan dan sayuran dimana pertumbuhan mikroorganisme merusak
bagian-bagian struktur bahan pangan menjadi produk yang sangat lunak dan berair.
Berlendir
Pertumbuhan bakteri pada permukaan yang basah seperti sayuran, daging dan ikan dapat
menyebabkan flavor dan bau yang menyimpang serta pembusukan bahan pangan dengan
pembentukan lender.
Perubahan Warna
Beberapa mikroorganisme menghasilkan koloni-koloni yang berwarna atau mempunyai
pigmen (zat warna) yang memberi warna pada bahan pangan yang tercemar (Serratia
marcescens merah; spesies Rhodotorulla merah; Pseudomonas fluorescens hijau
dengan fluorescence; Aspergillus niger hitam; Species Penicillium hijau).
Berlendir Kental Seperti Tali (ropiness)
Suatu lender kental (rope) yang berbentuk tali dalam bahan pangan disebabkan oleh berbagai
spesies mikroorganisme seperti Leuconostoc mesenteroides, Leuconostoc dextranicum,
Bacillus subtilis dan Lactobacillus plantarum. Pada beberapa bahan pangan pembentukan
lender dikaitkan dengan pembentukan bahan kapsul oleh mikroorganisme, sedang pada
beberapa bahan pangan lainnya dapat disebabkan oleh hidrolisa dari zat pati dan protein
untuk menghasilkan bahan bersifat lekat dan tidak berbentuk kapsul. Lendir tali ini dapat
mencemari bahan-bahan pangan seperti minuman ringan, anggur, cuka, susu dan roti.
Kerusakan Fermentatif
Beberapa tipe organisme terutama khamir, spesies Bacillus dan Clostridium dan bakteri asam
laktat dapat memfermentasi karbohidrat. Khamir mengubah gula menjadialkohol dan
karbondioksida. Bakteri dapat mengubah gula menjadi asam laktat atau campuran
asam-asam laktat, asetat, propionate, dan butirat, bersama-sama dengan hidrogen dan
karbondioksida. Perubahan flavor dan pembentukan gas akhirnya terjadi dalam bahan
pangan.
Pembusukan Bahan-bahan Berprotein (putrefraction)
Dekomposisi anaerobik dari protein menjadi peptide atau asam-asam amino, mengakibatkan
bau busuk pada bahan pangan karena terbentuknya hidrogen sulfide, ammonia, methyl
sulfide, amin dan senyawa-senyawa bau lainnya. Bahan pangan yang tercemar secara
demikian adalah yang diolah kurang sempurna dan dikemas sehingga terbentuk kondisi
anaerobic, seperti pengalengan daging dan sayuran yang diolah secara kurang sempurna.

C. KERUSAKAN PANGAN OLEH SERANGGA, PARASIT dan HEWAN PENGERAT

Serangga terutama yang dapat merusak buah-buahan, sayur-sayuran, biji-bijian dan


umbi-umbian. Yang menjadi masalah bukan hanya jumlah pangan yang dimakan oleh
serangga teersebut, tetapi yang lebih penting bahwa serangga tersebut akan melukai
permukaan bahan pangan sehingga dapat menyebabkan kontaminasi oleh bakteri, ragi atau
kapang.
Pada biji-bijian atau buah-buahan kering biasanya serangga dapat dicegah
secarafumigasi dengan beberapa zat kimia seperti metal bromida, etilena oksida dan
propilena oksida. Etilena dan propilena tidak boleh digunakan untuk bahan pangan yang
mempunyai kadar air tinggi, karena kemungkinan dapat membentuk racun.
Telur-telur serangga dapat tertinggal di dalam makanan sebelum dan sesudah
pengolahan, misalnya di dalam tepung. Untuk menghancurkan telur-telur serangga tersebut
biasanya tepung dipusingkan di dalam sentrifuse, sehingga dengan benturan-benturan yang
keras dari dinding sentrifuse, telur-telur tersebut akan pecah. Meskipun pecahan telur ini
masih tetap tertinggal di dalam tepung, tetapi tidak dapat memperbanyak diri lebih lanjut.
Parasit yang lebih banyak ditemukan misalnya di dalam daging babi adalah cacing pita
(Trichenella spiralis). Cacing pita tersebut masuk ke dalam tubuh babi melalui sisa-sisa
makanan yang mereka makan. Daging babi yang tidak dimasak dapat menjadi sumber
kontaminasi bagi manusia. Cacing-cacing dalam bahan pangan mungkin dapat dimatikan
dengan pembekuan.
Tikus merupakan salah satu hewan pengerat dan merupakan persoalan yang penting di
Indonesia, khususnya merupakan ancaman yang berbahaya baik terhadap hasil biji-bijian
sebelum dipanen maupun terhadap bahan yang disimpan di dalam gudang. Tikus bukan
hanya merugikan karena makan bahan, tetapi juga karena kotorannya, rambutnya atau air
kencingnya dapat merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri dan dapat
menimbulkan bau yang tidak enak.

D. KERUSAKAN PANGAN oleh BAHAN KIMIA dan ENZIM

Enzim yang ada pada bahan pangan dapat berasal dari mikroba atau memang sudah
ada pada bahan pangan tersebut secara normal. Adanya enzim memungkinkan terjadinya
reaksi-reaksi biokimia dengan lebih cepat tergantung dari macam enzim yang ada, dan dapat
mengakibatkan bermacam-macam perubahan pada komposisi bahan. Aktivitas enzim dapat
dicegah atau dihentikan sama sekali oleh panas, perlakuan kimia, radiasi atau perlakuan
lainnya.
Dipandang dari segi teknologi pangan, aktivitas enzima da yang menguntungkan dan
ada yang merugikan. Sebagai contoh pada pembuatan sari buah, beberapa enzim misalnya
pektinase dikehendaki untuk menjernihkan sari buah seperti sari buah apel.Contoh lain adalah
penggunaan enzim papain (proteinase) untuk mengempukkan daging.
Keaktifan maksimum dari enzim pada umumnya terletak di antara pH 4 8, atau di
sekitar pH 6. Tetapi meskipun demikian beberapa enzim misalnya pepsin masih menunjukkan
keaktifannya sampai pH 2, dan enzim fosfatase alkalis di dalam darah aktif sampai pH 9. Jika
makanan disterilkan atau dipasteurisasi untuk mengaktifkan mikroba, maka enzim akan
sebagian atau seluruhnya rusak atau menjadi inaktif. Juga jika makanan didinginkan dengan
tujuan untuk mengurangi aktivitas mikroba, maka keaktifan enzim-enzim di dalamnya juga
akan terhambat.
Beberapa enzim mungkin lebih tahan terhadap pemanasan atau radiasi mungkin efektif
untuk membunuh mikroba, tetapi enzim-enzim tertentu mungkin masih dapat aktif.

Beberapa Contoh Enzim dengan Substrat, Hasil akhir dan pH optimum +)


Enzim Substrat Hasil Akhir pH Optimum ++)

Lipase Gliserida (lemak) Gliserol, asam lemak 5,0 8,6

Fosfatase Lecithin Choline, H3PO4, lemak 3,0 10,0


(lechithinase)

Invertase Sukrosa Glukosa, Fruktosa 4,6 5,0

Maltase Maltosa Glukosa 4,5 7,2

Selobiase Selobiosa Glukosa -

Laktase Laktosa Glukosa, Galaktosa -

Amilase Pati Dekstrin, Maltosa 5,0 7,0

Selulase Selulosa Selobiosa, Glukosa 3,5

Proteinase Protein Polipeptida, Dipeptida 1,5 10,0


(Bromelin,Papain,
Pepsin,Tripsin,rennin)

Peptidase Protein Asam amino 6,0 7,4


(Polipeptidase) (Peptida)

Urease Urea CO2, NH3 7,0


Asparaginase Asparagin Asam aspartat, NH3 -
Deaminase Asam amino NH3, Asam organik -
+) POTTER (1968)
++) DESROSIER (1963)

E. KERUSAKAN PANGAN OLEH SUHU, KELEMBABAN dan UDARA (Oksigen)

Pemanasan yang terlalu tinggi dapat menyebabkan kerusakan protein (denaturasi),


emulsi vitamin dan lemak. Buah dan saturan tropika Sangat sensitif terhadap pendinginan.
Penyimpanan pada suhu rendah akan menyebabkan kerusakan yang disebut chiling injury,
misalnya pisang ambon yang menjadi lunak dan warnanya berubah. Selain itu, juga
menyebabkan denaturasi dan pengumpalan protein susu. Oksigen selain dapat merusak
vitamin A dan C, warna bahan pangan, cita rasa dan zat kandungan lain, juga penting untuk
pertumbuhan kapang.
Pada umumnya kapang bersifat aerobik, oleh karena itu sering ditemukan tumbuh di
atas permukaan bahan pangan. Oksigen udara dapat dikurangi jumlahnya dengan cara
mengisap udara keluar dari wadah secara vakum atau menggantikan dengan gas inert
selama pengolahan misalnya mengganti udara dengan gas nitrogen (N2) atau CO2, atau
dengan mengikat molekul oksigen dengan pereaksi kimia. Pada bahan pangan yang
mengandung lemak adanya oksigen dapat menyebabkan ketengikan.

F. KERUSAKAN PANGAN oleh SEBAB - SEBAB MEKANIK/ FISIK

Perlakuan yang tidak tepat selama penanganan, penyimpanan dan distribusi


menyebabkan kerusakan fisik dan memperpendek masa simpan bahan pangan. Memar yang
terjadi pada buah dan sayur segar mempercepat kebusukan. Buah dan sayur segar
mengalami pengeringan (penguapan air) jika disimpan pada kelembaban rendah sehingga
hilang kesegarannya. Bahan pangan kering seperti tepung, gula, garam, dsb menjadi basah
jika disimpan di tempat yang lembab. Daging yang disimpan beku dapat mengalami dehidrasi
pada permukaannya pada permukaannya jira tidak dikemas dengan baik. Telur mengalami
kehilangan berat selama penyimpanan pada kelembaban rendah.
Usaha untuk mencegah atau menghambat kerusakan fisik antara lain perlakuan dengan
baik, penggunaan kemasan yang rigid dan kuat, tidak permeable terhadap air, pengisian
kemasan dengan gas inert atau penyimpanan pada suhu dan kelembaban yang tepat.

G. PARAMETER PENILAIAN KERUSAKAN BAHAN PANGAN

1. Organoleptik
Perubahan warna, aroma, rasa, dan tekstur.
2. Kimiawi
Degradasi/ oksidasi/ hidrolisis komponen penyusun bahan makanan.
3. Mikrobiologis
Kontaminasi oleh mikroorganisme patogen
Pertumbuhan mikroorganisme alami yang melebihi ambang batas
4. Fisis
Perubahan pH

H. TANDA-TANDA KERUSAKAN PANGAN

Setiap bahan makanan yang mengalami kerusakan, terutama kerusakan mikrobiologis


akan memberikan tanda-tanda yang khas menurut jenis bahannya. Meskipun demikian
terdapat tanda-tanda umum yang mencirikan perubahan komponen utama penyusun bahan.
Dengan demikian, bahan makanan yang tinggi kandungan proteinnya akan memiliki tanda
kerusakan yang berbeda dengan bahan makanan yang tinggi kandungan lemak atau
karbohidratnya.
1 Kerusakan Bahan Makanan Berprotein Tinggi
Bahan makanan yang banyak mengandung protein apabila mengalami kerusakan
mikrobiologis akan menghasilkan bau busuk khas protein, yang dikenal sebagai bauputrid,
sehingga kerusakannya sering disebut sebagai kerusakan putrefaktif(Kuswanto, 1987).
Mikrobia yang paling berperan dalam menyebabkan kerusakan makanan berprotein adalah
bakteri. Bakteri-bakteri tersebut mampu memecah protein menjadi senyawa-senyawa
sederhana seperti cadaverin, putrescin, skatol, H2S, dan NH3, yang menyebabkan bau busuk.
Selain bau busuk, makanan tinggi protein seperti daging, telur, susu dan ikan yang rusak juga
menunjukkan rasa tidak enak.
Tanda lainnya dapat berupa penggumpalan protein (khususnya pada susu), dan pencairan
jaringan protein sehingga bahan berair. Bahan biasanya juga mengalami kerusakan struktur
jeringan sehingga menjadi lembek.
2 Kerusakan Bahan Makanan Berkarbohidrat Tinggi
Bahan makanan berkarbohidrat tinggi dapat mengalami perubahan kimiawi karena aktivitas
yeast, bakteri maupun jamur. Dengan demikian, tanda-tanda kerusakannya ditentukan pula
oleh jenis mikroorganisme perusaknya.
Yeast dapat memfermentasi karbohidrat, terutama glucosa, menjadi alkohol. Dengan
demikian, bahan makanan berkarbohidrat tinggi yang dirusak yeast akan menimbulkan bau
dan rasa khas alcohol.
Bakteri dari jenis anaerob, seperti Lactobacillus sp dapat membentuk asam laktat dan
propionat dari bahan berkarbohidrat. Sedangkan dalam kondisi aerob, beberapa bakteri
mampu mengubah alcohol yang dibentuk yeast, menjadi asam asetat. Dengan demikian,
kerusakan bahan makanan berkarbohidrat dapat pula diketahui dari terbentuknya rasa dan
bau asam.
Berbagai jenis Namur dan bakteri yang mengkontaminasi bahan makanan berkarbohidrat
biasanya memproduksi enzim yang mampu memecah polisakarida menjadi karbohidrat rantai
pendek seperti monosakarida maupun disakarida. Hal ini secara fisik dapat ditandai dari
terjadinya pelunakan struktur bahan makanan berkarbohidrat tinggi.
Beberapa bakteri juga mampu memproduksi karbohidrat khas, yang secara alami bukan
merupakan penyusun bahan makanan. Karbohidrat yang dihasilkan oleh bakteri ini umumnya
berupa levan atau dekstran, yang memiliki tekstur kental seperti kanji. Dengan demikian,
kerusakan bahan makanan berkarbohidrat dapat diketahui oleh adanya pembentukan lendir.
3 Kerusakan Bahan Makanan Berlemak Tinggi
Lemak dan minyak dapat mengalami pemecahan menjadi asam lemak dan gliserol.
Selanjutnya asam lemak, terutama asam lemak tak jenuh yang memiliki ikatan rangkap, dapat
mengalami pemecahan lebih lanjut menjadi senyawa sederhana seperti aldehid dan keton
dan senyawa lain yang menimbulkan bau tengik.
Berbagi jamur, yeast, dan bakteri diketahui mampu memecah lemak ini, dan dengan demikian,
berpotensi untuk menimbulkan ketengikan pada bahan makanan berlemak.
Proses terjadinya kerusakan makanan karena aktivitas mikrobia tersebut biasanya terjadi
secara simultan dan bersama-sama. Hal ini disebabkan karena dalam bahan makanan
biasanya sekaligus terkandung protein, karbohidrat, dan lemak. Oleh karena itu tanda-tanda
kerusakannya biasanya bermacam-macam.

Beberapa petunjuk yang dapat digunakan untuk mengenali kerusakan berbagai bahan
makanan, antara lain :
a. Makanan Kaleng
Tanda-tanda kerusakan makanan kaleng antara lain adanya penggembungan pada bagian
dasar dan atau tutup kaleng karena terbentuknya gas di dalam kaleng, penyok pada bagian
sepanjang sambungan kaleng, penyimpangan bau, terbentuk buih, atau cairan pengisi kaleng
menjadi kental.
b. Ikan
Ikan yang rusak biasanya ditandai dengan adanya penyimpangan bau, berupa timbulnya bau
asam ataupun bau busuk, insang berwarna abu-abu atau kehijauan, mata tenggelam,
dagingnya mudah dilepaskan dari tulang, serta jika ditekan dengan jari akan meninggalkan
bekas.

c. Daging
Kerusakan daging ditandai terbentuknya bau asing yang bukan khas daging, terbentuknya
lendir, dan terkadang terjadi perubahan warna menjadi kehijauan.
d. Ayam
Daging ayam yang rusak dapat dilihat dari perubahan yang terjadi pada bagian tertentu dari
karkas ayam. Tanda tersebut antara lain lengket pada bagia bawah sayap, pada pertautan
antara kaki dan tubuh, serta bagian atas ekor. Tanda lain adalah terbentuknya warna gelap
pada bagian ujung sayap.
e. Susu
Kerusakan susu ditandai dengan terciumnya bau dan rasa asam karena aktivitas bakteri
pembentuk asam laktat, terbentuk lendir, yaitu jika susu disentuh dengan jari dan kemudian
diangkat akan tampak seperti benang. Tanda kerusakan lainnya adalah terbentuknya bau
tengik, bau ragi, pahit, busuk, dan terkadang terjadi perubahan warna menjadi kemerahan.
f. Udang Mentah
Udang telah hilang kesegarannya dan menjadi rusak apabila pada daerah dekat ekor
berwarna merah mudah (pink), dan muncul bau asing menyerupai amonia.
I. PENGARUH PENGOLAHAN TERHADAP MUTU GIZI PANGAN

Karbohidrat
Anti-amilase adalah suatu protein yang terdapat di dalam kacang-kacangan, yang
mempunyai kemampuan untuk menghambat aktivitas enzim amilase untuk menghidrolisis pati
menjadi glukosa. Pengolahan pangan dengan menggunakan panas, misalnya perebusan atau
pengukusan kacang-kacangan dapat mendenaturasi protein termasuk anti-amilase tersebut
sehingga daya cerna pati meningkat. Tanin atau senyawa polifenol lain dapat juga
menghambat aktivitas enzim amilase. Itulah sebabnya daya cerna pati sagu (yang banyak
mengandung tanin) lebih rendah dibandingkan dengan pati tapioka. Tanin tidak dapat
dihancurkan dengan pemanasan, tetapi karena bersifat larut air maka pengurangan kadar
tanin dapat dilakukan dengan melakukan pencucian secara berulang-ulang.
Proses pemanasan juga menyebabkan pati tergelatinasi, yaitu molekulnya menjadi
pengembang dan kemudian menyerap air. Pati yang sudah tergelatinasi daya cerna lebih
tinggi dibandingkan dengan pati aslinya. Sebagai contoh, daya cerna pati beras lebih rendah
dibandingkan dengan pati yang terdapat dalam nasi.
Kecenderungan sekarang dalam pengolahan pati (gabah) menjadi beras atau gandum
menjadi terigu, adalah diinginkan produk jadinya berwarna putih bersih. Meskipun secara
organoleptik hal ini menguntungkan, tetapi dari segi gizi hal ini merugikan. Proses penyosohan
yang berlebihan pada kedua bahan pangan tersebut menyebabkan banyak serat, vitamin dan
mineral menjadi terbuang. Sebagai ilustrasi, sesungguhnya nilai gizi beras putih (beras sosoh)
lebih rendah dibandingkan dengan beras pecah putih (beras PK), akan tetapi karena faktor
organoleptik dalam hal ini lebih dipentingkan, maka nilai gizi bahan menjadi diabaikan.
Sejak diketahui bahwa serat pangan memberikan keuntungan dalam pencegahan
timbulnya berbagai penyakit, maka orang berlomba untuk mengkonsumsi lebih banyak serat.
Contoh (sekarang menjadi mode) adalah dijualnya tablet atau kapsul serta pembuatan roti
atau biskuit whole wheat dari tepung terigu yang disuplementasi dengan dadak gandum.

