You are on page 1of 25

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Human Immunodeficiency virus (HIV) merupakan pathogen yang menyerang


system imun manusia terutama sel yang memiliki CD4+ dipermukaannya seperti magrofag
dan limfosit T. sementara Accuired imunodeficiensy syndrome (AIDS) merupakan kondisi
imunosupresif yang berkaitan dengan berbagai infeksi opurtunistik, neoplasma sekunder,
serta maninfestasi neurologi tertentu akibat infeksi HIV. 1

2.2 ETIOLOGI

AIDS disebabkan oleh infeksi HIV. HIV adalah suatu virus RNA berbentuk sferis
yang termasuk retrovirus dari famili Lentivirus. (Gambar 1). Strukturnya tersusun atas
beberapa lapisan dimana lapisan terluar (envelop) berupa glikoprotein gp120 yang melekat
pada glikoprotein gp41. Selubung glikoprotein ini berafinitas tinggi terhadap molekul CD4
pada permukaan T-helper lymphosit dan monosit atau makrofag. Lapisan kedua di bagian
dalam terdiri dari protein p17. Inti HIV dibentuk oleh protein p24. Di dalam inti ini terdapat
dua rantai RNA dan enzim transkriptase reverse (reverse transcriptase enzyme). 3

Gambar 1: struktur virus HIV-1


Ada dua tipe HIV yang dikenal yakni HIV-1 dan HIV-2. Epidemi HIV global
terutama disebabkan oleh HIV-1 sedangkan tipe HIV-2 tidak terlalu luas penyebarannya.
Tipe yang terakhir ini hanya terdapat di Afrika Barat dan beberapa negara Eropa yang
berhubungan erat dengan Afrika Barat.3

2.3 EPIDEMIOLOGI

Diseluruh dunia pada tahun 2013 ada 35 juta orang hidup dengan HIV yang
meliputi 16 juta perempuan dan 3,2 juta anak berusia <15 tahun. Di Indonesia hiv pertama
kali di temukan di Bali pada tahun 1987 , hingga saat ini HIV sudah menyebar di 386
kabupaten diseluruh provinsi di Indonesia. Dari bulan Oktober sampai dengan Desember
2016 jumlah infeksi HIV yang dilaporkan sebanyak 13.287 orang. Persentase infeksi HIV
tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 25-49 tahun (68%), diikuti kelompok umur 20-
24 tahun (18,1%), dan kelompok umur 50 tahun (6,6%). Rasio HIV antara laki-laki dan
perempuan adalah 2:1. Persentase faktor risiko HIV tertinggi adalah hubungan seks
berisiko pada heteroseksual (53%), LSL (Lelaki Seks Lelaki) (35%), lain-lain (11%) dan
penggunaan jarum suntik tidak steril penasun (93 % pada tahaun 2000), transfusi
2
komponen darah dari ibu yang terinfeksi ke bayi yang dilahirkannya .

2.4 PATOGENESIS
Limfosit CD4+ (sel T helper atau Th) merupakan target utama infeksi HIV karena
virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4+ berfungsi
mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting sehingga bila terjadi
kehilangan fungsi tersebut maka dapat menyebabkan gangguan imun yang progresif. 4

Namun beberapa sel lainnya yang dapat terinfeksi yang ditemukan secara in vitro
dan invivo adalah megakariosit, epidermal langerhans, peripheral dendritik, folikular
dendritik, mukosa rectal, mukosa saluran cerna, sel serviks, mikrogilia, astrosit, sel
trofoblast, limfosit CD8, sel retina dan epitel ginjal. 3
Infeksi HIV terjadi melalui molekul CD4 yang merupakan reseptor utama HIV
dengan bantuan ko-reseptor kemokin pada sel T atau monosit, atau melalui kompleks
molekul adhesi pada sel dendrit. Kompleks molekul adhesi ini dikenal sebagai dendritic-
cell specific intercellular adhesion molecule-grabbing nonintegrin (DC-SIGN). Akhir-akhir
ini diketahui bahwa selain molekul CD4 dan ko-reseptor kemokin, terdapat integrin sebagai
reseptor penting lainnya untuk HIV. Antigen gp120 yang berada pada permukaan HIV akan
berikatan dengan CD4 serta ko-reseptor kemokin CXCR4 dan CCR5, dan dengan mediasi
antigen gp41 virus, akan terjadi fusi dan internalisasi HIV. Di dalam sel CD4, sampul HIV
akan terbuka dan RNA yang muncul akan membuat salinan DNA dengan bantuan enzim
transkriptase reversi. Selanjutnya salinan DNA ini akan berintegrasi dengan DNA pejamu
dengan bantuan enzim integrase. DNA virus yang terintegrasi ini disebut sebagai provirus.
Setelah terjadi integrasi, provirus ini akan melakukan transkripsi dengan bantuan enzim
polimerasi sel host menjadi mRNA untuk selanjutnya mengadakan transkripsi dengan
protein-protein struktur sampai terbentuk protein. mRNA akan memproduksi semua protein
virus. Genomik RNA dan protein virus ini akan membentuk partikel virus yang nantinya
akan menempel pada bagian luar sel. Melalui proses budding pada permukaan membran
sel, virion akan dikeluarkan dari sel inang dalam keadaan matang. Sebagian besar replikasi
HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan di peredaran darah tepi. (Djoerban Z dkk,
2006)Siklus replikasi virus HIV digambarkan secara ringkas melalui gambar 2.
Gambar 2 : Visualisasi siklus HIV

