You are on page 1of 6

DESENTRALISASI DI SUATU NEGARA:

Baik Secara Teori, Tetapi Kurang Secara Implementasi

Kendala utama dalam penerapan birokrasi publik yang efektif di hampir semua Negara
berkembang adalah dalam hal pengambilan kebijakan dan otoritas yang dirasa terlalu
melampaui batas pada tataran pemerintah pusat. Lembaga-lembaga Publik umumnya masih
mempunyai kecenderungan berfikir secara sosial dan geografis yang jauh dari melibatkan
orang dalam mengambil keputusan tanpa pengetahuan atau mengkaji terlebih dahulu
permasalahan yang dipilih secara actual. Jalan keluar yang terbaik dari suatu sentralisasi
adalah desentralisasi, sebuah istilah yang mengandung banyak makna konotasi positif
kedekatan, relevansi, otonomi, partisipasi, akuntabilitas, bahkan demokrasi. Memang sangat
menarik seruan desentralisasi itu, akan tetapi hal ini sulit menempatkan pemerintah yang
belum menerapkan kebijakan desentralisasi saat ini.
Dalam realitanya, umumnya semua pemimpin Nasional tidak mempunyai pilihan lain,
selain mengambil kebijakan desentralisasi sebagai otoritasnya. Jumlah sentralisasi
(kebanyakan otoritas berada dalam genggaman seseorang dalam pengambilan semua
kebijakan) tidak dapat dikerjakan dengan mudah bahkan oleh seorang negarawan yang
cekatan sekalipun dalam sekup pemerintahan daerah. Sesuatu yang diperlukan dalam suatu
Negara di era modern ini adalah ketersediaannya pelayanan yang memadai bagi masyarakat,
adanya control politik dan kebijakan yang diambil seyogyannya berada di luar ranah politik
dan administrasi yang terpusat. Bagaimanapun temuan dilapangan dengan adanya kombinasi
antara control pemerintah pusat dan otonomi daerah yang berdampak terhadap tuntutan dan
kebutuhan pemerintah secara terus menerus menjadi dilemma tersendiri untuk pemerintah.
Pada intinya, sentralisasi dan desentralisasi bukan merupakan atribut yang dipisahkan.

Makna desentralisasi
Banyak ahli memberikan arti yang beragam berkenaan dengan istilah desentralisasi
dengan berbagai perbedaan konsepnya. Maksud kami dalam tulisan ini bukan untuk
memunculkan satu pendapat yang paling benar dengan mengesampingkan pendapat yang
lain, akan tetapi untuk meyakinkan agar pembaca menyadari perbedaan penggunaan makna
desentralisasi yang barangkali ditemukan dan definisi tersebut digunakan dalam bab ini.
Mayoritas penulis (pakar) sepakat bahwa desentralisasi diartikan sebagai sebuah
transfer kewenangan untuk melakukan serangkaiaan pelayanan terhadap public dari seorang
individu atau sekelompok orang dalam suatu institusi di pemerintahan pusat kepada individu
atau sekelompok orang atau suatu institusi yang posisinya dekat dengan rakyat guna dapat
melayaninya dengan baik. Transfer kewenangan ini dikategorikan menjadi 3 jenis:
Yang pertama, jenis pendelegasian secara formal melalui struktur partai, yang kedua,
jenis pendelegasian dalam ranah administrasi public atau dalam struktur organisasi
pemerintahan yang mempunyai kewenangan secara politik dan organisasi tersebut
mempunyai kewenangan dalam membentuk pelayanan bagi pemerintahan, ketiga, jenis
pendelegasian dari institusi pemerintah kepada institusi pemerintah kepada institusi bukan
pemerintah.
Dari ketiga jenis di atas, kita dapat mengkombinasikannya sehingga kebijakan
desentralisasi dapat dicapai. Disisi lain, jika transfer kebijakan dari pemerintah pusat kepada
lembaga di daerah dapat dicapai, itu dapat lebih efektif dimana lembaga daerah tersebut harus
menyediakan tugas pokok dan fungsi tertentu sebagai lembaga yang diberi amanah kebijakan
daerah.
Hal ini patut dicatat, bukan desentralisasi tidak terlalu terpatok pada semua
kewenangan yang didelegasikan dari pusat ke daerah. Pemerintah pusat harus dapat
mempertahankan tugas pokok dan fungsi utamanya dalam menyangkut permasalahan rakyat
dalam merancang ulang sistem pemerintahan untuk tidak menggunakan seluruhnya kepada
pemeritah daerah yang sudah didesentralisasi karena pemerintah tidak akan berjalan dengan
efektif.

