You are on page 1of 19

DAFTAR ISI

HALAMAN DEPAN .........................................................................................i


LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR ..........................................................................................iv
DAFTAR SINGKATAN ....................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................2
A. Definisi ..................................................................................................2
B. Etiologi ..................................................................................................2
C. Epidemiologi .........................................................................................2
D. Patofisiologi ..........................................................................................3
E. Manifestasi Klinis .................................................................................4
F. Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang ................................................5
G. Diagnosis Banding ................................................................................10
H. Klasifikasi dan Penatalaksanaan ...........................................................11
I. Komplikasi ............................................................................................12
J. Prognosis ..............................................................................................12
BAB III KESIMPULAN .....................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................14

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Gibbus...4

Gambar 2. Sinar-X proyeksi AP pasien spondylitis TB.6

Gambar 3.Rontgen lateral tulang belakang pada anak usia 3 tahun.6

Gambar 4.Pengukuran angulasi kifotik metode Konstam.7

Gambar 5.CT-scan potongan aksial setingkat T 12...8

Gambar 6. Pencitraan MRI potongan sagital pasien spondilitis TB...9

Gambar 7. Klasifikasi GATA untuk spondylitis TB....11

Gambar 8. Dosis Rekomendasi OAT pada anak dan dewasa...11

iii
DAFTAR SINGKATAN

AIDS : Acquired Immunodeficiency Syndrome

AP : Antero-Posterior

BTA : Basil Tahan Asam

CTscan : Computed Tomography Scan

DNA : Deoxyribonucleic Acid

ETB : Etambutol

GATA : Gulhane Askeri Tip Akademisi

HIV : Human Immunodeficiency Virus

INH : Isoniazid

K : Konstam

L : Lumbalis

MRI : Magnetic Resonance Imaging

OAT : Obat Anti Tuberkulosis

PCR : Polymerase Chain Reaction

PRZ : Pirazinamid

RIF : Rifampisin

SM : Streptomisin

T : Torakalis

TB : Tuberkulosis

WHO : World Health Organization

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Spondilitis tuberkulosa atau tuberkulosis spinal yang dikenal pula dengan


nama Potts disease of the spine atau tuberculous vertebral osteomyelitis
merupakan suatu penyakit yang banyak terjadi di seluruh dunia. Terhitung kurang
lebih 3 juta kematian terjadi setiap tahunnya dikarenakan penyakit ini. Penyakit
ini pertama kali dideskripsikan oleh Percival Pott pada tahun 1779 yang
menemukan adanya hubungan antara kelemahan alat gerak bawah dengan
kurvatura tulang belakang, tetapi hal tersebut tidak dihubungkan dengan basil
tuberkulosa hingga ditemukannya basil tersebut oleh Koch tahun 1882, sehingga
etiologi untuk kejadian tersebut menjadi jelas. Di waktu yang lampau, spondilitis
tuberkulosa merupakan istilah yang dipergunakan untuk penyakit pada masa anak-
anak, terutama berusia 3 5 tahun. Saat ini dengan adanya perbaikan pelayanan
kesehatan, maka insidensi usia ini mengalami perubahan sehingga golongan umur
dewasa menjadi lebih sering terkena dibandingkan anak-anak. Terapi konservatif
yang diberikan pada pasien tuberkulosa tulang belakang sebenarnya memberikan
hasil yang baik, namun pada kasus kasus tertentu diperlukan tindakan operatif
serta tindakan rehabilitasi yang harus dilakukan dengan baik sebelum ataupun
setelah penderita menjalani tindakan operatif (Zhang H., et al. 2012).

