You are on page 1of 31

BAB I

PENDAHULUAN

Hipertiroid ialah suatu sindroma klinik yang terjadi karena pemaparan jaringan
terhadap hormone tiroid berlebihan. Penyakit tiroid merupakan penyakit yang banyak ditemui
di masyarakat, 5% pada pria dan 15% pada wanita. Penyakit Graves di Amerika sekitar 1%
dan di Inggris 20-27/1000 wanita dan 1.5-2.5/1000 pria, sering ditemui di usia kurang dari 40
tahun. Istilah hipertiroidisme sering disamakan dengan tirotoksikosis, meskipun secara
prinsip berbeda. Dengan hipertiroidisme dimaksudkan hiperfungsi kelenjar tiroid dan sekresi
berlebihan dari hormone tiroid dalam sirkulasi. Pada tirotoksikosis dapat disebabkan oleh
etiologi yang amat berbeda, bukan hanya yang berasal dari kelenjar tiroid. Adapun
hipertiroidisme subklinis, secara definisi diartikan kasus dengan kadar hormone normal tetapi
TSH rendah. Di kawasan Asia dikatakan prevalensi lebih tinggi disbanding yang non Asia
(12% versus 2.5%).

Penyakit Graves merupakan penyebab utama dan tersering tirotoksikosis (80-90%),


sedangkan yang disebabkan karena tiroiditis mencapai 15% dan 5% karena toxic nodular
goiter. Prevalensi penyakit Graves bervariasi dalam populasi terutama tergantung pada intake
yodium (tingginya intake yodium berhubungan dengan peningkatan prevalensi penyakit
Graves). Penyakit Graves terjadi pada 2% wanita, namun hanya sepersepuluhnya pada pria.
Kelainan ini banyak terjadi antara usia 20-50 tahun, namun dapat juga pada usia yang lebih
tua.

Hipertiroidisme sering ditandai dengan produksi hormone T3 dan T4 yang meningkat,


tetapi dalam persentase kecil (kira-kira 5%) hanya T3 yang meningkat, disebut sebagai
tirotoksikosis T3 (banyak ditemukan di daerah dengan defisiensi yodium). Status tiroid
sebenarnya ditentukan oleh kecukuan sel atas hormon tiroid dan bukan kadar normal
hormone tiroid dalam darah. Ada beberapa prinsip faali dasar yang perlu diingat kembali.
Pertama bahwa hormone yang aktif adalah free hormone, kedua bahwa metabolism sel
didasarkan atas tersedianya free T3 bukan free T4, ketiga bahwa distribusi deiodinase I, II,
dan III di berbagai organ tubuh berbeda (D1 banyak di hepar, ginjal dan tiroid, DII di otak,
hipofisis, dan DIII di jaringan fetal, otak, plasenta), namun hanya D1 yang dapat dihambat
oleh PTU.

BAB II
1
PEMBAHASAN

2.1 Anatomi Kelenjar Tiroid

Kata thyroid berarti organ berbentuk perisai segi empat. Kelenjar ini merupakan

kelenjar endokrin yang paling banyak vaskularisasinya, dibungkus oleh capsula yang berasal

dari lamina pretracheal fascia profunda. Capsula ini melekatkan thyroid ke larynx dan

trachea. Kelenjar thyroid terletak di leher depan setentang vertebra cervicalis 5 sampai

thoracalis 1, terdiri dari lobus kiri dan kanan yang dihubungkan oleh isthmus. Setiap lobus

berbentuk seperti buah pear, dengan apex di atas sejauh linea oblique lamina cartilage

thyroidea, dengan basis di bawah pada cincin trachea 5 atau 6.

Gambar 1. Kelenjar thyroid (tampak depan)

Berat kelenjar thyroid bervariasi antara 20-30 gr, rata-rata 25 gr. Dengan adanya

ligamentum suspensorium Berry kelenjar thyroidea ditambatkan ke cartilage cricoidea dari

facies posteromedial kelenjar. Jumlah ligamentum ini 1 di kiri dan kanan. Fungsinya sebagai

2
ayunan/ gendongan kelenjar ke larynx dan mencegah jatuh/ turunnya kelenjar dari larynx,

terutama bila terjadi pembesaran kelenjar.

a. Lobus Lateralis

Setiap lobus kiri dan kanan terdiri dari 3 bagian yaitu :

1. Apex

2. Basis

3. Facies/ permukaan dan 3 Margo/ pinggir.

1. Apex

Berada di atas dan sebelah lateral oblique cartilage thyroidea

Terletak antara M.Constrictor inferior (di medial) dan M.Sternothyroideus (di

lateral)

Batas atas apex pada perlekatan M.Sternothroideus.

Di apex A. Thyroidea superior dan N.Laringeus superior berpisah, arteri

berada di superficial dan nervus masuk lebih ke dalam dari apex (polus)Ahli

bedah sebaiknya meligasi arteri thyroidea sup.dekat ke apex.

Gambar 2. Topografi kelenjar thyroid (tampak depan)

2. Basis
3
Terletak setentang dengan cincin trachea 5 atau 6.

Berhubungan dengan A. Thyroidea inferior dan N. Laryngeus recurrent yang berjalan

di depan atau belakang atau di antara cabang-cabang arteri tersebut. Ahli bedah

sebaiknya meligasi arteri thyroidea inf. jauh dari kelenjar.

3. Facies

3.1. Facies Superficial/ Anterolateral

Berbentuk konvex ditutupi oleh beberapa otot dari dalam ke luar :

M. Sternothyroideus

M. Sternohyoideus

M. Omohyoideus venter superior

Bagian bawah M. Sternocleidomastoideus

3.2. Facies Posteromedial

Bagian ini berhubungan dengan :

- 2 saluran : larynx yang berlanjut menjadi trachea, dan pharynx berlanjut menjadi

oesophagus.

- 2 otot : M. Constrictor inferior dan M. Cricothyroideus.

- 2 nervus : N. Laryngeus externa dan N. Larungeus recurrent.

3.3. Facies Posterolateral

4
Berhubungan dengan carotid sheath (selubung carotid) dan isinya yaitu A. Carotis interna, N.

Vagus, dan V. Jugularis interna (dari medial ke lateral).

3.4. Margo Anterior

Margo ini memisahkan facies superficial dari posteromedial, berhubungan dengan

anastomose A. Thyroidea superior.

