You are on page 1of 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyebab utama morbiditas dan mortalitas adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
protozoa dan cacing pada kebanyakan bagian di dunia ini. Istilah protozoa digunakan untuk
merujuk pada organisme infeksius dari divisi binatang, yaitu parasit. Protozoa merupakan
organisme uniseluler yang mampu memperbanyak diri dalam hospesnya.
Infeksi protozoa usus menimbulkan variasi yang luas dari sindroma klinis, berkisar dari
status pengidap asimtomatik sampai penyakit berat yang disertai dengan lesi patologis di
saluran pencernaan atau organ lain. Infeksi dengan protozoa usus biasanya didapat secara oral
melalui kontaminasi tinja pada air dan makanan, dan mereka lebih endemik di negara-negara
dengan keadaan air tidak bersih (sehat).
Infeksi manusia dengan Entamoeba histolytica prevalen di seluruh dunia, fokus endemik
terutama lazim di daerah tropis dan daerah dengan standar sosioekonomi dan kebersihan
rendah. E. histolytica menyebabkan infeksi pada lumen saluran pencernaan tanpa atau sedikit
menimbulkan sekuele penyakit pada kebanyakan subyek yang terinfeksi. Pada sebagian kecil
individu, organisme menginvasi mukosa usus atau menyebar ke organ lain, terutama hati.
Amoebiasis adalah infeksi parasit yang disebabkan oleh Entamoeba histolytica dan
disebut sebagai penyakit bawaan makanan (Food Borne Disease). Amoebiasis merupakan
penyebab ketiga kematian akibat infeksi parasit di dunia setelah malaria dan skistomiasis.
Pada dasar global, amoebiasis mengenai 50 juta orang per tahun, dan menyebabkan hampir
100,000 kematian. Menurut estimasi sekitar 48 juta individu menderita amoebiasis di seluruh
dunia.
B. Rumusan Masalah
Dari Latar belakang di atas, rumusan masalah dalam makalah ini, yaitu:
1. Apa Pengertian Amoebiasis?
2. Bagaimana Klasifikasi Amoebiasis?
3. Bagaimana cara Invasi Jaringan oleh Entamoeba histolytica?
4. Bagaimana cara Diagnosis penyakit Amoebiasis?
5. Bagaimana cara Pengobatan penyakit Amoebiasis?
6. Bagaimana Epidemiologi penyakit Amoebiasis?
7. Bagaimana cara Pencegahan penyakit Amoebiasis?
C. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini, yaitu:
1. Untuk Mengetahui Pengertian Amoebiasis;
2. Untuk Mengetahui Klasifikasi Amoebiasis;
3. Untuk Mengetahui cara Invasi Jaringan oleh Entamoeba histolytica;
4. Untuk Mengetahui cara Diagnosis penyakit Amoebiasis;
5. Untuk Mengetahui cara Pengobatan penyakit Amoebiasis;
6. Untuk Mengetahui Epidemiologi penyakit Amoebiasis;
7. Untuk Mengetahui cara Pencegahan penyakit Amoebiasis.
BAB II

PEMBAHASAN

Amoebiasis

adalah penyakit infeksi usus besar yang disebabkan oleh parasit komensal usus. Penyakit initersebar
hampir diseluruh dunia terutama di daerah negara tropis yang sedang berkembang.
Umumnyadisebabkan karena faktor kepadatan penduduk, higiene individu dan sanitasi lingkungan hidup
serta kondisisosial ekonomi dan kultural yang kurang menunjang perilaku kesehatan.Kasus
amoebiasis masih sering di jumpai, baik di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) maupun dalampraktek
kedokteran sehari-hari, tetapi penanganannya kadangkala kurang memadai, sehingga akan
terjadikomplikasi (penyulit) yang lebih berbahaya. Maka ada baiknya diketahui tentang kasus amoebiasis
agar bisadilakukan penanganan dan pencegahan yang tepat.

A. Pengertian Amoebiasis
Amoebiasis merupakan infeksi yang disebabkan oleh amoeba, yaitu Entamoeba
histolytica, namun juga amoebiasis merujuk kepada infeksi dengan amoeba lainnya.
Amoebiasis dapat dilakukan oleh amoeba yang parasit maupun amoeba yang hidup secara
bebas.
Entamoeba histolytica adalah suatu parasit yang sering ditemukan dalam usus besar
manusia, primata tingkat tinggi tertentu, dan beberapa binatang jinak rumahan dan komensal.
Sebagian besar kasus asimptomatik kecuali pada manusia atau di antara binatang yang hidup
dalam keadaan tertekan atau dalam keadaan yang tidak alamiah (misalnya primata di kebun
binatang).
