Professional Documents
Culture Documents
13 Mei 09
BAB VIII : KLAIM MUATAN KAPAL .
1. PENGERTIAN.
Suatu pengangkutan barang melalui laut biasanya didasarkan atas suatu
perikatan hukum yang berupa perjanjian, baik berupa Bills of Lading (B/L)
maupun Charter Party (C/P). dalam perikatan tersebut satu pihak
biasanya pemilik barang yang memerlukan jasa angkutan laut.
Sedangkan pihak lainnya adalah Penjual atau Penyedia jasa angkutan
laut (Pengangkut/Pemilik kapal). Dalam pelaksanaannya kadang-kadang
timbul wanprestasi (salah satu pihak ingkar janji), dan salah satu jenis
wanprestasi adalah kurang atau rusaknya barang muatan kapal yang
diperjanjikan.
2. PRINSIP DASAR.
Dalam klaim pihak yang mengajukan klaim disebut claimants atau, kalau
perkaranya diselesaikan di pengadilan disebut plaintiff. Sedangkan pihak
yang diklaim disebut sebagai defendants. Apabila claimants bisa
membuktikan bahwa kerugian tersebut berdasarkan hukum yang berlaku
menjadi tanggung jawab defendants dan defendants gagal membuktikan
sebaliknya, maka ia harus membayar ganti rugi. Oleh sebab itu suatu
77
unsur yang sangat penting dalam klaim adalah bukti (evidences) dan
pembuktian (proof).
Siapa yang dapat bertindak selaku claimants? Siapa saja yang menderita
atau ikut menderita kerugian. Umumnya ia pemilik barang (cargo owners),
yang bisa jadi berkedudukan pula sebagai pengirim barang (shipper),
penerima barang (receivers), atau orang yang namanya ditunjuk dalam
Bills of Lading (consignees). Namun seorang penanggung asuransi
(underwriters) yang sudah membayar uang asuransi kepada tertanggung
juga bisa menjadi claimants atas dasar subrogasi. Siapa yang dapat
diklaim? Siapa saja yang berdasarkan perjanjian dan hukum yang berlaku
bertanggungjawab atas kerugian tersebut. Umumnya adalah pengangkut
(carriers) dalam angkutan dengan B/L atau pemilik kapal (shipowners)
dalam angkutan dengan C/P. namun bisa juga underwriters atau P&I Club
yang menanggung asuransi kapal tersebut.
3. PERTIMBANGAN AWAL
78
bisa dipertanggungjawabkan. Banyak indikasi ada/tidaknya pihak yang
bisa dipertanggungjawabkan ini terlihat dari penyebab
kekurangan/kerusakan (cause of loss/damage). Tidak ada secara phisik
maksudnya pihak yang harus bertanggung jawab pada saat klaim akan
diajukan tidak lagi eksis (perusahaan ditutup, kapalnya dibesi tuakan, dll).
79
Cara yang biasanya merupakan pilihan terakhir adalah Proses
Pengadilan ( Court Proceeding ). Menjadi pilihan terakhir karena
walaupun mempunyai kadar keadilan dan kepastian yang tinggi,
prosesnya rumit dan mahal. Upah lawyers/solicitors sangat mahal, belum
biaya mendatangkan saksi, membuat akta-akta resmi (affidafits),
menyusun bukti-bukti (exhibits), dan sebagainya. Menurut sistem hukum
Anglo Saxon, prosedurnya melalui 2 tahapan: writs ( pendaftaran atau
semacam somasi) dan legal sue (gugatan). Claimants (di dalam proses
pengadilan disebut plaintiffs) sesuai hukum Inggris dapat memilih
mengajukan gugatan in rem (ditujukan kepada kapalnya) atau in
personam (kepada orang/perusahaan). Pilihan ini yang tidak ada dalam
sistem hukum Indonesia, karena di sini gugatan hanya bisa ditujukan
kepada orang/perusahaannya.