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Spondilitis tuberkulosis adalah infeksi Mycobacterium tuberculosis pada tulang
belakang.Infeksi spinal oleh tuberkulosis, atau yang biasa disebut sebagai
spondilitis tuberkulosis (TB), sangat berpotensi menyebabkan morbiditas
serius, termasuk defisit neurologis dan deformitas tulang belakang yang
permanen (Garcia A. R., et al. 2013).
B. Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh karena bakteri berbentuk basil (basilus). Bakteri
yang paling sering menjadi penyebabnya adalah Mycobacterium tuberculosis,
walaupun spesies Mycobacterium yang lainpun dapat jugasebagai
penyebabnya, seperti Mycobacterium africanum (penyebab paling sering
tuberkulosa di Afrika Barat), bovine tubercle baccilus, ataupun non-
tuberculous mycobacteria (banyak ditemukan pada penderita HIV). Perbedaan
jenis spesies ini menjadi penting karena sangat mempengaruhi pola resistensi
obat (Garcia A. R., et al. 2013).
C. Epidemiologi
Pada tahun 2005, World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa
jumlah kasus TB baru terbesar terdapat di Asia Tenggara (34 persen insiden
TB secara global) termasuk Indonesia. Jumlah penderita diperkirakan akan
terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penderita acquired
immunodeficiency syndrome (AIDS) oleh infeksi human immunodeficiency
virus (HIV). Satu hingga lima persen penderita TB, mengalami TB
osteoartikular. Separuh dariTB osteoartikular adalah spondilitis TB.Di negara
berkembang, penderita TB usiamuda diketahui lebih rentan terhadap spondilitis
TB daripada usia tua. Sedangkandi negara maju, usia munculnya spondylitis
TB biasanya pada dekade kelima hingga keenam (Garcia A. R., et al. 2013).

2
D. Patofisiologi
Spondilitis TB dapat terjadi akibat penyebaransecara hematogen/limfogen
melalui noduslimfatikus para-aorta dari fokus tuberculosis di luar tulang
belakang yang sebelumnyasudah ada. Pada anak, sumber infeksibiasanya
berasal dari fokus primer di paru,sedangkan pada orang dewasa berasal dari
fokus ekstrapulmoner (usus, ginjal, tonsil). Dari paru-paru, kuman dapat
sampai ketulang belakang melalui pleksus venosus paravertebral Batson. Lesi
tuberkulosis pada tulang belakangdimulai dengan inflamasi paradiskus (Mak
K. C.,et al. 2012). Setelah tulang mengalami infeksi, hiperemia, edemasumsum
tulang belakang dan osteoporosisterjadi pada tulang. Destruksi tulang
terjadiakibat lisis jaringan tulang, sehingga tulangmenjadi lunak dan gepeng
terjadi akibatgaya gravitasi dan tarikan otot torakolumbal.Selanjutnya,
destruksi tulang diperberat oleh iskemi sekunder akibat
tromboemboli,periarteritis, endarteritis. Karena transmisibeban gravitasi pada
vertebra torakal lebihterletak pada setengah bagian anterior badan vertebra,
maka lesi kompresi lebih banyakditemukan pada bagian anterior badanvertebra
sehingga badan vertebra bagiananterior menjadi lebih pipih daripada
bagianposterior. Resultan dari hal-hal tersebutmengakibatkan deformitas
kifotik. Deformitaskifotik inilah yang sering disebut sebagaigibbus (gambar 1)
(Issack P. S.,et al. 2012).

3
Gambar 1 Gibbus. Tampak penonjolan bagian posteriortulang belakang ke arah dorsal akibat
angulasi kifotikvertebra.
Beratnya kifosis tergantung pada jumlahvertebra yang terlibat, banyaknya
ketinggiandari badan vertebra yang hilang, dan segmentulang belakang yang
terlibat. Vertebra torakallebih sering mengalami deformitas kifotik. Pada
vertebra servikal dan lumbal, transmisibeban lebih terletak pada setengah
bagianposterior badan vertebra sehingga bilasegmen ini terinfeksi, maka
bentuk lordosisfisiologis dari vertebra servikal dan lumbalperlahan-lahan akan
menghilang dan mulai menjadi kifosis (Issack P. S.,et al. 2012).
E. Manifestasi Klinis
Pasien biasanya mengeluhkannyeri lokal tidak spesifik pada daerah
vertebrayang terinfeksi. Demam subfebril, menggigil,malaise, berkurangnya
berat badan atauberat badan tidak sesuai umur pada anakyang merupakan
gejala klasik TB paru jugaterjadi pada pasien dengan spondilitis TB. Pada
pasien dengan serologi HIV positif,rata-rata durasi dari munculnya gejala

