Professional Documents
Culture Documents
BAB I
PENDAHULUAN
Informasi mengenai insiden brachial plexus injuries cukup sulit untuk ditemukan.Sampai saat ini
tidak ada data epidemiologi yang mencatat insiden brachial plexus injury per setiap negara di
seluruh dunia.Tetapi, menurut Office of Rare Disease of National Institutes of Health, brachial
plexus injury termasuk dalam penyakit yang jarang terjadi.Kejadiannya kurang dari 200.000 jiwa
per tahun dihitung pada populasi di Amerika Serikat.Sebagian besar korbannya adalah pria
muda yang berusia 15-25 tahun. Narakas menuliskan mengenairule of seven seventies.[1][2]
Penelitian oleh Foad SL, et al mencatat insiden obstetrical brachial plexus injury di Amerika
Serikat sebesar 1-2 kasus per 1000 kelahiran. Terdapat 3 macam obstetrical brachial plexus
injury: Erbs palsy adalah yang paling sering terjadi, insidennya sekitar 90% kasus, total plexus
injury sebesar 9% kasus, dan Klumpkes palsy sebesar 1% kasus. Insiden ini semakin menurun
setiap tahunnya. Dari berbagai analisis, didapati bahwa kejadian shoulder dystocia memiliki
resiko 100 kali lebih besar terjadinya obstetrical brachial plexus injury,sedangkan forceps
delivery memiliki resiko 9 kali lebih besar, dan bayi besar dengan berat >4,5 kg memiliki resiko 4
kali lebih besar untuk terjadinya cedera. Setidaknya 46% kejadian obstetrical brachial plexus
injury memiliki satu atau lebih faktor resiko, sedangkan 54%-nya tidak ditemukan adanya faktor
resiko.[3]
Pengobatan cederaplexus brachialisada yang memerlukan operasi dan ada yang tidak,
disesuaikan dengan kasusnya.Terdapat berbagai macam tindakan operasi pada cederaplexus
brachialis, tergantung jenis cedera saraf yang terjadi.Saat ini banyak kemajuan yang telah
dicapai dalam bidang pembedahan, tetapi trauma plexus brachialis seringkali masih menjadi
masalah karena membutuhkan biaya yang besar dan waktu yang lama.
Secara keseluruhan, kecelakaan motor merupakan penyebab tersering. Menurut Narakas, dari
seluruh kecelakaan motor, 2%-nya menyebabkan cedera plexus brachialis. Sekalipun jarang
terjadi, high injury pada plexus brachialis seringkali menibulkan kecatatan bagi
penderitanya.Referat ini membahas sebagian kecil dari trauma ini mulai dari anatomi hingga
pengobatan dan macam-macam operasinya.
BAB II
CEDERA PLEXUS BRACHIALIS
3.1 Definisi
Cedera plexus brachialisadalah cedera jaringan saraf yang berasal dari C5-T1.Plexus
brachialis adalah persarafan yang berjalan dari leher ke arah axilla yang dibentuk oleh ramus
ventral saraf vertebra C5-T1. Cedera pada plexus brachialis dapat mempengaruhi fungsi saraf
motorik dan sensorik pada membrum superium.[8]
3.2 Epidemiologi
Penelitian oleh Foad SL, et al mencatat insiden obstetrical brachial plexus injury di Amerika
Serikat sebesar 1-2 kasus per 1000 kelahiran.Terdapat 3 macam obstetrical brachial plexus
injury: Erbs palsy adalah yang paling sering terjadi, insidennya sekitar 90% kasus, total plexus
injury sebesar 9% kasus, dan Klumpkes palsy sebesar 1% kasus. Insiden ini semakin menurun
setiap tahunnya. Dari berbagai analisis, didapati bahwa kejadian shoulder dystocia memiliki
resiko 100 kali lebih besar terjadinya obstetrical brachial plexus injury, sedangkan forceps
delivery memiliki resiko 9 kali lebih besar, dan bayi besar dengan berat >4,5 kg memiliki resiko 4
kali lebih besar untuk terjadinya cedera. Setidaknya 46% kejadian obstetrical brachial plexus
injury memiliki satu atau lebih faktor resiko, sedangkan 54%-nya tidak ditemukan adanya faktor
resiko.[1][2]
Informasi mengenai insiden cedera brachial plexuscukup sulit untuk ditemukan.Sampai saat ini
tidak ada data epidemiologi yang mencatat insiden cederabrachial plexus per setiap negara di
seluruh dunia.Tetapi, menurut Office of Rare Disease of National Institutes of Health, brachial
plexus injury termasuk dalam penyakit yang jarang terjadi.Kejadiannya kurang dari 200.000 jiwa
per tahun dihitung pada populasi di Amerika Serikat.Sebagian besar korbannya adalah pria
muda yang berusia 15-25 tahun. Narakas menuliskan mengenairule of seven seventies:
Kira-kira 70% disebabkan oleh kecelakan kendaraan bermotor.
Darikecelakaan kendaraan bermotor tersebut, 70%-nya disebabkan oleh sepeda motor.
Dari pengendara-pengendara tersebut, 70%-nya disertai dengan multiple injuries.
Dari kejadian multiple injuries tersebut, 70%-nya termasuk dalam supraclavicular injuries.
Dari kejadian supraclavicular injuries tersebut, 70%-nya didapati root avulsed.
Dari kejadian avulsed roots tersebut, 70%-nya termasuk lower C7, C8, T1.
Dari kejadian avulsed roots tersebut, 70%-nya berhubungan dengan nyeri kronik.[3]
3.3 Etiologi
Ditemukan lebih dari 30 penyebab terjadinya cedera plexus brachialis. Tetapi etiologi yang lebih
sering, antara lain:
Trauma
Secara keseluruhan, kecelakaan motor merupakan penyebab tersering. Menurut Narakas, dari
seluruh kecelakaan motor, 2%-nya menyebabkan cederaplexus brachialis.Trauma olahraga juga
merupakan salah satu penyebab cedera plexus brachialis yang sering terjadi.
Trauma persalinan
Menurut Ruchelsman DE, et al, setidaknya terdapat 8 faktor resiko yang menjadi penyebab
terjadinya obstetrical brachial plexus injury:
- Shoulder dystocia
- Vacuum atau forceps delivery
- Macrosomia atau bayi besar dengan berat >4,5 kg
- Kelahiran sunsang
- Maternal diabetes
3.4 Klasifikasi : Terdapat berbagai macam versi sistem klasifikasi brachial plexus injury, tetapi
yang paling banyak digunakan adalahLefferts classification system (Tabel 7), yang digolongkan
berdasarkan etiologi dan level injuri. Cedera plexus brachialis dapat mengenai lebih dari 1
lesi.[12]
Gambar 15.Kompresi akibat hiperekstensi pada scalene syndrome.
