You are on page 1of 54

REFERAT PSIKIATRI

GANGGUAN DISOSIATIF

Oleh :
Farah Nadia 105070103121001
Nadiya Elfira Bilqis 125070100111035
Deny Rahmawati Wahyuningrum 125070100111108
Bunga Bella Pratiwi 125070107111041
Nur Balqis binti Mohammad Azwar I 125070108121007
M Angelina De Rosari 135070107121006

Pembimbing :
dr. Happy Indah Hapsari, Sp.KJ (K)

SMF ILMU PSIKIATRI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RSUD dr. SAIFUL ANWAR MALANG
2017

1
REFERAT PSIKIATRI
GANGGUAN DISOSIATIF

Oleh :
Selina Hans Sunanto 125070100111017
Naya Adi Dharmesta 125070100111050
Dewa Ayu Ina Dianata 125070107111020
Alif Fariz Jazmi 125070107111051
Nefita Tiara Riska 135070107111026
Pediatricia Dira Sari 135070107121023

Pembimbing :
dr. Dearisa Surya Yudhantara, Sp.KJ

SMF ILMU PSIKIATRI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RSUD dr. SAIFUL ANWAR MALANG
2017

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
1.4 Manfaat
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
2.2 Epidemiologi
2.3 Etiologi
2.4 Patofisiologi
2.5 Diagnosis (Anamnesa)
2.6 Pedoman Diagnosis dan Klasifikasi
2.7 Diagnosis Banding
2.8 Tatalaksana
2.9 Komplikasi
BAB III PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA

3
DAFTAR TABEL

4
DAFTAR GAMBAR

5
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Jati diri seseorang dan kemampuannya dalam menilai realita
bergantung kepada perasaan, pikiran, sensasi, persepsi dan ingatan yang
dimiliki orang tersebut. Jika suatu saat komponen-tersebut terganggu,
pandangan orang tersebut terhadap dirinya sendiri atau lingkungannya
akan berubah. Hal tersebut terjadi saat seseorang mengalami disosiasi.
Disosiasi terkadang dapat terjadi pada keadaan normal. Contohnya
ketika seseorang melakukan meditasi untuk menenangkan diri, orang
tersebut melepaskan persepsi terhadap dunia sekelilingnya agar dapat
fokus. Disosiasi juga merupakan suatu mekanisme perlindungan diri,
contohnya untuk melindungi kondisi kejiwaannya, seseorang memilih untuk
melepaskan ingatan yang traumatik. Namun, disosiasi juga dapat terjadi
secara tidak sadar, dengan cara yang tidak diinginkan sehingga
menyebakan penurunan fungsi yang dapat mengganggu kualitas hidup
seseorang.Bentuk-bentuk dari disosiasi bisa berupa amnesia,
depersonalisasi, derealisasi, kebingungan identitas dan pergantian
identitas. Episode minimal dari disosiasi umumnya dialami oleh individu
normal. Gangguan disosiatif terjadi saat seseorang mengalami episode
disosiasi yang berulang atau berkepanjangan sehingga mengganggu
kehidupan sehari-harinya (Mind,2013).
Diperkirakan dari total populasi di Negara Amerika, terdapat 2%
yang mengalami gangguan disosiatif. Hampir setengah orang dewasa
mengalami setidaknya satu episode depersonalisasi atau derealisasi pada
hidup mereka dengan 2% mengalami episode kronik (NAMI,2015).
Sementara di Indonesia, belum terdapat data yang menunjukkan
presentasi populasi yang mengalami gangguan disosiatif. Oleh karena itu,
belum ada gambaran tentang beratnya gangguan disosiatif di Indonesia.
Namun, seiring dengan berkembangnya jaman, stresor psikososial
disekitar semakin tinggi, sehingga resiko untuk mengalami gangguan

6
disosiatif semakin tinggi. Oleh karena itu, dibutuhkan pemahaman yang
mendalam tentang gangguan disosiatif.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa definisi dari gangguan disosiatif?
2. Bagaimana epidemiologi dari gangguan disosiatif?
3. Apa etiologi dari gangguan disosiatif?
4. Bagaimana patofisiologi dari gangguan disosiatif?
5. Bagaimana cara mendiagnosis gangguan disosiatif?
6. Bagaimana pedoman diagnosis dan klasifikasi dari gangguan
disosiasi?
7. Apa saja differential diagnosis dari gangguan disosiatif?
8. Bagaimana tatalaksana gangguan disosiatif?
9. Apa saja komplikasi dari gangguan disosiatif?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui definisi dari gangguan disosiatif.
2. Mengetahui epidemiologi dari gangguan disosiatif.
3. Mengetahui etiologi dari gangguan disosiatif.
4. Mengetahui patofisiologi dari gangguan disosiatif.
5. Mengetahui cara mendiagnosis gangguan disosiatif.
6. Mengetahui pedoman diagnosis dan klasifikasi dari gangguan
disosiatif.
7. Mengetahui differential diagnosis dari gangguan disosiatif.
8. Mengetahui tatalaksana gangguan disosiatif.
9. Mengetahui komplikasi dari gangguan disosiatif.

1.4 Manfaat
Sebagai bahan pembelajaran bagi dokter muda agar lebih memahami
lebih dalam tentang gangguan disosiatif.

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Gangguan disosiatif adalah gangguan dengan terganggunya fungsi
integrasi kesadaran, ingatan, identitas atau persepsi terhadap lingkungan
sekitar sebagai karakteristiknya. Gangguan tersebut dapat terjadi secara
mendadak atau gradual, sementara (transien) atau kronik (Kaplan &
Sadocks, 2014). Gangguan disosiatif biasanya muncul sebagai respon
terhadap kejadian traumatik, untuk menjaga memori tersebut tetap
terkontrol. Tekanan dari lingkungan dapat memperburuk gangguan
menyebabkan terganggunya kemampuan melakukan kegiatan sehari-hari
(NAMI, 2015).
Menurut Diagnostik dan Statistik Manual of Mental Disorders, edisi
revisi teks keempat (DSM-IV-TR), fitur penting dari gangguan disosiatif
adalah gangguan fungsi terintegrasi dalam kesadaran, memori, identitas,
atau persepsi lingkungan. Gangguan dapat tiba-tiba atau bertahap,
sementara atau kronis. Gangguan disosiatif terdiri dari gangguan identitas
disosiatif, gangguan depersonalisasi, amnesia disosiatif, fugue disosiatif,
dan gangguan disosiatif yang tidak ditentukan.

2.2 Epidemiologi
Instrumen penilaian psikiatri umum tidak mencakup gangguan disosiatif
DSM-IV. Banyak penelitian epidemiologi skala besar menyebabkan hasil
yang bias karena defisit ini dalam metodologi mereka. Namun demikian,
penelitian skrining yang menggunakan alat diagnostik yang dirancang untuk
menilai kelainan disosiatif menghasilkan tingkat prevalensi seumur hidup
sekitar 10% pada populasi klinis dan di masyarakat. Populasi khusus seperti
pelamar darurat psikiatri, pecandu narkoba, dan wanita dalam pelacuran
menunjukkan tingkat tertinggi. Data yang berasal dari studi epidemiologi juga
mendukung temuan klinis tentang hubungan antara pengalaman buruk masa
kanak-kanak dan gangguan disosiatif. Dengan demikian, gangguan disosiatif

8
merupakan masalah kesehatan masyarakat yang tersembunyi dan
terbengkalai. Pengenalan gangguan disosiatif yang lebih baik dan awal akan
meningkatkan kesadaran tentang trauma masa kanak-kanak di masyarakat
dan mendukung pencegahannya bersamaan dengan konsekuensi klinis
mereka.

2.2.1 Amnesia Disosiatif


Amnesia disosiatif dianggap lebih sering terjadi pada
perempuan dibandingkan laki laki dan lebih sering pada dewasa
muda dibandingkan dewasa yang lebih tua tetapi gangguan ini dapat
terjadi pada semua usia. Insidennya mungkin meningkat selama
waktu perang dan bencana alam. Kasus amnesia disosiatif yang
terkait lingkungan rumah tangga mungkin jumlahnya konstan.
Sebagian besar kasus ditemukan di ruang gawat darurat rumah sakit,
tempat pasien amnesia dibawa setelah ditemukan dijalan.

2.2.2 Fugue Disosiatif


Fugue disosiatif jarang ditemukan, dan seperti amnesia
disosiatif, paling sering terjadi selama perang, setelah bencana alam,
dan akibat krisis pribadi degan konflik internal yang hebat. Menurut
DSM IV TR , terdapat angka prevalensi 0,2% di dalam populasi
umum.

2.2.3 Gangguan Identitas Disosiatif


Perkiraan prevalensi gangguan ini bervariasi menurut laporan
riset maupun laporan tidak resmi mengenai gangguan identitats
disosiatif. Pada suatu titik, sejumlah peneliti yakin bahwa gangguan
identitas disosiatif sangat jarang; pada titik lain, beberapa peneliti
yakin bahwa gangguan identitas disosiatiif sangat banyak yang
tidak dikenali. Studi yang terkontrol baik melaporkan bahwa antaara
0,5 hingga 3% pasien yang datang ke rumah sakit psikiatrik umum
memenuhi kriteria diagnostik gangguan identitas disosiatif. Pasien

9
yang didiagnosis gangguan identitas disosiatif sebagian besar
adalah perempuan rasio perempuan dibanding laki laki 5 : 1
hingga 9 : 1. Meskipun demikian, banyak klinisi dan peneliti yakin
bahwa laki laki kurang dilaporkan dalam sampel klinis karena
mereka yakin bahwa sebagian bersar laki laki dengan gangguan
ini memasuki sistem peradilan kriminal dibandingkan dengan sistem
kesehatan jiwa. Gangguan ini paling lazim ditemukan pada masa
remaja akhir dan dewasa muda, dengan usia diagnosis rerata
adalah 30 tahun, walaupun pasien biasanya mengalam gejala
selama 5 hingga 10 tahun sebelum diagnosis. Beberapa studi
menemukan bahwa gangguan ini lebih lazim ditemukan pada
kerabat biologis derajat pertama pada orang dengan gangguan ini
dibandingkan dengan populasi umum.

2.2.4 Gangguan depersonalisasi


Sejumlah studi menunjukkan bahwa depersonalisasi singkat
dapat terjadi pada sebanyak 70% populasi tertentu tanpa
perbedaan signifikan antara laki laki dan perempuan. Pada
sejumlah kecil studi terkini, depersonalisasi ditemukan terdapat
pada perempuan sedikitnya 2x lebih sering dibandingkan laki laki ;
gangguan ini jarang ditemukan pada orang berusia diatas 40 tahun
Awitan usia rerata kira kira 16 tahun.

2.3 Etiologi
Etiologi dari gangguan disosiatif belum dapat diketahui penyebab
pastinya. Biasanya terjadi akibat trauma masa lalu yang berat, namun tidak
ada gangguan organik yang dialami. Gangguan ini terjadi pertama pada saat
anak-anak namun tidak khas dan belum bisa teridentifikasikan, dalam
perjalanan penyakitnya gangguan disosiatif ini bisa terjadi sewaktu-waktu dan
trauma masa lalu pernah terjadi kembali, dan berulang-ulang sehingga
terjadinya gejala gangguan disosiatif. Dalam beberapa referensi
menyebutkan bahwa trauma yang terjadi berupa kepribadian yang labil,

10
pelecehan seksual, pelecehan fisik, kekerasan rumah tangga, lingkungan
sosial yang sering memperlihatkan kekerasan.
Berikut adalah etiologi dari gangguan disosiatif berdasarkan jenisnya
2.3.1 Amnesia Disosiatif
Berikut ini adalah beberapa faktor yang dapat
mengakibatkan amnesia disosiatif.