B. Klasifikasi Amoebiasis
1. Amoebiasis intestinal
Klasifikasi amoebiasis menurut WHO (1968) dibagi dalam asimtomatik dan
simptomatik, sedang yang termasuk amoebiasis simptomatik yaitu amoebiasis intestinal yaitu
disentri, non-disentri colitis, amoebic appendicitaske orang lain oleh pengandung kista
Entamoeba histolytica yang mempunyai gejala klinik (simptomatik) maupun yang tidak
(asimptomatik).
Amoebiasis intestinal atau disebut juga sebagai amoebiasis primer terjadi pertama di
daerah caecum, appendix, kolon ascenden dan berkembang ke kolon lainnya. Bila sejumlah
parasit ini menyerang mukosa akan menimbulkan ulkus (borok), yang mempercepat
kerusakan mukosa. Lapisan muskularis usus biasanya lebih tahan. Biasanya lesi aka nterhenti
di daerah membran basal dari muskularis mukosa dan kemudian terjadi erosi lateral dan
berkembang menjadi nekrosis. Jaringan tersebut akan cepat sembuh bila parasit tersebut
dihancurkan (mati). Pada lesi awal biasanya tidak terjadi komplikasi dengan bakteri. Pada lesi
yang lama (kronis) akan diikuti infeksi sekunder oleh bakteri dan dapat merusak muskularis
mukosa, infiltrasi ke sub-mukosa dan bahkan berpenetrasi ke lapisan muskularis dan serosa.
Amoebiasis intestinal bergantung pada resistensi hospesnya sendiri, virulrnsi dari strain
amoeba, kondisi dari lumen usus atau dinding usus, yaitu keadaan flora usus, infek/tidaknya
dinding usus, kondisi makanan, apabila makanan banyak mengandung karbohidrat, maka
amoeba tersebut lebih patogen.
Ameboma adalah sebuah fokus nodular dari radang proliferatif atau menyerupai tumor
yang berisi jaringan granulasi yang berasal dari kolon kadang berkembang pada amoebiasis
yang kronis, biasanya pada dinding dari kolon dengan lokasi tersering terdapat dalam sekum,
tapi bisa pada semua tempat di kolon dan rektum. Pada pemeriksaan barium enema,
ameboma dapat berupa lesi polipoid, dapat dikelirukan dengan karsinoma kolon. Adanya
ulkus pada mukosa usus dapat diketahui dengan sigmoidoskopi pada 25% kasus. Ulkus
tersebar, terpisah satu sama lain oleh mukosa usus yang normal, ukurannya bervariasi dari 2-
3 mm sampai 2-3 cm.
Amoebiasis intestinal terdiri atas 2, yaitu:
a. Amoebiasis Kolon Akut
Gejala klinis yang biasa ditemukan adalah nyeri perut dan diare yang dapat berupa tinja
cair, tinja berlendir atau tinja berdarah. Frekuensi diare dapat mencapai 10 x perhari. Demam
dapat ditemukan pada sepertiga penderita. Pasien terkadang tidak nafsu makan sehingga berat
badannya dapat menurun. Pada stadium akut ditinja dapat ditemukan darah, dengan sedikit
leukosit serta stadium trofozoit E.histolytica.
Diare yang disebabkan E.histolytica secara klinis susah dibedakan dengan diare yang
disebabkan bakteri (Shigella, Salmonella, Escherichia coli, Campylobacter) yang sering
ditemukan di daerah tropik. Selain itu juga harsu dibedakan dengan non infectious diare
seperti ischemic colitis, inflammatory bowel disease, diverculitis, karena pada amoebiasis
intestinalis penderita biasanya tidak demam.
b. Amoebiasis Kolon Menahun
Amoebiasis kolon menahun mempunyai gejala yang tidak begitu jelas. Biasanya terdapat
gejala usus yang ringan, antara lain rasa tidak enak diperut, diare yang diselingi obstipasi
(sembelit). Gejala tersebut dapat diikuti oleh reaktivasi gejala akut secara periodik. Dasar
penyakit ialah radang usus besar dengan ulkus menggaung, disebut juga kolitis ulserosa
amebik.
Pada pemeriksaan tinja segar, stadium trofozoit E.histolytica sulit ditemukan, karena
sebagian besar parasit sudah masuk ke jaringan usus. Karena itu dilakukan uji serologi untuk
menemukan zat anti amoeba atau antigen E.histolytica. Sensitivitas uji serologi zat mencapai
75%, sedangkan deteksi antigen mencapai 90% untuk mendiagnosis amoebiasis menahun.