Tabel 7.Lefferts classification system of brachial plexus injury.
Sumber: Leffert RD. Brachial-Plexus Injuries. The New England Journal of Medicine.1974;
291:1059-1067.
Supraclavicular
- pseudomeningoc
B Infraclavicular
C Combined
IV Obstetric
C Mixed
Terdapat 2 klasifikasi nerve injuries.Klasifikasi pertama dipublikasikan oleh Seddon pada tahun
1943, kemudian yang kedua dipublikasikan oleh Sunderland tahun 1951.Klasifikasi Seddon
digunakan untuk memahami dasar anatomi dari cedera.Klasifikasi Sunderland baik untuk
menentukan prognosis dan strategi pengobatan.Kombinasi klasifikasi ini membagi nerve
injury menjadi 5. Perbedaannya dapat dilihat padaTabel 8 dan Tabel 9 di bawah:
1. Tingkat 1 (neuropraxia)
Neuropraxia adalah nerve injury yang paling sering terjadi.Lokasi kerusakan pada serabut
myelin, hanya terjadi gangguan kondisi saraf tanpa terjadinya degenerasi
wallerian.Karakteristiknya, defisit motorik > sensorik.Saraf akan sembuh dalam hitungan hari
setelah cedera, atau sampai dengan 4 bulan. Penyembuhan akan sempurna tanpa ada masalah
motorik dan sensorik.
1. Tingkat 2 (axonotmesis)
Pada axonotmesis (axon cutting) erjadi diskotinuitas myelin dan aksonal, tidak melibatkan
jaringan encapsulating, epineurium, dan perineurium, juga akan sembuh sempurna.
Bagaimanapun, penyembuhan akan terjadi lebih lambat daripada cedera tingkat pertama.
2. Tingkat 3
Cedera ini melibatkan kerusakan myelin, akson, dan endoneurium. Cedera juga akan sembuh
dengan lambat, tetapi penyembuhannya hanya sebagian.penyembuhan akan tergantung pada
beberapa faktor, sepertisemakin rusak saraf, semakin lama pula penyembuhan terjadi.
3. Tingkat 4
Cedera ini melibatkan kerusakan myelin, akson, endoneurium, dan perineurium. Cedera derajat
ini terjadi bila terdapat skar pada jaringan saraf, yang menghalangi penyembuhan.
4. Tingkat 5 (neurotmesis)
Cedera pada neurotmesis (nerve cutting) melibatkan pemisahan sempurna dari saraf,
seperti nerve avulsion. Cedera saraf tingkat 4 dan 5 memerlukan tindakan operasi untuk
sembuh.[15][16][17][18]
IV Ya Ya Ya Ya Tidak
V (Neurotmesis) Ya Ya Ya Ya Ya
IV Tidak ada Setelah tindakan bedah, regenerasi terjadi kira-kira 1 inci per bulan
V (Neurotmesis) Tidak ada Setelah tindakan bedah, regenerasi terjadi kira-kira 1 inci per bulan.
Anamnesis
Low energy injury seringkali menyebabkan neuropraxia; pasien sebaiknya diobservasi.High
energy injury lebih sering menyebabkanaxonal dan endoneurial disruption (derajat 3 dan 4
klasifikasi Sunderland), sedangkan very high energy closed injury dapat menyebabkannerve
avulsion.
Tinels Sign
Tinels sign positif ditandai oleh munculnya peripheral tingling atau dysaesthesia yang
diprovokasi oleh perkusi saraf. Pada neuropraxia, Tinel sign negatif. Pada axonotmesis, Tinels
sign postitif pada lokasi cedera karena sensitivitas regenerasi axon. Rata-rata regenerasi axon
sekitar 1 mm setiap hari sepanjang Schwann-cell.
EMG (Electromyography)
Apabila otot kehilangan suplai sarafnya, EMG akan menunjukkan loss of nerve supply pada
minggu ke-3. Dari pemeriksaan EMG, cederaneuropraxia dapat dieksklusi,
tetapi axonotmesis dan neurotmesis tidak dapat dibedakan.[19][20]
Cedera dapat mempengaruhi setiap tingkat plexus, bahkan seringkali melibatkan cedera roots,
trunks, dan nervussecara bersamaan. Penting untuk membedakan antara lesi yang berasal dari
pre-ganglion atau post-ganglion untuk mengetahui seberapa dekat jarak lesi dengan spinal
cord.Nerve root avulsion dari spinal cord termasuk dalam lesi pre-ganglion, misalnya gangguan
proksimal hingga dorsal root ganglion; ini tidak dapat disembuhkan sekalipun dengan
operasi. Rupture of nerve root distal ke arah ganglion, atau rupture trunkus, atau rupture saraf
perifer, termasuk dalam lesi post-ganglion yang masih dapat disembuhkan dan diperbaiki
dengan operasi.[18][22]
Ciri-ciri root avulsion adalah: (1) crushing atau burningpain pada anaesthetic hand; (2)
paralisis m. scapularis atau diafragma; (3) adanyaHorners syndrome, yang terdiri dari: ptosis,
miosis, enoftalmos, dan anhidrosis; (4) cedera vaskular berat; (5) berhubungan dengan fracture
tulang servikal; dan (6) disfungsi spinal cord (hiperefleks pada lower limbs).
Lesi derajat 1-4 umumnya mempunyai prognosis yang lebih baik dibandingkan dengan lesi
derajat 5 (complete ruptures).[18]
Untuk membedakan lesi pre-ganglion atau post-ganglion dapat dilakukan pemeriksaan:
Histamine test
Injeksi histamine intradermal biasanya menyebabkan 3 reaksi di sekitar kulit: (1) dilatasi central
capillary; (2) wheal (munculnya reaksi alergi); (3) surrounding flare. Jika flare
reaction pada anaesthetic area, lokasi lesi pasti berada di bagian proksimal dari posterior root
ganglion, dengan kata lain, kemungkinannya adalah root avulsion.Pada lesi post-
ganglion, histamine test negatif karena saraf antara kulit dan dorsal root ganglion mengalami
gangguan.
1. CT myelography atau MRI :Hasil yang mungkin ditemukan
adalah pseudomeningoceles yang diproduksi oleh root avulsion, tetapi hasil yang positif
tidak selalu dapat diandalkan karena dura dapat robek tanpa adanya root avulsion.
