Professional Documents
Culture Documents
Soegeng Soegijanto
PENDAHULUAN
Pada awal ditemukan kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di Surabaya dan
Jakarta pada tahun 1968, penatalaksanaan penyakit DBD ditujukan kepada dugaan
keracunan. Oleh karena itu angka kematiannya cukup tinggi sekitar 41,5%, sehingga
masyarakat sangat resah bila putra-putrinya terserang penyakit DBD.
Memperhatikan kejadian ini, para dokter anak berusaha keras untuk menemukan
penatalaksanaan yang betul-betul sesuai dengan alur pikir patogenesis DBD dengan
mengupayakan dan mempelajari beberapa literatur DBD dari Thailand, Filipina,
Singapura dan Malaysia. Beberapa masukan patogenesis DBD yang masih dapat dipakai
dan dianut sampai sekarang yaitu: kejadian reaksi imun sekunder pada penderita DBD.
Halstead, Sucitra, Suvatte, Kurane dan Ennis mengemukakan bahwa patogenesa
kejadian infeksi virus dengue sangat komplek. Walaupun demikian berdasarkan kejadian
klinis pada penderita DBD, “Secondary heterologouse anamnestik immune respon”
masih dapat dianut untuk menjelaskan kejadian kebocoran plasma yang ditemukan pada
penderita dengan bukti klinis ditemukannya gejala syok, efusi pleura dan ascites.
Berdasarkan alur pikir hipotesa tersebut dibutuhkan diagram penatalaksanan DBD
yang disertai syok dan tidak syok, selanjutnya setiap 3-5 tahun yang disempurnakan
sehingga angka kematian penderita DBD dapat menurun tajam samapi dibawah 2,5%.
Walaupun demikian kasus-kasus kegawatan karena peran faktor-faktor: a) keterlambatan
b) kegemukan c) gizi buruk dan d) umur bayi muda yang beresiko infeksi sekunder, maka
perlu juga dipikirkan alur penanganannya agar mereka dapat tertolong. Maka pada
seminar ini pentalaksanaan DBD ini akan dibahas juga kasus DBD yang disertai syok
yang mengidap penyulit perdarahan, sepsis dan DIC yang dimungkinkan untuk dapat
ditolong dengan temuan obvat baru, yang dapat mencegah proses pembekuan darah dan
obat antibiotika generasi baru yang masih dapat mengatasi resistensi kuman.
PENATALAKSANAAN
Pada seminar ini akan dibahas penatalaksanaan : 1) kasus DBD yang memungkinkan
untuk berobat jalan, 2) kasus DBD derajat I & II, 3) kasus DBD derajat III & IV, dan 4)
kasus DBD dengan penyulit.
Seminar Penatalaksanaan DBD 2001. Tropical Disease Center (TDC) – Universitas Airlangga. Surabaya, 12 Mei 2001
panas paracetamol 10 – 15 mg/kg BB setiap 3-4 jam diulang jika simptom panas
masih nyata diatas 38,5 0C. Obat panas salisilat tidak dianjurkan karena mempunyai
resiko terjadinya penyulit perdarahan dan asidosis. Sebagian besar kasus DBD yang
berobat jalan ini adalah kasus DBD yang menunjukkan manifestasi panas hari
pertama dan hari kedua tanpa menunjukkan penyulit lainnya.
Apabila penderita DBD ini menunjukkan manifestasi penyulit hipertermi dan
konvulsi sebaiknya kasus ini dianjurkan di rawat inap.
Jumlah cairan yang dibutuhkan adalah volume minimal cairan pengganti yang cukup
untuk mempertahankan sirkulasi secara efektif selama periode kebocoran (24-48
jam), pemberian cairan yang berlebihan akan menyebabkan kegagalan faal
pernafasan (efusi pleura dan asites), menumpuknya cairan dalam jaringan paru yang
berakhir dengan edema.
Jenis Cairan
(1) Kristaloid
Ringer Laktat
5% Dekstrose di dalam larutan Ringer Laktat
5% Dekstrose di dalam larutan Ringer Ashering
5% Dekstrose di dalam larutan setengah normal garam fisiologi (faali), dan
5% Dekstrose di dalam larutan normal garam fisiologi (faali)
Seminar Penatalaksanaan DBD 2001. Tropical Disease Center (TDC) – Universitas Airlangga. Surabaya, 12 Mei 2001
(2) Koloidal
Plasma expander dengan berat molekul rendah (Dekstran 40)
Plasma
Kebutuhan Cairan
Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung dari umur dan berat
badan pasien serta derajat kehilangan plasma sesuai dengan derajat hemokonsentrasi
yang terjadi. Pada anak yang gemuk, kebutuhan cairan disesuaikan dengan berat
badan ideal anak umur yang sama. Kebutuhan cairan rumatan dapat diperhitungkan
dari tabel berikut.
