You are on page 1of 21

OPEN GLOBE INJURY

I. PENDAHULUAN
Trauma okuli merupakan salah satu masalah kesehatan dunia.

Meskipun termasuk kasus yang masih dapat dicegah, trauma okuli tetap

menjadi salah satu penyebab mortilitas, morbiditas dan keterbatasan fisik.

Dalam kenyataannya, trauma okuli menjadi kasus tertinggi penyebab kebutaan

unilateral di seluruh dunia terutama pada anak dan dewasa muda. Dewasa muda

terutama laki-laki merupakan kelompok yang kemungkinan besar mengalami

trauma okuli. Kecelakaan di rumah, kekerasan, ledakan, cedera akibat olah

raga, dan kecelakaan lalulintas merupakan keadaan keadaan yang paling sering

menyebabkan trauma mata. Tetapi, lebih banyak usaha dan rujukan dilakukan

secara klinis atau penanganan bedah suatu trauma okuli dibandingkan dengan

usaha pencegahannya sehingga penyebab trauma okuli dianggap sebagai suatu

kecelakaan diluar kawalan pasien dan bukan suatu masalah masyarakat.1

Mata mempunyai sistem pelindung yang cukup baik seperti rongga

orbita, kelopak, dan jaringan lemak retrobulbar selain terdapatnya refleks

memejam atau mengedip, mata masih sering mendapat trauma dari dunia luar.

Trauma dapat mengakibatkan kerusakan pada bola, namun mata dan kelopak,

saraf mata dan rongga orbita. Kerusakan mata akan dapat mengakibatkan atau

memberi penyulit sehingga mengganggu fungsi penglihatan. Trauma okuli

perforans terjadi ketika integritas bola mata rusak akibat trauma tumpul atau

trauma penetrans. Setiap kerusakan seluruh kekebalan kornea, sklera atau

keduanya adalah merupakan trauma okuli perforans dan dilakukan pendekatan

1
dengan cara yang sama pada situasi akut. Trauma okuli perforans adalah

merupakan kegawatdaruratan oftalmologis dan membutuhkan terapi definitif

oleh ahli oftalmologis.2,3

Trauma okuli memerlukan perawatan yang tepat untuk mencegah

terjadinya penyulit yang lebih berat yang akan mengakibatkan kebutaan.

Secara garis besar trauma okular dibagi dalam beberapa kategori : trauma

tumpul, trauma tajam/ trauma tembus bola mata, trauma kimia dan trauma

radiasi.2

II. INSIDEN

Berdasarkan penelitian Beaver Dam, sebanyak 20% usia dewasa

dilaporkan mengalami trauma okuli sebanyak lebih dari 3 kali selama

hidupnya. Pada penelitian ini, lebih ditemukan lebih dari setengah kasus

disebabkan oleh trauma benda tajam. Sangat mengejutkan, di rumah ternyata

lebih beresiko untuk terjadi trauma okuli dibandingkan di tempat kerja dan

sekitar 23% kasus trauma okuli berhubungan dengan olahraga.4

Di Amerika Serikat, frekuensi trauma superfisial mata dan adneksa

(41,6%), benda asing pada mata bagian luar (25,4%), kontusio pada mata dan

adneksa (16.0%), luka terbuka pada mata dan adneksa (10,1%), fraktur dasar

orbita (1,3%), dan cedera saraf (0,3%).4

III. ANATOMI BOLA MATA

2
Bola mata berbentuk bulat dengan panjang maksimal 24 mm. Bola mata

di bagian depan (kornea) mempunyai kelengkungan yang lebih tajam sehingga

terdapat bentuk dengan 2 kelengkungan yang berbeda.5

Gambar 1
Gambar anatomi bola mata.
Dikutip dari kepustakaan no.6

Gambar 2
Potongan sagital bola mata.
Dikutip dari kepustakaan no. 7

Bola mata dibungkus oleh tiga lapis jaringan:5

3
1. Sklera merupakan jaringan ikat yang kenyal dan memberikan bentuk pada

mata, merupakan bagian terluar yang melindungi bola mata. Bagian

terdepan sclera disebut kornea yang bersifat transparan yang memudahkan

sinar masuk ke bola mata. Kelengkungan kornea lebih besar di banding

sclera.

