You are on page 1of 29

SASARAN BELAJAR

LI 1 MM Anatomi Saluran Pernafasan Atas

LO 1.1 Makroskopik

LO 1.2 Mikroskopik

LI 2 MM Fisiologi dan Mekanisme Pertahanan Saluran Pernafasan Atas

LO 2.1 Fisiologi

LO 2.2 Mekanisme

LI 3 MM Rhinitis Alergi

LO 3.1 Definisi

LO 3.2 Klasifikasi

LO 3.3 Etiologi

LO 3.4 Patofisiologi

LO 3.5 Manifestasi Klinis

LO 3.6 Diagnosis dan Diagnosis Banding

LO 3.7 Tatalaksana dan Pencegahan

LO 3.8 Komplikasi

LO 3.9 Prognosis

LI 4 MM Antihistamin, Kortikosteroid, dan Nasal Dekongestan

LO 4.1 Farmakokinetik

LO 4.2 Farmakodinamik

LO 4.3 Efek Samping

LI 5 MM Menjaga Sistem Respirasi dalam Islam


LI 1 MM Anatomi Saluran Pernafasan Atas

LO 1.1 Makroskopik

Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid hidung dan rongga hidung dengan
pendarahan serta persarafannya, serta fisiologi hidung. Hidung luar berbentuk piramid
dengan bagian-bagian dari atas ke bawah: pangkal hidung, dorsum nasi, kolumela, puncak
hidung, ala nasi, dan lubang hidung.

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan
lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os nasalis), prosesus frontalis os
maksila dan prosesus nasalis os frontal, sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari
beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu sepasang kartilago
nasalis lateralis superior, sepasang kartilago nasalis inferior yang disebut juga sebagai
kartilago ala mayor, beberapa pasang kartilago ala minor dan tepi anterior kartilago septum.

Rongga hidung atau cavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang,
dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya menjadi cavum nasi kanan dan kiri. Pintu
atau lubang masuk cavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang
disebut nares posterior (choanae) yang menghubungkan cavum nasi dengan nasofaring.

Bagian dari cavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang nares
anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak
kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrase. Tiap cavum nasi
mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior.

Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang
rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os
maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum (lamina
kuadrangularis) dan kolumela. Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan
dan periostium pada bagian tulang,sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung.

Terdapat concha - concha yang mengisi sebagian besar dinding lateral hidung. Yang
terbesar dan letaknya paling bawah ialah concha inferior, kemudian yang lebih kecil ialah
concha media, lebih kecil lagi ialah concha superior, sedangkan yang terkecil disebut concha
ini biasanya rudimenter.
concha inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin
etmoid, sedangkan concha media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin
etmoid.

Di antara concha-concha dan dinding lateral hidung terdapat ronga sempit yang disebut
meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak
di antara concha inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral ronga hidung. Pada meatus
inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis.

Meatus medius terletak di antara concha media dan dinding lateral rongga hidung. Pada
meatus medius terdapat pula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus semilunaris dan infundibulum
etmoid. Hiatus semilunaris merupakan suatu celah sempit melengkung dimana terdapat
muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior.

Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara concha superior dan concha media
terdapat sinus etmoid terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. Dinding
inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum.
Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang
memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung.

Disekitar rongga hidung terdapat rongga yang diisi udara yang disebut sinus paranasalis:

Sinus sphenoidalis : mengeluarkan sekresinya melalui meatus superior


Sinus frontalis : ke meatus media
Sinus maxillaris : ke meatus media
Sinus Etmoidalis : ke meatus superior dan media

Pharynx
Tuba eustachii terdapat pada nasofarings yang berfungsi menyeimbangkan udara pada
kedua sisi membrana tympani. Bila tekanan tidak sama telinga tarasa sakit, misal pada saat
naik pesawat udara. Orofarings dipisahkan dari mulut oleh fauces pada fauces Tonsila. Pada
larings farings bertemu sistem pernapasan dan sistem pencernaan. Udara melalui bagian
anterior ke larings. Makanan melalui bagian posterior ke esofagus melalui epiglotis yang
flexible.

Larynx

Terbentuk oleh tulang dan tulang rawan yaitu satu buah os hyoid, 1 tiroid, 1 epiglotis, 2
arytenoid. Berbentuk segi lima yang disebut cavum laringis bagian atas aditus laringis
sementara bagian bawah disebut kartilago cricoid.

Disamping berfungsi sebagai saluran pernapasan juga berfungsi menghasilkan suara melalui
getaran pita suara. Larings ditunjang oleh tulang rawan:
kartilago thyroidea
kartilago cricoidea
Intensitas, volume atau kerasnya suara ditentukan oleh jumlah udara yang melalui pita suara.
Hasil akhir ditentukan oleh perubahan posisi bibir, lidah dan palatum molle.

Os.Hyoid

Terbentuk dari jaringan tulang, seperti besi telapak kuda.

Mempunyai 2 cornu: cornu majus dan cornu minus.


Dapat diraba pada batas antara batas atas leher dengan pertengahan dagu.
Berfungsi tempat perlekatan otot mulut dan cartilago thyroid.
Cartilago Thyroid

Terletak di bagian depan dan dapat diraba tonjolan yang dikenal dengan Prominens
laryngis atau Adams Aplle sehari-hari disebut jakun lebih jelas pada laki-laki.
Melekat keatas dengan os.hyoid dan kebawah dengan cartilago cricoid, kebelakang
dengan arytenoid.
Jaringan ikatnya adalah membrana thyrohyoid.
Mempunyai cornu superior dan cornu inferior
Pendarahan cornu superior dan cornu inferior.
Pendarahan dari a.thyroidea superior dan inferior.

Cartilago Arytenoid

Terletak posterior dari lamina cartilago thyroid dan diatas dari cartilago cricoid.
Mempunyai bentuk seperti burung pinguin, ada cartilago cornuculata dan cuneiforme
Kedua arytenoid dihubungkan oleh m.arytenoideus tranversus

Epiglotis

Tulang rawan berbentuk sendok


Melekat diantara kedua cartilago arytenoid
Berfungsi membuka dan menutup aditus laryngis
Berhubungan dengan cartilago arytenoid melalui m.aryepiglotica

Cartilago cricoid

Batas bawah cartilago thyroid (daerah larynx)


Berhubungan dengan thyroid dengan ligamentum cricothyroid dan m.cricothyroid
medial lateral
Batas bawah adalah cincin pertama trachea
Berhubungan dengan cartilago arytenoid dengan otot m.cricoarytenoideus posterior
dan lateralis

Otot ekstrinsik : m.cricoaryhtenoideus, m. Thyroepigloticus, m.thyroarytenoideus.


Dipersarafi oleh nervus laringis superior

Otot intrinsik : m.cricoarytenoideus posterior, m.cricoarytenoideus lateralis, m.arytenoideus


obliq dan transverses, m.vocalis, m.arypiglotica. Dipersarafi oleh nervus laringis inferior atau
yg sering disebut dengan nervus reccurens laringis.

Terdapat pula plica vocalis dan plica vestibularis, dalam plica vocalis ada rima glottis dan
plica vestibularis ada rima vestibularis. otot m.cricoarytenoideus posterior sering disebut juga
safety muscle of larynx, karena berfungsi menjaga agar rima glottis tetap membuka.
Pendarahan Hidung

Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari a.etmoid anterior dan posterior
yang merupakan cabang dari a.oftalmika, sedangkan a.oftalmika berasal dari a. karotis
interna.

Bagian bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang a.maksilaris interna,
diantaranya ialah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari foramen
sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung
posterior concha media.Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a.
fasialis.

Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina,


a.etmoid, a.labialis superior, a.palatina mayor, yang disebut pleksus Kiessebach (Littles
area) letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber
epitaksis (perdarahan hidung), terutama pada anak.

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan
arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vestibulum dan struktur
luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena
di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya
penyebaran infeksi sampai ke intrakranial.

Persarafan Hidung

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis
anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus (N.V-1).
Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui
ganglion sfenopalatina.

Ganglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga memberikan


persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut-
serabut sensoris dari n.maksila (n.V-2), serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis
mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatina
terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior concha media.

Nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina cribrosa dari permukaan bawah bulbus
olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidung pada mukosa olfaktorius
di daerah sepertiga atas hidung.

LO 1.2 Mikroskopik
Gambar 6. Gambaran umum sistem respirasi (Cui, 2011)
Secara fungsional, saluran pernafasan dibagi menjadi dua, yaitu bagian konduksi (bagian
yang mentransport udara) dan bagian respiratori (tempat pertukaran gas). Bagian
konduksi meliputi saluran pernafasan atas dan saluran pernafasan bawah, sementara
bagian respiratori meliputi bronchiolus respiratori, ductus alveolaris, sacus alveolaris dan
alveoli.

Bagian Konduksi
a. Saluran pernafasan atas

Gambar 7. Vestibulum nasi (Cui, 2011).

Cavitas nasalis memiliki sepasang ruangan yang dipisahkan oleh septum nasi; udara
yang melewati cavitas ini dilembabkan dan dihangatkan sebelum masuk ke paru-
paru. Terdapat 3 jenis epitel yang ada pada cavitas nasalis, yaitu:
a) regio vestibularis dilapisi oleh sel epitel gepeng berlapis,
b) regio mucosa nasal dilapisi oleh epitel respiratori, dan
c) mucosa olfactorius dilapisi oleh epitel olfactori yang terspesialisasi.

Gambar 8. Membrana mucosa nasalis. Pada kasus infeksi saluran pernfasan atas,
ataupun karena reaksi alergi, dapat terjadi inflamasi pada mucosa hidung (terutama
concha inferior), sehingga menghambat udara yang masuk melalui cavitas nasalis.
Kondisi ini disebut rhinitis. (Cui, 2011)
Gambar 9. Epiglottis (Cui, 201)

Laring merupakan jalur pendek yang menghubungkan faring dengan trake; fungsi
utamanya adalah untuk menghasilkan suara dan untuk mencegah makanan/minuman
masuk ke trakea. Bangunan yang terdapat di laring antara lain epiglottis, pita suara,
dan sembilan kartilago yang terletak pada dindingnya (termasuk juga cartilago
thyroidea atau jakun). Epiglottis dilapisi oleh dua jenis sel epitel, yaitu sel epitel
gepeng berlapis (pada bagian lingual) dan sel epitel respiratori (pada bagian
laringeal).

b. Saluran pernafasan bawah

Gambar 10. Trakea (Cui, 2011)

Trakea merupakan penampang yang fleksibel, fungsinya adalah untuk


menghubungkan laring dengan bronchus primer. Panjangnya adalah sekitar 10-12
cm, dan diameternya adalah 2-2.5 cm. Posisinya adalah anterior dari esofagus.
Strukturnya terdiri dari mucosa, submucosa, tulang rawan hyaline, dan adventitia. (1)
Mucosa melapisi bagian dalam dari trakea, dan terdiri dari epitel respiratori serta
lamina propia. (2) pada submucosa terdapat jaringan penyambung yang lebih padat
dari lamina propia. (3) Tulang rawan hyaline memiliki bentuk yang sangat khas,
yaitu seperti huruf C (beberapa hewan, misalnya tikus, memiliki tulang rawan
hyaline berbentuk O), dan jumlahnya adalah sebanyak 16-20 cincin sepanjang trakea.
(4) Adventitia terdiri dari jaringan penyambung, yang melapisi bagian luar dari
tulang rawan dan menghubungkan trakea ke jaringan sekitarnya.
LI 2 MM Mekanisme Pertahanan Saluran Pernafasan Atas

LO 2. Mekanisme

Hidung merupakan penjaga utama dari udara yang masuk pertama kali. Dalam sehari,
kita menghirup sekitar 10.000-20.000 liter udara. Fungsi hidung selain sebagai jalan masuk
udara, menghangatkan udara, dan melembabkan udara, juga sebagai penyaring udara.
Mekanisme pertahanan utama dari saluran napas adalah epitel permukaannya yang cukup
istimewa yaitu epitel respiratorius atau epitel bertingkat (berlapis semu) silindris
bersilia dan bersel goblet.
Epitel ini terdiri dari lima macam jenis sel yaitu:
1. Sel silindris bersilia: sel terbanyak (1 sel mengandung 300 silia). Silia
ini terus bergerak utuk menangkap dan mengeluarkan partikel asing.
2. Sel goblet mukosa: bagian apikal mengandung droplet mukus yang
terdiri dari glikoprotein.
3. Sel sikat (brush cells): sel yang memiliki ujung saraf aferen pada
permukaan basal (reseptor sensorik penciuman).
4. Sel basal (pendek)
5. Sel granul kecil: mirip sel basal tetapi mempunyai banyak granul
dengan bagian pusat yang padat.

Lamina propria dibawah dari epitel ini banyak mengandung pembuluh darah yang
berguna untuk menghangatkan udara masuk serta dibantu dengan silia yang membersihkan
udara dari partikel asing dan kelenjar serosa dan mukosa yang melembabkan udara
masuk.Kombinasi hal ini memungkinkan tubuh untuk mendapatkan udara lembab, hangat
serta bersih.

Selain itu, epitel respiratorius dilapisi oleh 5-10 m lapisan mukus gelatinosa (fase gel)
yang mengambang pada suatu lapisan cair yang sedikit lebih tipis (fase sol).Lapisan
gel/mukus dan cair/sol mengandung mekanisme pertahanan imunitas humoral dan seluler.
1. Lapisan gel terdiri atas albumin, glikoprotein, IgG, IgM, dan faktor
komplemen.
2. Lapisan cair terdiri atas sekresi serosa, laktoferin, lisozim, inhibitor sekresi
leukoprotease, dan sekretorik IgA.
Silia pada sel-sel epitel berdenyut secara sinkron, sehingga ujungnya dijumpai pada fase
gel dan menyebabkannya bergerak ke arah mulut, membawa partikel dan debris seluler
bersamanya (transpor mukosilier atau bersihan).Banyak faktor dapat mengganggu
mekanisme tersebut, termasuk peningkatan viskositas atau ketebalan mukus, membuatnya
lebih sulit untuk bergerak (misalnya peradangan, asma), perubahan pada fase sol yang
menghambat gerakan silia atau mencegah perlekatan pada fase gel dan gangguan aktivitas
silia (diskinesia silia).Transpor mukosilier ini menurun performanya akibat merokok, polutan,
anestetik, dan infeksi serta pada fibrosis kistik dan sindrom silia imotil kongenital yang
jarang terjadi.Transpor mukosilier yang berkurang menyebabkan infeksi respirasi rekuren
yang secara progresif merusak paru, misalnya bronkiektasis.Pada keadaan tersebut dinding
bronkus menebal, melebar, dan meradang, secara permanen.

Mukus (sekret kelenjar) dihasilkan oleh sel-sel goblet pada epitel dan kelenjar
submukosa.Unsur utamanya adalah glikoprotein kaya karbohidrat yang disebut musin yang
memberikan sifat seperti gel pada mukus.Fluiditas dan komposisi ionik fase sol dikontrol
oleh sel-sel epitel. Mukus mengandung beberapa faktor yang dihasilkan oleh sel-sel epitel
dan sel lain atau yang berasal dari sel plasma: antiprotease seperti 1-antitripsin yang
menghambat aksi protease yang dilepaskan dari bakteri dan neutrofil yang mendegradasi
protein, defisiensi 1-antitripsin merupakan predisposisi terjadinya gangguan elastin dan
perkembangan emfisema. Protein surfaktan A, terlepas dari aksinya pada tegangan
permukaan, memperkuat fagositosis dengan menyelubungi atau mengopsonisasi bakteri dan
partikel-partikel lain. Lisozim disekresi dalam jumlah besar pada jalan napas dan memiliki
sifat antijamur dan bakterisidal; bersama dengan protein antimikroba, laktoferin, peroksidase,
dan defensin yang berasal dari neutrofil, enzim tersebut memberikan imunitas non spesifik
pada saluran napas.