Seminar Penatalaksanaan DBD 2001. Tropical Disease Center (TDC) – Universitas Airlangga. Surabaya, 12 Mei 2001
yang sangat berat dan sukar diatasi. Cairan koloidal diindikasikan pada kasus dengan
kebocoran plasma yang banyak sekali yang telah memperoleh cairan kristaloid yang
cukup banyak.
Pada kasus bayi, dianjurkan 5% dekstrose di dalam setengah larutan normal garam
faali (5% dekstrose ½NSS) dipakai pada awal memperbaiki keadaan penderita dan
5% dekstrose di dalam 1/3 larutan normal garam faali boleh diberikan pada bayi
dibawah 1 tahun, jika kadar natrium dalam darah normal. Infus dapat dihentikan bila
hematokrit turun sampai 40% dengan tanda vital stabil dan normal. Produksi urine
baik merupakan indikasi sirkulasi dalam ginjal cukup baik. Nafsu makan yang
meningkat menjadi normal dan produksi urine yang cukup merupakan tanda
penyembuhan.
Pada umumnya 48 jam sesudah terjadi kebocoran atau renjatan tidak lagi
membutuhkan cairan. Reabsorbsi plasma yang telah keluar dari pembuluh darah
membutuhkan waktu 1-2 hari sesudahnya. Jika pemberian cairan berkelebihan dapat
terjadi hipervolemi, kegagalan faal jantung dan edema baru. Dalam hal ini hematokrit
yang menurun pada saat reabsorbsi jangan diintepretasikan sebagai perdarahan dalam
organ. Pada fase reabsorbsi ini tekanan nadi kuat (20 mmHg) dan produksi urine
cukup dengan tanda-tanda vital yang baik.
Obat Penenang
Pada beberapa kasus obat penenang memang dibutuhkan terutama pada kasus yang
sangat gelisah. Obat yang hepatotoksik sebaiknya dihindarkan, chloral hidrat oral atau
rektal dianjurkan dengan dosis 12,5-50 mg/kg (tetapi jangan lebih dari 1 jam)
digunakan sebagai satu macam obat hipnotik. Di RSUD Dr. Soetomo digunakan
valium 0,3 – 0,5 mg/kg/BB/1 kali (bila tidak terjadi gangguan pernapasan) atau
Largactil 1 mg/kgBB/kali.
Terapi Oksigen
Semua penderita dengan renjatan sebaiknya diberikan oksigen
Transfusi Darah
Penderita yang menunjukkan gejala perdarahan seperti hematemesis dan melena
diindikasikan untuk memperoleh transfusi darah. Darah segar sangat berguna untuk
mengganti volume masa sel darah merah agar menjadi normal.
Kelainan Ginjal
Dalam keadaan syok, harus yakin benar bahwa penggantian volume intravaskular
telah benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila diuresis belum mencukupi 2
ml/kgBB/jam sedangkan cairan yang diberikan sudah sesuai kebutuhan, maka
Seminar Penatalaksanaan DBD 2001. Tropical Disease Center (TDC) – Universitas Airlangga. Surabaya, 12 Mei 2001
selanjutnya furasemid 1 mg/kgBB dapat diberikan. Pemantauan tetap dilakukan untuk
jumlah diuresis, kadar ureum dan kreatinin. Tetapi apabila diuresis tetap belum
mencukupi, pada umumnya syok juga belum dapat dikoreksi dengan baik, maka
pemasangan CVP (central venous pressure) perlu dilakukan untuk pedoman
pemberian cairan selanjutnya.
Monitoring
Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan dievaluasi secara teratur untuk
menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang harus diperhatikan pada monitoring adalah:
• Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat setiap 15-30 menit
atau lebih sering, sampai syok dapat teratasi.
• Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sampai keadaan klinis pasien stabil
• Setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan, mengenai jenis cairan,
jumlah, dan tetesan, untuk menentukan apakah cairan yang diberikan sudah
mencukupi.
• Jumlah dan frekuensi diuresis.
I. Sepsis
Patogenesis sepsis masih belum jelas benar, kaskade inflamasi umumnya sangat
dipengaruhi oleh sitokin atau mediator inflamasi. Mediator ini bertanggung jawab
terhadap kerusakan endotel kapiler. Diyakini ada mekanisme yang akan menghambat
kerja dari mediator tersebut sehingga terjadi keseimbangan antara sel pro inflamsi dan
anti inflamasi. Bila reaksi tubuh tersebut berlebihan maka keseimbangan tadi akan
terganggu dan tubuh tidak dapat mengatasi hal tersebut.