2. Jaringan uvea merupakan jaringan vaskular. Jaringan uvea dan sklera

dibatasi oleh ruang yang potensial mudah dimasuki darah jika terjadi

perdarahan pada ruda paksa yang disebut perdarahan suprakoroid. Jaringan

uvea ini terdiri atas iris, badan siliar dan koroid. Pada iris didapatkan pupil

yang oleh tiga susunan otot dapat mengatur jumlah sinar masuk ke dalam

bola mata. Badan siliar yang terletak di belakang iris menghasilkan cairan

bilik mata (aquos humor) yang dikeluarkan melalui trabekulum yang

terletak pada pangkal iris dibatas kornea dan sklera.

3. Lapis ketiga bola mata adalah retina yang terletak paling dalam dan

mempunyai susunan lapis sebanyak 10 lapis yang merupakan lapis

membrane neurosesnsoris yang akan merubah sinar menjadi rangsangan ke

saraf optik dan diteruskan ke otak. Terdapat rongga yang potensial antara

retina dan koroid sehingga retina dapat terlepas dari koroid yang disebut

ablasi retina.

Konjungtiva merupakan membran mukosa transparan yang menutupi

sklera dan kelopak bagian belakang. Bermacam-macam obat mata dapat

diserap melalui konjungtiva ini. Sel epitel superfisial konjungtiva mengandung

sel-sel goblet bulat atau oval yang mensekresi mukus. Mukus mendorong inti

4
sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan airmata diseluruh

prekornea.1

Konjungtiva terdiri atas tiga bagian yaitu :5

a. Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal sukar

digerakkan dari tarsus.

b. Konjungtiva bulbi menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera

dibawahnya.

c. Konjungtiva fornises atau forniks konjungtiva yang merupakan tempat

peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi.

Gambar 3. Bagian dari konjungtiva


Dikutip dari kepustakaan no.8

Kornea adalah jaringan transparan yang ukuran dan strukturnya

sebanding dengan Kristal sebuah jam tangan kecil. Kornea ini disisipkan ke

sclera di limbus, lekuk melingkar pada persambungan ini disebut sulkus

skleralis. Kornea dewasa rata-rata mempunyai tebal 0,54mm di tengah, sekitar

5
0,65mm di tepi, dan diameternya sekitar 11,5mm. Dari anterior ke posterior

kornea mempunnyai lima lapisan yang berbeda-beda; lapisan epitel, lapisan

Bowman, stroma, membrane Descement, dan lapisan endotel.1

Sumber-sumber nutrisi untuk kornea adalah pembuluh-pembuluh darah

limbus, humor aquaeus, dan air mata. Kornea superfisial juga mendapatkan

oksigen sebagian besar dari atmosfer. Saraf-saraf sensorik kornea didapatkan

dari percabangan pertama (oftalmika) dari nervus kranialis V (trigeminus).

Transparansi kornea disebabkan oleh strukturnya yang seragam,

avaskularitasnya, dan deturgensinya. 1

Gambar 4. Lapisan-lapisan kornea


Dikutip dari kepustakaan no.9

6
Gambar 5
Zona Topografi kornea
Dikutip dari kepustakaan no.8

IV. KLASIFIKASI

A. Klasifikasi trauma okular berdasarkan mekanisme trauma:10

1. Trauma Mekanikal

a. Trauma palpebra

b. Trauma pada sistem lakrimal

c. Laserasi konjungtiva

d. Erosi kornea

e. Benda asing pada kornea dan konjungtiva

f. Trauma non perforans (closed-globe injury)

g. Trauma pada dasar orbitalis (blow-out fracture)

h. Trauma perforans (open-globe injury)

2. Trauma Kimia

3. Trauma Radiasi

B. Klasifikasi berdasarkan Birminghamm Eye Trauma Terminology (BETT).

Trauma mata terbagi dua yaitu trauma mata tertutup bila tidak

menembus melewati struktur dinding bola mata (non-full thickness) dan

7
trauma terbuka bila melewati seluruh struktur dinding bola mata (full

thickness). Berdasarkan BETT, trauma okuli dibagi atas 2 yaitu:9,11

1. Trauma bola mata tertutup (closed globe injury)

a. Kontusio

Pada kontusio tidak terdapat luka pada permukaan bola mata.