4
awalhingga diagnosis ditegakkan adalah selama 28 minggu. Apabila sudah
ditemukandeformitas berupa kifosis, maka patogenesis TB umumnya spinal
sudah berjalan selamakurang lebih tiga sampai empat bulan. Defisit neurologis
terjadi pada 12 50 persenpenderita. Defisit yang mungkin antara
lain:paraplegia, paresis, hipestesia, nyeri radicular dan/ atau sindrom kauda
equina. Nyeriradikuler menandakan adanya gangguanpada radiks
(radikulopati). Spondilitis TBservikal jarang terjadi, namun
manifestasinyalebih berbahaya karena dapat menyebabkandisfagia dan stridor,
tortikollis, suara serakakibat gangguan n. laringeus. Jika n. frenikus terganggu,
pernapasan terganggu dan timbulsesak napas (disebut juga Millar asthma).
Umumnya gejala awal spondilitis servikaladalah kaku leher atau nyeri leher
yang tidak spesifik. Nyeri lokal dan nyeri radikular disertaigangguan motorik,
sensorik dan sfingter distaldari lesi vertebra akan memburuk jika penyakit tidak
segera ditangani (Issack P. S.,et al. 2012).
F. Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang
1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Nyeri punggung belakang adalah keluhanyang paling awal, sering tidak
spesifik danmembuat diagnosis yang dini menjadi sulit. Maka dari itu,
setiap pasien TB paru dengankeluhan nyeri punggung harus
dicurigaimengidap spondilitis TB sebelum terbuktisebaliknya.
2. Pemeriksaan Radiologi
Radiologi hingga saat ini merupakanpemeriksaan yang paling
menunjanguntuk diagnosis dini spondilitis TB karenamemvisualisasi
langsung kelainan fisikpada tulang belakang. Terdapat
beberapapemeriksaan radiologis yang dapat digunakanseperti sinar-X,
Computed Tomography Scan (CTscan),dan Magnetic Resonance Imaging
(MRI).
a. Sinar-X
Sinar-X merupakan pemeriksaan radiologis awal yang paling sering
dilakukan dan berguna untuk penapisan awal. Proyeksi yang diambil
sebaiknya dua jenis, proyeksi AP dan lateral. Pada fase awal, akan

5
tampak lesi osteolitik pada bagian anterior badan vertebra dan
osteoporosis regional. Penyempitan ruang diskus intervertebralis
menandakan terjadinya kerusakan diskus. Pembengkakan jaringan
lunak sekitarnya memberikan gambaran fusiformis. Pada fase lanjut,
kerusakan bagian anterior semakin memberat dan membentuk angulasi
kifotik (gibbus). Bayangan opak yang memanjang paravertebral dapat
terlihat, yang merupakan cold abscess. Namun, sayangnya sinar-X tidak
dapat mencitrakan cold abscess dengan baik (gambar 2). Dengan
proyeksi lateral, klinisi dapat menilai angulasi kifotik diukur dengan
metode Konstam (gambar 4) (Garcia A. R., et al. 2013).

Gambar 2 Pencitraan sinar-X proyeksi AP pasien spondylitis TB. Sinar-X


memperlihatkan iregularitas dan berkurangnya ketinggian dari badan vertebra T9
(tanda bintang), sertajuga dapat terlihat massa paravertebral yang samar,
yangmerupakancold abscess (panah putih)(Garcia A. R., et al. 2013).

Gambar 3 Rontgen lateral tulang belakang pada anak usia 3 tahun menunjukkan (a,
b) deformitas kifosis moderat (c) kelainan kifosis yang parah pada tulang belakang

6
pasien TB. (d, e) x-ray lateral & diagram garis yang menunjukkan vertebra proksimal
yang bertumpu pada permukaan anterior ke vertebra distal (Jain A. K.,et al. 2014).

Gambar 4 Pengukuran angulasi kifotik metode Konstam.Pertama, Tarik garis khayal


sejajar end-plate superior badanvertebra yang sehat di atas dan di bawah lesi. Kedua
garistersebut diperpanjang ke anterior sehingga bersilangan.Sudut K pada gambar
adalah sudut Konstam, sedangkanSudut A adalah angulasi aktual yang dihitung. Pada
contoh gambar ini angulasi kifotik adalah sebesar 30 (Jain A. K.,et al. 2014).
b. CT Scan
CT-scan dapat memperlihatkan dengan jelas sklerosis tulang, destruksi
badan vertebra, abses epidural, fragmentasi tulang, dan penyempitan
kanalis spinalis (gambar 5). CT myelography juga dapat menilai dengan
akurat kompresi medula spinalis apabila tidak tersedia pemeriksaan
MRI. Pemeriksaan ini meliputi penyuntikan kontras melalui punksi
lumbal ke dalam rongga subdural, lalu dilanjutkan dengan CT scan.
Selain hal yang disebutkan di atas, CT scan dapat juga berguna untuk
memandu tindakan biopsi perkutan dan menentukan luas kerusakan
jaringan tulang. Penggunaan CT scan sebaiknya diikuti dengan
pencitraan MRI untuk visualisasi jaringan lunak (Garcia A. R., et al.
2013).

