You are on page 1of 12

Kategori

Ilmu Bedah

Judul

Hematoma Inguinal Paska Insisi Akses HD

Abstrak

Hematoma adalah kumpulan darah yang berada diluar pembuluh darah yang terjadi karena
dinding pembuluh darah, arteri, vena atau kapiler, telah dirusak dan darah telah bocor
kedalam jaringan-jaringan dimana terdapat darah tidak pada tempatnya. Sebab-sebab
terjadinya hematoma inguinal paska insisi akses hemodialisa dikarenakan pemasangan akses
intravena pada vena femoralis mengakibatkan trauma vaskuler. Trauma vaskuler pada
pemasangan akses vena sentral seperti ini dapat menimbulkan beberapa komplikasi berupa
infeksi graf, aneurisma traumatik kronis, AV fistula dan sindroma nyeri paska traumatik.
Disini dilaporkan seorang wanita usia 57 tahun datang ke Instalasi Gawat Darurat (IGD)
mengeluhkan nyeri pada selangkangan kirinya dan merasa didaerah selangkangan kirinya
timbul lebam yang semakin meluas, pada pemeriksaan fisik didapatkan hematoma pada regio
inguinal kiri dan pada palpasi teraba pulsasi dengan frekuensi yang sama dengan denyut nadi.
Pasien mempunyai riwayat gagal ginjal dan rutin melakukan cuci darah. Diagnosis
pseudoaneurisma arteri femoral sulit dibedakan dengan masa berdenyut dari hematoma
periarterial, yang terjadi setelah pemasangan kateter, pemeriksaan Doppler
sangat bermanfaat. USG dapat menilai lokasi, ukuran, bentuk. Penatalaksanaan
pseudoaneurisma adalah berupa repair aneurisma untuk mencegahkomplikasi seperti
perluasan, kompresi saraf oleh pseudoanerisma, rupture, dan embolisasi bagian distal.

Keyword: Hematoma inguinal, akses hemodialisa, vena femoralis

Isi

Seorang perempuan berusia 57 tahun datang ke Poli Bedah RSU Tidar Kota Magelang pada
10 oktober dengan keluhan nyeri pada selangkangan kiri dan kulit didaerah selangkangan kiri
tampak menghitam yang menyebar hingga daerah paha dirasakan sejak 7 hari yang lalu.
Pasien memiliki riwayat melakukan hemodialisa pada 10 hari yang lalu.
Keadaan Umum: Tampak lemah, Kesadaran: Kompos mentis.
Tanda-tanda Vital: TD: 100/60 mmHg, Nadi: 96 kali/menit, tengangan kuat, isi cukup, ritmis,
RR: 22x/menit, dan t: 37,9 0C.
Pemeriksaan Status Lokalis: Inspeksi: Tampak hematom didaerah regio inguinal kiri disekitar
bekas luka akses hemodialisa menyebar hingga daerah paha. Palpasi: Teraba masa berdenyut
dengan konsistensi lunak dengan ukuran 2x2 cm berbatas tegas didaerah regio inguinal kiri
dan nyeri tekan (+). Auskultasi: Terdengar suara bruit pada massa inginal.
Estremitas: capiler refil <2detik, akral hangat, nadi kuat.
Diagnosis
Observasi Hematoma Inguinal Suspek Pseudoaneurisma paska insisi akses HD

Terapi
Infus RL 20 tpm, Injeksi Ketorolac 30mg 3x1. Injeksi Ceftriaxone 1000mg 1x2,. Persiapan
operasi Reapair Arteri Femoralis.

