Professional Documents
Culture Documents
2.1. DEMAM
2.1.1. Definisi
Demam adalah keadaan dimana temperatur rektal >38 0C. Menurut American Academy
of Pediatrics (AAP) suhu normal rektal pada anak berumur kurang dari 3 tahun sampai 38
0
C, suhu normal oral sampai 37,5 0C. Pada anak berumur lebih dari 3 tahun suhu oral normal
sampai 37,2 C , suhu rektal normal sampai 37,8 0C.1 Sedangkan menurut NAPN (National
Association of Pediatric Nurse) disebut demam bila bayi berumur kurang dari 3 bulan suhu
rektal melebihi 38 0C. Pada anak umur lebih dari 3 bulan, suhu aksila dan oral lebih dari
38,3 0C.1
Demam mengacu pada peningkatan suhu tubuh yang berhubungan langsung dengan
tingkat sitokin pirogen yang diproduksi untuk mengatasi berbagai rangsang, misalnya
terhadap toksin bakteri, peradangan, dan rangsang pirogenik lain. Bila produksi sitokin
pirogen secara sistemik masih dalam batas yang dapat ditoleransi maka efeknya akan
menguntungkan tubuh secara keseluruhan; tetapi bila telah melampaui batas kritis tertentu
maka sitokin ini membahayakan tubuh. Batas kritis sitokin pirogen sistemik tersebut sejauh
ini belum diketahui.
Demam bukan suatu penyakit melainkan hanya merupakan gejala dari suatu penyakit.
Demam dapat juga merupakan suatu gejala dari penyakit yang serius seperti Demam
Berdarah Dengue, demam tiphoid, dan lain-lain. Penelitian yang dilakukan oleh Kazeem
menyatakan bahwa mayoritas ibu menyatakan bahwa penyebab demam adalah karena
infeksi (43,7%), sakit gigi (33%), dan paparan sinar matahari(27%).7
Demam merupakan akibat kenaikan set point (oleh sebab infeksi) atau oleh adanya
ketidakseimbangan antara produksi panas dan pengeluarannya. Demam pada infeksi terjadi akibat
mikro organisme merangsang makrofag atau PMN membentuk PE (faktor pirogen endogenik)
seperti IL-1, IL-6, TNF (tumuor necrosis factor), dan IFN (interferon). Zat ini bekerja pada
hipotalamus dengan bantuan enzim cyclooxygenase pembentuk prostaglandin. Prostaglandin-lah
yang meningkatkan set point hipotalamus. Pada keadaan lain, misalnya pada tumor, penyakit darah
dan keganasaan, penyakit kolagen, penyakit metabolik, sumber pelepasan PE bukan dari PMN tapi
dari tempat lain.2-4
Demam mengacu pada peningkatan suhu tubuh yang berhubungan langsung dengan tingkat
sitokin pirogen yang diproduksi untuk mengatasi berbagai rangsang.18 Sebagai respon terhadap
rangsangan pirogenik, maka monosit, makrofag, dan sel kupfer mengeluarkan sitokin yang berperan
sebagai pirogen endogen (IL-1, TNF-, IL-6, dan interferon) yang bekerja pada pusat thermoregulasi
hipotalamus. Sebagai respon terhadap sitokin tersebut maka terjadi sintesis prostaglandin, terutama
prostaglandin E2 melalui metabolisme asam arakidonat jalur siklooksigenase-2 (COX-2) dan
menimbulkan peningkatan suhu tubuh. Hipotalamus akan mempertahankan suhu sesuai patokan
yang baru dan bukan suhu normal.9-10
Mekanisme demam dapat juga terjadi melalui jalur non prostaglandin melalui sinyal afferen
nervus vagus yang dimediasi oleh produk lokal Macrophage Inflammatory Protein-1 (MIP-1), suatu
kemokin yang bekerja langsung terhadap hipotalamus anterior. Berbeda dengan demam dari jalur
prostaglandin, demam melalui MIP-1 ini tidak dapat dihambat oleh antipiretik.10
Demam pada anak dapat diukur dengan menempatkan termometer ke dalam anus,
mulut, telinga, serta dapat juga di ketiak segera setelah air raksa diturunkan, selama satu
menit dan dikeluarkan untuk segera dibaca.1 Pengukuran suhu mulut aman dan dapat