Protein
Selama pengolahan, protein yang terkandung dalam bahan pangan akan mengalami
berbagai macam perlakuan. Misalnya perlakuan fisik, contohnya penghancuran dan
pemanasan, perlakuan kimia, penggunaan pelarut organik (untuk ekstrak lemak), bahan
pengoksidasi (hidrogen peroksida), alkali (NaOH, untuk ekstraksi protein atau perbaikan sifat
fungsional protein), belerang dioksida (anti-browning, pengawet), atau mengalami perlakuan
biologis, misalnya hidrolisis secara enzimatis (hidrolisat protein) atau proses fermentasi
(tempe kedelai, keju). Meskipun demikian, yang paling banyak dilakukan adalah proses
pengolahan menggunakan panas, misalnya pemaskan, sterilisasi komersial (pengalengan),
pengeringan atau pemanggangan dan pembakaran.
Raksi-reaksi yang mungkin timbul selama pengolahan, terjadi antara protein dengan zat-
zat gizi lain (karbohidrat, lemak, vitamin, mineral) atau dengan bahan tambahan (food
addivites). Rekasi-reaksi tersebut umumnya menguntungkan secara organoleptik, misalnya
karena aroma yang timbul, terjadinya perubahan warna, atau karena cita rasa yang lebih enak.
Akan tetapi tidak jarang yang terjadi adalah reaksi-reaksi yang merugikan ditinjau dari segi
gizi, misalnya mengakibatkan daya cerna protein menurun, atau ketersediaan asam-asam
amino esensial menjadi rendah, bahkan kadang-kadang hasil reaksi tersebut berupa senyawa
yang bersifat toksik atau menimbulkan pengaruh fisiologis yang merugikan bagi tubuh.
Protein adalah komponen pangan yang sangat kratif. Sisi rantai yang berupa asam-
asam amino yang terikat dalam protein dapat bereaksi dengan gula pereduksi (reaksibrowning
non-enzimatis), polifenol (tannin), senyawa hasil oksidasi lemak, serta kadang-kadang dengan
bahan yang ditambahkan, misalnya alkali yang dapat menyebabkan terjadinya raseminasi
asam amino dan terbentuknya lisinolalanin.
Lisin, triptopfan, metionin dan sistein adalah asam-asam amino yang paling reaktif
dalam rantai protein. Padahal asam-asam amino tersebut tergolong esensial (setengah
esencial bagi sistein), dan seringkali merupakan asam amino pembatas (kadarnya paling
rendah dibandingkan dengan protein estndar/referensi). Selama pengolahan, asam-asam
amino tersebut bereaksi dengan senyawa-senyawa lain membentuk senyawa kompleks
kovalen, atau dalam hal triptofan, metionin dan sistein, asam-asam amino tersebut dapat juga
mengalami kerusakan karena teroksidasi.
Modifikasi sifat-sifat kimia protein bahan pangan akan mengakibatkan perubahan nilai
gizinya, misalnya menurunnya daya cerna protein atau menurunnya ketersediaan asam-asam
amino esencial. Prodek hasil interaksi asam-asam amino kadang-kadang juga menimbulkan
pengaruh fisiologis yang merugikan bagi tubuh.
Pengolahan protein dengan alkali juga dapat menyebabkan terbentuknya lisinolalanin.
Lisinolalanin adalah senyawa yang terdiri dari residu lisin yang grup psilon aminonya terikat
pada grup metil residu alanin, yang terbentuk sebagai hasil reaksi antara sistein atau seri
dengan lisin. Bila residu tersebut terdapat dalam rantai protein, maka akan terbentuk ikatan
menyilang intra-molekuler atau antar molekuler protein. Lisinolalanin bukan merupakan
dipeptida, karena tidak mempunyai ikatan pptida dan juga bila dihidrolisis dengan asam tidak
menghasilkan dua asam amino. Terdapat empat stereo-isomer lisinolalanin yang mungkin
terjadi, yaitu : LL, LD, DL dan DD.
Lemak yang teroksidasi akan menghasilkan radikal-radikal bebas (terutama berasal dari
asam lemak tidak jenuh), yang kemudian membentuk senyawa karbonil atau hidroperoksida.
Kedua macam senyawa tersebut dapat bereaksi dengan protein membentuk ikatan menyilang
(cross linkage) dalam rantai protein, melalui ikatan protein-lipid. Penurunan nilai gizi protein
akibat reaksi tersebut dapat terjadi karena penurunan daya cerna protein dan kerusakan pada
asam-asam amino esensial.

Lemak
Lemak atau minyak dapat mengalami kerusakan akibat reaksi: a) hidrolisis, yaitu
pelepasan asam-asam lemak dari molekul lemak yang dapat diakibatkan oleh air atr, asam
atau enzim lipase, sehingga akan mengakibatkan terjadinya ketengikan
hidrilitik, 2)oksidasi, yaitu terpecahnya asam-asam lemak tidak jenuh oleh oksiden atau
sinar ultra violet, sehingga akan mengakibatkan terjadinya ketengikan oksidatif,
3) polimerisasi, yaitu pelepasan asam-asam lemak dari molekul lemak, yang diikuti oleh
bergabungnya asam-asam lemak tersebut (berpolimerasi) membentuk rantai yang lebih
kompleks. Polimerisasi minyak/lemak dapat terjadi pada proses pemanasan lemak/minyak
pada suhu tinggi dan jangka waktu yang lama, misalnya pada proses penggorengan. Semua
kerusakan tersebut akan menurunkan nilai gizi lemak/minyak. Baik oleh daya cernanya yang
menurun atau karena ketersediaan asam-asam lemak (esensial) yang berkurang atau akibat
keduanya.
Ketengikan hidrolitik dapat dicegah dengan cara inaktivasi enzim lipase (misalnya
dengan pemanasan) dan mengurangi kadar air bahan (misalnya dengan cara pengeringan)
serta mencegah masuknya kembali uap air ke dalam bahan pangan yang telah kering
(misalnya dengan pengemasan yang tertutup rapat). Ketengikan oksidatifdapat dicegah
dengan mengurangi kontak antar bahan dengan oksigen (misalnya dengan pengemasan
hampa udara) serat menghindarkan bahan dari tekanan sinar matahari atau sumber sinar ultra
violet lainnya (misalnya selama dipajang di etalase). Polimerisasilemak/minyak selama
pemanasan pada suhu tinggi (proses penggorengan) dapat dicegah dengan mengatur suhu
dan lama penggorengan serta jumlah dan interval penambahan minyak yang baru.
Penggorengan minyak yang telah rusak (tengik) untuk menggoreng, ternyata dapat
menurunkan nilai gizi protein.
Minyak/lemak adalah juga pelarut bagi vitamin-vitamin larut lemak (A,D,E, dan K),
termasuk pro vitamin A (karoten). Oksidasi oleh oksigen maupun akibat pemanasan (misalnya
penggorengan) akan merusak vitamin A, vitamin E, dan karoten. Umumnya margarin
diperkaya (disuplementasi) dengan vitamin A atau beta-karoten untuk meningkatkan nilai
gizinya. Akan tetapi penanganan margarin yang tidak benar (misalnya adanya kontak dengan
oksigen, terkena sinar matahari) akan merusak vitamin A dan beta-karoten tersebut.

Vitamin Dan Mineral


Dalam pengolahan pangan, kerusakan vitamin dapat terjadi akibat pengaruh pH,
oksigen, pemanasan atau karena terkena cahaya.
Proses pasteurisasi HTST (high temperature short time) terhadap susu lebih dapat
mempertahankan kandungan thiamin, vitamin C dan vitamin B12 dibandingkan dengan proses
pasteurisasi konvensional (holding method). Demikian juga proses sterilisasi UHT (ultra high
temperature) lebih dapat mempertahankan kadar vitamin dalam susu dibandingkan dengan
proses sterilisasi susu dalam botol. Hal ini penting diperhatikan dalam mempersiapkan produk
olahan susu bagi bayi atau anak kecil.
Dalam proses pengalengan makanan ternyata bahwa jumlah vitamin yang hilang
selama keseluruhan proses cukup tinggi, yaitu berkisar antara 0-91%. Dalam hal ini, proses
sterilisasi HTST (high temperature short time) lebih dapat mempertahankan vitamin
dibandingkan dengan metode LTLT (low temperatura long time). Disamping itu, mdium asam
(pH rendah) lebih dapat mempertahankan vitamin dibandingkan dengan mdium alkalis.
Mineral umumnya tidak mengalami kerusakan selama pengolahan pangan, yang
mungkin terjadi adalah pengurangan kadarnya atau penurunan ketersediaannya. Penurunan
kadar mineral biasanya terjadi akibat pelarutan (leaching), misalnya pada
proses blanching sayuran atau buah-buahan sebelum dikalengkan, dibekukan atau
dikeringkan. Hal ini sedikit dapat dicegah dengan cara melakukan blanching menggunakan
uap air. Selain itu, pelarutan mineral dapat juga terjadi selama proses perebusan.
Penurunan ketersediaan mineral dapat terjadi karena terbentuknya ikatan antara
mineral dengan senyawa lain, misalnya protein, tannin, asam fitat, asam oksalat dan lain-lain.
Proses kedelai ditemukan dapat mengikat mineral (zat besi), sehingga dapat menurunkan
ketersediaannya. Tannin dan asam oksalat banyak terdapat dalam bahan pangan nabati.
Tannin merupakan senyawa yang stabil selama pengolahan, tetapi bersifat larut dalam air,
sehingga kadarnya sedikit dapat dikurangi dengan proses pencucian. Asam oksalat hanya
dapat dilarutkan dalam larutan asam, sehingga menurunkan kadarnya hanya dapat dilakukan
dengan cara perendaman atau pencucian bahan pangan dalam larutan asam.
Proses fermentasi, misalnya pada pembuatan roti atau tempe dapat menurunkan kadar
asam fitat, karena mikroba yang berperan dalam proses fermentasi tersebut dapat
menghasilkan enzim fitase.

-SEKIAN-
Diposkan oleh Vina Soumokil di 20.23

http://vinsoumokil.blogspot.co.id/2015/04/kerusakan-pangan.html

http://syarifahrahmah.blog.upi.edu/chilling-freezing-pendinginan-dan-pembekuan/
CHILLING & FREEZING
(PENDINGINAN DAN PEMBEKUAN)
syarifahrahmah on November 8, 2015 Leave a Comment
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang


Bahan pangan adalah hal yang sangat berpengaruh terhadap kelangsungan
hidup . Karena, kehidupan kita tidak luput dari kebutuhan untuk mengkonsumsi bahan pangan.
Mengkonsumsi bahan pangan adalah kewajiban untuk memberikan nutrisi pada tubuh agar tetap
sehat dan kuat. Banyak kandungan bahan pangan yang diperlukan oleh tubuh kita. Seperti
karbohidrat, vitamin, mineral, protein dan lemak. Semua kandungan yang terdapat pada bahan
pangan tersebut sangat dibutuhkan oleh tubuh agar tetap bisa melaksanakan aktivitas sehari-
hari.
Pemilihan bahan pangan yang baik juga sangat dianjurkan, karena sudah banyak bahan pangan
yang di buat hanya untuk pemenuhan materi seseorang saja tanpa memikirkan dampak yang
ditimbulkan. Seperti campuran zat yang berbahaya untuk kesehatan. Salah satunya adalah
pengawetan. Pada dasarnya pengawetan adalah cara untuk membuat bahan pangan menjadi
tahan lama. Karena, para konsumen lebih menyukai bahan pangan yang segar dibandingkan
yang sudah berhari-hari disimpan. Contohnya buah-buahan. Buah-buahan adalah salah satu
bahan pangan yang mudah busuk jika disimpan disuhu ruangan. Untuk itu cara mengatasinya
adalah dengan diawetkan pada suhu dingin agar buah tersebut tidak mudah mengalami
browning. Cara pengawetan yang sederhana adalah dengan melakukan chilling dan freezing.
Proses pendinginan ini merupakan rangkaian dari berbagai tahapan pengolahan pangan atau
makanan yang seringkali menjadi salah satu acuan dalam menentukan kualitas bahan pangan itu
sendiri. Pendinginan tersebut sebenarnya dapat memperlambat kecepatan reaksi-reaksi
metabolisme, dimana pada umumnya setiap penurunan suhu 80C, kecepatan reaksi akan
berkurang menjadi kira-kira setengahnya. Karena itu penyimpanan dapat memperpanjang masa
hidup jaringan-jaringan dalam bahan pangan, karena keaktifan respirasi menurun (Winarno dkk,
l982).
Sama halnya dengan pendinginan, proses pembekuan makanan melibatkan pemindahan panas
dari produk makanan. Hal ini akan menyebabkan membekunya kadar air di dalam makanan dan
menyebabkan berkurangnya aktivitas air di dalamnya. Menurunnya temperatur dan
menghilangnya ketersediaan air menjadi penghambat utama pertumbuhan mikroorganisme dan
aktivitas enzim di dalam produk makanan, menyebabkan makanan menjadi lebih awet dan tidak
mudah membusuk. Keunggulan dari teknik pembekuan makanan adalah semua hal tersebut
dapat dicapai dengan mempertahankan kualitas makanan seperti nilai nutrisi, sifat organoleptik,
dan sebagainya

1.2. Tujuan Praktikum


Mahasiswa dapat mengidentifikasi alat pendinginan yang biasa digunakan dalam chilling dan
freezing dan menggunakannya dengan tepat sesuai pengaturan suhu cooler.
Mahasiswa mengetahui mekanisme pengawetan pangan dengan memanfaatkan aplikasi suhu
rendah yaitu pendinginan dan pembekuan.
Mahasiswa memahami faktor yang mempengaruhi efektivitas pendinginan dan pembekuan dan
mengetahui kerusakan bahan pangan akibat penyimpanan pada suhu rendah.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Teknologi pembekuan makanan adalah teknologi mengawetkan makanan dengan menurunkan
temperaturnya hingga di bawah titik beku air. Hal ini berlawanan dengan pemProsesan termal,
di mana makanan dipaparkan ke temperatur tinggi dan memicu tegangan termal terhadap
makanan, dapat mengakibatkan hilangnya nutrisi, perubahan rasa, tekstur, dan sebagainya, atau
pemrosesan kimia dan fermentasi yang dapat mengubah sifat fisik dan kimia makanan.
Teknik pembekuan makanan ini sudah dikenal sejak lama sekali, sedangkan teknik pembekuan
dengan campuran garam-es diperkenalkan pada tahun 1800an di dua tempat, yaitu di Inggris
(oleh H. Benjamin pada tahun 1842) dan di Amerika Sarikat (oleh Enoch Piper pada tahun 1861)
yang keduanya memanfaatkannya untuk mendinginkan ikan. Komersialisasi teknik pembekuan
makanan baru dimulai di akhir abad ke 19 ketika alat pendingin mekanis, yang saat ini disebut
dengan lemari es, ditemukan. Dan di pertengahan abad ke 20, makanan beku mulai ikut bersaing
dengan makanan kalengan dan makanan kering.
Pendinginan sendiri berarti suatu metode pengawetan yang ringan, pengaruhnya kecil sekali
terhadap mutu bahan pangan secara keseluruhan. Oleh sebab itu pendinginan seperti di dalam
lemari es sangat cocok untuk memperpanjang kesegaran atau masa simpan sayuran dan buah-
buahan. Sayuran dan buah-buahan tropis tidak tahan terhadap suhu rendah dan ketahanan
terhadap suhu rendah ini berbeda-beda untuk setiap jenisnya. Sebagai contoh, buah pisang dan
tomat tidak boleh disimpan pada suhu lebih rendah dari 130C karena akan mengalami chilling
injury yaitu kerusakan karena suhu rendah. Buah pisang yang disimpan pada suhu terlalu rendah
kulitnya akan menjadi bernoda hitam atau berubah menjadi coklat, sedangkan buah tomat akan
menjadi lunak karena teksturnya rusak.
Sedangkan pemebekuan berarti Pembekuan adalah proses penurunan suhu bahan pangan
sampai bahan pangan membeku, yaitu jika suhu pada bagian dalamnya paling tinggi sekitar
180C, meskipun umumnya produk beku mempunyai suhu lebih rendah dari ini. Pada kondisi
suhu beku ini bahan pangan menjadi awet karena mikroba tidak dapat tumbuh dan enzim tidak
aktif. Sayuran dan buah-buahan umumnya diblansir dahulu untuk menginaktifkan enzim
sebelum dibekukan. Bahan pangan seperti daging dapat disimpan antara 12 sampai 18 bulan,
ikan dapat disimpan selama 8 sampai 12 bulan dan buncis dapat disimpan antara 12 sampai 18
bulan.
a. Prinsip dasar penyimpanan pada suhu rendah :
Menghambat pertumbuhan mikroba
Menghambat reaksi-reaksi enzimatis, kimiawi dan biokimiawi
Penyimpanan pada suhu rendah dapat menghambat kerusakan makanan, antara lain kerusakan
fisiologis, kerusakan enzimatis maupun kerusakan mikrobiologis. Pada pengawetan dengan suhu
rendah dibedakan antara pendinginan dan pembekuan. Pendinginan dan pembekuan merupakan
salah satu cara pengawetan yang tertua.
Kisaran suhu yang digunakan dalam proses pendinginan biasanya antara 1oC sampai + 4oC.
Pada suhu tersebut, pertumbuhan bakteri dan proses biokimia akan terhambat. Pendinginan
biasanya akan mengawetkan bahan pangan selama beberapa hari atau beberapa minggu,
tergantung kepada jenis bahan pangannya. Pendinginan yang biasa dilakukan di rumah-rumah
tangga adalah dalam lemari es yang mempunyai suhu 2oC sampai + 16oC.
Pembekuan yang baik dapat dilakukan pada suhu kira-kira 17oC atau lebih rendah lagi. Pada
suhu ini pertumbuhan bakteri sama sekali berhenti. Pembekuan yang baik biasanya dilakukan
pada suhu antara 12oC sampai 24oC. Dengan pembekuan, bahan akan tahan sampai
bebarapa bulan, bahkan kadang-kadang beberapa tahun.
b. Perbedaan antara pendinginan dan pembekuan juga ada hubungannya dengan aktivitas
mikroba.
Sebagian besar organisme perusak tumbuh cepat pada suhu di atas 10oC
Beberapa jenis organisme pembentuk racun masih dapat hidup pada suhu kira-kira 3,3oC.
Organisme psikrofilik tumbuh lambat pada suhu 4,4oC sampai 9,4oC

