You are on page 1of 18

BAGIAN ANESTESIOLOGI,PERAWATAN INTENSIF JOURNAL READING

DAN MANAJEMEN NYERI MARET 2014


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN

RESUSITASI CAIRAN

John A. Myburgh, M.B., B.Ch., Ph.D., and Michael G. Mythen, M.D., M.B., B.S.

DISUSUN OLEH

NOR SYAHIDA BINTI SULAIMAN


C 111 09 871

PEMBIMBING
dr. Asrah Alimin

KONSULEN
Dr. dr. Syafri K. Arif, Sp.An-KIC-KAKV

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ANESTESIOLOGI,PERAWATAN INTENSIF DAN MANJEMEN NYERI
UNIVERSITAS HASANUDDIN, FAKULTAS KEDOKTERAN
MAKASSAR
2014
HALAMAN PENGESAHAN
Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Nor Syahida Binti Sulaiman


Nim : C 111 09 871
Judul Laporan Kasus : Resusitasi Cairan

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Bagian Ilmu
Anestesi, Perawatan Intensif dan Manajemen Nyeri Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin.

Makassar Maret 2014

Mengetahui :

Supervisor, Pembimbing,

Dr. dr. Syafri K. Arif, Sp.An-KIC-KAKV dr. Asrah Alimin


RESUSITASI CAIRAN

John A. Myburgh, M.B., B.Ch., Ph.D., and Michael G. Mythen, M.D., M.B., B.S.

Resusitasi cairan dengan menggunakan larutan koloid dan kristaloid


merupakan jenis intervensi yang sering digunakan dalam pengobatan akut. Pemilihan
dan penggunaan cairan resusitasi biasanya didasarkan pada prinsip fisiologis, namun
dalam praktik klinis, pemilihan ini didasarkan atas keputusan para dokter, dan
keputusan ini bervariasi di setiap daerah. Tidak ada satu pun cairan resusitasi yang
ideal. Namun ada bukti yang menunjukkan bahwa jenis dan dosis cairan resusitasi
kemungkinan besar dapat mempengaruhi kondisi pasien.

Jika dilihat dari prinsip fisiologis, larutan koloid tidak begitu memberi hasil
yang lebih dibandingkan dengan larutan kristaloid dalam mempengaruhi
hemodinamika. Albumin dianggap sebagai standar larutan koloid, namun zat ini
memiliki sejumlah keterbatasan jika harus digunakan dalam praktek rutin. Meskipun
albumin dianggap aman sebagai larutan resusitasi pada pasien yang sakit berat dan
yang mengalami sepsis dini, namun penggunaan zat ini berhubungan dengan
peningkatan mortalitas untuk pasien yang mengalami cedera otak traumatik.
Penggunaan larutan hydroxyethyl starch (HES) berhubungan dengan peningkatan
insidensi terapi ganti ginjal dan efek samping lain jika digunakan untuk pasien
intensive care unit (ICU). Tidak ada bukti yang merekomendasikan penggunaan
larutan koloid semisintetik.

Larutan garam seimbang merupakan cairan resusitasi yang sering digunakan


pada awal terapi, namun hanya sedikit bukti langsung yang menunjukkan keamanan
dan khasiat zat ini. Penggunaan saline normal berhubungan dengan asidosis
metabolik dan cedera ginjal akut. Sedangkan tingkat keamanan larutan hipertonik
hingga saat ini belum diketahui.
Semua larutan resusitasi dapat berkontribusi dalam terbentuknya edema
interstisial, terutama pada kondisi inflamasi yang mendapatkan terapi cairan resusitasi
berlebihan. Dokter perawatan kritis harus mengetahui cara menggunakan cairan
resusitasi, terutama ketika akan memberikan obat-obatan intravena lain. Pemilihan
cairan tertentu harus didasarkan pada indikasi, kontraindikasi, dan efek toksik
potensial masing-masing cairan agar dapat memaksimalisasi khasiat dan
meminimalisasi toksisitas.