dilakukan pada anak usia di atas 5 tahun. Pengukuran ini juga lebih akurat dibandingkan
dengan suhu ketiak. Pengukuran suhu ketiak (aksila) mudah dilakukan, namun hanya
menggambarkan suhu perifer tubuh yang sangat dipengaruhi oleh vasokonstriksi pembuluh
darah dan keringat sehingga kurang akurat. Pengukuran suhu melalui anus atau rektal cukup
akurat karena lebih mendekati suhu tubuh yang sebenarnya dan paling sedikit terpengaruh
suhu lingkungan, namun pemeriksaannya tidak nyaman bagi anak. Pengukuran suhu melalui
telinga (infrared tympanic) keakuratannya masih diperdebatkan oleh para ahli. 1.11
Pemeriksaan suhu tubuh dengan perabaan tangan tidak dianjurkan karena tidak akurat
sehingga tidak dapat mengetahui dengan cepat jika suhu mencapai tingkat yang
membahayakan. Pengukuran suhu inti tubuh yang merupakan suhu tubuh yang sebenarnya
dapat dilakukan dengan mengukur suhu dalam tenggorokan atau pembuluh arteri paru.
Namun ini sangat jarang dilakukan karena terlalu invasif.1
Suhu tubuh yang diukur di mulut akan lebih rendah 0.5-0.6C (1F) dari suhu rektal. Suhu
tubuh yang diukur di ketiak akan lebih rendah 0.8-1.0C (1.5-2.0F) dari suhu oral. Suhu
tubuh yang diukur di timpani akan 0.5-0.6C (1F) lebih rendah dari suhu ketiak.11
Pengetahuan merupakan hasil dari proses belajar yang melibatkan indra penglihatan,
pendengaran, penciuman dan pengecapan. Pengetahuan akan memberikan penguatan kepada
individu dalam mengambil keputusan dan berperilaku. Pengetahuan memiliki 6 tingkat , yaitu: tahu,
memahami, aplikasi , analisis, sintesis dan evalusi.1,2
Pada penelitian ini, variabel pengetahuan ibu yang akan diteliti meliputi aspek yang diambil
dan digabungkan dari penelitian terdahulu, yaitu pengetahuan ibu mengenai penyebab demam pada
anak, pengetahuan ibu terhadap suhu demam pada anak, pengetahuan ibu terhadap derajat keparahan
demam, pengetahuan ibu terhadap karakteristik demam anak, pengetahuan ibu terhadap dampak
lebih lanjut dari demam pada anak, pengetauan ibu terhadap lokasi pengukuran demam yang tepat
dan pengetahuan ibu terhadap cara menentukan demam pada anak.
2.2.2 Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan
2.2.2.1 Faktor Internal
1) Umur
Umur adalah lama hidup dari suatu individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai
berulang tahun. Semakin cukup umur, tingkat kemampuan dan kematangan seseorang akan lebih
baik dalam berpikir dan menerima informasi. Jadi, semakin bertambah umur akan meningkat
pengalamn dirinya dan pengalaman akan berpengaruh pada tingkat pendidikan. Namun perlu
diketahui bahwa seseorang yang berumur lebih tua tidak mutlak memiliki pengetahuan yang lebih
tinggi dibandingkan dengan seseorang yang lebih muda.12,14
2) Tingkat Pendidikan
Pendidikan dapat membawa wawasan atau pengetahuan seseorang. Pendidikan
mempengaruhi proses belajar. Makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah orang tersebut untuk
menerima informasi. Semakin banyak informasi yang masuk semakin banyak pula pengetahuan yang
didapat. Pengetahuan sangat erat kaitannya dengan pendidikan dimana seseorang dengan pendidikan
tinggi akan semakin luas pengetahuannya. Namun perlu ditekankan bahwa seorang yang
berpendidikan rendah tidak berarti mutlak berpengetahuan rendah.12,14
3) Intelegensia
Intelegensia merupakan kemampuan yang dibawa sejak lahir, yang memungkinkan seseorang
berbuat sesuatu dengan cara tertentu. Intelegensia merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
hasil dari proses belajar.