Mengapa harus desentralisasi


Sumber utama yang mendukung adanya desentralisasi berasal dari sistem Liberal kuno
(klasik), teori politik demokrasi liberal kuno (klasik, sebagai yang diprakarsai oleh pemikiran
John Stuart Mill, dimana pemerintah pusat dan daerah mempunyai sisi kesamaan dalam
memunculkan keuntungan dalam mengembangkan partisipasi massa dalam tataran struktur
politik ditingkat daerah. Smith (1985, pp. 18-30) menjabarkan kategori manfaat dari
desentralisasi demokratik kedalam 6 bentuk utama.
1. Pendidikan Politk, berfungsi mendidik rakyat tentang peranan politik, pemilihan anggota
legislatif, dan hakikat kebijakan, perencanaan dan pendanaan dalam sebuah demokrasi.
2. Pelatihan Pemimpin Politk, berfungsi menciptakan para pemimpin politi yang mempunyai
prospek dalam mengembangkan kemampuannya dalam bidang pembuatan kebijakan,
menjalankan politik dan pembiayaan partai, dengan hasil diharapkan kualitas
kepemiminan nasional bisa lebih baik.
3. Stabilitas politik, berfungsi mengamankan dengan cara ikut berpartisipasi dalam politik
formal, dengan cara votis, dan barangkali dengan cara yang lain (sebagai contoh dengan
berpartisipasi aktif mendukung yang efesien).

Devolusi dan dekonstruksi


Menelaah istilah devolusi dan dekonstruksi sebagai bentuk utama dalam sebuah
desentralisasi disebuah Negara dirasa perlu untuk mempertimbangkan khususnya terhadap
ciri-ciri (features) apa saja yang sekarang menjadi tren dalam pelaksanaan desentralisasi di
Negara berkembang.

Devolusi
Devolusi dimaknai sebagai perundangan yang isinya memberikan kewenangan yang
berasal dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, dimana kekuatan devolusi itu
sendiri diberikan kepada pemerintah daerah yang dilihat sebagai bentuk ideal dari sebuah
desentralisasi. Devolusi menjanjikan demokrasi di tingkat daerah dengan menggunakan
teknik yang efisien.
Perpindahan model klasik tentang pemerintahan daerah dianjurkan pada tahun 1950an
dan 1960n sebagai sebuah blueprint bagi Negara-negara yang baru merdeka disarankan untuk
mengikutinya. Dari blueprint tersebut terdapat lima ciri (feature) utama, yaitu:
1. Pemerintah daerah sejatinya harus bisa menjadi badan daerah secara konstitusi yang
terpisah dari pemerintah pusat dan bertanggung jawab untuk serangkaian pelayanan di
daerah.
2. Pemerintah daerah sejatinya mempunyai pendapatan asli daerahnya (own treasury).
3. Pemeritah daerah sejatinya mampu mempekerjakan para staf yang kompeten, yang
berstatus kontrak, mempromosikan staf yang berprestasi dan memberhentikan staf yang
tidak kompeten.
4. Pemerintah daerah dapat terselenggranya pemerintahan umum untuk memilih dewan
daerah, adanya garis operasional kepartaian yang jelas, dapat menentukan arah
kebijakankan dan prosedur internal pemerintahan daerah.
5. Pemerintah pusat murni berfungsi sebagai penasehat dan inspektor eksternal dan tidak
punya peran yang signifikan dalam menentukan kenijakan di pemerintahan daerah.
Deskonstruksi
Istilah deskonstruksi diartikan sebagai pendelegasian pertanggungjawaban yang
berfungsi dalam wilayah khusus terhadap tingkatan bidang pegawai negeri sipil. Hal ini
menarik untuk dicatat bahwa sistem administratif pemerintah pusat yang berwenang
mengambil keputusan desentralisasi, pendelegasian kekuasaan merupakan hak resmi
pemerintah pusat untuk mempresentasikan kewenangannya dalam komunitas di daerah. Oleh
karenannya dekonsentrasi dapat mencapai suatu tujuan kepemimpinan yang efisien dan
efektif akan tetapi hal ini bukan merupakan kebijakan yang populer.
Smith (1985, pp. 151-155) mengemukakan bahwa rancangan sistem demokrasi berbeda
dari satu Negara ke Negara lainnya. Smith menyuguhkan wacana yang sangat bermanfaat
dalam merancang system tersebut. Dia memperkenalkan 3 pilihan: sistem fungsi (functional
system), sistem pemerintah daerah terintegrasi (integrated prefectoral system), dan sistem
pemerintah daerah terpisah (unintegrated prefectoral system).
a. Sistem Fungsi (Functional System)
Dalam sistem ini, dewan legislative sebagai badan birokrasi Negara yang
berkedudukan ditingkat provinsi mempunyai tuntutan memberikan pekayanan Negara
secara spesifik berdasarkan fungsinya, sebagai contoh pelayanan dalam bidang
pendidikan, kesehatan, pengembangan industry atau pertanian.
b. Sistem Pemerintah Daerah Terintegrasi (Integrated Prefectoral System)
Sistem ini berada dalam ranah kekuasaan dewan legislative pemerintah pusat,
sebagai contoh tanggung jawab seorang pejabat/pimpinan di suatu wilayah tingkat
pemerintah daerah atau provinsi.
c. Sistem Pemerintah Daerah Terpisah (Unintegrated Prefectoral System)
Sistem ini termasuk sistem yang sempurna, akan tetapi berakibat berkurangnya
kekuasaan yang terpusat pada satu individu. Seorang pemegang kebijakan hanya
bertanggung jawab terhadap departemen yang dipimpinnnya, dimana ia tidak berkuasa
penuh dalam wilayah kekuasaannya.

