Professional Documents
Culture Documents
NASKAH PUBLIKASI
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
Mencapai Derajat Sarjana Kedokteran
Diajukan Oleh:
FAHMI AFIF ALBONEH
J 50009 0033
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2013
NASKAH PUBLIKASI
ABSTRAK
Fahmi Afif Alboneh. J500090033. 2012. Hubungan Status Gizi Dengan
Kejadian Diare Pada Balita Usia 2-5 Tahun di Wilayah Kerja Puskesmas
Kecamatan Karanganyar Kabupaten Karanganyar.
Latar belakang: Tiap tahunnya diare menjadi salah satu penyakit yang
menyebabkan malnutrisi dan mortalitas pada anak, sehingga menjadikan anak
mengalami gangguan tumbuh kembang. Secara global setiap tahunnya ada sekitar 2
miliar kasus diare dengan angka kematian 1,5 juta pertahun. Pada negara
berkembang, anak-anak usia dibawah 3 tahun rata-rata mengalami 3 episode
diare pertahun. Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT), Studi
Mortalitas dan Riset Kesehatan Dasar dari tahun ke tahun diketahui bahwa diare
masih menjadi penyebab utama kematian balita di Indonesia.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode analitik observasional dengan
pendekatan cross-sectional untuk mengetahui hubungan antara status gizi dengan
kejadian diare pada balita usia 2-5 tahun. Jumlah sampel sebanyak 100 responden.
Pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner diare, penimbangan berat badan,
dan pengukuran tinggi badan. Analisis data menggunakan Chi square.
Hasil: Status gizi pada balita dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu baik dan tidak baik.
Sebanyak 72 balita memiliki gizi baik, 58% dari balita yang memiliki gizi baik
menderita diare, dan 42% dari balita tersebut tidak diare. Balita dengan gizi tidak
baik sebanyak 28 balita, dimana sebanyak 36% menderita diare, dan 64% tidak
diare. Hasil analisis didapatkan nilai p = 0,042.
Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan antara status gizi dengan kejadian diare pada
balita usia 2-5 tahun di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Karanganyar
Kabupaten Karanganyar.
Latar Belakang
Diare adalah penyebab kematian kedua pada anak dibawah 5 tahun. Secara
global setiap tahunnya ada sekitar 2 miliar kasus diare dengan angka kematian 1,5
juta pertahun. Pada negara berkembang, anak-anak usia dibawah 3 tahun rata-
rata mengalami 3 episode diare pertahun. Setiap episodenya diare akan
menyebabkan kehilangan nutrisi yang dibutuhkan anak untuk tumbuh, sehingga
diare merupakan penyebab utama malnutrisi pada anak (WHO, 2009).
Salah satu langkah dalam pencapaian target Millenium Development Goals/
MDGs (Goal ke-4) adalah menurunkan kematian anak menjadi 2/3 bagian dari
tahun 1990 sampai pada 2015. Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT), Studi Mortalitas dan Riset Kesehatan Dasar dari tahun ke tahun
diketahui bahwa diare masih menjadi penyebab utama kematian balita di
Indonesia. Penyebab utama kematian akibat diare adalah tata laksana yang tidak
tepat baik di rumah maupun di sarana kesehatan. Untuk menurunkan kematian
karena diare perlu tata laksana yang cepat dan tepat (Depkes RI, 2011).
Jumlah kasus diare di Jawa Tengah tahun 2007 yaitu sebanyak 625.022
penderita dengan Incidence Rate (IR) 1,93%, sedangkan jumlah kasus diare pada
balita yaitu sebanyak 269.483 penderita. Jumlah kasus diare setiap tahunnya rata-
rata di atas 40%, hal ini menunjukkan bahwa kasus diare masih tetap tinggi
dibandingkan golongan umur lainnya (Dinkes Jateng, 2007).
Data dari Dinas Kesehatan Karanganyar (2009-2011), angka kejadian diare di
Kabupaten Karanganyar cukup tinggi, dalam tiga tahun terakhir (2009-2011),
mengalami peningkatan, dimana pada tahun 2009 total kasus diare sebanyak 15.573,
dan pada tahun 2010 sebanyak 18.069, pada tahun 2011 terjadi peningkatan menjadi
20.331.
Tahun 2011 didapatkan Puskesmas Kecamatan Karanganyar mempunyai
angka kejadian tinggi yaitu sebesar 1570 di bandingkan puskesmas lain di daerah
Kabupaten Karanganyar (Dinas Kesehatan Kabupaten Karanganyar, 2011).