3.5. Margo Posterior

Bagian ini memisahkan facies posterolateral dari posteromedial, berhubungan dengan

anastomose A. Thyroidea superior dan inferior. Ductus thoracicus terdapat pada sisi

kirinya.Terdapat kelenjar parathyroidea superior pada pertengahan margo posterior lobus

lateralis kelenjar thyroidea tepatnya di antara true dan false capsule. Setentang cartilage

cricoidea dan sebelah dorsal dari N. Laryngeus recurrent. Kelenjar parathyroidea inferior

letaknya bervariasi, terdapat 3 kemungkinan letaknya :

- Pada polus bawah (inferior) lobus lateralis di dalam false capsule di bawah A. Thyroidea

inferior.

- Di luar false capsule dan di atas A. Thyroidea superior

- Di dalam true capsule pada jaringan kelenjar dan ventral terhadap N. Laryngeus recurrent.

II. Isthmus

Isthmus adalah bagian kelenjar yang terletak di garis tengah dan menghubungkan

bagian bawah lobus dextra dan sinistra (isthmus mungkin juga tidak ditemukan). Diameter

transversa dan vertical 1,25 cm.

Pada permukaan anterior isthmus dijumpai (dari superficial ke profunda) :

5
- Kulit dan fascia superficialis

- V. Jugularis anterior

- Lamina superficialis fascia cervicalis profunda

- Otot-otot : M. Sternohyoideus danM. Sternothyroideus.

Permukaan posterior berhubungan dengan cincin trachea ke 3 dan 4. Pada margo

superiornya dijumpai anastomose kedua A. Thyroidea superior, lobus pyramidalis dan

Levator glandulae. Di margo inferior didapati V. Thyroidea inferior dan A. Thyroidea ima.

Gambar 3. Topografi kelenjar thyroid (tampak belakang)

III. Lobus Pyramidalis

Kadang-kadang dapat ditemui.

Jika ada biasanya terdapat di margo superior isthmus, memanjang ke os hyoidea, atau

bisa juga berasal dari lobus kiri atau kanan.

6
Sering didapati lembaran fibrosa atau musculous yang menghubungkan lobus

pyramidalis dan os hyoidea, jika penghubung ini otot dikenal dengan nama levator glandula

thyroidea.

Capsule Kelenjar Thyroidea

1. Outer false capsule : Berasal dari lamina pretracheal fascia cervicalis profunda.

2. Inner true capsule : dibentuk oleh kondensasi jaringan fibroareolar kelenjar thyroidea.

Pada celah antara kedua capsule tersebut didapati kelenjar parathyroidea, pembuluh

darah.vena yang luas dan banyak.

Vascularisasi

1. Sistem Arteri

A. Thyroidea superior, adalah cabang A. Carotis externa yang masuk ke jaringan superficial

kelenjar, mendarahi jaringan connective dan capsule.

A. Thyroidea inferior adalah cabang trunchus thyreocervicalis dan masuk ke lapisan dalam

kelenjar, mendarahi jaringan parenkim dan propia kelenjar.

A. Thyroidea ima, Arteri ini kadang-kadang dijumpai merupakan cabang arcus aorta atau A.

Brachiocephalica dan mendarahi istmus.

A. Thyroidea acessorius, adalah cabang-cabang A. Oesophageal dan Tracheal yang masuk

ke facies posteromedial.

2. Sistem Vena

7
V. Thyroidea superior; muncul dari polus superior dan berakhir pada vena jugularis interna

(kadang-kadang V. Facialis)

V. Thyroidea inf.; muncul dari margo bawah istmus dan berakhir pada V. Brachiocephalica

sin.

V. Thyroidea media; muncul dari pertengahan lobus lateralis dan berakhir di V. Jugularis int.

Gambar 4. Vascularisasi kelenjar thyroid (tampak depan)

3. Aliran Lymphatic

Ascending Lymphatic

- Media, mengalir ke prelaryngeal lymph node yang terletak pada membrane cricothyroidea

- Lateral, mengalir ke Jugulo-digastric grup dari deep cervical lymph node.

Descending Lymphatic

- Medial, mengalir ke pretracheal grup di trachea

8
- Lateral, mengalir ke Gl. Recurrent chain pada N. Laryngeus recurrent.

2.2 Fisiologi

Kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroid utama yaitu tiroksin (T4) yang kemudian

berubah menjadi bentuk aktifnya yaitu triyodotironin (T3). Iodium nonorganik yang diserap

dari saluran cerna merupakan bahan baku hormon tiroid. Zat ini dipekatkan kadarnya menjadi

30-40 kali sehingga mempunyai afinitas yang sangat tinggi di dalam jaringan tiroid. T3 dan

T4 yang dihasilkan ini kemudian akan disimpan dalam bentuk koloid di dalam tiroid.

Sebagian besar T4 kemudian akan dilepaskan ke sirkulasi sedangkan sisanya tetap di dalam

kelenjar yang kemudian mengalami daur ulang. Di sirkulasi, hormon tiroid akan terikat oleh

protein yaitu globulin pengikat tiroid Thyroid Binding Globulin (TBG) atau prealbumin

pengikat albumin Thyroxine Binding Prealbumine (TBPA). Hormon stimulator tiroid Thyroid

Stimulating Hormone (TSH) memegang peranan terpenting untuk mengatur sekresi dari

kelenjar tiroid. TSH dihasilkan oleh lobus anterior 13 kelenjar hipofisis. Proses yang dikenal

sebagai umpan balik negatif sangat penting dalam proses pengeluaran hormon tiroid ke

sirkulasi. Pada pemeriksaan akan terlihat adanya sel parafolikular yang menghasilkan

kalsitonin yang berfungsi untuk mengatur metabolisme kalsium, yaitu menurunkan kadar

kalsium serum terhadap tulang.

Sekresi hormon tiroid dikendalikan oleh kadar hormon perangsang tiroid yaitu

Thyroid Stimulating Hormone (TSH) yang dihasilkan oleh lobus anterior hipofisis. Kelenjar

ini secara langsung dipengaruhi dan diatur aktifitasnya oleh kadar hormon tiroid dalam

sirkulasi yang bertindak sebagai umpan balik negatif terhadap lobus anterior hipofisis dan

terhadap sekresi hormon pelepas tirotropin yaitu Thyrotropin Releasing Hormone (TRH) dari

hipotalamus. Sebenarnya hampir semua sel di tubuh dipengaruhi secara langsung atau tidak

langsung oleh hormon tiroid. Efek yang umum dari hormon tiroid adalah mengaktifkan

9
transkripsi inti sejumlah besar gen. Oleh karena itu, di semua sel tubuh sejumlah besar enzim

protein, protein struktural, protein transpor, dan zat lainnya akan disintesis. Hasil akhirnya

adalah peningkatan menyeluruh aktivitas fungsional di seluruh tubuh. Hormon tiroid

meningkatkan aktivitas metabolik selular dengan cara meningkatkan aktivitas dan jumlah sel

mitokondria, serta meningkatkan transpor aktif ion-ion melalui membran sel. Efek T3 dan T4

dapat dikelompokkan menjadi beberapa kategori yaitu :

a. Efek pada laju metabolism

Hormon tiroid meningkatkan laju metabolisme basal tubuh secara keseluruhan.