Riwayat Resusitasi Cairan

Pada tahun 1832, Robert Lewins menjelaskan tentang efek larutan garam
alkali yang diberikan secara intravena untuk pasien yang mengalami pandemik
kolera. Dia menemukan bahwa kuantitas cairan yang perlu diinjeksikan pada pasien
kolera kemungkinan besar bergantung pada kuantitas serum yang hilang; tujuan
pemberian cairan adalah untuk mengembalikan sirkulasi pasien seperti keadaan
normalnya. Observasi Lewin yang ditemukan pada 200 tahun lalu, masih relevan
dengan temuan terkini.

Resusitasi cairan tanpa menggunakan darah di era moderen semakin maju


akibat temuan Alexis Hartmann, yang berhasil memodifikasi larutan garam fisiologis
yang sebelumnya sudah dikembangkan oleh Sidney Ringer pada tahun 1885 untuk
rehidrasi pasien anak yang mengalami gastroenteritis. Dengan adanya pengembangan
fraksinasi darah pada tahun 1942, albumin manusia berhasil diberikan dalam jumlah
besar untuk pertama kalinya berguna menjadi resusitasi pasien yang mengalami luka
bakar akibat serangan di Pearl Harbour pada tahun yang sama.

Saat ini, cairan non-darah hampir digunakan pada semua pasien yang
menjalani anestesia untuk bedah mayor, pada pasien yang mengalami trauma dan
luka bakar berat, dan pada pasien yang dirawat di ICU. Pemberian cairan telah
menjadi salah satu intervensi yang paling sering digunakan dalam pengobatan akut.
Terapi cairan hanyalah salah satu komponen dari suatu strategi resusitasi
hemodinamika. Tujuan utama pemberian cairan adalah mengembalikan volume
intravaskuler. Karena aliran balik vena setara dengan curah jantung, maka respon
simpatetik yang mengatur sirkulasi eferen kapasitansi (vena) dan aferen konduktansi
(arterial) hampir sama dengan yang mengatur kontraktilitas myokardial. Terapi
tambahan untuk resusitasi cairan, seperti penggunaan katekolamine untuk
meningkatkan kontraksi jantung dan aliran balik vena, dapat dipertimbangkan untuk
sebagai terapi awal untuk mendukung sirkulasi yang gagal. Selain itu, kita harus
mempertimbangkan efek pemberian cairan terhadap fungsi organ akhir dan
mikrosirkulasi organ vital yang terus-menerus mengalami perubahan saat berada
dalam kondisi patologis.

Gambar 1: Peranan lapisan


Glycocalyx Endotelial dalam
Resusitasi Cairan

Struktur dan fungsi lapisan


glycocalyx endotelial, suatu
jaringan glycoprotein dan
proteoglikan berbentuk membran
pada sel endotel, merupakan
penentu utama permeabilitas
membran dalam sistem vaskuler
organ. Panel A merupakan
lapisan glycocalyx endotelial
sehat, sedangkan Panel B
merupakan lapisan glycocalyx
yang sudah rusak, yang
mengakibatkan edema interstisial
pada pasien, terutama untuk
pasien yang mengalami inflamasi
(seperti sepsis).
Fisiologi Resusitasi Cairan
Selama beberapa dekade, para dokter melakukan pemilihan cairan resusitasi
berdasarkan model kompartemen klasik (secara spesifik, kompartemen klasik terdiri
atas kompartemen cairan intraseluler serta komponen cairan ekstrasluler yang terdiri
atas komponen interstisial dan intravaskuler ) dan faktor-faktor yang mempengaruhi
distribusi cairan pada masing-masing kompartemen. Pada tahun 1896, Ernest
Starling, seorang fisiolog Inggris, menemukan bahwa venula kapiler dan postkapiler
memiliki mekanisme kerja sebagai membran semipermeabel yang menyerap cairan
interstisial. Prinsip ini lalu diadaptasi untuk mengidentifikasi gradien tekanan
hidrostatik dan tekanan onkotik yang melalui membran semipermeabel, yang
kemudian dijadikan sebagai penentu utama dalam pertukaran transvaskuler.