Yang lebih sering dilakukan oleh Claims Adjuster atau Claim Settling
Agents (orang atau perusahaan yang tugasnya menangani penyelesaian
klaim) adalah mengkombinasikan atara upaya musyawarah dan
pengadilan. Caranya: sementara korespondensi/negosiasi musyawarah
berjalan, claimants mendaftarkan klaimnya di suatu pengadilan tertentu
(biasanya di pelabuhan yang biasa disinggahi kapal yang diklaim) dan
meminta Pengadilan tersebut menerbitkan writ. Penerbitan/pendaftaran
tersebut mempunyai 2 maksud: pertama mencegah agar klaim tidak
kadaluwarsa (time barred) karena lewat 1 tahun dan kedua agar apabila
kapal yang bersangkutan singgah di pelabuhan tersebut bisa ditahan
(atas perintah pengadilan). Penahanan kapal ( Arrest of Ship ) ini dapat
dilakukan di pelabuhan mana saja asalkan tunduk pada sistim hukum
Anglo Saxon ( misalnya negara-negara Persemakmuran ). Bukan hanya
kapal itu sendiri, bahkan kapal lain dari pemilik yang sama ( Sister Ships )
dapat ditahan. Biasanya kemudian kapal tersebut dibebaskan apabila
pemilik menyerahkan uang jaminan (security) untuk klaim yang
dibebankan kepadanya. Setelah itu, negosiasi dilanjutkan sampai tercapai
kompromi penyelesaian. Kalau gagal kompromi, baru diteruskan ke
pengadilan dengan mengajukan legal sue.
80
yang bentuknya bermacam-macam. Namun dalam klaim muatan
kapal lazimnya perikatan hukum tersebut berupa perjanjian.
Sebagaimana telah dipelajari dalam kuliah Hukum Pengangkutan
Barang Melalui Laut, bentuk perjanjian pengangkutan dapat berupa
Bills of Lading (B/L) atau Charter Party (C/P).
81
(catatan: bukti adalah barangnya, sedangkan pembuktian adalah
tindakannya). Bukti-bukti apa yang harus dikumpulkan dan
pembuktian apa yang harus dilakukan sangat tergantung dari
kasusnya. Namun secara umum setidaknya ada 5 hal yang harus
dibuktikan, yaitu:
a. Dasar Hukum
c. Penyebab kekurangan/kerusakan
82
diatas ditambah analisa laboratorium, Extract Log-Book, Sea
Nota of Protest, dan lainnya.
d. Jenis/bentuk kekurangan/kerusakan
83
dianggap kadaluwarsa (time barred).
All disputes arising under this Bills of Lading are be referred to the
exclusive jurisdiction of the English High Court of justice and are to be
subject to English law.
84
Dalam format standar C/P dari NYPE (New York Produce
Exchange), misalnya, sudah tercetak dengan jelas jurisdiksinya.
Kadang-kadang yang dipilih bukan menyelesaikan melalui
Pengadilan tertentu, melainkan Badan Arbitrasi tertentu. Inilah yang
disebut Arbitration Clause. Yang membuat situasi jadi runyam
adalah dalam hal B/L incorporated C/P, karena ada 2 jurisdiksi
pilihan (di B/L dan di C/P).
85
dengan claimants jaminan tersebut tidak terlalu mendesak. Namun
bila berhubungan dengan trampers, apalagi one shipowners
(perusahaan yang hanya mempunyai satu kapal saja) dan tidak
menjadi anggota suatu P&I Club manapun, maka jaminan menjadi
mutlak. Bahkan apabila mereka anggota P&I Club sekalipun
jaminan kadang-kadang tetap perlu karena sesuai aturan umum
P&I Club hanya akan mengganti pembayaran apabila pemilik kapal
yang menjadi anggotanya tersebut telah melaksanakan kewajiban
membayar klaim kepada claimants (paid to be paid). Dalam hal ini
third party rights against insurers act yang ada dalam Hukum
Inggris tidak berlaku. Artinya kalau shipowners tidak mampu
membayar, claimants tidak bisa mengklaim langsung P&I Club.