Jumlah mikroba yang terdapat pada produk yang didinginkan atau yang dibekukan sangat
tergantung kepada penanganan atau perlakuan-perlakuan yang diberikan sebelum produk itu
didinginkan atau dibekukan, karena pada kenyataannya mikroba banyak berasal dari bahan
mentah/ bahan baku. Setiap bahan pangan yang akan didinginkan atau dibekukan perlu
mendapat perlakuan-perlakuan pendahuluan seperti pembersihan, blansing, atau sterilisasi,
sehingga mikroba yang terdapat dalam bahan dapat sedikit berkurang atau terganggu
keseimbangan metabolismenya.
Pada umumnya proses-proses metabolisme (transpirasi atau penguapan, respirasi atau
pernafasan, dan pembentukan tunas) dari bahan nabati seperti sayur-sayuran dan buah-buahan
atau dari bahan hewani akan berlangsung terus meskipun bahan-bahan tersebut telah dipanen
ataupun hewan telah disembelih. Proses metabolisme ini terus berlangsung sampai bahan
menjadi mati dan akhirnya membusuk. Suhu dimana proses metabolisme ini berlangsung
dengan sempurna disebut sebagai suhu optimum.
Penggunaan suhu rendah dalam pengawetan makanan tidak dapat mematikan bakteri, sehingga
pada waktu bahan beku dikeluarkan dan dibiarkan hingga mencair kembali (thawing), maka
pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroba dapat berlangsung dengan cepat. Penyimpanan
dingin dapat menyebabkan kehilangan bau dan rasa beberapa bahan bila disimpan berdekatan.
Misalnya :
Mentega dan susu akan menyerap bau ikan dan bau buah-buahan
Telur akan menyerap bau bawang
Bila memungkinkan sebaiknya penyimpanan bahan yang mempunyai bau tajam terpisah dari
bahan lainnya, tetapi hal ini tidak selalu ekonomis. Untuk mengatasinya, bahan yang mempunyai
bau tajam disimpan dalam kedaan terbungkus.
c. Faktor-faktor yang mempengaruhi pendinginan yaitu :
Suhu
Kualitas bahan mentah
Sebaiknya bahan yang akan disimpan mempunyai kualitas yang baik
Perlakuan pendahuluan yang tepat, Misalnya pembersihan/ pencucian atau blansing
Kelembaban
Umumnya RH dalam pendinginan sekitar 80 95 %. Sayur-sayuran disimpan dalam
pendinginan dengan RH 90 95 %
Aliran udara yang optimum
Distribusi udara yang baik menghasilkan suhu yang merata di seluruh tempat pendinginan,
sehingga dapat mencegah pengumpulan uap air setempat (lokal).
d. Keuntungan penyimpanan dingin :
Dapat menahan kecepatan reaksi kimia dan enzimatis, juga pertumbuhan dan metabolisme
mikroba yang diinginkan. Misalnya pada pematangan keju.
Mengurangi perubahan flavor jeruk selama proses ekstraksi dan penyaringan
Mempermudah pengupasan dan pembuangan biji buah yang akan dikalengkan.
Mempermudah pemotongan daging dan pengirisan roti
Menaikkan kelarutan CO2 yang digunakan untuk soft drink
Air yang digunakan didinginkan lebih dahulu sebelum dikarbonatasi untuk menaikkan kelarutan
CO2.
e. Kerugian penyimpanan dingin :
Terjadinya penurunan kandungan vitamin, antara lain vitamin C
Berkurangnya kerenyahan dan kekerasan pada buah-buahan dan sayur-sayuran
Perubahan warna merah daging
Oksidasi lemak
Pelunakan jaringan ikan
Hilangnya flavor
f. Pengaruh pendinginan terhadap makanan :
1. Penurunan suhu mengakibatkan penurunan proses kimia, mikrobiologi , dan biokimia yang
berhubungan dengan kelayuan, kerusakan, pembusukan , dll.
2. Pada suhu kurang dari 0 oC , air akan membeku kemudian terpisah dari larutan dan
membentuk es. Jika kristal es yang terbentuk besar dan tajam akan merusak tekstur dan sifat
pangan , tetapi di lain pihak kristal es yang besar dan tajam juga bermanfaat untuk mereduksi
atau mengurangi mikroba jumlah mikroba.
Pembentukan kristal es menjadi bagian penting dalam mekanisme pengawetan dengan
pembekuan. Sebuah kristal es yang terbentuk misalnya, dapat menarik seluruh air bebas dalam
sel bakteri dan khamir. Kristal-kristal ekstra seluler dapat menyebabkan pembekuan isi sel
melalui perforasi. Tanpa kristal es ekstra seluler, sel masih bisa betahan (belum membeku) pada
suhu 25 oC, tetapi jika terdapat kristal es tersebut sel membeku pada 5 oC.
g. Proses pembekuan yang terjadi pada makanan :
Perubahan bahan sampai membeku tidak terjadi sekaligus dari cairan ke padatan. Contohnya
sebotol susu yang disimpan pada ruang pembeku (freezer), maka cairan yang paling dekat
dengan dinding botol akan membeku lebih dahulu. Kristal yang terjadi mula-mula ialah air
murni (H2O). Ketika air terus berkristal, susu menjadi lebih pekat terutama pada komponen
protein, lemak, laktosa, dan mineral. Pekatan ini akan berkristal secara perlahan-lahan
sebanding dengan proses pembekuan yang berlangsung pada makanan.
h. Pada pembekuan akan terjadi beberapa proses sebagai berikut :
Mula-mula terjadi pembentukan kristal es yang biasanya berlangsung cepat pada suhu dibawah 0
oC. Kemudian diikuti proses pembesaran dari kristal-kristal es yang berlangsung cepat pada suhu
2 oC sampai 7 oC. Pada suhu yang lebih rendah lagi, maka pembesaran kristal-kristal es
dihambat karena kecepatan pembentukan kristal es meningkat.
Secara normal pembesaran kristal-kristal es dimulai di ruang ekstra seluler, karena viskositas
cairannya relatif lebih rendah. Bila pembekuan berlangsung secara lambat, maka volume ekstra
seluler lebih besar sehingga terjadi pembentukan kristal-kristal es yang besar di tempat itu.
Kristal es yang besar akan menyebabkan kerusakan pada dinding sel. Kadar air bahan makin
rendah , maka akan terjadi denaturasi protein terutama pada bahan nabati. Proses ini bersifat
irreversible.
Pembekuan secara cepat akan menghambat kecepatan difusi air ke ruang ekstra seluler,
akibatnya air akan berkristal di ruang intra seluler, sehingga massa kristal es akan terbagi rata
dalam seluruh jaringan. Kristal es yang terbentuk berukuran kecil-kecil. Keadaan ini
mengakibatkan kehilangan air pada waktu thawing akan berkurang.
Pembekuan menyebabkan terjadinya :
Perubahan tekstur
Pecahnya emulsi lemak
Perubahan fisik dan kimia dari bahan
Perubahan yang terjadi tergantung dari komposisi makanan sebelum dibekukan. Konsentrasi
padatan terlarut yang meningkat, akan merendahkan kemampuan pembekuan. Bila dalam
larutan mengandung lebih banyak garam, gula, mineral, dan protein, akan menyebabkan titik
beku lebih rendah dan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk membeku.
Dibandingkan dengan pemanasan dan pengeringan, maka pembekuan dalam pengawetan
sebenarnya lebih berorientasi pada usaha penghambatan tumbuhkembangnya mikroba serta
pencegahan kontaminasi yang akan terjadi. Oleh karena itu jumlah mikroba dan kontaminasi
atau kerusakan awal bahan pangan sangat penting diperhitungkan sebelum pembekuan. Jadi
sanitasi dan higiene pra-pembekuan ikut menentukan mutu makanan beku. Produk pembekuan
yang bahan asalnya mempunyai tingkat kontaminasi tinggi, akan lebih cepat rusak atau lebih
cepat turun mutunya dibandingkan dengan bahan yang pada awalnya lebih rendah kadar
kontaminasinya.

i. Teknik-teknik pembekuan
1. Penggunaan udara dingin yang diiupkan atau gas lain dengan suhu rendah kontak langsung
dengan makanan. Contohnya alat pembeku terowongan (tunnel freezer ).
2. Kontak tidak langsung
3. Makanan atau cairan yang telah dikemas kontak dengan permukaan logam (lempengan
silindris) yang telah didinginkan dengan cara mensirkulasikan cairan pendingin. Contohnya alat
pembeku lempeng ( plate freezer ) .
4. Perendaman langsung makanan ke dalam cairan pendingin atau menyemprotkan cairan
5. Pendingin di atas makanan, misalnya nitrogen cair, freon, atau larutan garam.
6. Dalam sistem pendingin diperlukan suatu medium pemindahan panas yang disebut refrigeran
. Yang dimaksud dengan refrigeran yaitu suatu bahan yang dapat menghilangkan atau
memindahkan panas dari suatu ruang tertutup atau benda yang didinginkan.
Sirkulasi udara dalam lemari es perlu dijaga untuk mencegah pengeringan dari produk dan
menghilangkan panas dari produk dan dari dinding lemari es. Sebagian besar makanan
mengandung air dalam kadar yang tinggi, karena itu jangan dibiarkan bahan terbuka terhadap
sirkulasi udara yang cepat. Kelembaban dalam ruang es perlu dikontrol karena perbedaan uap
diantara lemari es dan makanan menyebabkan hilangnya air dari makanan yang tidak dibungkus,
sehingga terjadi pengringan bahan.
Pengeringan terutama terjadi pada bahan yang dibekukan tanpa dibungkus lebih dahulu atau
dibungkus dengan bahan yang tidak tembus uap air serta waktu membungkusnya masih banyak
ruang-ruang yang tidak terisi.

j. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengeringan :


Suhu , suhu yang terlalu tinggi akan mengakibatkan pengeringan yang terjadi lebih besar
Kelembaban relatif atmosfir
Kontak dengan atmosfir
Intensitas sirkulasi udara
k. Perubahan-perubahan yang terjadi pada pendinginan, antara lain :
Perubahan warna pemucatan warna khlorofil Pencoklatan
Perubahan tekstur kerusakan gel pengerasan
Perubahan flavor hilangnya flavor asal (pembentukan flavor yang menyimpang) ketengikan
Perubahan zat gizi
l. Kerusakan oleh bahan pendingin / refrigeran
Bila lemari es menggunakan amonia sebagai refrigeran, misalnya terjadi kebocoran pada pipa
dan ammonia masuk ke dalam ruang pendinginan, akan mengakibatkan perubahan warna pada
bagian luar bahan yang didinginkan berupa warna coklat atau hitam kehijauan. Kalau proses ini
berlangsung terus, maka akan diikuti proses pelunakan jaringan-jaringan buah. Sebagai contoh :
suatu ruangan pendingin yang mengandung amonia sebanyak 1 % selama kurang dari 1 jam, akan
dapat merusak apel, pisang, atau bawang merah yang disimpan di dalamnya.
Kehilangan air dari bahan yang didinginkan akibat pengeringan
Kerusakan ini terjadi pada bahan yang dibekukan tanpa dibungkus atau yang dibungkus dengan
pembungkus yang kedap uap air serta waktu membungkusnya masih banyak ruang-ruang yang
tidak terisi bahan. Pengeringan setempat dapat menimbulkan gejala yang dikenal dengan nama
freeze burn , yang terutama terjadi pada daging sapi dan daging unggas yang dibekukan. Pada
daging unggas, hal ini tampak sebagai bercak-bercak yang transparan atau bercak-bercak yang
berwarna putih atau kuning kotor.
Freeze burn disebabkan oleh sublimasi setempat kristal-kristal es melalui janganjaringan
permukaan atau kulit. Maka terjadilah ruangan-ruangan kecil yang berisi udara, yang
menimbulkan refleksi cahaya dan menampakkan warna-warna tersebut. Akibat terjadinya
freeze burn, maka akan terjadi perubahan rasa pada bahan , selanjutnya diikuti dengan proses
denaturasi protein.
m. Denaturasi protein
Denaturasi protein berarti putusnya sejumlah ikatan air dan berkurangnya kadar protein yang
dapat diekstrasi dengan larutan garam. Gejala denaturasi protein terjadi pada daging, ikan, dan
produk-produk air susu. Proses denaturasi menimbulkan perubahan-perubahan rasa dan bau,
serta perubahan konsistensi (daging menjadi liat atau kasap). Semua bahan yang dibekukan,
kecuali es krim, sebelum dikonsumsi dilakukan thawing, maka untuk bahan yang telah
mengalami denaturasi protein pada waktu pencairan kembali, air tidak dapat diabsorpsi
(diserap) kembali. Tekstur liat yang terjadi disebabkan oleh membesarnya molekul-molekul.

BAB III
METODE PRAKTIKUM
3.1 Waktu dan Tempat Praktikum
Waktu pelaksanaan praktikum yaitu pada hari Selasa, 10 Februari 2015 di laboratorium
Pendidikan Teknologi Agroindustri lantai 4 Gedung Baru Fakultas Pendidikan Teknologi dan
Kejuruan Universitas Pendidikan Indonesia.
3.2 Alat dan Bahan
Alat :
Cling wrap
Styrofoam
Thermometer
Neraca
Plastic
Perforator
Kulkas
Pisau
Bahan :
Wortel
Tomat
Pisang
Mentimun
Daging ayam

3.3 Prosedur Kerja


a. Identifikasi alat pendingin/kulkas
Amati bagian luar dan dalam alat pendingin (kulkas), perhatikan dan ukur suhu pada setiap
bagian dalam kulkas
Gambarkan bagian-bagian dalam kulkas berikut peruntukkan jenis-jenis bahan pangan di
setiap bagian dalam kulkas, berikan keterangan suhunya
Perhatikan bagian luar kulkas terutama bagian mesin pendinginnya. Cari referensi mengenai
mekanisme kerja kulkas
Gambarkan siklus pendinginan pada alat pendingin sejenis kulkas yang menjelaskan
mekanisme kerja alat pendingin tersebut
Beri keterangan
b. Chilling dan freezing bahan pangan
Wortel
Bagi menjadi 5 bagian, ukur masing-masing beratnya. Dua bagian (A) adalah wortel tanpa
treatment apapun (tidak dikupas/peeling, tidak dicuci). Satu bagian dimasukkan ke dalam plastik
berlubang (A1) dan bagian lainnya ke dalam palstik tanpa lubang (A2). 3 bagian lain (B) adalah
wortel yang dikupas, dicuci, ditiriskan dan dipotong bentuk dadu, kemudian satu bagian
masukkan ke dalam plastik berlubang (B1) dan 2 bagian lainnya masukkan ke dalam plastik
tanpa lubang (B2) dan (B3).
Amati karakteristik sensori wortel (kenampakan, warna, aroma, tekstur) pada seiap kantung
plastik, sebelum dimasukkan ke dalam kulkas dan hitung beratnya sebagai berat awal pada hari
ke-0.
Masukkan wortel dalam plastik A1,A2,B1,B2 ke dalam kulkas bagian bawah (laci kulkas
terbawah) sedangkan sampel B3 dimasukkan ke dalam freezer
Amati karakteristik sensori wortel (kenampakan, warna, aroma, tekstur) dan hitung beratnya
sebagai berat akhir pada hari ke 7
Tomat
Cuci hingga bersih dan tiriskan kemudian bagi menjadi 3 bagian, ukur masing-masing
beratnya. Satu bagian adalah tomat yang dimasukkan ke dalam palstik berlubang beri kode A,
sedangkan 2 bagian lainnya masukkan kedalam plastik tanpa lubang beri kode B1 dan B2.
Masukkan tomat dalam plastik A dan BI ke dalam kulkas bagian laci terbawah, sedangkan tomat
dalam plastik B2 masukkan ke dalam freezer
Amati karakteristik sensori tomat (warna, aroma, tekstur, kenampakan) pada setiap kantung
plastic , sebelum dimasukkan ke dalam kulkas dan hitung beratnya sebagai berat awal pada hari
ke-0
Simpan dalam kulkas dan Amati karakteristik sensori tomat (warna, aroma, tekstur,
kenampakan) dan hitung beratnya sebagai berat awal pada hari ke-7
Pisang
Bersihkan pisang dan biarkan dalam kondisi utuh. Bagi menjadi 2 bagian A dan B, ukur
masing-masing beratnya. Bagian A adalah pisang yang dimasukkan ke dalam plastik berlubang
dan disimpan dalam kulkas di bagian rak, sedangkan bagian B adalah pisang yang dimasukkan ke
dalam plastic berlubang dan disimpan pada suhu ruang.
Amati karakteristik sensori pisang (kenampakan, warna, aroma, tekstur) pada setiap kantung
plastic , dan hitung beratnya sebagai berat awal pada hari ke-0.
Simpan selama 3hari dan Amati karakteristik sensori pisang (warna, aroma, tekstur) dan
hitung beratnya sebagai berat akhir pada hari ke-3.
Mentimun
Bersihkan mentimun dan biarkan dalam kondisi utuh. Bagi menjadi 3 bagian A, B, C, ukur
masing-masing beratnya. Bagian A adalah mentimun yang tidak dikemas dalam plastic, bagian B
adalah mentimun yang dimasukkan ke dalam plastic tanpa lubang sedangkan bagian C adalah
mentimun yang dimasukkan ke dalam plastic berlubang.

Amati karakteristik sensori mentimun (kenampakan, warna, aroma, tekstur) pada setiap
kantung plastic, sebelum dimasukkan ke dalam kulkas dan hitung beratnya sebagai berat awal
pada hari ke-0.
Masukkan semua sample mentimun ke dalam kulkas (bagian rak atau laci) Simpan selama
7hari dan Amati karakteristik sensori pisang (warna, aroma, tekstur) dan hitung beratnya sebagai
berat akhir pada hari ke-7
Daging ayam
Cuci daging hingga bersih dan tiriskan. Bagi menjadi 4 bagian, ukur masing-masing beratnya.
Dua bagian A adalah daging ayam yang dikemas dalam plastic tanpa lubang, satu bagian A beri
kode A1, simpan di dalam freezer, bagian lainnya (A2) simpan di dalam kulkas bagian bawah
(rak). Dua bagian B adalah daging ayam yang dikemas dalam Styrofoam, dialasi absorben/
penyerap, dan ditutupi clingwrap, satu bagian B beri kode B1, simpan di dalam freezer, bagian
lainnya (B2) simpan di dalam kulkas bagian bawah (rak).
Amati karakteristik sensori daging ayam (kenampakan, warna, aroma, tekstur) pada setiap
kemasan, sebelum dimasukkan ke dalam kulkas dan hitung beratnya sebagai berat awal pada
hari ke-0.
Simpan selama 7 hari dan Amati karakteristik sensori daging (kenampakan, warna, aroma,
tekstur) dan hitung beratnya sebagai berat akhir pada hari ke-7.

https://lordbroken.wordpress.com/2011/10/01/penyimpanan-bahan-pangan-suhu-rendah-
pendinginan-pembekuan/

PENYIMPANAN BAHAN PANGAN SUHU


RENDAH (PENDINGINAN
& PEMBEKUAN)
PENYIMPANAN BAHAN PANGAN SUHU RENDAH (PENDINGINAN &
PEMBEKUAN)

Prinsip dasar penyimpanan pada suhu rendah:

Menghambat pertumbuhan mikroba


Menghambat reaksi-reaksi enzimatis, kimiawi dan biokimiawi

Penyimpanan pada suhu rendah dapat menghambat kerusakan makanan, antara lain
kerusakan fisiologis, kerusakan enzimatis maupun kerusakan mikrobiologis. Pada
pengawetan dengan suhu rendah dibedakan antara pendinginan dan pembekuan.
Pendinginan dan pembekuan merupakan salah satu cara pengawetan yang tertua.

Pendinginan atau refrigerasi ialah penyimpanan dengan suhu rata-rata yang


digunakan masih di atas titik beku bahan. Kisaran suhu yang digunakan biasanya
antara 1oC sampai + 4oC. Pada suhu tersebut, pertumbuhan bakteri dan proses
biokimia akan terhambat. Pendinginan biasanya akan mengawetkan bahan pangan
selama beberapa hari atau beberapa minggu, tergantung kepada jenis bahan
pangannya. Pendinginan yang biasa dilakukan di rumah-rumah tangga adalah dalam
lemari es yang mempunyai suhu 2oC sampai + 16oC.

Pembekuan atau freezing ialah penyimpanan di bawah titik beku bahan, jadi bahan
disimpan dalam keadaan beku. Pembekuan yang baik dapat dilakukan pada suhu
kira-kira 17 oC atau lebih rendah lagi. Pada suhu ini pertumbuhan bakteri sama sekali
berhenti. Pembekuan yang baik biasanya dilakukan pada suhu antara 12 oC sampai
24 oC. Dengan pembekuan, bahan akan tahan sampai bebarapa bulan, bahkan
kadang-kadang beberapa tahun.

Perbedaan antara pendinginan dan pembekuan juga ada hubungannya dengan


aktivitas mikroba.
Sebagian besar organisme perusak tumbuh cepat pada suhu di atas 10 oC
Beberapa jenis organisme pembentuk racun masih dapat hidup pada suhu kira-
kira 3,3oC

Organisme psikrofilik tumbuh lambat pada suhu 4,4 oC sampai 9,4 oC

Organisme ini tidak menyebabkan keracunan atau menimbulkan penyakit pada suhu
tersebut, tetapi pada suhu lebih rendah dari 4,0 oC akan menyebabkan kerusakan
pada makanan.

Jumlah mikroba yang terdapat pada produk yang didinginkan atau yang dibekukan
sangat tergantung kepada penanganan atau perlakuan-perlakuan yang diberikan
sebelum produk itu didinginkan atau dibekukan, karena pada kenyataannya mikroba
banyak berasal dari bahan mentah/ bahan baku. Setiap bahan pangan yang akan
didinginkan atau dibekukan perlu mendapat perlakuan-perlakuan pendahuluan seperti
pembersihan, blansing, atau sterilisasi, sehingga mikroba yang terdapat dalam bahan
dapat sedikit berkurang atau terganggu keseimbangan metabolismenya.

Pada umumnya proses-proses metabolisme (transpirasi atau penguapan, respirasi


atau pernafasan, dan pembentukan tunas) dari bahan nabati seperti sayur-sayuran
dan buah-buahan atau dari bahan hewani akan berlangsung terus meskipun bahan-
bahan tersebut telah dipanen ataupun hewan telah disembelih. Proses metabolisme
ini terus berlangsung sampai bahan menjadi mati dan akhirnya membusuk. Suhu
dimana proses metabolisme ini berlangsung dengan sempurna disebut sebagai suhu
optimum.

Penggunaan suhu rendah dalam pengawetan makanan tidak dapat mematikan


bakteri, sehingga pada waktu bahan beku dikeluarkan dan dibiarkan hingga mencair
kembali (thawing), maka pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroba dapat
berlangsung dengan cepat. Penyimpanan dingin dapat menyebabkan kehilangan bau
dan rasa beberapa bahan bila disimpan berdekatan. Misalnya :

Mentega dan susu akan menyerap bau ikan dan bau buah-buahan
Telur akan menyerap bau bawang
Bila memungkinkan sebaiknya penyimpanan bahan yang mempunyai bau tajam
terpisah dari bahan lainnya, tetapi hal ini tidak selalu ekonomis. Untuk mengatasinya,
bahan yang mempunyai bau tajam disimpan dalam kedaan terbungkus.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pendinginan yaitu :

Suhu
Kualitas bahan mentah
Sebaiknya bahan yang akan disimpan mempunyai kualitas yang baik

Perlakuan pendahuluan yang tepat, misalnya pembersihan/ pencucian atau


blansing
Kelembaban; Umumnya RH dalam pendinginan sekitar 80 95 %. Sayur-sayuran
disimpan dalam pendinginan dengan RH 90 95 %
Aliran udara yang optimum; Distribusi udara yang baik menghasilkan suhu yang
merata di seluruh tempat pendinginan, sehingga dapat mencegah pengumpulan
uap air setempat (lokal).
Keuntungan penyimpanan dingin :
Dapat menahan kecepatan reaksi kimia dan enzimatis, juga pertumbuhan dan
metabolisme mikroba yang diinginkan. Misalnya pada pematangan keju.
Mengurangi perubahan flavor jeruk selama proses ekstraksi dan penyaringan
Mempermudah pengupasan dan pembuangan biji buah yang akan dikalengkan.
Mempermudah pemotongan daging dan pengirisan roti
Menaikkan kelarutan CO2 yang digunakan untuk soft drink

Air yang digunakan didinginkan lebih dahulu sebelum dikarbonatasi untuk menaikkan
kelarutan CO2.

