You are on page 1of 4

Nia (25) tak pernah menduga akan dikaruniai anak autis.

Tapi apa daya, ia pun hanya bisa


pasrah kepada Tuhan. Hanya usaha yang bisa ia lakukan agar kelak putranya itu bisa hidup
layaknya anak normal.

Kevin adalah adalah anak pertama pernikahan Nia dengan Anton Simbolon. Kini usianya
beranjak 5 tahun. Kelainan pada bocah lelaki kelahiran Medan, 1 Oktober 2002 ini mulai
nampak ketika ia berusia dua tahun. Di usia itu ia belum bisa bicara dengan jelas.

Sebelumnya ia tampak normal. Responnya pun masih normal. Jika dipanggil misalnya, ia
akan menoleh dan melihat siapa yang memanggilnya itu, kenang Nia perempuan berdarah
Sunda itu.

Cara bicara Kevin yang lambat dan tidak jelas sebelumnya dianggap Nia dan keluarga
hanyalah masalah keterlambatan pertumbuhan saja. Dan mereka yakin, Kevin pasti bisa
berbicara layaknya anak normal seiring dengan pertumbuhan usianya nanti. Dan Kevin pun
sempat mengikuti sekolah playgroup dengan sesama anak normal lainnya.

Namun hingga enam bulan kemudian, anggapan itu tenyata keliru. Kevin belum
menampakkan perubahan. Bahkan, perilaku Kevin tampak semakin tidak seperti biasanya.
Hal inilah yang akhirnya menyadarkan Nia bahwa ia perlu memeriksakan apa sebenarnya
yang terjadi pada anaknya itu.

Karena kurangnya informasi tentang kelainan Kevin, Nia kemudian membawa Kevin ke
Bandung. Dokter pertama yang ditemuinya adalah dr Dadang Sharief (spesialias anak) yang
mengatakan, Kevin mengalami masalah (gangguan) pada pencernaan.

Dugaan-dugaan diagnosa yang belum jelas tentang kelainan yang terjadi pada Kevin sempat
membuat Nia bingung. Hingga akhirnya atas rujukan dr Dadang Syarif sendiri, Nia pun
bertemu dengan dr Meli Budiman (Ketua Yayasan Autis Indonesia).

Kebetulan waktu itu dr Meli Budiman sedang berkunjung ke Bandung. Dan atas diagnosa
sang dokter, Kevin dijelasakan positif mengidap autis. Dokter langsung tahu setelah
memeriksa tingkah laku Kevin, jelas Nia. Dan menyarankan agar Kevin menjalani terapi
rutin.

Sayangnya, Kevin hanya bisa menjalani terapi selama enam bulan karena terkendala masalah
biaya. Terus terang saya akui, sebagai orang tua yang masih muda, waktu itu kami masih
belum mapan secara finansial dan pengalaman, kata Nia.

Maka dengan terpaksa Nia pun kembali ke Medan dengan harapan mendapat dukungan dari
orangtua dan keluarga. Namun kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Nia tidak mendapat
respon dan dukungan dari mereka, yang bahkan tidak menerima kenyataan yang menimpa
Kevin.

Meski demikian, Nia dan suami tidak menyerah. Saya dan ayah Kevin berusaha berjuang
sendiri tanpa ada dukungan dari pihak keluarga dengan usia yang masih muda, dengan
keadaan yang belum mapan, kata Nia.
Dengan keterbatasan itu, Nia pun merawat Kevin sendirian. Selama satu tahun Kevin kami
rawat di rumah, tanpa bimbingan medis, katanya. Ibu muda ini hanya merawat anaknya
dengan mengandalkan buku-buku dan video.

Hingga pada tahun berikutnya, Nia dan suami yang bekerja sebagai pegawai swasta,
memutuskan agar Kevin kembali mengikuti terapi dan pendidikan di Yayasan YAKARI,
yayasan khusus untuk penanganan bagi anak penderita autis di Kota Medan.

Meski demikian, tak banyak harapan Nia pada Kevin. Harapan yang hampir sama bagi ibu
yang juga memiliki anak penderita autis, yang juga terjadi bagi Mama Yudha misalnya; juga
orang tua lain yang menghadapi kondisi yang sama.

Harapan yang sangat sederhana sebenarnya. Bisa mandiri saja sudah cukup, pinta Nia.
Kenyataanya, hingga kini Kevin masih kesulitan untuk makan sendiri, buang air kecil (besar)
sendiri. Yang jelas, semuanya masih mengharapkan uluran tangan orang lain, meskipun
untuk melakukan hal semudah apapun.

Semakin Sayang Karena Autis

Bagi Nia, menerima kenyataan memiliki anak menderita autis awalnya sangatlah tidak
mudah. Apalagi Kevin adalah putra pertamanya dari perkawinan mudanya.

Rasa minder pun sering dialaminya. Tapi perasaan itu justru menyadarkannya bahwa ia harus
menerima Kevin bagaimanapun ia adanya. Sikap menerima adalah kunci ketabahan bagi
setiap orangtua yang memiliki anak autis, jelas Nia. Sikap yang pada awalnya sulit ia
lakukan.