Trauma terjadi karena energi yang dibawa oleh objek, misalnya

energi kinetik yang dibawa oleh benturan yang menyebabkan

perubahan bentuk dari bola mata.

b. Laserasi lamellar, terjadi apabila luka mengenai sebagian dinding

bola mata namun tidak melewatinya.

2. Trauma bola mata terbuka (Open-globe Injury)

a. Ruptur

Ruptur bola mata merupakan luka pada seluruh dinding bola mata

karena sebuah objek dari luar yang tumpul (blunt) namun efek

trauma dari objek tersebut bukan hanya pada area lokal yang

bersentuhan tetapi juga di area lain pada bola mata. Energi yang

timbul dari objek tersebut menyebabkan peningkatan tekanan

intraokuler sesaat sehingga dinding bola mata akan bergerak ke

arah titik yang paling lemah (inside-out mechanism).

b. Laserasi:

Penetrasi

Dikatakan trauma penetrasi bila terjadi luka masuk dan prolaps

dari isi bola mata.

8
Intraocular foreign body (IOFB)

Dikatakan IOFB apabila terdapat satu atau lebih bagian objek

penyebab trauma tertinggal di dalam mata.

Perforasi

Dikategorikan sebagai perforasi apabila terdapat luka masuk

dan luka keluar pada bola mata.

Gambar 6
Klasifikasi Trauma Okuli berdasarkan BETT. Yang berkotak tebal adalah
diagnosa klinis. (Dikutip dari kepustakaan 11)

9
Gambar 7.
Diagnosa klinis berdasarkan jenis objek penyebab trauma
(Dikutip dari kepustakaan 11)

V. PATOFISIOLOGI

Ruptur bola mata dapat terjadi ketika objek tumpul menekan orbita

mengakibatkan tekanan pada bola mata dalam aksis anterior posterior

menyebabkan peningkatan tekanan intraokular, sehingga menyebabkan

robekan sklera. Ruptur akibat trauma tumpul sering kali terjadi pada daerah-

daerah tertipis pada sklera, pada insersi otot-otot ekstraokular, pada limbus dan

pada daerah yang telah terjadi operasi intraokular sebelumnya. Benda-benda

tajam atau yang bergerak dengan kecepatan tinggi dapat menyebabkan

perforasi bola mata secara langsung. Benda asing yang kecil dapat melakukan

penetrasi pada bola mata dan menetap di dalam bola mata. Kemungkinan untuk

terjadi bola mata harus dipikirkan dan disingkirkan selama evaluasi dari

10
seluruh trauma orbita tumpul dan penetrasi, dan juga pada semua kasus yang

melibatkan proyektil dengan kecepatan tinggi, yang berpotensi untuk

menyebabkan penetrasi okular.3

Terdapat empat mekanisme yang menyebabkan terjadi trauma okuli

yaitu:4

1. coup,

2. countercoup,

3. equatorial, dan

4. global reposititioning.

Coup adalah kekuatan yang disebabkan langsung oleh trauma.