Kerugian penyimpanan dingin :

Terjadinya penurunan kandungan vitamin, antara lain vitamin C


Berkurangnya kerenyahan dan kekerasan pada buah-buahan dan sayur-sayuran
Perubahan warna merah daging
Oksidasi lemak
Pelunakan jaringan ikan
Hilangnya flavor

Pengaruh pendinginan terhadap makanan :

1. Penurunan suhu mengakibatkan penurunan proses kimia, mikrobiologi, dan


biokimia yang berhubungan dengan kelayuan, kerusakan, pembusukan, dll.
2. Pada suhu kurang dari 0 oC , air akan membeku kemudian terpisah dari larutan dan
membentuk es. Jika kristal es yang terbentuk besar dan tajam akan merusak tekstur
dan sifat pangan , tetapi di lain pihak kristal es yang besar dan tajam juga
bermanfaat untuk mereduksi atau mengurangi mikroba jumlah mikroba.

Pembentukan kristal es menjadi bagian penting dalam mekanisme pengawetan


dengan pembekuan. Sebuah kristal es yang terbentuk misalnya, dapat menarik
seluruh air bebas dalam sel bakteri dan khamir. Kristal-kristal ekstra seluler dapat
menyebabkan pembekuan isi sel melalui perforasi. Tanpa kristal es ekstra seluler, sel
masih bisa betahan (belum membeku) pada suhu 25 oC, tetapi jika terdapat kristal
es tersebut sel membeku pada 5 oC.

Proses pembekuan yang terjadi pada makanan :

Perubahan bahan sampai membeku tidak terjadi sekaligus dari cairan ke padatan.
Contohnya sebotol susu yang disimpan pada ruang pembeku (freezer), maka cairan
yang paling dekat dengan dinding botol akan membeku lebih dahulu. Kristal yang
terjadi mula-mula ialah air murni (H2O). Ketika air terus berkristal, susu menjadi lebih
pekat terutama pada komponen protein, lemak, laktosa, dan mineral. Pekatan ini akan
berkristal secara perlahan-lahan sebanding dengan proses pembekuan yang
berlangsung pada makanan.

Pada pembekuan akan terjadi beberapa proses sebagai berikut :

Mula-mula terjadi pembentukan kristal es yang biasanya berlangsung cepat pada


suhu dibawah 0 oC. Kemudian diikuti proses pembesaran dari kristal-kristal es yang
berlangsung cepat pada suhu 2 oC sampai 7 oC. Pada suhu yang lebih rendah
lagi, maka pembesaran kristal-kristal es dihambat karena kecepatan pembentukan
kristal es meningkat.

Secara normal pembesaran kristal-kristal es dimulai di ruang ekstra seluler, karena


viskositas cairannya relatif lebih rendah. Bila pembekuan berlangsung secara lambat,
maka volume ekstra seluler lebih besar sehingga terjadi pembentukan kristal-kristal
es yang besar di tempat itu. Kristal es yang besar akan menyebabkan kerusakan pada
dinding sel. Kadar air bahan makin rendah , maka akan terjadi denaturasi protein
terutama pada bahan nabati. Proses ini bersifat irreversible.

Pembekuan secara cepat akan menghambat kecepatan difusi air ke ruang ekstra
seluler, akibatnya air akan berkristal di ruang intra seluler, sehingga massa kristal es
akan terbagi rata dalam seluruh jaringan. Kristal es yang terbentuk berukuran kecil-
kecil. Keadaan ini mengakibatkan kehilangan air pada waktu thawing akan
berkurang.

Pembekuan menyebabkan terjadinya :

perubahan tekstur
pecahnya emulsi lemak
perubahan fisik dan kimia dari bahan

Perubahan yang terjadi tergantung dari komposisi makanan sebelum dibekukan.


Konsentrasi padatan terlarut yang meningkat, akan merendahkan kemampuan
pembekuan. Bila dalam larutan mengandung lebih banyak garam, gula, mineral, dan
protein, akan menyebabkan titik beku lebih rendah dan membutuhkan waktu yang
lebih lama untuk membeku.

Dibandingkan dengan pemanasan dan pengeringan, maka pembekuan dalam


pengawetan sebenarnya lebih berorientasi pada usaha penghambatan
tumbuhkembangnya mikroba serta pencegahan kontaminasi yang akan terjadi. Oleh
karena itu jumlah mikroba dan kontaminasi atau kerusakan awal bahan pangan sangat
penting diperhitungkan sebelum pembekuan. Jadi sanitasi dan higiene pra-
pembekuan ikut menentukan mutu makanan beku. Produk pembekuan yang bahan
asalnya mempunyai tingkat kontaminasi tinggi, akan lebih cepat rusak atau lebih cepat
turun mutunya dibandingkan dengan bahan yang pada awalnya lebih rendah kadar
kontaminasinya.

Teknik-teknik Apakah yang Dilakukan pada Pembekuan?

Teknik-teknik Pembekuan :
1. Penggunaan udara dingin yang diiupkan atau gas lain dengan suhu rendah kontak
langsung dengan makanan. Contohnya alat pembeku terowongan (tunnel
freezer).
2. Kontak tidak langsung; Makanan atau cairan yang telah dikemas kontak dengan
permukaan logam (lempengan silindris) yang telah didinginkan dengan cara
mensirkulasikan cairan pendingin. Contohnya alat pembeku lempeng (plate
freezer)
3. Perendaman langsung makanan ke dalam cairan pendingin atau menyemprotkan
cairan pendingin di atas makanan, misalnya nitrogen cair, freon, atau larutan
garam.
Dalam sistem pendingin diperlukan suatu medium pemindahan panas yang disebut
refrigeran . Yang dimaksud dengan refrigeran yaitu suatu bahan yang dapat
menghilangkan atau memindahkan panas dari suatu ruang tertutup atau benda
yang didinginkan.

Sifat-sifat refrigeran dalam sistem pendingin, a.l. :


Titik didih rendah
Titik kondensasi rendah
Tidak menimbulkan karat pada logam
Tidak mudah menimbulkan iritasi / luka
Harganya relatif murah
Mudah dideteksi dalam jumlah kecil

Refrigeran yang sering digunakan, a. l. :


Ammonia (NH3)
Metil khlorida (CH3Cl)
Freon 12 atau dichlorofluorometana (CCl2F2)
Karbon dioksida (CO2)
Sulfur dioksida (SO2)
Propane (C3H8)
Sirkulasi udara dalam lemari es perlu dijaga untuk mencegah pengeringan dari produk
dan menghilangkan panas dari produk dan dari dinding lemari es. Sebagian besar
makanan mengandung air dalam kadar yang tinggi, karena itu jangan dibiarkan bahan
terbuka terhadap sirkulasi udara yang cepat. Kelembaban dalam ruang es perlu
dikontrol karena perbedaan uap diantara lemari es dan makanan menyebabkan
hilangnya air dari makanan yang tidak dibungkus, sehingga terjadi pengringan bahan.

Pengeringan terutama terjadi pada bahan yang dibekukan tanpa dibungkus lebih
dahulu atau dibungkus dengan bahan yang tidak tembus uap air serta waktu
membungkusnya masih banyak ruang-ruang yang tidak terisi.

Faktor-faktor yang mempengaruhi pengeringan, antara lain :


1. Suhu; Suhu yang terlalu tinggi akan mengakibatkan pengeringan yang terjadi lebih
besar
2. Kelembaban relatif atmosfir; Bila RH rendah, maka pengeringan lebih besar
3. Kontak dengan atmosfir; Penggunaan pembungkus akan mengurangi gejala
kekeringan
4. Intensitas sirkulasi udara; Perbedaan suhu antara produk dan udara
Perubahan-perubahan yang terjadi pada pendinginan, antara lain:
Perubahan warna pemucatan warna khlorofil Pencoklatan
perubahan tekstur kerusakan gel-pengerasan
perubahan flavor hilangnya flavor asal (pembentukan flavor yang menyimpang)-
ketengikan
perubahan zat gizi-vitamin C-lemak tidak jenuh-asam amino essensial

Kerusakan-kerusakan yang terjadi pada pendinginan


Pemakaian suhu rendah untuk mengawetkan bahan pangan tanpa mngindahkan
syarat-syarat yang diperlukan oleh masing- masing bahan, dapat mngakibatkan
kerusakan-kerusakan sebagai berikut :
1. Chilling injury; Chilling injury terjadi karena:
kepekaan bahan terhadap suhu rendah
daya tahan dinding sel
burik-burik bopeng (pitting)
Jaringan bahan menjadi cekung dan transparan
Pertukaran bau / aroma
Di dalam ruang pendingin dimana disimpan lebih dari satu macam komoditi atau
produk, kemungkinan terjadi pertukaran bau/aroma. Contoh: apel tidak dapat
didinginkan bersama-sama dengan seledri, kubis, ataupun bawang merah.
2. Kerusakan oleh bahan pendingin/refrigeran
Bila lemari es menggunakan amonia sebagai refrigeran, misalnya terjadi kebocoran
pada pipa dan ammonia masuk ke dalam ruang pendinginan, akan mengakibatkan
perubahan warna pada bagian luar bahan yang didinginkan berupa warna coklat
atau hitam kehijauan. Kalau proses ini berlangsung terus, maka akan diikuti proses
pelunakan jaringan-jaringan buah. Sebagai contoh : suatu ruangan pendingin yang
mengandung amonia sebanyak 1 % selama kurang dari 1 jam, akan dapat merusak
apel, pisang, atau bawang merah yang disimpan di dalamnya.
3. Kehilangan air dari bahan yang didinginkan akibat pengeringan;
Kerusakan ini terjadi pada bahan yang dibekukan tanpa dibungkus atau yang
dibungkus dengan pembungkus yang kedap uap air serta waktu membungkusnya
masih banyak ruang-ruang yang tidak terisi bahan. Pengeringan setempat dapat
menimbulkan gejala yang dikenal dengan nama freeze burn , yang terutama
terjadi pada daging sapi dan daging unggas yang dibekukan. Pada daging unggas,
hal ini tampak sebagai bercak-bercak yang transparan atau bercak-bercak yang
berwarna putih atau kuning kotor.
Freeze burn disebabkan oleh sublimasi setempat kristal-kristal es melalui
janganjaringan permukaan atau kulit. Maka terjadilah ruangan-ruangan kecil yang
berisi udara, yang menimbulkan refleksi cahaya dan menampakkan warna-warna
tersebut. Akibat terjadinyafreeze burn, maka akan terjadi perubahan rasa pada
bahan , selanjutnya diikuti dengan proses denaturasi protein.
4. Denaturasi protein; Denaturasi protein berarti putusnya sejumlah ikatan air dan
berkurangnya kadar protein yang dapat diekstrasi dengan larutan garam. Gejala denaturasi
protein terjadi pada daging, ikan, dan produk-produk air susu. Proses denaturasi
menimbulkan perubahan-perubahan rasa dan bau, serta perubahan konsistensi (daging
menjadi liat atau kasap). Semua bahan yang dibekukan, kecuali es krim, sebelum
dikonsumsi dilakukan thawing, maka untuk bahan yang telah mengalami denaturasi
protein pada waktu pencairan kembali, air tidak dapat diabsorpsi (diserap) kembali. Tekstur
liat yang terjadi disebabkan oleh membesarnya molekul-molekul.
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/Fitri%20Rahmawati,%20M.P./Pengawetan%20M
akanan%20-%20Pengawetan%20Makanan%20dan%20Permasalahannya.pdf

https://id.wikipedia.org/wiki/Teknologi_pembekuan_makanan

Teknologi pembekuan makanan


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Teknologi pembekuan makanan adalah teknologi mengawetkan makanan dengan
menurunkan temperaturnya hingga di bawah titik beku air. Hal ini berlawanan
dengan pemrosesan termal, di mana makanan dipaparkan ke temperatur tinggi dan memicu
tegangan termal terhadap makanan, dapat mengakibatkan hilangnya nutrisi,
perubahan rasa, tekstur, dan sebagainya, atau pemrosesan kimia dan fermentasi yang dapat
mengubah sifat fisik dan kimia makanan. Makanan beku umumnya tidak mengalami hal itu
semua; membekukan makanan cenderung menjaga kesegaran makanan. Makanan beku
menjadi favorit konsumen melebihi makanan kaleng atau makanan kering, terutama di sektor
hasil peternakan (daging dan produk susu), buah-buahan, dan sayur-sayuran.
Hampir semua jenis bahan makanan dapat dibekukan (bahan mentah, setengah jadi, hingga
makanan siap konsumsi) dengan tujuan pengawetan. Proses pembekuan makanan melibatkan
pemindahan panas dari produk makanan. Hal ini akan menyebabkan membekunya kadar air di
dalam makanan dan menyebabkan berkurangnya aktivitas air di dalamnya. Menurunnya
temperatur dan menghilangnya ketersediaan air menjadi penghambat utama
pertumbuhan mikroorganisme dan aktivitas enzim di dalam produk makanan, menyebabkan
makanan menjadi lebih awet dan tidak mudah membusuk. Keunggulan dari teknik pembekuan
makanan adalah semua hal tersebut dapat dicapai dengan mempertahankan kualitas makanan
seperti nilai nutrisi, sifat organoleptik, dan sebagainya.

Daftar isi
[sembunyikan]

1Sejarah
2Penurunan titik beku
3Proses pembekuan
4Perubahan fase dan formasi kristal es
5Perkiraan waktu pembekuan
6Alat pembekuan
o 6.1Kontak langsung dengan permukaan dingin
o 6.2Pembekuan dengan memanfaatkan media udara
o 6.3Pembekuan dengan menggunakan cairan
7Pengaruh pembekuan dan penyimpanan beku terhadap makanan
o 7.1Efek terhadap karakter fisik
o 7.2Efek terhadap bahan penyusun makanan
o 7.3Efek pembekuan terhadap sifat termal makanan
8Pengembangan teknik pembekuan
o 8.1Pembekuan dengan tekanan tinggi
o 8.2Dehydrofreezing
9Konservasi energi dalam proses pembekuan
10Referensi
11Bacaan terkait

Sejarah[sunting | sunting sumber]


Teknik pembekuan makanan sudah dikenal sejak lama sekali, sedangkan teknik pembekuan
dengan campuran garam-es diperkenalkan pada tahun 1800an di dua tempat, yaitu di Inggris
(oleh H. Benjamin pada tahun 1842) dan di Amerika Sarikat (oleh Enoch Piper pada tahun 1861)
yang keduanya memanfaatkannya untuk mendinginkan ikan. Komersialisasi teknik pembekuan
makanan baru dimulai di akhir abad ke 19 ketika alat pendingin mekanis, yang saat ini disebut
dengan lemari es, ditemukan. Dan di pertengahan abad ke 20, makanan beku mulai ikut
bersaing dengan makanan kalengan dan makanan kering.[1]

Penurunan titik beku[sunting | sunting sumber]


Titik beku adalah temperatur di mana kristal es dan air berada dalam keadaan ekuilibrium; titik di
mana air tepat membeku atau es tepat mencair. Air murni membeku pada temperatur 0oC pada
tekanan atmosfer. Titik beku makanan berada di bawah titik beku air murni, hal ini dikarenakan
makanan mengandung berbagai campuran berbagai macam zat dan masing-masing saling
memengaruhi sehingga menurunkan titik beku. Level titik beku suatu makanan tergantung pada
konsentrasi zat-zat dalam makanan.

Proses pembekuan[sunting | sunting sumber]


Ketika makanan dipaparkan ke temperatur dingin, produk makanan tersebut akan kehilangan
panas akibat laju pindah panas yang terjadi dari makanan ke medium bertemperatur rendah di
sekitarnya. Permukaan makanan akan mengalami penurunan temperatur lebih cepat
dibandingkan dengan bagian dalamnya.
Jumlah air yang membeku dalam produk makanan tergantung pada temperatur pembekuan;
kandungan campuran zat makanan amat memengaruhi hal tersebut. Umumnya, semakin cair
suatu bahan makanan, jumlah air yang membeku akan semakin banyak. Tetapi, kuning
telur masih menyisakan lebih dari 20 persen air meski sudah didinginkan hingga minus 40 oC. Hal
ini dikarenakan kandungan protein yang tinggi yang terlarut dalam air. Kekurangan teknik
pembekuan adalah sulitnya membekukan kandungan air yang ada dalam bahan makanan
secara sempurna sehingga masih menyisakan risiko pertumbuhan mikroorganisme; untuk
mengatasinya diperlukan pendinginan lebih jauh lagi untuk menghentikan
aktivitas enzim mikroorganisme dan/atau membekukan lebih banyak air, namun hal itu tidaklah
ekonomis.

Perubahan fase dan formasi kristal es[sunting | sunting sumber]


Ketika temperatur produk makanan diturunkan hingga di bawah titik beku air, air mulai
membentuk kristal es. Pembentukan kristal es dapat disebabkan oleh kombinasi molekul-molekul
air yang disebut dengan nukleasi homogenik, atau pembentukan inti di sekitar partikel
tersuspensi yang dikenal dengan nama nukleasi heterogen.[2] Nukleasi homogen terjadi dalam
kondisi di mana zat terbebas dari zat pengotor yang pada umumnya berperan sebagai inti ketika
terjadi proses pembekuan. Nukleasi heterogen terjadi ketika molekul-molekul air bersatu dengan
agen nukleasi seperti benda asing, zat tak terlarut, atau bahkan dinding pembungkus.[3] Nukleasi
heterogen adalah tipe yang umum terjadi dalam proses pembekuan makanan.
Tipe ketiga dari proses nukleasi, yang disebut dengan pembentukan inti sekunder, terbentuk
ketika kristal-kristal membelah. Tipe kristalisasi ini memberikan ukuran kristal yang seragam, dan
umum terjadi pada proses pembekuan makanan cair (Franks, 1987).
Umumnya, dalam proses pembekuan makanan, temperatur berkurang mulai dari temperatur
awal di atas titik beku hingga beberapa derajat di bawah titik beku. Dalam proses ini, temperatur
di 0 hingga -5oC disebut zona kritis yang diperlukan oleh makanan dalam pembentukan kristal-
kristal es. Lamanya waktu yang diperlukan bagi makanan dalam melalui zona kritis ini
menentukan jumlah dan ukuran kristal es yang terbentuk. Proses pembekuan yang cepat akan
membentuk sejumlah besar kristal es berukuran kecil, sedangkan pendinginan dalam waktu yang
lambat akan membentuk sejumlah kecil kristal es berukuran besar. Pembekuan yang lambat
memberikan waktu bagi molekul-molekul air untuk bermigrasi menuju inti yang akan bersatu
dengannya untuk membentuk agregat kristal es sehingga menghasilkan kristal es berukuran
besar. Pembentukan kristal es berukuran besar ini akan memengaruhi struktur makanan dan
menyebabkan hilangnya kualitas makanan. Kristal es yang besar akan menusuk dinding
sel produk makanan dan merusaknya. Kerusakan akan semakin besar dengan semakin
lambatnya laju pembekuan.[4] Solusi terbaik adalah dengan mencegah terjadinya kristalisasi ini
dengan risiko meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme yang dapat merusak makanan karena
temperatur yang masih memungkinkan bagi pertumbuhan mikroorganisme. Solusi dari masalah
tersebut adalah dengan menambahkan protein anti beku yang dapat menurunkan titik beku air
dan mencegah kristalisasi pada temperatur yang sangat rendah.[5]

Perkiraan waktu pembekuan[sunting | sunting sumber]


Semua produk makanan mengandung berbagai jenis zat terlarut. Sangat sulit untuk menentukan
pada temperatur berapa seluruh air dalam produk makanan akan membeku, dikarenakan
keberadaan zat terlarut dalam makanan menurunkan titik beku.
Laju pendinginan yang memengaruhi waktu pembekuan yang diperlukan produk makanan
kualitas produk makanan dapat didefinisikan oleh selisih antara temperatur awal produk
makanan dan temperatur akhir pembekuan dibagi dengan waktu. (oC/s). Dapat juga didefinisikan
dengan rasio dari selisih antara temperatur permukaan dan temperatur bagian dalam produk
makanan dengan waktu yang dibutuhkan bagi permukaan produk makanan untuk mencapai
temperatur 0oC dan bagian dalam produk makanan untuk mencapai temperatur -5oC.
Perkiraan waktu pembekuan adalah faktor utama dalam melakukan pembekuan makanan.
Waktu pembekuan menentukan kapasitas alat pendingin yang dibutuhkan dalam melakukan
pembekuan.
Faktor yang memengaruhi lamanya proses pembekuan adalah konduktivitas termal, kalor jenis,
ketebalan, massa jenis, dan luas permukaan produk makanan serta selisih temperatur antara
produk makanan dengan medium pendinginan dan resistansi laju pindah panas. Perkiraan waktu
pembekuan semakin sulit dilakukan karena konduktivitas termal, massa jenis, dan kalor jenis
produk makanan bervariasi bergantung pada temperatur awal, ukuran, dan bentuk dari makanan.
Semakin besar ukuran produk makanan, waktu yang dibutuhkan untuk melakukan pembekuan
akan semakin lama. Hal ini dikarenakan meningkatnya kalor laten dan jumlah kalor yang harus
dipindahkan. Peningkatan ukuran makanan juga meningkatkan resistansi internal terhadap laju
pindah panas, sehingga membutuhkan waktu lebih lama dalam pembekuan.

