Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Cedera kepala akibat trauma atau traumatic brain injury (TBI) merupakan masalah yang
sering dijumpai. Survey yang dilakukan di rumah sakit di seluruh Amerika Serikat menunjukkan
bahwa tingkat insidensi TBI mencapai 200 per 100.000 orang per tahun atau 550.000 kasus baru
per tahunnya. Selain itu, terdapat 1,7 juta orang yang mengalami cedera kepala ringan yang
berobat ke dokter. Namun, jumlah ini diperkirakan belum mencakup seluruh kasus cedera kepala
yang terjadi karena tidak semua pasien cedera kepala datang berobat.1
Penyebab utama cedera kepala adalah kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh dan
perkelahian.Alkohol dan beberapa zat lainnya seringkali terlibat dalam kasus cedera kepala ini.
Insidensi tertinggi pada usia dekade kedua dan ketiga kehidupan diikuti usia tua (lebih dari 70
tahun). Laki-laki lebih banyak mengalami cedera dibandingkan dengan perempuan, namun
keduanya memiliko risiko yang setara setelah usia 65 tahun. Cedera kepala ringan (CKR)
merupakan jenis cedera kepala terbanyak (80%), diikuti cedera kepala sedang (CKS) sebanyak
Gangguan kognitif merupakan efek yang umum terjadi setelah cedera kepala dan
seringkali mengganggu aktivitas. Dari seluruh derajat cedera kepala, perhatian, kecepatan
berpikir, memori dan fungsi eksekutif adalah fungsi yang paling sering terganggu. 2 Dalam
makalah ini akan dibahas mengenai gangguan kognitif yang terjadi setelah cedera kepala.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Cedera Kepala
Cedera kepala traumatik merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan di negara
maju. Di Amerika Serikat pada tahun 2010, sedikitnya 5,3 juta penduduk mengalami
kecacatan jangka panjang atau seumur hidup akibat cedera kepala. Penyebab utama cedera
kepala pada penduduk sipil adalah kecelakaan kendaraan bermotor, kekerasan (luka tembus
pisau dan senjata api) serta jatuh (khususnya pada usia tua). Pada bidang olahraga, cedera
kepala ringan terjadi dalam bentuk konkusi (gangguan ringan dan sementara pada fungsi
Data epidemiologis tentang cedera kepala di Indonesia hingga saat ini belum tersedia,
namun dari data yang ada dikatakan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Data cedera
kepala di Makassar khususnya di Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo pada tahun 2005
berjumlah 861 kasus, tahun 2006 berjumlah 817 kasus dan tahun 2007 berjumlah 1078 kasus.
Sekitar 59% adalah cedera kepala ringan, 24% cedera kepala sedang dan 17% cedera kepala
berat. Pada penelitian lain, dalam kurung waktu 3 bulan (November 2011-April 2012)
ditemukan 524 penderita cedera kepala, 103 diantaranya mengalami delirium dan terdiri dari
27,2% merupakan cedera kepala sedang, dan 72,8 % cedera kepala ringan.4
Cedera kepala dapat diklasifikasikan menjadi cedera fokal dimana terjadi efek fisik
langsung pada otak menyebabkan kontusio atau perdarahan ekstra atau subdural; atau cedera
non-fokal atau difus (cedera aksonal difus) yang terjadi akibat gaya akselerasi/deselerasi
yang cepat. Secara klasik, cedera kepala juga diklasifikasikan berdasarkan tingkat keparahan
yang meliputi sejumlah kriteria: tingkat kesadaran, skor Glasgow coma scale, dan adanya
amnesia post-traumatik.3,5
B. Gangguan Kognitif
Sedikitnya 85.000 orang dengan cedera kepala setiap tahunnya akan mengalami
gangguan kognitif, emosional, perilaku dan somatik persisten. Sekuele neuropsikiatri yang
terjadi dapat berupa gangguan mood dan cemas, sindrom postconcussive, gangguan
kepribadian, agresi dan psikosis.1Gangguan kognitif merupakan sekuele yang umum terjadi
setelah cedera kepala, yang menyebabkan kesulitan dalam memusatkan perhatian, fungsi
Perhatian merupakan fungsi kognitif dasar dan terbagi menjadi perhatian selektif dan
terhadap sebuah stimulus tunggal, dan perhatian berkelanjutan merupakan maintenance dari
proses perhatian pada sebuah stimulus. Idealnya, seorang individu mampu melakukan
beberapa proses perhatian sekaligus (multitasking) dan membaginya secara fleksibel. Proses
perhatian ini meliputi sebuah jaringan neural yang luas dan selektif. Jaringan ini terdiri dari
berbagai struktur sistem saraf pusat meliputi formasi retikuler, talamus, area hipokampus dan
antorhinal, lobus frontal dan parietal kanan serta hubungan akson antar area-area tersebut.