2.3.2 Fugue Disosiatif


Keadaan traumatis, yang mengarah ke keadaan
kesadaran yang berubah didominasi oleh keinginan untuk
melarikan diri, diperkirakan menjadi penyebab yang
mendasari episode fugue. Hal ini termasuk memerangi,
perkosaan, pelecehan anak berulang seksual, dislokasi sosial
yang besar, dan bencana alam. Dalam kasus lainnya, telah
ada sejarah yg sama, meskipun trauma psikologis tidak hadir
pada awal episode fugue. Dalam kasus ini, bukan, atau di
samping, bahaya eksternal atau trauma, pasien biasanya
berjuang dengan emosi ekstrim atau impuls, seperti takut luar
biasa, rasa bersalah, atau malu atau intens incest, seksual,
bunuh diri, atau kekerasan mendesak, atau kombinasi ini,

11
yang bertentangan dengan hati nurani pasien atau cita-cita
ego. Dengan demikian, pasien juga digambarkan sebagai
mengalami konflik psikologis besar dari yang melawan atau
penerbangan dialami sebagai tidak mungkin atau psikologis
tidak dapat diterima, sehingga disosiasi di mana pasien bisa
melarikan diri tanpa sadar mengakui melakukannya. Sebuah
contoh kasus berikut.
2.3.3 Gangguan Identitas Disosiatif
Teori etiologi gangguan disosiatif telah banyak dibahas
dalam bagian pengantar pada fenomena disosiatif dan tidak
akan diulangi di sini (lihat bagian tentang trauma trauma dan
pengkhianatan, autohypnosis, menyatakan perilaku diskrit,
dan pengembangan).Gangguan identitas disosiatif adalah
sangat terkait dengan ekstrim, kronis, dan penganiayaan anak
usia dini, dalam semua studi-di Barat dan budaya non-Barat-
yang sistematis mengkaji pertanyaan ini. Tingkat melaporkan
trauma masa kecil yang berat untuk anak dan identitas
gangguan disosiatif rentang dewasa pasien 85-97 persen
kasus di berbagai studi. Kekerasan fisik dan seksual,
biasanya dalam kombinasi, adalah sumber yang paling sering
dilaporkan dari trauma masa kecil dalam studi penelitian
klinis, meskipun jenis lain trauma telah dilaporkan, seperti
beberapa prosedur medis dan bedah yang menyakitkan masa
kanak-kanak dan trauma perang. Kritikus telah mengangkat
pertanyaan tentang validitas pasien gangguan disosiatif
identitas 'laporan diri dari trauma masa kecil. Penelitian
terbaru, termasuk sampel besar anak-anak dengan gangguan
disosiatif dianiaya dan studi kasus secara intensif divalidasi,
telah memberikan pembuktian independen ketat laporan
pasien penganiayaan. Studi-studi ini terus sangat mendukung
perkembangan hubungan antara trauma masa kecil dan
gangguan identitas disosiatif. Di sisi lain, hampir tidak ada

12
data empiris dalam penelitian klinis atau populasi ada untuk
mendukung sociocognitive atau teori iatrogenesis dari
etiologi gangguan identitas disosiatif.
2.3.4 Gangguan Depersonalisasi
Formulasi psikodinamik tradisional telah menekankan
disintegrasi ego atau depersonalisasi dilihat sebagai respon
afektif dalam pertahanan ego. Penjelasan ini menekankan
peran pengalaman yang menyakitkan atau impuls yang luar
biasa sebagai peristiwa memicu konflik. Tingkat yang tinggi
pada remaja normal dan pada pasien dikonseptualisasikan
sebagai organisasi memiliki kepribadian borderline atau
narsistik dikutip sebagai bukti bahwa ego atau ego
ketidakdewasaan defisit merupakan faktor predisposisi. Baru-
baru ini, perhatian telah ditarik ke kesamaan antara
depersonalisasi dan gejala obsesif-kompulsif.
Depersonalisasi pasien gangguan obsesif-sering
menampilkan perilaku seperti sehubungan dengan gejala
mereka. Perpecahan antara mengamati dan berpartisipasi diri
disamakan dengan pembagian intelek dan pengalaman
emosional pada pasien obsesif. Kedua kelompok menanggapi
serotonin reuptake inhibitor, meskipun respon terapi untuk
pasien gangguan depersonalisasi biasanya kurang kuat.
Sebagian besar, biasanya satu sepertiga sampai
setengah, pasien dalam depersonalisasi sejarah klinis
serangkaian laporan kasus trauma yang signifikan. Beberapa
studi menemukan bahwa korban kecelakaan sebanyak 60
persen dari mereka dengan laporan pengalaman hidup-
mengancam pada depersonalisasi setidaknya sementara
selama acara atau segera sesudahnya. Studi pelatihan militer
menemukan bahwa gejala depersonalisasi dan derealisasi
biasanya ditimbulkan oleh stres dan kelelahan dan
berbanding terbalik dengan kinerja. Salah satu dari beberapa

13
terkontrol, studi klinis menemukan trauma masa kecil secara
signifikan lebih, penyalahgunaan terutama emosional,
depersonalisasi pada pasien didiagnosis gangguan baik
dibandingkan dengan subyek normal. Untuk mendukung
kekuatan pelecehan emosional sebagai stressor traumatis,
Martin H. Teicher et al. baru-baru ini menunjukkan bahwa
pelecehan verbal orangtua adalah "suatu bentuk kuat
penganiayaan" dalam sampel komunitas 554 orang dewasa
muda. Pengalaman pelecehan verbal menghasilkan moderat
ke peningkatan besar dalam ukuran disosiasi, kecemasan,
depresi, kemarahan-permusuhan, gejala somatoform, dan
gejala "iritabilitas limbik" seperti gangguan somatik
paroksismal, kejadian halusinasi singkat, Otomatisasi, dan
pengalaman disosiatif. Dalam sekitar 20 persen dari sampel
pasien depersonalisasi kronis, ada seorang kerabat tingkat
pertama dengan penyakit psikotik yang parah, baik
skizofrenia atau gangguan bipolar. Itu adalah hipotesis bahwa
ketakutan kronis yang disebabkan oleh relatif psikotik adalah
etiologi dalam pengembangan berikutnya dari gangguan
depersonalisasi. Sebagai contoh, satu pasien melaporkan
bahwa, selama masa kecilnya, dia ditinggal oleh ayahnya dan
kakak untuk menangani kekerasan, ibunya setiap kali ibu
penderita skizofrenia mengalami episode psikotik. Pasien
teringat menunggu dalam keadaan teror dan ketakutan
sampai pekerja darurat datang dan dirawat di rumah sakit
ibunya. Secara umum, trauma dilaporkan oleh pasien
depersonalisasi kurang parah daripada yang biasanya
dilaporkan oleh pasien gangguan disosiatif lainnya. Sebuah
studi populasi yang besar umum menemukan bahwa orang
dengan nyeri kronis tiga kali lebih mungkin untuk memiliki
episode depersonalisasi, tapi hanya ada hubungan yang
signifikan dengan pengalaman lemah berbahaya atau

14
mengganggu. Sejumlah besar individu dengan gangguan
depersonalisasi tidak mengidentifikasi anteseden traumatis
dan melaporkan bahwa timbulnya gangguan mereka terjadi
tanpa tergesa-gesa yang jelas. Di sisi lain, stres nontraumatic,
seperti kerugian interpersonal, keuangan, atau pekerjaan
yang parah, telah dihubungkan dengan onset atau
eksaserbasi gangguan depersonalisasi. Selain itu, kimia
stres, seperti ganja dan halusinogen yang paling umum, telah
dikenal untuk mengendapkan depersonalisasi kronis pada
beberapa orang.Individu-individu ini dapat
dikonseptualisasikan sebagai memiliki kerentanan genetik
untuk neurobiologis atau depersonalisasi kronis setelah
penggunaan narkoba.
Dalam dekade terakhir, perhatian meningkat telah tertarik
pada aspek kognitif dan perilaku depersonalisasi kronis, pada
dasarnya memposisikan bahwa respon, awal disosiatif relatif
jinak, dan mungkin transien diperkuat, dipertahankan, dan
diperburuk oleh lingkaran setan kognisi dan perilaku
disfungsional. E.C.M. Hunter dan rekan di Inggris telah
menempatkan sebagainya seperti model kognitif-perilaku,
mengusulkan bahwa pemicu awal (trauma, kecemasan,
depresi, stres, kelelahan, intoksikasi) dapat menginduksi
gejala-gejala transien dari depersonalisasi, yang kemudian
diproses oleh kognitif individu baik sebagai situasional atau
bencana. Jika atribusi yang situasional, dan karena itu lebih
jinak, gejala depersonalisasi akan cenderung memudar
sebagai faktor situasional meringankan. Namun, jika atribusi
adalah bencana, mereka membangkitkan ketakutan luar biasa
seperti pergi gila, kehilangan kendali, menjadi tidak terlihat,
atau memiliki disfungsi otak permanen. Pada gilirannya,
ketakutan tersebut dapat menyebabkan peningkatan
kecemasan ditambah dengan penurunan paradoks dalam

15
gairah, mengakibatkan peningkatan intensitas gejala
depersonalisasi sebagai individu memasuki fase
pemeliharaan. Selama fase ini, individu dapat mulai untuk
menghindari situasi yang mereka persekutukan dengan
provokasi gejala, menjadi sibuk dengan perilaku keselamatan
(seperti akting normal), dan mengembangkan bias kognitif
sehingga mereka overmonitor gejala mereka dan memiliki
ambang batas untuk mengurangi persepsi ancaman. Faktor-
faktor pemeliharaan sehingga berfungsi untuk mengabadikan
atau memperburuk gejala-gejala dari waktu ke waktu.

Gambar 2.1. Faktor yang mempengaruhi terjadinya gangguan


depersonalisasi (Diambil dari Lowenstein RJ, 2011)

2.4. Patofisiologi
Penyebab dari gangguan cemas masih belum jelas diketahui , terdapat
beberapa teori yang sering digunakan dalam menentukan diagnosis dan
memberi terapi pada pasien :
1. Teori Psikodinamik

16
Menurut teori ini, cemas merupakan suatu signal bahwa terdapat
gangguan atau kelainan pada keseimbangan psikologika interna.
Hal ini disebut sebagai signal cemas. Signal ini meningkatkan
ego untuk melakukan aksi pertahanan dimana biasanya
pertahanan ini disebut mekanisme represi pada keadaan normal.
Pada cemas, mekanisme represi gagal dan mekanisme
pertahanan keduapun tidak dapat berfungsi sehingga tidak ada
lagi yang dapat melawan atau menghentikan signal cemas
tersebut. Dalam perkembangannya, cemas primitive akan
memunculkan gejala somatic saat signal cemas tersebut terus
berkembang menjadi mentally advanced anxiety. Cemas panik,
menurut teori ini sangat erat kaitannya dengan cemas dimasa
anak anak.
2. Teori Perilaku
Menurut teori ini, kecemasan dipandang sebagai suatu respon
inheren (berhubungan erat) pada suatu organisme (individu)
terhadap rangsangan yang menyakitkan atau berbahaya. Dalam
keadaan cemas dan fobia, hal ini menjadi respon yang dapat
menetralkan keadaan tersebut
3. Teori Perilaku Kognitif
Menurut teori perilaku kognitif, dalam keadaan cemas terdapat
kelainan proses pemilihan informasi (dengan perhatian lebih
diberikan pada ancaman yang terkait informasi tersebut), distorsi
kognitif, dimana pikiran dan persepsi negatif akan mengkontrol
kedua rangsang baik internal maupun eksternal
4. Teori Biologikal
Bukti genetik: Sekitar 15-20% keturunan pertama keluarga
pasien dengan gangguan kecemasan menunjukkan gangguan
kecemasan. Tingkat konkordansi pada pasien kembar
monozigot pasien dengan gangguan cemas setinggi 80% (4
kali lebih banyak jika dibanding kembar dizigotik).