Alat pembekuan[sunting | sunting sumber]


Tipe peralatan yang digunakan untuk produk tertentu ditentukan oleh berbagai faktor. Sensivitas
produk, ukuran, dan bentuk produk makanan serta kualitas akhir yang diperlukan, laju produksi,
ketersediaan ruang, kapasitas investasi, tipe media pendinginan yang digunakan, dan
sebagainya. Peralatan pembekuan secara umum dapat dikelompokan sebagai berikut:

Memanfaatkan kontak langsung dengan permukaan dingin; produk makanan, baik dalam
keadaan dikemas atau tidak, diekspos secara langsung dengan permukaan dingin, logam,
lempengan, dan sebagainya.
Memanfaatkan media udara sebagai media pendinginan; udara dalam temperatur yang
sangat dingin digunakan dalam mendinginkan produk makanan. Air
blast, spray udara, fluidized bed juga termasuk dalam metode tersebut.
Menggunakan cairan sebagai coolant. Dalam hal ini, cairan yang bertemperatur sangat
rendah, titik didih yang rendah, serta memiliki konduktivitas termal yang tinggi digunakan
dalam mendinginkan produk makanan. Cairan disemprotkan ke produk atau produk
direndam ke dalam cairan. Termasuk dalam metode ini adalah cryogenic.
Kontak langsung dengan permukaan dingin [sunting | sunting sumber]
Dalam pembekuan sistem lempengan dingin, lempengan seolah menjadi pembungkus produk
makanan tersebut. Lempengan dapat berupa lempengan ganda atau lempengan banyak yang
didinginkan dengan berbagai cara. Ruang udara di antara lempeng dan pembungkus dapat
menambah resistansi hambatan laju transfer kalor, sehingga ruang antara lempengan harus
diminimalisasi menyesuaikan dengan ukuran produk makanan. Dan itulah yang menjadi
keuntungan dari metode ini; bentuk dan ukuran lempengan dapat disesuaikan dengan ukuran
produk makanan. Keuntungan lainnya adalah, pembekuan dapat dilakukan dengan cepat dari
berbagai sisi produk makanan, karena logam memiliki konduktivitas termal yang tinggi sehingga
transfer panas dapat melaju dengan cepat.
Pembekuan dengan lempengan-lempengan seperti ini cenderung lebih menghemat ruang
karena penyusunan letak makanan yang rapih dan terstruktur.
Pembekuan dengan memanfaatkan media udara[sunting | sunting sumber]
Adalah tipe pembekuan yang umum, yaitu ruang pendingin yang diisi oleh udara yang
didinginkan. Keuntungannya adalah, dengan memanfatkan aliran konveksi, temperatur dingin
dapat disebarkan hingga ke sudut ruangan secara efisien, namun koefisien transfer panas
konvektif udara cenderung kecil sehingga pembekuan perlu dilakukan dalam waktu yang lebih
lama akibat rendahnya laju transfer panas. Semakin besar ruangan, semakin kecil kalor yang
dapat dipindahkan dalam satuan waktu tertentu. Hilangnya berat dari produk juga dapat terjadi
akibat kontak langsung antara produk dan air yang mampu mengangkat kandungan air dalam
produk makanan, terutama jika temperatur dan kelembaban memungkinkan.
Sirkulasi udara dapat dilakukan secara alami maupun secara mekanis dengan
menggunakan kipas.
Pembekuan dengan menggunakan cairan[sunting | sunting sumber]
Umumnya, produk makanan direndam dalam cairan pendingin yang didinginkan. Cairan yang
digunakan berupa cairan yang memiliki titik didih rendah namun memiliki kemampuan menyerap
panas yang tinggi, misalnya glikol atau cairan lainnya yang disebut coolant. Makanan cair juga
dapat didinginkan dengan cara ini asalkan dikemas terlebih dahulu sebelum direndam.
Umumnya tidak ada kontak langsung antara produk makanan dengan cairan pendingin, karena
berisiko merusak kualitas produk makanan.
Penyemprotan makanan juga termasuk metode ini, dengan menggunakan cairan pendingin yang
sejenis. Makanan dialirkan dengan konveyor, lalu dilakukan penyemprotan. Setelah dilakukan
penyemprotan, umumnya produk makanan dibekukan dengan memanfaatkan media udara
seperti aliran udara dingin. Cara ini menjadikan makanan menjadi beku lebih cepat dibandingkan
tanpa cairan pendingin.
Dengan metode cryogenic, makanan dapat dibekukan dengan cara yang cepat. Makanan
direndam dalam cairan cryogenik yang disebut dengan cryogen. Cryogen yang umum digunakan
misalnya nitrogen cair dan karbon dioksida cair. Nitrogen cair memiliki titik didih yang sangat
rendah, yaitu -196oC, sedangkan karbon dioksida cair memiliki titik didih -79oC. Cryogen
cenderung tidak berbau, tidak berwarna, dan inert sehingga tidak akan bereaksi dengan bahan
makanan padat walau pendinginan dilakukan dalam keadaan tanpa dikemas dan memengaruhi
kualitas makanan kecuali terhadap temperatur dinginnya itu sendiri. Selain itu, cryogen memiliki
laju transfer panas yang lebih tinggi dibandingkan dengan cairan pendingin lainnya.
Pada proses pembekuan dengan cryogenic, pendinginan awal perlu dilakukan untuk mencegah
keretakan akibat turunnya temperatur secara drastis karena volum produk makanan mengalami
perubahan volum yang sangat cepat ketika terendam dalam cryogen. Mempertahankan
temperatur sangat mungkin karena cryogen yang menguap memiliki koefisien transfer kalor
konvektif yang sangat tinggi.
Modifikasi terbaru dari pendingin cryogenic adalah pendingin cryomechanical yang
menggabungkan metode perendaman produk dalam cairan cryogen dan metode mekanik yaitu
menggunakan konveyor tipe sprayer, spiral, ataupun belt yang memanfaatkan uap cryogen. Hal
ini akan mengurangi waktu pendinginan, mengurangi hilangnya berat produk makanan,
meningkatkan kualitas produk, dan meningkatkan efisiensi.[6]

Pengaruh pembekuan dan penyimpanan beku terhadap


makanan[sunting | sunting sumber]
Setiap penambahan maupun pengurangan panas yang dilakukan terhadap makanan akan
membawa beberapa perubahan terhadap makanan tersebut. Pendinginan akan mengubah air
menjadi es, dan sifat makanan akan ditentukan oleh sifat es tersebut. Pertumbuhan
mikroorganisme dan aktivitas enzim ditentukan oleh berkurangnya aktivitas air dalam makanan
beku. Jumlah dan ukuran inti es yang terbentuk cukup memengaruhi kualitas produk dalam hal
tingkat kerusakan dinding sel bakteri dan juga struktur jaringan produk makanan. Kehilangan
berat dan mengeringnya permukaan umumnya kekurangan kualitas yang tidak diinginkannya.
Kondisi penyimpanan dan transportasi, terutama fluktuasi temperatur akan memengaruhi
kristalisasi es dan kualitas produk.
Efek terhadap karakter fisik[sunting | sunting sumber]
Ketika air diubah menjadi es, volumenya bertambah 9% (air memiliki volume terkecil pada
temperatur 4oC lalu bertambah volumenya seiring penurunan temperatur, sifat anomali
air).[7] Jika produk makanan tersebut mengandung banyak air, maka hal yang sama akan terjadi,
namun kadar air, temperatur pendinginan, dan keberadaan ruang antar sel amat memengaruhi
perubahan volume tersebut.
Kerusakan sel juga mungkin terjadi akibat pendinginan; hal ini diakibatkan gerakan kristal es atau
kondisi osmotik sel. Produk daging tidak mengalami kerusakan sebesar produk buah-
buahan dan sayuran karena struktur fibrous yang dimiliki daging lebih elastis dibandingkan
struktur buah dan sayur yang cenderung kaku.
Kehilangan berat akibat pendinginan juga menjadi masalah karena selain masalah kualitas, hal
ini juga merupakan masalah ekonomi jika produk dijual berdasarkan berat produk. Produk yang
tidak dikemas akan mengalami kehilangan berat lebih besar akibat perpindahan tingkat
kelembaban menuju wilayah yang bertekanan lebih rendah akibat kontak langsung dengan
media pendinginan.
Cracking atau terbentuknya retakan pada permukaan hingga bagian dalam produk juga bisa
terjadi, terutama ketika produk makanan dibekukan dengan cara direndam ke dalam cairan
pendingin atau cryogen yang menyebabkan terbentuknya lapisan beku di permukaan makanan.
Lapisan ini melawan peningkatan volume dari dalam sehingga produk akan mengalami stress di
bagian dalamnya. Jika lapisan beku yang terbentuk cukup rapuh, akan terjadi retakan. Sifat
produk seperti porositas, ukuran, modulus elastisitas, dan densitas amat memengaruhi terjadinya
keretakan tersebut. Perubahan densitas terjadi akibat bertambahnya volume, dan ini bisa
ditangani dengan pendinginan dalam kondisi tekanan tinggi.
Efek terhadap bahan penyusun makanan[sunting | sunting sumber]
Pendinginan akan mengurangi aktivitas air pada makanan. Mikroorganisme tidak dapat tumbuh
pada kondisi aktivitas air yang rendah dan temperatur di bawah nol. Organisme patogen tidak
bisa tumbuh pada temperatur di bawah 5oC, namun tipe organisme lainnya memiliki respon yang
berbeda. Sel vegetatif ragi, jamur, dan bakteri gram negatif akan hancur pada temperatur
rendah, namun bakteri gram positif dan spora jamur diketahui tidak dipengaruhi oleh temperatur
rendah. Protein akan mengalami denaturasi dalam temperatur dingin yang mengakibatkan
perubahan penampilan produk, tetapi nilai nutrisinya tidak terjadi walau terjadi denaturasi selama
berat tidak berkurang. Pembekuan tidak memengaruhi kandungan vitamin A, B, D, dan E, namun
memengaruhi kandungan vitamin C.
Efek pembekuan terhadap sifat termal makanan[sunting | sunting sumber]
Pengetahuan tentang sifat termal produk makanan dibutuhkan dalam mendesain proses
pembekuan dan alat yang dibutuhkan, termasuk juga kapasitas pemindahan panas.
Sifat termal beberapa produk makanan beku pada kandungan air tertentu

Kalor jenis Kalor laten


Produk makanan (kadar air, %)
(kJ/kg K) (kJ/kg)
Apel (84) 1,88 280

Kacang-kacangan (89) 1,96 296,8

Kol (92) 1,96 305,1

Persik (87) 1,92 288,4

Pisang (75) 1,76 255

Semangka (92) 2,0 305,1

Wortel (88) 1,88 292,6

Daging ikan (70) 1,67 275,9

Daging sapi (75) 1,67 255

Roti (32-37) 1,42 108,7-221,2

Susu (87,5) 2,05 288,4

Telur (-) 1,67 288,4

Telur tidak dicantumkan kadar airnya karena pada umumnya setiap butir
telur mengandung kadar air yang sama

Konduktivitas termal es adalah 4 kali konduktivitas termal air (konduktivitas termal es adalah 2,24
W/m K, konduktivitas termal air adalah 0,56 W/m K) sehingga konduktivitas termal makanan
beku umumnya 3-4 kali lebih besar dibandingkan makanan yang tidak dibekukan. Selama tahap
awal pembekuan, peningkatan konduktivitas termal berlangsung cepat. Untuk makanan yang
kaya kandungan lemaknya, variasi konduktivitas termal terhadap temperatur dapat diabaikan,
namun dalam kasus produk daging, orientasi serat otot memengaruhi konduktivitas termal[8]
Kalor jenis es hanya setengahnya dari kalor jenis air. Selama masa pendinginan, kalor jenis
produk makanan menurun. Pengukuran kalor jenis cukup rumit karena terdapat perubahan fase
berkelanjutan dari air ke es. Kalor laten dari produk makanan dapat diperkirakan dari fraksi air
yang ada pada makanan.[9] Difusivitas termal dari makanan beku bisa diperkirakan dari massa
jenis, kalor jenis, dan termal konduktivitas. Digabungkan dengan data mengenai konduktivitas
termal dan kalor jenis es terhadap air, dapat diperkirakan bahwa makanan beku memiliki nilai
difusivitas termal 9-10 kali lebih besar dibandingkan dengan makanan yang tidak dibekukan.[1]
Pengembangan teknik pembekuan[sunting | sunting sumber]
Pembekuan dengan tekanan tinggi[sunting | sunting sumber]
Metode pembekuan konvensional, terutama dalam kasus makanan berukuran besar, akan
menyebabkan terbentuknya gradien temperatur yang besar. Permukaan produk makanan akan
mengalami percepatan pembekuan yang lebih cepat dibandingkan dengan bagian dalamnya,
sehingga pada bagian permukaan makanan akan memiliki sejumlah besar kristal es berukuran
kecil sedangkan bagian dalamnya akan memiliki sejumlah kecil kristal es berukuran besar. Hal ini
akan menyebabkan kehilangan kualitas produk.
Pembekuan konvensional juga akan menyebabkan peningkatan volume dari produk dan
menyebabkan kerusakan jaringan. Ketika pembekuan dilakukan pada tekanan tinggi,
peningkatan volume dapat dicegah dan antara permukaan dan bagian dalam produk makanan
akan mengalami pembekuan dalam kecepatan yang tidak jauh berbeda sehingga pembentukan
kristal es akan homogen pada bagian permukaan dan bagian dalam produk makanan.
Dehydrofreezing[sunting | sunting sumber]
Adalah metode pembekuan makanan yang diaplikasikan khususnya pada makanan berkadar air
tinggi. Makanan didehidrasikan untuk memenuhi kadar air yang diperlukan sebelum dibekukan.
Ketika produk seperti buah dan sayuran segar dengan kadari air tinggi dibekukan, masalah
utama yang mengganggu kualitas adalah peningkatan volume akibat kadar air di dalamnya yang
dapat menyebabkan kerusakan jaringan.[10][11][12] Dehidrasi parsial dapat dilakukan dengan
pengering udara konvensional atau pengeringan osmotik. Dehidrasi parsial dapat memberikan
berbagai keuntungan, diantaranya menurunkan beban transfer kalor produk makanan,
mempermudah dan mengurangi biaya penyimpanan, penanganan, dan pengiriman.

Konservasi energi dalam proses pembekuan[sunting | sunting sumber]


Pembekuan adalah kegiatan dengan penggunaan energi yang intensif. Keefektivan biaya dari
kegiatan pembekuan tergantung pada beban pendinginan produk makanan yang menentukan
besar energi yang dikonsumsi alat pembeku. Memindahkan panas pada awal proses pembekuan
merupakan hal yang tersulit dan membutuhkan banyak waktu, sehingga titik akhir pembekuan,
yang pada umumnya sulit ditentukan, harus diperkirakan dengan tepat dan amat menentukan
total konsumsi energi alat pembeku. Manipulasi bahan penyusun produk makanan, automatisasi
alat pendingin, pelacakan perubahan fase air-es, dan sebagainya, juga menjadi hal yang penting
dalam penentuan total energi yang dibutuhkan dalam proses pembekuan karena mencegah
pemindahan panas yang berlebihan.

Referensi[sunting | sunting sumber]


1. ^ a b Desrosier N. W. dan Desrosier J. W. The Technology of Food Preservation, Edisi Keempat.
Westport, CN: AVIPub Co. 1982.
2. ^ Fellows P. J. Food Processing Technology Principals and Practice, Edisi Kedua. New York:
CRC Press. 2000.
3. ^ Sahagian M. E. dan Goff H. D.. Fundamental aspects of food freezing process. In: A maligned
and misunderstood concept, (Franks F.), 1987, Cryoletters, 8: 53, 1996.
4. ^ Otero L., Martino M., Zaritzky N., Solas M., dan Sanz P. D.. Preservation of microstructure in
peach and mango during high pressure shift freezing. Jurnal Food Sci. 65(3): 466470, 2000.
5. ^ Feeney R. E. dan Yeh Y. (1998). Antifreeze proteins: current status and possible food
uses. Trends Food Sci. Tech. 9: 102106, 1998.
6. ^ Agnelli M. E. dan Mascheroni R. H. Cryomechanical freezing: A model for the heat transfer
process. Jurnal Food Eng. 47: 263270, 2001.
7. ^ Kalichevsky M. T., Knorr D., dan Lillford P. J. Potential food applications of high pressure
effects on ice water transitions. Trends in Food Science and Technology, 6: 253258, 1995.
8. ^ Dickerson R. W., Jr. Thermal properties of foods. dalam: The Freezing Preservation of Foods,
(Tressler D. K., Van Arsdel W. B., dan Kopley M. J., eds), pp 2651. Westport, CN: The AVI
Publishing Co. 1968.
9. ^ Fennema D., Powrie W. D., dan Marth E. H.. Low temperature preservation of foods and living
matter. New York: Marcel Dekker Inc. 1973
10. ^ Biswal R. N., Bozorgmehr K., Tompkins F. D., dan Liu X. Osmotic concentration of green beans
prior to freezing. Jurnal Food Sci. 56(4): 10081011, 1991.
11. ^ Garrote R. L. dan Bertone R. A. Osmotic concentration at low temperature of frozen strawberry
halves. Effect of glycerol glucose and sucrose solution on exudates loss during thawing. Food
Sci. Tech. 22: 264267, 1989.
12. ^ Robbers M., Singh R. P., dan Cunha L. M.. Osmotic convective dehydrofreezing process for
drying kiwifruit. Jurnal Food Sci. 62(5): 10391042, 1047, 1997.