Diskusi
Berdasarakan anamnesis dan fisik, diagnosis awal pasien adalah hematoma inguinal suspek
pseudoaneurisma. Dari anamnesis didapatakan bahwa seorang perempuan usia 57 tahun
datang ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) pada 10 oktober lalu dengan keluhan nyeri didaerah
inguinal kiri disertai lebam pada daerah tersebut dirasakan 7 hari yang lalu dengan riwayat
pemasangan akses hemodialisa pada selangkangan kiri pada 10 hari yang lalu. Dari
pemeriksaan fisik didapatkan terdapat hematoma dan masa berdenyut pada daerah inguinal
kiri serta dari pemeriksaan auskultasi terdengar suara bruit. Diagnosis pasien
Pseudoaneurisma selain anamnesis dan pemeriksaan fisik adalah menggunakan CT Scan atau
USG dopler. Tindakan pada pasien ini adalah operasi repair arteri femoralis segera karena
pseudoaneurisma jika telah menipis akan berpotensi robek atau pecah, dimana hal ini dapat
menyebabkan perdarahan yang hebat dan masif. Jika telah mulai timbul perdarahan yang
berulang maka pilihan operasi tidak dapat di hindari lagi.

Kesimpulan
Hemodialisis merupakan salah satu terapi pengganti ginjal, yang digunakan pada penderita
dengan penurunan fungsi ginjal, baik akut maupun kronik. Terdapat tiga tempat sebagai akses
intravena hemodialisa yaitu vena jugularis interna, vena subclavia, dan vena femoralis.
Pemasangan akses intravena seperti kateter vena sentral menyebabkan trauma vaskuler dan
dapat menimbulkan komplikasi yang bisa muncul lama setelah penggunaannya, seperti:
Infeksi graft, sindroma nyeri paska traumatik, AV fistula, dan aneurisma traumatik kronis.
Aneurisma traumatik kronis timbul akibat cedera robek arterial yang menyebabkan terjadinya
hematom perivaskuler, yang akan membentuk pseudoaneurisma. Pseudoaneurisma adalah
kantong yang terbentuk dari hematom akibat robek atau terbukanya dinding pembuluh
sehingga disebut juga hematom berdenyut dikarenakan gangguan integritas pada dinding
arteri. Pseudoaneurisma sebenarnya merupakan hematom berdenyut yang tidak terdiri dari
dinding pembuluh darah arteri, melainkan merupakan kapsul fibrosa. Pseudoaneurisma
paling banyak terjadi pada arteri femoralis seperti hal pada pasien ini yang mengalami
hematoma inguinal kiri diduga sebagai pseudoaneurisma dimana arteri femoralis terletak
diregio inguinal.

Referensi

1. De Jong, Wim . Buku Ajar Ilmu Bedah . EGC. Jakarta. Edisi Pertama . 2005 .
2. Mansjoer, A., Suprohaita, Wardhani, WI., Setiowulam, W. 2000. Kapita Selekta
Kedokteran. FKUI: Media Aesculapius.
3. Price & Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6.
Jakarta: EGC.
4. Sabiston, David. 2000. Buku Ajar Bedah Bagian kedua. Jakarta: EGC.
5. Shirah Hamza, MD et al. Superficial Femoralis Artery Pseudoaneurism Secondary
toBone Exostoses. 2007.

Herlambang Pranandaru (20090310072), Bagian Ilmu Obstetri dan Ginekologi, RSU Tidar,
Kota Magelang, Jawa Tengah.

Hematoma adalah koleksi (kumpulan) darah diluar pembuluh darah yang terjadi karena
dinding pembuluh darah, arteri, vena atau kapiler, telah dirusak dan darah telah bocor
kedalam jaringan-jaringan dimana ia tidak pada tempatnya.
Kategori