4) Pekerjaan
Pekerjaan adalah perbuatan yang harus dilakukan terutama untuk menunjang kehidupannya.
Pekerjaan bukanlah sumber kesenangan, tetapi lebih banyak merupakan cara nafkah yang
membosankan, berulang dan banyak tantangan, sedangkan bekerja umumnya merupakan kegiatan
yang menyita waktu dan yang pasti pada suatu pekerjaan pasti akan berinteraksi dengan orang lain di
sekitar pekerjaannya. Jadi apabila orang di sekitar pekerjaannya berpengetahuan tinggi bisa membuat
orang tersebut berpengetahuan tinggi pula karena pengetahuan juga bisa didapatkan dari saling
interaksi antar individu dalam pertukaran berbagai macam informasi.
Contohnya, seseorang yang bekerja sebagai tenaga medis akan lebih mengerti mengenai demam dan
pengalolaannya daripada non tenaga medis.12,14
5) Sumber Informasi
Semakin sering seseorang mendapatkan informasi baik melalui promosi kesehatan ataupun
media massa maka akan semakin meningkat pengetahuannya dan akan mempengaruhi sikap dan
perilakunya.15
6) Tempat Tinggal
Tempat tinggal adalah tempat menetap responden sehari-hari. Seseorang yang tinggal di
daerah rawan penyakit infeksi akan lebih sering menemukan kasus demam, sehingga masyarakat di
daerah tersebut memiliki tingkat kewaspadaan yang lebih tinggi.12
7) Tingkat Ekonomi
Tingkat ekonomi tidak berpengaruh langsung terhadap pengetahuan seseorang.
Makin tinggi tingkat ekonomi, maka akan semakin mampu untuk menyediakan atau membeli
fasilitas fasilitas sumber informasi.
2) Kepercayaan/tradisi
Kepercayaan/tradisi dilakukan orang-orang tanpa melalui penalaran apakah yang dilakukan
baik atau buruk. Kepercayaan/tradisi diantaranya meliputi pandangan agama dan kelompok etnis.
Hal ini dapat mempengaruhi proses pengetahuan khususnya dalam penerapan nilai-nilai keagamaan
untuk memperkuat kepribadiannya.
3) Informasi
Informasi yang diperoleh baik dari pendidikan formal maupun non formal dapat memberikan
pengaruh sehingga menghasilkan perubahan atau peningkatan pengetahuan. Sebagai sarana
komunikasi, berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, termasuk
penyuluhan kesehatan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan pengetahuan seseorang.
Sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam situasi
yang melibatkan faktor emosional. Dalam situasi yang melibatkan emosi,
pengahayatan akan pengalaman akan lebih mendalam dan lebih lama berbekas.
Tidak adanya pengalaman pribadi sama sekali dengan suatu obyek psikologis
cenderung akan membentuk sikap negatif terhadap obyek tersebut.
Orang lain di sekitar kita merupakan salah satu diantara komponen sosial yang ikut
mempengaruhi sikap. Pada umumnya, individu cenderung untuk memiliki sikap yang
searah dengan sikap orang yang dianggapnya penting. Kecenderungan ini antara lain
dimotivasi oleh keinginan untuk menghindari konflik dengan orang yang dianggap penting
tersebut.
c) Pengaruh kebudayaan
Kebudayaan dimana kita hidup dan dibesarkan mempunyai pengaruh besar terhadap
pembentukan sikap kita. Tanpa kita sadari, kebudayaan telah menanamkan garis pengarah
sikap kita terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai sikap anggota
individu yang telah mapan dan kuatlah yang dapat memudarkan dominasi kebudayaan
dalam pembentukan sikap individual.
d) Media massa
Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, surat kabar
majalah mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan orang.