Imunoglobulin sekretori (IgA) adalah imunoglobulin utama dalam sekresi jalan napas
dan dengan IgM dan IgG mengaglutinasi dan mengopsonisasi partikel antigenik; IgA juga
menahan perlekatan mikroba ke mukosa.IgA sekretori terdiri dari suatu dimer dua molekul
IgA yang dihasilkan oleh sel-sel plasma (limfosit B teraktivasi) dan suatu komponen sekretori
glikoprotein.Komponen tersebut dihasilkan pada permukaan basolateral sel-sel epitel,
tempatnya mengikat dimer IgA.Kompleks IgA sekretori kemudian dipindahkan ke
permukaan luminal sel epitel dan dilepaskan ke dalam cairan bronkial. Kompleks tersebut
merupakan 10% protein total dalam cairan lavase bronkoalveolar.
Jaringan Limfoid
Struktur jaringan limfoid membentuk sistem limfoid yang terdiri dari limfosit, sel
epitelial, dan sel stromal.Terdapat dua organ limfoid yaitu primer dan sekunder.Organ
limfoid primer merupakan tempat utama pembentukan limfosit (limfopoesis) yaitu timus dan
sumsum tulang. Limfosit dewasa yang diproduksi organ limfoid primer akan bermigrasi
menuju organ limfoid sekunder. Organ limfoid sekunder merupakan tempat terjadinya
interaksi antara limfosit dengan limfosit dan antara limfosit dengan antigen, dan diseminasi
respons imun.Organ limfoid sekunder yaitu limpa dan jaringan limfoid pada mukosa seperti
tonsil, BALT (bronchus-associated lymphoid tissue), GALT (gut-associated lymphoid
tissue)/Peyers patch. Sirkulasi limfe akan berlanjut menuju duktus torasikus yang akan
berhubungan dengan sistem pembuluh darah sehingga dapat mengirimkan berbagai unsur
sistem limfoid.
Di dalam jaringan limfoid mukosa (MALT) terdapat sel dendrit yang berasal dari
sumsum tulang.Sel dendrit berfungsi sebagai Antigen Presenting Cell (APC) dan mengirim
sinyal aktivasi kepada limfosit T naive atau virgin untuk memulai respon imun, karena itu sel
dendrit disebut juga imunostimulatory cells. Sel dendrit dapat mengekspresikan MHC-kelas
II sendiri pada level yang tinggi serta MHC-kelas I dan reseptor komplemen tipe 3. Sinyal
dari Th (CD4+) akan menginduksi limfosit untuk menghasilkan sitokin. Aktivasi limfosit B
dibantu oleh sel Th2 (IL-2, IL-4, IL-5) serta membentuk diferensiasi sel B menjadi klon yang
memproduksi antibodi berupa sekretorik IgA.MALT tidak ada di saluran napas bawah.

MEKANISME BATUK

Seluruh saluran nafas dari hidung sampai bronkiolus terminalis, dipertahankan agar tetap
lembab oleh selapis mukosa yang melapisi seluruh permukaan. Mukus ini disekresikan
sebagian oleh sel goblet dalam epitel saluran nafas, dan sebagian lagi oleh kelenjar
submukosa yang kecil. Batuk yang tidak efektif dapat menimbulkan penumpukan sekret yang
berlebihan, atelektasis, gangguan pertukaran gas dan lain-lain.

Mekanisme batuk dibagi menjadi 3 fase:

Fase 1 (Inspirasi)
Paru2 memasukan kurang lebih 2,5 liter udara, oesofagus dan pita suara menutup, sehingga
udara terjerat dalam paru-paru.

Fase 2 (Kompresi)
Otot perut berkontraksi, diafragma naik dan menekan paru2, diikuti pula dengan kontraksi
intercosta internus. Pada akhirnya akan menyebabkan tekanan pada paru2 meningkat hingga
100mm/hg.

Fase 3 (Ekspirasi)
Spontan oesofagus dan pita suara terbuka dan udara meledak keluar dari paru

MEKANISME BERSIN

Reflek bersin mirip dengan reflek batuk kecuali bahwa refleks ini berlangsung pada saluran
hidung, bukan pada saluran pernapasan bagian bawah. Rangsangan awal menimbulkan
refleks bersin adalah iritasi dalam saluran hidung, impuls saraf aferen berjalan dalam nervus
ke lima menuju medulla tempat refleks ini dicetuskan. Terjadi serangkaian reaksi yang mirip
dengan refleks batuk tetapi uvula ditekan, sehingga sejumlah besar udara dengan cepat keluar
melalui hidung, dengan demikian membantu membersihkan saluran hidung dari benda asing.

LI 3 MM Rhinitis Alergi

LO 3.1 Definisi

a. Rhinitis didefinisikan sebagai radang selaput hidung dan ditandai oleh kumpulan
gejala yang terdiri dari kombinasi berikut:. Bersin, hidung tersumbat, gatal hidung,
dan rhinorrhea Mata, telinga, sinus, dan tenggorokan juga dapat terlibat. Rhinitis
alergi adalah penyebab paling umum dari rhinitis. Ini adalah kondisi yang sangat
umum, mempengaruhi sekitar 20% dari populasi.
b. Rhintis alergi menurut WHO (2001) adalah kelainan pada hidung setelah mukosa
hidung terpapar oleh alergen yang dipreantai oleh igE dengan gejala bersin-bersin ,
rinore/keluar ingus encer , rasa gatal pada hidung dan hidung tersumbat.

LO 3.2 Klasifikasi

Dahulu rhinitis alergik dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya,


yaitu :
1. Rhinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)
Di Indonesia tidak dikenal rhinitis alergi musiman, hanya ada pada Negara yang
mempunyai 4 musim. Allergen penyebabnya spesifik yaitu tepung sari (pollen) dan
spora jamur. Oleh karena itu, nama yang tepat adalah polinosis atau rino
konjungtivitis karena gejala klinik yang tampak ialah gejala pada hidung dan mata
(mata merha, gatal disertai lakrimasi)
2. Rhinitis alergi sepanjang tahun (perennial)
Gejala pada penyakit ini timbul intermitten atau terus menerus, tanpa variasi
musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun. Penyebab yang paling sering ialah
allergen inhalan terutama pada orang dewasa dan allergen ingestan.

Saat ini digunakan klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Initiative
ARIA ( Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 :

LO 3.3 Etiologi

Penyebab rhinitis alergi mungkin berbeda tergantung pada apakah gejala musiman, abadi,
atau sporadis / episodik. Beberapa pasien yang sensitif terhadap beberapa alergen dan dapat
memiliki rhinitis alergi abadi dengan eksaserbasi musiman. Sementara alergi makanan dapat
menyebabkan rhinitis, terutama pada anak-anak, jarang penyebab rhinitis alergi dengan tidak
adanya gejala gastrointestinal atau kulit.

Rhinitis alergi musiman umumnya disebabkan oleh alergi terhadap serbuk sari musiman dan
jamur luar ruangan.

1. Serbuk sari (pohon, rumput, dan gulma)


Serbuk sari pohon, yang bervariasi dengan lokasi geografis, biasanya hadir dalam
jumlah tinggi selama musim semi, meskipun beberapa spesies menghasilkan serbuk
sari mereka di musim gugur. keluarga pohon umum yang terkait dengan rhinitis alergi
termasuk birch, oak, maple, cedar, zaitun, dan elm.