Obsgyn

Judul

Dislokasi IUD

Abstrak

Intra Unterine Device (IUD) atau Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) adalah benda
asing yang ditempatkan didalam cavum uteri. Mekanisme kerja IUD ini belum dikteahui
secara pasti beberapa pendapat menyebutkan mekanisme IUD didalam cavum uteri adalah
menimbulkan reaksi peradangan endometrium, menimbulkan kontraksi uterus dan bahan
tembaga menimbulkan reaksi ionisasi logam sehingga ketiga hal tersebut dapat mencegah
terjadinya kehamilan. IUD memiliki berbagai macam efeksamping salah satunya adalah
terjadinya dislokasi IUD. Dislokasi IUD adalah berubahnya IUD dari posisi yang seharusnya
sehingga dapat menimbulkan komplikasi seperti perforasi dan kehamilan. Disini dilaporkan
seorang wanita usia 68 tahun datang ke Poli Kandungan mengeluh nyeri pada Supra Pubic
sejak 1 bulan yang lalu tidak diserai perdarahan per vaginam. Pasien memiliki riwayat
menaupose pada usia 52 tahun dan riwayat pemasangan IUD sejak 33 tahun tanpa kontrol.
Pasien yang mengalai dislokasi IUD biasanya akan mengeluhkan benang IUD tidak terasa
lagi, kemudian nyeri perut, perdarahan diluar siklus mens, dan nyeri ketika bersenggama.
Diagnosis pasti dislokasi IUD adalah menggunakan pemeriksaan USG yang dikonfirmasi
dengan foto Rontgen. Penatalaksanaan dislokasi IUD bila masih terdapat didalam cavum
uteri adalah dilakukan ekplorasi IUD menggunakan klem aligator dan bila diluar cavum uteri
atau sudah terjadi perforasi maka dilakukan laparotomi atau laparoskopi.

Keyword: Intra Uterine Device, Dislokasi IUD, nyeri supra pubic.

Isi
Seorang wanita 68 tahun G5P4A1 datang dari poli kandungan dengan keluhan nyeri pada
supra pubic sejak 1 bulan yang lalu dan tidak disertai dengan perdarahan per vaginam. Pasien
memiliki riwayat penggunaan IUD selama 33 tahun namun tidak pernah kontrol rutin. Pasien
sudah menaupose sejak usia 52 tahun.
Tanda-tanda vital: 130/80 mmHg, Nadi: 76 kali/menit, teraba kuat, simetris kanan kiri,
reguler, ritmis, RR: 20 kali/menit, tipe thorakoandominal, t: 370C
Keadaan Umum: Tampak kesakitan, Kesadaran: Kompos mentis
Pemeriksaan Ginekologis pada Abdomen:
Inspeksi: Flat, tidak distensi, tidak tampak tanda radang maupun luka bekas operasi
sebelumnya.
Auskultasi: BU (+) normal.
Palpasi: Supel, Nyeri Tekan (+) suprapubik, Massa (-)
Perkusi: Tympani
Pemeriksaan Inspekulo: Darah (-), keputihan (-), V.U.V tak ada kelainan, Portio sebesar
jempol tangan, OUE tertutup, tak tampak benang IUD dari OUE.
Pemeriksaan USG: Tampak gambaran hipoechoic pada dinding uetrus, ukuran uterus
dalambatas normal, struktur parenkin homogen, permukaan rata, dan adnexa tampak tenang.