Bacaan terkait[sunting | sunting sumber]


Agnelli M. E. dan Mascheroni R. H. Cryomechanical freezing: A model for the heat transfer
process. Jurnal Food Eng. 47: 263270, 2001.
Biswal R. N., Bozorgmehr K., Tompkins F. D., dan Liu X. Osmotic concentration of green
beans prior to freezing. Jurnal Food Sci. 56(4): 10081011, 1991.
Cleland A. C. dan Earle R. L. A comparison of analytical and numerical methods of
predicting the freezing times of foods. Jurnal Food. 42(5): 3901395, 1977.
Cleland A. C. dan Earle R. L. A comparison of methods for predicting the freezing times of
cylindrical and spherical food stuffs. Jurnal Food Sci. 44(4): 958963, 970, 1979.
Cleland A. C. dan Earle R. L. Freezing time prediction for foodsa simplified procedure. Int
Jurnal Refri. 5(3): 134140, 1982.
Cleland A. C. dan Earle R. L. Freezing time predictions for different final product
temperatures. Jurnal Food Sci. 49: 1230, 1984.
Dickerson R. W., Jr. Thermal properties of foods. dalam: The Freezing Preservation of
Foods, (Tressler D. K., Van Arsdel W. B., dan Kopley M. J., eds), pp 2651. Westport, CN:
The AVI Publishing Co. 1968.
Desrosier N. W. dan Desrosier J. W. The Technology of Food Preservation, Edisi Keempat.
Westport, CN: AVIPub Co. 1982.
Earle R. L. Unit operations of food processing, Edisi Kedua. New York: Pergamon Press.
1983.
Feeney R. E. dan Yeh Y. (1998). Antifreeze proteins: current status and possible food
uses. Trends Food Sci. Tech. 9: 102106, 1998.
Fellows P. J. Food Processing Technology Principals and Practice, Edisi Kedua. New York:
CRC Press. 2000.
Fennema D. dan Powrie W. D.. Fundamentals of low temperature food preservation. Adv.
Food Res. 13: 219, 1964.
Fennema D., Powrie W. D., dan Marth E. H.. Low temperature preservation of foods and
living matter. New York: Marcel Dekker Inc. 1973
Fricke B. A. dan Becker B. R. Calculation of Food freezing times and heat transfer
coefficients. ASHRAE Trans. 110(2): 145157, 2004.
Fuchigami M., Kato N., dan Teramoto A. High pressure freezing effects on textural quality of
carrots. Jurnal Food Sci. 62(4): 804808, 1997a.
Fuchigami M., Kato N., dan Teramoto A. "Histological changes in high pressure frozen
carrots." Jurnal Food Sci. 62(4): 809812, 1997b.
Fuchigami M. dan Teramoto A. Structural and Textural changes in Kinu-tofu due to high
pressure freezing. Jurnal Food Sci. 62(4): 828832, 1997.
Garrote R. L. dan Bertone R. A. Osmotic concentration at low temperature of frozen
strawberry halves. Effect of glycerol glucose and sucrose solution on exudates loss during
thawing. Food Sci. Tech. 22: 264267, 1989.
Goff H. D. Low temperature stability and the glossy state in frozen foods. Food
Res. Internat. 25: 317, 1992.
Heldman D. R. dan Singh R. P. Food Process Engineering, Edisi Kedua. West Port, CN: The
AVI Pub Co. 1981.
Heldman D. R. Food Freezing. Dalam: Handbook of Food engineering, (D. R. Heldman dan
D. B. Lund, eds.) New York: Marcel Dekker Inc. 1992.
Hsieh R. C., Lerew L. E., dan Heldman D. R. Prediction of freezing times for foods as
influenced by product properties. Jurnal Food Proc. Engr. 1: 183, 1977.
Huns Y. C. dan Thompson D. R. Freezing time prediction for slab shape food stuffs by an
improved analytical method. Jurnal Food Sci. 48: 555, 1983.
I.I.R. Recommendations for processing and handling of frozen foods, Edisi Kedua.
International Institute of Refrigeration, Paris, 1971.
Jeremiah L. E. Freezing effects on food quality. New York: Marcel Dekker Inc. 1996.
Kalichevsky M. T., Knorr D., dan Lillford P. J. Potential food applications of high pressure
effects on ice water transitions. Trends in Food Science and Technology, 6: 253258, 1995.
Kessler H. G. Food and Bioprocess Engineering. Muenchen: Verlag H. Kessler. 2002.
Kim N. K. dan Hung Y. C.. Freeze cracking of foods as affected by physical properties.
Jurnal Food Sci. 59(3): 669674, 1994.
Knorr D., Scfleveter O., dan Heinz V.. Impact of high hydrostatic pressure on phase
transitions of foods. Food Tech. 52(9): 4245, 1998.
Leiva M. L. dan Hallstrom B. The original Planks equation and its use in the development of
food freezing rate predictions. Jurnal Food Sci. 58: 267275, 2003.
Leniger H. A. dan Beverloo W. A. Food Process Engineering. D. Reidel, Dordrecht, pp 351
398, 1975.
Lentz C. P. Thermal conductivity of meats, fats, gelatin gels and ice. Food Technol. 15:
243247, 1961.
Michelis A. D. dan Calvelo A. Freezing time predictions for Brick and cylindrical shaped
foods. Jurnal Food Sci. 48: 909, 1983.
Norwig J. F. dan Thompson D. R. Review of dehydration during freezing. Trans. ASAE.
16191624, 1984.
Otero L., Martino M., Zaritzky N., Solas M., dan Sanz P. D.. Preservation of microstructure in
peach and mango during high pressure shift freezing. Jurnal Food Sci. 65(3): 466470,
2000.
Panye S. R. dan Young O. A.. Effect of preslaughter administration of antifreeze proteins on
frozen meat quality. Meat Sci. 4l: 147155, 1995.
Rahman M. S. Food Preservation by Freezing. dalam: Handbook of Food Preservation,
(Rahman M. S., ed.). New York: Marcel Dekker Inc. 1999.
Robbers M., Singh R. P., dan Cunha L. M.. Osmotic convective dehydrofreezing process for
drying kiwifruit. Jurnal Food Sci. 62(5): 10391042, 1047, 1997.
Sahagian M. E. dan Goff H. D.. Fundamental aspects of food freezing process. In: A
maligned and misunderstood concept, (Franks F.), 1987, Cryoletters, 8: 53, 1996.
Salvadori V. O. dan Mascheroni R. H. Analysis of impingement freezers performance.
Jurnal Food Eng. 54: 133140, 2002.
Sheen S. dan Whitney L. F. Modeling Heat Transfer in fluidized beds of large particles and
its application in the freezing of large food items. Jurnal Food Eng. 12: 249265, 1990.
Singh R. P. dan Wang C. Y. Quality of frozen foodsa review. Jurnal Food Proc. Pres. 2:
249264, 1977.
Smith J. G., Eda A. J., dan Gene R. Thermal Conductivity of frozen foods stuffs. Mod. Refri.
55: 254, 1952.
Volz F. E. dan Gortner W. A. The effect of desiccation on frozen vegetables. Food Technol.
3: 307313, 1949.
Woodams E. E. dan Nowrey J. E. Literature values of thermal conductivity of foods. Food
Tech. 22(4): 150, 1968.
Yin Li-Jung, Chen M., Tzeng S., Chiou T., and Jiang S. Properties of extra cellular ice
nucleating substances from pseudomonas fluorescents MACH-4 and its effect on the
freezing of some food materials. Fish. Sci. 71: 941947, 2005.
https://duniaperikanan.wordpress.com/2009/10/17/pengaruh-pendinginan-dan-pembekuan/

PENGARUH PENDINGINAN DAN PEMBEKUAN


Posted on 17 Oktober 2009 by munzir08
Pendinginan dan Pembekuan
Pertumbuhan bakteri di bawah suhu 100C akan semakin lambat dengan semakin rendahnya suhu. Pada saat air
dalam bahan pangan membeku seluruhnya, maka tidak ada lagi pembelahan sel bakteri. Pada sebagian bahan
pangan air tidak membeku sampai suhu 9,50C atau di bawahnya karena adanya gula, garam, asam dan
senyawa terlarut lain yang dapat menurunkan titik beku air.
Lambatnya pertumbuhan mikroba pada suhu yang lebih rendah ini menjadi dasar dari proses pendinginan dan
pembekuan dalam pengawetan pangan. Proses pendinginan dan pembekuan tidak mampu membunuh semua
mikroba, sehingga pada saat dicairkan kembali (thawing), sel mikroba yang tahan terhadap suhu rendah akan
mulai aktif kembali dan dapat menimbulkan masalah kebusukan pada bahan pangan yang bersangkutan.
Pendinginan
Pendinginan umumnya merupakan suatu metode pengawetan yang ringan, pengaruhnya kecil sekali terhadap
mutu bahan pangan secara keseluruhan. Oleh sebab itu pendinginan seperti di dalam lemari es sangat cocok
untuk memperpanjang kesegaran atau masa simpan sayuran dan buah-buahan. Sayuran dan buah-buahan
tropis tidak tahan terhadap suhu rendah dan ketahanan terhadap suhu rendah ini berbeda-beda untuk setiap
jenisnya. Sebagai contoh, buah pisang dan tomat tidak boleh disimpan pada suhu lebih rendah dari 130C karena
akan mengalami chilling injury yaitu kerusakan karena suhu rendah. Buah pisang yang disimpan pada suhu
terlalu rendah kulitnya akan menjadi bernoda hitam atau berubah menjadi coklat, sedangkan buah tomat akan
menjadi lunak karena teksturnya rusak.
Pembekuan
Pembekuan adalah proses penurunan suhu bahan pangan sampai bahan pangan membeku, yaitu jika suhu
pada bagian dalamnya paling tinggi sekitar 180C, meskipun umumnya produk beku mempunyai suhu lebih
rendah dari ini. Pada kondisi suhu beku ini bahan pangan menjadi awet karena mikroba tidak dapat tumbuh dan
enzim tidak aktif. Sayuran dan buah-buahan umumnya diblansir dahulu untuk menginaktifkan enzim sebelum
dibekukan. Bahan pangan seperti daging dapat disimpan antara 12 sampai 18 bulan, ikan dapat disimpan
selama 8 sampai 12 bulan dan buncis dapat disimpan antara 12 sampai 18 bulan.
Pertumbuhan bakteri di bawah suhu 100C akan semakin lambat dengan semakin rendahnya suhu. Pada saat air
dalam bahan pangan membeku seluruhnya, maka tidak ada lagi pembelahan sel bakteri. Pada sebagian bahan
pangan air tidak membeku sampai suhu 9,50C atau di bawahnya karena adanya gula, garam, asam dan
senyawa terlarut lain yang dapat menurunkan titik beku air.
Lambatnya pertumbuhan mikroba pada suhu yang lebih rendah ini menjadi dasar dari proses pendinginan dan
pembekuan dalam pengawetan pangan. Proses pendinginan dan pembekuan tidak mampu membunuh semua
mikroba, sehingga pada saat dicairkan kembali (thawing), sel mikroba yang tahan terhadap suhu rendah akan
mulai aktif kembali dan dapat menimbulkan masalah kebusukan pada bahan pangan yang bersangkutan.
Pendinginan
Pendinginan umumnya merupakan suatu metode pengawetan yang ringan, pengaruhnya kecil sekali terhadap
mutu bahan pangan secara keseluruhan. Oleh sebab itu pendinginan seperti di dalam lemari es sangat cocok
untuk memperpanjang kesegaran atau masa simpan sayuran dan buah-buahan. Sayuran dan buah-buahan
tropis tidak tahan terhadap suhu rendah dan ketahanan terhadap suhu rendah ini berbeda-beda untuk setiap
jenisnya. Sebagai contoh, buah pisang dan tomat tidak boleh disimpan pada suhu lebih rendah dari 130C karena
akan mengalami chilling injury yaitu kerusakan karena suhu rendah. Buah pisang yang disimpan pada suhu
terlalu rendah kulitnya akan menjadi bernoda hitam atau berubah menjadi coklat, sedangkan buah tomat akan
menjadi lunak karena teksturnya rusak.
Pembekuan
Pembekuan adalah proses penurunan suhu bahan pangan sampai bahan pangan membeku, yaitu jika suhu
pada bagian dalamnya paling tinggi sekitar 180C, meskipun umumnya produk beku mempunyai suhu lebih
rendah dari ini. Pada kondisi suhu beku ini bahan pangan menjadi awet karena mikroba tidak dapat tumbuh dan
enzim tidak aktif. Sayuran dan buah-buahan umumnya diblansir dahulu untuk menginaktifkan enzim sebelum
dibekukan. Bahan pangan seperti daging dapat disimpan antara 12 sampai 18 bulan, ikan dapat disimpan
selama 8 sampai 12 bulan dan buncis dapat disimpan antara 12 sampai 18 bulan.
Pengertian Pendinginan atau Pemekuan
Penyimpanan pada suhu rendah dapat menghambat kerusakan makanan, antara lain kerusakan fisiologis,
kerusakan enzimatis maupun kerusakan mikrobiologis. Pada pengawetan dengan suhu rendah dibedakan antara
pendinginan dan pembekuan. Pendinginan dan pembekuan merupakan salah satu cara pengawetan yang tertua.
Pendinginan atau refrigerasi ialah penyimpanan dengan suhu rata-rata yang digunakan masih di atas titik beku
bahan. Kisaran suhu yang digunakan biasanya antara 1oC sampai + 4oC. Pada suhu tersebut, pertumbuhan
bakteri dan proses biokimia akan terhambat. Pendinginan biasanya akan mengawetkan bahan pangan selama
beberapa hari atau beberapa minggu, tergantung kepada jenis bahan pangannya. Pendinginan yang biasa
dilakukan di rumah-rumah tangga adalah dalam lemari es yang mempunyai suhu 2oC sampai + 16oC.
Pembekuan atau freezing ialah penyimpanan di bawah titik beku bahan, jadi bahan disimpan dalam keadaan
beku. Pembekuan yang baik dapat dilakukan pada suhu kira-kira 17 oC atau lebih rendah lagi. Pada suhu ini
pertumbuhan bakteri sama sekali berhenti. Pembekuan yang baik biasanya dilakukan pada suhu antara 12 oC
sampai 24 oC. Dengan pembekuan, bahan akan tahan sampai bebarapa bulan, bahkan kadang-kadang
beberapa tahun.
Perbedaan antara pendinginan dan pembekuan juga ada hubungannya dengan aktivitas mikroba.
1. Sebagian besar organisme perusak tumbuh cepat pada suhu di atas 10 oC
2. Beberapa jenis organisme pembentuk racun masih dapat hidup pada suhu kira-kira 3,3oC
3. Organisme psikrofilik tumbuh lambat pada suhu 4,4 oC sampai 9,4 oC
Organisme ini tidak menyebabkan keracunan atau menimbulkan penyakit pada suhu tersebut, tetapi pada suhu
lebih rendah dari 4,0 oC akan menyebabkan kerusakan pada makanan.
Jumlah mikroba yang terdapat pada produk yang didinginkan atau yang dibekukan sangat tergantung kepada
penanganan atau perlakuan-perlakuan yang diberikan sebelum produk itu didinginkan atau dibekukan, karena
pada kenyataannya mikroba banyak berasal dari bahan mentah/ bahan baku. Setiap bahan pangan yang akan
didinginkan atau dibekukan perlu mendapat perlakuan-perlakuan pendahuluan seperti pembersihan, blansing,
atau sterilisasi, sehingga mikroba yang terdapat dalam bahan dapat sedikit berkurang atau terganggu
keseimbangan metabolismenya.
Pada umumnya proses-proses metabolisme (transpirasi atau penguapan, respirasi atau pernafasan, dan
pembentukan tunas) dari bahan nabati seperti sayur-sayuran dan buah-buahan atau dari bahan hewani akan
berlangsung terus meskipun bahan-bahan tersebut telah dipanen ataupun hewan telah disembelih. Proses
metabolisme ini terus berlangsung sampai bahan menjadi mati dan akhirnya membusuk. Suhu dimana proses
metabolisme ini berlangsung dengan sempurna disebut sebagai suhu optimum.
Penggunaan suhu rendah dalam pengawetan makanan tidak dapat mematikan bakteri, sehingga pada waktu
bahan beku dikeluarkan dan dibiarkan hingga mencair kembali (thawing), maka pertumbuhan dan
perkembangbiakan mikroba dapat berlangsung dengan cepat. Penyimpanan dingin dapat menyebabkan
kehilangan bau dan rasa beberapa bahan bila disimpan berdekatan.
Efek Pengolahan Terhadap Zat Gizi Pangan

Efek Pengolahan Terhadap Zat Gizi Pangan


(Tugas Makalah Mata Kuliah Terbimbing EGP)

Geri Sugiran AS

0014051037

Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian

Universitas Lampung

2007

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang Masalah

Ada dua hal penting yang dipertimbangkan mengapa pengolahan pangan perlu dilakukan. Yang

pertama adalah untuk mendapatkan bahan pangan yang aman untuk dimakan sehingga nilai

gizi yang dikandung bahan pangan tersebut dapat dimanfaatkan secara maksimal. Yang kedua

adalah agar bahan pangan tersebut dapat diterima, khususnya diterima secara sensori, yang

meliputi penampakan (aroma, rasa, mouthfeel, aftertaste) dan tekstur (kekerasan, kelembutan,

konsistensi, kekenyalan, kerenyahan).

Di satu sisi pengolahan dapat menghasilkan produk pangan dengan sifat-sifat yang diinginkan

yaitu aman, bergizi dan dapat diterima dengan baik secara sensori. Di sisi lain, pengolahan juga

dapat menimbulkan hal yang sebaliknya yaitu menghasilkan senyawa toksik sehingga produk

menjadi kurang atau tidak aman, kehilangan zat-zat gizi dan perubahan sifat sensori ke arah

yang kurang disukai dan kurang diterima seperti perubahan warna, tekstur, bau dan rasa yang

kurang atau tidak disukai. Dengan demikian diperlukan suatu usaha optimasi dalam suatu

pengolahan agar apa-apa yang diinginkan tercapai dan apa yang tidak diinginkan ditekan

sampai minimal. Untuk itulah pentingnya pengetahuan akan pengaruh pengolahan terhadap
nilai gizi dan keamanan pangan. Walaupun demikian, hal yang lebih penting adalah bagaimana

seharusnya melakukan suatu pengolahan pangan agar bahan pangan yang kita hasilkan bernilai

gizi tinggi dan aman.

Jika kita berbicara pengolahan pangan maka sebenarnya kita berbicara suatu proses yang

terlibat dari mulai penanganan bahan pangan setelah bahan pangan tersebut dipanen (nabati)

atau disembelih (hewani) atau ditangkap (ikan) sampai kepada usaha-usaha pengawetan dan

pengolahan bahan pangan menjadi produk jadi serta penyimpanannya. Disamping itu,

dimaksudkan pula pengolahan yang biasa dilakukan oleh ibu-ibu di dapur dalam menyiapkan

masakan yang siap untuk

dihidangkan. Pemahaman yang benar dalam pengolahan makanan sangat dibutuhkan oleh
ibu-ibu agar makanan yang disiapkannya aman dikonsumsi dan tidak banyak berkurang
gizinya.

1.2 Tujuan Penulisan

Untuk mengetahui efek perlakuan beberapa pengolahan terhadap ketersediaan zat gizi : protein,

lemak, dan karbohidrat. Dalam makalah ini akan lebih ditekankan pada bagaimana melakukan

pengolahan dan penanganan bahan pangan yang baik agar tujuan yang diinginkan yaitu bahan

dan produk pangan bernilai gizi tinggi dan aman dapat tercapai.

1.3 Efek Pengolahan terhadap Protein

Tujuan pengolahan pada rumah tangga adalah a) meningkatkan daya cerna dan kenampakan,

b) memperoleh flavor, c) dan merusak mikroorganisme dalam bahan pangan. Sedangkan proses

yang penting dalam pengolahan adalah : a) perebusan, b) pengukusan, c) pengovenan, d)

penggorengan, e) pembakaran, f) pengalengan dan g) dehidrasi. Di dalam bahan pangan zat

gizi makro tidak berdiri sendiri, melainkan saling berdampingan, sehingga efek pengolahanpun

terjadi juga karena efek yang bersamaan dengan senyawa tersebut. Beberapa proses pemanasan
seperti penggorengan, oven, perebusan dilaporkan memberi efek yang merugikan terhadap nilai

gizi seperti pada cerealia, minyak biji kapas, dan pakan ternak. Efek tersebut karena reaksi

antara amino group dari asam amino esensial seperti lisin dengan gula reduksi yang terkandung

bersama-sama protein dalam bahan pangan, yang disebut reaksi Maillard. Pemanasan lebih

lanjut dapat menyebabkan asam amino : arginin, triptofan, dan histidin bereaksi dengan gula

reduksi. Ketersediaan lisin dan asam amino dari protein yang diproses dengan pemanasan lebih

kecil daripada protein yang tidak diproses karena terjadinya reaksi Maillard.

Pengolahan komersial melibatkan proses pemanasan, pendinginan, pengeringan,

penambahan bahan kimia, fermentasi, radiasi dan perlakuan-perlakuan lainnya. Dari semua
proses ini, pemanasan merupakan proses yang paling banyak diterapkan dan dipelajari. Oleh
karena itu pembahasan akan dititikberatkan pada pengaruh pemanasan pada sifat kimia dan
nilai gizi protein, khususnya pada pemanasan yang moderat.

Pemanasan protein dapat menyebabkan terjadinya reaksi-reaksi baik yang diharapkan maupun

yang tidak diharapkan. Reaksi-reaksi tersebut diantaranya denaturasi, kehilangan aktivitas

enzim, perubahan kelarutan dan hidrasi, perubahan warna, derivatisasi residu asam amino,

cross-linking, pemutusan ikatan peptida, dan pembentukan senyawa yang secara sensori aktif.

Reaksi ini dipengaruhi oleh suhu dan lama pemanasan, pH, adanya oksidator, antioksidan,

radikal, dan senyawa aktif lainnya khususnya senyawa karbonil. Beberapa reaksi yang tidak

diinginkan dapat dikurangi. Penstabil seperti polifosfat dan sitrat akan mengikat Ca2+, dan ini

akan meningkatkan stabilitas panas protein whey pada pH netral. Laktosa yang terdapat pada

whey pada konsentrasi yang cukup dapat melindungi protein dari denaturasi selama

pengeringan semprot (spray drying).