2. Electrophysiology
Electromyography (EMG) dan Nerve Conduction Studies (NCS) sangat berguna untuk
mengkonfirmasi diagnosis, melokalisasi letak lesi, dan menentukan derajat axonal
loss.Pemeriksaan ini dilakukan 3-4 minggu setelah cedera. Perubahan denervasi dapat terjadi
10-14 hari setelah trauma, ketika wallerian degeneration pada lesi post-ganglionik akan
memblok konduksi saraf. Respon motorik terganggu lebih dulu dibanding respon sensorik;
karena itu, tanda awal kerusakan dapat terlihat sebagai reduksi pada aksi potensial otot. Jika
terdapat konduksi sensorik dari anaesthetic dermatome, berarti lokasi lesi pre-ganglionik.[2][18]
Secara klinis, akan ditemukan kelemahan fleksi pada cubiti, kelemahan abduksi, kelemahan
endorotasi dan eksorotasibrachii. Selain itu, juga ditemukan paralisis aposisi gerakan skapula
dan paralisis abduksi dan adduksi brachii.Sensory loss inkomplit yang terdiri dari hipestesia
di superficialis brachii dan antebrachii.Refleks bisep tidak ada. Jika tidak dilatih dengan latihan
gerakan pasif, gejala dapat berkembang menjadi kontraktur kronik dengan lengan
menyamping, posisi adduksi, tangan pronasi (dapat dilihat pada Gambar 19), sampai dengan
munculnya waiters tip position.[18][23][26]
Gambar 19.Cedera persalinan yang menyebabkanErbs palsy.
Sumber: Solomon L, Warwick DJ, Selvadurai N. Apleys System of Orthopaedics and Fractures.
United of Kingdom: Hodder Arnold; 2010.
1. High lesions
High lesions dapat disebabkan oleh fracture di bagian antebrachii, dislokasi bagian cubiti, luka
tusukan, luka tembakan, trauma, iskemik, maupun kompresi anatomi, seperti terjepitnya m.
pronator teres, sehingga menyebabkan kelemahan dan sensory loss.[18][23]
Lesi pada n. medianus menyebabkan kelemahan dan sensory loss, tetapi hanya pada beberapa
pergerakan yang benar-benar paralisis karena adanya kontribusi sinergik otot yang masih
diinervasi oleh nervus lain.[23]
Gejala yang timbul sama dengan low lesions, dengan tambahan ketidakmampuan pergerakan
fleksi articulatio interphalangeal proximalis 1-3 dan articulatio interphalangeal distalis 2-
3 disebabkan oleh paralisis m. flexor digitorum superficialis dan m. flexor digitorum
profundus. Tambahan lain, ditemukan paralisis pergerakan radial wrist flexion dan m. pronator
teres, pergerakan fleksi articulatio metacarpophalangeal 2-3 juga tidak dapat dilakukan karena
paralsis dari m. lumcbricalis 1-2. Oleh karena itu, pasien dengan n. medianus injury tidak dapat
mengepalkan tangan karena digiti II dan III yang mengalami ekstensi parsial. Tanda ini disebut
dengan sign of benediction (Gambar 28c).[18][23]
Cedera pada n. interosseous anterior yang disebut dengan anterior interosseous
syndromejarang terjadi.Gejala motorik yang timbul mirip dengan high lesions dari n. medianus
injury, tetapi tanpa adanya defisit sensorik.Kelemahan tersebut adalah kelemahan pada m.
flexor pollicis longus (kelemahan motorik digiti I), m. flexor digitorum profundus I dan II, dan m.
pronator quadratus. Penyebab yang paling sering adalah brachial neuritis (Parsonage-Turner
syndrome) yang berhubungan dengan shoulder girdle pain setelah imunisasi atau penyakit
virus.[18][23]
Jika terjadi avulsi saraf, sebaiknya dilakukan nerve grafting. Post operasi, dilakukan splint pada
pergelangan tangan. Jika fungsi sensorik membaik, tetapi fungsi motorik oposisi pada digiti
I tidak membaik, dilakukan transfer m. extensor indicis proprius atau m. abductor digiti
minimi ke m. abductor pollicis brevis.M. extensor carpi radialis longus dapat ditransfer ke m.
flexor digitorum profundus, m. brachioradialiske m. flexor pollicis longus, dan m. extensor
indicis ke m. abductor pollicis brevis.[18][23]
3.7.4.4 Nervus Radialis Injury
Radial neuropati adalah kondisi yang disebabkan oleh kompresi saraf radial pada posterior
humerus.Temuan klinis trauma padan. radialistergantung pada tingkat lesi.Nervus radialis
injury biasanya terjadi di bagian cubiti (low lesions), upper arm (high lesions), dan axilla (very
high lesions).[4][18]
2. Low lesions
Gejala klinis low lesions biasanya disebabkan oleh fracture atau dislokasi cubiti atau karena luka
yang sifatnya lokal. Pasien tidak dapat melakukan pergerakan ekstensi pada articulatio
metacarpophalengeal, kelemahan pergerakan ekstensi dan retroposisi pada digiti V.[18]
1. High lesions
High lesions biasanya terjadi akibat fracturehumerus dan kompresi intrinsik. Cedera pada spiral
groove yang disebabkan oleh fracturehumerus (Gambar 23) dan kompresi ekstrinsik
(contohnya, kebiasaan tidur dengan kepala yang menekan lengan posterior) menyebabkan
kelemahan pada radial myotome di bawah cubiti, dengan wrist drop akibat dari paralisis radial
ekstensor cubiti(Gambar 28b), kelemahan pada gerakan ekstensi articulatio
metacarpophalangeal jari-jari, dan sensory loss pada distribusi n. radialis superfisial
(permukaan manus dorsalis dan digiti I, II, III dan setengah digiti IV), tetapi gerakan
ekstensi cubiti masih baik. Kelemahan gerakan fleksicubiti dapat ditemukan sebagai akibat dari
keterlibatan brachioradialis.[4][18][23]
Jika terjadi persistent injury, sebaiknya dilakukan pemeriksaan EMG.Jika hasil menunjukkan
denervasi saraf, maka neuropraxia telah tereksklusi. Fungsi motorik n. radialis dapat
dikembalikan dengan quite long grafts. Jika kesembuhan tidak terjadi, dapat dilakukan tendon
transfers, yaitu pronator teres ke short radial extensor of the wrist, flexor carpi radialis ke long
finger extensors, dan palmaris longus kelong thumb abductor.[18][23]
1. Low lesions
Lesi terjepitnya nervus juga dapat terjadi di bagian Guyon canal yang disebut dengan Guyon
cannal syndrome. Guyon canal adalah celah yang dibentuk oleh ossapisiforme-hamatum dan
ligamen yang menghubungkan keduanya (Gambar 26).[23]
Gambar 26.Kompresi n. ulnaris pada guyon tunnel.