Desentralisasi dalam prakteknya


Pada bagian ini kita mengulas praktek pelaksanaan desentralisasi ini beberapa Negara
berkembang. Praktek pada kenyataannya seringkali lebih sulit dibandingkan memahami teori
yang disarankan pada ahli.

Desentralisasi di Afrika
Di Afrika pemerintahan colonial memecah belah Negara menjadi beberapa kelompok
partai pribumi guna memudahkan control bagi pemerintah yang berkuasa. Untuk
memperkenalkan dan menegaskan kebijakan pemerintah colonial, Inggris dan Prancis
menjalankan administrasi dalam segala bidang yang difokuskan untuk mencapai kekuasaan
dalam mengambil kebijakan di tangan para penguasa non pribumi. Dalam menjalankan
administrasinya, pemerintah kolonial memberikan perhatian terbatas dalam pemindahan
kekuasaan kepada pemerintahan daerah, paling tidak selama kurun waktu di abad ke-19 dan
di awal abad ke-20, idiologi pemerintah kolonial mengartikan bangsa Afrika sebagai aparat
Negara yang kurang intelektualnya bagi terselenggaranya pemerintahan yang modern.
Perang dunia ke-2 membawa imbas yang cukup signifikan bagi sikap dan arah
kebijakan pemerintah kolonial di Afrika. Pemerintah kolonial mulai menerapkan
desentralisasi di beberapa wilayah di Afrika, walau terdapat kekhawatiran dengan
diberikannya otonomi akan menghasilkan kepemimpinan yang tidak memiliki pengalaman
dalam bidang manajemen dan dapat memunculkan tuntutan politik yang lebih besar lagi.
Usaha-usaha untuk merealisasikan pemerintahan daerah yang sesuai dengan model
pemerintahan kolonial Inggris pada akhirnya mulai berkurang pada tahun 1960an sampai
akhirnya bangsa afrika memperoleh kemerdekaan.