Namun temuan terkini mulai meragukan model klasik tersebut. Suatu jaringan
glycoprotein dan proteoglikan berbentuk membran pada sel endotel, berhasil
diidentifikasi dan diberi nama lapisan glycocalyx endotelial (gambar 1). Ruang
subglycocalyx dapat menghasilkan tekanan onkotik koloid yang sangat penting dalam
mengatur aliran cairan transkapiler. Kapiler nonpermeabel yang melewati ruang
interstisial juga berhasil diidentifikasi, hal ini mengindikasikan bahwa absorpsi cairan
tidak terjadi melalui kapiler venosa. Semua cairan dari ruang interstisial, yang masuk
melalui banyak pori-pori, dikembalikan ke sirkulasi sebagai limfe, yang kemudian
dapat regulasi secara simpatetik.

Struktur dan fungsi lapisan glycocalyx endotelial merupakan salah satu


penentu utama permeabilitas membran pada berbagai sistem vaskuler organ.
Integritas, atau kebocoran pada lapisan ini, dapat berpotensi mengakibatkan edema
interstisial, terutama pada kondisi inflamasi, seperti sepsis, dan pada kondisi pasca-
bedah atau trauma.
Cairan Resusitasi Ideal

Cairan resusitasi ideal harus dapat menghasilkan efek yang dapat diprediksi
dan mampu meningkatkan volume intravaskuler secara bertahap, selain itu harus
memiliki komposisi kimiawi yang menyerupai cairan ekstraseluler, serta dapat
dimetabolisme dan diekskresi secara komplit tanpa terakumulasi dalam jaringan,
sehingga tidak menimbulkan efek sistemik dan metabolik, dan harus hemat untuk
meningkatkan kondisi pasien. Hingga saat ini, belum ada cairan seperti itu yang
tersedia secara klinis.

Cairan resusitasi secara umum terbagi menjadi larutan koloid dan larutan
kristaloid (Tabel 1). Larutan koloid merupakan suspensi molekul yang berada dalam
suatu larutan pengangkut yang relatif tidak mampu melewati membran kapiler
semipermeabel karena ukuran molekulnya yang besar. Kristaloid merupakan suatu
larutan ion yang bebas secara permeabel namun mengandung natrium dan klorida
yang mempengaruhi tonisitas larutan.

Para pendukung larutan koloid mengatakan bahwa koloid lebih efektif dalam
mengembangkan volume intravaskuler karena koloid dapat tertahan dalam ruang
intravaskuler dan dapat mempertahankan tekanan onkotik koloid. Efek koloid dalam
mempertahankan volume dianggap memiliki kesan yang lebih jika dibandingkan
dengan kristaloid, yang mana secara konvensional, rasio koloid terhadap kristaloid
dalam mempertahankan volume intravaskuler adalah 1:3. Koloid semisintetik
memiliki durasi kerja yang lebih singkat jika dibandingkan dengan larutan albumin
manusia namun zat tersebut lebih aktif termetabolisme dan terekskresi.

Para pendukung larutan kristaloid berpendapat bahwa koloid, terutama


albumin manusia, merupakan zat yang mahal dan tidak terlalu praktis digunakan
sebagai larutan resusitasi. Kristaloid merupakan zat yang tidak mahal, tersedia secara
luas meskipun belum terbukti berkhasiat, namun kristaloid telah menjadi terapi lini
pertama dalam resusitasi cairan. Namun, penggunaan kristaloid diketahui
berhubungan dengan edema interstisial.

Jenis Resusitasi Cairan

Secara global, ada banyak variasi dalam pemilihan cairan resusitasi.


Pemilihan biasanya ditentukan oleh daerah dan pengalaman masing-masing dokter,
serta protokol institusi, ketersediaan, harga, dan pemasaran komersial. Dari konsensus
diketahui bahwa pemilihan resusitasi harus disesuaikan dengan populasi pasien
tertentu, namun rekomendasi seperti ini hanya didasarkan pada pendapat pakar atau
bukti klinis yang berkualitas rendah. Sejumlah tinjauan sistematik dari beberapa
percobaan acak terkontrol telah menunjukkan bahwa hanya sedikit bukti yang
mendukung keunggulan salah satu jenis cairan jika dibandingkan cairan lain dalam
menurunkan resiko kematian.