Kalau bukan orangtua yang berusaha mendekatkan diri, maka semakin sulit bagi penderita
autis untuk hidup berkembang seperti yang diharapkan, katanya.

Nia pun mengaku semakin sadar akan makna cinta sesungguhnya. Juga semakin sadar bahwa
anak adalah titipan Tuhan yang bagaimanapun ia adanya haruslah dijaga dan dibesarkan
dengan ikhlas. Bahkan dengan rasa syukur.

Jika Kevin tidak menderita autis, mungkin cinta saya tidak sebesar ini. Jika Kevin tumbuh
normal, mungkin saya tidak akan merasakan kebahagiaan yang pasti tidak dirasakan orangtua
lain, tambahnya.

Kebahagiaan orangtua yang memiliki anak autis seperti Nia memang berbeda dengan
kebahagiaan yang dirasakan oleh orangtua yang memiliki anak normal.

Nia mengaku akan bahagia jika misalanya, Kevin menunjukkan ekspresinya ketika dipanggil
oleh ibunya; jika ia berbicara dengan baik atau ketika anaknya itu mampu melakukan hal lain
yang bisa dilakukan anak normal, meski tak banyak.

Mungkin kedengaran biasa saja bagi orang lain. Tapi itulah kebagiaan saya sebagai orang
tua yang memiliki anak pengidap autis, katanya dengan raut wajah sedih.
Pengalaman itu sekaligus membuat ia semakin sayang kepada Kevin. Saya dan suami akan
merawatnya semampu kami. Apa pun akan kami lakukan demi Kevin. Sebab inilah
tanggungjawab kami sebagai orangtua. Tak terasa matanya tampak basah memerah.

Orangtua, Terapis Autis Sesungguhnya

Apakah autis bisa disembuhkan? Semua orangtua seperti Nia pasti mengharapkan jawaban
yang sama, yaitu: ya. Ini pulalah yang menjadi dasar keyakinan mereka sehingga berbagai
upaya pun mereka tempuh.

Penanganan autis sejauh ini dilakukan dengan terapi, seperti terapi perilaku, wicara dan
sensori (okupasi). Upaya lain adalah mencari gangguan metabolisme yang mungkin menjadi
menjadi faktor pencetus gejala autis. Dilakukan melalui serangkaian pemeriksaan darah,
faecus, urine dan rambut (terapi biomedis).

Inilah upaya yang juga dilakukan YAKARI sejauh ini. Namun Arief Budi Santoso, konsultan
pendidikan di yayasan itu mengatakan, berhasil tidaknya upaya itu tak lepas dari peran
orangtua sendiri. Sebab orangtualah orang yang terdekat dengan anaknya.

Arief menjelaskan contoh kasus yang pernah dialami Catherine Maurice, seorang ibu yang
memiliki tiga anak yang sama-sama mengidap autis. Seorang ibu yang terbilang berhasil
hingga bukunya (Let Me Hear Your Voice), banyak menjadi acuan terapi bagi seluruh
orangtua yang memiliki anak autis di seluruh dunia. Catherine telah membuktikannya, jelas
Arief.

Penyebab autis

Sejauh ini penyebab autis dipastikan terjadi karena faktor genetik. Namun meskipun anak
membawa predisposisi genetik, bila tidak ada faktor pencetus dari luar, diperkirakan gejala
autis tidak timbul.

Selain itu adalah faktor pencetus sebelum kelahiran, seperti keracunan logam berat, terkena
infeksi virus rubella, CMV, toxoplasma, jamur. Juga dikarenakan ibu memakan obat-obatan
keras terutama pada saat trimester pertama masa kehamilan. Hal ini bisa mengganggu
struktur susunan syaraf pusat janin sehingga anak akan menunjukkan gejala autis sejak akhir.

Autis juga muncul akibat faktor pencetus setelah kelahiran. Hal ini bisa disebabkan oleh
terjadinya infeksi virus, jamur atau bakteri, terutama dalam usus. Adanya gangguan
pencernaan yang menyebabkan berbagai macam alergi makanan, keracunan logam berat,
seperti pB, Hg, As, dan Sb. Akibatnya, terjadi gangguan kekebalan tubuh (imunodefisiensi)
sehingga anak sering sakit.

Juga diakibatkan banyaknya exorphin (casomorphin dan gliadorphin) yaitu protein yang
berasal dari casein (susu sapi) dan gluten (tepung terigu) yang tidak dapat dicerna anak.
Sehingga memberikan efek seperti morphin. Untuk diketahui, fungsi otak yang dipengaruhi
morphin adalah bidang prilaku, perhatian, kecerdasan dan emosi.

Bila hal ini terjadi, maka munculah apa yang disebut autis regresif. Gejalanya bermacam-
macam. Ketika anak sudah sempat berkembang normal, tapi kemudian terjadi kemunduran
pada umur 18-24 bulan. Bahkan, perkembangannya bisa terhenti.
Gejala lain adalah, apa yang telah dipelajari dan dikuasai si anak menghilang perlahan-lahan.
Misalnya, anak sudah mampu berbicara, tapi kemudian kemampuan bicara itu hilang disertai
dengan munculnya gejala-gejala autis. Gejala ini terlihat dari prilakunya yang tidak normal.

You might also like