Sumber:http://www.bedfordsackvillephysio.com/media/img/424/hand_guyon_canal_anat03.j
pg
Lesi ini seringkali disebabkan oleh perlukaan pergelangan tangan oleh benda tajam yang
biasanya dilakukan saat usaha bunuh diri. Penyebab lain adalah deep carpal ganglion dan a.
ulnaris aneurysm. Gejala yang timbul adalah numbness pada distribusi ulnaris(Gambar 27) dan
ditemukan karakteristik khas, yaitu claw hand(Gambar 28d) akibat kelemahan dan atrofi otot
intrinsik. M. flexor carpi ulnarisdan m. flexor digitorum profundus normal pada pemeriksaan
elektrofisiologik.[18][23]
Gambar 27.Tipikal sensory loss area pada Guyon canal syndrome.
Sumber: Solomon L, Warwick DJ, Selvadurai N. Apleys System of Orthopaedics and Fractures.
United of Kingdom: Hodder Arnold; 2010.
Ilustrasi cedera nervus plexus brachialis dapat dilihat pada Gambar 28di bawah ini:
Distribusi persarafan pada cabang terminal dapat dilihat pada Gambar 29 Adan B di bawah:
Gambar 29.Terminal branches distribution.(A) Distribusi n. musculocutaneous, n. medianus, n.
ulnaris. (B) Distribusi n. radialis, n. axillaris.
Sumber: http://antranik.org/peripheral-nervous-system-spinal-nervus-and-plexuses/
Grade Assessment
0 no movement
5 normal power
Pemeriksaan untuk otot dan inervasi brachial plexus dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11.Pemeriksaan motorik muskulus padaplexus brachialis.
Sumber: Gilbert A. Brachial Plexus Injuries. United of Kingdom: Martin Dunitz Ltd; 2001.
Pemeriksaan khusus lain, meliputi
3.9 Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis pada pasien dengan brachial plexus injury, anamnesis dan
pemeriksaan fisik sangat penting untuk dilakukan:
Anamnesis
Anamnesis yang penting untuk ditanyakan adalah riwayat trauma sebelumnya, kronologi
kejadian, dan gejala klinis yang dirasakan oleh pasien.
Pada pasien dengan lesi plexus brakhialis akibat trauma lahir, perlu diketahui riwayat
kehamilan, kelahiran, usia kehamilan, berat badan lahir, presentasi bayi, riwayat
penggunaan forcep, distosia bahu, apgar skor dan kebutuhan akan resusitasi saat kelahiran.
Pemeriksaan fisik
Dari hasil pemeriksaan fisik, akan ditemukan adanya perubahan anatomi dan fisiologis di bagian
ekstremitas atas, kelemahan pergerakan motorik, parestesia atau anestesia pada daerah
tertentu.
Pemeriksaan fisik untuk lesi plexus brachialis dilakukan dengan inspeksi, yaitu melihat posisi
lengan terutama saat istirahat.Avulsi pada radiks saraf dapat diketahui dengan
adanya sindroma Horner dan kelemahan pada otot-otot paraspinal.Sisi kontralateral dan
ekstremitas bawah perlu juga dinilai untuk menyingkirkan adanya lesi di medula.
Pada pasien trauma, palpasi clavicula, costae dan humerus disertai foto sendi bahu jika
dicurugai adanya fracture atau dislokasi.Mengevaluasi otot-otot pada punggung termasuk m.
trapezius, m. rhomboideus, m. supraspinatus, m. infraspinatus, m. latissimus dorsi, m. teres
mayor, dan m. teres minor.Lebih lanjut, nilai fungsi motorik m. deltoideus, m. biceps, m. triceps,
juga pergelangan tangan, muskulus fleksor, dan ekstensor.Nilai pergerakan sendi, seperti
abduksi pada sendi bahu, adduksi, rotasi interna dan eksterna, juga fleksi dan ekstensi pada
sendi siku, pergelangan tangan dan sendi pada jari-jari.Adanya kontraktur pada m. pectoralis
mayor dapat dinilai dengan palpasi pada regio axillaris anterior pada saat rotasi
eksterna.Demikian pula kontraktur pada m. subscapularisdinilai pada palpasi regio aksillaris
posterior saat abduksi bahu.
Pemeriksaan penunjang
Beratnya lesi saraf yang ditemukan dapat berupa neuropraxia, axonotmesis ataupun
neurotmesis. Beberapa pemeriksaan tersebut juga akan membantu menentukan penanganan
selanjutnya dan perlu tidaknya prosedur bedah dilakukan
X-Ray (tergantung kebutuhan)
Foto vertebra servikal untuk mengetahui apakah ada fracture pada vertebra
cervical.
Foto bahu untuk mengetahui apakah ada fracturescapula, clavicula, atau humerus.
Foto thorak untuk melihat disosiasi scapulothoracic (depresi scapula dengan
lateral displacement), fracturecostae, massa tumor pulmonari, dan untuk
kepentingan extraplexus (n. intercostalis) nerve transfer.
MRI atau CT Scan
MRI atau CT Scan (sesuai dengan kebutuhan) untuk melihat detail struktur anatomi dan
jaringan lunak saraf perifer, deformitas sendi, kapsul yang robek, atrofi otot, dan untuk melihat
adanya avulsi saraf, juga mendiagnosa adanya pseudomeningocele. MRI merupakan
pemeriksaan utama untuk menilai adanya rootlet avulsion pada lesi plexus brachialis
CT Myelography
Hasil yang mungkin ditemukan adalah pseudomeningoceles yang diproduksi oleh root
avulsion, tetapi hasil yang positif tidak selalu dapat diandalkan karena dura dapat robek tanpa
adanya root avulsion. CT myelography lebih sering dikerjakan pada pasien yang akan melakukan
operasi. Kesimpulan hasil CT myelography:
- Dorsal dan ventral rootlets yang intak tanpa adanya meningocele mengeksklusi
kemungkinan avulsi.
- Adanya meningocele tidak selalu menyatakan adanya avulsi.
- Jika meningocele meluas hingga keluar foramen, kemungkinan adanya avulsi sangat
besar.
Angiography
Angiography seringkali sudah digantikan oleh MRA (Magnetic Resonance Angiography).Pada
beberapa kasus dapat dilakukan pemeriksaan angiografi untuk menilai kerusakan pada
pembuluh darah akibat trauma yang juga menyebabkan lesi pada plexus brachialis. Angiografi
dapat membantu menentukan tingkat lesi pada saraf oleh karena arteri dan plexus sering
mengalami trauma pada tingkat yang sama.Angiography juga sering dikerjakan setelah vaskular
rekonstruksi.