Putusnya hubungan antara area-area ini dapat menyebabkan gangguan fungsi perhatian mulai
dari gangguan ringan (sulit mempelajari suatu hal baru) hingga pada tahap berat dapat terjadi
intelligence) dan motivasi juga dapat terganggu setelah cedera kepala. Fungsi eksekutif
diartikan sebagai kumpulan kemampuan yang meliptui kategorisasi dan pemikiran abstrak;
mencari memori dan mengingat kembali informasi yang sistematik; merencakan dan
mengatur kognisi dan perilaku; maintenance dan merubah informasi; dan penggunaan
Disfungsi eksekutif juga cukup sering terjadi pada pasien cedera kepala dan dapat terjadi
karena efek langsung dari cedera di lobus frontal atau sebagai konsekuensi dari gangguan
orang lain. Terminologi ini menjelaskan kemampuan untuk memahami dan mengintegrasikan
penilaian diri dengan lingkungan sosial atau proses menyesuaakan diri dalam bersosialisasi
serta perilaku adaptif dalam hubungan sosial dengan orang lain. Fungsi ini merupakan hasil
kondisi sosial yang terjadi. Gangguan fungsi ini umumnya bermanifestasi sebagai gangguan
dan perilaku yang didasarkan pada sebuah tujuan. Disfungsi dari proses ini akan
menyebabkan gangguan motivasi diri (atau, dalam bentuk yang ekstrem, dapat terjadi apatis
atau abulia). Area yang terlibat dalam fungsi motivasi adalah sirkuit cingulated-subkortikal
anterior. Menurunnya motivasi umum ditemukan pada CKB, namun dapat juga ditemukan
Cedera kepala ringan dikarakteristikkan dengan gangguan perhatian dan memori jangka
pendek, yang dialami 75-85% pasien. Baru-baru ini, cedera kepala ringan berulang, seperti
yang sering dialami oleh atlet dalam olahraga kontak dan personal militer dapat memicu
tahun 2012 menunjukkan bahwa faktor kognisi yang paling banyak terganggu adalah atensi,
Penelitian oleh Dikmen et al. (2009) mengenai cedera kepala terhadap fungsi kognitif
menemukan bahwa veteran tentara yang mengalami cedera kepala tembus memiliki
cedera adalah intelegensi sebelum cedera, diikuti ukuran dan lokasi lesi. Sedangkan, pada
cedera kepala tertutup, diketahui bahwa defisit kognitif jangka panjang (lebihdari 6 bulan)
berhubungan dengan CKB. Gangguan yang terjadi cukup luas dan mencakup gangguan
perhatian, memorik episodic, kecepatan mengolah informasi, dan fungsi eksekutif. Cedera
kepala ringan-sedang umumnya terkait dengan defisit kognitif awal dan sementara.6
Finnanger et al. (2013) meneliti mengenai fungsi kognitif pasien satu tahun setelah
cedera kepala traumatik.Mereka melaporkan bahwa pasien dengan cedera kepala sedang
memiliki fungsi eksekutif yang lebih buruk dibandingkan dengan kontrol.Sedangkan, pasien
dengan cedera kepala berat memiliki fungsi motorik, fungsi eksekutif, kecepatan berpikir dan
memori yang lebih buruk dibandingkan dengan kontrol. Selain itu, mereka juga menemukan
adanya perbaikan fungsi kognitif yang dinilai pada bulan ketiga dan kedua belas setelah
cedera.7
Defisit kognitif akibat lesi pada otak setelah cedera meliputi lesi pada region temporal
medial, korteks prefrontal dorso-lateral serta substansia alba subkortikal. Hipokampus, yang
pemeriksaan MRI pada pasien dengan cedera kepala sedang hingga berat. Kedua derajat
cedera ini telah diterima sebagai penyebab defisit kognitif jangka panjang, sedangkan CKR
seringkali dihubungkan dengan disfungsi kognitif jangka pendek yang umumnya akan pulih
dalam 3 bulan setelah cedera. Namun, sekarang diketahui bahwa pasien CKR (hingga 15%)
Cedera pada lobus parietal menyebabkan kesulitan berpikir atau mempelajari suatu hal
yang baru, sulit mempertahankan motivasi untuk periode waktu yang lama.Gangguan
perhatian dan konsentrasi (distraktibilitas) umumnya timbul dan pasien dapat menjadi apatis.
