You are on page 1of 17

BAB 1

PENDAHULUAN

Otitis Media Akut (OMA) merupakan inflamasi akut telinga tengah yang
berlangsung kurang dari tiga minggu (Donaldson, 2015). Yang dimaksud dengan
telinga tengah adalah ruang di dalam telinga yang terletak antara membran
timpani dengan telinga dalam serta berhubungan dengan nasofaring melalui tuba
Eustachius (Tortora and Derrickson, 2012).
Faktor usia merupakan salah satu faktor resiko yang cukup berkaitan
dengan terjadinya OMA. Kasus OMA secara umum banyak terjadi pada anak-
anak dibandingkan kalangan usia lainnya. Kondisi demikian terjadi karena faktor
anatomis, dimana pada fase perkembangan telinga tengah saat usia anak-anak,
tuba Eustachius memang memiliki posisi yang lebih horizontal dengan drainase
yang minimal dibandingkan dengan usia lebih dewasa. Hal inilah yang membuat
kecenderungan terjadinya OMA pada usia anak-anak lebih besar dan lebih ekstrim
dibandingkan usia dewasa (Tortora and Derrickson, 2012).
Berdasarkan realita yang ada, Donaldson menyatakan bahwa anak-anak
berusia 6-11 bulan lebih rentan terkena OMA, dimana frekuensinya akan
berkurang seiring dengan pertambahan usia, yaitu pada rentang usia 18-20 bulan.
Pada usia yang lebih tua, beberapa anak cenderung tetap mengalami OMA dengan
persentase kejadian yang cukup kecil dan terjadi paling sering pada usia empat
tahun dan awal usia lima tahun. Setelah gigi permanen muncul, insidensi OMA
menurun dengan signifikan, walaupun beberapa individu yang memang memiliki
kecenderungan tinggi mengalami otitis tetap sering mengalami episode
eksaserbasi akut hingga memasuki usia dewasa. Kadang-kadang, individu dewasa
yang tidak pernah memiliki riwayat penyakit telinga sebelumnya, namun
mengalami Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) yang disebabkan oleh adanya
infeksi virus juga mengalami OMA (Donaldson, 2015).
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi
Telinga dibagi atas telinga luar, telinga tengah dan dalam. Telinga tengah
berbentuk kubus dengan perbatasan (Soepardi et al, 2010):
Luar : membran timpani
Depan : tuba eustachius
Bawah : vena jugularis
Belakang : aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis
Atas : tegmen timpani (meningen/ otak)
Dalam : (dari atas ke bawah) kanalis semisirkularis horizontal,
kanalis fasialis, tingkap lonjong (oval window), tingkap bundar (round
window) dan promontorium.

Gambar 2.1. Telinga dan pembagiannya (Dhingra et al, 2014)

Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang
telinga dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas disebut pars
flaksida (membran Shrapnell), sedangkan bagian bawah pars tensa (membran
propia). Pars flaksida hanya berlapis dua, yaitu bagian luar ialah lanjutan epitel
kulit liang telinga dan bagian dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia, seperti epitel
mukosa saluran napas. Pars tensa mempunyai satu lapis lagi di tengah, yaitu
lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin yang berjalan
secara radier di bagian luar dan sirkuler di bagian dalam. Pada pars flaksida
terdapat daerah yang disebut atik. Di tempat ini terdapat aditus ad antrum, yaitu
lubang yang menghubungkan telinga tengah dengan antrum mastoid (Soepardi et
al, 2010):

Gambar 2.2. Serat radier, sirkular, dan parabolik dari pars tensa (Dhingra et al, 2014)

Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membran timpani


disebut sebagai umbo. Dari umbo bermula suatu refleks cahaya (cone of light) ke
arah bawah yaitu pada pukul 7 untuk membran timpani kiri dan pukul 5 untuk
membran timpani kanan.Refleks cahaya ialah cahaya dari luar yang dipantulkan
oleh membran timpani. Di membran timpani terdapat 2 macam serabut, sirkular
dan radier.Serabut inilah yang menyebabkan timbulnya refleks cahaya yang
berupa kerucut itu. Secara klinis refleks cahaya ini dinilai, misalnya bila letak
refleks cahaya mendatar, berarti terdapat gangguan pada tuba eustachius
(Soepardi et al, 2010).

