You are on page 1of 15

TUHAN & MANUSIA

Al-Fana dan al-Baqa (Abu Yazid al-Bustham

Al-Fana dan al-Baqa (Abu Yazid al-Busthami )

Pokok Pemikiran Abu Yazid al-Busthami

Al-Fana dan al-Baqa

Abu Yazid al-Bisthami adalah tokoh sufi pertama yang memperkenalkan konsep al-fana dan al-baqa
serta konsep ittihad. Fana adalah sirnanya segala sesuatu selain Allah dari pandangan seorang sufi. Di
mana ia tidak lagi menyaksikan kecuali hakekat yang satu yaitu Allah. Dan baqa adalah merupakan
konsekuensi dari adanya fana, ketika seseorang bersatu dengan Tuhan (ittihad), dalam hal ini baqa
mengandung pengertian kekal dalam kebaikan. Sehingga apa yang diupayakannya bisa tercapai yaitu
bisa bersatu dengan Tuhan, yang dalam bahasa Abu Yazid disebut dengan istilah ittihad.

Dari segi bahasa al-fana berarti hilangnya wujud sesuatu, dan al-fana jauh lebih berbeda dengan al-
fasad (rusak), fana artinya tidak kelihatannya sesuatu, sedang al-fasad adalah berubahnya sesuatu
kepada sesuatu yang lain. Konsep ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu Sina di mana ketika
membedakan antara benda-benda yang bersifat samawiyah dan bersifat alam, di mana ia mengambil
konklusi bahwa keberadaan benda alam itu berdasarkan permulaannya, bukan perubahan bentuk
yang satu kepada bentuk yang lain, dan hilangnya benda alam itu dengan cara fana bukan dengan
fasad.

Adapun makna fana dalam pandangan kaum sufi adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya
dan dari makhluk lainnya sebenarnya dirinya tetap sadar dengan dirinya sendiri dan dengan alam
sekitarnya

Dalam konteks lain fana mengandung pengertian gugurnya sifat-sifat tercela, makna lainnya
bergantung sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan

Menurut Abu Yazid, manusia yang pada hakikatnya seesensi dengan Allah, dapat bersatu dengan-Nya
apabila ia mampu meleburkan eksistensi sebagai suatu pribadi sehingga ia tidak menyadari
pribadinya (fana an-nafs). Fana an-nafs adalah hilangnya kesadaran kemanusiaannya dan menyatu ke
dalam iradah Allah, bukan jasad tubuhnya yang menyatu dengan dzat Allah

Dengan fana, Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi kehadirat Tuhan bahwa ia telah berada dekat
dengan Tuhan, hal ini dapat dilihat dari kalimat-kalimat bersayap yang belum dikenal sebelumnya
(syathahat) yang dia ungkapkan, seperti : Tidak ada Tuhan selain Aku. Maha Suci Aku, Maha Suci
Aku, Maha Besar Aku.

Al-Bisthami pernah mengatakan bahwa ketika ia naik haji untuk pertama kali, yang ia lihat adalah
bangunan Kabah dan dirinya, kemudian ia naik haji lagi, maka selain melihat bangunan Kabah dan
dirinya, ia merasakan Tuhan Kabah. Pada haji ketiga, ia tidak merasakan apa-apa lagi kecuali Tuhan
Kabah.

Tentang kefanaan Abu Yazid al-Bisthami ini pernah dikisahkan oleh sahabatnya. Zunnun al-Mishri
mengutus untuk menemui Abu Yazid, ketika utusan itu sampai, diketuklah pintu rumah Abu Yazid,
terjadilah percakapan antara tamu dengan Abu Yazid :

Abu Yazid : Siapa di luar?

Utusan : Kami hendak berjumpa dengan Abu Yazid

Abu Yazid : Abu Yazid siapa? Dimana dia? Sayapun mencari Abu Yazid

Rombongan utusan itupun pulang dan kemudian memberitahukan kepada Zunnun. Mendengar
keterangan itu Zunnun berkata : Sahabatku Abu Yazid telah pergi kepada Allah dan dia sedang fana

Kejadian yang menimpa Abu Yazid ini disebabkan keinginannya untuk selalu dekat dengan Tuhan.
Bahkan ia selalu berusaha untuk mencari jalan agar selalu berada di hadirat Tuhan. Ia pernah berkata
: Aku bermimpi melihat Tuhan, Akupun bertanya : Tuhanku, apa jalannya untuk sampai kepada-
Mu?. Ia menjawab : Tinggalkan dirimu dan datanglah.