17
Kecemasan yang disebabkan secara kimia: Infus bahan kimia
(seperti natrium laktat, isoproterenol dan kafein), konsumsi
yohimbine dan inhalasi CO2 5% Dapat menghasilkan
episode cemas pada individu yang memiliki kecenderungan
terjadi cemas. Administrasi peroral dari MAOI sebelum
diberikan infus laktat untuk melindungi seorang individu dari
serangan panik, sehingga dapat dijadikan suatu petunjuk
model biologis mekanisme cemas.
GABA-benzodiazepin reseptor: Ini adalah salah satu
kemajuan terbaru dalam pencarian etiologi dari gangguan
cemas. Benzodiazepin Reseptor didistribusikan secara luas di
pusat sistem saraf. Saat ini, dua jenis reseptor
benzodiazepine telah diidentifikasi. Tipe I (D1 ) adalah GABA
dan chloride independen, sementara Tipe II (D2 ) adalah
GABA dan chloride dependen. GABA (Gamma amino butyric
acid) adalah neurotransmiter inhibitor yang paling banyak
terdapat di sistem saraf pusat. Perubahan jumlah GABA pada
sistem saraf pusat dapat menimbulkan gejala cemas. Fakta
bahwa Benzodiazepin (yang mempermudah transmisi GABA,
sehingga menyebabkan efek penghambatan transmisi
neurotransmiter lain pada SSP) mengurangi kecemasan dan
Benzodiazepin-antagonis (misalnya flumazenil) dan reverse
Agonis (misalnya carbo lines) menyebabkan munculnya
gejala cemas, yang kemudian memberikan hasil yang
signifikan untuk hipotesis ini.
Neurotransmiter lainnya: Norepinefrin, 5-HT, Dopamin,
reseptor opioid dan disfungsi neuroendokrin juga
menunjukkan menjadi suatu penyebab gangguan kecemasan.
Dasar Neuroanatomis: Locus coeruleus, sistem limbik, dan
korteks prefrontal adalah beberapa area yang terlibat dalam
etiologi gangguan kecemasan. Pada kondisi cemas arus

18
darah serebral regional (rCBF) meningkat, meskipun
vasokonstriksi juga terjadi dalam kegelisahan.
Gangguan kecemasan organik: Kelainan ini ditandai oleh
adanya kegelisahan sekunder akibat berbagai gangguan
media (mis. Hipertiroidisme, mocytoma phaeochro, penyakit
arteri koroner). Jika gejala kecemasan juga terjadi kelainan
medis, hal ini menunjukkan bahwa cemas juga dapat
disebabkan oleh dasar biologis.

2.4.1 Amnesia Dissosiatif


Menurut DSM-IV kriteria B untuk amnesia disosiatif,
gangguan tersebut bukan karena kondisi medis atau neurologis
atau akibat penyalahgunaan zat. Amnesia disosiatif
menyingkirkan semua penyebab organik dan adanya peran
trauma pada gangguan kognitif. Meskipun penelitian sistematis
yang spesifik terhadap etiologi amnesia disosiatif terbatas,
banyak peneliti berikutnya telah mencatat hubungan penyebab
antara trauma emosional dan amnesia disosiatif. Episode
amnestik dianggap sebagai pertahanan intrapsiki, tidak termasuk
kenangan menyakitkan dari kesadaran sadar, dan dapat
dihasilkan dari satu peristiwa traumatik yang luar biasa atau dari
serangkaian presipitan yang lebih kecil. Keadaan termasuk
penganiayaan masa kecil, penculikan, pemerkosaan,
pengalaman tempur masa perang masa lalu ("kejutan
guncangan"), dan ancaman kematian atau kekerasan fisik
lainnya, dan bahkan menjadi saksi kekerasan. Intensitas, durasi,
dan usia keterpaparan pada kejadian traumatis tampaknya
merupakan faktor penting dalam perkembangan amnesia
disosiatif. Umumnya semakin kuat, lebih lama, dan lebih awal
terkena eksposur, semakin buruk amnesia. Penelitian oleh
penulis melaporkan bahwa episode amnesia disosiatif berulang
sering terjadi pada individu yang menderita berbagai gejala

19
disosiatif lainnya, dan sering terjadi pada gangguan disosiatif
yang paling parah, gangguan identitas disosiatif.

2.4.2 Fugue dissosiatif


Fugue dissosiatif dianggap berkaitan dengan peristiwa
kehidupan yang traumatis atau sangat menegangkan dan
dengan demikian dapat dimulai setelah terpapar bencana alam
atau pertempuran militer. Fuga ambisiatif mungkin juga terkait
dengan stres yang luar biasa seperti kebangkrutan atau
perceraian yang akan terjadi. Dalam banyak kasus, fikiran
disosiatif terkait dengan penghindaran tanggung jawab mengenai
masalah hukum atau keuangan, ketidaksopanan seksual, atau
ketakutan akan pertempuran. Banyak individu yang menderita
farsue disosiatif memiliki riwayat pelecehan atau pengabaian
masa kanak-kanak, walaupun temuan ini belum dipelajari secara
ketat. Dalam beberapa kasus, fikiran disosiatif dapat dipahami
sebagai keadaan amnesia di mana hasrat terlarang dapat
dinyatakan secara simbolis. Di negara-negara fobia disosiatif
lainnya, amnesia dapat melindungi dari keinginan terlarang,
seperti bunuh diri. Seringkali, disforia atau depresi yang
mendasari hadir dengan rasa malu atau rasa bersalah yang
menyertainya. Dalam kebanyakan kasus, fikiran disosiatif
tampaknya merupakan jalan keluar simbolis dari situasi yang
penuh tekanan. Seperti pada semua gangguan disosiatif lainnya,
proses disosiasi tampaknya memainkan peran sentral dan
menyebabkan gejala amnesia dan perubahan identitas.

2.4.3 Gangguan Identitas dissosiatif


Gangguan identitas disosiatif sangat terkait dengan
pengalaman trauma dini pada masa kanak-kanak yang parah,
biasanya penganiayaan, dalam semua penelitian di budaya
Barat dan non Barat yang secara sistematis telah memeriksa

20
pertanyaan ini. Tingkat trauma masa kecil yang dilaporkan untuk
pasien anak dan orang dewasa berkisar antara 85 sampai 97
persen kasus. Pelecehan fisik dan seksual, biasanya dalam
kombinasi, adalah sumber trauma masa kanak-kanak yang
paling sering dilaporkan dalam penelitian klinis. Kritikus telah
menimbulkan pertanyaan tentang validitas laporan pasien
tentang trauma masa kecil. Studi terbaru yang sekarang
mencakup menguatnya menguatkan secara independen laporan
pasien tentang penganiayaan terus mendukung secara kuat
hubungan perkembangan antara trauma masa kanak-kanak dan
gangguan identitas disosiatif. Pengalaman hidup awal yang
mengakibatkan gangguan dalam hubungan keterikatan dengan
pengasuh primer dan proses keluarga abnormal lainnya telah
terlibat dalam asal mula tingkat patologis disosiasi dan
pengembangan gangguan identitas disosiatif. Penelitian terbaru
menunjukkan bahwa tingginya tingkat disosiasi pada ibu
dikaitkan dengan perilaku attachment yang terganggu, seringkali
disosiatif, pada anak-anak mereka. Dalam studi lain, awal
kehadiran gangguan keterikatan ini secara prospektif
memprediksikan tingkat disosiasi yang lebih tinggi pada masa
remaja akhir. Kontribusi faktor genetik sekarang hanya dinilai
secara sistematis, namun studi pendahuluan belum menemukan
bukti adanya kontribusi genetik yang signifikan.

2.4.4 Depersonalisasi dissosiatif


Beberapa teori biologis dan psikodinamik telah diajukan.
Pertama, depersonalisasi dapat terjadi akibat disfungsi lobus
temporal dan berbagai keadaan metabolik dan toksik. Teori ini
telah menghubungkan depersonalisasi dengan epilepsi dan
penyakit lain dari sistem saraf pusat, serta konsumsi obat-obatan
psikotimimetik seperti mescaline dan lysergic acid diethylamide
(LSD). Kedua, depersonalisasi dapat berakibat dari respons otak

21
fungsional yang telah ditentukan yang disesuaikan dengan
trauma yang luar biasa, yang dibuktikan dengan terjadinya
berbagai gangguan kejiwaan lainnya dan populasi nonpsikiatri.
Ketiga, depersonalisasi mungkin merupakan pembelaan
terhadap pengaruh konflik yang menyakitkan seperti rasa
bersalah, kecemasan fobia, kemarahan, paranoid, identifikasi
ego yang bertentangan, fantasi fusi primitif, dan eksibisionisme.
Penelitian sistematis terhadap teori-teori ini terbatas, dan
penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengklarifikasi dan
memberikan dukungan konklusif untuk teori etiologi terkini.
Penelitian telah mendokumentasikan pemicu psikologis
depersonalisasi. Depersonalisasi sering muncul sebagai respons
terhadap bahaya yang mengancam jiwa seperti kecelakaan,
penyakit serius, penangkapan jantung, reaksi anafilaksis, dan
komplikasi pembedahan, serta respons terhadap tekanan
emosional dari berbagai situasi seperti kegelisahan, kemarahan,
atau Konflik parah Depersonalisasi tampaknya terjadi secara
umum bersamaan dengan gangguan stres posttraumatic,
gangguan identitas disosiatif dan gangguan persepsi yang
halusinogen (kilas balik) dan sering dilaporkan oleh orang yang
selamat dari pelecehan fisik, emosional, atau seksual yang
parah; Penjara politik; penyiksaan; Dan indoktrinasi kultur.