Pemeriksaan biopsi kolon hasilnya sangat bervariasi, dapat ditemukan penebalan mukosa
yang non-spesifik tanpa atau dengan ulkus, ulserasi fokal dengan atau tanpa E.histolytica,
ulkus klasik yang berebntuk seperti botol (flaskshaped appeareance), nekrosis dan perforasi
dinding usus.
Predileksi terutama di daerah apendiks atau sekum, jarang sekali ditemukan di sigmoid.
Komplikasi amoebiasis intestinal dapat berupa acute necrotizing colitis, toxic megacolon,
ameboma, amoebiasis kutis dan ulkus perianal yang dapat membentuk fistula. Penderita
dengan acute necrotizing colitis sangat jarang ditemukan tetapi angka kematin mencapai
50%. Penderita terlihat sakit berat, demam, diare dengan lendir dan darah, nyeri perut dengan
tanda iritasi peritoneum. Bila terjadi perforasi usus atau pemberian anti amoeba tidak
memperlihatkan hasil, lakukan tindakan bedah.
Toxic megacolon juga sangat jarang ditemukan, biasanya berhubungan dengan
penggunaan kortikosteroid. Penderita memerlukan tindakan bedah, karena biasanya
pemberian anti amoeba saja tidak memperlihatkan perbaikan. Ameboma berasal dari
pembentukan jaringan granulasi kolon yang berbentuk seperti cincin (annnuler), dapat
tunggal atau multipel. Biasanya ditemukan di sekum atau kolon asenden. Gambaran histologi
menunjukkan jaringan kolagen dan fibroblas dengan tanda peradangan menahun disertai
granulasi. Ameboma ini menyerupai karsinoma kolon. Amoebiasis kolon bila tidak
diobatiakan menjalar keluar dari usus dan menyebabkan amoebiasis ekstra-intestinal. Hal ini
dapat terjadi secara hematogen (melalui aliran darah), atau perkontinuitatum (secara
langsung). Cara hematogen terjadi bila amoeba telah masuk submukosa kemudian ke kapiler
darah, dibawah oleh aliran darah melalui vena porta ke hati dan menimbulkan abses hati.
2. Amoebiasis Ekstra-intestinal
Abses hati merupakan manifestasi ekstra-intestinal yang paling sering ditemukan.
Sebagian besar penderita memperlihatkan gejala dalam waktu yang relatif singkat (2-4
minggu). Penderita memperlihatkan gejala demam, batuk dan nyeri perut kuadran kanan atas.
Bila permukaan diafragma hati terinfeksi, maka pada penderita dapat ternjadi nyeri pleura
kanan atau nyeri yang menjalar sampai bahu kanan. Pada 10%-35% penderita dapat
ditemukan gangguan gastrointestinal berupa mual, muntah, kejang otot perut, perut kembung,
diare, dan konstipasi. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hepatomegali. Pada fase sub-
akut dapat ditemukan penurunan berat badan, demam dan nyeri abdomen yang difus. Abses
hati lebih banyak ditemukan pada orang dewasa dibandingkan anak anak. Kebanyakan
abses terbentuk di lobus kanan hati, biasanya soliter. Abses berisi nanah yang berwarnah
coklat.
Pada pemeriksaan tinja, E.histolytica hanya ditemukan pada sebagian kecil penderita
abses hati. Dapat ditemukan leukositosis dan peningkatan serum alkali fostafase pada
pemeriksaan darah. Komplikasi abses hati dapat berupa penjalaran secara langsung ke pleura
dan/atau perikardium, abses otak dan amoebiasis urogenitalis. Cara perkontinuinatum terjadi
bila abses hati tidak diobati sehingga abses pecah. Amoeba yang keluar dapat menembus
diafragma, masuk ke rongga pleura dan paru, menimbulkan abses paru. Abses hati dapat juga
pecah ke dalam rongga perut dan menyebabkan peritonitis atau pecah ke dalam dinding perut,
menembus dinding perut samapi ke kulit dan menimbulkan amoebiasis kulit dinding perut.
Amoebiasis rektum bila tidak diobati dapat menyebar ke kulit di sekitar anus menyebabkan
amoebiasis perianal, dapat juga menyebar ke perineum, menyebabkan amoebiasis perineal
atau ke vagina menyebabkan amoebiasis vagina. Di kulit dan vagina amoeba ini
menimbulkan ulkus.
C. Invasi Jaringan oleh Entamoeba histolytica
Ditemukan tiga stadium pada Entamoeba histolytica, yaitu amoeba aktif, kista tidak
aktif, dan prekista intermedia. Trofozoit ameboid adalah satu-satunya bentuk yang ada dalam
jaringan. Bentuk tersebut juga ditemukan dalam feses cair selama disentri amoeba.