Data pada tahun 2007 memperlihatkan empat juta balita di Indonesia
mengalami kekurangan gizi, 700 ribu di antaranya mengalami gizi buruk (Marimbi,
2010). Berdasarkan Profil Kesehatan Jawa Tengah tahun 2003, perkembangan
keadaan gizi masyarakat yang dapat dipantau berdasarkan hasil pencatatan dan
pelaporan program menunjukkan bahwa keadaan gizi masyarakat Jawa Tengah yang
tercermin dari hasil penimbangan balita pada tahun 2003 menunjukkan jumlah
balita yang ada 2.816.499 anak, dari jumlah tersebut yang datang ditimbang
posyandu sebanyak 1.993.448 anak dengan rincian yang naik berat badannya
sebanyak 1.575.486 anak atau 79,03% dan balita yang ada dibawah garis merah
(BGM) sebanyak 46.679 anak atau 2,34%. Data tersebut menunjukkan bahwa di
Jawa Tengah masih banyak balita yang status gizinya berada dibawah standar
(Dinkes Jateng, 2003).
Data status gizi balita di Kabupaten Karanganyar didapatkan status gizi lebih
sebanyak 320 balita, status gizi baik 50.934 balita, status gizi kurang 1.704 balita,
dan status gizi buruk sebanyak 172 balita (Dinas Kesehatan Kabupaten
Karanganyar, 2010).
Status gizi balita di Puskesmas Kecamatan Karanganyar didapatkan data
sebanyak 16 balita memiliki status gizi lebih, 3.925 dengan status gizi baik, 89 balita
dengan status gizi kurang dan sebanyak 41 balita memiliki status gizi buruk. Angka
status gizi buruk di Kabupaten Karanganyar tertinggi adalah di Puskesmas
Karanganyar sebesar 1.01%, diikuti Puskesmas Gondangrejo 0.60% (Dinas
Kesehatan Kabupaten Karanganyar, 2010).
TINJAUAN PUSTAKA
Status Gizi
Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan
penggunaan zat-zat gizi. Dibedakan antara status gizi buruk, kurang, baik, dan lebih
(Almatsier, 2010).
Untuk menentukan status gizi seseorang atau kelompok populasi dilakukan
dengan interpretasi informasi dari beberapa metode penelitian status gizi yaitu:
a. Antropometri
1). Berat badan menurut umur (BB/U)
2). Tinggi badan menurut umur (TB/U)
3). Berat badan menurut tinggi badan (BB/TB)
b. Klinis
c. Biokimia
d. Biofisik
Diare
Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau
setengah cair (setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya lebih
dari 200 gram atau 200ml/24 jam. Definisi lain memakai kriteria frekuensi, yaitu
buang air besar encer lebih dari tiga kali per hari. Buang air besar encer tersebut
dapat / tanpa disertai lendir dan darah (Daldiyono, 2009).
Menurut Daldiyono (2009) Diare disebabkan oleh faktor infeksi, malabsorpsi
(gangguan penyerapan zat gizi), dan makanan.
Menurut Suraatmaja (2010), berdasarkan jenisnya diare dibagi empat yaitu:
a. Diare Akut
b. Diare kronik
c. Diare persisten
d. Diare dengan masalah lain
Dalam Subagyo & Santoso (2010) menjelaskan tatalaksana pengobatan diare
pada balita yang baru didukung oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia, dengan
merujuk pada panduan WHO, yaitu:
a. Rehidrasi dengan oralit
b. Zinc diberikan selama 10 hari berturut-turut
c. ASI dan makanan tetap diteruskan
d. Antibiotik selektif
e. Nasihat kepada orang tua
METODE PENELITIAN
Desain penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan
(cross-sectional) (Taufiqurrahman, 2010).
Populasi Penelitian
Balita usia 2-5 tahun yang berada di wilayah Puskesmas Kecamatan
Karanganyar Kabupaten Karanganyar.
Sampel dan Tekhnik Sampling
Sampel pada penelitian ini adalah anak balita usia 2-5 tahun yang bertempat
tinggal di wilayah Puskesmas Kecamatan Karanganyar Kabupaten Karanganyar.
Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah dengan cara purposive
sampling.
Kriteria Restriksi
1. Kriteria Inklusi
a. Balita usia 2-5 tahun.
b. Tinggal di Kecamatan Karanganyar Kabupaten Karanganyar
2. Kriteria eksklusi
a. Anak menderita kelainan kongenital atau cacat fisik
b. Subjek tidak bersedia berpartisipasi dalam penelitian
Definisi Operasional
1. Variabel independen: Status gizi
a. Definisi
Status gizi balita menurut antropometri pada anak balita yang
ditentukan dengan menggunakan Z - Skor.
b. Kategori:
1) Status gizi baik jika skor - 2 SD sampai 2 SD
2) Status gizi tidak baik jika skor > 2 SD atau < 2 SD
c. Alat ukur :
1) Timbangan (BB)
2) Microtoise (TB)
3) Kuesioner (Umur)
d. Skala : Nominal
2. Variable dependen : Kejadian diare pada balita
a. Definisi
Diare yaitu buang air besar encer lebih dari 3 kali per hari. Buang air
besar encer tersebut dapat / tanpa disertai lendir dan darah.
b. Kategori
1) Terjadi diare dalam waktu 3 bulan terakhir
2) Tidak terjadi diare dalam waktu 3 bulan terakhir.
c. Skala : Nominal
Instrument Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah timbangan
dacin, microtoise dan kuesioner tentang diare.