Serbuk sari rumput juga bervariasi berdasarkan lokasi geografis. Sebagian besar
spesies rumput umum yang berhubungan dengan rinitis alergi, termasuk Kentucky
bluegrass, kebun, Redtop, timothy, vernal, fescue padang rumput, Bermuda, dan rye
abadi. Sejumlah rumput ini adalah cross-reaktif, yang berarti bahwa mereka memiliki
struktur antigen yang sama (yaitu, protein diakui oleh IgE spesifik dalam sensitisasi
alergi). Akibatnya, orang yang alergi terhadap salah satu spesies juga cenderung
sensitif terhadap sejumlah spesies lainnya. Serbuk sari rumput yang paling menonjol
dari akhir musim semi melalui musim gugur tetapi dapat hadir sepanjang tahun di
iklim hangat

2. Jamur luar ruangan


Kondisi atmosfer dapat mempengaruhi pertumbuhan dan penyebaran sejumlah jamur;
Oleh karena itu, prevalensi udara mereka dapat bervariasi tergantung pada iklim dan
musim.Misalnya, Alternaria dan Cladosporium sangat lazim di kondisi kering dan
berangin dari negara-negara Great Plains, di mana mereka tumbuh di rumput dan biji-
bijian. dispersi mereka sering memuncak pada sore yang cerah. Mereka hampir tidak
ada saat salju di tanah di musim dingin, dan mereka puncak pada bulan-bulan musim
panas dan awal musim gugur.

Aspergillus dan Penicillium dapat ditemukan baik di luar maupun di dalam ruangan
(khususnya di rumah tangga lembab), dengan pertumbuhan variabel tergantung pada
musim atau iklim. spora mereka juga dapat tersebar dalam kondisi kering.

Abadi rhinitis alergi biasanya disebabkan oleh alergen di dalam rumah tetapi juga
dapat disebabkan oleh alergen outdoor yang hadir sepanjang tahun. Dalam iklim yang
lebih hangat, serbuk sari rumput dapat hadir sepanjang tahun. Dalam beberapa iklim,
individu mungkin gejala karena pohon-pohon dan rumput di bulan-bulan hangat dan
cetakan dan gulma di musim dingin.

3. Tungau debu rumah


Di Amerika Serikat, 2 spesies tungau debu rumah utama terkait dengan rhinitis alergi.
Ini adalah Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus.

Tungau ini memakan bahan organik di rumah tangga, khususnya kulit yang
ditumpahkan dari manusia dan hewan peliharaan. Mereka dapat ditemukan di karpet,
furnitur berlapis, bantal, kasur, selimut, dan boneka mainan.

Sementara mereka berkembang dalam suhu hangat dan kelembaban yang tinggi,
mereka dapat ditemukan sepanjang tahun di banyak rumah tangga. Di sisi lain, tungau
debu jarang terjadi di iklim kering.

4. Hewan
Alergi terhadap hewan peliharaan dalam ruangan merupakan penyebab umum dari
rhinitis alergi perennial.

Kucing dan anjing alergi dijumpai pada alergi, meskipun alergi telah dilaporkan
terjadi dengan sebagian besar hewan berbulu dan burung yang dipelihara sebagai
hewan peliharaan dalam ruangan.

5. Kecoa
Sementara alergi kecoa yang paling sering dianggap sebagai penyebab asma, terutama
di pusat kota, juga dapat menyebabkan rhinitis alergi perennial di rumah tangga
penuh.
6. Hewan pengerat
Kutu tikus dapat berhubungan dengan sensitisasi alergi.

LO 3.4 Patofisiologi

Rhinitis alergi melibatkan radang selaput lendir hidung, mata, tabung eustachius, telinga
tengah, sinus, dan faring. Hidung selalu terlibat, dan organ-organ lain yang terpengaruh pada
individu tertentu. Radang selaput lendir ditandai dengan interaksi yang kompleks dari
mediator inflamasi tapi akhirnya dipicu oleh imunoglobulin E (IgE) respon -dimediasi ke
protein ekstrinsik.

Kecenderungan untuk mengembangkan alergi, atau IgE-mediated, reaksi terhadap alergen


ekstrinsik (protein mampu menyebabkan reaksi alergi) memiliki komponen genetik. Pada
individu yang rentan, paparan protein asing tertentu menyebabkan sensitisasi alergi, yang
dicirikan oleh produksi IgE spesifik ditujukan terhadap protein ini. Ini khusus mantel IgE
permukaan sel mast, yang hadir dalam mukosa hidung. Ketika protein tertentu (misalnya,
serbuk sari biji-bijian tertentu) yang dihirup ke dalam hidung, dapat mengikat IgE pada sel
mast, menyebabkan pembebasan segera dan tertunda dari sejumlah mediator.

Mediator yang segera dirilis termasuk histamin, tryptase, chymase, kinins, dan heparin. Sel-
sel mast cepat mensintesis mediator lainnya, termasuk leukotrien dan prostaglandin D2.
Mediator ini, melalui berbagai interaksi , akhirnya mengarah pada gejala rhinorrhea (yaitu,
hidung tersumbat, bersin-bersin, gatal, kemerahan, berair, bengkak, tekanan telinga, postnasal
drip). Kelenjar mukosa distimulasi, menyebabkan peningkatan sekresi. permeabilitas
pembuluh darah meningkat, menyebabkan eksudasi plasma. Vasodilatasi terjadi, yang
menyebabkan kongesti dan tekanan. Saraf sensorik dirangsang, menyebabkan bersin dan
gatal-gatal. Semua peristiwa ini dapat terjadi pada menit; maka, reaksi ini disebut awal, atau
langsung, fase reaksi.

Selama 4-8 jam, mediator ini, melalui interaksi yang rumit dari peristiwa, mengarah pada
perekrutan sel inflamasi lain untuk mukosa, seperti neutrofil, eosinofil, limfosit, dan
makrofag. Hal ini menyebabkan peradangan lanjutan, disebut tanggapan akhir-fase. Gejala-
gejala respon akhir-fase yang mirip dengan tahap awal, tetapi kurang bersin dan gatal-gatal
dan lebih kemacetan dan lendir produksi cenderung terjadi. Tahap akhir dapat bertahan
selama berjam-jam atau hari.

Efek sistemik, termasuk kelelahan, mengantuk, dan malaise, dapat terjadi dari respon
inflamasi. Gejala ini sering menyebabkan gangguan kualitas hidup.

LO 3.5 Manifestasi Klinis

Tanda dan gejala rhinitis alergi meliputi berikut ini:

Bersin Sakit telinga


Gatal: Hidung, mata, telinga, Mata berair
langit-langit mata merah
rhinorrhea pembengkakan mata
Kongesti Kelelahan
Keadaan kekurangan penciuman Kantuk
Sakit kepala Rasa tidak enak
LO 3.6 Diagnosis dan Diagnosis Banding

1. Diagnosis
a. Anamnesis
Gejala rinitis alergi yang khas adalah terdapatnya serangan bersin berulang.
Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau
bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan
mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning
process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari lima kali setiap
serangan, terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang pada
RAFL sebagai akibat dilepaskannya histamin. Gejala lain ialah keluar ingus
(rinore) yang encer dan banyak,hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang
kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Rinitis
alergi sering disertai oleh gejala konjungtivitis alergi. Sering kali gejala yang
timbul tidak lengkap, terutama pada anak. Kadang-kadang keluhan hidung
tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yangdiutarakan
oleh pasien.

b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik untuk kasus rhinitis alergi meliputi inspeksi bagian telinga,
tenggorokan, dan saluran hidung (inspeksi juga perlu dilakukan setelah
pemberian decongestan topikal). Beberapa kondisi yang umum ditemui antara
lain conchae yang berwarna kebiruan, pucat, dan lembab. Mucosa hidung
terlihat basah dan bengkak, serta terjadi kongesti hidung dengan obstruksi
nasal. Pada alergi perennial, kongesti nasal merupakan tanda utama.
Abnormalitas anatomi, misalnya deviasi septum nasal, bullosa concha, dan
polip dapat ditemukan. Kelainan anatomi ini perlu diperhatikan, apakah
abnormalitas ini menjadi penyebab utama ataupun menjadi faktor kontribusi
dari gejala yang dialami pasien. Apabila terdapat polip nasal, maka perlu
dilakukan endoskopi nasal. Beberapa temuan lainnya antara lain
conjunctivitis, eczema, dan wheezing asma.