Seminar Penatalaksanaan DBD 2001. Tropical Disease Center (TDC) – Universitas Airlangga. Surabaya, 12 Mei 2001
Endotoksin yang masuk sirkulasi akan memacu makrofag untuk mengeluarkan
mediator, misalnya TNFα dan interleukin. Sitokin pro inflamasi ini merangsang
terjadinya adhesi pada endotel vaskular, aktivasi faktor pembekuan darah dan
terbentuknya mediator-mediator lain seperti PAF, protease, prostaglandin, lekotrin
dan juga dibebaskannya sitokin anti inflamasi seperti Interleukin-6 dan Interleukin-1.
Melalui proses ini juga akan dirangsang sistem komplemen dan akan mengakibatkan
pula netrofil teraktivasi dan keluarnya radikal bebas yang toksik terhadap sel.
Mediator tersebut juga akan menyebabkan depresi miokard terganggu sehingga dapat
menimbulkan renjatan. Pada akhirnya mediator-mediator tersebut juga akan
mengakibatkan kerusakan pada endotel kapiler sehingga terjadi kaskade sepsis
dengan akibat terjadi kegagalan multi organ dan kematian.
Diagnosis sepsis ditegakkan dengan ditemukannya dua atau lebih dari
manifestasi respons inflamasi sistemik dan kecurigaaan terdaptnya infeksi. Paru
adalah organ yang paling sering ditemukan infeksi, diikuti oleh abdomen dan saluran
kemih; tetapi pada 20-30% penderita, lokasi yang pasti dan dapat menyebabkan
terjadinya infeksi tidak dapat ditentukan. Pada sepsis tidak selalu pemeriksaan
mikrobiologi menunjukkan kuman positif. Kultur darah positif hanya terdapat pada
kurang lebih 30%.
Penderita yang termasuk rentan terhadap sepsis : usia lanjut, malnutrisi,
imunodefisiensi, kanker, penyakit kronik, trauma, luka bakar, diabetes melitus,
prosedur invasif, pemakaian imunosupresi dan transplantasi.
Beberapa perkembangan pemeriksaan penunjang untuk membantu diagnosis
dan menilai prognosis adalah pemeriksaan prokalsitonin, laktat, lipopolisakarida
(limulus) dan jamur (glukan).
Penatalaksanaan sepsis mempunyai tujuan utama menghilangkan sumber
infeksi, memperbaiki dan mengembalikan perfusi jaringan, memperbaiki dan
mempertahankan fungsi ventrikel dan upaya suportif lain. Penanganan renjatan septik
dapat dibagi tiga kategori yaitu : 1) baku, 2) kontroversial, dan 3) masa depan
(emerging).
1) Pengobatan Baku
a. Resusitasi cairan
Resusitasi cairan merupakan lini pertama dari penatalaksanaan sepsis.
Resusitasi cairan ini dapat menggunakan cairan kristaloid atau koloid. Sampai
saat ini belum didapatkan bukti bahwa salah satu jenis cairan tersebut lebih baik
dibandingkan dari yang lain. Kristaloid membutuhkan jumlah cairan yang lebih
banyak (dua sampai tiga kali) dibandingkan koloid dalam memberikan efek
hemodinamik dan dapat menyebabkan edema perifer.
Pada tahap pertama dapat diberikan 10-20 ml/Kg BB/cairan kristaloid atau
koloid dalam 30 menit. Diharapkan tekanan darah dapat mencapai lebih dari 90
mmHg dan sebaiknya pemantauan dilakukan dengan tekanan vena central (CVP).
Apabila tekanan vena sentral sudah mencapai 12-15 mmHg, tetapi keadaan belum
membaik maka pemberian cairan harus hati-hati karena dapat terjadi edema paru.
Pada saat ini dipertimbangkan untuk memasang kateter arteri pulmonalis
(swangnz catheter).