1. Kuesioner : Untuk menilai kejadian diare pada balita
2. Timbangan dacin : Untuk mengukur berat badan
3. Microtoise : Untuk mengukur tinggi badan
Analisis data
Data tersebut diuji dengan teknik analisis uji chi-square. Seluruh data yang
diperoleh diolah dengan menggunakan program SPSS versi 19 for windows.
Tabel 3. Analisis Status Gizi BB/U Dengan Kejadian Diare Pada Balita
Kejadian Diare
Kelompok Diare Tidak diare Total P.Value
BB/U
N % N % N
Baik 42 58 30 42 72 0,042
Tidak baik 10 36 18 64 28
Tabel 4. Analisis Status Gizi TB/U Dengan Kejadian Diare Pada Balita
Kejadian Diare
Kelompok Diare Tidak diare Total P.Value
TB/U
N % N % N
Baik 44 58 32 42 76 0,036
Tidak baik 8 33 16 67 24
Pembahasan
Analisis data pada penelitian ini dilakukan dengan mengelompokkan status
gizi menjadi 2 yaitu status gizi baik dan status gizi tidak baik (status gizi kurang dan
status gizi lebih). Pada penelitian didapatkan dari 100 responden, umumnya balita
memiliki status gizi baik yaitu 71 balita (71%), dan balita yang memiliki gizi tidak
baik yaitu 29 balita (29%).
Sebanyak 58% dari balita yang memiliki gizi baik menderita diare, dan 42%
dari balita tersebut tidak diare. Balita dengan gizi tidak baik sebanyak 29 balita,
dimana sebanyak 38% menderita diare, dan 62% tidak diare. Pada balita dengan
status gizi tidak baik, prosentase angka kejadian diare sebesar 36%, angka ini lebih
kecil dari angka tidak diare sebanyak 64%, hal ini secara perhitungan didapatkan
data yang tidak bermakna, dimana pada status gizi tidak baik angka kejadian diare
lebih rendah daripada tidak diare, dan juga pada kelompok status gizi baik, angka
kejadian diare lebih tinggi daripada tidak diare.
Hasil penelitian ini dilakukan uji dengan menggunakan Chi square dengan
menggunakan SPSS versi 19 for windows dan didapatkan nilai p = 0,042, akan tetapi
secara perhitungan kasar tidak bermakna, ini dapat dikarenakan pengelompokan
status gizi hanya menjadi dua kelompok yaitu status gizi baik dan tidak baik. Pada
status gizi tidak baik terdiri dari status gizi lebih dan status gizi kurang. Menurut
Rahmawati (2008), semakin baik status gizi balita maka semakin besar peluang
tidak menderita ISPA dan penyakit infeksi. Zulkifli (2003) menambahkan, status
gizi kurang mempunyai peluang yang lebih besar untuk menderita diare, sedangkan
balita dengan status gizi baik mempunyai peluang yang lebih kecil untuk menderita
diare. Menurut Nuryanto (2012), status gizi baik umunya akan meningkatkan
resistensi tubuh terhadap penyakit-penyakit infeksi.
Penelitian ini sesuai dengan Hendarto & Musa (2002), balita dengan status gizi
baik lebih sering terkena penyakit infeksi jika dibandingkan dengan balita dengan
status gizi tidak baik. Menurut Zulkifli (2003) yang dikutip dari Santoso (2000),
didapatkan bahwa status gizi balita tidak mempunyai hubungan dengan kejadian
diare pada balita. Penelitian ini juga didukung oleh Primayani (2009), hasil
penelitian didapatkan tidak terdapat hubungan antara status gizi dengan lama rawat
inap pada pasien diare di RSUD Soe NTT. Menurut Hendarto & Musa (2002), tidak
terdapat hubungan antara status gizi dengan kekerapan sakit pada balita. Penelitian
ini juga sejalan dengan penelitian Sukmawati & Ayu (2010), hasil penelitian
didapatkan tidak terdapat hubungan antara status gizi dengan kejadian ISPA pada
balita. Akan tetapi penelitian ini tidak sesuai dengan Hamisah (2011), balita dengan
status gizi tidak baik lebih cenderung untuk terjadi diare 3.6 kali lebih tinggi
disbanding status gizi baik.