Hormon ini adalah regulator terpenting bagi tingkat konsumsi O2 dan pengeluaran energi

tubuh pada keadaan istirahat.

b. Efek kalorigenik Peningkatan laju metabolisme menyebabkan peningkatan produksi

panas. Beberapa efek kalorigenik hormon tiroid disebabkan oleh metabolisme asam

lemak yang dimobilisasi oleh hormon-hormon ini. Di samping itu hormon tiroid

meningkatka aktivitas NaK-ATP ase yang terikat pada membran di banyak jaringan.

c. Efek pada metabolisme perantara

Hormon tiroid memodulasi kecepatan banyak reaksi spesifik yang terlibat dalam

metabolisme bahan bakar. Efek hormon tiroid pada bahan bakar metabolik bersifat

multifaset, hormon ini tidak saja mempengaruhi sintesis dan penguraian karbohidrat,

lemak dan protein, tetapi banyak sedikitnya jumlah hormon juga dapat menginduksi efek

yang bertentangan.

d. Efek simpatomimetik

10
Hormon tiroid meningkatkan ketanggapan sel sasaran terhadap katekolamin

(epinefrin dan norepinefrin), zat perantara kimiawi yang digunakan oleh sistem saraf

simpatis dan hormon dari medula adrenal.

e. Efek pada sistem kardiovaskuler

Hormon tiroid meningkatkan kecepatan denyut dan kekuatan kontraksi jantung

sehingga curah jantung meningkat.

f. Efek pada pertumbuhan

Hormon tiroid tidak saja merangsang sekresi hormon pertumbuhan, tetapi juga

mendorong efek hormon pertumbuhan (somatomedin) pada sintesis protein struktural

baru dan pertumbuhan rangka.

g. Efek pada sistem saraf

Hormon tiroid berperan penting dalam perkembangan normal sistem saraf

terutama Sistem Saraf Pusat (SSP). Hormon tiroid juga sangat penting untuk aktivitas

normal SSP pada orang dewasa.

2.3 Patofisiologi Hipertiroid

Penyebab hipertiroidisme sebagian besar adalah penyakit Graves, goiter miltinodular

toksik dan mononodular toksik. Hipertiroidisme pada penyakit Graves adalah akibat antibodi

reseptor TSH yang merangsang aktivitas tiroid. Sedang pada goiter multinodular toksik ada

hubungannya dengan autoimun tiroid itu sendiri.7,8

Penyakit graves sekarang ini dipandang sebagai penyakit autoimun yang penyebabnya

tidak diketahui. Pada penyakit Graves terdapat dua kelompok gambaran utama, tiroidal dan

ekstratiroidal dan keduannya mungkin tidak tampak. Ciri-ciri tiroidal berupa goiter akibat

11
hipeplasia kelenjar tiroid dan hipertiroidisme akibat sekeresi hormon tiroid yang berlebihan.

Gejala-gejala hipertiroidisme berupa manifestasi berupa hipermetabolisme dan aktifitas

simpatis yang berlebihan. Pasien mengeluh lelah, gemetar dan tidak tahan panas, keringat

semakin banyak bila panas, kulit lembab, berat badan turun, sering dsertai nafsu makan

meningkat, palpitasi, takikardi dan kelemahan serta atrofi otot.

Manifestasi ekstratiroidal berupa oftalmopati dan infiltrasi kulit lokal yang biasanya

terbatas pada tungkai bawah. Oftalmopati yang ditemukan pada 50% sampai 80% pasien

ditandai oleh mata melotot, fisura palpebra melebar, kedipan berkurang, lid lag

(keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti gerakan mata) dan kegagalan konvergensi.

Penyakit Graves agaknya timbul sebagai manifestasi gangguan autoimun. Dalam serum

pasien ini ditemukan antibodi imunoglobulin (IgG). Antibodi ini agaknya bereaksi dengan

reseptor TSH atau membran plasma tiroid. Sebagai akibat interaksi ini antibodi tersebut dapat

merangsang fungsi troid tanpa tergantung dari TSH hipofisis yang dapat mengakibatkan

hipertiroid> Imunoglobulin yang merangsang tiroid ini (TSI) mungkin diakibatka karena

suatu kelainan imunitas yang bersifat herediter, yang memungkinkan kelompokan limfosit

tertentu dapat bertahan, berkembangbiak dan mensekresi imunoglobulin stimulator sebagai

respon terhadap beberapa faktor perangsang.

Goiter nodular toksik paling sering ditemukan pada pasien lanjut usia sebagai

komplikasi goiter nodular kronik. Pada pasien-pasien ini, hipertiroidisme timbul secara

lambat dan manifestasi klinisnya lebih ringan daripada penyakit Graves. Penderita mungkin

mengalami aritmia dan gagal jantung yang persisten terhadap terapi digitalis. Penderita dapat

pula memperlihatkan bukti-bukti penurunan berat badan, lemah dan pengecilan otot.

Hipertiroidisme pada pasien dengan goiter multi nodular sering dapat ditimbulkan dengan

pemberian iodin (efek jodbasedow ).

12
Adenoma Toksik (Penyakit Plummer). Adenoma fungsional yang mensekresi T3 dan

T4 berlebihan akan menyebabkan hipertiroidisme. Lesi-lesi ini mulai sebagai nodul panas

pada scan tiroid, pelan-pelan bertambah dalam ukuran dan bertahap mensupresi lobbus

lainnya. Pasien yang khas adalah individu tua ( biasanya lebih dari 40 tahun) yang mencatat

pertumbuhan akhir-akhir ini dari nodul tiroid yang telah lama ada. Terlihat gejala-gejala

penurunan berat badan, kelemahan, napas sesak, palpitasi, takikardi dan intoleransi terhadap

panas. Pemeriksaan fisisk mnunjukn adanya nodul berbatas jelas pada satu sisi dengan sangat

sedikit jaringan tiroid pada sisi lainnya. Pemeriksaan laboratorium biasanya memperlihatkan

TSH tersupresi dan kadar T3 serum sangat meningkat, dengan hanya peningkatan kadar

tiroksin yang boder-line.

Karsinoma tiroid, terutama karsinoma folikular dapat mengkonsentrasi ion radioaktif.