Gambar 2.3. Penampakan membran timpani kanan (Probst et al, 2006)


Membran timpani dibagi ke dalam 4 kuadran, dengan menarik garis searah
dengan prosesus longus maleus dan garis yang tegak lurus pada garis itu di umbo,
sehingga didapatkan bagian atas-depan, atas-belakang, bawah-depan serta bawah-
belakang, untuk menyatakan letak perforasi membran timpani (Soepardi et al,
2010).
Bila melakukan miringotomi atau parasentesis, dibuat insisi di bagian
bawah belakang membran timpani. Di daerah ini tidak terdapat tulang
pendengaran. Di dalam telinga tengah terdapat tulang-tulang pendengaran yang
tersusun dari luar ke dalam, yaitu maleus, inkus, stapes (Soepardi et al, 2010).
Tulang pendengaran di dalam telinga tengah saling berhubungan. Prosesus
longus maleus melekat pada membran timpani, maleus melekat pada inkus, dan
inkus melekat pada stapes. Stapes terletak pada tingkap lonjong yang
berhubungan dengan koklea. Hubungan antara tulang-tulang pendengaran
merupakan persendian. Tuba eustachius termasuk dalam telinga tengah yang
menghubungkan daerah nasofaring dan telinga tengah (Soepardi et al, 2010).

Gambar 2.4. Tulang pendengaran dan bagian-bagiannya (Dhingra et al, 2014)

2.2 Fisiologi Pendengaran


Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun
telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke
koklea. Getaran tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan ke telinga
tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran
melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas
membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah diamplifikasi ini
akan diteruskan ke stapes yang menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfa
pada skala vestibuli bergerak. Getaran diteruskan melalui membrana Reissner
yang mendorong endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara
membran basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik
yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal
ion terbuka dan terjadi penglepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan
ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan
neurotransmitter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada
saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks
pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis (Soepardi et al, 2010).

2.3 Definisi
Otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga
tengah, tuba eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid (Soepardi et al,
2010). Otitis media akut merupakan inflamasi pada telinga tengah dalam waktu 3
minggu pertama (Donaldson, 2015).

2.4 Epidemiologi
Otitis media akut sering terjadi pada anak, hal ini dikarenakan tuba
eustachius yang lebar dan pendek (Bull, 2003). Di Amerika Serikat, 70% anak
telah mengalami OMA setidaknya satu kali sebelum usia 2 tahun. Puncak
kejadian otitis media akut adalah pada anak berusia 3-18 bulan (Donaldson,
2015).
Anak yang telah mengalami enam kali serangan otitis media atau lebih
disebut dengan istilah "cenderung otitis". Suatu penelitian oleh Howie
menunjukkan bahwa suatu episode infeksi S.pneumoniae dalam tahun pertama
kehidupan telah dihubungkan dengan berlanjutnya insidens episode otitis media
akut berulang. Keadaan ini lebih sering ditemukan pada anak laki-laki
dibandingkan anak wanita. Delapan serotipe S.pneumoniae bertanggung jawab
atas lebih dari 75% episode otitis media akut (Adams et al, 2013).
2.5 Etiologi
Kuman penyebab utama OMA ialah bakteri piogenik, seperti
Streptococcus hemoliticus, Staphylococcus aureus, Pneumococcus.Selain itu,
kadang-kadang ditemukan juga Hemophylus influenza, Escherichia coli dan
Pseudomonas aurugenosa (Soepardi et al, 2010). Sejauh ini Streptococcus
pneumoniae merupakan organisme penyebab tersering pada semua kelompok
umur (Adams et al, 2013). Hemophylus influenza sering ditemukan pada anak
yang berusia di bawah 5 tahun, meskipun juga merupakan patogen pada orang
dewasa (Soepardi et al, 2010). Apapun yang mengganggu fungsi normal
dari tuba eustachius merupakan predisposisi terjadinya infeksi telinga tengah. Hal-
hal tersebut seperti (Dhingra et al, 2014):
Serangan ISPA berulang
Infeksi tonsil dan adenoid
Rinitis dan sinusitis kronik
Alergi
Tumor nasofaring, mengorek hidung
Palatoschisis

