Professional Documents
Culture Documents
RESUSITASI CAIRAN
John A. Myburgh, M.B., B.Ch., Ph.D., and Michael G. Mythen, M.D., M.B., B.S.
DISUSUN OLEH
PEMBIMBING
dr. Asrah Alimin
KONSULEN
Dr. dr. Syafri K. Arif, Sp.An-KIC-KAKV
Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Bagian Ilmu
Anestesi, Perawatan Intensif dan Manajemen Nyeri Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin.
Mengetahui :
Supervisor, Pembimbing,
John A. Myburgh, M.B., B.Ch., Ph.D., and Michael G. Mythen, M.D., M.B., B.S.
Jika dilihat dari prinsip fisiologis, larutan koloid tidak begitu memberi hasil
yang lebih dibandingkan dengan larutan kristaloid dalam mempengaruhi
hemodinamika. Albumin dianggap sebagai standar larutan koloid, namun zat ini
memiliki sejumlah keterbatasan jika harus digunakan dalam praktek rutin. Meskipun
albumin dianggap aman sebagai larutan resusitasi pada pasien yang sakit berat dan
yang mengalami sepsis dini, namun penggunaan zat ini berhubungan dengan
peningkatan mortalitas untuk pasien yang mengalami cedera otak traumatik.
Penggunaan larutan hydroxyethyl starch (HES) berhubungan dengan peningkatan
insidensi terapi ganti ginjal dan efek samping lain jika digunakan untuk pasien
intensive care unit (ICU). Tidak ada bukti yang merekomendasikan penggunaan
larutan koloid semisintetik.
Pada tahun 1832, Robert Lewins menjelaskan tentang efek larutan garam
alkali yang diberikan secara intravena untuk pasien yang mengalami pandemik
kolera. Dia menemukan bahwa kuantitas cairan yang perlu diinjeksikan pada pasien
kolera kemungkinan besar bergantung pada kuantitas serum yang hilang; tujuan
pemberian cairan adalah untuk mengembalikan sirkulasi pasien seperti keadaan
normalnya. Observasi Lewin yang ditemukan pada 200 tahun lalu, masih relevan
dengan temuan terkini.
Saat ini, cairan non-darah hampir digunakan pada semua pasien yang
menjalani anestesia untuk bedah mayor, pada pasien yang mengalami trauma dan
luka bakar berat, dan pada pasien yang dirawat di ICU. Pemberian cairan telah
menjadi salah satu intervensi yang paling sering digunakan dalam pengobatan akut.
Terapi cairan hanyalah salah satu komponen dari suatu strategi resusitasi
hemodinamika. Tujuan utama pemberian cairan adalah mengembalikan volume
intravaskuler. Karena aliran balik vena setara dengan curah jantung, maka respon
simpatetik yang mengatur sirkulasi eferen kapasitansi (vena) dan aferen konduktansi
(arterial) hampir sama dengan yang mengatur kontraktilitas myokardial. Terapi
tambahan untuk resusitasi cairan, seperti penggunaan katekolamine untuk
meningkatkan kontraksi jantung dan aliran balik vena, dapat dipertimbangkan untuk
sebagai terapi awal untuk mendukung sirkulasi yang gagal. Selain itu, kita harus
mempertimbangkan efek pemberian cairan terhadap fungsi organ akhir dan
mikrosirkulasi organ vital yang terus-menerus mengalami perubahan saat berada
dalam kondisi patologis.
Namun temuan terkini mulai meragukan model klasik tersebut. Suatu jaringan
glycoprotein dan proteoglikan berbentuk membran pada sel endotel, berhasil
diidentifikasi dan diberi nama lapisan glycocalyx endotelial (gambar 1). Ruang
subglycocalyx dapat menghasilkan tekanan onkotik koloid yang sangat penting dalam
mengatur aliran cairan transkapiler. Kapiler nonpermeabel yang melewati ruang
interstisial juga berhasil diidentifikasi, hal ini mengindikasikan bahwa absorpsi cairan
tidak terjadi melalui kapiler venosa. Semua cairan dari ruang interstisial, yang masuk
melalui banyak pori-pori, dikembalikan ke sirkulasi sebagai limfe, yang kemudian
dapat regulasi secara simpatetik.
Cairan resusitasi ideal harus dapat menghasilkan efek yang dapat diprediksi
dan mampu meningkatkan volume intravaskuler secara bertahap, selain itu harus
memiliki komposisi kimiawi yang menyerupai cairan ekstraseluler, serta dapat
dimetabolisme dan diekskresi secara komplit tanpa terakumulasi dalam jaringan,
sehingga tidak menimbulkan efek sistemik dan metabolik, dan harus hemat untuk
meningkatkan kondisi pasien. Hingga saat ini, belum ada cairan seperti itu yang
tersedia secara klinis.