Ukurannya 15 30 m. Sitoplasma granuler dan dapat mengandung sel-sel darah merah
(patognomonik) tetapi biasanya tidak mengandung kuman. Pewarnaan besi-hematoksilin atau
trikhrom Gomori menunjukkan selaput inti yang dibatasi oleh granula khromatin reguler,
halus, membentuk jala-jala yang nyata sekitar perifer, kariosom sentral, kecil, berwarna
gelap. Pergerakan trofozoit dalam bahan segar relatif cepat dan biasanya tidak searah.
Pseudopodia seperti jari-jari dan lebar, reaksinya tidak ada pada suhu rendah atau pada
amoeba prekista.
Entamoeba histolytica memiliki siklus hidup dengan dua tahap, yaitu tahap trofozoit dan
kista. Pada tahap trofozoit, amoeba tidak bisa bertahan hidup mandiri, sedangkan pada tahap
kista amoeba bersifat sangat menular dan kuat, hidup di Lingkungan yang ekstrim.
Entamoeba histolytica ditularkan melalui rute fecaloral. Periode inkubasi terjadi mulai dari
hitungan hari sampai tahun (durasi rata-rata 24 minggu). Mayoritas mereka terinfeksi 90%
adalah pembawa simtomatik, dan Entamoeba histolytica berada dalam saluran usus dalam
simbiosis dengan host. Infeksi dimulai dari tertelannya kista dalam makanan dan
minumanyang terkontaminasi tinja. Kista yang tertelan mengeluarkan trofozoit dalam usus
besar dan memasuki submukosa. Bentuk kista biasanya sferis, berukuran10-18 m. Kista
yang matang berisi 2 inti yang akan membelah menjadi 4 intiyang kecil. Selama proses
pematangan vakuola glikogen akan dikeluarkan dan benda kromatoid menjadi makin kabur
dan akhirnya menghilang. Kista sangat tahan terhadap bahan kimia tertentu. Kista bisa tetap
hidup dan infektif dalamkondisi lembab sedangkan dalam feses yang mengering dapat
bertahan sampai12 hari dan dalam air selama 30 hari.
Kista tahan terhadap kadar klorin biasanya digunakan untuk pemurnian air. Kista resisten
terhadap keadaan lingkungan seperti suhu rendah dan kadar klorin yang biasa digunakan pada
pemurniaan air, parasit dapat dibunuhdengan pemanasan 55C. Bila air minum atau makanan
terkontaminasi oleh kista Entamoeba histolytica, kista akan masuk melalui saluran
pencernaan menuju ileum dan terjadi excystasi, dinding kista robek dan keluar amoeba
multinucleus metacystic yang langsung membelah diri menjadi 8 uninucleat trofozoit muda
yang disebut amoebulae. Amoebulae bergerak ke usus besar, makan dan tumbuh dan
membelah diri asexual.
Multiplikasi (perbanyakan diri) dari spesies ini terjadi dua kali dalam masa hidupnya
yaitu membelah diri dengan binary fission dalam usus pada fase trofozoit dan pembelahan
nukleus yang diikuti dengan cytokinesis dalam kista pada fase metacystic. Pada fase trofozoit
Entamoeba histolytica mempunyai diameter rata-rata 20 m, sitoplasmanya terdiri atas zona
luar yang jernih dan endoplasma dalam yang granuler padat, mengandung inti
yang berbentuk sferis yang mempunyai kariosom sentral yang kecil dan bahankromatin
granuler yang halus. Endoplasma juga berisi vakuola, dimanaeritrosit dapat ditemukan pada
kasus amoebiasis invasif menyusup masuk kedalam mukosa usus besar diantara sel epitel
sambil mensekresi enzim proteolytik.
Didalam dinding usus trofozoit terbawa aliran darah menuju hati, paru, otak dan organ
lain. Hati adalah organ yang paling sering diserang selain usus. Di dalam hati trofozoit
memakan sel parenkim hati sehingga menyebabkan kerusakan hati. Trofozoit dalam intestinal
akan berubah bentuk menjadi precystic. Bentuknya akan mengecil dan berbentuk spheric
dengan ukuran 3,5-20 m. Bentuk kista yang matang mengandung chromatoidu ntuk
menyimpan unsur nutrisi glikogen yang digunakan sebagai sumber energi. Kista ini adalah
bentuk inaktif yang akan keluar melalui feses. Para trofozoit metacystic dari progeni mereka
mencapai sektum dan mereka yangdatang dalam kontak dengan mukosa oral menembus atau
menyerang epitel oleh pencernaan litik.