Gangguan berpikir abstrak, deficit dalam mengambil keputusan dan gangguan perilaku dapat
informasi (memori). Lobus ini merupakan bagian dari system limbic sirkuit emosional
otak, sehingga cedera pada lobus ini juga akan menyebabkan gangguan emosi (sulit
mengendalikan emosi). Girus cingulata juga mengatur fungsi emosional serta habituasi atau
menjadi terbiasa terhadap suatu stimulus. Cedera pada lokasi ini juga menyebabkan
yang menunjukkan lokasi cedera secara jelas, gangguan kognitif dapat juga terjadi pada
cedera non-fokal atau difus. Diketahui terdapat proses sitotoksik (seperti disregulasi
kalsium dan magnesium, radikal bebas, eksitotoksisitas neurotransmitter) dan cedera aksonal
difus yang terjadi akibat cedera non-fokal tersebut. Proses ini secara fungional dan
structural merusak jaringan neural yang menjalankan fungsi kognitif dan dapat menyebabkan
gangguan kognitif.1
Gambar 1.Skema dari fase primer dan sekunder cedera yang menyebabkan
gangguan kognitif setelah cedera kepala.Cedera primer (cedera fisiko langsung atau
akselerasi/deselerasi) menyebabkan cedera fokal atau difus yang dapat memicu
kompliaksi sistemik sekunder dan mekanisme cedera seluler yang menyebabkan
kematian sel, cedera akson, dan gangguan plastosotas sinaps, yang berkontribusi pada
gangguan kognitif setelah cedera kepala.Perluasan kematian sel dan cedera akson
berhubungan dengan keluaran neurologis setelah cedera kepala. Gangguan plastisitas
sinaps yang diinduksi cedera kepala dikarakteristikkan dengan gangguan long-term
potentiation (LTP) dan meningkatnya long-term depression (LTD), dua mekanisme yang
mengontrol pembentukan memori, yang juga ikut berperna dalam disfungsi kognitif
khususnya pada CKR yang tidak dijumpai adanya kematian sel yang nyata. ICP:
Intracranial Pressure / Tekanan intracranial. CBF: cerebral blood flow/aliran darah otak.3
Cedera fisik langsung pada otak (akibat akselerasi/deselerasi) dari cedera primer
menyebabkan kerusakan mekanik pada sel neuron dan glial, akson dan
vaskularisasi.Kerusakan akibat cedera primer bersifat segera dan ireversibel. Cedera primer
dapat memicu aktivasi cedera sekunder baik komplikasi sistemik dan mekanisme cedera
seluler yang berlangsung dari hitungan jam hingga beberapa minggu setelah cedera.3
Gambar 2.Efek cedera kepala pada otak.Kerusakan sel neuron pada kondisi mikroskopis
(a) dan makroskopis (b). Kerusakan otak menyebabkan putusnya komunikasi antar jaringan
dalam struktur otak (c dan d).8
berkontribusi pada penurunan aliran darah otak dan gangguan metabolisme yang
menyebakan iskemia. Iskemia ini akan memicu kaskade seluler dan biokimia meliputi
ini menyebabkan hilangnya sel neuron melalui nekrotik (cepat dan tidak terkontrol) dan