2.6 Patofisiologi
Telinga tengah biasanya steril, meskipun terdapat mikroba di nasofaring
dan faring. Secara fisiologik terdapat mekanisme pencegahan masuknya mikroba
ke dalam telinga tengah oleh silia mukosa tuba Eustachius, enzim dan antibodi.
Otitis media akut terjadi karena faktor pertahanan tubuh ini terganggu (Soepardi
et al, 2010). Sebagai pelengkap mekanisme pertahanan di permukaan, suatu
anyaman kapiler subepitel yang penting menyediakan pula faktor-faktor humoral,
leukosit PMN dan sel fagosit lainnya (Adams et al, 2013).
Sumbatan tuba Eustachius merupakan faktor penyebab utama dari otitis
media. Karena fungsi tuba Eustachius terganggu, pencegahan invasi kuman ke
dalam telinga tengah juga terganggu, sehingga kuman masuk ke dalam telinga
tengah dan terjadi peradangan (Soepardi et al, 2010).
Dikatakan juga bahwa pencetus terjadinya OMA ialah infeksi saluran
napas atas. Pada anak, makin sering anak terserang infeksi saluran napas, makin
besar kemungkinan terjadinya OMA. Pada bayi, terjadinya OMA dipermudah
oleh karena tuba Eustachiusnya pendek, lebar dan letaknya agak horizontal
(Soepardi et al, 2010).

Gambar 2.5. Perbedaan tuba eustachius anak-anak dan dewasa (Soepardi et al, 2010).

Terdapat beberapa rute infeksi sehingga terjadi otitis media akut, antara
lain (Dhingra et al, 2014):
1. Melalui tuba eustachius. Merupakan rute paling sering. Infeksi berpindah
melalui lumen.
2. Melalui telinga luar. Trauma perforasi pada membran timpani akan
membuka jalan terjadinya infeksi telinga tengah
3. Peredaran darah. Merupakan rute yang sangat jarang
Seringkali infeksi awalnya disebabkan oleh virus, namun reaksi alergi dan
kondisi inflamasi lain yang melibatkan tuba eustachius turut berperan. Inflamasi
pada nasofaring meluas ke tepi medial dari tuba eustachius, menyebabkan stasis
dan inflamasi. Hal tersebut mengakibatkan penurunan tekanan di dalam telinga
tengah. Keadaan stasis mendukung terjadinya kolonisasi bakteri patogen di dalam
ruang telinga tengah. Respon yang terjadi berupa reaksi inflamasi akut seperti
vasodilatasi, eksudat, invasi leukosit, fagositosis, dan reaksi imunologis lokal di
dalam telinga tengah (Donaldson, 2015).
Untuk menjadi patogen di daerah seperti telinga atau sinus, bakteri harus
melekat pada lapisan mukosa. Infeksi virus yang menyerang dan merusak
permukaan mukosa traktus respiratorius mengakibatkan bakteri dapat tumbuh
patogen di daerah nasofaring, tuba eustachius, dan ruang telinga tengah
(Donaldson, 2015).

2.7 Manifestasi Klinis


Gejala klinik OMA bergantung pada stadium penyakit serta umur pasien.
Pada anak yang sudah dapat berbicara keluhan utama adalah rasa nyeri di dalam
telinga, keluhan di samping suhu tubuh yang tinggi. Biasanya terdapat riwayat
batuk pilek sebelumnya (Soepardi et al, 2010).
Stadium otitis media dibedakan menjadi 5 stadium, yaitu:
2.7.1 Stadium Oklusi Tuba Eustachius
Pada stadium ini, terdapat sumbatan tuba Eustachius yang ditandai oleh
retraksi membran timpani akibat terjadinya tekanan intratimpani negatif dalam
telinga tengah dengan adanya absorpsi
udara. Kadang-kadang membran
timpani tampak normal (tidak ada
kelainan) atau berwarna keruh pucat.
Efusi mungkin telah terjadi tetapi
tidak dapat dideteksi. Stadium ini
sukar dibedakan dengan otitis media
serosa yang disebabkan virus atau
alergi. Tidak terjadi demam pada Gambar 2.6. Stadium oklusi
stadium ini (Soepardi et al, 2010).