Albumin

Albumin manusia (4-5%) dalam saline dianggap sebagai larutan koloid


standar. Zat ini diproduksi dari proses fraksionasi darah, yang kemudian dipanaskan
untuk mencegah penyebaran virus patogenik. Zat ini cukup mahal untuk diproduksi
dan didistribusikan, serta sangat jarang ditemukan pada negara-negara yang miskin
atau berkembang.

Pada tahun 1998, Cochrane Injuries Group Albumin Reviewer


mempublikasikan sebuah meta-analisis mengenai efek albumin dan larutan kristaloid
lain untuk mengatasi pasien yang mengalami hipovolemia, luka bakar, atau
hipoalbuminemia. Mereka menyimpulkan bahwa pemberian albumin berhubungan
dengan peningkatan insidensi kematian yang signifikan (relative risk, 1.68; 95%
confidence interval [CI], 1.26-2.23; p<0.01). Meskipun memiliki sejumlah
keterbatasan, namun meta-analisis ini telah memberikan peringatan yang penting,
terutama untuk negara-negara yang sering menggunakan albumin untuk resusitasi.
Sebagai salah satu efek dari meta-analisis tersebut, para peneliti Australia dan
Selandia Baru melakukan penelitian Saline Versus Albumin Fluid Evaluation (SAFE).
Penelitian yang bersifat acak terkontrol dan tersamar ganda ini, melibatkan 6997
orang dewasa yang dirawat di ICU. Para pasien itu diberikan albumin selama
perawatan. Penelitian ini menakar efek resusitasi yang menggunakan albumin 4% dan
efek resusitasi yang menggunakan saline, terhadap insidensi kematian dalam 28 hari.
Penelitian ini menunjukkan tidak ada perbedaan antara albumin dan saline terhadap
insidensi kematian (relative risk, 0.99; 95% CI, 0.91 to 1.09; P = 0.87) maupun
terhadap insidensi kegagalan organ.

Analisis tambahan dari penelitian SAFE telah memberikan pemahaman baru


mengenai resusitasi cairan pada pasien yang dirawat di ICU. Resusitasi yang
menggunakan albumin berhubungan dengan peningkatan insidensi kematian dalam 2
tahun terutama untuk pasien cedera otak traumatik (relative risk, 1.63; 95% CI,
1.17 to 2.26; P = 0.003). Peningkatan insidensi kematian berhubungan erat dengan
peningkatan tekanan intrakranial, terutama selama minggu pertama setelah cedera.
Resusitasi dengan menggunakan albumin juga berhubungan dengan penurunan resiko
kematian selama 28 hari untuk pasien yang mengalami sepsis berat (odds ratio, 0.71;
95% CI, 0.52-0.97; P=0.03), hal ini menunjukkan bahwa albumin dapat bermanfaat
untuk pasien sepsis berat. Namun untuk pasien yang mengalami hipoalbuminemia,
pemberian albumin tidak mempengaruhi insidensi kematian dalam 28 hari (kadar
albumin, 25 g per liter) (odds ratio, 0.87; 95% CI,0.73-1.05).

Dari penelitian SAFE, tidak ditemukan adanya perbedaan antara kristaloid


dan koloid jika dilihat dari indikator hemodinamika, seperti MAP atau denyut
jantung, namun penggunaan albumin berhubungan dengan peningkatan tekanan vena
sentral. Rasio volume albumin terhadap volume saline yang diberikan untuk
mencapai hasil seperti itu adalah 1:1.4.
Pada tahun 2011, para peneliti di Afrika sub-Sahara membuat penelitian acak,
terkontrol Fluid Expansion as Supportive Therapy (FEAST) yang
membandingkan penggunaan bolus albumin atau bolus saline dengan resusitasi cairan
tanpa bolus terhadap 3141 pasien pediatrik febris yang mengalami gangguan perfusi.
Pada penelitian ini diketahui bahwa resusitasi yang diberikan melalui bolus albumin
atau saline dapat mengakibatkan insidensi kematian dalam 48 jam yang hampir sama
jumlahnya, namun apabila dibandingkan dengan terapi non-bolus, maka terapi bolus
saline atau koloid memiliki insidensi kematian dalam 48 jam yang lebih tinggi
(relative rsik, 1.45;95% CI, 1.13-1.86; p=0.003). Penyebab utama kematian pada para
pasien tersebut justru kolaps kardiovaskuler, bukannya kelebihan cairan ataupun
faktor neurologis, hal ini menunjukkan bahwa ada interaksi yang merugikan antara
bolus resusitasi cairan dengan respon kompensasi neurohormonal. Meskipun
percobaan ini dilakukan pada populasi pediatrik tertentu yang fasilitas perawatan
kritisnya tidak ada atau terbatas, namun hasil penelitian ini juga mempertanyakan
peranan bolus resusitasi cairan, baik yang berupa albumin ataupun saline.