Diagosis

Suspek Dislokasi IUD

Terapi

Rencana Aff IUD


Amoxicillin 3x500 mg
Asam Mefenamat 3x500 mg
Metilergometrin 2x 0,2 mg

Diskusi

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, diagnosis awal pasien ini adalah suspek
Dislokasi IUD. Dari anamnesis didapatkan seorang wanita 68 tahun G5P4A1 datang dari poli
kandungan dengan keluhan nyeri pada supra pubic sejak 1 bulan yang lalu dan tidak disertai
dengan perdarahan per vaginam. Pasien memiliki riwayat penggunaan IUD selama 33 tahun
namun tidak pernah kontrol rutin. Pasien sudah menaupose sejak usia 52 tahun. Dari hasil
pemeriksaan ginekologi pada palpasi abdomen didapatkan supel, nyeri tekan (+) pada regio
supra pubic dan tidak teraba massa, sedangkan dari hasil pemeriksaan inspekulo yaitu darah
(-), Keputihan (-), V.U.V tak ada kelainan, portio sebesar jempol tangan, OUE tertutup, tak
tampak benang IUD dari OUE dan dari pemeriksaan USG tampak gambaran hipoechoic pada
dinding uetrus, ukuran uterus dalambatas normal, struktur parenkin homogen, permukaan
rata, dan adnexa tampak tenang. Diagnosis pasti pada pasien ini adalah pemeriksaan USG
yang dilanjutkan dengan pemeriksaan foto BNO. USG untuk menentukan letak massa apakah
ada didalam kavum uteri, myometrium ataukah sudah berada didalam rongga peritonium dan
pemeriksaan foto BNO untuk mengkonfimasi apakah massa tersebut IUD atau bukan.
Penatalaksanaan dislokasi IUD jika masih terdapat didalam cavum uteri adalah dilakukan
ekplorasi IUD menggunakn klem aligator dan bila diluar cavum uteri atau jika sudah terjadi
perforasi maka dilakukan laparotomi atau laparoskopi untuk mengambil IUD yang berada
didalam rongga peritonium.

Kesimpulan

Intra Unterine Device (IUD) atau Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) adalah benda
asing yang ditempatkan didalam cavum uteri. Mekanisme kerja IUD ini belum dikteahui
secara pasti beberapa pendapat menyebutkan mekanisme IUD didalam cavum uteri adalah
menimbulkan reaksi peradangan endometrium, menimbulkan kontraksi uterus dan bahan
tembaga menimbulkan reaksi ionisasi logam sehingga ketiga hal tersebut dapat mencegah
terjadinya kehamilan. IUD memiliki berbagai macam efeksamping seperti ekspulsi,
translokasi IUD, dislokasi IUD, dan infeksi panggul. Dislokasi IUD adalah istilah umum dari
translokasi IUD dan perforasi IUD. Dislokasi IUD adalah berubahnya IUD dari posisi yang
seharusnya sehingga dapat menimbulkan komplikasi seperti perforasi dan kehamilan.
Translokasi adalah berpindahnya IUD tidak pada posisinya tetapi IUD masih terdapat
didalam cavum uetri sedangkan Perforasi IUD adalah berindahnya IUD hingga keluar cavum
uteri yaitu biasanya dirongga peritonium. Mekanisme terjadinya dislokasi IUD kadang tidak
diketahui secara pasti atau idiopatik tetapi beberapa pendapat menyatakan dislokasi IUD ini
terjadi karena teknik pemasangan yang kurang tepat sehingga IUD tidak berada pada posisi
yang seharusnya kemudian IUD akan menempel kedalam dinding uterus dan lama-kelamaan
akan menebus dinding uteus hingga kerongga peritonium, perpindaan IUD ini diduga terjadi
karena adanya kontraksi otot-otot uterus. Penegakan diagnosis dislokasi IUD ini diawali dari
anamnesis yaitu pasien merasa benang IUD tidak terasa lagi, kemudian nyeri perut,
perdarahan diluar siklus mens, dan nyeri ketika bersenggama. Pada pemeriksaan Inspeskulo
benang IUD tidak tampak pada ostium uteri eksternum kemudian dari kombinasi
pemeriksaan USG dan foto polos abdomen tampak IUD tidak berada pada tempatnya.
Penatalaksanaan dislokasi IUD bila masih terdapat didalam cavum uteri adalah dilakukan
ekplorasi IUD menggunakan klem aligator dan bila diluar cavum uteri atau sudah terjadi
perforasi maka dilakukan laparotomi atau laparoskopi.