Pada anak-anak, dapat terlihat shiners (lingkar hitam pada bagian bawah
mata), pernafasan mulut, dan nasal salute (menggaruk-garuk bagian ujung
hidung secara konstan).

c. Pemeriksaan Penunjang
a. In vitro

Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian
pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radioimunosorbent test ) sering
kali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih
dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita
asma bronkial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi
kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan
derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah dengan RAST
(Radio Immuno Sorbent Test ) atau ELISA (Enzyme Linked
ImmunoSorbent Assay Test ). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun
tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan
pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan
kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap)mungkin disebabkan
alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya
infeksi bakteri.

b. In vivo

Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji
intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point
Titration/SET). SET dilakukan untuk elergen inhalan dengan
menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat
kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat
alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui. Untuk alergi
makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat diandalkan.
Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi
(Challenge Test ). Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh
dalam waktu lima hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang
dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari,
selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap
kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala
menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan.

Pemeriksaan IgE total serum

Kadar IgE total serum rendah pada orang normal dan meningkat
pada orang atopi, tetapi kadar IgE normal tidak menyingkirkan adanya
rhinitis alergi. Pada orang normal, kadar IgE meningkat dari lahir (o-1
KU/L) sampai pubertas dan menurun secara bertahap dan menetap setelah
usia 20-30 tahun. Pada orang dewasa kadar >100-150 KU/L dianggap
normal. Kadar meningkat hanya dijumpai pada 60% penderita rhinitis
alergi dan 75% penderita asma. Terdapat berbagai keadaan dimana kadar
IgE meingkat yaitu infeksi parasit, penyakit kulit (dermatitis kronik,
penyakit pemfigoid bulosa) dan kadar menurun pada imunodefisiensi serta
multiple mielom. Kadar IgE dipengaruhi juga oleh ras dan umur, sehingga
pelaporan hasil harus melampirkan nilai batas normal sesuai golongan
usia. Pemeriksaan ini masih dapat dipakai sebagai pemeriksaan penyaring,
tetapi tidak digunakan lagi untuk menegakkan diagnostic.

Pemeriksaan IgE spesifik serum (dengan metode RAST/


Radioallergosorbent test)

Pemeriksaan ini untuk membuktikan adanya IgE spesifik terhadap


suatu allergen. Pemeriksaan ini cukup sensitive dan spesifik (>85%),
akurat dapat diulang dan bersifat kuantitatif. Studi penelitian
membuktikan adanya korelasi yang baik antara IgE spesifik dengan tes
kulit, gejala klinik, dan tes provokasi hidung bila menggunakan allergen
terstandarisasi. Hasil baru bermakna bila ada korelasi dengan gejala
klinik, seperti pada tes kulit. Cara lain adalah modified RAST dengan
sistem scoring.

Pemeriksaan lain

Pemeriksaan ini bukan merupakan pemeriksaan pertama untuk


menegakkan diagnosis, tetapi dapat dipakai sebagai pemeriksaan
penunjang atau untuk mencari penyebab lain yang mempengaruhi
timbulnya gejala klinik :

1. Hitung jenis sel darah tepi


Pemeriksaan ini dipergunakan bila fasilitas lain tidak tersedia. Jumlah sel
eosinofil darah tepi kadang meningkat jumlahnya pada penderita rhinitis
alergi, tetapi kurang bermakna secara klinik
2. Pemeriksaan sitologi secret dan mukosa hidung
Bahan pemeriksaan diperoleh dari secret hidung secara langsung (usapan),
kerokan, bilasan, dan biopsy mukosa. Pengambilaan sediaan untuk
pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan pada puncak RAFL pasca pacuan
allergen atau saat bergejala berat dan biasanya hanya untuk keperluan
penelitian dan harus dikerjakan oleh tenaga terlatih

3. Tes provokasi hidung/ nasal challenge test (bila fasilitas tersedia)


Pemeriksaan ini dilakukan bila tidak terdapat kesesuaian antara hasil
pemeriksaan diagnostic primer (tes kulit) dengan gejala klinik. Secara
umum tes ini lebih sulit untuk diulang dibandingkan dengan tes kulit dan
pemeriksaan IgE spesifik. Tes provokasi menempatkan penderita pada
situasi beresiko untuk terjadinya reaksi anafilaksis
4. Tes fungsi mukosilier (menilai gerakan silia)
Pemeriksaan ini untuk kepentingan penelitian
5. Pemeriksaan aliran udara hidung
Derajat obstruksi hidung diukur secara kuantitatif dengan alat
rinomanometri (anterior atau posterior) atau rinomanometri akustik
misalnya pasca tes provokasi hidung. Pemeriksaan ini tidak rutin
dilakukan.
6. Pemeriksaan radiologic
Pemeriksaan foto polos sinus paranasal, CT scan maupun MRI (bila
fasilitas tersedia) tidak dapat dipakai untuk menegakkan diagnosis rhinitis
alergi, tetapi untuk menyingkirkan adanya kelainan patologik atau
komplikasi rhinitis alergi terutama bila respon pengobatan tidak
memuaskan. Pada pemeriksaan foto polos dapat ditemukan penebalan
mukosa sinus (gambaran khas sinusitis akibat alergi), perselubungan
homogeny serta gambaran batas udara cairan di sinus maxilla.
7. Pemeriksaan lain yaitu : fungsi penghidu dan pengukuran kadar NO
(nitric oxide)
2. Diagnosis banding
Acute Sinusitis
Chronic Sinusitis

LO 3.7 Tatalaksana dan Pencegahan

Non-farmakologi: Hindari pencetus (alergen)


Farmakologi :

Jika tidak bisa menghindari pencetus, gunakan obat-obat anti alergi baik OTC maupun ethical

Jika tidak berhasil, atau obat-obatan tadi menyebabkan efek samping yang tidak bisa
diterima, lakukan imunoterapi

1. Menghindari pencetus (alergen)

Amati benda-benda apa yang menjadi pencetus (debu, serbuk sari, bulu binatang,
dll)
Jika perlu, pastikan dengan skin test
Jaga kebersihan rumah, jendela ditutup, hindari kegiatan berkebun.
Jika harus berkebun, gunakan masker wajah

2. Menggunakan obat untuk mengurangi gejala

Antihistamin
Dekongestan
Kortikosteroid nasal
Sodium kromolin
Ipratropium bromide
Leukotriene antagonis

3. Imunoterapi : terapi desensitisasi


LO 3.8 Komplikasi

sinusitis akut atau kronis


otitis media
gangguan tidur atau apnea
masalah gigi (overbite): Disebabkan oleh pernapasan yang berlebihan melalui mulut
kelainan palatal
disfungsi tuba eustachius

LO 3.9 Prognosis

Secara umum, pasien dengan rinitis alergi tanpa komplikasi yang respon dengan
pengobatan memiliki prognosis baik. Pada pasien yang diketahui alergi terhadap serbuk sari,
maka kemungkinan rinitis pasien ini dapat terjadi musiman. Prognosis sulit diprediksi pada
anak-anak dengan penyakit sinusitis dan telinga yang berulang. Prognosis yang terjadi dapat
dipengaruhi banyak faktor termasuk status kekebalan tubuh maupun anomali anatomi.
Perjalanan penyakit rinitis alergi dapat bertambah berat pada usia dewasa muda dan tetap
bertahan hingga dekade lima dan enam. Setelah masa tersebut, gejala klinik akan jarang
ditemukan karena menurunnya sistem kekebalan tubuh.