Berbagai penelitian tersebut meragukan konsep fisiologis mengenai khasiat


albumin dan peranannya sebagai cairan resusitasi. Pada penyakit akut, albumin
nampaknya memberikan efek hemodinamika dan luaran yang menyerupai saline.
Meskipun untuk populasi pasien tertentu, seperti sepsis berat, resusitasi albumin
masih membutuhkan konfirmasi lebih lanjut.

Koloid Semisintetik

Keterbatasan dan mahalnya albumin manusia telah memicu pengembangan


dan penggunaan cairan koloid semisintetik selama 40 tahun terakhir. Secara global,
cairan HES telah menjadi koloid semisintetik yang paling banyak digunakan,
terutama di Eropa. Koloid semisintetik lainnya antara lain gelatin suksinil, sediaan
gelatin-polygeline yang berikatan dengan urea, dan dextran. Penggunaan cairan
dextran telah tergantikan oleh jenis cairan koloid semisintetik lainnya.
Cairan HES dihasilkan melalui subtitusi amylopectin oleh hydroxyethyl yang
diperoleh dari sorgum, maizena atau kentang. Subtitusi berderajat tinggi pada
molekul glukosa dapat memproteksi senyawa dari hidrolisis oleh amylase non-
spesifik di dalam darah, sehingga ekspansi intravaskuler bisa lebih lama, namun
mekanisme ini juga membuat HES berpotensi untuk terakumulasi dalam jaringan
retikuloendotelial, seperti kulit (mengakibatkan gatal), hati, dan ginjal.

Penggunaan HES, terutama sediaan yang bermolekul besar, berhubungan


dengan gangguan koagulasi terutama perubahan dalam viskositas dan fibrinolisis
namun, efek perubahan ini secara klinis masih perlu diteliti lagi, terutama untuk
populasi pasien trauma atau bedah. Beberapa penelitian meragukan tingkat keamanan
konsentrasi cairan HES (10%) dan besar molekulnya yang lebih dari 200 kD serta
rasio subtitusi molar HES yang lebih dari 0.5, terutama jika harus digunakan pada
pasien sepsis berat. Penelitian-penelitian itu menyebutkan bahwa HES berhubungan
dengan peningkatan insidensi kematian, cedera ginjal akut, dan terapi ganti ginjal.

Saat ini konsentrasi larutan HES mulai diturunkan (6%) dan besar molekulnya
hanya 130 kD serta subtitusi molar-nya berkisar antara 0.38 hingga 0.45. HES
tersedia dalam berbagai larutan vehikulum (carrier) kristaloid. HES telah digunakan
secara luas untuk pasien yang menjalani anestesia pada operasi besar, terutama untuk
strategi terapi cairan goal-directed, digunakan sebagai terapi lini pertama untuk
resusitasi di ruang operasi militer, dan pasien ICU. Karena HES berpotensi
mengalami akumulasi dalam jaringan, maka dosis harian maksimal HES adalah 33-55
mL per kilogram berat badan per hari.

Dari percobaan acak terkontrol, dan buta ganda yang melibatkan 800 pasien
sepsi berat di ICU, para peneliti Skandinavia melaporkan bahwa penggunaan HES
6% (130/0.42), jika dibandingkan dengan Ringer Asetat, berhubungan dengan
peningkatan angka kematian dalam 90 hari (relative risk, 1.17; 95% CI, 1.01-1.30;
p=0.03) dan peningkatan insidensi relatif terapi ganti ginjal hingga 35%. Hasil ini
konsisten dengan percobaan terdahulu yang menggunakan HES 10% (200/0.5) pada
populasi pasien yang sama.