Referensi

1. Mochtar, Rustam. 1995. Sinopsis Obstetri. Jakarta : EGC.


2. Scott, James R, dkk. 2002. Buku Saku Obstetri Ginekologi. Jakarta : Widya Medika.
3. Wiknjosastro, Hanifa. 2007. Ilmu Kandungan. Jakarta : Yayasan Bina Pusataka Sarwono
Prawirohardjo.
4. Hartanto, Hanafi. 2002. Keluarga Berencana dan Kontrasepsi. Jakarta : Pustaka Sinar
Harapan.
5. Cunningham, F.G., MacDonald P.C., Gant, N.F., Leveno, K.J., Gilstrap, L.C., Hauth,
J.C., Wenstrom, K.D. 2008. Obstetri Williams. Edisi ke-23. Jakarta: EGC
6. Llewellyn, Derek, dkk. 2002. Dasar-dasar Obstetri dan Ginekologi. Jakarta : Peneerbit
Hipocrates.

Kategori

Ilmu Anak

Judul

Sindroma Nefrotik pada Anak

Abstrak

Sindrom nefrotik adalah salah satu penyakit ginjal yang sering dijumpai pada anak,
merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang terdiri dari proteinuria masif,
hipoalbuminemia, hiperkolesteronemia serta edema. Sindroma Nefrotik merupakan penyakit
yang mengubah fungsi glomerulus sehingga mengakibatkan kebocoran protein (khususnya
albumin) ke dalam ruang Bowman akan menyebabkan terjadinya sindrom ini. Etiologi SN
secara garis besar dapat dibagi 3, yaitu kongenital, glomerulopati primer/idiopatik, dan
sekunder mengikuti penyakit sistemik seperti pada purpura Henoch-Schonlein dan lupus
eritematosus sitemik. Disini dilaporkan seorang anak usia 11 tahun datang ke Instalasi Gawat
Darurat (IGD) mengeluhkan bengkak pada wajah, perut, tangan, dan kaki dengan BAK yang
sedikit dan keruh disertai gatal-gatal pada seluruh tubuh mulai dirasakan sejak 1 minggu yang
lalu. Pemeriksaan fisik didapatkan acites (+) dan pitting edema (+) pada ekstremitas. Pasien
tidak mempunyai riwayat keluhan yang sama sebelumnya. Kriteria diagnosis sindrom
nefrotik adalah edema bersifat pitting, proteinuria massif ( 40 mg/m2 LPB/jam rasio
protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik 2+), Hipoalbuminemia (< 2 g/dl
atau 20 g/L), dengan atau tanpa hiperlipidemia/hiperkolesterolemia, IgM dapat meningkat
sedangkan IgG turun, Komplimen serum normal dan tidak ada krioglobulin, Kadar kalsium
serum total menurun (karena penurunan fraksi terikat albumin), dan Kadar C3 normal.
Penatalaksanaan sindrom nefrotik secara umum adalah diitetik, diuretik, antibitik profilaksis,
imunisasi, dan kortikosterid.

Keyword: Sindrom Nefrotik, anak, edema pitting, kortikosteroid.

Isi
Seorang anak usia 11 tahun datang ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) mengeluhkan bengkak
pada wajah, perut, tangan, dan kaki dengan BAK yang sedikit dan keruh sebanyak gelas
belimbing disertai gatal-gatal pada seluruh tubuh mulai dirasakan sejak 1 minggu yang lalu.
Pasien tidak mempunyai riwayat keluhan serupa sebelumnya.
Keadaan Umum: Tampak tenang, Kesadaran: Kompos mentis.
Tanda-tanda Vital: TD: 140/90 mmHg, Nadi: 120 kali/menit, tengangan kuat, isi cukup,
ritmis, RR: 22x/menit, dan t: 36,5 0C.
Berat badan: 38kg
Pemeriksaan fisik: Didapatkan edema periorbital. Pemeriksaan abdomen didapatkan
acites(+), distensi (+), bising usus (+) normal, nyeri tekan (+) diseluruh lapang perut,
hepar/lien tak teraba. Ekstermitas: Edema (+) pitting, akral hangat, nadi kuat, sianosis (-),
CTR <2 detik.
Pemeriksaan laboratorium Kimia Darah: Angka Leukosit 20.000/uL, Angka Trombosit
613.000/uL, GDS 83 mg/dl, Protein Total 5,00 g/dl, Albumin 1,90 g/dl, Globulin 3,10 g/dl,
Ureum 19.1 mg/dl, Kreatinin 0,55 mg/dl, Kolesterol 329 mg/dl, dan Trigliserida 153 mg/dl.
Pemeriksaan Urianalisa: Protein: ++++, Blood: +++, Leukosit: Negatif. Sedimen Urin:
Leukosit: 0-2/LPB (Normal), Eritrosit: 10-15/LPB (High), dan Epitel: 2-3 /LPK (Positif).