Terdapat beberapa kasus kanker tiroid metastatik yang disertai hipertiroidisme. Gambaran

klinis terdiri dari kelemahan, penurunan barat badan, palpitasi, nodul tiroid tetapi tidak ad

oftalmopati. Scan tubuh dengan131I menunjukkkan daerah-daerah dengan ambilan yang

biasanya jauh dari tiroid, contoh tulang atau paru. Terapi dengan dosis besar ion radioaktif

dapat menhancurkan deposit metastasik.

Krisis Tiroid adalah suatu keadaan klinis hipertiroidisme yang paling berat dan

mengancam nyawa. Umumnya keadaan ini timbul pada pasien dengan dasar penyakit Graves

atau struma multinodular toksik, dan berhubungan dengan faktor pencetus : infeksi, operasi,

trauma, zat kontras beriodium, hipoglikemia, partus, stres, emosi, penghentian obat-obat

antitiroid, terapi I131, ketoasidosis diabetikum, tromboemboli paru, penyakit

serebrovaskular/stroke, palpasi tiroid terlalu kuat.

2.4 Diagnosis

13
Pada hipertiroid diagnosis dapat ditegakkan dengan manifestasi klinis yang ada dan

beberapa pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan T3, T4, dan TSH. Manifestasi klinis

dari hipertiroid dapat dilihat berdasarkan indeks Wayne dan New Castle. Gejala dan tanda

hipertiroid tampak pada tabel dalam penilaian dengan indeks Wayne. Hasil dari penilaian

dengan indeks Wayne adalah jika kurang dari 11 maka eutiroid, 11 sampai 18 adalah normal,

14
dan jika lebih dari 19 adalah hipertiroid ataupun Indeks New Castle .

15
Tabel 1 . Penilaian index Wayne

< 11 : EUTIROID

11-19 : NORMAL

19 : HIPERTIROIDISME

Pemeriksaan Penunjang dapat dilakukan yaitu :

1. Kadar T4 dan T3 total

Kadar T4 total selama kehamilan normal dapat meningkat karena peningkatan kadar TBG

oleh pengaruh estrogen. Namun peningkatan kadar T4 total diatas 190 nmol/liter (15 ug/dl)

menyokong diagnosis hipertiroidisme.

2. Kadar T4 bebas dan T3 bebas (fT4 dan fT3)

Pemeriksaan kadar fT4 dan fT3 merupakan prosedur yang tepat karena tidak dipengaruhi

oleh peningkatan kadar TBG. Beberapa peneliti melaporkan bahwa kadar fT4 dan fT3 sedikit

menurun pada kehamilan, sehingga kadar yang normal saja mungkin sudah dapat

menunjukkan hipertiroidisme.

16
3. Indeks T4 bebas (fT4I)

Pemeriksaan fT4I sebagai suatu tes tidak langsung menunjukkan aktifitas tiroid yang tidak

dipengaruhi oleh kehamilan merupakan pilihan yang paling baik. Dari segi biaya,

pemeriksaan ini cukup mahal oleh karena dua pemeriksaan yang harus dilakukan yaitu kadar

fT4 dan T3 resin uptake (ambilan T3 radioaktif). Tetapi dari segi diagnostik, pemeriksaan

inilah yang paling baik pada saat ini.

4. Tes TRH

Tes ini sebenarnya sangat baik khususnya pada penderita hipertiroidisme hamil dengan gejala

samar-samar. Sayangnya untuk melakukan tes ini membutuhkan waktu dan penderita harus

disuntik TRH dulu.

5. TSH basal sensitif

Pemeriksaan TSH basal sensitif pada saat ini sudah mulai populer sebagai tes skrining

penderita penyakit tiroid. Bukan hanya untuk diagnosis hipotiroidisme, tetapi juga untuk

hipertiroidisme termasuk yang subklinis. Dengan pengembangan tes ini, maka tes TRH mulai

banyak ditinggalkan.

6. Thyroid Stimulating Immunoglobulin (TSI)

Pemeriksaan kadar TSI dianggap cukup penting pada penderita hipertiroidisme Grave hamil.

Kadar yang tetap tinggi mempunyai 2 arti penting yaitu :

a. Menunjukkan bahwa apabila obat anti tiroid dihentikan, kemungkinan besar

penderita akan relaps. Dengan kata lain obat anti tiroid tidak berhasil menekan proses

otoimun.

17
b. Ada kemungkinan bayi akan menjadi hipertiroidisme, mengingat TSI melewati

plasenta dengan mudah.

2.5 Penatalaksaan Hipertiroid

Tujuan terapi hipertiroidisme adalah mengurangi sekresi kelenjar tiroid. Sasaran

terapi dengan menekan produksi hormon tiroid atau merusak jaringan kelenjar (dengan

yodium radioaktif atau pengangkatan kelenjar). Adapun penatalaksanaan terapi

hipertiroidisme meliputi terapi nonfarmakologi dan terapi farmakologi. Terapi non

farmakologi dapat dilakukan dengan:

1. Diet yang diberikan harus tinggi kalori, yaitu memberikan kalori 2600-3000 kalori per hari

baik dari makanan maupun dari suplemen.

2. Konsumsi protein harus tinggi yaitu 100-125 gr (2,5 gr/kg berat badan) per hari untuk

mengatasi proses pemecahan protein jaringan seperti susu dan telur.

3. Olah raga secara teratur.

4. Mengurangi rokok, alkohol dan kafein yang dapat meningkatkan kadar metabolisme.

Penatalaksanaan hipertiroidisme secara farmakologi menggunakan kelompok: Obat

Antitiroid, penghambat transport iodida (-adrenergik-antagonis), dan bahan yang

mengandung iodida yang menekan fungsi kelenjar tiroid. Pilihan pengobatan tergantung pada

beberapa hal antara lain berat ringannya tirotoksikosis, usia pasien, besarnya struma,

ketersediaan obat antitiroid dan respon atau reaksi terhadapnya serta penyakit lain yang

menyertainya.

18
a) Obat Antitiroid :

Golongan Tionamid

Terdapat 2 kelas obat golongan tionamid, yaitu tiourasil dan imidazol. Tiourasil

dipasarkan dengan nama propiltiourasil (PTU) dan imidazol dipasarkan dengan nama

metimazol dan karbimazol. Obat golongan tionamid lain yang baru beredar ialah tiamazol

yang isinya sama dengan metimazol.