kematian sel terprogram (lambat). Luasnya kehilangan atau kematian sel neuron ini terkait
Cedera kepala dapat menjadi faktor yang mendorong terjadinya neurodegenerasi dan
Amyotrophic lateral sclerosis (ALS) dan chronic traumatic encephalopathy (CTE). Pada
tahun 1928, diketahui bahwa cedera kepala berulang dapat menyebabkan gangguan kognitif
Terdapat istilah perbaikan kognitif (cognitive reserve) yang dikemukakan sebagai proses
aktif dan pasif setelah cedera kepala. Proses perbaikan kognitif pasif menjelaskan bahwa
terdapat kadar ambang dari cedera yang mampu ditekan oleh tubuh agar tidak menyebabkan
gejala. Sedangkan proses perbaikan kognitif aktif melibatkan otak secara aktif untuk
Seseorang dengan perbaikan kognitif yang baik akan dapat memulihkan cedera otak yang
terjadi baik melalui proses aktif dan pasif. Pada kondisi cedera kepala berulang, diduga
bahwa terjadi penurunan dari perbaikan kognitif. Gaya hidup dan paparan dari lingkungan
seperti gaya hidup yang tidak sehat, penggunaan zat juga berkontribusi pada penurunan
perbaikan kognitif ini. Penelitian menunjukkan bahwa tingkat pendidikan dan tingkat
intelegensi basal sebelum cedera berkorelasi kuat dengan efek protektif setelah cedera.Selain
itu. Rehabilitasi kognitif setelah cedera kepala dapat mengurangi risiko demensia. Faktor
genetic dapat juga berperan dalam perbaikan kognitif. Polimorfisme ditemukan pada gen
yang penting untuk memodulasi respon inflamasi, plastisitas sinaps dan mekanismerepair
setelah neurotrauma. Sejauh ini penelitian polimorfisme pada cedera kepala terjadi pada gen
Gambar 3.Perbaikan kognitif (cognitive reserve) sebagai factor risiko untuk disfungsi
kognitif dan demensia setelah cedera kepala.Sejumlah faktor genetik dan lingkungan
menentukan tingkat perbaikan kognitif seseorang.Perbaikan kognitif yang lebih tinggi
diprediksi memiliki keluaran kognitif yang lebih baik dan penurunan risiko terjadinya
demensia setelah cedera kepala.Begitu pula sebaliknya. Perbaikan kognitif dapat dilihat
sebagai proses aktif (mekanisme kompensasi) atau pasif (tingkat kerusakan yang dapat
ditoleransi oleh otak).3
D. Gejala Klinis
Gejala neuropsikiatrik yang merupakan sekuele dari cedera kepala dapat meliputi
masalah perhatian (atensi) dan arousal, konsentrasi dan fungsi eksekutif, perubahan
ansietas, psikosis, epilepsi pasca traumatik, gangguan tidur, agresi, dan iritabilitas.9
Sekuele ini dapat muncul akibat dari kerusakan fisik langsung pada otak dan akibat dari
faktor sekunder seperti gangguan vaskuler, anoksia dan oedem serebral. Beratnya sekuele
neuropsikiatrik pada cedera kepala ditentukan oleh berbagai faktor yang telah ada saat
kelompok menurut waktu terjadinya bila dikaitkan dengan fase pada cedera kepala.