Seminar Penatalaksanaan DBD 2001. Tropical Disease Center (TDC) – Universitas Airlangga. Surabaya, 12 Mei 2001
b. Osigenasi dan Bantuan Ventilasi
Oksigen harus diberikan pada penderita sepsis terutama renjatan septik. Bila
renjatan spetik menetap selama 24-48 jam perlu dipertimbangkan intubasi
endrotakel dan ventilasi mekanik. Pada resusitasi cairan perlu dipantau hati-hati
karena dapat menyebabkan edema paru. Pada sindrom gagal napas (ARDS)
sebagai komplikasi dari sepsis diberikan bantuan ventilasi dengan PEEP (Positive
End Expiratory Pressure) untuk mencegah kolaps alveoli.
c. Antibiotika
Semua sumber infeksi harus dihilangkan. Pemilihan antibiotika tidak perlu
menunggu hasil bikan kuman dan pada awalnya diberikan antibiotika spektrum
luas. Pemilihan antibiotika ditentukan oleh lokasi dan hasil yang terbaik secara
empirik dari dugaan kuman penyebab (best-guess). Bila sumber infeksi tak jelas,
semua dugaan bakteri yang dapat menimbulkan sepsis harus dilenyapkan : bakteri
gram negatif, gram positif, anaerob, dan pada hal tertentu dipikirkan pula jamur
sistemik.
e. Nutrisi
Dukungan nutrisi diperlukan pada penderita sepsis karena mempunyai
kebutuhan kalori dan protein yang tinggi. Saat ini masih terjadi perdebatan
mengenai kapan dimulai nutrisi enteral, komposisi dan jumlah yang diberikan.
Nutrisi enteral dapat ditunda untuk beberapa saat sampai keadaan stabil (misal : 1-
Seminar Penatalaksanaan DBD 2001. Tropical Disease Center (TDC) – Universitas Airlangga. Surabaya, 12 Mei 2001
2 hari), keuntungan pemberian nutrisi enteral antara lain dapat dipertahankan
buffer pH lambung dan mukosa usus, menghinbdari translokasi bakteri dari usus
ke sirkulasi dan menghindari pemakaian kateter nutrisi parenteral yang akan
meningkatkan resiko terjadinya infeksi baru.
2) Pengobatan Kontroversial
1. Korkosteroid
2. Nalokson
3. Anti Inflamasi Non Steroid
b. Immunoglobulin
Penggunaan Immunoglobulin telah dilakukan pada penderita sepsis dan
meningitis bakterial. Kalbeim melaporkan penggunaan 5 S Immunoglobulin
pada 5 penderita sepsis, dimana 4 orang hidup dan 1 orang lainnya meninggal.
Seminar Penatalaksanaan DBD 2001. Tropical Disease Center (TDC) – Universitas Airlangga. Surabaya, 12 Mei 2001
c. Anti Endotoksin
Penelitian terhadap antibodi monoklonal menggunakan E 5 murin, suatu
IgM pada Lipid A dilakukan terhadap 468 penderita dengan sepsis gram
negatif yang diberikan 2 mg/kg BB dalam 24 jam intravena pada 242
penderita dan 226 lainnya plasebo. Hasil penelitian menunjukkan penurunan
angka mortalitas setelah 30 hari pada pendeita yang tidak mengalami renjatan
(30% yang diberikan E 5 murin dan 43% plasebo).
II. DIC
Secara klinis, DIC seringkali menyertai proses penyakit sistemik yang berat
tanda-tanda perdarahan sering terjadi pada bekas tukusan jarum yang ditusukkan ke
dalam pembuluh darah atau sayatan pembedahan. DI kulit dapat ditemukan tanda
pateki dan ekimosis. Nekrosis jaringan dapat terjadi pada banyak organ dan terlihat
tanda infark yang luas di kulit, di jaringan sub kutan atau ginjal. Anemidisebabkan
karena hemolisis yang terjadi secara cepat sehingga terwwujud sebagai
mikroangiopati hemolitik anemi. Penemuan pemeriksaan laboratorium tidak dapat
ditentukan secara nyata yang sesuai dengan alur kejadiannya.
Faktor koagulasi II : V : VIII fibrinogen dan trombosit dikonsumsi terus seiring
dengan kejadian proses pembekuan di dalam pembuluh darah. Hal ini ditandai dengan
perpanjangan waktu protrombin, tromboplastin parsial dan trombin. Hitung sel
trombosit menunjukkan penurunan yang tajam. Pemeriksaan hapusan darah bisa
tampak sel darah merah terpecah-pecah, sel darah merah yang mengkerut dan sel
darah merah yang bentuknya tidak teratur. Selanjutnya munculnya peningkatan FDP
Seminar Penatalaksanaan DBD 2001. Tropical Disease Center (TDC) – Universitas Airlangga. Surabaya, 12 Mei 2001
(Fibrinogen Degradation Product) sebagai akibat aktivasi mekanisme fibrinolitik.
Pemeriksaan D-Dimer sama sensitif atau lebih spesifik daripada pemeriksaan FDP.
D-Dimer dibentuk dari fibrinolisis ikatan melintang pada setiap bekuan fibrin.