Kebanyakan protein pangan terdenaturasi jika dipanasakan pada suhu yang moderat (60-90oC)

selama satu jam atau kurang. Denaturasi adalah perubahan struktur protein dimana pada

keadaan terdenaturasi penuh, hanya struktur primer protein saja yang tersisa, protein tidak lagi
memiliki struktur sekunder, tersier dan quarterner. Akan tetapi, belum terjadi pemutusan ikatan

peptida pada kondisi terdenaturasi penuh ini. Denaturasi protein yang berlebihan dapat

menyebabkan insolubilisasi yang dapat mempengaruhi sifat-sifat fungsional protein yang

tergantung pada kelarutannya.

Dari segi gizi, denaturasi parsial protein sering meningkatkan daya cerna dan ketersediaan

biologisnya. Pemanasan yang moderat dengan demikian dapat meningkatkan daya cerna

protein tanpa menghasilkan senyawa toksik. Disamping

itu, dengan pemanasan yang moderat dapat menginaktivasi beberapa enzim seperti protease,

lipase, lipoksigenase, amilase, polifenoloksidase dan enzim oksidatif dan hidrolotik lainnya.

Jika gagal menginaktivasi enzim-enzim ini maka akan mengakibatkan off-flavour, ketengikan,

perubahan tekstur, dan perubahan warna bahan pangan selama penyimpanan. Sebagai contoh,

kacang-kacangan kaya enzim lipoksigenase. Selama penghancuran bahan, untuk mengisolasi

protein atau lipidnya, dengan adanya oksigen enzim ini bekerja sehingga dihasilkan senyawa

hasil oksidasi lipid yang menyebabkan off-flavour. Oleh karena itu, sering dilakukan inaktivasi

enzim dengan menggunakan pemanasan sebelum penghancuran. Sebagai tambahan, perlakuan

panas yang moderat juga berguna untuk menginaktivasi beberapa faktor aninutrisi seperti

enzim antitripsin dan lektin.

Reaksi Maillard (interasksi protein dan gula pereduksi)

Reaksi antara protein dengan gula-gula pereduksi merupakan sumber utama menurunnya nilai

gizi protein pangan selama pengolahan dan penyimpanan. Reaksi Maillard ini dapat terjadi

pada waktu pembuatan (pembakaran) roti, produksi breakfast cereals (serpihan jagung, beras,

gandum, dll) dan pemanasan daging terutama bila terdapat bahan pangan nabati ; tetapi yang

paling penting adalah selama pengolahan susu (sapi) dengan pemanasan, karena susu
merupakan bahan pangan berprotein tinggi yang juga mengandung gula pereduksi (laktosa)

dalam jumlah tinggi.

Reaksi Maillard Dalam Produk Bahan Pangan

Pemasakan dirumah-rumah tangga dan pengalengan makanan secara komersil hanya memberi

sedikit pengaruh terhadap nilai gizi protein bahan pangan. Akan tetapi proses industri lainnya,

yang menyangkut penggunaan panas pada kadar air yang rendah, misalnya selama pengeringan

dan pembakaran (roti), serta proses penyimpanan selanjutnya dari produk yang dihasilkan,

dapat mengakibatkan penurunan gizi yangcukup besar.

Reaksi Maillard dapat terjadi, misalnya selama produksi pembakaan roti. Kehilangan tersebut

terutama terjadi pada bagian yang berwarna coklat (crust), yang mungkin karena terjadinya

reaksi dengan gula pereduksi yang dibentuk selama proses fermentasi tetapi tidak habis

digunakan oleh khamir (dari ragi roti). Meskipun gula-gula nonreduksi (misalnya sukrosa)

tidak bereaksi dengan protein pada suhu rendah, tetapi pada suhu tinggi ternyata dapat

menimbulkan reaksi Maillard, yang pada suhu tinggi terjadi pemecahan ikatan glikosidik dari

sukrosa dan menghasilkan glukosa dan fruktosa.

Perubahan Kimia dan Nilai Gizi Asam


Amino
Pada pengolahan dengan menggunakan panas yang tinggi, protein akan mengalami beberapa
perubahan. Perubahan-perubahan ini termasuk rasemisasi, hidrolisis, desulfurasi, dan
deamidasi. Kebanyakan perubahan kimia ini bersifat ireversibel, dan beberapa reaksi dapat
menghasilkan senyawa toksik.

Pengolahan panas pada pH alkali seperti pada pembuatan texturized foods dapat mengakibatkan

rasemisasi parsial dari residu L-asam amino menjadi D-asam amino. Laju rasemisasi residu

dipengaruhi oleh daya penarikan elektron dari sisi samping. Dengan demikian, residu seperti

Asp, Ser, Cys, Glu, Phe, Asn, dan Thr akan terasemisasi lebih cepat dari residu asam amino
lainnya. Laju rasemisasi juga dipengaruhi oleh konsentrasi ion hidroksil, tetapi tidak tergantung

pada konsentrasi protein itu sendiri. Sebagai tambahan, karbanion yang terbentuk pada suhu

alkali dapat mengalami reaksi -eliminasi menghasilkan dehidroalanin.

Rasemisasi residu asam amino dapat mengakibatkan penurunan daya cerna protein karena

kurang mampu dicerna oleh tubuh. Kerugian akan semakin besar apabila yang terasemisasi

adalah asam amino esensial. Pemanasan protein pada pH alkali dapat merusak beberapa residu

asam amino seperti Arg, Ser, Thr dan Lys. Arg terdekomposisi menjadi ornithine. Jika protein

dipanaskan pada suhu sekitar 200oC, seperti yang terjadi pada permukaan bahan pangan yang

mengalami pemanggangan, broiling, grilling, residu asam aminonya akan mengalami

dekomposisi dan pirolisis. Beberapa hasil pirolisis yang diisolasi dari daging panggang ternyata

bersifat sangat mutagenik. Yang paling bersifat mutagenik adalah dari pirolisis residu Trp dan

Glu. Satu kelas komponen yaitu imodazo quinoline (IQ) merupakan hasil kondensasi kreatinin,

gula dan beberapa

asam amino tertentu seperti Gly, Thr, Al dan Lys, komponen ini juga toksik. Senyawa-senyawa

toksik ini akan jauh berkurang apabila pengolahan tidak dilakukan secara berlebihan (suhu

lebih rendah dan waktu yang lebih pendek).

1.4 Efek Pengolahan terhadap Karbohidrat

Pemasakan karbohidrat diperlukan unutk mendapatkan daya cerna pati yang tepat, karena

karbohidrat merupakan sumber kalori. Pemasakan juga membantu pelunakan diding sel

sayuran dan selanjutnya memfasilitasi daya cerna protein. Bila pati dipanaskan, granula-

granula pati membengkak dan pecah dan pati tergalatinisasi. Pati masak lebih mudah dicerna

daripada pati mentah.


Dalam bahan pangan keberadaan karbohidrat kadang kala tidak sendiri melainkan

berdampingan dengan zat gizi yang lain seperti protein dan lemak. Interaksi antara karbohidrat

(gula) dengan protein telah dibahas, seperti tersebut diatas. Bahan pangan yang dominan

kandungan karbohidratnya seperti singkong, ubi jalar, gula pasir, dll. Dalam pengolahan yang

melibatkan pemanasan yang tinggi karbohidrat terutama gula akan mengalami karamelisasi

(pencoklatan non enzimatis). Warna karamel ini kadang-kadang justru dikehendaki, tetapi jika

dikehendaki karamelisasi yang berlebihan sebaliknya tidak diharapkan .

Faktor pengolahan juga sangat berpengaruh terhadap kandungan karbohidrat, terutama

seratnya. Beras giling sudah barang tentu memiliki kadar serat makanan dan vitamin B1

(thiamin) yang lebih rendah dibandingkan dengan beras tumbuk. Demikian juga pencucian

beras yang dilakukan berulang-ulang sebelum dimasak, akan sangat berperan dalam

menurunkan kadar serat. Pengolahan buah menjadi sari buah juga akan menurunkan kadar

serat, karena banyak serat akan terpisah pada saat proses penyaringan.

1.5 Efek Pengolahan Terhadap Lemak

Pemasakan yang biasa dilakukan pada rumah tangga sedikit sekali berpengaruh terhadap

kandungan lemak, tetapi pemanasan dalam waktu lama seperti penggorengan untuk beberapa

kali, maka asam lemak esensial akan rusak dan terbentuk produk polimerisasi yang beracun.

Lemak yang dipanaskan berulangkali dapat menurunkan pertumbuhan pada tikus percobaan.

Dengan proses pemanasan, makanan akan menjadi lebih awet, tekstur, aroma dan rasa lebih

baik serta daya cerna meningkat.salah satu komponen gizi yang dipengaruhi oleh prose

pemanasan adalah lemak. Akibat pemanasan daging maka lemak dalam daging akan mencair

sehingga menambah palatabilitas daging tersebut.hal ini disebabkan oleh pecahnya komponen-
komponen lemak menjadi produksi volatil seperti aldehid, keton, alkohol, asam, dan

hidrokarbon yang sangat berpengaruh terhadap pembentukan flavor.

Selama penggorengan bahan pangan dapat terjadi perubahan-perubahan fisikokimiawi baik

pada bahan pangan yang digoreng, maupun minyak gorengnya. Apabila suhu penggorengannya

lebih tinggi dari suhu normal (168-196 oC) maka akan menyebabkan degradasi minyak goreng

berlangsung dengan cepat (antara lain titik asap menurun). Titik asap minyak goreng

tergantung pada kadar gliserol bebas. Titik asap adalah saat terbentuknya akrolein yang tidak

diinginkan dan dapat menimbulkan rasa gatal pada tenggorokan.

Lemak hewan (babi dan kambing) banyak mengandung asam lemak tidak jenuh seperti oleat

dan linoleat. Asam lemak ini dapat mengalami oksidasi, sehingga timbul bau tengik pada

daging. Proses penggorengan pada suhu tinggi dapat mempercepat proses oksidasi. Hasil

pemecahan dan oksidasi ikatan rangkap dari asam lemak tidak jenuh adalah asam lemak bebas

yang merupakan sumber bau tengik. Dengan adanya anti oksidan dalam lemak seperti vitamin

E (tokoferol), maka kecapatan proses oksidasi lemak akan berkurang. Sebaliknya dengan

adanya prooksidan seperti logam-logam berat (tembaga, besi, kobalt, dan mangan) serta logam

porfirin seperti pada mioglobin, klorofil, dan enzim lipoksidase maka lemak akan dipercepat.

Kecepatan oksidasi berbanding lurus dengan tingkat ketidak jenuhan asam lemak. Asam

linoleat dengan 3 ikatan rangkap akan lebih mudah teroksidasi daripada asam lemak linoleat

dengan 2 ikatan rangkapnya dan oleat dengan 1 ikatan rangkapnya. Pada minyak kedelai kurang

baik dijadikan minyak goreng, karena banyak mengandung linoleat. Sedangkan minyak jagung

baik digunakan sebagai minyak goreng, karena linoleatnya rendah. Untuk mengatasi masalah

pada minyak kedelai, maka dilakukan proses hidrgenasi sebagian untuk menurunkan kadar

asam linoleatnya.
Reaksi-reaksi yang terjadi selama degradasi asam lemak didasarkan atas penguraian asam

lemak. Produk degradasi terbentuk menjadi dua :

a. Hasil dekomposisi tidak menguap, yang tetap terdapat dalam minyak dan diserap oleh bahan

pangan yang digoreng.

b. Hasil dekomposisi yang dapat menguap, yang keluar bersama-sama uap pada waktu lemak

dipanaskan.

Pembentukan produk yang tidak menguap sebagian besar disebabkan oleh

otooksidasi, polimeriasai thermal, dan oksidasi thermal dari asam lemak tidak jenuh yang

terdapat pada minyak goreng. Reaksi-reaksi minyak dibagi atas tiga tahap, yaitu inisiasi,

propagasi (perambatan), dan terminasi (penghentian). Oksidasi dari hidroperoksida yang lebih

lanjut juga menghasilkan produk-produk degradasi dengan tiga tipe utama yaitu pemecahan

menjadi alkohol, aldehid, asam, dan hidrokarbon, dimana hal ini juga berkontribusi dalam

perubahan warna minyak goreng yang lebih gelap dan perubahan flavor, dehidrasi membentuk

keton, atau bentuk radikal bebas yang berbentuk dimer, trimer, epksid, alkohol, dan

hidrokarbon.

Seluruh komponen tersebut berkontribusi terhadap kenaikan vuiskositas dan pembentukan

fraksi NUAF (Nonurea Aduct Forming). Fraksi NUAF yang merupakan derifat dari asam

lemak yang tidak dapat membentuk kompleks dengan urea, bersifat toksis bagi manusia. Pada

dosis 2,5 % dalam makanan, fraksi ini dapat mengakibatkan keracunan yang akut pada tikus

setelah tujuh hari masa percobaan.

Jika minyak dipanaskan pada suhu tinggi dengan adanya oksigen, disebut oksidasi thermal.

Derajat ketidak jenuhan yang diukur dengan bilangan iod, akan berkurang selama pemanasan,
jumlah asam tak berkonyugasi misalnya linoleat akan berkurang dan asam berkonyugasi (asam

linoleat berkonyugasi) bertambah sampai mencapai maksimum, dan kemudian berkurang

karena proses penguraian.

Proses pemanasan dapat menurunkan kadar lemak bahan pangan. Demikian juga dengan asam

lemaknya, baik esensial maupun non esensial. Kandungan lemak daging sapi yang tidak

dipanaskan (dimasak) rata-rata mencapai 17,2 %, sedangkan jika dimasak dengan suhu 60 oC,

kadar lemaknya akan turun menjadi 11,2-13,2%.

Adanya lemak dalam jumlah berlebihan dalam bahan pangan kadang-kadang kurang

dikehendaki. Pada pengolahan pangan dengan teknik ekstrusi, diinginkan kadar lemak yang

rendah. Tepung yang kadar lemaknya telah diekstrak sebelum proses ekstrusi akan

menghasilkan produk yang mempunyai derajat pengembangan yang lebih tinggi. Kompleks

lemak dengan pati pada proses ekstrusi akan menyebabkan penurunan derajat pengembangan.

DAFTAR PUSTAKA

Apriantono, Anton. 2002. Pengaruh Pengolahan Terhadap Nilai Gizi dan Keamanan Pangan.
Makalah seminar Kharisma Online. Dunia Maya.

Hurrel, R.F., 1984. Reaction of food protein during processing and storage and their nutritional
consequences. Di dalam B.J.F. Hudson (Ed). Development in food Protein.

Hurrel, R.F., P.A. Finot and J.L. Cuq. 1982. Brit. J. Nutr. 47:191

Muchtadi, D., Nurheni Sri Palupi, dan Made Astawan. 1992. Metode kimia biokimia dan
biologi dalam evaluasi nilai gizi pangan olahan. Hal.: 5-28, 82-92, dan 119-121.

Swaminathan. M. 1974. Effect of cooking and heat processing on the nutritive value of food.
Di dalam Essentials of food and nutrion. Ganesh and Company Madras. India. Vol 1. P.
384-387.
Home

About us

Kumpulan Makalah Pertanian

Gallery

Contact

Kumpulan makalah Agroteknologi terlengkap

MAKALAH PENGGUNAAN SUHU TINGGI

TEKNOLOGI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN SMESTER 6

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Secara alamiah susu mengandung bakteri (terkontaminasi dari sumbernya : puting, ambing, dan
rambut), jika susu tidak ditangani secara tepat, maka akan menimbulkan kondisi dimana jumlah
bakteri dalam susu dapat berkembang dengan cepat. Mikroorganisma lainnya akan masuk ke dalam
susu selama proses pemerahan, transportasi, dan penyimpanan, jika peralatan yang digunakan
sepanjang ketiga proses dimaksud tidak bersih, terjaga, dan steril.

Pada satu sisi, dengan kandungan gizi yang lengkap menempatkan susu sebagai pangan bernilai
tinggi, di sisi lain dengan kandungan gizi yang lengkap susu juga menjadi media tumbuh paling baik
bagi perkembangbiakan mikroorganisma yang dapat menimbulkan penyakit pada manusia. Sejalan
dengan peradaban manusia dan perkembangan teknologi modern, manusia menemukan cara
perlakuan dan praktik pengolahan terhadap susu, sehingga menghasilkan ragam produk susu yang
tersedia di pasar bagi penduduk di seluruh dunia (Shearer, dkk., 1992). Dengan adanya pengolahan
(processing) terhadap susu, maka produk susu yang dihasilkan dapat disimpan lebih lama sebelum
dikonsumsi, memungkinkan bagi konsumen menyesuaikan pembelian produk susu dengan fungsi
kebutuhan, kegunaan, dan seleranya

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang penelitian tersebut di atas, maka permasalahan pokok yang dapat
dirumuskan dan menjadi kajian dalam penulisan makalah ini adalah: bagaimanakah teknik
pengolahan yang tepat untuk susu tersebut.

1.3 Maksud dan Tujuan Penulisan

Maksud dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah teknologi
hasil pertanian.

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :

1. Untuk mengetahui hal-hal yang dijelaskan dalam penggunaan suhu tinggi.


1.4 Kegunaan Penulisan

Dengan penulisan makalah ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi penulis
ataupun pembaca dan menjadi referensi bagi penulis lain.

1.5 Kerangka Pemikiran

Dalam penulisan makalah ini, penulis memaparkan hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan
yang penulis teliti.Kerangka pemikiran ini dimulai dengan mengedepankan pengertian serta
kegunaan.

1.6 Sistematika Penulisan

Agar makalah ini dapat dipahami pembaca, maka penulis membuat sistematika penulisan makalah
sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Pendahuluan berisikan latar belakang, identifikasi masalah, tujuan penulisan, pembatasan masalah,
dan sistematika penulisan.

BAB II PEMBAHASAN

Bersikan pembahasan tentang penggunaan suhu tinggi.

BAB IV PENUTUP

Berisikan kesimpulan dari keseluruhan pembahasan serta saran-saran

BAB II

PEMBAHSAN

2.1 Mengapa Suhu Tinggi Digunakan pada Pengawetan Pangan ?

Suhu tinggi diterapkan baik dalam pengawetan maupun dalam pengolahan pangan.Memasak,
menggoreng, memanggang, dan lain-lain adalah cara-cara pengolahan yang menggunakan
panas.Proses-proses tersebut membuat makanan menjadi lebih lunak, lebih enak, dan lebih
awet.Pemberian suhu tinggi pada pengolahan dan pengawetan pangan didasarkan kepada
kenyataan bahwa pemberian panas yang cukup dapat membunuh sebagian besar mikroba dan
menginaktifkan enzim.Selain itu makanan menjadi lebih aman karena racun-racun tertentu rusak
karena pemanasan, misalnya racun dari bakteri Clostridium botulinum.

Adanya mikroba dan kegiatan enzim dapat merusak bahan makanan, meskipun disimpan dalam
wadah tertutup.Lamanya pemberian panas dan tingginya suhu pemanasan ditentukan oleh sifat dan
jenis bahan makanan serta tujuan dari prosesnya.Setiap jenis pangan memerlukan pemanasan yang
berbeda untuk mematikan mikroba yang terdapat di dalamnya.

Pemanasan mengakibatkan efek mematikan terhadap mikroba.Efek yang ditimbulkannya tergantung


dari intensitas panas dan lamanya pemanasan.Makin tinggi suhu yang digunakan, makin singkat
waktu pemanasan yang digunakan untuk mematikan mikroba.

Pada umumnya pengawetan dengan suhu tinggi tidak mencakup pemasakan, penggorengan,
maupun pemanggangan. Yang dimaksud dengan pengawetan menggunakan suhu tinggi adalah
proses-proses komersial dimana penggunaan panas terkendali dengan baik, antara lain sterilisasi,
pasteurisasi , dan blansing.
2.2 Bagaimanakah Prinsip Pengawetan dengan Suhu Tinggi ?

Pada pemakaian suhu tinggi, ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan, yaitu :

1. Mikroba penyebab kebusukan dan yang dapat membahayakan kesehatan manusia harus
dimatikan

2. Panas yang digunakan sedikit mungkin menurunkan nilai gizi makanan

3. Faktor-faktor organoleptik misalnya citarasa juga harus dipertahankan.

Dikenal beberapa tingkatan pemberian panas atau proses termal yang umum dilakukan yaitu
blansing, pasteurisasi, dan sterilisasi.

a. Blansing

Blansing merupakan suatu cara pemanasan pendahuluan atau perlakuan pemanasan tipe
pasteurisasi yang dilakukan pada suhu kurang dri 100 o C selama beberapa menit, dengan
menggunakan air panas atau uap. Biasanya suhu yang digunakan sekitar 82 93 oC selama 3 5
menit.Contoh blansing misalnya mencelupkan sayuran atau buah dalam air mendidih selama 3 5
menit atau mengukusnya selama 3 5 menit.Tujuan utama blansing ialah menginaktifan enzim
diantaranya enzim peroksidase dan katalase, walaupun sebagian dari mikroba yang ada dalam bahan
juga turut mati. Kedua jenis enzim ini paling tahan terhadap panas,.