Liang trofozoit lebih dalam dengan kecenderungan untuk menyebar lateral atau
meneruskan kematian sel sampai mereka mencapai sub-mukosa borok membentuk-bentuk
flash. Ada beberapa titik penetrasi dari situs utama invasi, lesi sekunder mungkin dihasilkan
pada tingkat yang lebih rendah dariusus besar. Progeni dari koloni awal yang diperas keluar
ke bagian bawahusus dan dengan demikian, memiliki kesempatan untuk menyerang
danmenghasilkan bisul (borok) tambahan. Akhirnya, seluruh usus besar terlibat.
Trofozoit yang mencapai muskularis sering mukosa mengikis limfatik atau dinding
venula mesenterika di lantai borok, dan dibawa ke vena portalintrahepatik. Jika trombi terjadi
di cabang-cabang kecil dari vena portal, yang trofozoit dalam nekrosis menyebabkan trombi
litik di dinding kapal danmencerna jalur ke lobules. Peningkatan koloni dalam ukuran
dan berkembang menjadi abses. Suatu abses hati khas mengembangkan dan terdiri dari:
Central zona nekrosis, zona Median hanya stoma, Sebuah zona luar dari jaringan normal
yang baru saja diserang oleh amoeba.
Enkistasi, yaitu proses secara alami perubahan tropozoit menjadi bentuk kista
tidak terjadi di dalam jaringan. Tropozoit yang ada di dalam lumen kolon akan berkondensasi
menjadi benda berbentuk sferis, yakni prekista yang kemudian dindingnya relatif tipis dan
halus dilepaskan sehingga terjadilah kista muda. Pada stadium ini terdapat dua macam inklusi
pada kista muda dan kista matang, yaitu inklusi glikogen dengan tepi yang samar-samar dan
bahan yang refraktil, disebut kromatoid, yaitu benda yang dapat berbentuk batang
panjangatau dapat juga pendek, biasanya dengan ujung bundar.
Ekskistasi, yaitu proses ini tidak dapat terjadi secara in-vitro, kecuali bila dalam suasana
yang hampir mendekati keadaan dalam saluran cerna. Begitu kista masuk dalam mulut, akan
terus masuk ke dalam lambung lalu usus kecil. Dalam lingkungan asam, kista tidak akan
berubah tetapi bila lingkungan menjadi netral atau basa, amoeba akan menjadi aktif. Juga
karena pengaruh cairan lambung maka dinding kista menjadi lemah dan amoeba dengan
banyak intinya menjadi pusat metakista tropozoit.
Dalam lingkungan yang tidak cocok untuk ekskistasi yaitu keluar didalam usus kecil,
kista akan dibawa ke usus besar dan kemudian dikeluarkan bersama tinja tanpa mengalami
ekskistasi. Metakista tropozoit tidak akan berkembang biak dan menempel pada mukosa usus
atau tersangkut di dalam kelenjar yang terdapat di dalam kripta usus. Bila amoeba muda
mulai tumbuh, mereka akan menjadi tropozoit yang normal dan lengkaplah
siklus perkembangannya.
D. Diagnosis
Ditemukan Entamoeba histolytica dalam tinja disentrik, biopsi dinding abses.
Pemeriksaan serologis dapat menunjang diagnosis. Diagnosis terutama dilihat dari gejala
klinis dan reaksi tes imunologi. Pemeriksaan dengan sinar x dapat mendiagnosis adanya
abses dalam hati. Pemeriksaan sampel feses cukup baik dilakukan untuk mendiagnosis
infeksi dalam usus. Pemeriksaan beberapa kali terhadap feses pasien untuk menemukan
trofozoit cukup baik dilakukan. Diagnosis secara imunologik cukup baik hasilnya.
Penggunaan teknik fluoerscens antibodi cukup baik tetapi tidak dapat membedakan antara
E.histolytica dengan E.hartmanni.
Diagnosis yang akurat merupakan hal yang sangat penting, karena 90% penderita
asimtomatik E.histolytica dapat menjadi sumber infeksi bagi sekitarnya.
1. Pemeriksaan Mikroskopik
Pemeriksaan mikroskopik tidak dapat membedakan E.histolytica dengan E.dispar. Selain
itu pemeriksaan berdasarkan satu kali pemeriksaan tinja sangat tidak sensitif. Sehingga
pemeriksaan mikroskopik sebaiknya dilakukan paling sedikit 3 kali dalam waktu 1 minggu
baik untuk kasus akut maupun kronik. Adanya sel darah merah dalam sitoplasma
E.histolytica stadium trofozoit merupakan indikasi terjadinya invasif amoebiasis yang hanya
disebabkan oleh E.histolytica.