Menurut Abu Yazid ada empat situasi gradual dalam proses fana, yakni :

-Tingkatan fana yang paling rendah yaitu fana yang dicapai atau dihasilkan melalui mujahadah.
-Tingkatan fana terhadap kenikmatan surga dan kepedihan siksa neraka

-Fana terhadap pemberian Allah

-Fana terhadap fana itu sendiri (fana al-fana)

Apabila seseorang telah mencapai fana pada tahap akhir, seseorang akan secara totalitas lupa
terhadap segala sesuatu yang sedang terjadi padanya. Hatinya sudah tidak lagi terisi oleh kesan
apapun yang ditangkap oleh panca indera

Konsekuensi dari terjadinya fana itu, maka terjadi pulalah baqa. Secara harfiah baqa berarti kekal.
Sedangkan dalam kaca mata sufi baqa mengandung makna, kekalnya sifat-sifat terpuji, dan sifat-sifat
Tuhan dalam diri manusia. Sedangkan menurut Abu Yazid baqa adalah hilangnya sifat-sifat
kemanusiaan yang dirasakan hanyalah sifat-sifat Tuhan yang kekal dalam dirinya dengan kata lain
merasa hidupnya selaras dengan sifat-sifat Tuhan,sistem kerja fana-baqa ini selalu beriringan,
sebagaimana yang dikemukakan oleh para ahli tasawuf

Apabila nampaklah Nur kebaqaan, maka fanalah yang tiada, dan baqalah yang kekal

Kata al-Bisthami, Ia telah membuat aku gila pada diriku sehingga aku mati, kemudian Ia membuat
aku gila pada-Nya, dan akupun hidup, aku berkata : bila pada diriku adalah kehancuran (fana)
sedang gila pada-Mu adalah kelanjutan hidup (baqa). Al-Bisthami juga berkata : Aku tahu pada
Tuhan melalui diriku, sampai aku hancur, kemudian aku tahu pada-Nya melalui diri-Nya, maka aku
hidup.

Untuk mencapai station al-baqa ini seseorang perlu melakukan perjuangan dan usaha-usaha yang
keras dan kontinyu, seperti dzikir, beribadah, dan menghiasi diri dengan akhlak terpuji.

Jika dilihat dari sisi lain, yang disebut fana dan baqa itu dapat pula disebut sebagai ittihad.

Ittihad

Apabila seorang sufi telah berada dalam keadaan fana dalam pengertian tersebut di atas, maka pada
saat itu ia telah dapat menyatu dengan Tuhan, sehingga wujudiyahnya kekal atau al-baqa. Di dalam
perpaduan dirinya ia menemukan hakikat jati dirinya sebagai manusia yang berasal dari Tuhan, itulah
yang dimaksud dengan ittihad

Faham ini timbul sebagai konsekuensi lanjut dari faham fana dan baqa. Ungkapan Bayazid berikut ini
akan memperjelas pengertian ittihad. Bayazid berkata

:
. .

Dan pada kesempatan lain beliau berkata : Pada suatu ketika aku dinaikkan ke hadirat Tuhan dan ia
berkata : Hai Zayid, makhluk-Ku ingin melihat engkau. Aku menjawab : Kekasihku, aku ingin melihat
mereka, tetapi jika itulah kehendak-Mu, maka aku tak berdaya menentang kehendak-Mu, hiasilah
aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika makhluk-Mu melihat aku, mereka akan berkata : Telah kami
lihat Engkau. Tetapi yang mereka lihat sebenarnya adalah engkau, karena itu aku tak ada di sana.

Situasi ittihad itu diperjelas lagi dalam ungkapannya : Tuhan berkata : semua mereka kecuali
Engkau, adalah makhlukku. Akupun berkata : Aku adalah engkau, Engkau adalah Aku.

Ungkapan kata Abu Yazid ini telah mendapat tanggapan, bahkan kecaman dari para ulama di
zamannya. Bagi para ulama yang toleran menilainya sebagai suatu penyelewengan, tetapi bagi ulama
yang ekstrim menilainya sebagai suatu kekufuran. Namun ada pula yang menilainya merupakan
kasus tertentu bagi seorang sufi dan kata-kata yang dilontarkan adalah kata-kata yang terlontar di
kala kondisi kejiwaannya tidak stabil. Dalam kondisi seperti ini, seorang sufi tidak sepenuhnya bisa
mengandalkan diri pribadinya, dan dia pada saat itu tidak mampu lagi mengendalikan dirinya

Abu Yazid, seperti kita ketahui adalah sufi pertama yang memunculkan faham fana dan baqa dalam
tasawuf. Dia selalu ingin selalu dekat (ber-taqarrub) dengan Tuhan. Karena keinginan yang mendalam
untuk selalu dekat dengan Tuhan, mengakibatkan seakan-akan Abu Yazid merasa bersatu dengan
Tuhan.

Dengan fana, Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi kehadirat Tuhan, bahwa ia telah dekat
dengan sang khaliq, ini dapat dicermati dari syathahat yang diucapkannya, dan dalam hal ini ucapan
tersebut tidak dapat dipegangi dan dikenakan hukum. Karena orang yang berkata pada waktu itu
sedang mabuk. Mabuk oleh fananya, oleh tiada sadar diri lagi, sebab tenggelam dalam tafakkur.
Ungkapan Abu Yazid tentang fana dan ittihad menurut al-Taftazani : memang terlalu berlebih-
lebihan, antara lain seperti yang diucapkan Abu Yazid : Aku ini Allah, tidak ada Tuhan kecuali aku,
maka sembahlah Aku. Yazid juga pernah mengatakan : Tuhan berfirman : Semua mereka, kecuali
Engkai adalah Aku, dan Aku adalah Engkau