Obat golongan tionamid mempunyai efek intra dan ekstratiroid. Mekanisme aksi

intratiroid yang utama ialah mencegah atau mengurangi biosintesis hormon tiroid T3 dan T4,

dengan cara menghambat oksidasi dan organifikasi iodium, menghambat coupling

iodotirosin, mengubah struktur molekul tiroglobulin dan menghambat sintesis tiroglobulin.

Sedangkan mekanisme aksi ekstratiroid yang utama ialah menghambat konversi T4 menjadi

T3 di jaringan perifer (hanya PTU, tidak pada metimazol). Propylthiouracil mempunyai

kelebihan dibandingkan methimazole karena dapat menghambat konversi T4 menjadi T3,

sehingga efektif dalam penurunan kadar hormon secara cepat pada fase akut dari penyakit

Graves. Sedangkan kelebihan metimazol adalah efek penghambatan biosintesis hormon lebih

panjang dibanding PTU, sehingga dapat diberikan sebagai dosis tunggal.

Obat-obat anti tiroid (PTU dan methimazole) diberikan sampai terjadi remisi spontan,

yang biasanya dapat berlangsung selama 6 bulan sampai 15 tahun setelah pengobatan. Untuk

mencegah terjadinya kekambuhan maka pemberian obat-obat antitiroid biasanya diawali

dengan dosis tinggi. Bila telah terjadi keadaan eutiroid secara klinis, diberikan dosis

pemeliharaan (dosis kecil diberikan secara tunggal pagi hari). Regimen umum terdiri dari

pemberian PTU dengan dosis awal 100-150 mg setiap 6 jam. Setelah 4-8 minggu, dosis

dikurangi menjadi 50-200 mg, 1 atau 2 kali sehari. Methimazole mempunyai masa kerja yang

lama sehingga dapat diberikan dosis tunggal sekali sehari. Terapi dimulai dengan dosis
19
methimazole 40 mg setiap pagi selama 1-2 bulan, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 5

20 mg perhari.

Ada juga pendapat ahli yang menyebutkan bahwa besarnya dosis tergantung pada

beratnya tampilan klinis, tetapi umumnya dosis PTU dimulai dengan 3x100-200 mg/hari dan

metimazol atau tiamazol dimulai dengan 20-40 mg/hari dosis terbagi untuk 3-6 minggu

pertama. Setelah periode ini dosis dapat diturunkan atau dinaikkan sesuai respons klinis dan

biokimia. Apabila respons pengobatan baik, dosis dapat diturunkan sampai dosis terkecil

PTU 50mg/hari dan metimazol/ tiamazol 5-10 mg/hari yang masih dapat mempertahankan

keadaan klinis eutiroid dan kadar T4 bebas dalam batas normal. Bila dengan dosis awal

belum memberikan efek perbaikan klinis dan biokimia, dosis dapat di naikkan bertahap

sampai dosis maksimal, tentu dengan memperhatikan faktor-faktor penyebab lainnya seperti

ketaatan pasien minum obat, aktivitas fisis dan psikis. Meskipun jarang terjadi, harus

diwaspadai kemungkinan timbulnya efek samping, yaitu agranulositosis (metimazol

mempunyai efek samping agranulositosis yang lebih kecil), gangguan fungsi hati, lupus like

syndrome, yang dapat terjadi dalam beberapa bulan pertama pengobatan. Agranulositosis

merupakan efek samping yang berat sehingga perlu penghentian terapi dengan Obat Anti

Tiroid dan dipertimbangkan untuk terapi alternatif yaitu yodium radioaktif. Agranulositosis

biasanya ditandai dengan demam dan sariawan, dimana untuk mencegah infeksi perlu

diberikan antibiotika. Efek samping lain yang jarang terjadi namun perlu penghentian terapi

dengan Obat Anti Tiroid antara lain Ikterus Kholestatik, Angioneurotic Edema,

Hepatocellular Toxicity dan Arthralgia Akut. Untuk mengantisipasi timbulnya efek samping

tersebut, sebelum memulai terapi perlu pemeriksaan laboratorium dasar termasuk leukosit

darah dan tes fungsi hati, dan diulang kembali pada bulan-bulan pertama setelah terapi. Bila

ditemukan efek samping, penghentian penggunaan obat tersebut akan memperbaiki kembali

fungsi yang terganggu, dan selanjutnya dipilih modalitas pengobatan yang lain seperti I131
20
atau operasi. Bila timbul efek samping yang lebih ringan seperti pruritus, dapat dicoba ganti

dengan obat jenis yang lain, misalnya dari PTU ke metimazol atau sebaliknya.

Evaluasi pengobatan paling tidak dilakukan sekali/bulan untuk menilai perkembangan

klinis dan biokimia guna menentukan dosis obat selanjutnya. Dosis dinaikkan dan diturunkan

sesuai respons hingga dosis tertentu yang dapat mencapai keadaan eutiroid. Kemudian dosis

diturunkan perlahan hingga dosis terkecil yang masih mampu mempertahankan keadaan

eutiroid, dan kemudian evaluasi dilakukan tiap 3 bulan hingga tercapai remisi. Remisi yang

menetap dapat diprediksi pada hampir 80% penderita yang diobati dengan Obat Anti Tiroid

bila ditemukan keadaan-keadaan sebagai berikut :

Terjadi pengecilan kelenjar tiroid seperti keadaan normal.

Bila keadaan hipertiroidisme dapat dikontrol dengan pemberian Obat Anti Tiroid dosis

rendah.

Bila TSH-R Ab tidak lagi ditemukan didalam serum.

Parameter biokimia yang digunakan adalah FT4 (atau FT3 bila terdapat T3

toksikosis), karena hormon-hormon itulah yang memberikan efek klinis, sementara kadar

TSH akan tetap rendah, kadang tetap tak terdeteksi, sampai beberapa bulan setelah keadaan

eutiroid tercapai. Sedangkan parameter klinis yang dievaluasi ialah berat badan, nadi, tekanan

darah, kelenjar tiroid, dan mata.

b) Obat Golongan Penyekat Beta

Obat golongan penyekat beta, seperti propranolol hidroklorida, sangat bermanfaat

untuk mengendalikan manifestasi klinis tirotoksikosis (hyperadrenergic state) seperti

palpitasi, tremor, cemas, dan intoleransi panas melalui blokadenya pada reseptor adrenergik.

Di samping efek antiadrenergik, obat penyekat beta ini juga dapat (meskipun sedikit)

21
menurunkan kadar T3 melalui penghambatannya terhadap konversi T4 ke T3. Dosis awal

propranolol umumnya berkisar 80 mg/hari. Di samping propranolol, terdapat obat baru

golongan penyekat beta dengan durasi kerja lebih panjang, yaitu atenolol, metoprolol dan

nadolol. Dosis awal atenolol dan metoprolol 50 mg/hari dan nadolol 40 mg/hari mempunyai

efek serupa dengan propranolol.