Diagnosis

Sindroma Nefrotik

Terapi

Inf D5% 10 tpm


Inf Plasbumin 20% 100cc (dalam 4 jam)
Inj Cefotaxim 3x500 mg(iv)
Inj Frasix 2x10mg (iv)
PO : Prednison Full Dose 65mg
Edukasi : Diit rendah Garam
Monitoring: Tanda-tanda Syok

Diskusi

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium pasien ini adalah
suspek sindrom nefrotik. Dari anamnesis didapatkan seorang anak usia 11 tahun datang ke
Instalasi Gawat Darurat (IGD) mengeluhkan bengkak pada wajah, perut, tangan, dan kaki
dengan BAK yang sedikit dan keruh sebanyak gelas belimbing disertai gatal-gatal pada
seluruh tubuh mulai dirasakan sejak 1 minggu yang lalu. Pasien tidak mempunyai riwayat
keluhan serupa sebelumnya. Dari pemeriksaan fisik didapatkan pitting edema pada periorbita,
ektremitas dan pada pemeriksaan fisik abdomen didapatkan acites(+), distensi (+), bising
usus (+) normal, nyeri tekan (+) diseluruh lapang perut, hepar/lien tak teraba. Pemeriksaan
laboratorium kimia darah menunjukkan hasil Angka Leukosit 20.000/uL, Angka Trombosit
613.000/uL, GDS 83 mg/dl, Protein Total 5,00 g/dl, Albumin 1,90 g/dl, Globulin 3,10 g/dl,
Ureum 19.1 mg/dl, Kreatinin 0,55 mg/dl, Kolesterol 329 mg/dl, dan Trigliserida 153 mg/dl.
Pemeriksaan Urianalisa: Protein: ++++, Blood: +++, Leukosit: Negatif. Sedimen Urin:
Leukosit: 0-2/LPB (Normal), Eritrosit: 10-15/LPB (High), dan Epitel: 2-3 /LPK (Positif).
Kriteria diagnosis sindrom nefrotik adalah ditemukan proteinuria masif (>40mg/m2 LPB/
jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2mg/mg atau dipstik
2+), Hipoalbuminemia (,2,5 g/dL), Edema (pitting edema), serta dapat disertai
hiperkolesterolemia > 200 mg/dL, IgM dapat meningkat sedangkan IgG turun, Komplimen
serum normal dan tidak ada krioglobulin, Kadar kalsium serum total menurun (karena
penurunan fraksi terikat albumin), dan Kadar C3 normal. Penatalaksanaan sindrom nefrotik
secara umum adalah diitetik, diuretik, antibitik profilaksis, imunisasi, dan kortikosterid.
Pengobatan inisial kortikosteroid sindrom nefrotik dimulai dengan pemberian prednison dosis
penuh (full dose) 60mg/m2 LPB/hari atau 2 mg/kgBB/hari (maksimal 80 mg/hari), dibagi 3
dosis, untuk menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat badan ideal
(berat badan terhadap tinggi badan). Prednison dosis penuh inisial diberikan selama 4
minggu, dilanjutkan dengan prednison 40 mg/m2 LPB/hari (2/3 dosis penuh), dapat diberikan
secara intermitent (3 hari berturut-turut dalam 1 minggu) atau alternating (selang sehari),
selama 4 minggu. Diitetik dengan diit tinggi protein tidak dianjurkan lagi, retriksi cairan
dianjurkan selama terdapat edema berat, biasanya diberikan loop diuretic seperti furosemid 1-
2 mg/kgBB/hari, bila perlu dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis aldosteron,
diuretik hemat kalium) 2-3 mg/kgBB/hari. Bila pemberian diuretik tidak berhasil mengurangi
edema (edema refrakter), diberikan infus albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgBB selama 4
jam untuk menarik cairan dari jaringan interstisial, dan diakhiri dengan pemberian furosemid
intravena 1-2 mg/kgBB. Pemberian Antibiotik Profilaksis di Indonesia tidak dianjurkan tetapi
perlu dipantau secara berkala, dan bila ditemukan tanda-tanda infeksi segera diberikan
antibiotik. Imunisasi terhadap Streptococcus pneumoniae di Indonesia belum dianjurkan
karena belum ada laporan efektivitasnya yang jelas.