2.5 Diagnosis (Anamnesa)


Menurut North, pada orang dengan gangguan disoaistif akan
ditemukan gangguan-gangguan, yaitu gangguan identitas, gangguan
amnesia, fugue disosiatif, depersonalisasi, dan derealisasi. Gangguan
identitas disosiatif adalah gangguan disosiatif dimana seseorang memiliki
dua atau lebih kepribadian yang berbeda atau kepribadian pengganti (alter).
Gagguan amnesia disosiatif yaitu kehilangan memori karena penyebab
psikologik. Paling sering amnesia anterograde secara tiba-tiba setelah suatu

22
stres fisik atau psikososial. Fugue disosiatif, memori yang hilang lebih luas
dari pada amnesia disosiatif, individu tidak hanya kehilangan seluruh
ingatanya (misalnya nama, keluarga atau pekerjaanya), mereka secara
mendadak meninggalkan rumah dan pekerjaanya serta memiliki identitas
yang baru (parsial atau total). Depersonalisasi yaitu kehilangan atau
perubahan temporer dalam perasaan yang biasa mengenai realitas diri
sendiri. Dalam suatu tahap depersonalisasi, orang merasa terpisah dari
dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya. Dan derealisasi yaitu perasaan
tidak nyata mengenai dunia luar yang mencakup perubahan yang aneh
dalam persepsi mengenai lingkungan sekitar, atau dalam perasaan
mengenai periode waktu juga dapat muncul (North, 2015).
Dua DSM-IV-TR berbasis wawancara terstruktur telah dikembangkan
untuk diagnosis gangguan disosiatif formal, Structured Clinical Interview
untuk DSM-IV-TR Gangguan disosiatif, Revisi (SCID-DR), dan Jadwal
Wawancara Gangguan Disosiatif / Disscociative Disorder Interview Schedule
(DDIS) . SCID-DR, oleh Marlene Steinberg, secara luas dianggap sebagai
standar emas untuk studi penelitian yang memerlukan diagnosis. Ini adalah
semi-terstruktur diberikan dokter-wawancara yang menilai keberadaan dan
tingkat keparahan amnesia, identitas kebingungan dan perubahan,
depersonalisasi, dan derealisasi, dan membuat diagnosis DSM-IV-TR untuk
semua lima gangguan disosiatif dan gangguan stres akut. Ini mencakup 276
pertanyaan dan tingkat keparahan gejala masing-masing pada skala 4-titik.
Untuk pasien gangguan disosiatif, waktu administrasi biasanya berkisar dari
1 sampai 2 jam tetapi jauh lebih singkat bagi pasien kejiwaan non-disosiatif.
SCID-DR telah baik untuk interrater sangat baik dan tes-tes ulang keandalan
dan validitas mapan dalam banyak penelitian. Telah diterjemahkan ke dalam
sedikitnya selusin bahasa dengan hasil yang sama dalam budaya yang
berbeda. Para DDIS, oleh Colin Ross, terutama alat diagnostik klinis dan
kadang-kadang digunakan sebagai layar untuk disosiasi patologis. Ini
bertanya tentang berbagai fenomena di samping gejala disosiatif, termasuk
riwayat pelecehan anak, depresi berat, keluhan somatik, penyalahgunaan
zat, dan pengalaman paranormal. Hal ini membutuhkan sekitar 30 sampai

23
60 menit untuk melayani pasien gangguan identitas disosiatif. Kecuali untuk
gangguan depersonalisasi, kehandalan interrater diterima, dan validitas
konvergen termasuk korelasi yang kuat dengan DES, SCID-D, dan diagnosis
klinis gangguan disosiatif. Kognisi dalam Disosiasi Disfungsi memori adalah
fitur utama dari gangguan disosiatif. Identitas gangguan disosiatif, dengan
web yang tampak jelas dari amnesias arah antara negara-negara mengubah
kepribadian, adalah fokus dari upaya awal di penyelidikan
eksperimental.Banyak studi kasus yang diikuti juga berusaha untuk
mendokumentasikan amnesias.Sebuah 1985 Institut Nasional Kesehatan
Mental (NIMH) studi digunakan sembilan pasien gangguan identitas
disosiatif dan sepuluh kontrol cocok, yang diuji seperti diri sendiri dan dalam
keadaan mengubah kepribadian simulasi. Mereka menguji memori
keterpisahan antara pasangan saling dilaporkan amnesia mengubah negara
kepribadian dengan mengukur intrusi dari daftar kata kategoris yang sama
dipelajari oleh negara-negara lainnya mengubah kepribadian. Para pasien
gangguan identitas disosiatif lebih mungkin untuk kotakkan rangsangan
belajar, sedangkan yang disosiasi meniru menunjukkan bukti jauh lebih
sedikit dari partisi informasi. Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa
disosiasi berdampak diferensial pada domain memori implisit dan eksplisit.
Sebaliknya, dalam beberapa studi terbaru dari memori dan amnesia dalam
gangguan identitas disosiatif, peneliti kognitif belum mampu
mendokumentasikan amnesia mengklaim antara subyektif saling mengubah
amnestic menggunakan berbagai paradigma memori implisit dan eksplisit.
Dalam satu studi, subyek kontrol pura-pura akrab dengan gangguan
identitas disosiatif menunjukkan kurangnya priming dalam tugas memori
implisit karena mereka "tahu" mereka seharusnya amnestic, meskipun
subjek gangguan disosiatif identitas yang sebenarnya memang
menunjukkan priming normal. Di sisi lain, dalam studi lain, peneliti tidak
dapat dokumen transfer seharusnya informasi antara mengubah mengaku
sebagai "co-sadar" menggunakan tugas memori implisit dan eksplisit.
Dengan demikian, beberapa peneliti telah mempertanyakan aktualitas
amnesias gangguan identitas disosiatif. Namun, kegagalan transfer

24
informasi di co-sadar seharusnya mengubah menunjukkan kemungkinan
implikasi lain dari studi ini. Ini termasuk bahwa pasien gangguan identitas
disosiatif mungkin tidak selalu dapat diandalkan wartawan baik amnesia atau
coawareness antara negara mengubah diri.Sebagai contoh, dalam studi
kasus tunggal, subjek gangguan identitas disosiatif secara acak ditandai
oleh pager dan diisi mood dan skala kegiatan penilaian, serta informasi yang
berkaitan dengan keadaan kepribadian yang "keluar." Penilaian skala diisi
secara real waktu yang berbeda dengan diri-mengaku mengubah mood 'dan
laporan kegiatan selama wawancara klinis. Akhirnya, mungkin akan lebih
berguna untuk merancang studi menggunakan paradigma memori
otobiografi dan untuk lebih global dan secara naturalistik studi identitas
disosiatif gangguan memori pasien 'masalah dan perilaku beralih tanpa
harus mencurahkan perhatian khusus untuk yang mengubah tidak atau tidak
memiliki ingat pada waktu tertentu. Namun, keberadaan diferensial dan
terarah amnesias seluruh gangguan identitas disosiatif mengubah
kepribadian menyatakan telah ditemukan dalam kebanyakan studi sampai
saat ini. Studi yang lebih ketat, bagaimanapun, juga kebocoran dokumen
cukup atau transfer informasi di seluruh negara mengubah kepribadian, yang
melaporkan telah benar-benar amnesia satu sama lain. Penjelasan
neuropsikologi paling pelit dikemukakan, bahwa amnesias adalah contoh
negara yang bergantung pada pembelajaran dan pengambilan, pertama kali
disampaikan oleh Theodule Ribot pada akhir abad ke-19. Tingkat amnesia
menunjukkan pada pasien gangguan identitas disosiatif, bagaimanapun,
melebihi yang biasanya terlihat pada studi eksperimental negara-tergantung
memori. Studi menunjukkan bahwa tugas-tugas memori dapat dibangun
sedemikian rupa sehingga orang yang sangat disosiatif berperforma lebih
baik atau lebih buruk dibandingkan subyek kontrol. Memori tugas yang
melibatkan pembagian perhatian atau kompartementalisasi informasi sangat
mirip tampaknya mendukung individu yang sangat disosiatif. Memori tugas
yang menuntut perhatian terfokus menempatkan mereka pada kerugian
yang signifikan. Perbedaan-perbedaan attentional dan memori, mungkin
bersama-sama dengan perbedaan-perbedaan lain yang belum diakui

25
kognitif, operasi selama periode kritis perkembangan dan selama rentang
kehidupan individu, dapat menyebabkan penyimpangan yang cukup besar
dari lintasan perkembangan yang normal, seperti yang dijelaskan dalam
bagian pada model perkembangan.

2.6 Pedoman Diagnosis dan Klasifikasi


Disosiatif diartikan sebagai mekanisme pertahanan secara tidak
sadar yang melibatkan segregasi dari beberapa kelompok proses mental
dan tingkahlaku seseorang yang mungkin membawa pemecahan dari tonus
emosi. (taka et al, 2012)
Gejala utamanya adalah hilangnya (sebagian atau seluruh) dari
integrasi normal (dibawah kendali kesadaran) antara ( Maslim, 2003):
Ingatan masa lalu
Kesadaran identitas dan pengindraan segera (awareness of identity and
immediate sensations)
Kontrol terhadap gerakan tibuh
Pada gangguan disosiatif, kemampuan kendali dibawah kesadaran dan
kendali selektif tersebut terganggu sampai taraf yang dapat berlangsung
dari hari ke hari atau bahkan jam ke jam.

Pedoman diagnostik ( Maslim, 2003)


Untuk diagnostik pasti maka hal-hal dibawah ini harus ada:
a) Gambaran klinis yang ditemukan untuk masing-masing gangguan yang
tercantum pada F 44.-;
b) Tidak ada bukti adanya gangguan fisik yang dapat menjelaskan gejala
tersebut
c) Bukti adanya gangguan psikologis dalam bentuk hubungan kurun waktu
yang jelas dengan problem dan kejadian-kejadianyang stressfull atau
hubungan interpersonal yang terganggu (meskipun hal tersebut
disangkal oleh penderita)

26
Menurut Diagnostik dan Statistik Manual of Mental Disorders, edisi
revisi teks keempat (DSM-IV-TR), gangguan disosiatif terdiri dari gangguan
identitas disosiatif, gangguan depersonalisasi, amnesia disosiatif, fugue
disosiatif, dan gangguan disosiatif yang tidak ditentukan.

2.6.1 Amnesia Disosiatif (f.44.0)


Amnesia disosiatif diklasifikasikan berdasar adanya gangguan
memori dan keterbatasan dalam mengingat beberapa komponen
dari sebuah memori. Gangguan ini umumnya bersifat reversibel.
Disosiatif amnesia paling banyak terjadi pada dekade ke 3 dan
keempat dari usia manusia. Biasanya disertai dengan satu episode
tapi multipel episode hilangnya memori tidaklah jarang. Faktor
komorbid berupa bulimia, penyalahgunaan alkohol dan depresi
sangat umum pada gangguan ini. Selain itu diagnosa aksis II
berupa kelainan kepribadian histrionik, dependen, dan borderline
terjadi pada kelompok sebagian kecil pasien (Bourgeois at al,
2012).
Menurut DSM-IV-TR, fitur penting dari amnesia disosiatif
adalah ketidakmampuan untuk mengingat informasi pribadi yang
penting, biasanya yang bersifat traumatik atau stres, yang terlalu
luas untuk dijelaskan oleh kelupaan normal. Gangguan tidak terjadi
secara eksklusif selama gangguan identitas disosiatif, fugue
disosiatif, PTSD, gangguan stres akut, atau gangguan somatisasi
dan bukan karena efek fisiologis langsung dari suatu zat atau
kondisi neurologis atau medis umum. Amnesia disosiatif dapat lebih
luas didefinisikan sebagai gangguan memori reversibel di mana
kenangan bagi pengalaman pribadi seseorang yang biasanya akan
tersedia untuk mengingat pikiran sadar tidak dapat diambil atau
disimpan dalam bentuk verbal (atau, jika sementara diambil, tidak
dapat sepenuhnya dipertahankan dalam kesadaran). Gangguan ini
mungkin didasarkan pada perubahan neurobiologis pada otak yang
disebabkan oleh stres traumatik. Namun, gangguan tersebut