Pertama pasien akan mengalami kehilangan kesadaran atau koma yang terjadi segera
setelah cedera kepala. Fase kedua ditandai dengan campuran gangguan kognitif dan
psikomotor.Kedua fase ini terjadi beberapa hari sampai satu bulan setelah cedera, dan
merupakan bentuk dari delirium pasca traumatik.Fase ketiga berlangsung pada periode 6-
12 bulan yang merupakan fase penyembuhan cepat fungsi kognitif, diikuti oleh
penyembuhan yang bersifat plateau selama 12-24 bulan setelah cedera. Fase keempat
ditandai dengan sekuele kognitif yang permanen, fase ini disebut juga sebagai demensia
E. Diagnosis
adanya defisit kognitif. Diagnosis gangguan kognitif ringan berdasarkan hasil evaluasi
neuro psikologis dan psikiatris, pemeriksaan fisik termasuk tes laboratorium, pencitraan
(CT-Scan atau MRI), dan peninjauan kembali dari riwayat medis pasien dan obat-obatan
yang pasien saat ini sedang dipakai. Evaluasi ini dilengkapi dengan pengamatan klinis
dari gejala-gejala pasien, onset (mendadak atau bertahap), presentasi (bagaimana gejala-
Penilaian fungsi kognitif meliputi lima bagian pokok yaitu atensi, bahasa,
memori, visual ruang dan fungsi eksekutif. Atensi adalah kemampuan untuk
memungkinkan seseorang untuk menyeleksi aliran stimulus eksogen dan endogen yang
mengaliri otak yang dianggap perlu dari hal-hal yang perlu diabaikan. Pemeriksaan dapat
dilakukan dengan observasi apakah perhatian pasien mudah terpengaruh oleh benda di
sekitarnya, salah satu cara pemeriksaannya adalah dengan menyuruh pasien menghitung
dan penamaan.Bicara spontan dapat dinilai pada waktu wawancara bagaimana kelancaran
orientasi tempat dan waktu, atau menilai kemampuan mengingat kembali hal-hal yang
pernah terjadi atau berkaitan dengan pasien (recall). Gangguan fungsi semantik adalah
jika pasien tidak bisa menjawab fakta-fakta secara umum, misalnya dalam satu minggu
Adanya gangguan memori verbal berarti kerusakan pada hemisfer kiri, sedangkan
Gangguan memori recall dan rekognisi berhubungan dengan atrofi lobus temporalis
mesial dan thalamus. Fungsi eksekutif terdiri dari pemecahan masalah, pemikiran,
dilakukan dengan cara pasien disuruh membedakan hal-hal yang mirip misalnya mobil
pertanyaan.Salah satu pemeriksaan mental mini yang cukup populer adalah tes Mini
Mental State Examination (MMSE) yang diperkenalkan oleh Folstein (1971). MMSE
proses penurunan kognitif dan memonitor respon terhadap pengobatan. MMSE sangat
reliabel untuk menilai gangguan fungsi kognitif dan dapat digunakan secara luas sebagai
berisi 11 item pertanyaan dan perintah meliputi orientasi waktu, tempat, ingatan segera,
terbalik.11,12,13,14
adalah 30.Berdasarkan skor atau nilai tersebut, status kognitif pasien dapat digolongkan
menjadi 3 yaitu status kognitif normal (nilai 24-30), probable gangguan kognitif (nilai
17-23) dan definite gangguan kognitif (nilai 0-16).Pada penelitian ini, gangguan kognitif
ditegakkan bila didapatkan nilai MMSE 0-23, yaitu meliputi kriteria probable dan
F. Diagnosis Banding
Gangguan kognitif pasca trauma dibedakan dengan beberapa gangguan mental
menjadi tiga kelompok berdasarkan kepada gejala utamanya yang merupakan gangguan
berbahasa, gangguan kognitif seperti halnya penurunan daya ingat, dan juga gangguan
kognitif.Gejala mental yang ditunjukkan adalah adanya gangguan pada tingkat mood,
persepsi, serta perilaku.Kemudian mengenai gambaran klinis dari delirium ini adalah
halusinasi, dan mengalami mimpi buruk saat tidur. Gangguan lain yang biasanya
menyertai adalah berupa gangguan tidur-bangun, selalu mengantuk pada siang hari.
2. Demensia
Sindrom ini yang ditandai dengan berbagai gangguan fungsi kognitif tanpa adanya
gangguan pada kesadaran.Gangguan pada fungsi kognitif itu dapat berupa gangguan
statis, permanen dan juga reversible jika diberikan pengobatan tepat pada
serta demensia vaskular, sisanya dikarenakan oleh penyakit Huntington, Pick, serta
truma kepala. Gambaran dari gangguan ini awalnya berupa gangguan daya ingat yang
baru, selanjutnya ingatan yang sudah lama pun juga akan mengalami gangguan pula.