Pada umumnya obat penyekat beta ditoleransi dengan baik. Beberapa efek samping

yang dapat terjadi antara lain nausea, sakit kepala, insomnia, fatigue, dan depresi, dan yang

lebih jarang terjadi ialah kemerahan, demam, agranulositosis, dan trombositopenia. Obat

golongan penyekat beta ini dikontraindikasikan pada pasien asma dan gagal jantung, kecuali

gagal jantung yang jelas disebabkan oleh fibrilasi atrium. Obat ini juga dikontraindikasikan

pada keadaan bradiaritmia, fenomena Raynaud dan pada pasien yang sedang dalam terapi

penghambat monoamin oksidase.

c) Obat-obatan Lain

Obat-obat seperti iodida inorganik, preparat iodinated radiographic contrast,

potassium perklorat dan litium karbonat, meskipun mempunyai efek menurunkan kadar

hormon tiroid, tetapi jarang digunakan sebagai regimen standar pengelolaan penyakit Graves.

Obat-obat tersebut sebagian digunakan pada keadaan krisis tiroid, untuk persiapan operasi

tiroidektomi atau setelah terapi iodium radioaktif.

Umumnya obat anti tiroid lebih bermanfaat pada penderita usia muda dengan ukuran

kelenjar yang kecil dan tirotoksikosis yang ringan. Pengobatan dengan Obat Anti Tiroid

(OAT) mudah dilakukan, aman dan relatif murah, namun jangka waktu pengobatan lama

yaitu 6 bulan sampai 2 tahun bahkan bisa lebih lama lagi. Kelemahan utama pengobatan

dengan OAT adalah angka kekambuhan yang tinggi setelah pengobatan dihentikan, yaitu

berkisar antara 25% sampai 90%. Kekambuhan dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain
22
dosis, lama pengobatan, kepatuhan pasien dan asupan yodium dalam makanan. Kadar yodium

yang tinggi didalam makanan menyebabkan kelenjar tiroid kurang sensitif terhadap OAT.

Pengobatan dengan cara kombinasi OAT-tiroksin

Yang banyak diperdebatkan adalah pengobatan penyakit Graves dengan cara

kombinasi OAT dan tiroksin eksogen. Hashizume dkk pada tahun 1991 melaporkan bahwa

angka kekambuhan renddah yaitu hanya 1,7 % pada kelompok penderita yang mendapat

terapi kombinasi methimazole dan tiroksin., dibandingkan dengan 34,7% pada kelompok

kontrol yang hanya mendapatkan terapi methimazole.

Protokol pengobatannya adalah sebagai berikut :

Pertama kali penderita diberi methimazole 3 x 10 mg/hari selama 6 bulan, selanjutnya

10 mg perhari ditambah tiroksin 100 g perhari selama 1 tahun, dan kemudian hanya diberi

tiroksin saja selama 3 tahun. Kelompok kontrol juga diberi methimazole dengan dosis dan

cara yang sama namun tanpa tiroksin. Kadar TSH dan kadar TSH-R Ab ternyata lebih rendah

pada kelompok yang mendapat terapi kombinasi dan sebaliknya pada kelompok kontrol. Hal

ini mengisyaratkan bahwa TSH selama pengobatan dengan OAT akan merangsang pelepasan

molekul antigen tiroid yang bersifat antigenic, yang pada gilirannya akan merangsang

pembentukan antibody terhadap reseptor TSH. Dengan kata lain, dengan mengistirahatkan

kelenjar tiroid melalui pemberian tiroksin eksogen (yang menekan produksi TSH), maka

reaksi imun intratiroidal akan dapat ditekan, yaitu dengan mengurangi presentasi antigen.

Pertimbangan lain untuk memberikan kombinasi OAT dan tiroksin adalah agar penyesuaian

dosis OAT untuk menghindari hipotiroidisme tidak perlu dilakukan terlalu sering, terutama

bila digunakan OAT dosis tinggi.

Pembedahan

23
Tiroidektomi subtotal merupakan terapi pilihan pada penderita dengan struma yang

besar. Sebelum operasi, penderita dipersiapkan dalam keadaan eutiroid dengan pemberian

OAT (biasanya selama 6 minggu). Disamping itu, selama 2 minggu preoperatif, diberikan

larutan Lugol atau potassium iodida, 5 tetes 2 kali sehari, yang dimaksudkan untuk

mengurangi vaskularisasi kelenjar dan mempermudah operasi. Sampai saat ini masih terdapat

silang pendapat mengenai seberapa banyak jaringan tiroid yangn harus diangkat.

Tiroidektomi total biasanya tidak dianjurkan, kecuali pada pasein dengan oftalmopati

Graves yang progresif dan berat. Namun bila terlalu banyak jaringan tiroid yang ditinggalkan,

dikhawatirkan akan terjadi relaps. Kebanyakan ahli bedah menyisakan 2-3 gram jaringan

tiroid. Walaupun demikan kebanyakan penderita masih memerlukan suplemen tiroid setelah

mengalami tiroidektomi pada penyakit Graves. Hipoparatiroidisme dan kerusakan nervus

laryngeus recurrens merupakan komplikasi pembedahan yang dapat terjadi pada sekitar 1%

kasus.

Terapi Yodium Radioaktif

Pengobatan dengan yodium radioaktif (I131) telah dikenal sejak lebih dari 50 tahun

yang lalu. Radionuklida I131 akan mengablasi kelenjar tiroid melalui efek ionisasi partikel

beta dengan penetrasi kurang dari 2 mm, menimbulkan iradiasi local pada sel-sel folikel

tiroid tanpa efek yang berarti pada jaringan lain disekitarnya. Respons inflamasi akan diikuti

dengan nekrosis seluler, dan dalam perjalanan waktu terjadi atrofi dan fibrosis disertai

respons inflamasi kronik. Respons yang terjadi sangat tergantung pada jumlah I131 yang

ditangkap dan tingkat radiosensitivitas kelenjar tiroid. Oleh karena itu mungkin dapat terjadi

hipofungsi tiroid dini (dalam waktu 2-6 bulan) atau lebih lama yaitu setelah 1 tahun.

Iodine131 dengan cepat dan sempurna diabsorpsi melalui saluran cerna untuk kemudian

dengan cepat pula terakumulasi didalam kelenjar tiroid. Berdasarkan pengalaman para ahli

24
ternyata cara pengobatan ini aman, tidak mengganggu fertilitas, serta tidak bersifat

karsinogenik ataupun teratogenik. Tidak ditemukan kelainan pada bayi-bayi yang dilahirkan

dari ibu yang pernah mendapat pengobatan yodium radioaktif.