27
memanifestasikan dirinya sebagai bentuk berpotensi reversibel
inhibisi psikologis. Diagnosis umumnya berkonotasi amnesia
disosiatif empat faktor. Pertama, kelompok yang relatif besar dari
kenangan dan terkait mempengaruhi telah menjadi tidak tersedia,
tidak hanya satu kenangan, perasaan, atau pikiran. Kedua,
kenangan tidak tersedia biasanya berhubungan dengan hari-hari
informasi yang biasanya akan menjadi bagian yang lebih atau
kurang rutin kesadaran: Siapakah seseorang, apa yang dia lakukan,
di mana dia atau dia pergi, apa yang terjadi, dengan siapa dia atau
dia berbicara, apa yang dikatakan, apa yang dia pikirkan dan
rasakan pada saat itu, dan sebagainya. Ketiga, kemampuan untuk
mengingat informasi faktual yang baru, secara umum fungsi kognitif,
dan kemampuan bahasa biasanya utuh, meskipun dalam kasus-
kasus ekstrim proses disosiatif dapat mengganggu pengambilan
informasi memori prosedural dan pendaftaran kenangan baru.
Akhirnya, kenangan terdisosiasi sering tidak langsung
mengungkapkan kehadiran mereka dalam bentuk yang lebih atau
kurang menyamar, seperti gambar visual yang mengganggu, kilas
balik, gejala somatoform, mimpi buruk, gejala konversi, dan
melakukan kembali perilaku. Artinya, dalam banyak kasus, amnesia
disosiatif harus dipahami sebagai bagian dari spektrum disfungsi
memori yang berhubungan dengan stres traumatis, sering
bergantian dengan bentuk hyperamnesia atau menyadari
kesadaran di mana orang mengalami pelepasan atau keterasingan
dari unsur-unsur memori autobiografi, atau keduanya. Ada dua
presentasi dasar dari amnesia disosiatif. Yang pertama adalah
gangguan, dramatis tiba-tiba di mana aspek-aspek yang luas dari
memori untuk informasi pribadi yang tidak tersedia untuk mengingat
lisan sadar. Pasien-pasien ini sering terlihat di bagian gawat darurat
atau layanan medis atau neurologis umum, karena perkembangan
tiba-tiba kehilangan memori membutuhkan penilaian medis. Selain
itu, selama episode akut amnestic, beberapa individu mungkin

28
menunjukkan disorientasi, kebingungan, perubahan dalam
kesadaran, gejala somatoform, atau mengembara tanpa tujuan,
atau kombinasi dari ini. Sebuah contoh kasus berikut.
Meskipun relatif jarang, jenis amnesia disosiatif adalah fitur
dalam media dan dalam sebagian besar buku pelajaran sebagai
wakil kondisi. Namun, bentuk yang jauh lebih umum dari amnesia
disosiatif adalah penghapusan dari memori sadar aspek yang
signifikan dari sejarah pribadi. Biasanya, pasien tidak mengeluhkan
hal ini, dan biasanya hanya ditemukan dalam mengambil sejarah
kehidupan hati-hati. Amnesia disosiatif biasanya memiliki onset
yang jelas dan offset, sehingga orang tersebut secara subjektif
menyadari kesenjangan dalam memori berkesinambungan. Sebagai
contoh, pasien mungkin melaporkan bahwa dia tidak ingat berada di
kelas tiga, meskipun memiliki memori yang jelas selama bertahun-
tahun sekolah lainnya. Biasanya gejala tersebut berkaitan dengan
situasi traumatik: Misalnya, laporan pasien bahwa ia telah diberitahu
bahwa, selama kelas tiga, dia diculik oleh ayahnya terasing dalam
sengketa hak asuh, yang diselenggarakan oleh dia untuk beberapa
bulan, dan seksual disalahgunakan oleh dia selama waktu itu.
Dalam kasus ekstrim, pasien mungkin menolak mengingat untuk
anak-nya seluruh atau zaman hidup yang besar; contoh berikut.

Tabel 2.1 Jenis-jenis Amnesia DIsosiatif

29
Pedoman diagnosis (Maslim, 2003)
Ciri utama adalah hilangnya daya ingat, biasanya mengenai
kejadian penting yang baru terjadi (selektif), yang bukan
disebabkan oleh gangguan mental organik dan terlalu luas
untuk dijelaskan atas dasar kelupaan yang umum terjadi
atas dasar kelelahan.
Diagnosa pasti memerlukan:
a) Amnesia baik total maupun parsial mengenai kejadian
yang stressful atau traumatik yang baru terjadi (hal ini
mungkin hanya dapat dinyatakan bila ada saksi yang
memberi informasi.
b) Tidak ada gangguan mental organik, intoksikasi
ataukelelahan berlebihan (sindrom amnesia organik,
F04, F1x.6).
Yang pasling sulit dibedakan adalah amnesia buatan yang
disebabkan oleh simulasi secara sadar (malingering). Untuk
itu penilaian secara rinci dan berulang mengenai kepribadian
premorbid dan motivasi diperlukan. Amnesia buatan
biasanya berkaitan dengan problema yang jelas mengenai
keuangan bahaya kematian dalam peperangan, atau
kemungkinan hukuman penjara atau hukuman mati (Maslim,
2003).

Terdapat beberapa perbedaan antara amnsesia disosiatif


dengan amnesia dikarenakan penyakit organik yaitu:

30
Gambar 2.1. Perbedaan amnesia disosiatif dan amnesia organik (Staniloiu, 2014)

2.6.2 Fugue Disosiatif (F44.1)


Fugue disosiatif merupakan kombinasi kegagalan antara
beberapa aspek dari memori personal dengan identitas bentukan dan
perilaku motorik secara automatis. Pasien dapat tampil normal dan
biasanya tidak menunjukan gejala defisit kognitif atau psikopatologi.
Fugue disosiatif melibatkan satu atau lebih episode yang mendadak,
tidak diduga, dan secara bertujuan melakukan perjalanan pergi dari
rumah, disertai dengan ketidak mampuan mengingat sebagian atau
seluruh bagian dari masa lalu seseorang. Biasanya terjadi setelah
kejadian traumatic (Bourgeois at al, 2012).
Fugue disosiatif adalah yang paling dipelajari dan paling kurang
dipahami dari gangguan disosiatif. Gejala-gejala gangguan ini mirip
dengan amnesia disosiatif dan gangguan identitas disosiatif. Fitur
penting dari dissociative fugue digambarkan sebagai tiba-tiba,
perjalanan tak terduga jauh dari rumah atau tempat adat seseorang
kegiatan sehari-hari, dengan ketidakmampuan untuk mengingat
beberapa atau semua dari satu masa lalu (Kriteria A). Hal ini disertai

31
dengan kebingungan tentang identitas pribadi atau bahkan asumsi
identitas baru (Kriteria B). Gangguan tidak terjadi secara eksklusif
selama gangguan identitas disosiatif dan bukan karena efek fisiologis
langsung dari suatu zat atau kondisi medis umum (Kriteria C). Gejala-
gejala harus menyebabkan stres atau gangguan klinis yang signifikan
di daerah penting sosial, pekerjaan, atau fungsi (Kriteria D).

Pedoman Diagnosis (Maslim, 2003)


Untuk diagnosa pasti harus ada:
a) Ciri-ciri amnesia disosiatif (F44.0)
b) Melakukan perjalanan tertentu melampaui hal yang umum
dilakukan sehari-hari dan ;
c) Kemampuan mengurus diri yang dasar tetap ada (makan,
mandi, dsb) dan melakukan interaksi sosial sederhana
dengan orang-orang yang dikenalnya (misalnya membeli
karcis atau bensin, menanyakan arah, memesan makanan).
Harus dibedakan dengan postictal fugue yang terjadi setelah
serangan epilepsi lobus temporalis, biasanya dapat dibedakan
dengan cukup jelas atas dasar riwayat penyakitnya, tidak adanya
problem atau kejadian yang stressfull dan kurang jelasnya tujuan
(fregmanted) berkepergian serta berkegiatan dari penderita
epilepsi tersebut.

2.6.3 Stupor disosiatif (F 44.2)


Stupor dalam psikiatri adalah sebutan yang bersinonim dengan
mustisme dan tidak selalu harus berkaitan dengan gangguan
kesadaran. Walaupun terdapat 3 jenis stupor yaitu katatonik stupor,
depresif stupor, dan stupor disosiatif, tapi stupor disosiatif merupakan
yang paling sering ditemui (Tada at al, 2012)

Pedoman diagnosis (Maslim, 2003)


Untuk diagnosis pasti harus ada :

32
a) Stupor, sangat berkurangnya atau hilangnya gerakan-
gerakan volunter dan respon normal terhadap rangsangan
luar seperti misalnya cahaya, suara dan perabaan
(sedangkan kesadaran tidak hilang);
b) Tidak ditemukan adanya gangguan fisik ataupun gangguan
jiwa lain yang dapat menjelaskan keadaan stupor tersebut.
c) Adanya problem atau kejadian-kejadian baru yang stressful
(psycogenic causation)
Harus dibedakan dari stupor katatonik (pada skizofrenia) dan
stupor depresif atau manik (pada gangguan afektif,
berkembang sangat lambat, sudah jarang ditemukan)

2.6.4 Gangguan trans dan kesurupan (F 44.3)


Pedoman diagnosa (Maslim, 2003)
Gangguan menunjukan adanya kehilangan sementara aspek
penghayatan akan identitas diri dan kesadaran terhadap
lingkungannya, dalam beberapa kejadian individu tersebut
berperilaku seakan-akan dikuasai kepribadian lain, kekuatan
gaib, malaikat atau kekuatan lain.
Hanya gangguan trans yang involunter (diluar kemauan individu)
dan bukan merupakan aktivitas yang biasa dan bukan
merupakan kegiatan keagamaan, ataupun budaya yang boleh
dimasukkan dalam diagnosa ini.
Tidak ada penyebab organik (epilepsi lobus temporalis, cedera
kepala, intoksikasi zat psikotropika) dan bukan bagian dari
gangguan jiwa lain( skizofrenia, gangguan kepribadian multiple)

33
2.6.5 Gangguan motorik disosiatif (F 44.4)
Pedoman Diagnosa (Maslim, 2003)
Bentuk paling umum dari gangguan ini adalah ketidak mampuan
untuk menggerakan seluruh atau sebagian dari anggota gerak
(tangan dan kaki)
Gejala tersebut seringkali menggambarkan konsep dari penderita
mengenai gangguan fisik yang berbeda dengan prinsip fisiologik
maupun anatomik.

2.6.6 Gangguan Depersonalisasi


Selama bertahun-tahun, di mana-mana depersonalisasi sebagai
gangguan kejiwaan yang lebih luas dari pengenalan. Akibatnya,
pasien dengan depersonalisasi kronis dan primer sering terus salah
didiagnosa sebagai semata-mata memiliki mood atau gangguan
kecemasan, yang mungkin comordid dengan depersonalisasi kronis,
sekunder oleh sejarah dalam manifestasi mereka, atau tidak mampu
untuk menjelaskan sejauh mana depersonalisasi kronis. Riset
sistematis terakhir dari dua kohort besar peserta baik ditandai
dengan gangguan tersebut telah menghasilkan temuan yang
konsisten mencolok di Amerika Serikat (Daphne Simeon) dan di
Eropa (Anthony Daud). Gambaran klinis, kursus dan prognosis, dan
menghubungkannya kognitif dan neurobiologis telah muncul yang
jelas membedakan gangguan ini dari gangguan kejiwaan lainnya
dengan gejala depersonalisasi. Juga, instrumen valid dan dapat
diandalkan ada untuk skrining dan diagnosis, seperti Skala
Depersonalisasi Cambridge yang dikembangkan oleh Sierra dan
Berrios.

DSM-IV-TR mengidentifikasi fitur penting dari depersonalisasi


sebagai perasaan persisten atau berulang dari pelepasan atau
keterasingan dari diri sendiri. Individu dapat melaporkan merasa
seperti robot atau seolah-olah dalam mimpi atau menonton dirinya

34
sendiri dalam sebuah film. Menurut DSM-IV-TR, "mungkin ada
sensasi menjadi seorang pengamat luar proses mental seseorang,
tubuh seseorang, atau bagian tubuh seseorang." Ada sering rasa
tidak adanya kontrol atas tindakan seseorang. Penelitian empiris
dengan menggunakan Skala Depersonalisasi Cambridge di sampel
besar telah menyoroti lima komponen fenomenologis pengalaman:
menumpulkan, ketidaknyataan diri, ketidaknyataan dari lingkungan,
perubahan persepsi, dan disintegrasi temporal.