Secara harfiah ungkapan-ungkapan Bayazid itu adalah pengakuan dirinya sebagai Tuhan dan atau
sama dengan Tuhan. Akan tetapi sebenarnya bukan demikian maksudnya. Dengan ucapannya Aku
adalah Engkau bukan ia maksudkan akunya Bayazid pribadi. Dialog yang terjadi pada waktu itu pada
hakekatnya adalah monolog. Kata-kata itu adalah sabda Tuhan yang disalurkan melalui lidah Bayazid
yang sedang dalam keadaan fana an-nafs. Pada saat bersatunya Bayazid dengan Tuhan ia berbicara
atas nama Tuhan karena yang ada pada ketika itu hanya satu wujud, yaitu Tuhan, sehingga ucapan-
ucapannya itu pada hakikatnya adalah kata-kata Tuhan. Dalam hal ini Bayazid menjelaskan :

Sebenarnya Dia berbicara melalui lidah saya, sedangkan saya sendiri dalam keadaan fana.

Oleh karena itu sebenarnya Bayazid tidak mengaku dirinya sebagai Tuhan seperti apa yang dilakukan
oleh Firaun. Proses ittihad ini menurut Bayazid adalah naiknya jiwa manusia kehadirat Ilahi, bukan
melalui reinkarnasi. Sirnanya segala sesuatu dari kesadaran dan pandangannya, yang disadari dan
dilihat hanya hakikat yang satu, yakni Allah. Bahkan dia tidak melihat dan tidak menyadari dirinya
sendiri karena dirinya terlebur dalam Dia yang terlihat.

Sudah banyak usaha dilakukan untuk menjelaskan kepribadian dan ucapannya yang penuh teka-teki
yang terbaik kata Schimmel, adalah sebuah telaah pendek namun mendalam yang dilakukan oleh
Helmut Ritter, R.C. Zaehner telah menekankan kemungkinan adanya pengaruh India pada Abu Yazid.
Tampaknya R.A. Nicholson juga cenderung berpendapat bahwa Abu Yazid, khususnya faham fana
dipengaruhi oleh ajaran India yang diterima dari Abu Ali al-Sindi Annemarie Schimmel meragukan
pendapat yang mengatakan bahwa Abu Yazid menerima ajaran dari Abu Ali al-Sindi

Memang di kalangan para sufi sendiri terjadi perbedaan pendapat seperti yang pernah penulis
singgung namun demikian menurut Ust. Drs. Moh. Saifullah al-Aziz, di dalam bukunya Risalah
Memahami Tasawuf, kita tidak bisa begitu saja khususnya di kalangan mujtahid untuk terus
berkiprah berusaha menggali tasawuf dari sumber aslinya untuk mencari kemurnian tasawuf itu
hingga saat ini, seperti Muhammad Iqbal, Prof. Dr. H. Abdul Karim Amrullah (HAMKA) dan
sebagainya. Dan hasil pengkajian mereka itulah, maka ajaran tasawuf seperti fana dan ittihad dan
sejenisnya bisa dikaji ulang untuk dikembalikan pada bentuk aslinya pada masa Nabi dan para
sahabat
Perlu juga diketahui bahwa paham ini jauh berbeda dengan faham hulul-nya al-Hallaj. Di mana dalam
faham hulul ini Tuhan lah yang mencari dan mengambil tempat tubuh manusia tertentu untuk
ditempatinya, dengan kata lain Tuhan sendiri yang melebur dalam diri manusia, setelah manusia
telah mampu menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana, sedangkan kalau ittihad,
manusia yang berusaha sendiri untuk menarik diri Tuhan melalui metode al-fana.

Haqiqat Fana

FANA QALB

DALAM Wilayah Sughra, seseorang Murid Salik akan mengalami Istighraq yakni merasa bahwa dirinya
seakan akan tenggelam dan Sukr yakni merasa mabuk cintanya terhadap Zat Allah Subhanahu Wa
Taala. Dalam Wilayah ini, hati akan terputus hubungan secara keseluruhan dengan segala sesuatu
yang selain Allah Subhanahu Wa Taala sama ada pada pengetahuan mahupun kecintaan terhadap
sesuatu dan hatinya akan lupa secara keseluruhan terhadap sesuatu yang selain Allah Subhanahu Wa
Taala. Kaifiat keadaan ini dinamakan Fana Qalb.

Penyair Sufi bersyair, Key Bud Khud Za Khud Juda Mandah Man Wa Tu Raftah Wa Khuda Mandah
Seseorang yang sudah meninggalkan dirinya ke manakah haluannya?

aku dan dirimu sudah pergi dan yang tinggal hanyalah Allah.

Fana Qalb akan menghasilkan Tajjalliyat Afaliyah Ilahiyah dalam diri Salik yakni dalam kesadaran dan
khalayannya dia akan melihat bahwa segala Afal tindakan dan perlakuan segala sesuatu yang selain
Allah adalah kesan daripada Afal tindakan dan perlakuan Haq Allah Subhanahu Wa Taala dan
keadaan ini akan Ghalabah menguasai dirinya.