Yodium radioaktif tidak boleh diberikan pada pasien wanita hamil atau menyusui.

Pada pasien wanita usia produktif, sebelum diberikan yodium radioaktif perlu dipastikan dulu

bahwa yang bersangkutan tidak hamil. Selain kedua keadaan diatas, tidak ada kontraindikasi

absolut pengobatan dengan yodium radioaktif. Pembatasan umur tidak lagi diberlalukan

secara ketat. Cara pengobatan ini aman, mudah dan relatif murah serta sangat jarang kambuh.

Reaksi alergi terhadap yodium radioaktif tidak pernah terjadi karena massa yodium dalam

dosis I131 yang diberikan sangat kecil, hanya 1 mikrogram.

Efek pengobatan baru terlihat setelah 8 12 minggu, dan bila perlu terapi dapat

diulang. Selama menunggu efek yodium radioaktif dapat diberikan obat-obat penyekat beta

dan atau OAT. Respons terhadap pengobatan yodium radioaktif terutama dipengaruhi oleh

besarnya dosis I131 dan beberapa faktor lain seperti faktor imun, jenis kelamin, ras dan

asupan yodium dalam makanan sehari-hari.

2.5 Managemen Anastesi pada hipertiroid

a. Pre operatif

Pasien yang menjalani tindakan pembedahan tetap diperlakukan seperti pasien-pasien

lain yang akan menjalani prosedur pembedahan dengan penekanan pada anamnesis serta

pemeriksaan fisik maupun penunjang untuk mengidentifikasi kelainan fungsi tiroidnya.

Gejala dan tanda yang harus menjadi perhatian utama pasien hipertiroid adalah terkait dengan

fungsi jantung dan respirasi. Pasien dengan goiter yang besar memiliki problem potensial

terkait dengan jalan napasnya. Sehingga, pada pasien ini, penilaian jalan napas menjadi hal

25
utama yang harus dinilai dengan cermat. Pasien dapat memberikan gejala kesulitan napas

misalnya positional dyspnoe dan hal ini dapat dihubungkan dengan beberapa derajat dari

disfagia. Pasien juga dapat menunjukkan gejala sumbatan pada vena cava terutama pada

kasus goiter retrosternal. Beberapa penilaian lain terhadap jalan napas dapat beruba penilaian

jarak tiromental, derajat protrusi gigi bawah, keterbatasan gerak dari leher dan observasi

struktur faring.

Pasien dinilai tekanan darah, temperatur, denyut dan ritme jantungnya. Selain itu juga

dinilai gejala-gejala yang berhubungan dengan miopati, manifestasi sistem saraf pusat ( misal

: kondisi gugup), tanda-tanda di mata, tanda dehidrasi, maupun adanya kehamilann maupun

kehamilan mola. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan di antaranya pemeriksaan

EKG, profil darah tes fungsi pembekuan darah,CT scan leher, foto rontgen dada (terutama

pada pasien goiter). Pasien juga harus dinilai apakah akan menjalani pembedahan elektif atau

pembedahan emergency.

Pasien yang akan menjalani tindakan pembedahan elektif, termasuk tindakan

tiroidektomi subtotal, harus ditunda hingga pasien mengalami keadaan klinis dan kimiawi

yang eutiroid. Penilaian preoperatif harus termasuk penilaian terhadap fungsi tiroid. Nadi

isitirahat yang direkomendasikan adalah 85 kali/menit. Benzodizepin adalah pilihan yang

baik untuk sedasi preoperatif. Meski demikian, beberapa berpendapat bahwa pemberian

sedasi yang berlebihan tidak dianjurkan terutama pada pasien yang memiliki goiter yang

besar yang mengganggu airway. Meskipun hal ini sebenaranya tidak berhubungan langsung

dengan kondisi hipertiroidnya,lebih pada gangguan jalan napasnya. Preparasi cepat

dibutuhkan untuk pasien yang akan menjalani pembedahan darurat. Preparasi cepat ini

dilakukan dengan memberikan kombinasi beta-bloker, kortikosteroid, thionamid, iodium dan

asam iopanoic (mengandung iodium dan penghambat pelepasan hormon tiroid). Wanita yang

26
akan menjalani evakuasi darurat dari mola hidatidosa dapat dalam keadaan hipertiroid dan

memiliki resiko terjadi badai tiroid. Obat antitiroid dan antagonis -adrenergik dilanjutkan

sampai pagi hari operasi. Pemberian Prophylthiouracil dan methimazole adalah penting

karena kedua obat ini memiliki waktu paruh yag pendek. Apabila akan dilakukan

pembedahan darurat (emergency), sirkulasi yang hiperdinamik dapat dikontrol dengan

menggunakan titrasi esmolol .

Obat antagonis -adrenergik seringkali digunakan untuk mengontrol denyut jantung.

Akan tetapi, obat-obatan jenis ini harus dipertimbangkan ulang pemberiannya untuk pasien-

pasien dengan kondisi gagal jantung kongestif (CHF). Meski demikian, menurunkan denyut

jantung dapat meningkatkan fungsi pompa jantung itu sendiri. Kemudian, pasen hipertiroid

yang memiliki laju ventrikel yang cepat dan dalam kondisi CHF serta membutuhkan

pembedahan segera, dapat diberikan esmolol yang dipandu dengan perubahan pulmonary

artery wedge pressure. Jika dosis kecil esmolol (50 g/kg) yang diberikan tidak memperparah

kondisi gagal jantung yang telah ada, dapat diberikan esmolol tambahan.

b. Peri operatif

Fungsi kardiovaskuler dan temperatur tubuh harus dimonitor secara ketat pada pasien

yang memiliki riwayat hipertiroid. Mata pasien harus dilindungi secara baik, karena keadaan

eksoftalmus pada penyakit Graves meningkatkan resiko abrasi kornea sampai dengan

ulserasi. Ketamin, pancuronium, agonis adrenergik indirek dan obat-obat lain yang

menstimulasi sistem saraf simpatis dihindari karena adanya kemungkinan peningkatan

tekanan darah dan denyut jantung. Thiopental dapat menjadi obat induksi pilihan di mana

obat ini memiliki efek antitiroid pada dosis tinggi. Pasien hipertiroid dapat menjadi

hipovolemi dan vasodilatasi dan menjadi rentan untuk mengalami respon hipotensi selama

induksi anestesi.