Desentralisasi di Asia
Di Asia, tertindas untuk mencapai pemerintahan yang merdeka dimana pendelegasian
kekuasaan dalam pelayanan public lebih dikedepankan dibandingkan dengan kewenangan
untuk mewujudkan pemilihan umum daerah (pemilu kada). Terdapat banyak argument ihwal
partisipasi dan otonomi daerah akan tetapi hal tersebut memicu kecemburuan pemerintah
pusat dalam mempertahankan kekuasaan mereka, kebijakan pemerintah kota, dengan adanya
pemilu daerah dilaksanakan di beberapa kota di Asia Selatan diakhir abad ke-19 dan adanya
Mandate Ripon di tahun 1882 telah menunjukan sebuah keoptimisan mengenai pelaksanaan
pemerintahan di tingkat daerah satu dekade sebelum kemerdekaan, pemerintahan daerah
pernah dilaksanakan di India. Konsep pemerintahan sendiri yang berada di tingkat daerah
walau bagaimanapun minimnya telah dilaksanakan dan eksis pada masa pemerintahan
kolonial di India jauh sebelum India merdeka (Friedman, 1983).
Hal serupa juga terjadi di Pakistan, Sri Lanka, Tailand, Indonesia, dan Filipina. Walau
pada kenyataannnya yang terjadi di Tailand dan Indonesia terlaksana berkat menggunakan
pendekatan kekuatan militer, dimana kedua Negara ini mengadopsi kebijakan ganda yang
mengizinkan pemerintah pusat mengontrol segala kebijakan yang diberlakukan oleh
pemerintah daerah. Lain halnya dengan Filipina dimana merupakan satu-satunya Negara di
Asia Tenggara yang menganut sistem devolusi penuh.

Desentralisasi di Amerika Latin


Anggapan yang paling fundamental tentang desentralisasi di Amerika Latin di tahun
1980an nampaknya valid, pembuat kebijakan berada ditangan beberapa kementrian
pemerintah pusat, seringkali merujuk kepada apa yang dikenal dengan istilah oversentralisasi
(overcentralization (Haris, 1983, p.183). devolusi di tingkat kebijakan daerah sangat jarang
dan secara khas terdapat campur tangan pemerintah pusat yang sangat dominan yang
berlangsung di tingkat pemerintah daerah.

Desentralisasi di Pasifik Selatan


Kebijakan desentralisasi sudah memainkan peran penting ditengah-tengah bangsa
Pasifik Selatan (larmour et al, 1985) sungguh, kekuatan administrative dan politik di Papua
New Guinea telah dimulai sebagai salah satu Negara yang paling radikal di dunia yang mana
telah mengalami program desentralisasi tidak lama setelah merdeka.

Pelaksanaan kebijakan desentralisasi


Pada bagian ini, kita melihat lebih rinci hasil apa yang telah dicapai dari desentralisasi.
Dua poin umum berkenaan dengan literatur penting tentang topik pelaksanaan kebijakan
desentralisasi harus dicatat di awal. Pertama, banyak komentator menyebut bahwa
keberhasilan desentralisasi merujuk terhadap kinerja sebagai indikator utama yang dipilih
dibandingkan dengan indikator lainnya. Kinerja disini adalah mengenai perspektif para ahli
manajemen (managerialist) di mana kebijakan desentralisasi dievaluasi dari segi
keefisiensiannya dalam bidang pelayanan. Tindakan ini penting, tetapi patut juga
dipertimbangkan apa dampak politik dari pelaksanaan desentralisasi dengan mengedepankan
pelayanan yang efisien, dampak politik tersebut meliputi: penguatan persatuan nasional atau
partisipasi publik yang lebih besar dalam pengambilan keputusan.
Kedua, umumnya banyak indikator yang sering disebutkan sulit untuk dimaknai.
Beberapa indikator, terutama yang bersifat politik, secara akurat barangkali tidak dapat
dilakukan melalui penilaian informasi (Kasfir, 1976, hal. 17). Namun, pada kenyataannya,
sangat sedikit penelitian ihwal desentralisasi yang dilakukan di negara berkembang
dikarenakan sulitnya bagaimana mengukur berbagai perubahan yang terjadi berdasarkan
perubahan karakteristik permasalahan tertentu, seperti akses perawatan kesehatan atau
kualitas perbaikan jalan.
Selain dari masalah yang menyangkut cakupan dan kualitas data yang ada di lapangan,
dua kesulitan yang lain muncul. Salah satunya adalah bahwa ketika kriteria yang digunakan
dapat memunculkan bukti yang bertentangan; misalnya, bahwa partisipasi dalam
pengambilan keputusan di pemerintahan daerah telah dicapai akan tetapi justru melahirkan
kualitas pelayanan yang menurun. Contoh lainnya adalah sulitnya menentukan apakah
perubahan yang diamati adalah karena kebijakan desentralisasi atau faktor lainnya. Misalnya,
terjadi penurunan layanan pedesaan di Zambia pada akhir tahun 1980an disebabkan oleh
kebijakan baru desentralisasi atau dari hasil penyesuaian program masyarakat?