Kemudian, segala zat dan sifat Wujud Mumkinat akan dianggapkan olehnya sebagai penzahiran Zat
dan Sifat Haq Allah Subhanahu Wa Taala. Maka, pada waktu itu Salik sedang berdiri di pintu Tauhid
Wujudi ataupun masyhur dengan sebutan Wahdatul Wujud yakni menganggap bahwa segala
tindakan yang wujud pada Mumkinat itu adalah merupakan ombak dari tindakan Allah Subhanahu
Wa Taala Zat yang Wajibul Wujud.

Shah Abdullah Ghulam Ali Dehlawi Rahmatullah alaih menyatakan bahwa Fana terbagi empat
keadaan seperti berikut:
1. Fana Khalaq Segala pengharapan Murid dan rasa ketakutannya terhadap selain Allah akan
menjadi lenyap.

2. Fana Hawa Hati Murid hanya berkendakkan Zat Allah Subhanahu Wa Taala dan merasa tidak
berkehendak kepada segala sesuatu yang selain Allah.

3. Fana Iradah Segala keinginan dalam hati Murid menjadi tiada, seumpama orang yang mati.

4. Fana Fiil Murid mengalami Fana dalam perbuatan dan perlakuan, maka segala penglihatannya,
pendengarannya, percakapannya, makan dan minumnya, berjalannya dan berfikirnya dia akan
merasakan bahwa segalanya itu adalah merupakan perbuatan dan perlakuan Allah Subhanahu Wa
Taala semata-mata.

Dalam sebuah Hadits Qudsi ada dinyatakan bahwa apabila seseorang hamba berusaha mendekatkan
dirinya kepada Allah Subhanahu Wa Taala menerusi amalan Nawafil sehingga Allah Subhanahu Wa
Taala menjadikannya sebagai kekasihNya, maka Allah Subhanahu Wa Taala akan menjadi
pendengarannya yang dia dapat mendengar denganNya dan Allah Subhanahu Wa Taala akan
menjadi penglihatannya yang dia dapat melihat denganNya dan Allah Subhanahu Wa Taala akan
menjadi tangannya yang dia dapat memegang denganNya dan Allah

Subhanahu Wa Taala akan menjadi kakinya yang dia dapat berjalan denganNya.

HAQIQAT FANA

Syeikh Ahmad Faruqi Sirhindi Rahmatullah alaih telah menyatakan di dalam

kitabnya Maarif Laduniyyah pada Makrifat 26 berkenaan Fana dan Latifah sebagai berikut:

Fana berarti melupakan semua perkara kecuali Allah Taala. Setiap satu dari kelima-lima Latifah
dalam Alam Amar terkandung bayangan gambaran dan takluk keasyikan di dalam tubuh badan
manusia. Kelima-lima Latifah itu telah diberikan nama sebagai Qalb, Ruh, Sirr, Khafi dan Akhfa.
Kebanyakan Aulia Allah tidak dapat membedakannya di antara satu dengan yang lain lalu
menggelarkan kesemuanya

sebagai Ruh. Apabila dimaksudkan Ruh, maka kelima-lima hal ini juga turut difahami.

Ruh iaitu suatu Latifah, sudah pun mengenali Allah Taala sebelum ia digabungkan dengan tubuh
badan jasmani. Ia memiliki sedikit keinginan, pengetahuan dan cinta

terhadap Allah Taala. Ia telah diberikan tenaga dan kemampuan untuk mencapai ketinggian dan
terpuji. Akan tetapi ia tidak akan dapat mencapai kecemerlangan selagi ia tidak bergabung dengan
tubuh badan jasmani.

Untuk maju dan cemerlang, ia perlu disatukan dengan tubuh badan. Untuk maksud ini, pada mulanya
Ruh telah diberikan takluk keasyikan terhadap tubuh badan.
Kemudian, ia telah diberikan kebenaran untuk menuju ke tubuh badan lalu ia tercampak ke tubuh
badan. Dengan keadaannya yang halus dan suci, ia tenggelam ke dalam tubuh badan manusia. Ia
menjadi tidak dikenali, tidak dikenali oleh tubuh badan. Ia lupa tentang dirinya. Ia terus menyangka
dirinya adalah tubuh badan. Ia kehilangan dirinya di dalam tubuh badan. Karena itulah kebanyakan
manusia menyangka diri mereka sebagai hanya tubuh badan. Tidak menyedari tentang kewujudan
Ruh, mereka menafikannya.

Allah Taala dengan sifatNya Yang Maha Mengasihani telah menghantar pesanan kepada manusia
iaitu Ruh, menerusi Para Nabi dan Rasul Alaihimussolatu Wassalam.Dia mengajak mereka kepada
DiriNya. Dia melarang mereka dari bergantung kepada tubuh badan yang gelap ini. Seseorang yang
yang telah ditetapkan untuk memperolehi kebaikan yang kekal akan mentaati perintahperintah

Allah dan meninggalkan pergantungannya terhadap tubuh badan. Dia mengucapkan kesejahteraan
kepadanya dan ia akan terus kembali ke atas pada tahap ketinggiannya yang sebenar.