7
Gambar 5 Pencitraan CT-scan pasien spondilitis TB potongan aksial setingkat T 12.
Pada CT-scan dapat terlihat destruksi pedikel kiri vertebra L3 (panah hitam),
edemajaringan perivertebra (kepala panah putih), penjepitanmedula spinalis (panah
kecil putih), dan abses psoas (panahputih besar)(Garcia A. R., et al. 2013).
c. MRI
MRI merupakan pencitraan terbaik untuk menilai jaringan lunak.
Kondisi badan vertebra, diskus intervertebralis, perubahan sumsum
tulang, termasuk abses paraspinal dapat dinilai dengan baik dengan
pemeriksaan ini. Untuk mengevaluasi spondilitis TB, sebaiknya
dilakukan pencitraan MRI aksial, dan sagital yang meliputi seluruh
vertebra untuk mencegah terlewatkannya lesi noncontiguous. MRI juga
dapat digunakan untuk mengevaluasi perbaikan jaringan. Peningkatan
sinyal-T1 pada sumsum tulang mengindikasikan pergantian jaringan
radang granulomatosa oleh jaringan lemak dan perubahan MRI ini
berkorelasi dengan gejala klinis(Jain A. K.,et al. 2012).

8
Gambar 6 Pencitraan MRI potongan sagital pasien spondilitis TB. Pada MRI dapat
dilihat destruksi dari badan vertebra L3-L4 yang menyebabkan kifosis berat (gibbus),
infiltrasi jaringan lemak (panah putih), penyempitan kanalis.spinalis, dan penjepitan
medula spinalis. Gambaran inikhasmenyerupai akordion yang sedang ditekuk(Jain A.
K.,et al. 2012).
d. Pencitraan lainnya
1) Ultrasonografi dapat digunakan untuk mencari massa pada daerah
lumbar. Dengan pemeriksaan ini dapat dievaluasi letak dan volume
abses/massa iliopsoas yang mencurigakan suatu lesi tuberkulosis.
2) Bone scan pada awalnya sering digunakan,namun pemeriksaan ini
hanya bernilai positifpada awal perjalanan penyakit. Selain itu,
bone scan sangat tidak spesifik dan ber-resolusi rendah. Berbagai
jenis penyakit sepertidegenerasi, infeksi, keganasan dan

9
traumadapat memberikan hasil positif yang samaseperti pada
spondilitis TB.
3. Biopsi dan pemeriksaan mikrobiologis
Untuk memastikan diagnosis secara pasti, perlu dilakukan biopsi tulang
belakang atau aspirasi abses. Biopsi tulang dapat dilakukan secara
perkutan dan dipandu dengan CT scan atau fluoroskopi. Spesimen
kemudiandikirim ke laboratorium untuk pemeriksaan histologis, kultur dan
pewarnaan basil tahan asam (BTA), gram, jamur dan tumor. Kultur BTA
positif pada 6089 persen kasus.
4. Pemeriksaan laboratorium
Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat digunakan untuk mendeteksi
DNA kuman tuberkulosis. Lain halnya dengan kultur yang memerlukan
waktu lama, pemeriksaan ini sangat akurat dan cepat (24 jam), namun
memerlukan biaya yang lebih mahal dibandingkan pemeriksaan
lainnya(Garcia A. R., et al. 2013).
G. Diagnosis Banding
1. Spondilitis piogenik
2. Tumor metastatik spinal
3. Keganasan primer
4. Fraktur kompresi
5. Spondilitis bruselosis(Garcia A. R., et al. 2013).

10
H. Klasifikasi dan Penatalaksanaan

Gambar 7Klasifikasi Gulhane Askeri Tip Akademisi (GATA) untuk spondylitis TB (Li L.,et
al. 2013).

Gambar 8Dosis Rekomendasi OAT pada anak (di bawah 12 tahun) dan dewasa. INH, RIF,
PRZ, ETB, SM.Dosis berdasarkan berat badan harus disesuaikan pertambahan berat badan.
Semua pasien yang menerima dosis intermiten harus dipantau langsung terapinya. PRZ dan
SM tidak dipakai pada wanita hamil. ETB tidak disarankan untuk pasien anak karena sulit
diobservasi fungsi visualnya (Li L.,et al. 2013).