Blansing biasanya dilakukan terhadap sayur-sayuran dan buah-buahan yang akan dikalengkan atau
dikeringkan. Di dalam pengalengan sayur-sayuran dan buah-buahan, selain untuk menginaktifkan
enzim, tujuan blansing yaitu :

membersihkan bahan dari kotoran dan mengurangi jumlah mikroba dalam bahan mengeluarkan
atau menghilangkan gas-gas dari dalam jaringan tanaman, sehingga mrngurangi terjadinya
pengkaratan kaleng dan memperoleh keadaan vakum yang baik dalam headspace kaleng.
melayukan atau melunakkan jaringan tanaman, agar memudahkan pengisian bahan ke dalam wadah
menghilangkan bau dan flavor yang tidak dikehendaki menghilangkan lendir pada beberapa jenis
sayur-sayuran memperbaiki warna produk, a.l. memantapkan warna hijau sayur-sayuran.

Cara melakukan blansing ialah dengan merendam dalam air panas (merebus) atau dengan uap air
(mengukus atau dinamakan juga steam blanching). Merebus yaitu memasukkan bahan ke dalam
panci yang berisi air mendidih.Sayur-sayuran atau buahbuahan yang akan diblansing dimasukkan ke
dalam keranjang kawat, kemudian dimasukkan ke dalam panci dengan suhu blansing biasanya
mncapai 82 83 oC selama 3 5 menit. Setelah blansing cukup walktunya, kemudian keranjang
kawat diangkat dari panci dan cepat-cepat didinginkan dengan air.

Pengukusan tidak dianjurkan untuk sayur-sayuran hijau, karena warna bahan akan menjadi kusam.
Caranya ialah dengan mengisikan bahan ke dalam keranjang kawat, kemudian dimasukkan ke dalam
dandang yang berisi air mendidih. Dandang ditutup dan langkah selanjutnya sama dengan cara
perebusan.

b. Pasteurisasi

Pasteurisasi merupakan suatu proses pemanasan bahan pangan sampai suatu suhu tertentu untuk
membunuh mikroba patogen atau penyebab penyakit seperti bakteri penyebab penyakit TBC,
disentri, diare, dan penyakit perut lainnya. Dengan pasteurisasi masih terdapat mikroba, sehingga
bahan pangan yang telah dipasteurisasi mempunyai daya tahan simpan yang singkat.
Tujuan pasteurisasi yaitu :

1. Membunuh semua bakteri patogen yang umum dijumpai pada bahan pangan bakteribakteri
patogen yang berbahaya ditinjau dari kesehatan masyarakat

2. Memperpanjang daya tahan simpan dengan jalan mematikan bakteri dan menginaktifkan enzim

Mikroba terutama mikroba non patogen dan pembusuk masih ada pada bahan yang dipasteurisasi
dan bisa berkembang biak. Oleh karena itu daya tahan simpannya tidak lama.Contohnya : susu yang
sudah dipasteurisasi bila disimpan pada suhu kamar hanya akan tahan 1 2 hari, sedangkan bila
disimpan dalam lemari es tahan kira-kira seminggu. Karena itu untuk tujuan pengawetan,
pasteurisasi harus dikombinasikan dengan cara pengawetan lainnya, misalnya dengan pendinginan.

Pasteurisasi biasanya dilakukan pada susu, juga pada saribuah dan suhu yang digunakan di bawah
100 oC. Contohnya :

pasterurisasi susu umumnya dilakukan pada suhu 61 - 63 oC selama 30 menit

pasteurisasi saribuah dilakukan pada suhu 63 74 oC selama 15 30 menit.

Contoh Proses Pasteurisasi:

Pasteurisasi pada saribuah dan sirup dapat dilakukan dengan cara hot water bath . Pada cara hot
water bath , wadah yang telah diisi dengan bahan dan ditutup (sebagian atau rapat) dimasukkan ke
dalam panci terbuka yang diisi dengan air. Beberapa cm (2,5 5,0 cm) di bawah permukaan wadah.
Kemudian air dalam panci dipanaskan sampai suhu di bawah 100 oC ( 71 85 oC ), sehingga aroma
dan flavor tidak banyak berubah.

c. Sterilisasi

Perkataan steril mengandung pengertian :

1. Tidak ada kehidupan

2. Bebas dari bakteri patogen

3. Bebas dari organisme pembusuk

4. Tidak terdapat kegiatan mikroba dalam keadaan normal

Dalam pengolahan bahan pangan yang lazim dinamakan pengalengan, tidak mungkin dilakukan
sterilisasi dengan pengertian yang mutlak. Pemanasan dilakukan sedemikian rupa sehingga mikroba
yang berbahaya mati, tetapi sifat-sifat bahan pangan tidak banyak mengalami peruba han sehingga
tetap bernilai gizi tinggi. Sehubungan dengan hal ini dikenal 2 macam istilah, yaitu :

1. Sterilisasi biologis yaitu suatu tingkat pemanasan yang mengakibatkan musnahnya segala macam
kehidupan yang ada pada bahan yang dipanaskan 2. Sterilisasi komersial yaitu suatu tingkat
pemanasan, dimana semua mikroba yang bersifat patogen dan pembentuk racun telah mati.

Pada produk yang steril komersial masih terdapat spora-spora mikroba tertentu yang tahan suhu
tinggi; spora-spora tersebut dalam keadaan penyimpanan yang normal tidak dapat berkembang biak
atau tumbuh. Jika spora tersebut diberi kondisi tertentu, maka spora akan tumbuh dan berkembang
biak.

Sterilisasi adalah proses termal untuk mematikan semua mikroba beserta sporasporanya. Spora-
spora bersifat tahan panas, maka umumnya diperlukan pemanasan selama 15 menit pada suhu 121
oC atau ekivalennya , artinya semua partikel bahan pangan tersebut harus mengalami perlakuan
panas.

Mengingat bahwa perambatan panas melalui kemasan (misalnya kaleng, gelas) dan bahan pangan
memerlukan waktu, maka dalam prakteknya pemanasan dalam autoklaf akan membutuhkan waktu
lebih lama dari 15 menit. Selama pemanasan dapat terjadi perubahanperubahan kualitas yang tidak
diinginkan.Untungnya makanan tidak perlu dipanaskan hingga steril sempurna agar aman dan
memiliki daya tahan simpan yang cukup lama. Semua makanan kaleng umumnya diberi perlakuan
panas hingga tercapai keadaan steril komersial .Biasanya daya tahan simpan makanan yang steril
komersial adalah kira-kira 2 tahun.Kerusakan-kerusakan yang terjadi biasanya bukan akibat
pertumbuhan mikroba, tetapi karerna terjadi kerusakan pada sifat-sifat organoleptiknya akibat
reaksi-reaksi kimia.

Pemanasan dengan sterilisasi komersial umumnya dilakukan pada bahan pangan yang sifatnya tidak
asam atau bahan pangan berasam rendah. Yang tergolong bahan pangan ini adalah bahan pangan
hewani seperti daging, susu, telur, dan ikan serta beberapa jenis sayuran seperti buncis dan jagung.
Bahan pangan berasam rendah mempunyai risiko untuk mengandung bakteri Clostridium botulinum,
yang dapat menghasilkan racun yang mematikan jika tumbuh dalam makanan kaleng.Oleh karena itu
spora bakteri tersebut harus dimusnahkan dengan pemanasan yang cukup tinggi. Sterilisasi
komersial adalah pemanasan pada suhu 121,1 oC selama 15 menit dengan menggunakan uap air
bertekanan, dilakukan dalam autoklaf.

Tujuan sterilisasi komersial terutama untuk memusnahkan spora bakteri patogen termasuk spora
bakteri C. Botulinum.Produk yang sudah diproses dengan sterilisasi komersial sebaiknya disimpan
pada kondisi penyimpanan yang normal, yaitu pada suhu kamar. Harus dihindari penyimpanan pada
suhu yang lebih tinggi (sekitar 50 oC), karena bukan tidak mungkin jika ada spora dari bakteri yang
sangat tahan panas masih terdapat di dalam kaleng dapat tumbuh dan berkembang biak di dalamnya
dan menyebabkan kebusukan, misalnya bakteri Bacillus stearothermophillus.

2.3 Kualitas Bahan Baku

Dalam menilai kualitas bahan baku susu, terdapat 2 (dua) aspek yang penting, yakni komposisi dan
cemaran mikroorganisma yang terkandung di dalamnya. Secara normal komposisi susu (sapi)
memiliki kandungan air 84-90%; lemak 2-6%; protein 3-4 %; laktosa 4-5%; dan kadar abu < 1%
(Shearer, dkk., 1992). Kualitas susu yang dipersyaratkan di Indonesia, digunakan standar yang sudah
dibuat oleh BadanStandardisasi Nasional (BSN) berdasarkan SNI 01-3141-1998, yang mengatur 18
itemsyarat susu segar, antara lain yang terpenting adalah berat jenis (pada suhu 27,5 0 C)minimum
1,0280; kadar lemak minimum 3,0%; bahan kering tanpa lemak minimum8,0%; dan protein minimum
2,7%; serta jumlah mikroorganisma maksimum 1 X 10 6cfu (coloni form unit) per ml dan jumlah sel
radang maksimum 4 X 10 5/ml. Dalam halini tampak bahwa kualitas susu tidak semata dilihat
berdasarkan kandungan gizinya,namun juga diukur atau ditentukan berdasarkan jumlah
mikroorganisma dan jumlah selradang maksimum yang terhitung di dalamnya.

Komposisi Susu:

Komposisi SusuKomposisi susu menurut Eckles et al., (1980)dibagi menjadi dua bagian yaitu air
87,25% danzat padat 12,75%, dimana zat padat dibagi lagimenjadi empat bagian yaitu lemak
3,8%;protein 3,5%; laktosa 4,8% dan mineral 0,65%.Komposisi susu dipengaruhi oleh spesies,individu
dalam satu spesies dan metode analisa(Adnan, 1984). Komposisi utama susu menurutBuckle et al.,
(1987) adalah air, protein, lemak,laktosa, vitamin dan mineral.
Sifat-sifat Susu:

Menurut Hadiwiyoto (1983), sifat fisik susumeliputi warna, bau dan rasa, berat jenis, titikdidih, titik
beku dan kekentalannya. Sifatkimiawi susu meliputi pH dan keasaman.Adapun sifatmikrobiologis
susu adalah sifatyang berkaitan dengan aktivitas mikroorganisme(bakteri, khamir dan kapang).
Kandunganlaktosa yang rendah dan klorida yang relatiftinggi menyebabkan susu mempunyai
flavourasin (Soeparno, 1992).

2.4 Pengertian Daya Simpan

Pengertian daya simpan sebuah produk adalah lamanya waktu dimana sebuah pangan dapat
disimpan pada kondisi penyimpanan yang disarankan sesuai petunjuk penyimpanannya dan selama
itu masih terjaga kesegaran dan kualitasnya yang dapat

diterima(Cornell University, 2000). Sedangkan menurut Codex (CAC/RCP 57-2004),

shelf-lifeadalah periode dimana sebuah produk dapat terjaga keamanannya dari

dampak perkembangan mikrobiologis dan kelayakannya untuk dikonsumsi, pada

suhu penyimpanan yang spesifik, dan tegantung pula pada tempat, kondisi penyimpanan, dan
penanganan sebelumnya.

2.5 Susu Pasteurisasi

Proses pasteurisasi pada susu pertama kali dilakukan oleh Franz von Soxhlet pada Tahun 1886. Susu
pasteurisasi atau dikenal dengan istilah pasteurized milk adalah produk susu yang diperoleh dari
hasil pemanasan susu pada suhu minimum 161 F selama minimum 15 detik, segera dikemas pada
kondisi yang bersih dan terjaga sanitasinya. Beberapa bakteri akan bertahan pada suhu pasteurisasi,
dalam jumlah yang sedikit, namun mereka dipertimbangkan tidak berbahaya dan tidak akan merusak
susu selama kondisi pendinginan yang normal.

Secara umum, dalam industri pengolahan susu terdapat 2 (dua) cara melakukan pasteurisasi,
yakniLTLT dan HTST, dengan penjelasannya pada tabel berikut ini :

Cara pasteurisasi yang dilakukan juga berpengaruh terhadap kandungan gizi dan aroma produk
pangan. Sebagai contoh, pada susu HTST dinilai lebih efektif, karena lebih sedikit menimbulkan
kerusakan pada kandungan gizi dan karakteristik organoleptik pada susu, dibandingkan dengan LTLT.
Menurut Codex (CAC/RCP 57- 2004), proses pasteurisasi HTST (minimum 72 C selama 15 detik)
disarankan untuk continuous flow pasteurization dan LTLT (minimum 63 C selama 30 menit) untuk
batch pasteurization.

Selain itu juga dikenal 2 (dua) jenis pasteurisasi lainnya, yakni

1. Ultrapasteurization : pemanasan susu pada suhu yang tinggi, sampai 280 F (138 C), selama 2
detik, kemudian dengan pertimbangan kemasan yang digunakan umumnya kurang kuat, maka
produk susu pasteurisasi ini harus segera didinginkan selama penyimpanan.

2. Jenis susu pasteurisasi lainnya adalah Ultra-High-Temperature (UHT)

Pasteurization : pemanasan susu pada suhu yang lebih tinggi lagi, dalam kisaran 280-

302F (138-150C), selama 1-2 detik. Produk susu ini umumnya dikemas dalam keadaan steril,
dengan kemasan berlapis hermatis, dapat disimpan tanpa pendinginanselama penyimpanan.
Badan Standardisasi Nasional (BSN) telah menetapkan SNI 01-3951-1995 tentang produk susu
pasteurisasi, yakni produk susu yang dihasilkan dari susu segar,susu rekonstitusi, atau susu
rekombinasi yang telah mengalami proses pemanasanpada temperatur 63C -66C selama minimum
30 menit atau pada pemanasan 72Cselama minimum 15 detik, kemudian segera didinginkan sampai
10C, selanjutnyadiperlakukan secara aseptis dan disimpan pada suhu maksimum 4,4C. Susu
segarialah cairan yang diperoleh dengan memerah sapi sehat dengan cara yang benar, sehatdan
bersih tanpa mengurangi atau menambah sesuatu komponennya.

2.6 Daya Simpan

Susu pasteurisasi yang dihasilkan dan dipasarkan sangat beragam, denganperbedaan jenis
pasteurisasi yang dilakukannya, pengemasan, danpenyimpanannya, terlebih juga produsen di
Indonesia, yang menyertakan ataumenambahkan flavor (aroma dan rasa) ke dalam produk susu
pasteurisasi yang dihasilkannya. Pada tabel berikut ini disajikan perbandingan jenis pasteurisasi
dengan perbedaan daya simpannya.

Menurut Chapman dan Boor (2001) para produsen susu pasteurisasi umumnya berharap dapat
memperpanjang daya simpannya hingga 60-90 hari, bahkan lebih. Sehingga umumnya jenis
pasteurisasi yang dilakukan pada industri pengolahan susu adalah Ultrapasteurization atau UHT.
Namun demikian karena produk susu pasteurisasi yang dilakukannya pada pemanasan yang tinggi
maka akan timbul flavor gosong yang khas, sehingga beberapa segmen konsumen lebih memilih
produk susu pasturisasi HTST.

BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Produsen produk susu pasteurisasi dalam menjaminkan daya simpan atas produknya perlu
memperhitungkan potensi kontaminasi yang tidak terantisipasi akibat penyimpangan suhu yang
bisa terjadi selama proses pembuatan, penyimpanan, distribusi, penjualan, hingga penanganannya
oleh konsumen. Penyimpangan suhu dimaksud sering terjadi pada saat konsumen tidak
menyimpannya di lemari pendingin sebelum dikonsumsi habis saat itu juga.

DAFTAR GAMBAR

DAFTAR PUSTAKA

Saripah Hudaya, Ir.,MS. Pelatihan Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian

Badan Standardisasi Nasional.`1995.SNI 01-3951-1995 Susu Pasteurisasi.Jakarta.

Badan Standardisasi Nasional.`1998.SNI 01-3141-1998 Susu Segar. Jakarta.

Barbano, D. M. , Y. Ma, and M. V. Santos. 2006. Influence of Raw Milk Quality on Fluid Milk Shelf
Life. J. Dairy Sci. 89(E. Suppl.):E15E19. American Dairy Science Association, Northeast Dairy Foods
Research Center, Department of Food Science, Cornell University, Ithaca, NY 14853, USA.
Boediyana, T. 2006. Pengembangan Model Usaha Agribisnis Sapi Perah Dalam Upaya Peningkatan
Pendapatan Usaha Kecil dan Menengah.Makalah yang dipaparkan pada Workshop yang
diselengggrakan oleh Ditjen P2HP, Bandung.

Boor, K. J. 2001.Fluid dairy product quality and safety: Looking to the future. J. Dairy Sci. 84:111.

Bray, D.R. 2008. Milk Quality Is More than Somatic Cell Count and Standard Plate Count, Its Now
Shelf-Life. Department of Animal Sciences-University of Florida, USA.

Pengolahan dengan Suhu Tinggi: (Blanching, Pasteurisasi, Sterilisasi)

00.36 |

PRINSIP PENGAWETAN SUHU TINGGI

-MEMATIKAN MIKROBA PENYEBAB KEBUSUKAN DAN MEMBAHAYAKAN KESEHATAN

-MEMINIMALKAN PENURUNAN GIZI MAKANAN

-MEMPERTAHANKAN FAKTOR-FAKTOR INDERAWI ATAU ORGANOLEPTIK SEPERTI CITARASA

Mengapa suhu tinggi digunakan pada pengawetan bahan pangan?????

A. Keuntungan

1.Ekonomis

2.Aman

3.Bebas bahan kimia

4.Memperbaiki tekstur bahan pangan

5.Meningkatkan cita rasa bahan pangan

6.Efektif membunuh mikroorganisme

7.Meningkatkan umur simpan bahan pangan

8.Menonaktifkan enzim-enzim

B. Kekurangan

1.Over heating

2.Penyimpangan tekstur dan flavor

3.Penurunan nilai nutrisi


A. Sterilisasi Komersial : proses termal untuk memastikan semua mikroorganisme beserta spora-
sporanya (pada umumnya dilakukan pada suhu 121 oC selama 15 menit)

B. Pasteurisasi : perlakuan pemanasan yang lebih ringan dari sterilisasi dan biasanya suhu yang
digunakan di bawah 100 oC.

Tujuan Pasteurisasi :

1.Membunuh semua bakteri patogen yang umum dijumpai pada bahan pangan atau bakteri-bakteri
patogen yang berbahaya ditinjau dari kesehatan masyarakat

2.Memperpanjang daya tahan simpan

3.Menonaktifkan enzim-enzim

Jenis pasteurisasi

1.Pasteurisasi dalam kemasan

2.Pasteurisasi untuk pengemasan

3.Pasteurisasi Batch (62,8 oC selama 30 menit)

Pasteurisasi kontinyu (71,7 oC selama 15 detik)

Perubahan Komponen Bahan Pangan Akibat Pasteurisasi

Pasteurisasi dapat mempertahankan nilai nutrisi dan karakteristik sensori bahan pangan hasil
pasteurisasi namun hanya dapat mempertahankan umur simpan bahan pangan untuk beberapa hari
saja

Perubahan komponen meliputi:

1.Warna, aroma, dan flavor

2. Degradasi vitamin

C. BLANSING

- Pemanasan pendahuluan yang biasanya diperlakukan pada sayuran dan buah-buahan yang
akan disimpan pada suhu beku.

- Menonaktifkan enzim (lipoksigenase, peroksidase, polifenoloksidase, poligalakturonase,


klorofilase, katalase)

- Suhu<100 oC selama beberapa menit

- Perebusan dan pengukusan

Tujuan Blansing

1.Menghambat aktivitas enzim, reaksi oksidasi, dan beberapa reaksi kimia

2.Mengeluarkan gas sebagai hasil respirasi

3.Mengurangi jumlah mikroba


4.Mempermudah perlakuan selanjutnya

5.Mempertahankan warna

6.Menghilangkan cita rasa alami

Membantu pencucian

Beberapa kerugian blansing

1.Merubah tekstur, warna, dan flavor

2.Meningkatkan kehilangan padatan terlarut (blansing dengan perebusan)

3.Menurunkan zat gizi (vitamin)

Faktor yang mempengaruhi lama Blansing

1.Tipe bahan pangan: buah/sayuran

2.Ukuran bahan pangan

3.Suhu

4.Metode

You might also like