Dari percobaan acak terkontrol, tersamar ganda, yang disebut Crystalloid


versus Hydroxyethyl Starch Trial (CHEST), yang melibatkan 7000 orang dewasa di
ICU, penggunaan HES 6% (130/0.4) jika dibandingkan dengan saline, justru
ditemukan tidak memiliki perbedaan yang signifikan dalam aspek insidensi kematian
selama 90 hari (relative risk, 1.06; 95% CI, 0.96-1.18; p=0.26). Namun, penggunaan
HES berhubungan dengan peningkatan relatif insidensi terapi ganti ginjal.

Penelitian Skandinavia dan CHEST menunjukkan bahwa HES dan kristaloid


tidak memiliki perbedaan yang signifikan jika ditilik dari indikator hemodinamika,
meskipun pada penelitian CHEST terlihat bahwa penggunaan HES dapat
meningkatkan tekanan vena sentral dan menurunkan penggunaan vasopressor. Rasio
penggunaan HES terhadap kristaloid pada penelitian ini mendekati 1:1.3, yang
konsisten dengan rasio albumin terhadap kristaloid pada penelitian SAFE maupun
penelitian-penelitian lain.

Pada penelitian CHEST diketahui bahwa HES berhubungan dengan


peningkatan curah urin pada pasien yang beresiko rendah mengalami cedera ginjal
akut namun pada saat yang bersamaan HES juga meningkatan kadar kreatinin serum
yang justru meningkatkan resiko cedera ginjal akut. Selain itu, penggunaan HES juga
berhubungan dengan peningkatan penggunaan produk darah dan peningkatan efek
samping, seperti gatal-gatal.

Namun hingga saat ini masih belum diketahui apakah hasil penelitian
mengenai HES dapat dijadikan patokan untuk larutan koloid semisintetik lainnya,
seperti gelatin atau polygeline. Hasil penelitian observasional terbaru telah
menimbulkan kekhawatiran mengenai resiko cedera ginjal akut pada penggunaan
larutan gelatin. Hanya saja, larutan koloid semisintetik lainnya belum pernah diteliti
dalam suatu percobaan acak terkontrol yang berkualitas tinggi. Dengan bukti-bukti
yang ada saat ini, kita masih sulit untuk membenarkan pernyataan yang menyatakan
bahwa penggunaan koloid semisintetik tidak memberikan manfaat klinis, berpotensi
menimbulkan nefrotoksisitas, dan mahal.

Kristaloid

Natrium klorida (saline) merupakan larutan kristaloid yang paling sering


digunakan di seluruh dunia, terutama Amerika Serikat. Saline normal (0.9%)
mengandung natrium dan klorida dalam konsentrasi yang sama, hal ini yang
membuat larutan ini lebih isotonik jika dibandingkan cairan larutan ekstraseluler.
Istilah saline normal berasal dari penelitian lisis eritrosit oleh fisiolog Belanda,
Hartog Hamburger pada tahun 1882 dan 1883, dari penelitian ini diketahui bahwa
0.9% merupakan konsentrasi garam dalam darah manusia, bukannya konsentrasi
aktual 0.6%.

Perbedaan ion kuat dalam saline 0.9% adalah nol, hampir tidak ada, sehingga
pemberian saline dalam jumlah besar dapat mengakibatkan asidosis metabolik
hiperkloremik. Efek samping seperti disfungsi imunitas dan disfungsi ginjal dapat
ditemukan pada asidosis metabolik, hanya saja konsekuensi klinis dari efek ini masih
belum diketahui.

Kekhawatiran mengenai kelebihan natrium dan air yang berhubungan dengan


resusitasi saline telah melahirkan konsep resusitasi kristaloid volume kecil yang
menggunakan larutan saline hipertonik (3%, 5%, dan 7.5%). Namun penggunaan
saline hipertonik secara dini dalam resusitasi, terutama untuk pasien cedera otak
traumatik, tidak memperbaiki luaran jangka panjang maupun jangka pendek.