11
Imobilisasi Pasca-operasi
Imobilisasi yang singkat akan mengurangi morbiditas pasien. Dengan
instrumentasi, kebutuhan imobilisasi semakin berkurang sehingga pasien dapat
cepat mencapai status ambulatorik. Jenis imobilisasi spinal tergantung pada
tingkat lesi. Pada daerah servikal dapat diimobilisasi dengan jaket Minerva;
pada daerah vertebra torakal, torakolumbal dan lumbal bagian atas dapat
diimobilisasi menggunakan bodycastjacket. Sedangkan pada lumbal bawah,
lumbosakral, dan sakral dilakukan imobilisasi dengan body jacket atau korset
dari gips yang disertai dengan fiksasi salah satu sisi panggul (Vitriana, 2002).

Tirah baring, Imobilisasi, dan Fisioterapi


Terapi pada penderita spondilitis TB dapat pula berupa tirah
baringdisertai dengan pemberian kemoterapi, dengan atau tanpa imobilisasi.
Tindakan ini biasanya dilakukan pada penyakit yang telah lanjut atau bila tidak
tersedia keterampilan dan fasilitas yang cukup untuk melakukan operasi tulang
belakang, atau bila terdapat permasalahan teknik operasi yang dianggap terlalu
berbahaya. Jenis imobilisasi yang dilakukan sama dengan imobilisasi pasca-
operasi yang telah dijelaskan sebelumnya. Imobilisasi dilakukan setidaknya
selama enam bulan.Tirah baring diikuti dengan pemakaian gips untuk
melindungi tulang belakang pada posisi ekstensi, terutama pada keadaan akut
atau fase aktif (Vitriana, 2002).
Pemasangan gips ini ditujukan untuk imobilisasi spinal, mengurangi
kompresi medula spinalis dan progresi deformitas lebih lanjut. Istirahat di
tempat tidur dapat berlangsung hingga empat minggu. Alwali dkk melaporkan
bahwa imobilisasi dengan custom-made spinal jacket bersamaan dengan
kemoterapi dapat menjadi alternatif jika tindakan bedah tidak bisa dilakukan
(Alwali, 2003).
Fisioterapi diperlukan sepanjang ditemukan adanya gangguan fungsional.
Dalam hal ini gangguan fungsional dikaitkan dengan cedera medula spinalis
yang menimbulkan kelumpuhan motorik, sensorik, dan autonom. Intervensi
fisioterapi yang diberikan disesuaikan dengan modalitas yang
terganggu(Vitriana, 2002).
Paraplegia yang mengharuskan pasien untuk terus duduk atau tidur
berpotensi menyebabkan ulkus dekubitus. Maka dari itu, posisi baring harus
sering diganti. Selain itu, pemeriksaan kulit secara menyeluruh harus rutin
dilakukan. Pasien dengan gangguan defekasi dan berkemih dapat dibantu
dengan kateterisasi intermiten dan evakuasi feses setiap hari. Mobilisasi
dengan kursi roda (wheelchair) dianjurkan setidaknya 10 hari setelah dimulai
pengobatan. Jika pasien sudah stabil, dapat rencanakan untuk pelatihan
kemandirian, kemampuan sosial dan melakukan aktivitas sehari-hari dan

12
berikutnya dapat diberikan pelatihan vokasional. Studi prospektif pada pasien
spodilitis TB yang diterapi secara medikamentosa atau bedah, direhabilitasi
mulai dari masa pre-operasi hingga 6 bulan pasca-operasi dekompresi dan fusi
spinal, membuktikan bahwa fisioterapi mampu meningkatkan kualitas hidup
pasien spondilitis TB, terlebih jika dikombinasi dengan terapi kuratif yang
adekuat. Terapi motorik yang dilakukan antara lain difokuskan pada otot dada,
perut, tungkai bawah, batang tubuh, dan ekstensor sakrospinal (Nas, 2004)