Dalam penyampaian informasi sebagai tugas pokoknya, media massa membawa pula pesan-
pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang. Adanya informasi baru,
mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya sikap terhadap
hal tersebut. Pesan-pesan sugestif yang dibawa oleh informasi tersebut, apabila cukup kuat,
akan memberi dasar afektif dalam menilai sesuatu hal sehingga terbentuklah arah sikap
tertentu.
e) Lembaga pendidikan dan lembaga agama Lembaga pendidikan serta lembaga agama sebagai
suatu sistem mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap dikarenakan keduanya
meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu. Pemahaman akan baik
dan buruk, garis pemisah antara sesuatu yang boleh dan tidak boleh dilakukan, diperoleh dari
pendidikan dan dari pusat keagamaan serta ajaranajarannya. Hal ini dikarenakan konsep
moral dan ajaran agama sangat menentukan sistem kepercayaan maka tidaklah mengherankan
kalau pada gilirannya kemudian konsep tersebut ikut berperan dalam menentukan sikap
individu terhadap sesuatu hal.
Tidak semua bentuk sikap ditentukan oleh situasi lingkungan dan pengalaman pribadi
seseorang. Kadang-kadang suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari oleh
emosi yang 18 berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk
mekanisme pertahanan ego. Sikap demikian dapat merupakan sikap yang sementara dan
segera berlalu begitu frustasi telah hilang, akan tetapi dapat pula merupakan sikap yang lebih
persisten dan bertahan lama.14
Menurut teori Lawrance Green dan kawan-kawan (dalam Notoatmodjo, 2007) menyatakan bahwa
perilaku manusia dipengaruhi oleh dua faktor pokok, yaitu faktor perilaku (behavior causes) dan
faktor diluar perilaku (non behaviour causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau
terbentuk dari 3 faktor yaitu:
a. Faktor predisposisi (predisposing factors), yang mencakup pengetahuan, sikap, kepercayaan,
keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya.
1) Pengetahuan
Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses yang didasari oleh
pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif, maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng (long
lasting) daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Pengetahuan atau kognitif
merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang dalam hal ini
pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan (Notoadmojo, 2007).
Untuk lebih jelasnya, bahasan tentang pengetahuan akan dibahas pada bab berikutnya.
2) Sikap
Menurut Zimbardo dan Ebbesen, sikap adalah suatu predisposisi (keadaan mudah terpengaruh)
terhadap seseorang, ide atau obyek yang berisi komponen-komponen cognitive, affective dan
behavior (dalam Linggasari, 2008). Terdapat tiga komponen sikap, sehubungan dengan faktor-faktor
lingkungan kerja, sebagai berikut:
afeksi
o (affect) yang merupakan komponen emosional atau perasaan.
Kognisi adalah keyakinan evaluatif seseorang. Keyakinan-keyakinan evaluatif, dimanifestasi dalam
bentuk impresi atau kesan baik atau buruk yang dimiliki seseorang terhadap objek atau orang
tertentu.
Perilaku, yaitu sebuah sikap berhubungan dengan kecenderungan seseorang untuk bertindak terhadap
seseorang atau hal tertentu dengan cara tertentu (Winardi, 2004). Seperti halnya pengetahuan, sikap
terdiri dari berbagai tingkatan, yaitu: menerima (receiving), menerima diartikan bahwa subjek mau
dan memperhatikan stimulus yang diberikan.Merespon (responding), memberikan jawaban apabila
ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.
Menghargai (valuing), mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah
adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. Bertanggungjawab (responsible), bertanggungjawab atas
segala suatu yang telah dipilihnya dengan segala risiko merupakan sikap yang memiliki tingkatan
paling tinggi (Notoatmodjo, 2007).
b.Faktor pemungkin (enabling factor), yang mencakup lingkungan fisik, tersedia atau tidak
tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana keselamatan kerja, misalnya ketersedianya alat
pendukung, pelatihan dan sebagainya.
Faktor penguat (reinforcement factor), faktor-faktor ini meliputi undang-undang, peraturanperaturan,
pengawasan dan sebagainnya.
Pengelolaan demam pada anak merupakan salah satu bentuk perilaku pemulihan
Behavioral model of families use of health services, perilaku orang sakit berobat ke
faktor pemungkin (enabling factors), dan faktor kebutuhan (need factors). Faktor-
Faktor predisposisi
Faktor predisposisi adalah ciri-ciri yang telah ada pada individu dan keluarga
sebelum menderita sakit. Pada pengelolaan demam anak, yang termasuk dalam faktor
pekerjaan.15
Faktor pemungkin
pengalaman juga sangat berpengaruh. Ibu yang memiliki pengetahuan yang baik
cendrung akan memberikan perawatan dan penanganan yang baik dalam demam.