Kristaloid yang mengandung senyawa kimiawi yang mendekati cairan


ekstraseluler disebut juga dengan istilah larutanseimbang atau larutan fisiologis.
Pada umumnya, larutan-larutan ini merupakan derivat dari larutan Hartmann dan
Ringer. Hanya saja, tidak ada satu pun cairan tersebut yang benar-benar seimbang
atau fisiologis (Tabel 1).

Larutan garam seimbang relatif bersifat hipotonik karena konsentrasi


garamnya cenderung lebih rendah dari cairan ekstraseluler. Karena adanya instabilitas
larutan yang mengandung bikarbonat dalam kontainer plastik, maka anion alternatif,
seperti laktat, asetat, glukonat, dan malate lebih sering digunakan. Pemberian larutan
garam seimbang yang dilakukan secara berlebihan dapat mengakibatkan
hiperlaktatemia, alkalosis metabolik, dan hipotonisitas (untuk yang mengandung
natrium laktat) dan kardiotoksisitas (untuk yang mengandung asetat). Penambahan
kalsium pada beberapa larutan dapat mengakibatkan mikrotrombus jika
dikombinasikan dengan transfusi sel darah merah yang mengandung pengawet sitrat.

Karena adanya kekhawatiran yang berhubungan dengan kelebihan natrium


dan klorida yang berhubungan dengan saline normal, maka larutan garam seimbang
lebih sering direkomendasikan sebagai cairan resusitasi lini pertama untuk pasien
yang menjalani operasi, pasien trauma, dan pasien yang mengalami ketoasidosis
diabetik. Resusitasi dengan menggunakan larutan garam seimbang merupakan salah
satu komponen penting dalam penatalaksanaan awal pasien luka bakar, hanya saja hal
ini menimbulkan kekhawatiran mengenai efek samping pemberian cairan berlebihan,
oleh karena itu lahir konsep mengenai hipovolemia permisif pada pasien-pasien
seperti itu.

Ada sebuah penelitian observasional kohort yang membandingkan insidensi


komplikasi mayor pada 213 pasien yang hanya mendapatkan 0.9% saline dan 714
pasien yang hanya mendapatkan larutan garam seimbang bebas kalsium (PlasmaLyte)
untuk mengganti cairan yang hilang selama operasi. Penggunaan larutan garam
seimbang berhubungan dengan penurunan insidensi komplikasi mayor (odds ratio,
0.79; 95% CI, 0.66-0.97; p<0.05), serta berhubungan dengan penurunan insidensi
infeksi postoperatif, terapi ganti ginjal, transfusi darah, dan asidosis.
Dari penelitian observasional ICU, diketahui bahwa penggunaan strategi yang
minimal terhadap klorida (menggunakan larutan laktat dan larutan garam seimbang
bebas kalsium) untuk menggantikan cairan intravena yang kaya akan klorida (saline
0.9%, gelatin suksinil, atau albumin 4%) berhubungan dengan penurunan insidensi
cedera ginjal akut dan insidensi terapi ganti ginjal. Sejak meluasnya penggunaan
saline di seluruh dunia (untuk Amerika Serikat saja mencapai >200 juta liter per
tahun), maka diperlukan suatu percobaan acak terkontrol agar dapat mengukur tingkat
keamanan dan khasiat saline untuk kemudian dibandingkan dengan larutan garam
seimbang.

Dosis dan Volume

Kebutuhan dan respon resusitasi cairan untuk pasien-pasien yang sakit berat
biasanya berbeda-beda. Tidak ada satu pun pengukuran fisiologis atau biokimiawi
yang secara adekuat dapat memperkirakan penurunan cairan atau jumlah resusitasi
cairan pada pasien yang sakit akut. Namun, hipotensi sistolik dan oligouria pada
umumnya dijadikan sebagai pemicu untuk melakukan fluid challenge, yang kisaran
volume cairannya antara 200-1000 ml kristaloid atau koloid untuk pasien dewasa.

Penggunaan cairan resusitasi kristaloid dan koloid, yang seringkali diresepkan


oleh anggota tim klinis yang paling junior, serta penggunaan cairan maintenance
hipotonik, dapat mengakibatkan peningkatan dosis kumulatif natrium dan air.
Peningkatan ini berhubungan erat dengan pembentukan edema interstisial yang
berujung pada disfungsi organ.