Cintanya terhadap asal-usulnya yang pernah dirasakannya sebelum bergabung dengan tubuh badan
meningkat secara peringkat demi peringkat. Cintanya

terhadap benda yang bersifat sementara makin berkurangan. Apabila dia melupakan keseluruhan
tentang tubuh badan jasmaninya yang gelap, yang mana tiada lagi rasa asyik dan cinta yang tinggal,
maka dia sudah mencapai fana tubuh badan.

Selanjutnya, dia perlu melepas satu dari dua langkah asas pada jalan Tasawwuf iaitu Fana dan Baqa.
kemudian jika Allah menghendaki dan merahmatinya, dia

akan mencapai peningkatan Ruhaniah lalu terus melupakan tentang dirinya. Apabila ketidak sadaran
ini meningkat, dia akan langsung melupakan terus tentang dirinya. Dia tidak akan lagi mengenali
sesuatu apapun selain dari Allah Taala.

Seterusnya dia akan mencapai Fana Ruh yang mana seterusnya dia perlu bergerak meneruskan
langkahnya yang kedua. Ruh datang ke dunia ini dengan keinginan untuk mencapai Fana yang kedua
ini. Ianya tidak akan dapat dicapai tanpa datang ke dunia ini. Jika Latifah Qalb melepasi kedua-dua
langkah ini bersama-sama Ruh, ia akan mencapai Fananya sendiri bersama-sama dengan Ruh. Jika
Nafs

menyertai Qalb dengan cara ini, ia juga akan disucikan, iaitu ia juga akan mancapai Fananya. Tetapi
apabila Nafs telah mencapai tahap Qalb, jika ia tetap berada di situ tanpa berusaha mencapai
peningkatan dan melepasi kedua-dua langkah ini, ia tidak akan dapat mencapai tahap
ketidaksadaran. Ia tidak akan menjadi Mutmainnah atau jiwa yang tenang.

Seseorang yang telah mencapai Fana Ruh mungkin tidak mencapai Fana Qalb. Ruh ibarat bapa
kepada Qalb dan Nafs pula ibarat ibu kepada Qalb. Jika Qalb mempunyai keinginan terhadap Ruh
sebagai bapanya dan memalingkan dirinya dari Nafs sebagai ibunya dan jika keinginan ini bertambah
kuat dan menarik Qalb ke arah bapanya, maka iabakan mencapai darjatnya. Ianya adalah dengan
melepasi
kedua-dua langkah ini. Apabila Qalb dan Ruh mencapai Fana, Nafs tidak semestinya turut mencapai
Fana.

Jika Nafs mempunyai keasyikan dan keinginan terhadap anaknya, dan jika keinginan ini semakin
bertambah dan membuatkannya semakin dekat dengan anaknya yang telah mencapai darjat
bapanya, maka ibunya juga akan menjadi seperti mereka. Keadaan yang sama juga berlaku untuk
mencapai Fana pada Latifah Sirr, Khafi dan Akhfa. Segala ingatan dan fikiran yang telah dipadamkan

dan dilenyapkan dari Qalb hatinya menunjukkan kebenaran bahwa Ia telah melupakan segala
perkara yang lain selain Allah Taala. Tidak ada daya upaya untuk mengingat sesuatu apa pun
bermakna bahwa pengetahuan dan segala sesuatu

telah lenyap. Di dalam Fana, ilmu pengetahuan juga perlu dilenyapkan.

Masyaikh berkata,

Ilm Sufi Ain Zat Haq Bud,

Ilm Haq U Khud Sifat Haq Bud.

Ilm Haq Dar Ilm Sufi Gum Syawad,

In Sukhn Key Bawar Mardam Syawad.

Ilmu Sufi adalah mata air Ilmu Zat Yang Haq,

Ilmu Haq pada mereka adalah sifat yang Haq.

Ilmu Haq dalam Ilmu Sufi telah lenyap,

Kebenaran perkataan ini ada dalam hati lelaki Sufi.

FANA FI SYEIKH

APABILA Zikir Rabitah ghalib ke atas seorang Murid yakni dirinya sudah tenggelam dengan Zikir
Rabitah, maka dia akan melihat wajah Syeikhnya pada segala sesuatu dan keadaan ini dinamakan
sebagai Fana Fi Syeikh.

Di dalam kitabHidayatut Talibin bahwa keadaan warid seperti ini juga

berlaku ke atas diri ketika mula-mula melakukan Zikir Rabitah sehinggakan beliau mendapati bahwa
dari Arash sehingga ke tanah dipenuhi dengan wajah

Syeikhnya dan beliau melihat bahwa setiap pergerakan maupun diamnya adalah pergerakan dan
diam Syeikhnya. Ketahuilah bahwa jalan Rabitah merupakan jalan yang paling dekat dari sekelian
jalan. Banyak masalah ajaib dan sulait akan terzahir menerusi jalan ini.
Syaikh Muhammad Masum Rahmatullah alaih telah berkata bahwa,

Zikir semata-mata tanpa Rabitah dan tanpa Fana Fi Syeikh tidak akan dapat menyampaikan kepada
maksud dan Rabitah semata-mata dengan mengamati Adab Suhbah adalah mencukupi.