Prospek dan ketentuan


Politisi Nasional umumnya tidak rela untuk menyerahkan kekuasaan; birokrasi-
birokrasi pusat menolak pendelegasian tanggungjawab; ketika pertanggungjawaban tersebut
didelegasikan kepada pemerintahan daerah biasanya jarang terjadi pendelegasian yang
berkesinambungan yang sesuai dengan sumber daya keuangan, dan sumber daya keuangan
tersebut tersedia di tingkat daerah yang seringkali tidak digunakan oleh para staf disana.
Alasannya, para staf tidak berpengalaman, kurang terlatih, dan mendapat penggajian yang
kurang memadai.

Pada umumnya, prospek dan ketentuan daat diidentifikasi menjadi lima poin utama, sebagai
berikut:

1. Devolusi (Devolution)
Devolusi adalah mengalihkan kekuasaan kepada pemerintah daerah. Hal ini terjadi akibat
adanya kinerja yang buruk sebagai akibat dari kepemimpinan nasional yang tidak
memiliki 'kemauan politik' (political will) untuk memperkenalkan kebijakan yang
mengalihkan tanggung jawab pengambilan keputusan untuk badan/ dean yang terpilih di
tingkat daerah.
2. Tambal Sulam (Incrementalism)
Proses secara tambal sulam, yaitu belajar dari kebijakan yang sudah ada sebelumnya tetapi
dilanjutkan dengan memberikan penekanan terhadap desentralisasi.
3. Sentralisasi (Centralization)
Dalam masyarakat terdapat istilah ketimpangan sosial ekonomi pedesaan tujuan
pembangunan bisa saja tercapai dengan baik dengan cara pelaksanaan sentralisasi Slater
(1989, p.502).
4. Ketidakrelevanan (Irrelevance)
Terkait dengan posisi sebelumnya, tapi mungkin lebih dramatis, adalah argumen bahwa
kebijakan desentralisasi (atau kebijakan sentralisasi) benar-benar tidak relevan. Argument
ini sebenarnya hanya mencerminkan status quo.
5. Contingency
Posisi akhir berakar pada teori kontingensi yang populer dalam literatur manajemen.
Menurut pendukung teori ini, generalisasi tentang kebijakan desentralisasi yang masuk
akal dan tepat harus ditentukan secara seksama melalui serangkaian pertimbangan yang
mengkaji konteks serta tujuan yang spesifik.
Kesimpulan
Bangsa-bangsa di negara Dunia Ketiga telah mencoba mengejar kebijakan
desentralisasi akan tetapi belum membuktikannya sebagai obat mujarab untuk
mengintervensi sebagai bentuk dukungan yang efektif bagi Negara dalam mempromosikan
pembangunan. Sementara banyak kekurangan desentralisasi yang disebabkan oleh terlalu
tingginya harapan yang ditanggapi cukup sinis oleh banyak rezim pemerintahan. Di bawah
bendera desentralisasi, Negara-negara berkembang telah memperkenalkan kebijakan yang
memusatkan kekuasaan serta pengambilan kebijakan dan melemahkan pemerintahan daerah
dalam ranah perdebatan politik. Kebijakan menerapkan devolusi dengan serius memang
langka diterapkan oleh bangsa-bangsa Negara Ketiga di dunia, dan dekonsentrasi atau
pembentukan otoritas campuran telah menjadi mode favorit bagi para pemimpin di Dunia
Ketiga.
Sepanjang periode 1940-1980, desentralisasi telah menjadi konsep yang terfokus pada
pendelegasian kekuasaan dalam negara. Namun, pada tahun 1980an terlihat secara luas istilah
desentralisasi terhadap Negara yang merujuk terhadap kebijakan orientasi pasar sebagai hak
baru yang mendominasi kebijakan pembangunan. Kami menelaah permasalahan ini dan
hubungannya dengan keberanian berusaha masyarakat dalam kurun waktu berikutnya, akan
tetapi mahasiswa yang betul-betul konsen terhadap bidang pemerintahan akan selalu
menyumbangkan pemikirannya khususnya dalam pertanyaan apakah termasuk privatisasi
dalam membatalkan desentralisasi yang menyangkut permasalahan definisi atau ideologi.

You might also like