Electrophysiology
EMG (Electromyography)
Pemeriksaan EMG dapat membantu menentukan letak lesi dan fungsi inervasi saraf.
Waktu yang tepat dilakukannya neurosurgical intervention umumnya, saat usia 3-4 bulan. Pada
kasus berat, seperti total avulsions,dilakukan operasi sesegera mungkin. Diagram
penanganan obstetrical brachial plexus injury dapat dilihat pada Skema 1 di bawah.[35]
Skema 1.Guideline penanganan obstetric brachial plexus injury.
Sumber: Gilbert A. Brachial Plexus Injuries. United of Kingdom: Martin Dunitz Ltd; 2001.
3.11 Pengobatan
Pembedahan adalah pilihan untuk adultbrachial plexus injury, baik pada closed maupun open
injury. Setidaknya ada 4 hal yang mempengaruhi dalam pengambilan keputusan pembedahan:
1. Donor saraf yang digunakan (supraclavicular, infraclavicular dissection, dan donor nerve
dissection)
2. Strategi rekonstruktif (fungsi pergerakan yang menjadi prioritas rekonstruktif)
3. Teknik pembedahan
Setidaknya terdapat 5 teknik pembedahan untuk brachial plexus injury:
Nerve transfer
Nerve transfer mengambil saraf lain atau cabang saraf yang kurang penting untuk ditransfer
pada saraf krusial yang mengalami kerusakan dengan tujuan mengembalikan fungsinya dengan
caradirect suturingatau nerve grafting pada sisi distal. Nerve transfer dapat diambil dari saraf
proksimal (extraplexus dan intraplexus nerve transfer) atau saraf distal (closed-target nerve
transfer).
Functioning free muscle transplantation
Functioning free muscle transplantation adalah transfer otot menggunakan microvascular
anastomoses untuk revaskularisasi dan penyambungan microneural pada recipient motor
nerve dengan tujuan reinervasi.
Neurolysis
Neurolysis merupakan suatu prosedur melepaskan neuroma (constrictive scar tissue) di sekitar
saraf. Bila neuroma besar, harus dieksisi dan saraf dilekatkan kembali dengan teknik end-to-
end atau nerve grafts.
Neurolysis diindikasi pada kasus neuropraxia atau konduksi blok yang tidak membaik secara
spontan. Kondisi ini biasanya disebabkan olehperineural fibrosis yang dipicu oleh hematoma
post-traumatik maupun stretch injuries. Saraf terdiri dari banyak fiber (axon).Ketika terjadi
cedera saraf, fiber-fiber ini berusaha menyebar keluar supaya tersambung, kadang-kadang,
fiber ini dapat membentuk gumpalan sehingga terjadi jaringan parut pada saraf.
Nerve repair
Prosedur nerve repair berarti menjahit antara ujung dan ujung saraf yang terputus yang
dikerjakan di bawah mikroskop. Saraf tidak akan pernah kembali secara sempurna jika telah
terpotong. Kesembuhan maksimal hanya terjadi sekitar 80%.Pertumbuhan saraf sekitar 1 mm
setiap harinya.
Nerve grafting
Bila gap antara saraf terlalu besar, sehingga tidak mungkin dilakukan tarikan.Saraf yang sering
dipakai adalah n. suralis, n. cutaneous antebrachial lateralis dan medialis, dan cabang terminal
sensoris n. interosseus posterior.
1. Waktu pembedahan yang tepat (primary atau secondary repair)
Immediate atau early surgery
Pada kasus open injury di bagian leher oleh pisau atau benda tajam lainnya menyebabkan
defisit motorik maupun sensorik dan kecurigaan adanya avulsi saraf. Eksplorasi
dan immediately nerve repair beberapa hari setelah trauma sangat diindikasikan. Golden
timeuntuk supraclavicular penetrating lesions adalah 1 minggu, sedangkan infraclavicular
penetrating lesions selama 2 minggu. Setelahgolden time, biasanya dibutuhkan nerve
grafts setelah neuroma resection.
Secondary nerve repair: delayed repair
Terdapat 3 tipe secondary repair:
Early delayed repair (nerve repair dalam waktu 1 bulan untuk diagnosis open injury atau 5
bulan untuk closed injury).
Untuk kasus closed brachial plexus injury, tujuan utama delayed repair untuk menegakkan
diagnosis, termasuk mencari derajat, letak, dan luas lesi. Managemen untuk kasus ini terdiri
dari 3 tahap:
- Stage 1 : stabilization stage selama 1 bulan pertama, temasuk stabilisasi tanda-
tanda vital, fracture tulang, dan dislokasi sendi.
- Stage 2 : diagnostic stage pada bulan ke-2, termasuk pemeriksaan klinis dan
investigasi untuk menegakkan diagnosis, mulainya fisioterapi dengan stimulasi elektrik untuk
mencegah soft tissue swelling, kekuan sendi, dan atrofi otot. Selain itu, pada tahap ini juga
dilakukan psychological education sebelum operasi.
- Stage 3 : pada bulan ke-3 hingga ke-5 perawatan. Jika tidak ada tanda-tanda
perbaikan fungsi saraf pada 3 bulan pertama, maka diindikasikan operasi.
Late delayed repair (nerve repair lebih dari 6 bulan setelah trauma)
Dalam waktu 6 bulan setelah trauma, telah terjadi denervasi saraf sehingga disarankan nerve
repair yang diikuti oleh local muscle transfer atau functioning free muscle transplantation.