LI 4 MM Antihistamin, Kortikosteroid, dan Nasal Dekongestan

LO 4.1 Farmakokinetik

1. Antihistamin
a. AH1
Setelah pemberian oral atau parenteral, AH1 diabsorbsi secara baik. Efeknya
timbul 15-30 menit setelah pemberian oral dan maksimal 1-2 jam. Lama kerja
AH1 generasi 1 setelah pemberian dosis tunggal umumnya 4-6 jam,sedangkan
beberaoa derivate piperizin seperti meklizin dan hidrokzin memiliki masa
kerja yang lebih panjang, seperti juga umumnya anti histamine generasi II.
Dfenhidramin yang diberikan secara oral akan mencapai kadar maksimal
dalam darah setelah kira-kira 2 jam, dan menetap pada kadar tersebut untuk 2
jam berikutnya, kemudian dieliminasi dengan masa paruh kira-kira 4 jam.
Kadar tertinggi terdapat pada paru-paru sedangkan pada limpa, ginjal, otak,
otot, dan kulit kadarnya lebih rendah. Tempat utama biotransformasi AH1
ialah hati, tetapi dapat juga pada paru-paru dan ginjal. Tripelenamin
mengalami hidroksilasi dan konjugasi, sedangkan klorsiklizin dan siklizin
terutama mengalami demetilasi. Hidroksizin merupakan prodrug, dan
metabolit aktif hasil karboksilasi adalah setirizin, sedangkan feksofenadin
merupakan metabolit aktif hasil karboksilasi terfenadin. AH1 diekskresi
melalui urin stelah 24 jam, terutama dalam bentuk metabolitnya.

b. AH2
a) Simetidin dan Ranitidin
Bioavalibiltas oral simetidin sekitar 70%, sama dengan setelah
pemberian IV atau IM. Ikatan protein plasmanya hanya 20%. Absorbsi
simetidiin diperlambat oleh makanan, sehingga simetidin diberikan bersama
atau segra setelah makan dengan maksud untuk memperpanjang efek pada
periode pascamakan. Absorbs simetidin terutama terjadi pada meit ke 60-90.
Simetidin masuk ke dalam SSP dan kadarnya pada cairan spinal 10-20% dari
kadar serum. Sekitar 50-80% dari dosis IV dan 40% dari dosis oral simetidin
diekskresi dalam bentuk asal dalam urin. Masa paruh eliminasinya sekitar 2
jam.
Bioavabilitas ranitidine yang diberikan secara oral sekitar 50% dan
meningkat pada pasien penyakit hati. Masa paruhnya kira kira 1.7-3 jam
pada orang deasa, dan memanjang pada orang tuag dan pada pasien gagal
ginjal. Pada pasien penyakit hati masa paruh ranitidine juga memanjang
meskipun tidak sebesar pada gagal ginjal. Kadar puncak pada plasma dicapai
dalam 1-3 jam setelah penggunaan 150 mg ranitidine secara oral, dan ne
secara oral, dan yang terikat protein plasma hanya 15%. Ranitidine
mengalami metabolsime lintas pertama di hati dalam jumlah cukup besar
setelah pemberian oral. Ranitidine dan metabolitnya diekskresi terutama
melalui ginjal, sisanya melewati tinja. Sekitar 70% dari ranitidine yang
diberikan IV dan 30% dari yang diberikan secara oral diekskresikan dalam
urin dalam bentuk asal. Meskipun dari penilitian tidak didapatkan efek yang
merugikan pada fetus, namun karena simetidin, ranitidine, dan antagonis
reseptor H2 lainnya dapat melalui plasenta maka penggunaannya hanya bila
sangat diperlukan. Antagonis reseptor H2 juga melewati ASI dan dapat
mempengaruhi fetus.
b) Famotidine
Famaotidin mencapau kadar puncak di plasma kira-kira dalam 2 jam setelah
penggunaan secara oral, masa paruh eliminasi 3-8 jam dan bioavaibilitas 40-
50%. Metabolit utama adalah famotidine-S-oksida. Setelah dosis oral
tunggal, sekitar 25% dari dosis ditemukan dalam bentuk asal di urin. Pada
pasien gagal ginjal berat masa paruh eliminasi dapat melebih 20 jam.
c) Nizatidin
Bioavaibiltas oral nizatidin lebih dari 90% dan tidak dipengaruhi oleh
makanan atau antikolirgenik. Klirens menurun pada pasien uremik dan usia
lanjut. Kadar puncak dalam serum setelah pemberian oral dicapai dalam 1
jam, masa paruh plasma 1 jam dan lama kerja sampai dengan 10 jam.
Nizatidin disekresi terutama melalui ginjal: 90% dari dosis yang digunakan
ditemukan di urin dalam 16 jam.
2. Kortikosteroid
Kortisol dan analog sintetiknya pada pemberian oral diabsorbsi cukup baik.
Untuk mencapau kadar tinggi dengan cepat dalam cairan tubuh, ester kortisol dan
derivate sintetiknya diberikan secara IV. Untuk mendapatkan efek yang lama kortisol
dan esternya diberikan secara IM. Perubahan struktur kiia sangat mempengaruhi
kecepatan absorbs, mula kerja dan lama kerja karena juga mempengaruhi afinitas
terhadap reseptor, dan ikatan protein. Prednison adalah prodrug yang dengan cepat
diubah menjadi prednisolone bentuk aktifnya dalam tubuh.
Glukokortikoid dapat diabsorbsi melalui kulit, saku konjungtiva dan ruang
synovial. Penggunaan jangka panjang atau pada daerah kulit yang luas dapat
menyebabkan efek sistemik, antara lain supresi korteks adrenal.
Pada keadaan normal, 90% kortisol terikat pada 2 jenis protein plasma yaitu
globulin pengikat kortikosteorid dan albumin. Afinitas globulin tinggi tetapi kapasitas
ikatnya rendahm sebaliknya afinitas albumin rendah tetapi kapasitasnya ikatnya relatif
tinggi. Karena itu pada kadar rendah atau normal, sebagian besar kortikosteroid
terikat globulin. Bila kadar kortikosteroid meningkat jumlah hormon yang terikat
dengan albumin dan bebas juga meningkat, sedangkan yang terikat globulin sedikit
mengalami perubahan. Kortikosteroid berkompetisi sesamanya untuk berikatan
dengan globulin pengikat kortikosteroid; kortisol mempunyai afinitas tinggi
sedangkan metabolit yang terkonjugasi dengan asam glukornat dan aldosterone
afinitasnya rendah.

3. nasal dekongestan
A-agonis banyak digunakan sebagai dekongestan nasal pada pasien rhinitis alergika
atau rhinitis vasomotor dan pada pasien infeksi saluran napas atas dnegan rhinitis
akut. Obat-obatan ini menyebabkan venokonstriksi dalam mukosa hidung melalui
reseptor 1 sehingga mengurangi volume mukosa dan dengan demikian mengurangi
penyumbatan hidung.3
Reseptor 2 terdapat pada arteriol yang membawa suplai makanan bagi mukosa
hidung. Vasokonstriksi arteriol ini oleh 2- agonis dapat menyebabkan kerusakan
structural pada mukosa tersebut. Pengobatan dnegan dekongestan nasal seringkali
menimbulkan hilangnya efektivitas, rebound hyperemia dan memburuknya gejala
pada pemberian kronik atau bila obat dihentikan. Mekanismenya belum jelas, tetapi
mungkin melibatkan desensitisasi reseptor dan kerusakan mukosa. 1-agonis yang
selektif lebih kecil kemungkinannya untuk menimbulkan kerusakan mukosa.3
1-agonis dapat diberikan per oral (pseudoefedrin, efedrin, dan fenilpropanolamin )
atau secara topical (xylometazoline, naphazoline, tetrahydrozoline, oxymetazoline,
epinefrin, phenylephrine).4

LO 4.2 Farmakodinamik

1. antihistamin
a. AH 1
Anti histamin yang digunakan sebagai anti alergi adalah golongan antagonis
reseptor H1 atau AH1. Secara farmakodinamik, AH1 dapat menghambat efek
histamin pada pembuluh darah, bronkus dan bermacam otot polos. AH1
bermanfaat untuk mengobati reaksi hipersensitivitas atau keadaan lain yang
disertai pelepasan histamin endogen berlebihan. Bronkokonstriksi, peninggian
permeabilitas kapiler dan edema akibat histamin dapat dihambat dengan baik.