Cairan resusitasi secara umum terbagi menjadi larutan koloid dan larutan
kristaloid (Tabel 1). Larutan koloid merupakan suspensi molekul yang berada dalam
suatu larutan pengangkut yang relatif tidak mampu melewati membran kapiler
semipermeabel karena ukuran molekulnya yang besar. Kristaloid merupakan suatu
larutan ion yang bebas secara permeabel namun mengandung natrium dan klorida
yang mempengaruhi tonisitas larutan.
Para pendukung larutan koloid mengatakan bahwa koloid lebih efektif dalam
mengembangkan volume intravaskuler karena koloid dapat tertahan dalam ruang
intravaskuler dan dapat mempertahankan tekanan onkotik koloid. Efek koloid dalam
mempertahankan volume dianggap memiliki kesan yang lebih jika dibandingkan
dengan kristaloid, yang mana secara konvensional, rasio koloid terhadap kristaloid
dalam mempertahankan volume intravaskuler adalah 1:3. Koloid semisintetik
memiliki durasi kerja yang lebih singkat jika dibandingkan dengan larutan albumin
manusia namun zat tersebut lebih aktif termetabolisme dan terekskresi.
Albumin
Koloid Semisintetik
Saat ini konsentrasi larutan HES mulai diturunkan (6%) dan besar molekulnya
hanya 130 kD serta subtitusi molar-nya berkisar antara 0.38 hingga 0.45. HES
tersedia dalam berbagai larutan vehikulum (carrier) kristaloid. HES telah digunakan
secara luas untuk pasien yang menjalani anestesia pada operasi besar, terutama untuk
strategi terapi cairan goal-directed, digunakan sebagai terapi lini pertama untuk
resusitasi di ruang operasi militer, dan pasien ICU. Karena HES berpotensi
mengalami akumulasi dalam jaringan, maka dosis harian maksimal HES adalah 33-55
mL per kilogram berat badan per hari.
Dari percobaan acak terkontrol, dan buta ganda yang melibatkan 800 pasien
sepsi berat di ICU, para peneliti Skandinavia melaporkan bahwa penggunaan HES
6% (130/0.42), jika dibandingkan dengan Ringer Asetat, berhubungan dengan
peningkatan angka kematian dalam 90 hari (relative risk, 1.17; 95% CI, 1.01-1.30;
p=0.03) dan peningkatan insidensi relatif terapi ganti ginjal hingga 35%. Hasil ini
konsisten dengan percobaan terdahulu yang menggunakan HES 10% (200/0.5) pada
populasi pasien yang sama.
Namun hingga saat ini masih belum diketahui apakah hasil penelitian
mengenai HES dapat dijadikan patokan untuk larutan koloid semisintetik lainnya,
seperti gelatin atau polygeline. Hasil penelitian observasional terbaru telah
menimbulkan kekhawatiran mengenai resiko cedera ginjal akut pada penggunaan
larutan gelatin. Hanya saja, larutan koloid semisintetik lainnya belum pernah diteliti
dalam suatu percobaan acak terkontrol yang berkualitas tinggi. Dengan bukti-bukti
yang ada saat ini, kita masih sulit untuk membenarkan pernyataan yang menyatakan
bahwa penggunaan koloid semisintetik tidak memberikan manfaat klinis, berpotensi
menimbulkan nefrotoksisitas, dan mahal.
Kristaloid
Perbedaan ion kuat dalam saline 0.9% adalah nol, hampir tidak ada, sehingga
pemberian saline dalam jumlah besar dapat mengakibatkan asidosis metabolik
hiperkloremik. Efek samping seperti disfungsi imunitas dan disfungsi ginjal dapat
ditemukan pada asidosis metabolik, hanya saja konsekuensi klinis dari efek ini masih
belum diketahui.
Kebutuhan dan respon resusitasi cairan untuk pasien-pasien yang sakit berat
biasanya berbeda-beda. Tidak ada satu pun pengukuran fisiologis atau biokimiawi
yang secara adekuat dapat memperkirakan penurunan cairan atau jumlah resusitasi
cairan pada pasien yang sakit akut. Namun, hipotensi sistolik dan oligouria pada
umumnya dijadikan sebagai pemicu untuk melakukan fluid challenge, yang kisaran
volume cairannya antara 200-1000 ml kristaloid atau koloid untuk pasien dewasa.