Late repair (nerve repair lebih dari 1 tahun setelah trauma)
Pada kasus kronik, 1 tahun setelah trauma, otot telah sangat lama mengalami denervasi
sehingga atrofi dan telah digantikan oleh jaringan konektif dan lemak.Sekalipun dilakukan
operasi, hasilnya tetap buruk dan sia-sia.Fisioterapi hanya mencegah terjadinya atrofi otot lebih
jauh tetapi tidak memperbaiki otot yang telah rusak. Operasi pilihan untuk kasus kronik seperti
ini adalah functioning free muscle transplantation atau banked nerve
grafts dari ipsilateral atau contralateral nerve transfer, yang diikuti oleh secondary functioning
free muscle transplantation.[35][40][41]
Perbedaan derajat dan perbedaan level cedera membutuhkan strategi rekonstruksi yang
berbeda. Hampir 70% cederaplexus brachialistermasuk dalamclosed injury yang menyebabkan
avulsi saraf spinal. Ini adalah lesi yang tidak dapat diperbaiki.Nerve transfer danfunctioning free
muscle transplantation menjadi satu-satunya pilihan jika terjadi avulsi pada cederaplexus
brachialis.[42][43]
Pilihan rekonstruktif untuk cedera level 1 adalah nerve transfer dan functioning free muscle
transplantation. Palliative surgerydikerjakan untuk lesi level 1 sampai dengan 4.Functioning free
muscle transplantation termasuk dalam palliative surgery dan dapat dikerjakan pada lesi selain
lesi level 1.Neurolysis, nerve repair, nerve graft (free nerve graft atau vascularized ulnar nerve
graft), nerve transfer dikerjakan pada lesi level 2. Clavicle osteotomy seringkali dibutuhkan pada
lesi level 3. Nerve grafts juga sering dikerjakan pada lesi level 4.[42][44]
Agar lebih mengerti tentang strategi rekonstruktif, David Chuang membagi lesi plexus
brachialis menjadi 4 level cedera yang dapat dilihat pada Gambar 34:
1. Level 1 : pre-ganglionic root injury, termasuk: spinal cord, rootlets, dan root injuries.
2. Level 2 : post-ganglionic spinal nerve injury yang terbatas pada lesi interscalene
space/interscalene groove (celah antara anteriordan m. scaleneus medius) ke arah
proksimal dari n. suprascapularis.
3. Level 3 : preclavicular dan retroclavicularcederaplexus
brachialis termasuk trunks dan divisions.
4. Level 4 : infraclavicular cederaplexus brachialis termasuk cords dan terminal branches
proximal sampai ke axillary fossa.[42]
Gambar 34.Level BPI menurut pembagian Chuang. (BPI = Brachial Plexus Injury)
Sumber: Chuang DC. Brachial Plexus Injury: Nerve Reconstruction and Functioning Muscle
Transplantation. Seminars in Plastic Surgery.2010; 24: 57-66.
David Chuang juga membagi 2 tipe lesi pada cederaplexus brachialis(Gambar 35) yang
dibedakan untuk tujuan perbedaan pengobatannya.
1. Avulsion : mengacu pada saraf yang robek dari perlekatannya (disebut avulsi proksimal
jika perlekatannya terlepas dari spinal cord, disebut avulsi distal jika perlekatannya
terlepas dari otot).
2. Rupture : adalah cedera saraf yang diakibatkan oleh trauma traksi yang terbelah secara
inkomplit sehingga menyebabkan bentuk akhir iregular proksimal dan distal.[42]
Cedera level 1 pada konteks ini adalah avulsion injury, sedangkan level 2, 3, dan 4
adalah rupture injury. Perbedaan avulsion dan rupturedapat dilihat pada Tabel 12.[42]
Tabel 12. Perbedaan avulsion dan rupture.
Sumber: Chuang DC. Brachial Plexus Injury: Nerve Reconstruction and Functioning Muscle
Transplantation. Seminars in Plastic Surgery.2010; 24: 57-66.
3.11.1 Level1 Injury (Preganglionic Injury: Spinal Cord, Rootlets, and Roots)
Sayangnya, insiden nerve injury yang paling sering terjadi adalah lesi level 1 yang ditemukan
sebesar 70%. Avulsi dapat terjadi pada satu hingga lima akar yang terlibat. Strategi rekonstruktif
yang dapat dikerjakan, antara lain: nerve transfer, functioning free muscle
transplantation, dan palliative surgery.
1. Nerve Transfer (Gambar 36)
Prosedur ini baik dikerjakan dalam rentang waktu golden periodyang tidak lebih dari 5 bulan
sejak trauma.Tujuan operasi ini setidaknya dapat memperbaiki kekuatan otot
hingga power4disesuaikan dengan Medical Research Council Scale for Assessment of Muscle
Power.Nerve transfer diklasifikasikan menjadi:
Extraplexus nerve transfer
Extraplexus nerve transfer melibatkan transfer dari saraf tetangga (dari saraf leher ipsilateral
atau kontralateral) untuk neurotisasi saraf yang paralisis pada avulsi plexus brachialis. Saraf
tersebut termasuk n. phrenicus, n. accesorius spinalis (XI), n. hypoglossus (XII), dan saraf C7
kontralateral.Extraplexus sensory nerve transfer, seperti n. supraclavicularis
sensoryuntuk transfer n. medianus, terkadang digunakan untuk memperbaiki paralitik sensorik.
Intraplexus nerve transfer
Intraplexus nerve transfer dapat dikerjakan pada kasus non-global root avulsion dimana
sekurangnya satu dari saraf spinal terjadi rupture injury dan masih dapat di-
transfer. Contohnya, pada kasus C5 rupture dan C6 avulsion, dimana ujung C5 lebih sehat
dibanding ujung C6.Fiber C5 ditransfer secara sengaja pada C6 (atau anterior division of the
upper trunk) untuk memperbaiki pergerakan fleksi cubiti.C5 distal (atau posterior division of the
upper trunk dan n. suprascapularis) kemudian diinervasi oleh partially injured C6. Strategi ini
menyatakan bahwa pergerakan fleksi cubiti memiliki prioritas lebih dibanding rekonstruksi
bahu.Intraplexus nerve transfer bersifat individual, tergantung dari penemuan intraoperative,
kondisi pasien, dan persyaratan. Extraplexus dan intraplexus nerve transfersdikerjakan untuk
neurotisasi saraf proksimal.
Close-target nerve transfer
Close-target nerve transfer adalah prosedur transfer untuk saraf bagian distal, lebih dekat
pada neuromuscular junction, sehingga dapat dicapai perbaikan motorik yang lebih cepat. Saraf
donor yang diambil untuk close-target nerve transfer adalah saraf yang letaknya di dekat target
atau saraf yang berada di luar fossa supraclavicularis dan infraclavicularis, seperti:
- n. accessorius spinalis ditransfer ke n. suprascapularis
- partial n. ulnaris ditransfer ke n. biceps brachii
- part of n. medianus ditransfer ke n. brachialis
- caput longus dari n. triceps brachii ditransfer ke n. axillaris
- n. intercostalis ditransfer ke n. biceps brachii atau ke n. musculocutaneous, atau ke caput
longus dari n. triceps brachii
- n. interosseus anterior ditransfer ke n. interosseus radialis atau posterior
- cabang n. interosseus anterior ditransfer ke deep motor branch dari n.
ulnaris pada antebrachii.[42][45]
Pilihan proksimal atau distal nerve transfer sebagai operasi rekonstruktif masih
diperdebatkan (Tabel 13). Proximal nerve transfer (extraplexus dan intraplexus nerve
transfer) masih merupakan prosedur operatif rekonstruktif utama.[42]
Cubiti
Pada cedera level 1, prioritas rekonstruksi adalah pergerakan fleksi cubiti. Donor saraf untuk
fleksi cubiti termasuk n. intercostalis, nervus XI dengan nerve graft, n. phrenicus dengan atau
tanpa nerve graft, partial n. ulnaris, partial n. medialis, n. pectoralis, n.
thoracodorsal,dan contralateral C7. Saraf resipien termasuk n. musculocutaneous, cabang
dari n. biceps, atau cabang n. brachialis.