Apabila terdapat sarana kesehatan tetapi sosial ekonomi tidak mendukung, maka
orang akan berusaha untuk mengobati sakitnya secara self management, begitu juga
sebaliknya.15-18
Faktor kebutuhan
Faktor kebutuhan adalah kondisi individu yang mencakup keluhan sakit. Faktor
ini dinilai dari derajat keparahan demam tersebut. Derajat keparahan demam anak
kesehatan. Pengelolaan secara self management dapat dilakukan dengan terapi fisik,
terapi obat, maupun kombinasi keduanya. Terapi fisik dapat diberikan dengan cara
menempatkan anak ada ruanga dengan suhu normal, diberikan kompres air hangat,
serta diberikan cairan yang cukup. Terapi obat-obatan yang diberikan merupakan
obat-obatan yang dapat dijual secara bebas diapotik atau toko obat yang biasanya
berdasarkan umur karena infeksi yang terjadi tergantung dengan maturitas sistem
imun di kelompok usia tertentu.2 Dianjurkan oleh AAP, bahwa anak berumur <2 bulan
dengan suhu rektal >37,9oC serta dengan atau tanpa tanda (SBI) serious bacterial
infectionatau bayi berumur 3-6 bulan dengan suhu >39,4oC segera menghubungi
dokter. 4,5 Bila anak berumur >1 tahun dan keadaan umum masih baik, cukup dengan
pengobatan di rumah. Demam <39C pada anak yang sebelumnya sehat pada
umumnya tidak memerlukan pengobatan. Bila suhu naik >39C, pemberian obat-
obatan penurun panas sering membuat anak merasa lebih baik.2 Pemberian antipiretik
tidak perlu diberikan bila suhu anak dibawah 38,5oC kecuali ada riwayat kejang
demam.7 Sedangkan pemberian antibiotik didasarkan pada pemeriksaan hasil lab dan
hanya diberikan jika terdapat peningkatan leukosit dan hitung jenis. Pemantauan
demam juga melihat ada tidaknya gejala berat yang memungkinkan terjadinya tanda
kegawatan. 20
demam yang dibawah 7 hari. Dengan tanda lokal yang jelas dan dapat ditegakkan
diagnosis dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan atau tanpa pemeriksaan
penunjang seperti tonsilofaringitis akut. Lalu ada demam yang diatas 7 hari yang
seperti pemeriksaan laboratorium seperti demam tifoid. Lalu ada juga demam yang
fagositas dan menurunkan viabilotas kuman. Penurunan demam harus sesuai dengan
klasifikasi penyebabnya, apakah perlu menurunkan set-point atau dengan cara lain.
Tata laksana anak dengan demam terdiri dari tatalaksana fisis, dan obat-batan secara
Pada dasarnya menurunkan demam pada anak secara self management dapat dilakukan
melalui terapi fisik, terapi obat-obatan maupun kombinasi keduanya. Terapi secara fisik yang sering
dilakukan antara lain menempatkan anak dalam ruangan bersuhu normal, memberikan minum yang
banyak, dan melakukan kompres. Sedangkan terapi obat-obatan yang biasa diberikan adalah
parasetamol dan ibuprofen.22
Pengelolaan demam melalui terapi fisik merupakan upaya yang dilakukan untuk menurunkan
demam dengan cara memberi tindakan atau perlakuan secara mandiri. Tindakan paling sederhana
yang dapat dilakukan adalah mengusahakan agar anak tidur atau istirahat supaya metabolismenya
menurun. Selain itu, kadar cairan dalam tubuh anak harus tercukupi agar kadar elektrolit tidak