Countercoup merupakan gelombang getaran yang diberikan oleh cuop, dan

diteruskan melalui okuler dan struktur orbita. Akibat dari trauma ini, bagian

equator dari bola mata cenderung mengambang dan merubah arsitektur dari

okuli normal. Pada akhirnya, bola mata akan kembali ke bentuk normalnya,

akan tetapi hal ini tidak selalu seperti yang diharapkan.4

Trauma mata yang sering adalah yang mengenai kornea dan permukaan

luar bola mata (konjungtiva) yang disebabkan oleh benda asing. Meskipun

demikian kebanyakan trauma ini adalah kecil, seperti penetrasi pada kornea

dan pembetukan infeksi yang berasal dari terputusnya atau perlengketan pada

kornea yang mana hal ini dapat menjadi serius. Benda asing dan aberasi di

kornea menyebabkan nyeri dan iritasi yang dapat dirasakan sewaktu mata dan

kelopak mata digerakkan. Defek epitel kornea dapat menimbulkan keluhan

11
serupa. Fluoresens akan mewarnai membran basal epitel yang terpajan dan

dapat memperjelas kebocoran cairan akibat luka tembus (uji Seidel positif).1

VI. GAMBARAN KLINIS

Pada mata dapat terjadi trauma dalam bentuk-bentuk berikut:2

1. Trauma tumpul, yang terdiri atas :

a. Konkusio, yaitu trauma tumpul pada mata yang masih reversibel, dapat

sembuh dan normal kembali.

b. Kontusio, yaitu trauma tumpul yang biasanya menyebabkan kelainan

vaskuler dan kelainan jaringan/ robekan.

2. Luka akibat benda tajam, yang terdiri atas :

a. Tanpa perforasi

b. Dengan perforasi, meliputi :

Perforasi tanpa benda asing intra okuler

Perforasi dengan benda asing intra okuler

3. Luka bakar dan etsing, terjadi oleh karena :

a. Sinar dan tenaga listrik

b. Agen fisik, misalnya : luka bakar

c. Agen kimia

Bila trauma disebabkan benda tajam atau benda asing masuk ke dalam

bola mata, maka akan terlihat tanda-tanda bola mata tembus, seperti :2,6

a. Mata merah, nyeri, fotofobia, blepharospasme dan lakrimasi.

b. Tajam penglihatan yang menurun akibat tedapatnya kekeruhan media

refrakta secara langsung atau tidak langsung akibat ruma tembus tersebut.

12
c. Tekanan bola mata rendah akibat keluarnya cairan bola mata.

d. Bilik mata dangkal akibat perforasi kornea.

e. Bentuk dan letak pupil berubah.

f. Terlihatnya rupture pada kornea atau sclera.

g. Adanya hifema pada bilik mata depan.

h. Terdapat jaringan yang prolaps seperti cairan mata, iris lensa, badan kaca

atau retina.

VII.DIAGNOSIS 3,12

Diagnosis trauma okuli ditegakkan berdasarkan anamnesis,

pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang jika tersedia.

A. Pada anamnesis diperhatikan hal-hal berikut ini:

a. Sifat Cedera

1. Disertai trauma yang mengancam jiwa

2. Durasi dan jenis trauma

3. Komposisi objek asing intraokuler

4. Penggunaan proteksi mata

5. Penangganan sebelumnya

b. Riwayat Penyakit Mata

1. Riwayat penyakit refraksi

2. Penggunaan obat mata semasa

3. Operasi yang terakhir

c. Riwayat Penyakit Lain

1. Diagnosa

13
2. Penggunaan obat tertentu

3. Alergi obat

4. Faktor risiko untuk HIV/Hepatitis

5. Tetanus profilaksis

Anamnesis juga harus mencakup perkiraan ketajaman penglihatan

sebelum dan segera setelah trauma terjadi. Harus dicatat apakah gangguan

penglihatan perlangsungannya cepat atau lambat. Harus dicurigai pula

kemungkinan adanya benda asing intraokular apabila terdapat riwayat

memaku, mengasah, atau ledakan.

B. Pemeriksaan Fisis

Pemeriksaan fisis dilakukan secara hati-hati dan manipulasi

dilakukan seminimal mungkin. Evaluasi pada pasien trauma okuli

perforans harus diikuti oleh pemeriksaan secara umum dan juga

pemeriksaan oftalmologi. Pemeriksaan dilakukan dengan minimal

manipulasi pada mata untuk mengurangi risiko prolaps dari isi

intraokuler.8

Slit Lamp akan memungkinkan pemeriksaan yang lebih detail,

yang dapat menunjukkan: 13

a. Bilik mata anterior yang lebih dangkal dibandingkan dengan mata

kontralateral dapat mengimplikasikan trauma tembus anterior.

b. Hifema mikroskopik dimana terdapat sel darah merah di dalam bilik

mata anterior namun tidak cukup untuk membentuk hifema.