Rekonstruksi pergerakan ekstensi cubiti bukanlah prioritas utama.Transfer n. phrenicus ke distal
C5 atau posterior division of the upper trunk atau n. radialis dengan nerve graft seringkali baru
dapat menghasilkan pergerakan ekstensi pada tahun ke-3 rehabilitasi. Beberapa ahli
menggunakan 2 atau 3 n. intercostalis untuk ditransferkan ke caput longus triceps dengan
tujuan rekonstruksi pergerakan ekstensicubiti.[42][47]
Digiti
Pada cedera global (C5-T1) level 1, prioritas rekonstruksi untuk fungsi jari tergantung dari
prosedur yang digunakan, yaitunerve transferatau functioning free muscle
transplantation.Secara tradisional, prioritas rekonstruktif adalah pergerakan fleksi
jari.Pada rupture C5dengan C6-T1 four-root avulsion, seringkali dilakukantransfer C5 ke n.
medianus, sedangkan padatotal root (C5-T1) avulsionseringkali dilakukan transfer contralateral
C7 ke n. medianus untuk perbaikan pergerakan fleksi jari dan cubiti. Salah satu prosedur
membutuhkanvascularized ulnar nerve graft untuk mencapai one-stafe full reconstruction jika
kerusakan disertai dengan nerve transfer untuk fungsi bahu dan cubiti. Pada total root
avulsion fase akut, one-stage full reconstruction dapat dicapai dengan multiple nerve
transfer termasukcontralateral C7.[42]
Functioning free muscle transplantation diutamakan sebagai terapi rekonstruktif paliatif untuk
mencapai hasil yang lebih baik pada fase lanjut. Pendekatan alternatif untuk functioning free
muscle transplantation, antara lain: a longfunctioning free muscle transplantationfrom the
clavicle down to the extensor digitorumcommunis, innervated by the XI nerve,dilakukan pada
fase awal, diikuti dengan second long functioning free muscle transplantation from the second
rib to the flexor digitorum profundus, inervasi oleh n. intercostalis pada fase kedua.[42]
Arthrodesis cubiti dan digiti I biasanya dibutuhkan untuk stabilitas. Untuk proximal to distal
reconstructive strategy (nerve reconstructionpada fase awal, selanjutnya free functioning
muscle transplantion) dibandingkan dengan distal to proximal (free functioning muscle
transplantation pada fase awal, selanjutnya nerve reconstruction) pada cedera level 1
diilustrasikan pada Tabel 15.[42]
2. Nerve Repair
Direct nerve repair (Gambar 39) biasanya dilakukan pada cedera penetrasi.[42]
Setelah Reinervasi
Setelah EMG menunjukkan reinervasi pada transfer otot, biasanya 3-8 bulan paska operasi,
EMG biofeedback dimulai untuk melatih transfer otot menggerakkan siku dan jari.
Teknik elektromiografi feedback di mulai untuk melatih otot yang ditransfer untuk
menggerakkan siku dan jari dimana pasien biasanya kesulitan mengkontraksikan ototnya secara
efektif.[42]
Pada alat biofeedback terdapat level nilai ambang yang dapat diatur oleh terapis atau pasien
sendiri. Saat otot berkontraksi pada level ini, suatu nada berbunyi, layar osciloskop akan
merekam respons ini. Level ini dapat diatur sesuai tujuan yang akan dicapai.
Lempeng elektroda ditempelkan pada otot, kemudian pasien diminta untuk mengkontraksikan
ototnya. Pada saat permulaan biasanya EMG discharge sulit didapatkan, tetapi dengan latihan
yang kontinyu, EMG discharge otot akan mulai tampak.[42]
Latihan EMG biofeedback (Gambar 40) dilakukan 4 kali seminggu dan tiap sesi selama 10-70
menit, dan latihan segera dihentikan bila ada tanda-tanda kelelahan.Efektivitas latihan
biofeedback tidak dapat dicapai bila pasien tidak mempunyai motivasi dan konsentrasi yang
cukup.[42]
Gambar 41.EMG biofeedback.
Sumber: http://hitechtherapy.ipcoweb.com/user_images/kine/KineLive01.jpg
Reedukasi otot diindikasikan saat pasien menunjukkan kontraksi aktif minimal yang tampak
pada otot dan group otot.Tujuan reedukasi otot untuk pasien adalah mengaktifkan kembali
kontrol volunter otot. Ketika pasien bekerja dengan otot yang lemah, intensitas aktivitas motor
unit dan frekuensi kontraksi otot akan meningkat. Waktu sesi terapi seharusnya pendek dan
dihentikan saat terjadi kelelahan dengan ditandai penurunan kemampuan pasien mencapai
tingkat yang diinginkan.[42]
Pemanasan, ultrasound diatermi, TENS(Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation),
interferensial stimulasi, elektro stimulasi dapat dipergunakan sesuai indikasi. Dilakukan juga
penguatan otot-otot leher dan koreksi imbalance otot-otot ekstremitas atas.[42]
Terapi Okupasi
Terapi okupasi terutama diperlukan untuk:
Memelihara luas gerak sendi bahu, membuat ortesa yg tepat untuk membantu fungsi
tangan, siku dan lengan, mengontrol edema defisit sensoris.
Melatih kemampuan untuk menulis, mengetik, komunikasi.