2.7.2 Stadium Hiperemis


Pada stadium hiperemis, tampak pembuluh darah yang melebar di
membran timpani atau seluruh membran timpani tampak hiperemis dan edema.
Sekret yang telah terbentuk mungkin masih bersifat eksudat yang serosa sehingga
sukar terlihat. Hiperemis disebabkan oleh oklusi tuba yang berkepanjangan
sehingga terjadinya invasi oleh mikroorganisme piogenik. Inflamasi yang terjadi
pada telinga tengah dan membran timpani menyebabkan kongesti.
Stadium ini merupakan tanda infeksi bakteri yang menyebabkan pasien
mengeluh otalgia, telinga rasa penuh,
dan edema. Pendengaran mungkin
masih normal atau terjadi gangguan
ringan tergantung dari cepatnya proses
hiperemis. Hal ini terjadi karena
peningkatan tekanan udara di kavum
timpani. Gejala berkisar antar dua belas
jam sampai satu hari (Soepardi et al,
2010).
Gambar 2.7. Stadium hiperemis

2.7.3 Stadium Supurasi


Stadium ini ditandai oleh
terbentuknya sekret eksudat purulen atau
bernanah di telinga tengah dan juga di sel-
sel mastoid. Selain itu, edema pada mukosa
telinga tengah menjadi lebih hebat dan sel
epitel superfisial hancur. Terbentuknya
eksudat yang purulen di kavum timpani
menyebabkan membran timpani menonjol
atau bulging ke arah liang telinga luar
(Soepardi et al, 2010). Gambar 2.7. Stadium supurasi
Pada keadaan ini, pasien akan tampak sangat kesakitan, nadi dan suhu
meningkat, dan rasa nyeri yang bertambah hebat di telinga. Pasien selalu gaduh
dan tidak dapat tidur nyenyak. Dapat disertai dengan gangguan tuli konduktif.
Pada bayi, demam tinggi dapat disertai muntah dan kejang (Soepardi et al, 2010).
Stadium supurasi yang berlanjut dan tidak ditangani dengan benar akan
menimbulkan iskemia membran timpani akibat nekrosis mukosa dan submukosa
membran timpani. Terjadi penumpukan nanah yang terus berlangsung di kavum
timpani dan akibat tromboflebitis vena-vena kecil menyebabkan tekanan kapiler
membran timpani meningkat lalu menimbulkan nekrosis. Daerah nekrosis terasa
lebih lembek dan berwarna kekuningan atau yellow spot (Soepardi et al, 2010).
Keadaan stadium supurasi dapat ditangani dengan cara miringotomi.
Bedah kecil ini dilakukan dengan cara menginsisi pada membran timpani
sehingga nanah akan keluar dari telinga tengah menuju liang telinga luar. Luka
insisi pada membran timpani akan menutup kembali. Apabila terjadi ruptur,
lubang tempat perforasi lebih sulit menutup. Membran timpani tidak akan
menutup kembali jika membrannya tidak utuh lagi (Soepardi et al, 2010).

2.7.4 Stadium perforasi


Stadium perforasi ditandai oleh
ruptur membran timpani sehingga sekret
berupa nanah yang jumlahnya banyak
akan mengalir dari telinga tengah ke
liang telinga luar. Kadang-kadang
pengeluaran sekret bersifat pulsasi
(berdenyut). Stadium ini disebabkan
oleh terlambatnya pemberian antibiotik
dan tingginya virulensi kuman (Soepardi
et al, 2010). Gambar 2.8. Stadium perforasi

Setelah nanah keluar, anak menjadi tenang, suhu tubuh menurun, dan
dapat tidur nyenyak. Jika membran timpani tetap perforasi dan pengeluaran sekret
atau nanah tetap berlangsung melebihi tiga minggu, maka keadaan ini disebut
otitis media supuratif subakut. Jika berlangsung melebihi satu setengah bulan
sampai dua bulan disebut otitis media supuratif kronik (Soepardi et al, 2010).