Selain itu, motilitas stadium trofozoit akan menghilang dalam waktu 20 30 menit.
Karena itu bila tidak segera diperiksa, sebaiknya tinja disimpan dalam pengawet polyvinil
alcohol (pva) atau pada suhu 4 C. Dalam hal yang terakhir, stadium trofozoit dapat terlihat
aktif sampai 4 jam. Selain itu pada sediaan basah dapat ditemukan sel darah merah. Hal yang
dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan mikroskopik adalah keterlambatan waktu
pemeriksaan, jumlah tinja yang tidak mencukupi, wadah tinja yang terkontaminasi urin dan
air, penggunaan antibiotik (tetrasiklin, sulfonamid), laksatif, antasid, preoarat antidiare
(kaolin, bismuth), frekuensi pemeriksaan dan tinja diberi pengawet.
2. Pemeriksaan Serologi untuk Mendeteksi Antibodi
Sebagian besar orang yang tinggal di bagian endemis E.histolytica akan terpapar parasit
berulang kali. Kelompok tersebut sebagian besar akan asimtomatik dan pemeriksaan antibodi
sulit membedakan antara current atau previous injections.
Pemeriksaan antibodi akan sangat membantu menegakkan diagnosis pada kelompok
yang tidak tinggal di daerah endemis. Sebanyak 75-80% penderita dengan gejala yang
disebabkan E.histolytica memperlihatkan hasil yang positif pada uji serologi antibodi
terhadap E.histolytica. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai macam uji serologi seperti
IHA, lateks aglutinasi, counterimmunoelectrophoresis, gel diffusion test, uji komplemen, dan
ELISA. Biasanya merupakan uji standar adalah IHA, sedangkan ELISA merupakan alternatif
karena lebih cepat, sederhana dan juga lebih sensitif. Antibodi IgG terhadap antigen lektin
dapat dideteksi dalam waktu 1 minggu setelah timbul gejala klinis baik pada penderita kolitis
maupun abses hati amoeba. Bila hasilnya meragukan, uji serologi tersebut dapat diulang.
Walaupun demikian, hasil pemeriksaan tidak dapat membedakan current infection dari
previous infection. IgM anti-lektin terutama dapat dideteksi pada minggu pertama sampai
minggu ketiga pada seorang penderita kolitis amoeba.
Titer antibodi tidak berhubungan dengan beratnya penyakit dan respons terhadap
pengobatan, sehingga walaupun pengobatan yang diberikan berhasil, titer antibodi tetap tidak
berubah. Antibodi yang terbentuk karena infeksi E.histolytica dapat bertahan sampai 6 bulan,
bahkan pernah dilaporkan sampai 4 tahun.
3. Deteksi Antigen
Antigen amoeba yaitu Gal/Gal-Nac lectin dapat diideteksi dalam tinja, serum, cairan
abses, dan air liur penderita. Hal ini dapat dilakukan terutama menggunakan teknik ELISA,
sedangkan dengan teknik CIEP ternyata sensitivitasnya lebih rendah. Deteksi antigen pada
tinja merupakan teknik yang praktis, sensitif dan spesifik dalam mendiagnosis amoebiasis
intestinalis. Walaupun demikian, tinja yang tidak segar atau yang diberi pengawet akan
menyebabkan denaturasi antigen, sehingga hasil yang false negatif. Oleh karena itu, syarat
melakukan ELISA pada tinja seseorang yang diduga menderita amoebiasis intestinal adalah
tinja segar atau disimpan dalam lemari pendingin. E.histolytica tes II dapat dibedakan infeksi
yang disebabkan oleh E.histolytica atau E.dispar.
Pada penderita abses hati amoeba, deteksi antigen dapat dilakukan pada pus abses atau
serumnya.
4. Polymerase Chain Reaction (PCR)
Metode PCR mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang sebanding dengan deteksi
antigen pada tinja penderita amoebiasis intestinal. Kekurangannya adalah waktu yang
diperlukan lebih lama, tekniknya lebih sulit dan juga mahal. Untuk penelitian polimorfisme
E.histolytica, teknik PCR merupakan metode unggulan. Walaupun demikian, hasilnya sangat
dipengaruhi oleh berbagai kontaminasi pada tinja. Selain itu kemungkinan terjadi false
negatif karena berbagai inhibitor pada tinja. Hal ini dapat dilakukan pada pus penderita
dengan abses hati amoeba. Ekstraksi DNA dapat dilakukan pada tinja yang sudah diberi
pengawet formalin. Dengan cara ini dapat dibedakan infeksi E.histolytica dengan E.dispar.