meningkat saat evaporasi terjadi. Memberi aliran udara yang baik, memaksa tubuh berkeringat, dan
mengalirkan hawa panas ke tempat lain juga akan membantu menurunkan suhu tubuh. Membuka
pakaian/selimut yang tebal bermanfaat karena mendukung terjadinya radiasi dan evaporasi. Selain
hal tersebut dapat juga dilakukan melakukan kompres dan menyeka kulit dengan air hangat.23
Purwanti (2006), dan Valita (2008) melalui penelitiannya telah membuktikan ada
pengaruh pemberian kompres hangat (teknik blok aksila) terhadap penurunan suhu anak
demam. Triredjeki (2002) menyimpulkan kompres hangat (teknik blok axila) lebih efektif
dalam menurunkan suhu anak febris dibandingkan dengan kompres dingin yang dicobakan pada
30 anak usia 5-12 tahun dengan cara random ordinal.23
Salah satu teknik kompres hangat yang sedang berkembang di Negara-negara maju yaitu
tepid sponge adalah suatu teknik kompres yang mirip kompres hangat tetapi ditambahkan
dengan cara menyeka tubuh - tubuh yang lain untuk meningkatkan penurunan suhu tubuh pada
anak. Penelitian Alves dan Almeida (2008) yang berjudul Tepid Sponging Plus Dipyrone
Versus Dipyrone Alone in Reducing Body Temperature in Febrile Children menunjukkan
kelompok perlakuan dengan tepid sponge dan Dipyrone memiliki kemampuan menurunkan suhu
tubuh anak dengan febris dibandingkan dengan anak yang hanya mendapatkan Dipyrone,
meskipun dilaporkan penambahan tepid sponge mengakibatkan sedikit ketidaknyamanan, dan
iritabilitas pada mayoritas responden.24
2.6.1.2 Terapi Obat
Salah satu upaya yang sering dilakukan orang tua untuk menurunkan demam anak adalah
dengan memberikan obat antipiretik. Cara kerja antipiretik adalah dengan menurunkan set-point di
otak melalui pencegahan pembentukan prostaglandin dengan jalan menghambat enzim
siklooksigenase sehingga membuat pembuluh darah kulit melebar dan pengeluaran panas
ditingkatkan.22,26
Fenomena lain yang sering terjadi adalah ketika ibu tidak merasakan antipiresis dari satu
antipiretik, mereka akan cenderung memilih antipiretik lain. Menurut penelitian yang dilakukan
oleh Crocetti dkk, ditemukan 27% dari orang tua memberikan dua jenis antipiretik untuk anak-anak
demam. Penggantian antipiretik ini biasanya diberikan selang 1-2 jam. Hal ini justru membawa ibu
kepada pengelolaan demam yang salah. Antipiretik hanya dapat diberikan apabila demam anak
diatas 38,5oC, demam yang diikuti rasa tidak nyaman, atau demam pada anak yang memiliki
riwayat kejang demam atau penyakit jantung. Antipiretik tidak boleh digunakan untuk anak
dibawah 3 bulan. Dosis pemberian antipiretik untuk anak juga perlu diperhatikan sesuai dengan
berat badan dan umurnya.23,25
Rekomendasi WHO untuk mengatasi demam adalah obat-obat dari kelompok terapi
analgesik-antipiretik. WHO merekomendasikan parasetamol, ibuprofen, asetosal (aspirin) adalah
obat yang menjadi pilihan dalam mengatasi demam.22
Obat antipiretik yang disetujui untuk digunakan pada anak adalah parasetamol dan ibuprofen.