Tabel 2.2 Kriteria Diagnosis Gangguan Depersonalisasi-derealisasi

2.6.7 Gangguan Identitas Disosiatif


Identitas gangguan disosiatif, yang sebelumnya disebut gangguan
kepribadian ganda, telah diteliti secara ekstensif dari semua
gangguan disosiatif. Ini adalah psikopatologi disosiatif paradigmatik
dalam bahwa gejala gangguan disosiatif semua lainnya umumnya
ditemukan pada pasien dengan gangguan identitas disosiatif,
Amnesias, fugues, depersonalisasi, derealisasi, dan gejala serupa.
Menurut DSM-IV-TR, gangguan identitas disosiatif "dicirikan oleh
adanya dua atau lebih identitas yang berbeda atau negara
kepribadian yang berulang mengendalikan perilaku individu disertai
oleh ketidakmampuan untuk mengingat informasi pribadi yang penting
yang terlalu luas untuk dijelaskan oleh kelupaan biasa. "Identitas atau

35
negara kepribadian, mengubah kadang-kadang disebut, menyatakan
diri, mengubah identitas, atau bagian, antara istilah lain, berbeda dari
satu sama lain dalam bahwa setiap muncul sebagai memiliki" pola
sendiri yang relatif abadi mencerap, yang berkaitan untuk, dan
berpikir tentang lingkungan dan diri sendiri

Tabel 2.3 Gejala Gangguan Disosiatif Proses Identitas

36
2.7 Differential Diagnosis
2.7.1 Amnesia Disosiatif
Diagnosis banding untuk amnesia disosiatif melibatkan suatu
pertimbangan kondisi medis umum dan gangguan mental lainnya.
Suatu riwayat medis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium,
riwayat psikiatrik, dan pemeriksaan status mental harus dilakukan.
Amnesia yang disertai dengan demensia dan delirium biasanya
berhubungan dengan gejala kognitif lainyang mudah dieknali. Jika
pasien memiliki amnesia untuk informasi informasi personal dalam
kondisi tersebut, dimensia atau delirium biasanya lanjut lanjut dan
mudah dibedakan dari amnesia disosiatif. Khususnya pada kasus
delirium, pasien mungkin menunjukkan konfabulasi selama
wawancara. Pada umumnya, pemulihan daya ingat menyatakan
amnesia disosiatif.
Pada amnesia pascagegar (postconcussion amnesia) gangguan
daya ingat yang terjadi setelah trauma kepala, sering kali retrograde
(berlawanan dengan gangguan anterograde pada amnesia disosiatif)
dan biasanya tidak lebih dari satu minggu. Pemeriksaaan klinis pada
pasien amnesia pascagegar dapat didapatkan riwayat
ketidaksadaran, bukti-bukti eksternal adanya truma, atau bukti lain
adanya cedera otak. Beberapa peneliti telah menghipotensikan
bahwa suatu riwayat trauma kepala dapat mempredisposisikan
seseorang pada gangguan disosiatif. Epilepsy dapat menyebabkan
gangguan daya ingat yang tiba-tiba yang disertai dengan kelainan
motoric dan elektroensefalogram (EEG). Pasien dengan epilepsy
adalah rentan terhadap kejang selama periode stress dan beberapa
peneliti telah menghipotesiskan bahwa suatu patologi mirip epilepsy
dapat terlibat pada gangguan disosiatif . riwayat adanya aura, trauma
kepala atau inkontinensia dapat membantu klinis mengenali amnesia
yang berhubungan dengan epilepsy.
Amnesia global transien adalah suatu amnesia retrograde yang
akut dan transien yang telah mempengaruhi daya ingat segera

37
dibandingkan daya ingat jauh. Walaupun pasien biasanya menyadari
amnesia, mereka mungkin masih dapat melakukan kerja mental dan
fisik yang sangat kompleks selama 6 sampai 24 jam dimana episode
amnesia global transien biasanya berlangsung. Pemulihan dari
gangguan biasanya lengkap. Amnesia global transien paling sering
disebabkan oleh serangan iskemik transien (TIA) yang mengenai
struktur limbik garis tengah otak. Amnesia global transien juga dapat
berhubungan dengan nyeri kepala migrain, kejang dan intoksikasi
dengan obat sedative-hipnotik.
Amnesia global transien dapat dibedakan dari amnesia disosiatif
dengan beberapa cara. Amnesia global transien adalah disertai
dengan amnesia anterograde selama periodenya, amnesia disosiatif
tidak. Pasien dengan amnesia global transien cenderung lebih
ketakutan prihatin akan gejalanya dibandingkan pada pasien dengan
amnesia disosiatif. Identitas pribadi pada pasien dengan amnesia
disosiatif adalah hilang, tetapi identitas pribadi pada pasien amnesia
global transien adalah dipertahankan. Kehilangan daya ingat pada
seorang pasien dengan amnesia disosiatif adalah selektif untuk
bidang tertentu dan tidak menunjukkan suatu gradient temporal,
kehilangan daya ingat pada pasien dengan amnesia global transien
adalah menyeluruh dan peristiwa yang juga diingat dengan lebih baik
dibandingkan dengan peristiwa yang belum lama. Karena hubungan
amnesia global transien dengan masalah vascular, gangguan yang
paling sering ditemukan pada pasien dalam usia 20 sampai 40
tahunan, suatu periode yang berhubungan dengan stressor
psikologis tipe umum yang terlihat pada pasien tersebut.
Gangguan mental lainnya, gangguan berajalan saat tidur
(sleepwalking) dalam DSM-IV diklasifikasikan sebagai parasomnia,
tipe gangguan tidur. Pasien yang menderita gangguan berjalan saat
tidur berkelakuan dengan cara aneh yang menyerupai perilaku
seseorang dengan keadaan disosiatif. Gangguan stress
pascatraumatik, gangguan stress akut dan gangguan somatoform

38
(khususnya gangguan somatisasi dan gangguan konversi) harus
dipertimbangkan di dalam diagnosis banding dan dapat menyertai
amnesia disosiatif.

2.7.2 Fugue Disosiatif


Diagnosis banding untuk fuga disosiatif adalah serupa dengan
amnesia disosiatif. Berkelana yang terlihat pada amnesia atau
delirium biasanya dibedakan dari bepergian pada pasien fuga
disosiatif oleh tidak adanya tujuan pada yang pertama dan tidak
adanya perilaku kompleks dan adaptif secara social. Epilepsy parsial
kompleks mungkin disertai dengan episode bepergian, tetapi pasien
biasanya tidak mengambil identitas baru, dan episode biasanya tidak
dicetuskan oleh stress psikologis. Amnesia disosiatif tampak dengan
kehilangan daya ingat sebagai akibat stress psikologis, tetapi tidak
terdapat episode bepergian yang bertujuan atau identitas baru.
Berpura-pura mungkin susah untuk dibedakan dengan fuga disosiatif.
Tetapi bukti adanya tujuan sekunder yang jelas harus meningkatkan
kecurigaan klinis. Hypnosis dan wawancara amobarbital mungkin
berguna dalam memperjelas diagnosis klinis.

2.7.3 Gangguan Identitas Disosiatif


Epilepsi lobus temporal, disosiasi lebih sering terjadi pada pasien
dengan epilepsi lobus temporal daripada gangguan neurologis
lainnya. Dokter harus merujuk pasien dengan gejala disosiatif untuk
pemeriksaan neurologis menyeluruh untuk menyingkirkan adanya
epilepsi lobus temporal atau proses organik lainnya. EEG standar
sedikit membantu dalam membedakan gangguan disosiasi dari
epilepsi lobus temporal karena tingkat kelainan nonspesifik yang
tinggi telah terdeteksi pada pasien dengan gangguan disosiasi, lobus
temporal bilateral yang paling umum terjadi.
Pasien dengan skizofrenia, mendengar suara yang berasal dari
dunia luar, sedangkan pasien dengan gangguan disosiasi mendengar

39
suara yang berasal dari dalam kepala individu sendiri. Pasien dengan
skizofrenia mungkin mengalami halusinasi visual, meskipun kurang
terbentuk dengan baik dibandingkan dengan yang diamati dengan
gangguan otak tertentu lainnya. Pasien dengan gangguan disosiasi
kadang-kadang mengalami fenomena hypnagogic. Pengujian realitas
yang buruk diamati dengan skizofrenia, sedangkan pasien dengan
gangguan disosiasi pada dasarnya memiliki pengujian realitas yang
sesungguhnya. Asosiasi tangensial atau longgar yang disertai oleh
pengaruh yang tidak tepat umumnya diamati dengan skizofrenia.
Gangguan kepribadian borderline, telah didiagnosis pada 70%
sampel dari 33 pasien dengan gangguan disosiatif dan pada 23%
dari 70 pasien dengan gangguan disosiatif. Putnam mengakui bahwa
sejumlah besar kasusnya mirip dengan sindrom Briquet atau
gangguan somatisasi, namun, seperti peneliti lainnya, dia
mengusulkan agar begitu kriteria diagnostik untuk gangguan disosiasi
terpenuhi, gangguan disosiasi harus dianggap sebagai diagnosis
yang lebih baik karena bekerja dengan alternatif dapat memberikan
terapi.
Gangguan Amnesia Disosiatif, gangguan disosiasi mungkin
terbukti sulit dibedakan dari gangguan amnesia disosiatif lainnya.
Dengan gangguan amnesia disosiatif lainnya, perilaku mungkin rumit,
namun pemulihan seringkali lengkap, kekambuhan jarang terjadi.

2.8 Tatalaksana
Tujuan pengobatan untuk gangguan konversi adalah untuk
menghilangkan gejala, untuk memastikan pasien dan orang-orang
disekitarnya aman, dan untuk "menyambungkan kembali" orang tersebut
dengan kenangan yang hilang. Pengobatan juga bertujuan untuk
membantu orang tersebut (CCF, 2016):

1. Dapat menangani dan mengelola kejadian yang menyakitkan;

2. Mengembangkan keterampilan dan keterampilan hidup baru;

40
3. Kembali berfungsi semaksimal mungkin; dan

4. Memperbaiki hubungan.

Wawancara diberikan sebagai terapi sekaligus untuk menyimpulkan


apakah ada pengalaman yang bersifat traumatik pada diri pasien.
Terkadang dapat dilakukan terapi hipnosis agar pasien memasuki fase
relaksasi sehingga dapat mengingat kembali hal-hal yang dilupakan.
Terdapat juga psikoterapi untuk untuk membantu pasien menyatukan
kenangan yang terpisah-pisah menjadi ingatan yang runtut serta
rehabilitasi pasien pada kehidupan sehari-hari (CCF, 2016)