Sampai saat ini diagnosis amoebiasis yang invasif biasanya ditetapkan dengan kombinasi
pemeriksaan mikroskopik tinja dan uji serologi. Bila ada indikasi, dapat dilakukan
kolonoskopik dan biopsi pada lesi intestinal atau pada cairan abses. Parasit biasanya
ditemukan pada dasar dinding abses. Berbagai penelitian memperlihatkan rendahnya
sensitivitas pemeriksaan mikroskopik dalam mendiagnosis amoebiasis intestinal atau abses
hati amoeba. Metode deteksi anti gen atau PCR pada tinja merupakan pilihan yang lebih tepat
untuk menegakkan diagnosis. Walaupun demikian, syarat untuk melakukan uji ini perlu
diperhatikan. Selain itu pemeriksaan mikroskopik tetap dilakukan untuk menyingkirkan
infeksi campuran dengan mikroorganisme lain baik parasit maupun non-parasit.
E. Pengobatan
Pengobatan yang diberikan pada penderita amoebiasis yang invasif yang berbeda dengan
non-invasif. Pada penderita amoebiasis non-invasif dapat diberikan paromisin. Pada penderita
amoebiasis invasif terutama diberikan paromomisin. Pada penderita amoebiasis invasif
terutama diberikan golongan nitroimidazol yaitu metronidazol. Obat lain yang dapat
diberikan adalah tinidazol, seknidazol, dan ornidazol.
Lebih kurang 90% penderita dengan amoebiasis koli ringan sedang, penyakitnya sembuh
dengan pemberian metronidazol. Pada penderita dengan fulminant colitis, dapat ditambahkan
pemberian nitroimidazol, biasanya sebanyak 40%-60% penderita masih mengandung parasit,
karena itu sebaiknya diikuti dengan pemberian paromomisin atau diloksanid furoat untuk
mengeliminasi infeksi dalam lumen usus . pemberian metronidazol sebaiknya tidak
bersamaan dengan paromomisin, sebab yang terakhir dapat menyebabkan diare sebagai efek
sanping obat,. Pada penderita abses hati amoeba dapat dilakukan drainase abses selain
pemberian obat anti amoeba. Hal ini dapat dilakukan pada penderita abses hati yang setelah
pengobatan 5-7 hari tidak memperlihatkan perbaikan klinis. Pada penderita dengan risiko
tinggi rupture abses misalnya dengan lesi berdiameter 5 cm atau di lobus kiri pemberian
antibiotik pada penderita abses hati dapat dilakukan bila tidak terjadi penyembuhan setelah
pengobatan dengan anti amoeba.
Obat amebisid dapat dikelompokkan menjadi 2 katagori yaitu :
1. Obat Yang Bekerja Pada Lumen Usus
Obat yang bekerja pada lumen usus merupakan obat yang tidak diabsorpsi dengan baik
dalam usus, sehingga dapat membunuh stadium trofozoit dan kista yang berada dalam lumen
usus.
a. Paromomisin (Humatin)
Paromomisin (humatin) merupakan antibiotik golongan aminoglikosida yang tidak
diabsorpsi dalam lumen usus. Obat tersebut hanya membunuh stadium yang berada dalam
lumen usus. Digunakan untuk mengeliminasi kista setelah pengobatan dengan metronidazol
atau tinidazol. Pemberiannya harus hati-hati pada penderita dengan kelainan ginjal. Dosisnya
adalah 25-35 mg/kgbb/hari, terbagi dalam 8 jam selama 7 hari. Tidak dianjurkan penggunaan
dalam jangka panjang karena toksik.
b. Diloksanid Furoat (Furamid, Entamizol)
Diloksanid Furoat (Furamid, Entamizol) merupakan obat pilihan untuk E.histolytica
yang berada dalam lumen. Efek samping yang sering ditemukan adalah kembung. Mual,
muntah dan diare kadang-kadang dilaporkan. Dosisnya 3 kali 500 mg perhari selama 10 hari.
c. Iodoquinol (Iodoksin)
Iodoquinol (Iodoksin) termasuk golongan hdroksikuinolin. Tidak boleh diberikan pada
penderita dengan gangguan fungsi ginal. Dosisnya 3 kali 650 mg perhari selama 20 hari
merupakan amebisid luminal yang bekerja dilumen. Dapat digunakan untuk stadium kista
setelah pemberian nitroimidazol.
2. Obat Yang Bekerja Pada Jaringan
a. Emetin Hidroklorida
Obat ini berkhasiat terhadap stadium trofozoit E.histolytica. pemberian emetin ini efektif
bila diberikan secara parenteral, karena pada pemberian oral absorpsinya tidak sempurna.