Kesimpulan

Sindrom nefrotik adalah salah satu penyakit ginjal yang sering dijumpai pada anak,
merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang terdiri dari proteinuria masif,
hipoalbuminemia, hiperkolesteronemia serta edema. Sindroma Nefrotik merupakan penyakit
yang mengubah fungsi glomerulus sehingga mengakibatkan kebocoran protein (khususnya
albumin) ke dalam ruang Bowman akan menyebabkan terjadinya sindrom ini. Etiologi SN
secara garis besar dapat dibagi 3, yaitu kongenital, glomerulopati primer/idiopatik, dan
sekunder mengikuti penyakit sistemik seperti pada purpura Henoch-Schonlein dan lupus
eritematosus sitemik. Kriteria diagnosis sindrom nefrotik adalah ditemukannya edema
bersifat pitting, proteinuria massif ( 40 mg/m2 LPB/jam rasio protein/kreatinin pada urin
sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik 2+), Hipoalbuminemia (< 2 g/dl atau 20 g/L), dengan atau
tanpa hiperlipidemia/hiperkolesterolemia, IgM dapat meningkat sedangkan IgG turun,
Komplimen serum normal dan tidak ada krioglobulin, Kadar kalsium serum total menurun
(karena penurunan fraksi terikat albumin), dan Kadar C3 normal. Secara umum
penatalaksanaan sindrom nefrotik terdiri dari diitetik, diuretik, antibitik profilaksis, imunisasi,
dan kortikosterid.

Referensi
1. Clark, A.G., & Barrat, T.M,. 1999. Steroid Responsive Nephrotic Syndrome. Edisi ke-
4. Baltimore: Lippicott Williams & Wilkins.
2. Pujiasuti, Trihono, dkk. 2012. Konsensus IDAI Tatalaksana Sindrom Nefrotik Idiopatik
pada Anak. Edisi ke-2. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
3. Pujiaji, Antonius. 2010. Pedoman Pelayanan Medis. Jakarta: Pengurus Pusat IDAI
4. Vogt AB, Avner ED. 2007. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia:
Saunders.
Kategori