Pada gangguan disosiatif yang disertai dengan amnesia, dasar


pemberian terapi adalah bila pasien dalam keadaan somnolen, maka
inhibisi mental hilang dan bahan amnestik akan muncul ke dalam
kesadaran. Pendekatan pengobatan terbaik tergantung pada orang, jenis
amnesia, dan seberapa parah gejalanya. Jika ingatan hanya dalam
jangka waktu yang sangat singkat hilang, pengobatan suportif biasanya
cukup, terutama jika pasien tidak memiliki kebutuhan untuk memulihkan
ingatan akan kejadian yang menyakitkan. Pengobatan untuk kehilangan
ingatan yang lebih parah dimulai dengan menciptakan lingkungan yang
aman dan suportif. Pemulihan ingatan dilakukan dengan psikoterapi
secara bertahap. Penggunaan obat-obatan bius (barbiturat atau
benzodiazepin) dan hipnosis dapat digunakan untuk memulihkan ingatan.
Menanyai pasien saat berada di bawah hipnosis atau dalam keadaan
semihypnotic yang disebabkan obat bisa berhasil. Strategi ini harus
dilakukan dengan hati-hati karena keadaan traumatis yang merangsang
kehilangan ingatan kemungkinan akan diingat dan sangat menjengkelkan.
Penanya juga harus secara hati-hati menguraikan pertanyaan agar tidak
memberi kesan adanya suatu kejadian dan risiko menciptakan memori
palsu (Sadock, et al., 2007 ; Spiegel, etc., 2015)

Gejala amnesia pada gangguan disosiatif biasanya berespon


pengobatan dengan baik. Namun, kemajuan dan kesuksesan bergantung
pada banyak hal, termasuk situasi kehidupan seseorang dan jika dia

41
mendapat dukungan dari keluarga dan teman (CCF, 2016 ; Sadock et al.,
2007)

Setelah ingatan pulih pada gangguan disosiatif dengan amnesia atau


pada gangguan disosiatif lain tanpa adanya amnesia, pengobatan
bertujuan untuk memberikan makna pada trauma atau konflik yang
mendasarinya, menyelesaikan masalah sebagai stressor munculnya
gejala. Mengaktifkan pasien untuk melanjutkan hidup mereka. Seorang
psikiater dapat membantu pasien untuk mengeksplorasi bagaimana
mereka menangani jenis situasi, konflik, dan emosi yang memicu gejala
dan dengan demikian mengembangkan tanggapan yang lebih baik
terhadap kejadian tersebut dan membantu mencegah agar tidak berulang
(Spiegel, etc., 2015)

Wawancara psikiatrik, wawancara yang dibantu dengan obat, dan


hipnosis dapat membantu mengungkapkan kepada terapis dan pasien
mengenai stresor psikologis yang mencetuskan munculnya gejala.
Psikoterapi diindikasikan untuk membantu pasien menyatukan stressor
pencetus ke dalam jiwa mereka dengan cara yang sehat dan terintergrasi.
Terapi pilihan gangguan konversi adalah psikoterapi, psikodinamik, dan
ekspresif suportif. Teknik yang paling banyak digunakan adalah
psikoterapi berorientasi tilikan, abreaksi trauma masa lalu, dan integrasi
trauma tersebut ke dalam diri yang menyatu yang tidak lagi membutuhkan
pemisahan untuk menghadapi trauma tersebut (Sadock, 2007).
Selanjutnya pengobatan dilakukan disesuaikan dengan gejala. Terapi
mencakup beberapa kombinasi metode

2.8.1 Amnesia Disosiatif

Menurut Sadock (2015), Spiegel etc (2015), Terapi Amnesia


disosiatif terbagi menjadi 4, antara lain:

1. Terapi Kognitif

42
Terapi kognitif memiliki manfaat spesifik pada orang-
orang yang memiliki trauma. Dengan menggali lebih
dalam soal trauma pasien, ingatan pasien yang
hilang dapat muncul kembali. Hal yang harus
diperhatikan adalah dengan seiringnya ingatan yang
kembali maka ingatan akan peristiwa yang traumatik
bisa memunculkan keluhan lainnya seperti cemas
dan depresi.
2. Hipnotis
Hipnosis dapat digunakan dalam sejumlah cara
berbeda dalam pengobatan amnesia disosiatif.
Secara khusus, hipnotis dapat digunakan untuk
menampung, memodulasi, dan mentitrasi intensitas
gejala; untuk memfasilitasi ingatan terkontrol
terhadap ingatan yang terpisah; untuk memberikan
dukungan dan penguatan ego bagi pasien; dan untuk
menyatukan integrasi ingatan yang terpisah. Selain
itu, pasien bisa diajari self-hypnosis untuk
menerapkan teknik penahanan dan penenang dalam
kehidupan kesehariannya.

3. Terapi Somatik
Tidak ada farmakoterapi yang diketahui untuk
amnesia disosiatif selain wawancara yang difasilitasi
secara farmakologis. Obat-obatan yang digunakan
antara lain golongan sodium amobarbital, thiopental
(Pentothal), benzodiazepin oral, dan amfetamin.
Wawancara farmakologis yang difasilitasi dengan
menggunakan amobarbital intravena atau diazepam
(Valium) digunakan terutama dalam bekerja dengan
akut amnesia dan reaksi konversi. Prosedur ini juga
kadang-kadang berguna dalam kasus refrakter

43
amnesia disosiatif kronis saat pasien tidak
menanggapi intervensi lainnya. Ingatan yang muncul
saat pasien dalam keadaan memakai obat harus
diproses kembali oleh pasien yang dalam keadaan
sadar sepenuhnya.
4. Psikoterapi kelompok
Psikoterapi jangka penek maupun jangka panjang
dilaporkan telah berhasil memberikan manfaat pada
veteran tempur dengan PTSD dan untuk korban
penyiksaan masa kecil. Selama sesi kelompok,
pasien dapat memulihkan ingatan bagi yang
mengalami amnesia. Sesama anggota kelompok dan
terapis harus memberikan dukungan unuk
memberikan hasil yang signifikan.

2.8.2 Gangguan Depersonalisasi / Derealisasi

Beberapa bukti sistematis menunjukkan bahwa


antidepresan SSRI, seperti Suoxetine (Prozac), dapat
membantu pasien dengan gangguan depersonalisasi. Terapi
menggunakan Suvoxamine (Luvox) dan Lamotrigin (Lamictal)
tidak memberikan manfaat dari dua studi double-blind dan
placebo-controlled baru-baru ini. Pasien-pasien dengan
gangguan depersonalisasi jarang memiliki respon yang baik
terhadap kelompok obat antidepresan, mood stabilizer, tipikal
dan atipikal neuroleptik, antikonvulsan, dan sebagainya.
Banyak tipe psikoterapi yang telah digunakan seperti
psikodinamik, kognitif, perilaku kognitif, hypnotherapeutic, dan
suportif namun banyak pasien yang tidak memiliki respon
kuat. Strategi manajemen stres, teknik pengalih perhatian,
pengurangan stimulasi sensorik, latihan relaksasi, dan latihan
fisik berespon baik pada beberapa pasien (Sadock etc., 2015,
CCF, 2016) .

44
2.8.3 Fugue Disosiatif

Fugue disosiatif biasanya diobati dengan psikodinamik


yang berfokus untuk membantu pasien memulihkan ingatan
akan identitas dan pengalaman, teknik yang digunakan
berorientasi tilikan. Wawancara hipnoterapi dan wawancara
dengan farmakologis merupakan teknik tambahan untuk
mengembalikan memori penderita. Pasien akan memerlukan
perawatan medis, makanan, dan kebutuhan tidur selama
periode fugue., sehingga harus dirawat inapkan. Dokter juga
harus bersiap menghadapi kemunculan ide bunuh diri atau
ide-ide merusak diri sendiri dan impuls trauma maupun stres.
Masalah keluarga, seksual, pekerjaan, atau hukum yang
merupakan penyebab episode fugue akan muncul seiring
dengan ingastan yang pulih sehungga dukungan keluarga dan
sosial diperlukan (Saddock et al., 2007; 2015)

Identitas baru yang diciptakan penderita biasanya


merupakan identitas yang melindunginya dari trauma-trauma
di masa lampau. Sehingga tujuan terapeutik bukanlah
menyalahkan identitas yang baru atau menjelaskan bahwa
selama ini yang dialami penderita tidak nyata, tetapi
menghargai pentingnya informasi psikodinamik yang
terkandung di dalam kepribadian yang berubah. Hasil
terapeutik yang paling diinginkan adalah perpaduan identitas
baru dengan mengintegrasikan kenangan akan pengalaman
yang memicu fugue (Sadock et al., 2015)

2.8.4 Gangguan Identitas Disosiatif

Gangguan Identitas Disosiatif menurut Saddock etc


(2015), Saddock etc (2007) dibagi menjadi 5 terapi utama dan
4 terapi tambahan

1. Psikoterapi.

45
Psikoterapi yang sukses untuk pasien dengan
gangguan identitas disosiatif mengharuskan dokter
merasa nyaman dengan berbagai intervensi
psikoterapeutik dan bersedia untuk secara aktif
bekerja untuk menyusun pengobatan. Modalitasnya
terdiri atas: psikoterapi psikoanalitik, terapi kognitif,
terapi perilaku, hipnoterapi, penatalaksanaan
psikofarmakologis penderita dengan trauma. Dokter
harus memberikan kenyamanan, menganggap
pasien seperti keluarganya sendiri karena pasien
secara subjektif mengalami dirinya sebagai sistem
kompleks diri dengan aliansi, hubungan keluarga,
dan konflik intragroup.
2. Terapi Kognitif
Banyak gangguan identitas disosiatif yang hanya
responsif terhadap kognitif terapi, namun intervensi
kognitif yang sukses dapat menyebabkan disforia
tambahan. Kognitif terapi fokus pada pengendalian
gejala dan pengelolaan aspek-aspek kehidupan
yang memilikki disfungsi
3. Hipnosis.
Intervensi hypnotherapeutic seringkali dapat
meredakan impuls yang merusak diri sendiri atau
mengurangi gejala, seperti kilas balik, halusinasi
disosiatif, dan pengalaman pengaruh pasif.
Mengajarkan self-hypnosis pasien dapat membantu
mengatasi gejala yang muncul sewaktu-waktu.
Hipnosis dapat berguna untuk mengakses
kepribadian pasien yang disembunyikan dan
ingatan yang hilang. Hipnosis juga digunakan untuk
menciptakan keadaan mental yang rileks dimana

46
kejadian kehidupan negatif dapat diperiksa tanpa
kegelisahan yang luar biasa.
4. Intervensi Psikofarmakologis.
Obat antidepresan seringkali penting dalam
mengurangi depresi dan stabilisasi mood.
Antidepresan SSRI, trisiklik, dan monamin oksidase
(MAO), -blocker, clonidine (Catapres),
antikonvulsan, dan benzodiazepin berhasil dalam
mengurangi gejala intrusif, hiperperousal, dan
kegelisahan pada pasien dengan gangguan
identitas disosiatif. Penelitian terbaru menunjukkan
bahwa 1 Antagonis antagonis prazosin (Minipress)
sangat membantu untuk mimpi buruk PTSD.
Beberapa laporan kasus menunjukkan
karbamazepin (Tegretol) berespon pada beberapa
individu dengan kelainan EEG. Pasien dengan
gejala obsesif-kompulsif dapat merespons
antidepresan dengan khasiat antiobsesif. Studi label
terbuka menunjukkan bahwa naltrexone (ReVia)
dapat membantu untuk memperbaiki perilaku
merugikan diri secara berulang pada pasien yang
mengalami trauma. Neuroleptik atipikal, seperti
risperidone (Risperdal), quetiapine (Seroquel),
ziprasidone (Geodon), dan olanzapine (Zyprexa)
lebih efektif dan lebih baik ditoleransi daripada
neuroleptik khas untuk kecemasan yang berlebihan
dan gejala PTSD yang mengganggu pada pasien
dengan gangguan identitas disosiatif. Untuk pasien
dengan gangguan identitas disosiatif yang parah
dan tidak berespon dengn berbagai obat dapat
berhasil dengan clozapine (Clozaril)
5. Terapi Electroconvulsive.