Dapat diberiakan melalui suntikan intramuscular atau subkutis setiap hari selama 10 hari.
Pemberian secara intervena toksisitasnya relative tinggi, terutama terhadap otot jantung.
Dosis maksimum untuk orang dewasa adalah 65 mg sehari, sedangkan untuk anak di bawah 8
tahun 10 mg sehari. Lama pengobatan 4 sampai 6 hari. Pada orang tua dan orang yang sakit
berat, dosis harus dikurangi. Pemberian emetin tidak dianjurakn pada ibu hamil, penderita
dengan gangguan jantung dan ginjal.
Dehidroemetin relative kurang toksik dibandingkan dengan emetin dan dapat diberikan
secara oral. Dosisnya maksimum adalah 0,1 gram sehari, diberikan selama 4 sampai 6 hari.
Emetin dan dehidroemetin efektif untuk pengobatan abses hati (amoebiasis hati).
b. Metronidazol (Golongan Nitromidazol)
Metronidazol merupakan obat pilihan untuk amoebiasis koli atau abses hati amoeba,
karena efektif terhadap stadium trofozoit dalam dinding usus dan jaringan. Obat ini tidak
dapat membunuh stadium kista. Efek sampingnya antara lain mual, muntah dan pusing. Pada
infeksi E.histolytica di lumen usus, hanya 50% parasit mati dengan obat metronidazol atau
tinidazol dengan diloksanid furoat ditambah paromomisin atau tetrasiklin. Smapai saat ini
belum dilaporkan resistensi E.histolytica terhadap metronidazol. Tinidazol atau ornidazol
dengan dosis yang berbeda. Dosis metronidazol untuk orang dewasa adalah 3x750 mg/hari 7-
10 hari. Pada ibu hamil hindari pemakaiannya pada trimester 1.
c. Klorokuin
Klorokuin merupakan amebisid jaringan yang efektif terhadap amoebiasis hati. Efek
samping dan toksisitasnya ringan, antara lain mual, muntah, diare, sakit kepala. Dosisnya
untuk orang dewasa adalah 1 gram sehari selama 2 hari, kemudian 500 grama selama 2
sampai 3 minggu.
F. Epidemiologi
Amoebiasis terdapat diseluruh dunia. Prevalensi tertinggi, terutama di daerah tropic dan
subtropik, khususnya dinegara yang keadaan sanitasi lingkungan dan keadaan sosio
ekonominya buruk. Di beberapa Negara tropis, prevalensi anti-bodi terhadap E.histolytica
mencapai 50%. Di Indonesia, amoebiasis kolon banyak ditemukan dalam keadaan
endemic.prevalensi E.histolytica di berbagai daerah di Indonesia sekitar 10%-18%. Di RRC,
mesir, india dan belanda brkisar 10,1%-11,5% di eropa utara 5-20% di eropa selatan 20%-
51% dan ameriaka serikat 4%-21%.di negara industry amoebiasis terutama pada kelompok
homoseksusal, imigran, turis yang berpergian ke daerah endemis, orang yang tinggal di
asrama dan penderita positif HIV.
Penelitian epidemiologi memperlihatkan bahwa rendahnya status social ekonimi dan
kurangnya sanitasi merupakan factor yang mempengaruhi terjadinya infeksi. Pada kelompok
ini, infeksi terjadi pada umur yang lebih muda. di Meksiko prevalensi ditemukan 11% pada
kelompok umur 5-9 tahun sedangkan di Bangladesh 30% pada kelompok 2-5 tahun.
Frekuensi infeksi E.histolytica diukur dengan jumlah pengandung kista. Perbandingan
berbagai macam amoebiasis di Indonesia adalah sebagai berikut: amoebiasis paru, kulit dan
vagina jarang dan amoebiasis otak lebih jarang lagi dijumpai.
Amoebiasis ditularkan oleh pengandung kista. Pengandung kista biasanya sehat tetapi ia
memegan peranan penting untuk penyebaran penyakit, karena tinjanya merupakan sumber
infeksi. Jadi amoebiasis tidak ditularkan oleh penderita amoebiasis akut.
Stadium kista matang adalah bentuk infektif. Seorang pengandung kista yang
menyajikan makanan (food handler) misalnya koki hotel atau pelayanan restoran, bla
hygiene perorangan kurang baik, dapat merupakan simber infeksi. Bila ia tidak mencuci
tangan ndung setelah buang air besar , maka tangannya akan terkontaminasi dengan tinjanya
sendiri yang mengandung kista, dapat memindahkan kista tersebut ke makanan atau iar
minum.

You might also like