Ilmu Penyakit Dalam

Judul

Sirosis Hepatis dengan Pecah Varises Esopagus

Abstrak

Sirosis Hepatis adalah suatu penyakit dimana sirkulasi mikro, anatomi pembuluh darah besar
dan seluruh sistem arsitektur hati mengalami perubahan menjadi tidak teratur dan terjadi
penambahan jaringan ikat (fibrosis) disekitar parenkim hati yang mengalami regenerasi.
Ruptur Varises Esofagus merupakan salah satu komplikasi dari Sirosis Hepatis. Varises
Esofagus adalah kondisi medis yang ditandai dengan penonjolan dan pelebaran abnormal dari
vena-vena submukosa pada esofagus bagian bawah sebagai akibat adanya hipertensi portal
karena aliran darah ke hati yang terhalang. Aliran tersebut akan mencari jalan lain, yaitu ke
pembuluh darah di esofagus, lambung atau rektum yang lebih kecil dan lebih mudah pecah.
Disini dilaporkan seorang wanita usia 53 tahun datang ke Instalasi Gawat Darurat (IGD)
mengeluhkan muntah darah berwarna merah gelap sebanyak 3 kali disertai mual dan terasa
makanan seperti ertahan ditenggorokan, pasien juga merasakan mudah lemas, pusing BAB
berwarna kehitaman, BAK normal, dan nyeri ulu hati disangkal. Pasien memiliki riwayat
sakit hepatitis dan mengeluhkan hal serupa hingga mondok tujuh kali. Pemeriksaan fisik
didapatkan atrofi muskulus temporalis, nyeri tekan pada epigastrium, sedang pembesaran
hepar sulit dievaluasi. Diagnosis Sirosis Hepatis Dekompensata dapat ditemukan lima dan
tujuh tanda, yaitu: acites, splenomegali, perdarahan varises esopagus, albumin yang rendah,
spider nevi, palmar eritema, dan pelebaran vena kolateral. Diagnosis pasti Varises Esopagus
adalah dengan pemeriksaan Endoskopi. Penatalaksanaan pecah varises esopagus terdiri dari
resusitasi cairan, terapi empiris, obatan-obatan vasoaktif, tamponade balon, dan terakhir
pembedahan.

Keywoed: Sirosis Hepatis, Varises Esofagus, Endoskopi

Isi

Seorang wanita usia 53 tahun datang ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) pada 27 juni 2014
dengan keluhan muntah darah berwarna merah gelap sebanyak 3 kali disertai mual dan terasa
makanan seperti ertahan ditenggorokan, pasien juga merasakan mudah lemas, pusing BAB
berwarna kehitaman, BAK normal, dan nyeri ulu hati disangkal. Pasien memiliki riwayat
sakit hepatitis dan mengeluhkan hal serupa hingga mondok tujuh kali.
Keadaan Umum: Lemah, Kesadaran: Kompos mentis.
Tanda-tanda Vital: TD: 100/70 mmHg, Nadi: 90 kali/menit, tengangan kuat, isi cukup, ritmis,
RR: 18x/menit, dan t: 37,5 0C.
Berat badan: 50kg Tinggi Badan: 155cm
Pemeriksaan fisik: Didapatkan Atrofi Muskulus Temporalis (+),Conjunctiva anemis (+/+),
sklera ikterik (-/-), nyeri tekan pada epigastrium, sedang pembesaran hepar sulit dievaluasi.
Pemeriksaan laboratorium: Hemoglobin 6.500 g/dL, Angka Leukosit 4.200/uL, Angka
Trombosit 104.000/uL, Protein Total 6,30 g/dl, Albumin 2,50 g/dl, Globulin 3,80 g/dl, SGOT
69.9 U/L, dan SGPT 31.4 U/L.
Pemeriksaan USG: Hepar: ukuran mulai mengecil, echostructure parenchym kasar,
permukaan irreguler, v. porta melebar, v.hepatica dbn. Kesan Sirosis Hepatis dengan
hipertensi portal.
Pemeriksaan Endoskopi: Varises esofagus 3 kolom F1-2 dengan CRS(+) tepat di atas EGJ.
Varise Gaster 1 tempat F2 curiga RC (+) Gastropati hipetensi portal ringan.

Diagnosis

Sirosis Hepatis dengan Pecah Varises Esopagus

Terapi

Infus Nacl 20 tpm


Inj. Kalnex 3x 500mg
Inj. Ranitidin 1x1 amp
Inj. Gastropen 1x1 amp
Po/ Propanolol 2x1 tab
Methicol 3x1 tab
Colistin 3x1tab
Laxadin syr 3x1cth
Inpepsia syr 1x1cth

You might also like