2.7.5 Stadium resolusi


Keadaan ini merupakan stadium akhir otitis media akut yang diawali
dengan berkurangnya atau berhentinya otore. Stadium resolusi ditandai oleh
membran timpani berangsur normal hingga perforasi membran timpani menutup
kembali dan sekret purulen berkurang dan akhirnya kering sehingga pendengaran
kembali normal. Stadium ini terjadi walaupun tanpa pengobatan jika membran
timpani utuh, daya tahan tubuh baik, dan virulensi kuman rendah (Soepardi et al,
2010).
Apabila stadium resolusi gagal terjadi maka akan berlanjut menjadi otitis
media supuratif kronik. Kegagalan stadium
ini berupa perforasi membran timpani
menetap dengan sekret yang keluar terus
menerus atau hilang timbul. Otitits media
supuratif akut dapat menimbulkan gejala
sisa berupa otitis media serosa. Otitis
media serosa terjadi jika sekret menetap di
kavum timpani tanpa mengalami perforasi Gambar 2.9. Membran timpani
membran timpani (Soepardi et al, 2010). yang utuh

2.8 Penatalaksanaan
Pengobatan OMA tergantung pada stadium penyakitnya. Pada stadium
oklusi pengobatan terutama bertujuan untuk membuka kembali tuba Eustachius,
sehingga tekanan negatif di telinga tengah hilang. Untuk ini diberikan obat tetes
hidung. HCl efedrin 0,5% dalam larutan fisiologis (anak < 12 tahun) atau HCl
efedrin 1% dalam alrutan fisiologis untuk yang berumur di atas 12 tahun dan
orang dewasa. Selain itu sumber infeksi harus diobati. Antibiotika diberikan
apabila penyebab penyakit adalah kuman, bukan oleh virus atau alergi (Soepardi
et al, 2010).
Terapi pada stadium presupurasi ialah antibiotika, obat tetes hidung, dan
analgetika. Antibiotika yang dianjurkan ialah dari golongan penisilin atau
ampisilin.Terapi awal diberikan penisilin intramuskular agar didapatkan
konsentrasi yang adekuat di dalam darah, sehingga tidak terjadi mastoiditis yang
terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa dan
kekambuhan.Pemberian antibiotika dianjurkan minimal selama 7 hari.Bila pasien
alergi terhadap penisilin, maka diberikan eritromisin. Pada anak, ampisilin
diberikan dengan dosis 50-100 mg/kgBB per hari, dibagi dalam 4 dosis, atau
amoksisilin 40 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis, atau eritromisin 40
mg/kgBB/hari (Soepardi et al, 2010).

Gambar 2.4. Agen antibakterial untuk OMA (Dhingra et al, 2014)