86
5.6. MENILAI POSISI LAWAN (Assesing Defences)
Ibaratnya dua Kubu yang berhadapan di medan perang, masing-
masing akan berusaha mengintip kekuatan dan kelemahan
lawan. Ini pula yang harus dilakukan claimants, apa saja kekuatan
dan kelemahan lawan. Kalau tentara kekuatan/kelemahannya
dilihat dari persenjataannya, maka untuk defendants dapat dilihat
dari bukti-bukti dan ketentuan hukum yang berlaku. Kerena
sebagian besar angkutan barang saat ini tunduk pada The Hague
Rules 1924 atau The Hague Visby Rules yang merupakan
penyempurnaannya, maka di bawah ini akan kita lihat pertahanan-
pertahanan yang dipunyai defendants berdasarkan Rules tersebut
diatas.
87
berakibat kandasnya kapal didekat jalur pelayaran yang ditandai
dengan layak dan cukup ramai lalu lintasnya. Peristiwa ini jelas
masuk kategori yang membebaskan. Claimants yang menghadapi
kasus seperti ini dapat menggugurkan pertahanan tersebut apabila
sebagaimana diatur dalam Artikel IV.1 bisa membuktikan bahwa
kapal tidak layak laut. Contohnya: kapal tidak dilengkapi peta jalur
laut di wilayah tersebut; atau perwira kapal tersebut tidak
mempunyai kualifikasi atau sertifikasi untuk mengemudikan kapal
di wilayah tersebut.
Huruf d sampai f berupa Act of God, Act of War and Act of Public
Enemies. Huruf g adalah penangkapan dan penahanan kapal,
sedangkan huruf h tentang restriksi Dinas Karantina. Huruf I adalah
kesalahan pengirim atau pemilik barang, termasuk
agen/perwakilannya yang juga dapat membebaskan pengangkut.
Huruf j dan k mengatur tentang kekurangan dan kerusakan yang
timbul dari pemogokan, kerusuhan dan semacamnya, sedangkan
huruf l melindungi pengangkut/kapal dari klaim akibat upayanya
menyelamatkan orang atau harta di laut.
88
6. KLAIM DALAM HUKUM INGGRIS .
Tidak dipungkiri, Cases Law yang hidup di Inggris (dan Negara-negara lain yang
menganut system hukum Anglo Saxon) Memiliki pengaruh yang sangat besar
terhadap Hukum Angkutan Laut, karena didukung sistim peradilan yang mapan
dan berpengaruh. Oleh sebab itu, walaupun tidak semua Negara di dunia
menganut sistim hukum Anglo Saxon, namun hukum Inggris memberi warna
yang dominan. Banyak pelaku bisnis yang domisilinya di luar Inggris memilih
yurisdiksi dan hukum Inggris sebagai pilihannya, termasuk pelaku bisnis
Indonesia. Oleh sebab itu, penulis memandang perlu untuk membuat tulisan ini
sebagai pengantar untuk pemahaman yang lebih jauh melalui kuliah atau
kursus tentang Shipping.
Dalam aktivitas Shipping, potensi sengketa sangat besar. Oleh sebab itu, pelaku
bisnis dan para konsultan hukumnya harus siap untuk menanganinya sebagai
bagian dari aktivitas bisnis sehari-harinya. Menanganidisini tidak selalu harus
diartikan berperkara di Pengadilan, melainkan juga penyesaian melalui secara
musyawarah (Amicable Settlement) atau Arbitrase. Pertimbangannya,
menghindari biaya dan waktu, serta menjaga hubungan baik dengan mitra
bisnisnya. Litigasi (penyelesaian melalui Pengadilan) baru diambil apabila cara
lain (Musyawarah dan Arbitrase/Mediasi) telah gagal mengatasi sengketa.
Peran hukum dalam konteks ini adalah untuk memberi pedoman tentang hak
dan kewajiban dasar (Basic Obligations) bagi para Pihak dalam melakukan
negosiasi/ musyawarah atau proses di Badan Arbitrase. Namun, manakala harus
menempuh penyelesaian melalui Pengadilan, maka hukum menjadi alat utama
untuk menyerang maupun bertahan.