Hubungan antara keseimbangan cairan kumulatif dan luaran buruk jangka


panjang pernah dilaporkan pada beberapa penelitian mengenai pasien sepsis. Pada
percobaan yang membandingkan strategi cairan liberal vs strategi goal-directed atau
strategi cairan restriktif pada pasien yang mengalami sindrom distres pernapasan akut
(terutama untuk pasien perioperatif), ditemukan bahwa strategi restriktif cairan
berhubungan dengan penurunan morbiditas. Namun, karena belum ada konsensus
mengenai definisi strategi terapi restriktif cairan, maka diperlukan suatu percobaan
berkualitas tinggi pada populasi pasien tertentu untuk mengkonfirmasi temuan
sebelumnya.

Tabel 2: Rekomendasi untuk Resusitasi Cairan pada Pasien yang Mengalami


Penyakit Akut
Cairan harus diberikan secara hati-hati ketika digunakan secara bersamaan
dengan obat-obatan intravena
Pertimbangkan jenis, dosis, indikasi, dan kontraindikasi, toksisitas potensial,
dan biaya terapi
Resusitasi cairan merupakan suatu komponen dari proses fisiologis yang
kompleks
Identifikasi volume cairan yang kemungkinan besar dapat hilang dan ganti
cairan yang hilang dengan volume yang sama
Pertimbangkan natrium serum, osmolaritas, dan status asam-basa ketika
memilih cairan resusitasi
Pertimbangkan keseimbangan cairan kumulatif dan berat badan aktual ketika
memilih dosis cairan resusitasi
Pertimbangkan penggunaan katekolamin sebagai terapi kombinasi dalam
mengatasi syok
Kebutuhan cairan senantiasa berubah setiap saat pada pasien yang sakit berat
Dosis kumulatif resusitasi dan cairan maintenance berhubungan erat dengan
edema interstisial
Edema patologis berhubungan erat dengan luaran klinis yang merugikan
Oligouria merupakan respon yang normal terhadap hipovolemia dan tidak
boleh dijadikan sebagai satu-satunya indikator untuk resusitasi cairan,
terutama untuk pasien yang berada pada periode pasca-resusitasi
Penggunaan strategi fluid challenge pada periode pasca-resusitasi (24 jam)
hingga saat ini masih dipertanyakan
Penggunaan cairan maintenance hipotonik juga masih dipertanyakan jika
dehidrasi sudah berhasil terkoreksi
Pertimbangan tertentu harus digunakan pada kategori pasien yang lain
Pasien perdarahan membutuhkan kontrol perdarahan dan transfusi
menggunakan sel darah merah dan komponen darah lain sesuai indikasi
Cairan garam seimbang, isotonik merupakan cairan resusitasi yang sering
digunakan pada mayoritas pasien yang sakit berat
Pertimbangkan penggunaan saline pada pasien yang mengalami hipovolemia
dan alkalosis
Pertimbangkan penggunaan albumin selama resusitasi awal pada pasien yang
sepsis berat
Kristaloid isotonik atau saline diindikasikan untuk pasien yang mengalami
cedera otak traumatik
Albumin tidak diindikasikan untuk pasien yang mengalami cedera otak
traumatik
Hydroxyethyl starch tidak diindikasikan untuk pasien yang mengalami sepsis
atau pasien yang beresiko mengalami cedera ginjal akut
Tingkat keamanan koloid semisintetik lain hingga saat ini masih belum
diketahui, sehingga penggunaan larutan-larutan tersebut tidak diindikasikan.
Tingkat keamanan saline hipertonik juga belum diketahui
Jenis dan dosis cairan resusitasi yang tepat pada pasien yang mengalami luka
bakar juga masih belum diketahui.

Meskipun penggunaan cairan resusitasi telah menjadi salah satu intervensi


yang paling sering digunakan dalam kedokteran, hingga saat ini belum ada satu pun
cairan resusitasi yang ideal. Pemilihan, penentuan waktu, dan dosis cairan intravena
harus dievaluasi secara hati-hati terutama ketika menggunakan obat-obatan intravena
jenis lain, agar kita dapat memaksimalisasi khasiat dan meminimalisasi toksisitas
iatrogenik.

You might also like