Mekanisme aksi dari antihistamin diantaranya adalah:

Mengeblok kerja histamin pada reseptornya


Berkompetisi dengan histamin untuk mengikat reseptor yang masih
kosong. Jika histamin sudah terikat, antihistamin tidak bisa
memindahkan histamin.
Pengikatan AH1 mencegah efek merugikan akibat stimulasi histamin
seperti vasodilatasi, peningkatan sekret gastrointestinal dan respirasi
serta peningkatan permeabilitas kapiler.2
b. AH 2
Simetidin dan ranitidin menghambat reseptor H2 secara selektif dan
reversibel. Perangsangan H2 akan merangsang sekresi cairan lambung,
sehingga pada pemberian simetidin atau ranitidin sekresi cairan lambung
dihambat. Pengaruh fisiologi simetidin dan ranitidin terhadap reseptor H2
lainnya, tidak begitu penting. Walau tidak lengkap simetidin dan renitidin
dapat menghambat sekresi cairan lambung akibat perangsangan obat
muskarinik atau gastrin. Semitisin dan ranitidin mengurangi volume dan kadar
ion hidrogen cairan lambung. Penurunan sekresi asam lambung
mengakibatkan perubahan pepsinogen menjadi pepsin juga menurun.
2. Kortikosteroid
merupakan obat yang paling efektif untuk mengatasi rhinitis alergi hingga saat ini.
Efek utama steroid topikal pada mukosa hidung antaralain mengurangi inflamasi
dengan memblok pelepasan mediator, menekan kemotaksis
neutrofil, mengurangi edema intrasel, dan menghambat reaksi fase lambat yang
diperantarai sel mast. Sedangkan efek sampingnya meliputi bersin, perih pada
mukosa hidung, sakit kepala dan infeksi Candidia albicans.

3. nasal dekongestan

LO 4.3 Efek Samping

1. antihistamin
a. AH1

Efek samping yang disebabkan oleh penggunaan AH1 dapat muncul pada
dosis terapi meskipun jarang yang bersifat serius dan bisa hilang bila
pengobatan diteruskan. Toleransi individu juga bisa berbeda-beda terhadap
munculnya efek samping. Efek tersering adalah sedasi, yang kadang justru
berguna supaya pasien dapat beristirahat. Pengurangan dosis atau penggunaan
AH1 jenis lain ternyata dapat mengurangi efek sedasi ini.

Efek samping yang berhubungan dengan efek sentral AH1 adalah vertigo,
tinitus, lelah, penat, inkordinasi, penglihatan kabur, diplopia, euforia, gelisah,
insomnia, dan tremor. Efek samping lain yang sering muncul adalah nafsu
makan berkurang, mual, muntah, keluhan pada epigastrium, konstipasi atau
diare. Efek samping tersebut dapat berkurang apabila diberikan sewaktu
makan. Penggunaan astemizol, suatu antihistamin non sedatif, lebih dari 2
minggu dapat menyebabkan bertambahnya nafsu makan dan berat badan.

Efek samping lain yang mungkin muncul oleh AH1 adalah mulut kering,
disuria, palpitasi, hipotensi, sakit kepala, rasa berat, dan lemah pada tangan.
Insiden efek samping karena efek antikolinergik lebih sedikit pada pasien yang
mendapatkan antihistamin nonsedatif.

Pemberian terfenadin atau astemizol dosis terapi bersama ketokonazol,


itrakonazol atau antibiotik golongan makrolid seperti eritromisin dapat
mengakibatkan perpanjangan interval QT dan mencetuskan terjadinya aritmia
ventrikel (torsades de pointes). Keadaan tersebut disebabkan karena
antimikroba tersebut menghambat metabolisme terfenadin atau astemizol oleh
enzim CYP3A4 sehingga kadar antihistamin dalam darah naik.

Selain memberikan efek samping, terdapat juga laporan mengenai kasus


keracunan AH1. Efek sentral AH1 pada anak dapat berupa perangsangan
dengan manifestasi halusinasi, eksitasi, ataksia, inkoordinasi, atetosis, dan
kejang.

b. AH2
Insidens efek samping kedua obat ini rendah dan umumnya berhubungan
dengan penghambatan terhadap reseptor H2. Beberapa efek samping lain tidak
berhubungan dengan penghambatan reseptor. Efek samping ini antara lain :
nyeri kepala, pusing, malaise, mialgia, mula, diare, konstipasi, ruam kulit,
pruritus, kehilangan libido dan impoten.
Simetidin mengikat reseptor androgen dengan akibat disfungsi seksual dan
ginekomastia. Ranitidin tidak berefek antiandrogenik sehingga penggantian
terapi dengan ranitidin mungkin akan menghilangkan impotensi dan
ginekomastia akibat simetidin. Simetidin IV akan merangsang sekresi
prolaktin, tetapi hal ini pernah pula dilaporkan setelah pemberian simetidin
kronik secara oral. Pengaruh ranitidin terhadap peninggian prolaktin ini kecil.

2. Kortikosteroid
Efek samping kortikosteroid tergantung pada dosis dan durasi penggunaan.
Pemakaian yang singkat dari prednisone, contohnya, biasanya ditoleransi
dengan baik dengan efek samping yang sedikit dan ringan. Jangka panjang,
dosis-dosis tinggi dari kortikosteroid biasanya menghasilkan efek-efek
sampingan yang dapat diprediksi dan berpotensi serius. Efek-efek sampingan
yang umum termasuk muka yang membulat (muka bulan), jerawat, bulu tubuh
yang meningkat, diabetes, kenaikkan berat badan, hipertensi, katarak-katarak,
galukoma, kepekaan terhadap infeksi-infeksi yang meningkat, kelemahan otot,
depresi, insomnia, keadaan jiwa yang terombang-ambing, perubahan-
perubahan pribadi, sifat lekas marah, dan penipisan tulang-tulang
(osteoporosis) dengan ditemani suatu peningkatan risiko dari retak/patah tulag
dari tulang belakang karena tekanan (compression fractures). Anak-anak pada
yang terkena efek samping kortikosteroid dapat mengalami pertumbuhan
kerdil.

Komplikasi yang paling serius dari penggunaan kortikosteroid jangka panjang


adalah aseptic necrosis dari sensi-sendi pinggul. Aseptic necrosis berarti
kematian dari jaringan tulang. Itu adalah suatu kondisi yang menyakitkan yang
akhirnya dapat menjurus pada keperluan mengganti pinggul-pinggul secara
operasi. Aseptic necrosis juga telah dilaporkan pada sendi-sendi lutut. Tidak
diketahui bagaimana kortikosteroid menyebabkan aseptic necrosis. Kejadian
aseptic necrosis yang diperkirakan diantara pemakai-pemakai kortikosteroid
adalah 3-4%. Pasien-pasien pada kortikosteroid yang mengembangkan sakit di
pinggul-pinggul atau lutut-lutut harus melaporkan sakitnya pada dokterdengan
segera. Diagnosis yang lebih awal dari aseptic necrosis dengan penghentian
kortikosteroid telah dilaporkan pada beberapa pasien mengurangi keparahan
kondisi dan mungkin membantu menghindari pergantian pinggul.

Memperpanjang penggunaan kortikosteroid dapat menekan kemampuan


kelenjar-kelenjar adrenal tubuh untuk menghasilkan cortisol (suatu
kortikosteroid alami yang perlu untuk berfungsinya tubuh dengan baik).
Penghentian kortikosteroid secara tiba-tiba dapat menyebabkan gejala-gejala
yang disebabkan oleh suatu kekurangan kortisol alami (suatu kondisi yang
disebut kekurangan adrenal). Gejala-gejala dari kekurangan adrenal termasuk
mual, muntah, dan bahkan shock. Mencabut kortikosteroid terlalu cepat juga
dapat menghasilkan gejala-gejala sakit-sakit sendi, demam, dan rasa tidak enak
badan (malaise). Oleh karenanya, kortikosteroid perlu dikurangi secara
berangsur-angsur (tapering off) daripada diberhentikan secara tiba-tiba

Bahkan setelah kortikosteroid dihentikan, kemampuan kelenjar-kelenjar


adrenal untuk menghasilkan kortisol dapat tetap tertekan berbulan-bulan
sampai dua tahun. Kelenjar-kelenjar adrenal yang tertekan mungkin tidak
mampu menghasilkan cukup kortisol untuk membantu tubuh menangani stres
seperti kecelakaan-kecelakaan, operasi, dan infeksi-infeksi. Pasien-pasien ini
akan memerlukan perawatan dengan kortikosteroid (prednisone,
hydrocortisone, dllnya.) selama situasi-situasi yang penuh stres untuk
menghindari pengembangan kekurangan adrenal.