14
C. Pemeriksaan Penunjang9,13

1. USG B-scan

Dengan menggunakan alat ini, dapat mendeteksi sekiranya terdapat

objek asing yang masih tersisa pada bola mata. Selain itu, pemeriksaan

ini juga dapat menilai kondisi posterior bola mata apa ada terjadi ablasi

retina atau tidak.

2. CT-Scan

Dengan menggunakan CT-Scan kontur dari bola mata dapat dievaluasi

dengan teliti apa ada kedangkalan pada bilik mata depan, dislokasi

lensa, ablasi koroid, perdarahan vitrous, dan juga objek asing.

VIII. PENATALAKSANAAN 8

Pre-Operatif

1. Bagian mata diperban dengan kasa yang steril

2. Hindari menggunakan obat topikal ataupun intervensi-intervensi lain

yang perlu membuka tutup mata

3. Berikan obat yang sesuai untuk sedatif, dan juga control kesakitan

4. Intravena antibiotik

5. Berikan suntikan anti tetanus

Non-Operatif

Sebagian dari trauma perforans sangat minimal sehingga ia sembuh

dengan sendirinya tanpa ada kerusakan intraokuler, mahupan prolaps. Kasus-

kasus sebegini hanya memerlukan terapi antibiotik sistemik ataupun topikal

dengan observasi yang ketat.

15
1. Tirah baring sempurna (bed rest total)

Penderita ditidurkan dalam keadaan telentang dengan posisi kepala

diangkat(beri alas bantal). Hal ini akan mengurangi tekanan darah pada

pembuluh darah iris serta memudahkan kita mengevaluasi

perdarahannya

2. Bebat mata

Hal ini mengurangi pergerakan bola mata yang sakit, serta menghindari

bola mata dari paparan benda asing yang dapat memperparah serta

menyebabkan infeksi luka/perforasi bola mata

3. Pemakaian obat-obatan

- Koagulansia, golongan obat ini dapat diberi peroral maupun

parenteral, berguna untuk menghentikan atau menekan

perdarahan

- Okular hipotensif drug. Acetazolamide secara oral sebanyak 3x

sehari bilamana ditemukan kenaikan TIO

- Kortikosteroid dan antibiotika

- Obat-obatan lain. Sedativa dapat diberikan bilamana penderita

gelisah. Diberikan analgerik bilamana timbul nyeri.(2)

Penanganan Operatif

Laserasi korneoskleral dengan uvea prolaps biasanya memerlukan

penanganan operasi di bawah anaestesi general. Tujuan pertama dari

prosedur ini adalah untuk mempertahankan keutuhan dari bola mata.

16
Keduanya adalah untuk mengembalikan penglihatan pasien semaksimal

mungkin. Langkah atau tekhnik operasi tersebut :

a. Anestesi umum

b. Insisi

Gambar 8. Laserasi corneoscleral. Mengembalikan hubungan anatomi


pada laserasi korneoskleral
Dikutip dari kepustakaan no.8
IX. KOMPLIKASI

Komplikasi setelah trauma okuli perforans:2,13

a. Infeksi : endoftalmitis, panoftalmitis

b. Katarak traumatik

Katarak akibat cedera pada mata dapat akibat trauma perforasi ataupun

tumpul terlihat sesudah beberapa hari ataupun tahun. Pada trauma tumpul

17
akan terlihat katarak subkabsular anterior ataupun posterior. Kontusio

lensa menimbulkan katarak seperti bintang, dan dapat pula dalam bentuk

katarak tercetak (imprinting) yang disebut cincin Vossius. Trauma tembus

dapat menimbulkan katarak yang lebih cepat, perforasi kecil akan menutup

dengan cepat akibat proliferasi epitel sehingga terbentuk kekeruhan

terbatas kecil. Trauma tembus besar pada lensa akan mengakibatkan

terbentuknya katarak dengan cepat disertai dengan terdapatnya lensa di

dalam bilik mata depan.