27
Kedalaman anestesi yang adekuat harus dicapai sebelum dilakukan laringoskopi atau

stimulasi pembedahan untuk menghindari takikardi, hipertensi atau aritmia ventrikel.

Pemberian agen blok neuromuskuler (NMBAs) harus diberikan secara hati-hati, karena

keadaan tirotoksikosis seringkali berhubungan dengan peningkatan insiden miopati dan

miastenia gravis. Hipertiroid tidak meningkatkan kebutuhan anestesia seperti tidak

berubahnya minimum alveolar concetration. Meski demikian, terkadang kebutuhan dosis

anestesi intravena diperlukan. Untuk menumpulkan respon hemodinamik saat melakukan

intubasi dapat diberikan lidokain, fentanyl atau kombinasi keduanya yang diberikan sebelum

intubasi. (Bolaji et all, 2011). Pasien dengan goiter yang besar dan mengalami obstruksi jalan

napas dikelola seperti pasien-pasien lain yang mengalami gangguan jalan napas. (Roizen M

et Fleisher L, 2010). Kesulitan intubasi meningkat kejadiannya pada pasien dengan goiter.

Induksi inhalasi atau intubasi sadar dengan fiberoptik dapat dipertimbangkan apabila ada

bukti obstruksi jalan napas ataupun deviasi maupun penyempitan.

Tujuan utama dari manajemen intraoperatif pasien hipertiroid adalah untuk mencapai

kedalaman anestesia (sering dengan isofluran atau desfluran) yang mencegah peningkatan

respon sistem saraf pusat terhadap stimulasi pembedahan. Apabila menggunakan anestesi

regional, epinefrin tidak boleh ditambahkan pada larutan anestesi lokal.

c. Post operatif

Ancaman serius pada pasien hipertiroid pada periode postoperatif adalah badai tiroid

(thyroid storm), yang memiliki ciri hiperpireksia, takikardi, penurunan kesadaran (agitasi,

delirium, koma) dan hipotensi. Onset badai tiroid biasanya 6-24 jam setelah pembedahan

28
tetapi dapat muncul intraoperatif, menyerupai hipertermi maligna. Tidak seperti hipertermi

maligna, badai tiroid tidak berhubungan dengan rigiditas otot, peningkatan kreatinin kinase,

atau keadaan asidosis metabolik maupun respiratorik.

Penanganan badai tiroid termasuk hidrasi dan pendinginan, infus esmolol atau

propanolol intravena (0,5 mg dan ditingkatkan sampai denyut jantung < 100/menit),

propylthioruacil (250-500 mg tiap 6 jam secara oral maupun dengan nasograstric tube) diikuti

sodium iodida (1g intravena dalam 12 jam) dan koreksi faktor yang mempresitipasi (misal:

infeksi). Kortisol (100-200 mg tiap 8 jam) direkomendasikan untuk mencegah komplikasi

supresi kelenjar adrenal yang muncul.

Tiroidektomi subtotal dihubungkan dengan beberapa komplikasi pembedahan. Cedera

pada nervus reccurent laryngeal akan berakibat pada suara serak (jika unilateral) atau afonia

dan stridor (bilateral). Fungsi pita suara dapat dievaluasi dengan laringoskopi segera setelah

ekstubasi dalam, meskipun hal ini jarang diperlukan. Kegagalan gerak dari satu atau dua pita

suara memerlukan intubsi dan eksplorasi luka. Formasi hematom dapat menyebabkan airway

compromise dari kolapsnya trakhea pada pasien dengan trakheomalasia. Hipoparatiroid dari

terpotongnya kelenjar paratiroid yang tidak disengaja dapat menyebabkan hipokalsemia

dalam 12-72 jam. Pasien yang menjalani subtotaltiroidektomi juga beresiko mengalami

hipotiroid paska pembedahan dengan insidensi sebanyak 60%. Sedangkan untuk pasien yang

menjalani total tiroidektomi, sebagian besar akan mengalami hipotiroid paska pembedahan.

BAB III

KESIMPULAN

Hipertiroid adalah kumpulan gejala klinis akibat peningkatan hormon tiroid


bebas dalam plasma atau sirkulasi darah yang ditandai dengan peningkatan

29
metabolisme dan keadaan hiperdinamik yang mana memerlukan perhatian dari
seorang ahli anestesi dalam mencegah serta menangani komplikasi yang mungkin
terjadi.
Tindakan pembedahan pada pasien hipertiroid pada pasien yang akan
menjalani pembedahan elektif harus ditunda sampai kondisi pasien eutiroid.
Tindakan pembedahan pada pasien hipertiroid pada pasien yang akan
menjalani pembedahan darurat dapat segera dilakukan dengan sebelumnya
mempersiapkan pasien secepat mungkin untuk dikontrol/dikurangi hiperaktivitas
adrenergik yang ada, yang dilanjutkan durante operasi sampai pengawasan post
operasi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Cunninghams Manual of Practical Anatomy, Thirteenth edition, volume III. Head and

Neck and Brain. London, Oxford University Press, 1967, Page 109-112.

2. Harold H. Lindner, MD, A Lange Medical Book Clinical Anatomy, Appleton & Lange,

Connenticut, 1989. Page 132-138.


30
3. John B. Christensen, Ira R, Telford, Fifth edition, J.B. Lippincott Company, 1988,

Washington DC. Page 316-318.

4. N.C.Chakrabarty, D. Chakrabarty, Fundamentals of Human Anatomy, New Central Book

Agency (P) LTD, Calcutta, 1997. Page 162-167.

5. Richard S. Snell, MD, PhD, Clinical Anatomy for Medical Students, Fifth edition, New

York. Page 652-653, 796.

6. Guyton, A.C., dan Hall, J.E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta:

EGC

7. Susan,H. Et Noorily M.D.,2007, Hyperthyroidism, Decision Making In Anesthesiology,


4th Edition, Mosby Elsevier, p 188-189

8. Tjokroprawito A et al, 2007, Hipertiroid, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran, Universitas Airlangga Rumah Sakit Pendidikan Dr. Soetomo, Surabaya, p
86-92

9. Morgan GE, 2006, Anesthesia for Patient With Endocrine Disease, Clinical
Anesthesiology, 4th edition, McGraw-Hill, p 807-808

10. Crisaldo S et Mercado A.,2005, Clinical Outcome During The Peri-operative


(Thyroidectomy) Period of Severely Hyperthyroid Patients with Normalized Pre-operative
Free-T4 Levels: Importance of I-131 Therapy as a part of Pre-operative Preparation,
World Journal of Nuclear Medicine, p 235-238

31

You might also like