Karena kortikosteroid tidak bermanfaat dalam mempertahankan remisi dari


radang borok usus besar dan penyakit Crohn dan karena mereka mempunyai
efek-efek sampingan yang dapat diprediksi dan berpotensi serius, obat-obat ini
harus dipakai untuk jangka waktu sesingkat mungkin.
3. nasal dekongestan

LI 5 MM Menjaga Sistem Respirasi dalam Islam

Sesungguhnya Allah Mencintai Orang yang Bersin

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwasanya Rasullullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda,

Sesungguhnya Allah menyukai bersin. (HR Bukhari) Bersin merupakan sesuatu yang
disukai karena bersin dapat menyehatkan badan dan menghilangkan keinginan untuk selalu
mengenyangkan perut, serta dapat membuat semangat untuk beribadah.

Ketika Bersin Hendaknya Kita

- Merendahkan suara.
- Menutup mulut dan wajah.
- Tidak memalingkan leher.
- Mengeraskan bacaan hamdalah, walaupun dalam keadaan shalat.

Macam-Macam Bacaan yang Dapat Kita Amalkan Ketika Bersin

Alhamdulillah (segala puji hanya bagi Allah).


Alhamdulillahi Rabbil alamin (segala puji bagi Allah Rabb semesta alam).

Alhamdulillah ala kulli haal (segala puji bai Allah dalam setiap keadaan)

Alhamdulillahi hamdan katsiiran thayyiban mubaarakan fiihi, mubaarakan alaihi kamaa


yuhibbu Rabbuna wa yardhaa (segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak lagi penuh
berkah dan diberkahi, sebagaimana yang dicintai dan diridhai oleh Rabb kami).

Tunaikanlah Hak Saudaramu

Islam adalah agama yang sangat indah, dan salah satu keindahan agama ini adalah
memperhatikan keadilan dan memberikan hak kepada sang pemiliknya. Salah satu hak yang
harus ditunaikan oleh seorang muslim dan muslimah kepada muslim dan muslimah yang lain
adalah ber-tasymit (mendoakan orang yang bersin) ketika ada seorang dari saudara atau
saudari kita yang muslim bersin dan ia mengucapkan alhamdullillah.

Sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda,

Hak seorang muslim atas muslim yang lain ada enam: jika engkau bertemu
dengannya maka ucapkanlah salam, jika ia mengundangmu maka datanglah, jika ia meminta
nasihat kepadamu maka berilah nasihat, jika ia bersin lalu ia mengucapkan alhamdullilah
maka doakanlah, jika ia sakit maka jenguklah, jika ia meninggal maka iringilah jenazahnya.
(HR Muslim)

Ketika ada seorang muslim bersin di dekat kita, lalu dia mengucapkan
alhamdullillah, maka kita wajib mendoakannya dengan membaca yarhamukallah
(semoga Allah merahmatimu). Hukum tasymit ini adalah wajib bagi setiap orang yang
mendengar seorang muslim yang bersin kemudian mengucapkan alhamdullillah. Setelah
orang lain mendoakannya, orang yang bersin tadi dianjurkan untuk mengucapkan salah satu
doa sebagai berikut: - Yahdikumullah wa yushlih baalakum (mudah-mudahan Allah
memberikan hidayah kepada kalian dan memperbaiki keadaan kalian). - Yaghfirulahu lanaa
wa lakum (mudah-mudahan Alah mengampuni kita dan kalian semua). - Yaghfirullaah lakum
(semoga Allah mengampuni kalian semua). - Yarhamunnallah wa iyyaakum wa
yaghfirullaahu wa lakum (semoga Allah memberi rahmat kepada kami dan kamu sekalian,
serta mengampuni kami dan mengampuni kalian). - Aafaanallah wa iyyaakum minan naari
yarhamukumullaah (semoga Allah menyelamatkan kami dan kamu sekalian dari api neraka,
serta memberi rahmat kepada kamu sekalian). - Yarhamunnallah wa iyyaakum (semoga Allah
memberi rahmat kepada kami dan kepada kalian semua).

Mereka Tidak Berhak Mendapatkannya

Kita tidak perlu bertasymit ketika:

Ada seseorang yang bersin, dan dia tidak mengucapkan hamdalah.


Ada seseorang yang bersin lebih dari tiga kali. Jika seseorang bersin lebih dari tiga
kali, maka orang tersebut dikategorikan terserang influenza. Kita pun tidak
disyariatkan untuk mendoakannya, kecuali doa kesembuhan.
Ada seseorang membenci tasymit.
Seseorang yang bersin itu bukan beragama Islam. Walaupun orang tersebut
mengucapkan hamdalah, kita tetap tidak diperbolehkan untuk ber-tasymit, karena
seorang muslim tidak diperbolehkan mendoakan orang kafir. Jika orang kafir tersebut
mengucapkan alhamdulillah, kita jawab Yahdikumullah wa yushlih baalakum
Seseorang yang bersin bertepatan dengan khutbah jumat. Cukup bagi yang bersin saja
untuk mengucapkan hamdalah tanpa ada yang ber-tasymit, karena ketika khutbah
jumat seorang muslim wajib untuk diam. Begitu pula ketika shalat wajib (shalat
fardhu) sedang didirikan, tidak ada keharusan bagi kita untuk ber-tasymit.
Kita berada ditempat yang terlarang untuk mengucapkan kalamullah, seperti di dalam
toilet.

Menguap

Menguap dilakukan karena beberapa penyebab, antara lain: mengantuk, gelisah, butuh
tambahan oksigen.
Islam juga mengatur bagaimana menguap yg baik.
Dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasululloh SAW bersabda:





Menguap adalah dari setan, jika salah seorang dari kalian menguap, maka
hendaknya ditahan semampu dia, sesungguhnya jika salah seorang dari kalian
(ketika menguap) mengatakan (keluar bunyi): hah, maka setan tertawa. (HR. Al-
Bukhari, Muslim, dan ini lafazh riwayat Al-Bukhari)
Di hadits lain:





Menguap ketika sholat adalah dari setan, jika salah seorang dari kalian menguap,
maka tahanlah semampunya. (HR Tirmidzi)
Dengan kata lain, Islam MENYARANKAN kita untuk menahan (tidak) menguap.
Jika tidak kuat, maka hendaknya menguap dengan menutup mulut dan tidak
mengeluarkan bunyi hah, apalagi hingga huaaahhh.

Sendawa

Sendawa atau teurab (bahasa Sunda) atau gelegekan (bahasa Jawa) atau burp (bahasa
Inggris) adalah aktivitas ketika ada angin yg keluar dari tubuh kita. Penyebabnya
bermacam-macam. Usai minum minuman bersoda (carbonat), usai makan/minum,
atau usai badan kita dikerok (pijat), dan aktivitas2 lain.
Untuk sendawa, terus terang saya belum pernah menemukan dalil, entah hadits
ataupun sunnah dari Rasululloh SAW mengenai hal ini. Yang saya dapatkan dari
Bapak saya dan guru2 saya, usai bersendawa hendaklah mengucapkan hamdalah
(Alhamdulillah).
Alasan yg saya dapatkan mengapa mesti mengucapkan hamdalah adalah bersendawa
itu pada hakikatnya mengeluarkan hal (angin) yg buruk dan akan membuat tubuh kita
menjadi lebih sehat. Dengan kian sehatnya tubuh kita, maka kita mesti mensyukuri
nikmat sehat yg didapat.
Namun, sendawa yg terlalu sering tentu mesti diperiksa. Jangan-jangan memang
tubuh kita sedang tidak sehat/fit sehingga mesti diperiksa ke dokter.

You might also like