c. Glaukoma sekunder

Trauma dapat mengakibatkan kelainan jaringan dan susunan jaringan di

dalam mata yang dapat mengganggu pengaliran cairan mata sehingga

menimbulkan glaukoma sekunder

d. Ablasi retina

Trauma diduga merupakan pencetus untuk terlepasnya retina dari koroid

pada penderita ablasi retina. Biasanya pasien telah mempunyai bakat untuk

terjadinya ablasi retina ini seperti retina tipis akibat retinitis semata,

myopia, dan proses degenerasi retina lainnya. Lepasnya retina atau sel

kerucut dan batang dari koroid atau sel pigmen epitel akan mengakibatkan

gangguan nutrisi retina dari pembuluh darah koroid yang bila berlangsung

lama akan mengakibatkan gangguan fungsi yang menetap.

X. PROGNOSIS

18
Prognosis trauma okuli perforans bergantung pada banyak faktor, seperti:2

1. Besarnya luka tembus, makin kecil makin baik

2. Tempat luka pada bola mata

3. Bentuk trauma apakah dengan atau tanpa benda asing

4. Benda asing megnetik atau non megnetik

5. Dalamnya luka tembus, apakah tumpul atau luka ganda

6. Sudah terdapat penyulit akibat luka tembus

Prognosis bervariasi, tanda-tanda prognosis yang buruk termasuk daya

penglihatan yang menurun, adanya defek pupil aferen, laserasi sklera

posterior, ablasio retina atau perdarahan vitreus.1

DAFTAR PUSTAKA

19
1. Augsburger J, Asbury T. Ocular & Orbital Trauma. In: Vaughan &
Asbury's General Ophthalmology, 16th ed.; San Fransisco: McGraw-Hill;
2004. P.: 371-9.

2. Ilyas S. Trauma Mata. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata edisi 3; 2004. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal ; 259-76

3. Golden JD. Globe Rupture. Available from


http://emedicine.medscape.com/article/798223. Accessed; 17 Februari 2014

4. Rapon JM. Ocular Trauma Management For The Primary Care Provider.
Avilable from http://.opt.pacificu.edu//cc/catalog/10310-SD/triage.htm.
Accessed; 19 Februari 2014

5. Webb LA. Manual of eye emergencies, diagnosis and management.


Butterworth-Heinemann. Toronto.2004. p.1-2

6. Zorab RA, Straus H, Dondrea, et.al. The Eye. In: Fundamental and Principles
of Ophtalmology. Section 2. International ophtalmology american academy of
ophtalmology.;2008-2009. p.43

7. Sutphin EJ, Dana MR, et.al. External Disease and Kornea. Section 8.
International ophtalmology american academy of ophtalmology. The Eye
M.D;2008-2009. p.9, p.38-9, p.407-18

8. Khaw PT, Elkington AR. ABC of EYES. Fourth edition. BMJ Publishing
Group. 2004. p.29-32

9. Khurana KA. Comprehensive Opthalmology 4th Edition. New Delhi 2007.


p.52, p.401-10

10. Lang GK. Ophtalmology : A Short Text Book. Thieme Stuttgart. New York.
2000. P.497-513

11. Kuhn F, Morris R, Mester V, Witherspoon CD. Terminology of Mechanical


Injuries: the Birmingham Eye Trauma Terminology (BETT) in: Ferench Kuhn
Ocular Traumatology. San Fransisco: Springer. 2010. P: 3-16.

12. Ocular penetrating and perforating injuries. Available from


http://eyewiki.aao.org/Ocular_penetrating_and_perforating_injuries.
Accessed; 08 Februari 2014
13. Kloek CE. Diagnosis and Management of open globe injuries. Available from
http://www.ophthalmologyrounds.org/crus/ophthUS_0506.pdf. Accessed; 16
Februari 2014

20
14. Stein R and Stein H. Traumatic Red Eye. In: Management of ocular
emergencies. Montreal: Mediconcept Inc. P. 45-58.

15. James B, Chew C, Brown A. Trauma. In : Oftalmologi, Lecture Notes. Edisi


ke-9; 2002. Jakarta: Penerbit Erlangga. Hal: 177-83.

21

You might also like