Pada stadium supurasi selain diberikan antibiotika, idealnya harus disertai


dengan miringotomi, bila membran timpani masih utuh. Dengan miringotomi
gejala-gejala klinis lebih cepat hilang dan ruptur dapat dihindari. Miringotomi
ialah tindakan insisi pada pars tensa membran timpani, agar terjadi drainase sekret
keluar dari telinga tengah ke liang telinga luar (Soepardi et al, 2010).
Istilah miringotomi sering dikacaukan dengan parasentesis.
Timpanosentesis sebetulnya berarti pungsi pada membran timpani untuk
mendapatkan sekret guna pemeriksaan mikrobiologik (dengan semprit dan jarum
khusus). Miringotomi merupakan tindakan pembedahan kecil yang dilakukan
dengan syarat tindakan ini harus dilakukan secara a-vue (dilihat langsung), anak
harus tenang dan dapat dikuasai, (sehingga membran timpani dapat terlihat
dengan baik). Lokasi miringotomi ialah di kuadran posterior-inferior. Untuk
tindakan ini haruslah memakai lampu kepala yang mempunyai sinar cukup terang,
memakai corong telinga yang sesuai dengan besar liang telinga, dan pisau khusus
(miringotom) yang digunakan berukuran kecil dan steril (Soepardi et al, 2010).
Komplikasi miringotomi yang kemungkinan terjadi ialah perdarahan
akibat trauma pada liang telinga luar, dislokasi tulang pendengaran, trauma pada
fenestra rotundum, trauma pada n.fasialis, trauma pada bulbus jugulare (bila ada
anomali letak). Mengingat komplikasi itu, maka dianjurkan untuk melakukan
miringotomi dengan nekrosis umum dan memakai mikroskop. Tindakan
miringotomi dengan memakai mikroskop, selain aman, dapat juga mengisap
sekret dari telinga tengah sebanyak-banyaknya. Hanya dengan cara ini biayanya
lebih mahal (Soepardi et al, 2010).
Bila terapi sudah adekuat sebetulnya miringotomi tidak perlu dilakukan,
kecuali bila jelas tampak adanya nanah di telinga tengah. Sebagian ahli
berpendapat bahwa miringotomi tidak perlu dilakukan, apabila terapi yang
adekuat sudah dapat diberikan (antibiotika yang tepat & dosis cukup). Komplikasi
timpanosintesis kurang lebih sama dengan komplikasi miringotomi (Soepardi et
al, 2010).
Pada stadium perforasi sering terlihat sekret banyak keluar dan kadang
terlihat sekret keluar secara berdenyut (pulsasi). Pengobatan yang diberikan
adalah obat cuci telinga H2O2 3% selama 3-5 hari serta antibiotika yang adekuat.
Biasanya sekret akan hilang dan perforasi dapat menutup kembali dalam waktu 7-
10 hari (Soepardi et al, 2010).
Pada stadium resolusi, maka membran timpani berangsur normal kembali,
sekret tidak ada lagi dan perforasi membran timpani menutup. Bila tidak terjadi
resolusi biasanya akan tampak sekret mengalir di liang telinga luar melalui
perforasi di membran timpani. Keadaan ini dapat disebabkan karena berlanjutnya
edema mukosa telinga tengah. Pada keadaan demikian antibiotika dapat
dilanjutkan sampai 3 minggu. Bila 3 minggu setelah pengobatan sekret masih
tetap banyak, kemungkinan telah terjadi mastoiditis (Soepardi et al, 2010).
Bila OMA berlanjut dengan keluarnya sekret dari telinga tengah lebih dari
3 minggu, maka keadaan ini disebut otitis media supuratif subakut. Bila perforasi
menetap dan sekret tetap keluar lebih dari satu setengah bulan atau dua bulan,
maka keadaan ini disebut otitis media supuratif kronis (OMSK) (Soepardi et al,
2010).

2.9 Komplikasi
Komplikasi otitis media terjadi apabila sawar (barrier) pertahanan telinga
tengah yang normal dilewati, sehingga memungkinkan infeksi menjalar ke
struktur di sekitarnya. Pertahanan pertama ini adalah mukosa kavum timpani yang
juga seperti mukosa saluran napas, mampu melokalisasi infeksi. Bila sawar ini
runtuh, masih ada sawar kedua, yaitu dinding tulang kavum timpani dan sel
mastoid. Bila sawar ini runtuh, maka struktur lunak di sekitarnya akan terkena
(Soepardi et al, 2010).
Pada otitis media akut atau suatu eksaserbasi akut penyebaran biasanya
melalui osteotromboflebitis atau hematogen. Penyebaran melalui
osteotromboflebitis dapat diketahui dengan adanya (1) komplikasi terjadi pada
awal suatu infeksi atau eksaserbasi akut, dapat terjadi pada hari pertama atau
kedua sampai hari kesepuluh, (2) gejala prodromal tidak jelas seperti didapatkan
pada gejala meningitis lokal, (3) pada operasi, didapatkan dinding tulang telinga
tengah utuh, dan tulang serta lapisan mukoperiosteal meradang dan mudah
berdarah, sehingga disebut juga mastoiditis hemoragika (Soepardi et al, 2010).
1. Mastoiditis Akut
Terjadi empiema di rongga mastoid akibat terjadinya blokade di daerah
epitimpanum. Sering diikuti dengan abses di belakang daun telinga (abses
subperiostel mastoid). Perlu segera di lakukan evakuasi empiema lewat
pendekatan mastoidektomi simpel (Schwartze) (Harmadji et al, 2005).