6.1. Arbitrase .
Badan Arbitrase banyak menjadi pilihan karena prosesnya yang sederhana,
cepat dan murah. Biasanya kasus Shipping, apabila diselesaikan melalui
Arbitrase akan ditangani oleh Arbitrator yang berpengalaman (baik dari segi
hukum maupun praktek bisnis) dalam dunia Shipping. Oleh sebab itu,
keputusan-keputusannya cenderung membumi, kompromistis dan masuk akal
bagi para pelaku bisnis.
Ketentuan tentang penyelesaian melalui Arbitrase banyak tertera dalam Bills of
Lading, Charter party, Perjanjian Jual-Beli Kapal, Pembuatan Kapal maupun
Perjanjian Penyelamatan Kapal (Salvage Contracts). Adanya ketentuan tersebut
dalam Perjanjian akan membuat Hakim memerintahkan agar para Pihak tidak
membawa sengketa ke Pengadilan, sebelum kasusnya disampaikan kepada
Arbitrator. Bahkan Arbitrator dapat meminta Hakim untuk membekukan (Stay
atau Suspension) proses di Pengadilan atas kasus tersebut. Namun, apabila
sebelumnya Kapal milik salah satu Pihak telah ditahan atas perintah Pengadilan,
maka pembekuan kasus tersebut tidak membebaskan kapal yang bersangkutan.
89
Apabila kasus dibekukan Hakim di Pengadilan, biasanya Amar keputusan
menyebutkan agar Sidang Arbitrase segera dimulai.
Di banyak negara keputusan Badan Arbitrase bersifat final. Namun di Inggris
Pengadilan selalu memiliki kewenangan untuk meninjau keputusan Arbitrase.
Inilah yang sering dimanfaatkan oleh Pihak yang harus membayar ganti-rugi
untuk menunda kewajibannya.
Untuk itu, The Arbitration Act 1979 membatasi hak banding ke Pengadilan
hanya untuk kasus yang dengan nyata Arbitrator telah melakukan kesalahan
dalam memutuskan.
90
Admiralty Court. Setelah itu toh penggugat In Rem bisa juga menggugat In
Personam (karena pemilik kapal sudah menundukkan diri).
91
6.4. The Mareva Injunction .
Selain Arrest of Ship, ada lagi lembaga lain yang sekilas mirip, namun sangat
berbeda, yakni Mareva Injunctions (MI). Injunction dalam hukum Inggris
adalah mirip keputusan sela di peradilan Indonesia. Biasanya diminta oleh
penggugat dan keputusannya berisi larangan bagi tergugat untuk melakukan
sesuatu. MI , seperti dari namanya, dilahirkan oleh Pengadilan Inggris dalam
keputusannya atas kasus sengketa antara Mareva Compania Naviera S.A. v
International Bulkcarriers S.A. [1975] 2 Lloyds Rep.509. Dalam kasus tersebut
seorang Pemilik Kapal ( sebagai penggugat) yang berpiutang kepada seorang
Pencharter (Tergugat/ kebangsaannya non-Inggris) berhasil mendapatkan
Injunction yang melarang tergugat memindahkan asetnya berupa uang
pembayaran freight yang tersimpan di suatu Bank di London keluar Inggris.
Dengan demikian tujuan utama dari MI adalah untuk mencegah seorang
Tergugat memindahkan asset-assetnya dari Inggris (agar tidak disita) sebelum
keputusan pengadilan.
Sampai sekarang MI hanya dapat diterapkan apabila kasusnya dibawah
yurisdiksi peradilan Inggris. Namun, hukum masih mengembangkannya dan
kemungkinan akan lebih luas lagi sesuai kebutuhan. MI hanya diterapkan dalam
gugatan In Personam, karena perintah pengadilan untuk tidak memindahkan
asset-assetnya harus ditujukan kepada seseorang/perusahaan.
Dampak dari MI kadang-kadang sangat drastis bagi pihak ketiga (yang tidak
terkait dengan kasus tetapi dengan asset, Bank pemegang jaminan misalnya).
Oleh sebab itu pengadilan sangat berhati-hati dan penggugat harus mampu
meyakinkan pengadilan tentang pentingnya penerapan MI dalam kasus yang
bersangkutan. Kadang-kadang bahkan pengadilan meminta penggugat untuk
membuat jaminan untuk membayar ganti-rugi kepada pihak ketiga yang mungkin
dirugikan karena MI.