Seseorang yang telah tenggelam dalam Fana Fi Syeikh akan sentiasa merasakan bahwa Syeikhnya
sentiasa ada dalam dirinya, dalam setiap pergerakan dan perkataannya. Yang diingatnya hanyalah
Syeikhnya dan ini hanya akan terhasil dengan sempurna apabila ianya disertai dengan Mahabbah
iaitu Cinta dan Kasih Sayang yang terhasil dari Rahmat Allah Subhanahu Wa Taala. Fana Fi Syeikh
berarti meletakkan segala urusan perjalanan Keruhaniannya pada tangan Syeikhnya dan bersedia
menurut segala anjuran, teguran, nasihat dan tunjuk ajar dari Syeikhnya. Fana Fi Syeikh akan
membawa seseorang Murid itu ke arah ketaatan

terhadap Syeikh yang dianggap sebagai pemimpin dan pembimbing Ruhani bagi Murid.

Menurut Syeikh Ahmad Faruqi Sirhindi Rahmatullah alaih, apabila kelima-lima

Lataif Alam Amar telah disucikan dengan sempurna, Lataif Alam Khalaq juga dengan sendirinya akan
disucikan, kemudian dia akan memahami hakikat Daerah Imkan. Untuk mencapai maqam ini,
seseorang itu perlulah mancapai Fana Fi Syeikh. Ini akan mengangkat hijabnya terhadap kefahaman
tentang Daerah Imkan. Seseorang Murid yang Salik menuju Allah Subhanahu Wa Taala perlu

kembali kepada Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam karena Ruh kita terbit dari Ruh Baginda Nabi
Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam. Untuk

kembali kepada Ruh Baginda Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam, seseorang Murid itu perlu
mengenali Ruh Baginda Nabi Muhammad

Sallallahu Alaihi Wasallam menerusi pimpinan dan bimbingan seorang Syeikh yang akan
memberikannya beberapa petunjuk untuk menuju Allah Subhanahu

Wa Taala dan Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam. Syeikh adalah Ulul
Amri yang memelihara urusan Keruhanian Murid. Mentaati Syeikh bererti mentaati Baginda Nabi
Muhammad Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam dan ketaatan kepada Baginda Nabi Muhammad
Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam bererti kita mentaati Allah

Subhanahu Wa Taala. Seseorang Murid yang Fana Fi syeikhnya sempurna, maka Syeikhnya
hendaklah membimbingnya kepada Syariat, Tariqat, Marifat dan

Haqiqat Muhammadiyah sehingga Murid yang Salik itu tenggelam dalam lautan Fana Fi Rasul. Para
Masyaikh menyatakan bahwa Fana Fi Syeikh adalah Muqaddimah bagi Fana Fi Rasul dan Fana Fillah.
Setelah mencapai Fana Fi Syeikh, Murid perlu menuju Fana Fi Masyaikh terlebih dahulu dan
seterusnya Fana Fi Rasul.

FANA FI MASYAIKH
FANA Fi Masyaikh bererti seseorang Murid yang sudah mulai patuh pada Syeikhnya, maka hendaklah
dia turut mematuhi sekelian Para Masyaikh dalam Silsilah karana segala limpahan Ruhaniah dan
Faidhz adalah datang menerusi pertalian Batin mereka yang kukuh sehinggalah kepada Baginda Nabi

Muhammad Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam.

Para Masyaikh adalah orang-orang yang menuruti kehidupan Zahir dan Batin Baginda Nabi
Muhammad Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam.

Mengasihi mereka bererti mengasihi Baginda Nabi

Muhammad Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam karena Para Masyaikh adalah Para Alim Ulama
dan mereka adalah Pewaris Nabi sehingga ke hari Qiyamat.

Para Masyaikh adalah orang-orang yang terdahulu menjalani kehidupan Tariqat Tasawwuf dan jasad
mereka telah Fana manakala Ruh mereka kekal Baqa di sisi Allah Subhanahu Wa Taala. Mereka
adalah orang yang hidup dan matinya berada atas jalan Allah, berjuang untuk menegakkan Kalimah
Allah yang Agung. Fana Fi Masyaikh adalah pintupintu jalan untuk menuju Fana Fi Rasul. Wallahu
Alam, Wa

Ilmuhu Atam.

FANA FI RASUL

FANA Fi Rasul bererti seseorang Murid yang tenggelam dalam Haqiqat Muhammadiyah setelah dia
menyAdari bahwa Syeikhnya dan Para Masyaikhnya adalah bayangan kepada Ruh Baginda Nabi
Muhammad Rasulullah

Sallallahu Alaihi Wasallam yang mana sekelian Ruh Mukmin bersumber darinya. Seseorang Murid
akan mengalami rasa Cinta dan Kasih Sayang yang hebat terhadap Baginda Nabi Muhammad
Rasulullah SallallahuAlaihi Wasallam sehingga dia berusaha membawa kehidupannya selaras dengan
kehendak kalimah:

MUHAMMADUR RASULULLAH.