Penggunaan asetilsalisilat sangat tidak dianjurkan pada anak usia <15 tahun oleh karena risiko
terhadap sindrom Reye. Steroid tidak bisa digunakan pada anak dengan demam karena rasio
keuntungan-kerugian yang rendah. Dari kelompok NSAIDs, ibuprofen memiliki risiko yang terkecil
terhadap efek samping gastrointestinal. Metaanalisis dari 12 studi memberikan hasil yang tidak
meyakinkan bahwa parasetamol memiliki efikasi antipiretik yang lebih baik dibandingkan dengan
plasebo, walaupun hasil ini dipengaruhi oleh jumlah pasien yang sedikit dalam studi.Menurut
pedoman NICE, antipiretik tidak bisa digunakan secara rutin pada penanganan anak dengan
demam, walaupun dapat digunakan pada anak yang menunjukkan gejala ketidaknyamanan,
termasuk menangis berkepanjangan, iritabilitas, aktivitas yang berkurang, selera makan menurun,
dan gangguan tidur. Sebaliknya pedoman WHO menganjurkan penggunaan parasetamol apabila
suhu tubuh >39oC. Dan dokumen terbaru dari WHO tidak menganjurkan penggunaan rutin
antipiretik pada anak, terutama pada situasi keluarga harus menanggung biaya pengobatan dan juga
karena peran obat antipiretik pada anak dengan malaria, sepsis atau malnutrisi kronik masih belum
ditetapkan.23,25
1) Parasetamol (Asetaminofen)
Parasetamol (asetaminofen) merupakan metabolit fenasetin dengan efek
antipiretik yang sama dan telah digunakan sejak tahun 1893. Parasetamol merupakan penghambat
prostaglandin yang lemah. Efek analgesik parasetamol serupa dengan salisilat yaitu menghilangkan
atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Efek iritasi, erosi, dan perdarahan lambung tidak
terlihat pada obat ini, demikian juga gangguan pernafasan dan keseimbangan asam basa. Efek anti
inflamasi dan reaksi alergi parasetamol hampir tidak ada. Dosis terapeutik antara 10-15
mgr/kgBB/kali tiap 4 jam maksimal 5 kali sehari. Dosis maksimal 90 mgr/kgBB/hari. Pada
umumnya dosis ini dapat ditoleransi dengan baik. Dosis besar jangka lama dapat menyebabkan
intoksikasi dan kerusakkan hepar. Pemberian parasetamol dapat secara per oral maupun rektal.25,26
2) Ibuprofen
Ibuprofen merupakan turunan asam propionat yang berkhasiat sebagai
antiinflamasi, analgetik, dan antipiretik. Efek analgesiknya sama seperti aspirin, sedangkan daya
antiinflamasi yang tidak terlalu kuat. Efek samping yang timbul berupa mual, perut kembung, dan
perdarahan, tetapi lebih jarang dibandingkan aspirin. Efek samping hematologis yang berat meliputi
agranulositosis dan anemia aplastik. Efek lainnya seperti eritema kulit, sakit kepala, dan
trombositopenia jarang terjadi. Efek terhadap ginjal berupa gagal ginjal akut, terutama bila
dikombinasikan dengan asetaminofen. Dosis terapeutik yaitu 5-10 mgr/kgBB/kali tiap 6 sampai 8
jam.25,26
Non self management merupakan pengelolaan demam yang tidak dilakukan sendiri melainkan
menggunakan bantuan tenaga kesehatan. Pengelolaan secara non self management memang
merupakan salah satu jalan keluar untuk mengatasi anak yang menderita demam, tetapi belum tentu
merupakan pilihan yang terbaik karena penanganan demam pada anak tidak bersifat mutlak dan
tergantung kepada tingginya suhu, keadaan umum, dan umur anak tersebut.22,25
Biasanya demam pada bayi lebih menghawatirkan karena daya tahan tubuh bayi masih rendah
dan mudah terjadi infeksi. Bayi yang menderita demam harus mendapat pemeriksaan yang lebih
teliti karena 10% bayi dengan demam dapat mengalami infeksi bakteri yang serius, salah satunya
meningitis. Oleh karena itu, NAPN menganjurkan bahwa bayi berumur <8 minggu yang mengalami
demam harus mendapat perhatian khusus dan mungkin membutuhkan perawatan rumah sakit.23,26
Terdapat beberapa kriteria yang menganjurkan agar anak mengubungi tenaga medis, antara
lain:23
demam pada anak usia di bawah 3 bulan
demam pada anak yang mempunyai riwayat penyakit kronis dan defisiensi sistem imun.
demam pada anak yang disertai gelisah, lemah, atau sangat tidak nyaman
demam yang berlangsung lebih dari 3 hari (> 72 jam)
DAFTAR PUSAKA
1. Eefje GPM de Bont, Nick A Francis, Geert-Jan Dinant and Jochen WL Cals. Parents
knowledge, attitudes, and practice in childhood fever. In: British Journal of General
Practice, January 2014.
2. Sinclair JC. The control of body temperature and the pathogenesis of fever:
developmental aspects. Dalam: Annales Nestle: Fever in children. Vevey, Switzerland:
Nestle Nutrition SA, 2015;h.1-10.
3. Henretig FM. Fever. Dalam: Fleisher GR, Ludwig S, penyunting. Textbook of pediatric
emergency medicine; edisi ke-7. Baltimore: Williams dan Wilkins, 2015;h.202- 10.