Patofisiologi DIC
Karena adanya faktor-faktor etiologi dari DIC maka terjadilah pelepasan bahan-
bahan mediator yaitu zat-zat yang dapat memacu secara terus menerus sistem
Protrombotik (Koagulasi Primer + Koagulasi Sekunder) hingga terjadilah trombosis
yang luas di organ-organ tubuh hingga menimbulkan Multiple Organ Dysfunction
(MOD) dan faktor-faktor koagulasi (trombosit + plasma factors) akan terpakai
(consumed) hingga terjadi juga defisiensi faktor-faktor tersebut dan dapat
menimbulkan perdarahan.
Mediator-mediator itu dapat langsung dilepas oleh penyakit dasarnya maupun
melalui kerusakan endotil pembuluh darah yang merupakan pusat kendali sistem
hemostatis.
Faal Antitrombosis mengimbangi proses koagulasi diatas dengan memacu :
a. Subsistem Antikoagulasi (AK) untuk mencegah terjadinya trombus,
hingga terjadi juga konsumsi dan defisiensi faktor-faktor dalam sus-sistem ini
(AT.III, prot. C & S, dsb.)
b. Subsistem Fibrinolisis juga dipacu untuk melisis trombus yang telah
terjadi hingga menyebabkan defisiensi trombosit.
Jadi pada DIC terjadi defisiensi trombosit dan faktor-faktor koagulasi plastin (faktor
VIII, fibrinogen, dsb) yang dapat menyebabkan perdarahan disertai juga dengan
defisiensi AT III. prot C & S dan plasminogen yang dapat menyebabkan trombosis.
Jadi perdarahan dan trombosis terjadi bersama-sama.
Pengobatan
Yang penting mengatasi proses yang memacu terjadinya DIC seperti : infeksi,
syok, asidosis dan hipoxia. Jika hasil pemeriksaan darah menunjukkan kekurangan
komponen darah dan faktor-faktor pembekuan darah, maka untuk mengatasi masalah
ini penderita diinfus dengan komponen trombosit apabila penderita menunjukkan
gejala trombositopenis berat; diberikan cryoprecipitat apabila penderita menunjukkan
hipofibrinogenemia dan atau fresh frozen plasma untuk mengganti faktor-faktor
koagulasi dan inhibitor natural yang lain.
Pada beberapa penderita pengobatan primer pada penyakitnya tidak memadai
atau tidak tuntas atau pengobatan pengganti tidak efektif untuk mencegah perdarahan;
apabila hal ini terjadi. DIC dapat diobati dengan heparin untuk mencegah konsumsi
faktor koagulasi yang berlanjut. Sejak pemakaian heparin pada penderita yang
mengidap kekurangan factor pembekuan dan trombosit dapat menyebabkan
perdarahan hebat, maka untuk mengatasi masalah ini pemberian heparin biasanya
dimulai bersama-sama dengan faktor pembekuan dan trombosit. Heparin biasanya
dipakai berkelanjutan, diawali dengan dosis rendah 5-10 µ /kg/jam. Sejak kadar anti
koagulasi menjadi rendah sebagai akibat dikonsumsi pengobatan dengan AT III
memungkinkan dapat menolong dan akan mempunyai efek potenasi anti trombotik
dari heparin. Lama dan efektivitas pengobatan heparin dapat ditentukan dengan
pemeriksaan secara seri jumlah trombosit, kadar fibrinogen dan D-Dimer. Percobaan
Seminar Penatalaksanaan DBD 2001. Tropical Disease Center (TDC) – Universitas Airlangga. Surabaya, 12 Mei 2001
awal pengobatan dengan protein-C konsentrat pada penderita DIC tampaknya
memberikan harapan terutama untuk purpura fulminan. Pengalaman ini bernah
diberikan kepada seorang anak dengan DIC yang ada hubungannya dengan purpura
fulminan dan promyelositik leukemia. Pemberian heparin terus menerus dengan dosis
10-15 µ /kg/jam tanpa loading dose pernah diberikan pada penderita progranulositik
leukemia.
Heparin tidak diindikasikan dan tidak efektif pada penderita septic syok, digigit
ular beracun, heatstroke, luka kepala yang luas, reaksi transfuse darah yang tidak jelas
ditemukan tanda trombosis vaskuler.
RANGKUMAN
Seminar Penatalaksanaan DBD 2001. Tropical Disease Center (TDC) – Universitas Airlangga. Surabaya, 12 Mei 2001
DAFTAR PUSTAKA
Seminar Penatalaksanaan DBD 2001. Tropical Disease Center (TDC) – Universitas Airlangga. Surabaya, 12 Mei 2001