Menurut Palupi, Hadi, dan Soenarto (2009) yang dikutip dari Pudjiadi (2000),
anak umur 2-5 tahun merupakan konsumen aktif yang bias terpapar dari makanan
diluar rumah. Pada umur tersebut, anak-anak lebih suka makan jajanan mengikuti
jejak teman-temannya, padahal pengolahan dan penyajian makanan tersebut
kemungkinan kurang higienis yang berakibat pada kontaminasi makanan oleh
kuman yang dapat menyebabkan seorang anak menderita diare. Pendapat Achmadi
(2011), diare adalah penyakit yang berbasis lingkungan, yang umumnya diakibatkan
oleh mikroorganisme. Cara penularan diare melalui berbagai media yang kita kenal
seperti air dan pangan yang intinya adalah kondisi sanitasi dasar yang kurang baik.
Status gizi merupakan faktor resiko kejadian diare pada balita usia 0-24 bulan
(Erdan, 2005), sedangkan sampel pada penelitian ini diambil pada usia 2-5 tahun.
Selain itu menurut Subagyo & Santoso (2010) faktor diare yaitu faktor umur,
sebagian besar episode diare terjadi pada dua tahun pertama kehidupan. Insidensi
tertinggi terjadi pada kelompok umur 6-11 bulan pada saat diberikan makanan
pendamping ASI.
Data epidemiologi menunjukkan bahwa obesitas berhubungan dengan gejala
keluhan gangguan gastrointestinal (Ho & Spiegel, 2008). Menurut Aro et al (2005),
pasien obesitas lebih memungkinkan jumlah gula yang terserap lebih sedikit, yang
dapat meningkatkan diare osmotik. Ho & Spiegel (2008), melakukan analisis
terhadap 5 studi antara hubungan obesitas dengan gejala gastrointestinal kronis, dari
5 penelitian didapatkan 4 penelitian positif mengalami gejala diare dan 1 penelitian
negative. Gejala diare ini terjadi pada pasien-pasien irritable bowel syndrome (IBS).
Brown (2003) menyebutkan, kekurangan gizi dapat menyebabkan rentan
terhadap infeksi karena dampak negatif terjadi perubahan pada perlindungan yang
diberikan oleh kulit dan selaput lendir serta menginduksi perubahan fungsi
kekebalan tubuh. Harohalli & Dona (2009) menyatakan, pada malnutrisi terjadi
penurunan fungsi absorbsi usus yang meningkatkan kerentanan terhadap infeksi
enteral. Menurut Tarigan (2003) yang dikutip dari Depkes RI (1997), penyakit
infeksi yang sering pada anak-anak adalah diare dan infeksi saluran pernafasan akut
(ISPA), diare dapat menyebabkan anak tidak mempunyai nafsu makan sehingga
terjadi kekurangan jumlah makanan dan minuman yang masuk ke dalam tubuh yang
dapat berakibat gizi kurang.
Tidak memberikan ASI eksklusif selama 4-6 bulan awal dari kehidupan
adalah merupakan faktor kejadian diare. Selain itu tidak memberikan ASI selama 2
tahun dapat meningkatkan insidensi dan lamanya diare (Simatupang, 2004). Pada
penelitian ini tidak diketahui apakah balita diberikan ASI eksklusif yang dilanjutkan
sampai 2 tahun atau tidak. Selain itu menurut Adisasmito (2007), diare juga
dipengaruhi oleh faktor imunisasi, sampel pada penelitian ini tidak diambil data
mengenai riwayat imunisasi balita. Menurut Adisasmito (2007), pemberian vitamin
A adalah faktor kejadian diare. Umumnya setiap balita di wilayah kerja Puskesmas
Kecamatan Karanganyar mendapatkan vitamin A setiap 6 bulan sekali.
Kelemahan penelitian ini ada tiga hal yaitu, pertama adalah masih banyaknya
faktor perancu yang belum dikendalikan dalam penelitian, sehingga dapat terjadi
bias pada hasil penelitian. Faktor kedua yaitu, data diare yang diukur dalam tiga
bulan terakhir dapat saja terjadi bias recall terhadap riwayat sakit diare dalam tiga
bulan terakhir yang terjadi pada balita. Faktor ketiga kemungkinan terjadi human
error yang terjadi saat melakukan pengukuran berat badan dan tinggi badan dan
masih kurangnya jumlah sampel dalam penelitian serta pengambilan sampel yang
kurang merata, sehingga dalam penelitian ini didapatkan hasil bahwa secara statistik
bermakna dimana nilai p = 0,042 < 0,05, akan tetapi secara perhitungan kasar tidak
bermakna yaitu pada status gizi baik kejadian diare lebih tinggi daripada status gizi
tidak baik.
Saran
1. Bagi ibu dan masyarakat untuk selalu menjaga kesehatan dan kebersihan
lingkungan serta balita sehingga terhindar dari berbagai penyakit.
2. Diharapkan adanya penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih
banyak dan meminimalisasi faktor-faktor bias.
DAFTAR PUSTAKA