Syeikh hendaklah membimbing Muridnya kepada Amalan Sunnah Nabawiyah yang Zahir mahupun
yang Batin. Tiada satupun amalan yang kecil di dalam Sunnah

Nabawiyah bahkan kesemuanya adalah amat besar di sisi Allah Subhanahu Wa Taala. Seseorang
Mukmin tidak akan mencapai derajat Iman yang sempurna sehinggalah segala Hawa dan Nafsunya
tunduk sepenuhnya kepada Agama dan

Sunnah Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam. Baginda Nabi Muhammad Rasulullah
Sallallahu Alaihi Wasallam juga adalah Insan dan manusia biasa seperti kita yang memiliki Hawa dan
Nafsu, namun Ruhnya telah disucikan oleh Allah Subhanahu Wa Taala dan Hawa Nafsunya juga telah
ditarbiyah dan disucikan untuk menuruti kemauan Ruh. Ruh Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu
Alaihi Wasallam adalah terbit dari Ruh Allah Subhanahu Wa Taala dan hubungan di antara keduanya
amat rapat sehingga segala kecintaan dalam hati Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu
Alaihi Wasallam hanyalah tertumpu kepada Allah Subhanahu Wa Taala.

Ruh orang-orang yang beriman dengan Allah adalah terbit dari Ruh Baginda Nabi Muhammad
Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam dan mereka hendaklah kembali kepada fitrah mereka yang asal
iaitu fitrah Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam yang menjadi sumber
petunjuk bagi orang-orang beriman untuk menuju kepada Allah. Orang-orang yang beriman kepada
Allah Subhanahu Wa Taala hendaklah mencintai Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu
Alaihi Wasallam lebih daripada apa yang mereka cintai untuk diri mereka, ibu bapa mereka dan
kaum keluarga mereka sendiri.

Allah Subhanahu Wa Taala berfirman dalam Surah Ali Imran ayat 31 yang bermaksud,Katakanlah:
Jika kamu benar-benar mencintai Allah, maka turutilah aku (Muhammad Rasulullah SallallahuAlaihi
Wasallam), nescaya Allah akan mencintai kamu dan Dia akan mengampuni dosa-dosa kamu, dan
Allah adalah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.

Untuk mencapai Fana Fi Rasul, Salik perlu menanamkan dalam dirinya tentang kemuliaan, kehebatan
dan keagungan Sunnah Nabi Muhammad Rasulullah

Sallallahu Alaihi Wasallam serta sentiasa beramal dengannya. Kemuliaan Para Sahabat Radhiyallahu
Anhum adalah terhasil menerusi ketaatan mereka terhadap

Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam dan kecintaan mereka untuk
menuruti segala Sunnah Baginda Nabi Muhammad Rasulullah

Sallallahu Alaihi Wasallam. Maka itulah, Para Masyaikh menyuruh sekalian para pengikut mereka
agar sentiasa berpegang teguh dengan amalan Sunnah Baginda Nabi Muhammad Rasulullah
Sallallahu Alaihi Wasallam pada setiap masa dan keadaan. Semoga Allah memberikan kita Taufiq.
Amin.

FANA FILLAH

FANA Fillah adalah suatu hal keadaan di mana Murid yang Salik itu merasa kehilangan dirinya dalam
menyaksikan Musyahadah Keagungan dan Kebesaran Allah Subhanahu Wa Taala menerusi Tajalli
yang dilimpahkan oleh Allah

Subhanahu Wa Taala ke dalam hatinya. Ianya terhasil menerusi Zikir kalimah Ismu Zat dan Nafi Itsbat
yang banyak. Pintu hati tidak akan terbuka tanpa Zikir yang

banyak. Allah Subhanahu Wa Taala akan melimpahkan Tajalli Nama ZatNya bagi memperkenalkan
Sifat-SifatNya dan Afal perlakuan serta tindakanNya. Seseorang Salik yang baru mencapai Fana Fillah
akan mengalami Ghalabah atau disebut keadaan Bey Khudi yakni merasakan bahwa dirinya telah
hilang, berkeadaan tidak
tentu arah seolah-olah menggelabah dalam perasaannya. Sukar baginya mengungkapkan segala
rahsia-rahsia Ketuhanan yang diperlihatkan secara Musyahadah di dalam hatinya. Dia akan merasai
tenggelam dalam lautan Rahmat

dan Kekuasaan Allah Subhanahu Wa Taala. Apabila terhasilnya Kaifiat ketika berzikir maka
hendaklah memeliharanya, dan jika Kaifiat tersebut ghaib maka

hendaklah teruskan berzikir sehingga Kaifiat kembali terhasil dan rasa kehadiran menjadi semakin
teguh. Apabila Murid mencapai Jazbah Qabuliyat yakni tarikan penerimaan dari Allah Taala, maka
dia akan merasakan limpahan Faidhz dan hembusan Rahmaniyah dari Tuhan Yang Maha Pemurah
melimpahi dirinya.