47
Bagi beberapa pasien, ECT sangat membantu
dalam memperbaiki gangguan mood refrakter dan
tidak memperburuk gangguan memorinya. ECT
juga merupakan terapi paling ampuh untuk
menghilangkan gejala somatik pasien dengan
ganggi=uan identitas disosiatif, meskipun respon
hanya parsial.

Terapi Tambahan (Adjunctive)

1. Terapi kelompok (Group Theraphy)


Pada terapi kelompok, munculnya kepribadian lain bisa
muncul dengan adanya integrasi kelompok dengan
keinginan untuk diperhatikan maupun keinginan untuk
mengintimidasi pasien lain. Kelompok terapi hanya
terdiri dari pasien dengan gangguan disosiatif.
2. Terapi Keluarga (Family Theraphy)
Terapi keluarga atau pasangan seringkali penting
untuk stabilisasi jangka panjang. Dengan edukasi cara
penanganan penderita gangguan identitas disosiatif,
keluarga dapat memberikan mekanisme coping yang
lebih pada penderita atas dasar cinta anggota
keluarga. Terapi seks juga merupakan bagian penting
dari terapi, karena pasien dengan gangguan identitas
3. Terapi Ekspresif dan Occupational.
Terapi ekspresif dan pekerjaan, seperti terapi seni dan
gerakan, telah terbukti sangat membantu dalam
perawatan pasien dengan gangguan identitas
disosiatif. Terapi seni dapat digunakan untuk
membantu penahanan dan penataan gangguan
identitas disosiatif yang parah dan gejala PTSD, serta
memungkinkan pasien ini mengekspresikan pikiran
dengan lebih aman, perasaan, citra mental, dan konflik

48
sehingga mereka mengalami kesulitan untuk
verbalisasi. Terapi gerakan dapat memfasilitasi
normalisasi rasa tubuh dan gambar tubuh untuk pasien
yang sangat trauma ini
4. Desensitisasi Gerakan Mata dan Proses Ulang
(EMDR).
EMDR adalah pengobatan yang baru saja dianjurkan
untuk PTSD. Ada ketidaksepakatan dalam literatur
tentang kegunaan dan keefektifan modalitas
pengobatan ini, namun beberapa pihak berwenang
percaya bahwa EMDR dapat digunakan sebagai
tambahan yang membantu untuk tahap pengobatan
selanjutnya. Pedoman pengobatan gangguan disosiatif
menunjukkan bahwa EMDR hanya digunakan pada
klinisi yang telah telah terlatih menggunakan EMDR,
berpengetahuan dan terlatih mengatasi pasien dengan
gangguan identitas disosiatif.

2.8.5 Gangguan Disosiatif yang Tidak Tergolongkan

Tidak ada studi pengobatan yang sistematis yang


dilakukan, mengingat kelangkaan kondisi ini. Dalam
kebanyakan laporan kasus, pasien Dirawat inap di
rumah sakit dan telah dilengkapi dengan lingkungan
yang protektif dan suportif. Dalam beberapa kasus, obat
antipsikotik dosis rendah telah dilaporkan bermanfaat.
Hypnosis dan amfosintesis amobarbital juga telah
berhasil digunakan untuk membantu Biasanya,
kembalinya fungsi normal yang relatif cepat terjadi
dalam beberapa hari, walaupun beberapa kasus
mungkin memerlukan waktu satu bulan atau lebih
(Saddock etc., 2015).

49
2.9 Komplikasi

Orang-orang dengan gangguan disosiatif beresiko besar mengalami


komplikasi seperti:
1. Melukai diri sendiri (self-harm)
Pasien dengan kondisi gangguan disosiatif sering melakukan
kegiatan melukai diri sendiri dengan menggunakan benda tajam.
2. Pikiran untuk bunuh diri (suicidal thought)
Seperti dijelaskan dalam DSM edisi V, pada kondisi gangguan
identitas disosiatif didapatkan lebih dari 70% penderita telah
melakukan beberapa kali percobaan bunuh diri. Hal ini juga
berkaitan dengan metode melukai diri sendiri dengan benda tajam.
3. Gangguan seksual
Kondisi ini berkaitan dengan faktor predisposisi gangguan disosiatif
berupa pelecehan seksual yang dialami pasien pada masa lalu.
Trauma yang terjadi bisa memunculkan gangguan orientasi seksual
maupu fungsi seksual pada pasien.
4. Psychogenic non-epileptic seizure
Psychogenic non-epileptic seizure (PNES) merupakan episode
kejang yang menyerupai epilepsi yang berasal dari emosional
dibandingkan organik. Dalam penelitian yang dilakukan oleh kruijs
et al (2014), pasien dengan PNES menunjukkan adanya
peningkatan pada skor dissosiasi, penurunan kemampuan kognitif,
serta peningkatan kontribusi dari kortex orbitofrontal, insular, dan
subcallosal.
5. Komplikasi lain yang dapat terjadi pada gangguan disosiatif adalah
gangguan saat tidur,mimpi buruk, insomnia atau berjalan sambil
tidur, gangguan kecemasan, serta gangguan makan.

50
BAB III
PENUTUP

Gangguan disosiatif adalah gangguan dengan terganggunya fungsi


integrasi kesadaran, ingatan, identitas atau persepsi terhadap lingkungan sekitar
sebagai karakteristiknya. Gangguan tersebut dapat terjadi secara mendadak
atau gradual, sementara (transien) atau kronik. (Kaplan & Sadocks,2014)
Gangguan disosiatif biasanya muncul sebagai respon terhadap kejadian
traumatik, untuk menjaga memori tersebut tetap terkontrol. Tekanan dari
lingkungan dapat memperburuk gangguan menyebabkan terganggunya
kemampuan melakukan kegiatan sehari-hari. (NAMI,2015)
Etiologi dari gangguan disosiatif belum dapat diketahui penyebab
pastinya. Biasanya terjadi akibat trauma masa lalu yang berat, namun tidak ada
gangguan organik yang dialami. Gangguan ini terjadi pertama pada saat anak-
anak namun tidak khas dan belum bisa teridentifikasikan, dalam perjalanan
penyakitnya gangguan disosiatif ini bisa terjadi sewaktu-waktu dan trauma masa
lalu pernah terjadi kembali, dan berulang-ulang sehingga terjadinya gejala
gangguan disosiatif. Dalam beberapa referensi menyebutkan bahwa trauma
yang terjadi berupa kepribadian yang labil, pelecehan seksual, pelecehan fisik,
kekerasan rumah tangga, lingkungan sosial yang sering memperlihatkan
kekerasan.
Penyebab dari gangguan cemas masih belum jelas diketahui , terdapat
beberapa teori yang sering digunakan dalam menentukan diagnosis dan
memberi terapi pada pasien, yaitu teori psikodinamik, teori perilaku, teori
perilaku-kognitif dan teori biologis.
Menurut North, pada orang dengan gangguan disoaistif akan ditemukan
gangguan-gangguan, yaitu gangguan identitas, gangguan amnesia, fugue
disosiatif, depersonalisasi, dan derealisasi. Gangguan identitas disosiatif adalah
gangguan disosiatif dimana seseorang memiliki dua atau lebih kepribadian yang
berbeda atau kepribadian pengganti (alter). Gagguan amnesia disosiatif yaitu
kehilangan memori karena penyebab psikologik. Paling sering amnesia
anterograde secara tiba-tiba setelah suatu stres fisik atau psikososial. Fugue

51
disosiatif, memori yang hilang lebih luas dari pada amnesia disosiatif, individu
tidak hanya kehilangan seluruh ingatanya (misalnya nama, keluarga atau
pekerjaanya), mereka secara mendadak meninggalkan rumah dan pekerjaanya
serta memiliki identitas yang baru (parsial atau total). Depersonalisasi yaitu
kehilangan atau perubahan temporer dalam perasaan yang biasa mengenai
realitas diri sendiri. Dalam suatu tahap depersonalisasi, orang merasa terpisah
dari dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya. Dan derealisasi yaitu perasaan
tidak nyata mengenai dunia luar yang mencakup perubahan yang aneh dalam
persepsi mengenai lingkungan sekitar, atau dalam perasaan mengenai periode
waktu juga dapat muncul (North, 2015)
Tujuan pengobatan untuk gangguan konversi adalah untuk
menghilangkan gejala, untuk memastikan pasien dan orang-orang disekitarnya
aman, dan untuk "menyambungkan kembali" orang tersebut dengan kenangan
yang hilang. Pengobatan juga bertujuan untuk membantu orang tersebut (CCF,
2016):

1. Dapat menangani dan mengelola kejadian yang menyakitkan;


2. Mengembangkan keterampilan dan keterampilan hidup baru;
3. Kembali berfungsi semaksimal mungkin; dan
4. Memperbaiki hubungan.

52
DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental


Disorders, Fifth Edition (DSM-5). Arlington, VA: American Psychiatric
Publishing, 2013.

Benjamin J. Sadock, Virginia A. Sadock, Pedro Ruiz . Kaplan & Sadocks:


Synopsis of Psychiatry: Behavorial Sciences/Clinical Psychiatry. Edisi 11.
New York. Wolters Kluwer Health, 2014. Hal 665.

Bourgeois at al. 2012. Psychiatry Review and Canadian Certification Exam


Preparation Guide (online)
(https://books.google.co.id/books?hl=en&lr=&id=f_L9Q-
OLFOAC&oi=fnd&pg=PA277&dq=fugue+dissociative&ots=cWJaIYLpda&sig=
65GoiE9UbolVcOza3pSKS_rOf1Y&redir_esc=y#v=onepage&q=fugue%20dis
sociative&f=false, Diakses pada 5 Agustus 2017)
Cleveland Clinic Foundation (CCF). 2016. Dissociative Amnesia. Tidak
diterbitkan. https://my.clevelandclinic.org/health/articles/dissociative-amnesia.
Diakses tanggal 06-08-2017 pukul 07:43.
Maslim, Rusdi. 2003. Pedoman Praktis Diagnosis Gangguan Jiwa III. Jakarta : Pt
Nuh Jaya
Mind. Understanding Dissosiative Disorders. Edisi Revisi. London: Mind (National
Association for Mental Health). 2016. Hal 3-4.
https://www.nami.org/Learn-More/Mental-Health-Conditions/Dissociative-
Disorders . March 2015
North, C. S. (2015). The Classification of Hysteria and Related Disorders:
Histrorical and Phenomenological Consideration. Behavioral Sciences , 496-
517.
Sadock, Benjamin James & Virginia Alcott Sadock. 2010. Kaplan & Sadocks
Concise Textbook of Clinical Psychiatry. Jakarta. ECG: 2010

53
Sar, V. (2012). Epidemiology of Dissociative Disorders: An Overview.
Epidemiology Research International, vol. 2012, Article ID 404538, 8 pages,
2012
Spiegel, David, Jack Lulu, Sam Wilson. Dissociative Amnesia. Unpublished.
https://www.merckmanuals.com/professional/psychiatric-
disorders/dissociative-disorders/dissociative-amnesia. Diakses tanggal 06-08-
2017 pukul 15:34
Staniloiu. 2014. Dissociative amnesia. Germany: Physiological Psychology,
University of Bielefeld, Bielefeld journal. Lancet Psychiatry 2014; 1: 22641
Tada at al, 2012. Dissociative Stupor Mimicking Consciousness Disorder in an
Advanced Lung Cancer Patient. Tokyo : Japanese Journal of clinical
oncology. Jpn J Clin Oncol 2012;42(6)548 551

54

You might also like