Selain itu ditemukan juga gangguan bahasa serta gangguan orientasi pada gangguan
ini. Gangguan ini disertai dengan perubahan kepribadian menjadi lebih introvert,
mudah marah, dan sering mengalami halusinasi. 12,13,15
3. Amnestik
Gangguan mental ini ditandai dengan gangguan tunggal yang berupa penurunan
daya ingat yang bisa mengakibatkan gangguan fungsi sosial serta pekerjaan.Penyebab
yang paling umum ditemui pada gangguan mental ini adalah alkohol serta trauma
dalam mempelajari sebuah pengetahuan baru yang bisa disebut dengan amnesia
dimulai langsung pada saat trauma atau beberapa saat setelah trauma.Ingatan tentang
waktu saat gangguan fisik mungkin juga hilang.Daya ingat jangka pendek (short-
term memory) dan daya ingat baru saja (recent memory) biasanya terganggu. Daya
ingat jangka panjang (remote post memory) untuk informasi atau yang dipelajari
tetapi daya ingat untuk peristiwa yang lama (lebih 10 tahun) terganggu. Gangguan
amnestik ditandai terutama oleh gejala tunggal suatu gangguan daya ingat yang
G. Terapi
1. Terapi Medikamentosa
Terapi lini pertama untuk gangguan kognitif post trauma adalah terapi non-
fungsional dan sistematis pada intervensi yang dirancang untuk memperbaiki kondisi
neuropsikologis.Setelah penilaian neuropsikologis menyeluruh pada kekuatan dan
untuk defisit kognitif, atau memfasilitasi adaptasi terhadap gangguan kognitif yang
perbaikan fungsional, dan membatasi dampak dari kecacatan kognitif permanen pada
komponen rehabilitasi ini diarahkan pada perbaikan domain atau kemampuan kognitif
tertentu. Program ini menargetkan perbaikan pada gangguan perhatian, bahasa dan
komunikasi, memori, fungsi visuospasial, dan fungsi eksekutif yang telah dipelajari
dengan alarm dan pesan, serta daftar tugas. Cognitive behavioral therapy (CBT) juga
a. Rehabilitasi Kognitif
Rehabilitasi kognitif dapat dilakukan saat rawat inap di rumah sakit dan di rumah
pasien sendiri. Terapi rehabilitasi yang dilakukan saat rawat inap antara lain : 17
a. Sustained Attention Training
1. Mendengarkan urutan kata dan mengidentifikasi ketika ada stimulus kata yang
lengkap kalimat yang beberapa katanya di kosongkan dengan angka dan huruf
secara lengkap.
3. Kegiatan ini dimulai dengan angka, yang harus berurutan ditambahkan atau
menganggu.
2. Pasien ditugaskan untuk menggambar dengan kertas dan pena pada selembar
kertas yang penuh dengan bekas dan desain pada latar belakang.
d. Divided Attention Training
1. Pasien membaca beberapa paragraf, dan memperhatikan isinya.
2. Pasien menyelesaikan sustained attention training, dimana pasien harus
pada stimulus / tugas yang diberikan.Aspek kedua adalah untuk menilai apakah
pasien mampu memecahkan stimulus yang diberikan terhadap kata atau benda
(stimulus verbal maupun visual) atau dapat mengkategorikan kata-kata atau benda
b. Penyimpanan Memori
Pelatihan ini mencakup pembelajaran terhadap hal-hal baru atau
keterampilan lama yang hilang. Bila ada lesi hippocampus bilateral, mekanisme
retensi memori belajar jangka panjang akan hilang. Proses pengulangan verbal
menulis, menggambar dan proses verbal penting dalam pelatihan ini. Individu
yang mengalami cedera lobus frontal, dapat mengingat fakta, namun tidak mampu
pasien mengingatnya.
Terapi yang dapat dilakukan dirumah pasien sendiri, diawali dengan evaluasi
okupasi. Setelah evaluasi ini dilakukan, tim interdispiliner akan menetapkan strategi
dirumah:
Mengingat peristiwa dalam satu hari (pada akhir hari) atau hari sebelumnya (di
pagi hari)
Jika memungkinkan, setelah mengingat peristiwa, pasien menuliskannya di buku
tulis
Menerima informasi baruringkasan berita tentang kegiatan di keluarga, membaca
setiap minggu
Membicarakan cerita masa lalu yang telah dilupakan atau yang susunan ceritanya
dan memori
Penggunaan obat hanya digunakan jika dirasa perlu : ACH inhibitor,
antidepressant, Ritalin
2. Terapi Non-medikamentosa
Lini kedua untuk gangguan ini adalah pemberian dari farmakoterapi yaitu
atau tidak langsung meningkatkan fungsi katekolamin atau asetilkolinergik otak, atau
NMDA dan influx berlebih kalsium.Obat antagonis NMDA bekerja sebagai antagonis
inkompetitif pada kompleks reseptor NMDA. Oleh karena itu, pemberian obat ini
berfungsi untuk mengurangi tingkat kematian sel dan kerusakan otak yang lebih luas
fungsi eksekutif, gangguan pada memori, gangguan kecepatan proses berpikir. 19,20
a. Fungsi Eksekutif :19
1. AMH (Amantideine Hydrochloride)
Direkomendasikanuntuk meningkatkan fungsi kognitif umum setelah
terbukti aman untuk meningkatkan fungsi kognitif pasien dengan cedera otak
sedang hingga berat dan dimulai dari hari ke 3 sampai 5 bulan kedepan.