Kadang-kadang Faidhz akan terlimpah ke dalam hati secara tiba-tiba dan terhasilnya Warid pada hati,
lalu menjadikannya dalam keadaan tidak tentu arah. Maka apabila kaifiat yang sedemikan itu berlaku
secara berterusan, seseorang Murid itu hendaklah mengharap dan memohonpenghasilan Fana dan
kesenantiasaan merasai kehadiran bersama Allah Subhanahu Wa Taala. Fana Fillah juga diertikan
sebagai Fana Fi Zat yang bermakna seseorang Salik itu tenggelam dalam lautan

kehadiran Zat yang meliputi segala sesuatu. Apabila seseorang itu tenggelam dalam lautan Zat yang
menguasai dan meliputi segala sesuatu, maka pandangannya tidak akan melihat sesuatu yang lain
selain ZatNya yang Maha Berkuasa dan kekuasaanNya meliputi setiap benda dan segala sesuatu yang
ada di langit, di bumi dan apa yang ada di antara langit dan bumi. Sesungguhnya Allah adalah Al-Latif
yang Maha Halus dan Dialah Al-Muhit yang kewujudanNya dan kekuasaanNya meliputi segala
sesuatu.

Sewaktu seseorang itu sedang tenggelam dalam lautan Fana Fi Zat ini, dia akan mengalami suatu
perasaan bahwa dirinya juga bukanlah sutu wujud yang bersifat hakiki bahkan tidak wujud sama
sekali. Yang difahami olehnya hanyalah Wujud Allah yang mana kewujudanNya adalah wajib dan
Haq, tidak dapat disangkal sama sekali. Dia akan melihat bahwa segala kejadian ciptaan, hal peristiwa
dan

keadaan, perbuatan serta tindakan itu hanya dapat berlaku dengan kehendak dan izin dari Allah
Tuhan Semesta Alam. Maka dia akan merasai bahwa Wujud Haqiqi hanyalah satu iaitu Zat Allah
Subhanahu Wa Taala dan inilah permulaan

hal Tauhid Wujudi atau digelar Wahdatul Wujud.

Mendawamkan Zikir Ismu Zat yang banyak akan membawa Salik mencapai Fana pada Qalbnya dan
dia akan mengalami suatu Jazbah untuk mendekatkan dirinya kepada Allah Subhanahu Wa Taala dan
Qalbnya akan mula memberi tumpuan Tawajjuh kepada limpahan Faidhz dari sisi yang diatas Arash.

Seterusnya dia akan mengalami Jamiyat dan Hudhur yang mana segala lintasan pada hati dan fikiran
menjadi semakin berkurangan dan mungkin lenyap sama sekali. Keadaan ini apabila berterusan akan
menghasilkan Warid pada diri Salik yang mana dia akan mengalami perasaan sukar dan tiada terdaya
untuk menerima sesuatu Hal dalam hatinya, dengan merasakan ketiadaan wujud pada dirinya. Pada
peringkat awal pencapaian Fana, keadaan ini berlaku sekali-sekala bahkan mungkin sebulan sekali.
Seseorang yang banyak berzikir mungkin akan sering mengalaminya seperti seminggu sekali atau
bahkan mungkin pada setiap hari dan mungkin berkali-kali menerima Warid yang sedemikian dalam
sehari. Segalanya ini berlaku dengan

Rahmat Allah Subhanahu Wa Taala.

Para Masyaikh berkata bahwa,

Tasawwuf secara keseluruhannya adalah Adab, dan barangsiapa yang biadab dengan tidak
memelihara Adab tidak akan dapat mencapai Tuhan.

Para Akabirin Naqshbandiyah berkata, Man Dhzayyaar Rabbal Adna,

Lam Yasil Ilar Rabbil Ala. Barangsiapa yang mensia-siakan Pentarbiyah yang rendah (SyeikhMurshid),
Dia sekali-kali tidak akan sampai kepada Pentarbiyah Yang Maha Tinggi (Allah Taala).

Fana Fillah bererti melupakan semua masalah kecuali Allah Taala. Apabila dia melupakan
keseluruhan tentang tubuh badan jasmaninya yang gelap, yang mana tiada lagi rasa asyik dan cinta
yang tinggal, maka dia sudah mencapai fana tubuh badan. Seterusnya, dia perlu melepasi satu
daripada dua langkah asas pada jalan Tasawwuf iaitu Fana Qalb. Seterusnya dia akan mencapai Fana
Ruh yang mana

seterusnya dia perlu bergerak meneruskan langkahnya yang kedua. Seseorang yang telah mencapai
Fana Ruh mungkin tidak mencapai Fana Qalb. Apabila Qalb dan Ruh mencapai Fana, Nafs tidak
semestinya turut mencapai Fana. Keadaan

yang sama juga berlaku untuk mencapai Fana pada Latifah Sirr, Khafi dan Akhfa. Segala ingatan dan
fikiran yang telah dipadamkan dan dilenyapkan dari Qalb menunjukkan kebenaran bahwa Ia telah
melupakan segala perkara yang

lain selain Allah Taala. Tidak ada daya upaya untuk mengingat sesuatu apa pun bermakna bahwa
pengetahuan dan segala sesuatu telah lenyap. Di dalam Fana, ilmu pengetahuan juga perlu
dilenyapkan.

Iklan

Kategori: Tak Berkategori

Tag: abu yazid, al baqa, dzat allah, fana, ibnu sina, ketuhanan, Sufi

Tinggalkan sebuah Komentar

TUHAN & MANUSIA


Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.

Kembali ke atas

You might also like