I. Komplikasi
1. Potts paraplegia
2. Empyema tuberkulosa
3. Perdarahan (Garcia A. R., et al. 2013).
J. Prognosis
Prognosis pasien spondilitis TB dipengaruhi oleh: usia, deformitas kifotik,
letak lesi, defisit neurologis, diagnosis dini, kemoterapi, fusi spinal, komorbid,
tingkat edukasi dan sosioekonomi. Usia muda dikaitkan dengan prognosis yang
lebih baik. Namun, Parthasarathy dkk menyimpulkan bahwa pada pasien usia
dibawah 15 tahun dan dengan kifosis lebih dari 30o cenderung tidak responsif
terhadap pengobatan. Kifosis berat, selain memperburuk estetika, dapat
mengurangi kemampuan bernafas (Issack P. S., et al. 2012). Diagnosis dini
sebelum terjadi destruksi badan vertebra yang nyata dikombinasi dengan
kemoterapi yang adekuat menjanjikan pemulihan yang sempurna pada semua
kasus. Adanya resistensi terhadap OAT memperburuk prognosis spondilitis
TB. Komorbid lain seperti AIDS berkaitan dengan prognosis yang buruk.
Penelitian lain di Nigeria mengatakan bahwa tingkat edukasi pasien
mempengaruhi motivasi pasien untuk datang berobat. Pasien dengan tingkat
edukasi yang rendah cenderung malas datang berobat sebelum muncul gejala
yang lebih berat seperti paraplegia(Li L., et al. 2013).

13
BAB III
KESIMPULAN

Infeksi spinal oleh tuberkulosis diperkirakan sekitar satu hingga lima persen
penderita tuberkulosis. Spondilitis TB berpotensi menyebabkan morbiditas serius
yaitu kelumpuhan dan deformitas tulang belakang yang hebat. Diagnosis dini
spondilitis TB masih terbatas. Keterlambatan diagnosis masih sering ditemukan
dan mampu menyebabkan perburukan kualitas hidup penderita. MRI sampai saat
ini merupakan sarana pembantu penegakan diagnosis yang paling baik sekaligus
menyingkirkan diagnosis banding lainnya. Namun, jika fasilitas tidak memadai,
CT scan, sinar-X, dan pencitraan lainnya dapat membantu.Baku emas untuk
diagnosis pasti tetap menggunakan pemeriksaan histologis dan mikrobiologis dari
spesimen biopsi lesi TB. Namun pemeriksaan terbaru seperti PCR dapat
membantu, tentunya harus dikorelasikan dengan klinis dan pemeriksaan lainnya.
Terapi OAT adalah pilihan pengobatan awal yang terbaik, terbukti paling efektif
hingga saat ini. Terapi pembedahan relative ditinggalkan sebagai pilihan
pengobatan yang utama. Pembedahan dilakukan hanya dengan indikasi-indikasi
tertentu.

14
DAFTAR PUSTAKA

Alwali ANA. Spinal Brace In Tuberculosis of The Spine. Neurosciences 2003;


Vol. 8 (1): 17-22

Garcia A. R., et al. 2013. Imaging findings of Potts disease. Eur Spine J, p.
S567-S578.

Issack P. S., et al. 2012. Surgical Correction of kyphotic deformity in spinal


tuberculosis. International Orthopedics, 36:353357.

Jain A. K., et al. 2012. Magnetic Resonance evaluation of tubercular lesion in


spine. International Orthopedics, 36:261269.

-------------------. 2014. Tubercular spondylitis in children. Indian Journal of


Orthopaedics, p. 136-144.

Li L., et al. 2013. Management of drug-resistant spinal tuberculosis with a


combination of surgery and individualised chemotherapy: a
retrospective analysis of thirty-five. International Orthopaedics,
36:277283.

MakK. C., et al. 2012. Surgical treatment of acute TB spondylitis: indications and
outcomes. Eur Spine J.

NasK,KemalogluMS,CevikR,CevizA,NecmiogluS,BukteY.TheResultsOfRehabili
tationOnMotorAndFunctionalImprovementOfTheSpinalTuberculosis.
JointBoneSpine.Vol.71.Issue 4. July 2004. p. 312-316.

Vitriana. Spondilitis Tuberkulosa. Bagian Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi


FK-UNPAD/ RSUP dr. Hasan Sadikin , FK-UI/ RSUPN dr.
Ciptomangunkusumo. 2002.

15
Zhang H., et al. 2012. Surgical management for multilevel noncontiguous thoracic
spinal tuberculosis by single-stage posterior transforaminal, thoracic
debridement, limited decompression, interbody fusion, and posterior
instrumentation. Arch Orthop Trauma Surg, 132:751757.

16

You might also like