92
Pada awalnya, Pengadilan Inggris berpihak pada pengakuan kedaulatan negara
dan oleh sebab itu keputusannya kapal milik Negara tidak bias ditahan ( The
Parlement Belge (1880) 5 P.D.197 serta dalam The Porto Alexandre [1920]
P.30). Namun belakangan yurisprudensi mulai bergeser kearah paham yang
meyakini apabila kapal dioperasikan secara komersil, maka kedaulatan tidaklah
mutlak ( Compania Naviera Vascongada v SS.Cristina [1938] A.C.485).
Akhirnya, paham kekebalan kedaulatan sepenuhnya runtuh pada tahun 1977,
manakala dalam kasus The Philippine Admiral [1977] A.C.373, Komite Yudisial
pada Privy Council dengan tegas menyatakan bahwa SI hanya diterapkan pada
kapal pemerintah yang menjalankan misi non-komersil. Latar belakangnya jelas,
adalah tidak adil bahwa sesame pelaku bisnis ada yang diistimewakan.
Disamping itu, semakin banyaknya kapal milik Pemerintah yang beroperasi
komersil pada paruh kedua abad 20 (umumnya dari Negara sosialis/komunis)
menambah banyak saja kasus yang menyangkut SI. Akhirnya, pada tahun 1978
Pemerintah Inggris resmi meratifikasi The International Convention for the
Unification of Certain Rules Concerning the Immunity of State-Owned
Ships 1926 termasuk perubahan/tambahannya pada Protocol 1934. Konvensi
tersebut sejak semula memang menafikan SI manakala kapal dioperasikan
komersil.
93
6.7. Jurisdiction & Choice of Law Clauses .
Melihat masalah Forum Shopping diatas, maka banyak pihak yang dalam
perjanjiannya mencantumkan pasal yang dengan tegas mengatur yurisdiksi
pengadilan mana yang mereka sepakati sebagai tempat penyelesaian sengketa.
Pasal inilah yang dimaksud dengan Jurisdiction Clauses. Biasanya Bills of
Lading , Charter Party, Agreement for Ship Sale, Towage and Salvage memiliki
pasal-pasal dimaksud. Dengan demikian, praktis Forum Shopping hanya muncul
dalam sengketa yang terjadi diluar perjanjian, seperti tubrukan kapal misalnya.
Artinya, kebanyakan hal itu timbul dalam sengketa yang timbul dari Tort
(Perbuatan Melawan Hukum). Sesuai prinsip dasar dalam hukum perdata,
dimana para pihak mempunyai keleluasaan untuk menyepakati sesuatu,
biasanya pengadilan Inggris menghormati pilihan yurisdiksi para pihak.
Kemungkinan pengecualian hanya apabila pilihan itu bertentangan dengan
hukum yang berlaku atau karena pertimbangan kepraktisan semata.
Sama pertimbangannya dengan pilihan yurisdiksi, para pihak yang ber-kontrak
biasanya menyepakati pasal-pasal yang menetapkan pada sistim hukum apa
atau Negara mana mereka akan tunduk, manakala timbul sengketa. Sama juga
dengan yurisdiksi, apabila pilihan hukum itu masuk akal, sah serta tidak
bertentangan dengan kepentingan umum, biasanya pengadilan mengakuinya.
Praktek di Indonesia, karena standar Marine Policy yang dipakai adalah standar
Inggris (Institute Cargo Clauses misalnya), maka Perjanjian Asuransi Laut di
Indonesia selalu memilih hukum Inggris sebagai pilihan hukumnya. Jadi mungkin
saja ada sengketa asuransi laut yang diadili di peradilan Indonesia dengan
memakai hukum Inggris. Manakala tidak terdapat pasal diatas, biasanya
pengadilan akan menetapkannya setelah meneliti dan menafsirkan maksud para
pihak dalam perjanjian, kemudian menetapkan sistim hukum yang paling terkait
dengan perjanjian itu.
94