4. Kliegman RM, Behrman RE. Fever. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Nelson WE,
Vaughn VC, penyunting. Nelson textbook of pediatrics, edisi 14, Philadelphia: WB
Saunders, 2012;h.647-56.
5. Krober MS, Bass JW, Powell JM, Smith FR, Dexter S, Seto Y. Bacterial and viral
pathogens causing fever in infants less than 3 months old. Am J Dis Child. 2012; 139:
889-92.
6. Lubis MB. Demam pada bayi baru lahir. In: Ragam pediatrik praktis. Medan: USU Press.
2010: 82-5.
7. Oshikoya K, Senbajo I. Fever in children: mothers perceptions and their home
management. Iran J Pediatr.2011; 18(3): 229-36
8. Sherwood L. Keseimbangan energy dan pengaturan suhu. In: Fisiologi
manusia dari sel ke sistem.7th ed. Jakarta: EGC. 2010: 596-607.
9. Ganong WF. Pengaturan sentral fungsi visera. In: Buku ajar fisiologi
kedokteran.23th ed. Jakarta: EGC. 2010: 240-6.
10. Nelwan RHH. Demam: Tipe dan pendekatan. In: Buku ajar ilmu penyakit
dalam.5th. Jakarta: Pusat Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam.
2010;1697-9.
11. Fischer H, Moore K, Roaman RR. Can mothers of infants read thermometer? Clinical
Pediatrics. 2010; 24: 120.
12. Fitriani S. Promosi kesehatan. Yogyakarta: Graha Ilmu: 2011.h. 119-40.
13. Resmiati, Cita Pramana Yatnita, Arif Susila. Pengaruh Penyuluhan Demam Berdarah
Terhadap Perilaku Ibu Rumah Tangga. Jakarta: KESMAS Jurnal Kesehatan Masyarakat
Nasional Vol 3(6) Juni 2009.
14. Riandita Amarilla. Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Demam Dengan
Pengelolaan Demam Pada Anak. Semarang; 2012.
15. Notoatmodjo, S.Promosi kesehatan dan ilmu perilaku. Jakarta: Rineka Cipta;2007.
16. Andersen R. Behavioral model of families use of health services. In: Research series no
25. Chicago,IL: Center for Health Administration Studies, University of Chicago. 1968
17. Fitriani DA, Cahyaningsih I. Tingkat Pengetahuan Swamedikasi dalam Penanganan
Demam pada Anak oleh Ibu di Rw 08 Dsun Wonorejo Sariharjo Ngaglik Sleman
Yogyakarta. Naskah publikasi karya tulis ilmiah. 2016
18. Setyani A, Khusnal E. Gambaran Perilaku Ibu dalam Penanganan Demam pada Anak di
Desa Seren Kecamatan Gebang Purwerjo. STIKES Aisiyah. 2013
19. Plipat N, Hakim S, Ahrens WR. The febrile child. In : Pediatric emergency medicine. 2nd
ed. New York: McGraw-Hill, 2002: 315-24.
20. Ismoedijanto. Demam Pada Anak. Sari Pediatri. 2000 Agustus; 2 (2): 103-8
21. Fischer H, Moore K, Roaman RR. Can mothers of infants read thermometer?. Clinical
Pediatrics. 1985; 24: 120.
22. Ismoedijanto.Demam pada anak. Sari Pediatri: 2010.
23. Soedjatmiko. Penanganan demam pada anaka secara professional. In: Pendidikan
kedokteran berkelanjutang ilmu kesehatan anak XLVII. 1st ed. JakartaL FKUI-RSCM.
2005: 32-41.
24. Hamid MA. Keefektifitas tepid sponge yang dilakukan oleh ibu dalam menurunkan
demam pada anak : randomized control trial di pukesmas mumbul sari kabupaten jember.
25. Lubis INS, Lubis CP. Penanganan demam pada anak.
26. Wilmana PF, Gan SG. Analgesik, antipiretik, antiinflamasi nonsteroid dan obat gangguan
sendi lainnya. In: Farmakologi dan Terapi. 5th ed. Jakarta: Gaya Baru. 2007:230- 40