eksekutif tanpa manfaat yang signifikan dalam perhatian atau memori pada
pasien dengan cedera kepala ringan sampai berat 6 bulan pasca cedera.
2. Bromokriptin
Direkomendasikanuntuk meningkatkan fungsi eksekutif setelah trauma. Dosis
yang dianjurkan adalah 2,5 mg. Tetapi bromokriptin tidak efektif digunakan
b. Fungsi Memori17:
1. Cholinesterase Inhibitor (Donepezil)
Obat yang biasa digunakan dalam terapi Alzeimer Disease ini juga memiliki
digunakan pada fase akut dan lambat dari penurunan memori yang terjadi
jika dimulai 1 tahun setelah cedera dan aman jika digunakan selama 12 38
minggu.
c. Fungsi dalam Kecepatan Proses Berpikir16,17
1. MPD (Methylphenidate)
Direkomendasikanuntuk meningkatkan fungsi atensi dan kecepatan proses
berpikir. Suatu studi menyatakan pasien cedera otak ringan sampai berat yang
berpikir. Dosis standar yang efektif dan aman digunakan adalah 0,3 mg/kg dua
itu obat ini aman digunakan pada pasien dengan resiko kejang yang tinggi.
2. Dextroamphetamine
Digunakanuntuk meningkatkan proses berpikir pasca trauma otak. Dosis yang
H. Komplikasi
Komplikasi terhadap fungsi kognitif yang dapat timbul akibat trauma kepala :20
Kesulitan mengerti perkataan dan tulisan
Kesulitan berbicara dan menulis
Kesulitan mengorganisasikan pikiran dan ide
Kesulitan mengikuti percakapan
I. Prognosis
rognosis dari gangguan kognitif pasca cedera kepala sulit untuk ditentukan. Tidak ada
pengukuran yang jelas untuk menilai prognosis dari gangguan kognitif pasca
pasca trauma kepala ditentukan oleh tipe cedera kepala yang dialami dan berat cedera
pasien dengan cedera kepala tertutup. Pasien dengan cedera kepala terbuka cenderung
memiliki fungsi kognitif yang buruk pasca cedera dan akan terus mengalami penurunan
fungsi kognitif sampai 30 tahun setelahnya. Faktor yang menentukan tingkat keburukan
gangguan kognitif pada pasien pasca cedera kepala terbuka adalah skor kognitif sebelum
cedera, volume dari jaringan otak yang hilang dan regio otak yang cedera.20,21
Pada pasien dengan cedera kepala tertutup, gangguan kognitif yang dialami cenderung
lebih baik dibandingkan dengan pasien dengan cedera kepala terbuka.Pasien dengan
cedera kepala ringan cenderung memiliki gangguan kognitif ringan dan gangguan
neurobehavior dengan onset akut. Pasien dengan cedera kepala sedang cenderung akan
memiliki gangguan sampai dengan 6 bulan. Pasien dengan cedera kepala berat akan
BAB III
KESIMPULAN
cedera kepala meliputi intelegensi sebelum cedera, lokasi lesi, ukuran lesi, gaya
kemampuan yang telah diubah secara permanen. Terapi dalam gangguan kognitif
pasca trauma kepala dibagi menjadi dua yaitu terapi non-farmakologis dan terapi
farmakologis.
4. Prognosis dari gangguan kognitif pasca cedera kepala sulit untuk ditentukan. Tidak
ada pengukuran yang jelas untuk menilai prognosis dari gangguan kognitif pasca
cederakepala.
DAFTAR PUSTAKA