2. Komplikasi Intrakranial
Mastoiditis akut kalau tidak dapat segera diatasi dapat meluas ke dalam
intrakranial (meningitis dan abses otak) (Harmadji et al, 2005).

3. Paresis nervus fasialis


Nervus fasialis dapat terkena oleh penyebaran infeksi langsung ke kanalis
fasialis. Akumulasi pus di dalam kavum timpani dapat menimbulkan kompresi
pada nervus fasialis. Pada OMA operasi dekompresi kanalis fasialis tidak
diperlukan. Perlu diberikan antibiotik dosis tinggi dan terapi penunjang lainnya,
serta menghilangkan tekanan di dalam kavum timpani dengan drainase. Bila
dalam jangka waktu tertentu ternyata tidak ada perbaikan setelah diukur dengan
elektrodiagnostik (misalnya elektromiografi), barulah dipikirkan untuk melakukan
dekompresi (Soepardi et al, 2010; Harmadji et al, 2005).
2.10 Prognosis
Kematian yang disebabkan oleh OMA sangat jarang di era modern ini.
Dengan terapi antibiotik yang efektif, tanda sistemik seperti demam dan letargis
akan menghilang bersamaan dengan hilangnya nyeri dalam waktu 48 jam. Dan
biasanya tuli pendengaran konduktif juga akan membaik. Efusi telinga tengah dan
tuli pendengaran konduktif dapat menetap selama periode terapi, dengan
perkiraan 70% anak akan mengalami efusi telinga tengah dalam waktu 14 hari,
50% dalam satu bulan, 20% dalam 2 bulan, dan 10% setelah 3 bulan (Donaldson,
2014).
BAB III
KESIMPULAN

Otitis Media Akut (OMA) merupakan peradangan sebagian atau seluruh


bagian mukosa telinga tengah, tuba Eusthacius, antrum mastoid dan sel-sel
mastoid yang berlangsung mendadak yang disebabkan oleh invasi bakteri maupun
virus ke dalam telinga tengah baik secara langsung maupun secara tidak langsung
sebagai akibat dari infeksi saluran napas atas yang berulang.
Terdapat 5 stadium OMA, yaitu: stadium oklusi, hiperemis, supurasi,
perforasi, dan resolusi. Pengobatan yang diberikan seuai dengan stadium
penyakitnya. Dengan terapi antibiotik yang efektif prognosis OMA baik.
DAFTAR PUSTAKA

Adams, G.L., Boies, L.R., dan Hilger P.A., 2013. Boies: Buku Ajar Penyakit
THT Edisi 6. Jakarta: EGC.
Bull T.R. 2003. Color Atlas of ENT Diagnosis 6th ed. London: Thieme.
Dhingra P.L, Dhingra S., and Dhingra D., 2014.Disease of Ear Nose and Throat &
Head and Neck Surgery 6th ed. Haryana: Elsevier.
Donaldson, J.D. 2015. Acute Otitis Media. Medscape reference.
Harmadji, S., Soepriyadi, dan Wisnubroto. 2005. Pedoman Diagnosis dan Terapi
Bag/. In. dr. Soetomo, Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu
Penyakit Telinga, Hidung, dan Tenggorokan Edisi ke-3 (pp. 10-13).
Surabaya: FK UNAIR.
Probst R, Grevers G, Iro H. 2006. Basic Otorhinolaryngology A Step by Step
Learning Guide. Stuttgart: Thieme.
Soepardi, E.A., Iskandar N., Bashiruddin J., dan Restuti R.D., 2010. Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher Edisi 6.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Tortora, G.J. and Derrickson, B., 2012 Principles of Anatomy and Physiology
13th ed. USA: Biological Science Textbook.

You might also like