Menggunakan teknik-teknik untuk aktivitas sehari-hari, termasuk teknik menggunakan
satu lengan, menggunakan peralatan bantu serta latihan penguatan dengan mandiri.[42]
Terapi Rekreasi
Terapi ini sebagai strategi dan aktivitas kompensasi sehingga dapat menggantikan berkurang
dan hilangnya fungsi ekstremitas.[42]
3.13 Prognosis
Lebih dari 70% kasus obstetric brachial plexus injury sembuh secara spontan. Hal ini
dikarenakan hampir sebagian besar nervus injurypada kasus obstetrikal termasuk dalam
cedera neuropraxia yang dapat pulih secara spontan.[42][54][55]
Sembuh spontan pada kasus brachial plexus injury jarang terjadi, tetapi masih mungkin pada
beberapa lower plexus root injuries. Padabrachial plexus injury, setelah nerve
reconstruction atau free functioning muscle transplantation, fungsi motorik dinilai kekuatannya
sesuai dengan pemeriksaan British Medical Research Council grading system.[42]
Pada cedera plexus brachialis level 4 setelah nerve grafting, keberhasilan operasi ditandai
dengan pergerakan elevasi bahu M4 180, pergerakan fleksi dan ekstensi cubiti M4 atau lebih,
pergerakan fleksi dan ekstensi digiti M3 atau lebih. Pada post-opertive total root
avulsion dengan multiple nerve transfer, keberhasilan operasi ditandai dengan pergerakan
abduksi 60, pergerakan fleksi cubiti M4, dan pergerakan digiti M2 atau lebih. Keberhasilan
operasi tambahan, yaitu functioning free muscle transplantation ditandai dengan
pergerakan carpi M2-3 dan pergerakan ekstensi digiti.[42]
Rorabeck CH, et al meneliti 112 kasus cedera plexus brachialis dan menyimpulkan bahwa
trauma upper trunk memiliki prognosis yang paling baik, trauma pada cords, upper
roots, dan lower trunk umumnya memiliki prognosis yang kurang baik. Complete plexus
injuriesmemiliki prognosis yang paling buruk. Nyeri persisten yang lebih dari 6 bulan
mengindikasikan tanda prognosis neurologikal yang buruk.Adanya pseudomeningocele yang
terdeteksi biasanya berhubungan dengan prognosis yang buruk. Penelitian Rorabeck CH, et al
dapat dilihat pada Tabel 16 di bawah.[56]
Tabel 16.Recovery in brachial plexus injury.
Sumber: Rorabeck CH, Harris WR. Factors Affecting the Prognosis of Brachial Plexus Injuries.
The Journal od Bone and Joint Surgery. 1981; 63:404-7.
Upper trunk 34 18 11 5
Lower trunk 18 3 4 11
Cords 23 6 4 13
Complete 24 0 6 18
Dari tabel di atas, dapat disimpulkan, full recovery pada kasus upper roots sekitar 23%, pada
kasus upper trunk sekitar 53%, pada kasuslower trunk sekitar 17%, pada kasus cords
trauma sekitar 26%, dan 0% pada kasus complete brachial plexus injury.[56]
BAB IV
KESIMPULAN
Cedera plexus brachialis adalah cedera jaringan saraf yang berasal dari C5-T1.Plexus
brachialis adalah persarafan yang berjalan dari leher ke arah axilla yang dibentuk oleh ramus
ventral saraf vertebra C5-T1.[8]
Insiden obstetrical brachial plexus injury di Amerika Serikat sebesar 1-2 kasus per 1000
kelahiran. Insiden Erbs palsy sekitar 90%, total plexus injury sebesar 9%, dan Klumpkes
palsy sebesar 1%.[1][2] Menurut Office of Rare Disease of National Institutes of Health, angka
kejadian brachial plexus injury kurang dari 200.000 jiwa per tahun dihitung pada populasi di
Amerika Serikat. Sebagian besar korbannya adalah pria muda yang berusia 15-25 tahun.[3]
Ditemukan lebih dari 30 penyebab terjadinya cedera plexus brachialis. Tetapi etiologi yang lebih
sering, antara lain: trauma, cedera persalinan, compression syndrome, dan tumor.[9][10][11]
Terdapat berbagai macam versi sistem klasifikasi brachial plexus injury, tetapi yang paling
banyak digunakan adalah Lefferts classification system.
1. Tipe 1 termasuk brachial plexus injury yang disebabkan oleh open trauma.
2. Tipe 2 termasuk brachial plexus injury yang disebabkan oleh closed trauma, dibagi
menjadi:
- A: Supraclavicular, dibagi menjadi: preganglionik dan postganglionik.
- B. Infraclavicular
- C: Kombinasi
1. Tipe 3 termasuk brachial plexus injury yang disebabkan oleh radiotherapy induced.
2. Tipe 4 termasuk brachial plexus injury yang disebabkan oleh cedera selama persalinan.
- A: Erbs palsy
- B: Klumpkes palsy
- C: Kombinasi
Manifestasi klinis cedera plexus brachialis tergantung dari tingkat lesi yang terjadi (roots,
trunks, divisions, cords, terminal branches, atautotal plexus). Manifestasi klinis yang timbul
adalah gangguan motorik dan sensorik sesuai dengan distribusi nervus.
Pemeriksaan fisik yang diperlukan, meliputi: (1) pemeriksaan motorik sesuai dengan
distribusinya yang dinilai dari skala 0 hingga 5 disesuaikan dengan Medical Research Council
Scale for Assessment of Muscle Power. (2) pemeriksaan sensorik pada setiap
dermatom,propioceptive, temperatur, taktil, perabaan, vibrasi dengan turning fork 30 dan
256 cycles per second, dan ninhydrin test. (3) Pemeriksaan khusus, meliputi Tinels
sign dan Horners syndrome.[35][36]
Diagnosis cedera plexus brachialis, meliputi: anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang yang disesuaikan dengan kebutuhan (x-ray, CT Scan, MRI, CT myelography,
angiography, electrophysiology).[18][35]
Penanganan untuk cedera plexus brachialis tergantung level cedera yang terjadi menurut
pembagian David Chuang. Pilihan rekonstruktif untuk cedera level 1 adalah nerve
transfer dan functioning free muscle transplantation. Palliative surgery dikerjakan untuk lesi
level 1 sampai dengan 4.Functioning free muscle transplantation termasuk
dalam palliative surgery dan dapat dikerjakan pada lesi selain lesi level 1. Neurolysis, nerve
repair, nerve graft (free nerve graft atau vascularized ulnar nerve graft), nerve
transfer dikerjakan pada lesi level 2. Clavicle osteotomy seringkali dibutuhkan pada lesi level
3. Nerve grafts juga sering dikerjakan pada lesi level 4.[42][44]
Prognosis obstetric brachial plexus injury umumnya baik, karena lebih dari 70% kasus sembuh
secara spontan karenakan hampir sebagian besar nervus injury pada kasus obstetrikal termasuk
dalam cedera neuropraxia yang dapat pulih secara spontan.[42][54][55]
Penelitian oleh Rorabeck CH, et al dapat disimpulkan, full recovery pada kasus upper
roots sekitar 23%, pada kasus upper trunk sekitar 53%, pada kasus lower trunk sekitar 17%,
pada kasus cords trauma sekitar 26%, dan 0% pada kasus complete brachial plexus injury.[56]