Pada pemeriksaan laboratorium yang umum dilakukan untuk melihat defisiensi


imun, akan terlihat gambaran penurunan hitung sel CD4, inverse rasio CD4-CD8 dan
hipergammaglobulinemia. Respon imun humoral terhadap virus HIV dibentuk terhada
berbagai antigen HIV seperti antigen inti (p24) dan sampul virus (gp21, gp41). Antibodi
muncul di sirkulasi dalam beberapa minggu setelah infeksi. Secara umum dapat dideteksi
pertama kali sejak 2 minggu hingga 3 bulan setelah terinfeksi HIV. Masa tersebut disebut
masa jendela. Antigen gp120 dan bagian eksternal gp21 akan dikenal oleh sistem imun
yang dapat membentuk antibodi netralisasi terhadap HIV. Namun, aktivitas netralisasi
antibodi tersebut tidak dapat mematikan virus dan hanya berlangsung dalam masa yang
pendek. Sedangkan respon imun selular yang terjadi berupa reaksi cepat sel CTL (sel T
sitolitik yang sebagian besar adalah sel T CD8). Walaupun jumlah dan aktivitas sel T CD8
ini tinggi tapi ternyata tidak dapat menahan terus laju replikasi HIV. 3

Perjalanan penyakit infeksi HIV disebabkan adanya gangguan fungsi dan kerusakan
progresif populasi sel T CD4. Hal ini meyebabkan terjadinya deplesi sel T CD4. Selain itu,
terjadi juga disregulasi repsons imun sel T CD4 dan proliferasi CD4 jarang terlihat pada
pasien HIV yang tidak mendapat pengobatan antiretrovirus. 3

2.5 PATOFISIOLOGI
Dalam tubuh odha, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga satu
kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Sebagian berkembang
masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi pasien AIDS sesudah
10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan
gejala AIDS, dan kemudian meninggal. Perjalanan penyakit tersebut menunjukkan
gambaran penyakit yang kronis, sesuai dengan perusakan sistem kekebalan tubuh yang juga
bertahap 3
Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan tanda atau gejala tertentu. Sebagian
memperlihatkan gejala tidak khas pada HIV akut, 3-6 minggu setelah terinfeksi. Gejala
yang terjadi adalah demam ,nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam,
diare atau batuk. Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik . masa tanpa
gejala ini umumnya berla ngsung selama 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok keil orang
yang perjalanan penyakitnya amat cepat, hanya dalam 2 tahun da nada pula yang
perjalanannya lambat( non progressor). Seiring makin memburuknya kekebalan tubuh,
odha mulai menampakkkan gejala-gejalanya akibat infeksi oportunistik seperti berat badan
menurun, demam lama, rasa lemah, pembesaran kelenjar getah bening,daire, tuberculosis,
infeksi jamur, herpes.

Tanpa pengobatan ARV, walaupun selama beberapa tahun tidak menunjukan gejala,
secara bertahap system kekebalan tubuh orang yang terinfeksi akan memburuk,dan
akhirnya pasein menunjukan gejala klinik yang makin berat,pasien masuk tahap AIDS. Jadi
yang disebut laten secara klinik (tanpa gejala) sebetulnya bukan laten yang ditinjau dari
sudut penyakit HIV. Maninfestasi dari awal kerusakan system kekbalan tubuh adalah
kerusakan mikroarsitektur folikel kelenjar getah bening dan infeksi HIV yang luas
dijaringan limfoid. Yang dapat dilihat dengan pemeriksaan hibridasi in situ. Sebagian besar
replikasi HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan di peredaran darah tepi. 3

Perjalanan penyakit infeksi HIV disebabkan adanya gangguan fungsi dan kerusakan
progresif populasi sel T CD4. Hal ini meyebabkan terjadinya deplesi sel T CD4. Selain itu,
terjadi juga disregulasi repsons imun sel T CD4 dan proliferasi CD4 jarang terlihat pada
pasien HIV yang tidak mendapat pengobatan antiretrovirus.

Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak
menunjukkan gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 partikel setiap
hari. Replikasi yang cepat ini disertai dengan mutasi HIV dan seleksi, muncul HIV yang
resisten. Bersamaan dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran limfosit CD4 yang tinggi,
untungnya tubuh masih bisa mengkompensasi dengan memproduksi limfosit CD4 sekitar
10 miliar sel setiap hari. 4
Pejalanan penyakit lebih progresif pada pengguna narkotika. Lebih dari 80%
pengguna narkotika terinfeksi virus hepatitis C. Infeksi pada katup jantung juga adalah
penyakit yang dijumpai pada ODHA pengguna narkotika dan biasanya tidak ditemukan
pada ODHA yang tertular dengan cara lain. Lamanya pengguna jarum suntik berbanding
lurus dengan infeksi pneumonia dan tuberkulosis. Makin lama seseorang menggunkan
narkotika suntikan, makin mudah ia terkena pneumonia dan tuberkulosis. Infeksi secara
bersamaan ini akan menimbulkan efek yang buruk. Infeksi oleh kuman penyakit lain akan
menyebabkan virus HIV membelah dengan lebih cepat sehingga jumlahnya akan
meningkat pesat. Selain itu juga dapat menyebabkan reaktivasi virus di dalam limfosit T.
Akibatnya perjalanan penyakitnya biasanya lebih progresif. 4

Secara ringkas, perjalanan alamiah penyakit HIV/AIDS dikaitkan dengan hubungan


antara jumlah RNA virus dalam plasma dan jumlah limfosit CD4+ ditampilkan dalam
gambar 3.

Gambaran perjalanan alamiah infeksi HIV. Dalam periode infeksi primer, HIV
menyebar luas di dalam tubuh; menyebabkan deplesi sel T CD4 yang terlihat pada
pemeriksaan darah tepi. Reaksi imun terjadi sebagai respon terhadap HIV, ditandai dengan
penurunan viremia.

Gambar 3: perjalanan alamiah infeksi HIV


Selanjutnya terjadi periode laten dan penurunan jumlah sel T CD4 terus terjadi hingga
mencapai di bawah batas kritis yang akan memungkinkan terjadinya infeksi oportunistik.

Tabel 2. Gejala klinis infeksi primer HIV

Kelompok Gejala Kekerapan


(%)
Umum Demam 90
Nyeri otot 54
Nyeri sendi -
Rasa lemah -
Mukokutan Ruam kulit 70
Ulkus di mulut 12
Limfadenopat 74
i
Neurologi Nyeri kepala 32
Nyeri belakang mata -
Fotofobia -
Depresi -
Meningitis 12
Saluran cerna Anoreksia -
Nausea -
Diare 32
Jamur di mulut 12
Sumber : (Djauzi S, 2002)

Menurut Zubair Djoerban, Depkes RI, pembagian tingkatan klinis HIV dibagi atas:2

1. Tingkat I (asimptomatik/ Limfadenopati Generalisata Persisten (LGP)):


a. Tanpa gejala sama sekali. Pada tingkat ini belum mengalami kelainan sehingga
aktivitas normal.
b. Limfadenopati Generalisata Persisten, yaitu penyakit pada getah bening atau
limfadenopati pada beberapa kelenjar getah bening yang bertahan lama.
2. Tingkat 2 (dini), pada tingkatan ini sudah bergejala tetapi aktivitas masih normal:
a. Penurunan berat badan kurang dari 10%
b. Kelainan mulut dan kulit ringan
c. Herpes zoster yang timbul 5 tahun terakhir, suatu penyakit kulit yang disebabkan
oleh virus herpes varicella zoster.
d. Infeksi saluran napas atas berulang, misalnya sinusitis, yaitu peradangan pada
rongga sinus di tengkorak.
3. Tingkat 3 (menengah)
a. Penurunan berat badan lebih dari 10%
b. Diare kronik lebih dari 1 bulan tanpa diketahui sebabnya
c. Demam yang tidak diketahui penyebabnya selama 1 bulan, hilang timbul maupun
terus- menerus
d. Kandidosis mulut, yaitu adanya infeksi Candida pada daerah mulut
e. Bercak putih berambut dimulut ( hairy leukoplakia)
f. TB paru setahun terakhir
g. Infeksi bacterial berat pada parenkim paru seperti pneumonia

4. Tingkat 4 ( lanjut)
a. Badan menjadi kurus, HIV wasting syndrome, yaitu berat badan turun lebih dari 10%
dan diare kronik tanpa diketahui sebabnya selama lebih dari 1 bulan atau kelemahan
kronik dan demam tanpa diketahui sebabnya lebih dari 1 bulan.
b. Infeksi oportuistik berat
c. Enselofalopati HIV, sesuai kriteria CDC, yaitu gangguan kognitif atau disfungsi
motorik yang mengganggu aktivitas sehari- hari, progreisf sesudah beberapa minggu
atau bulan, tanpa dapat ditemukan penyebab lain kecuali HIV.1
Konsling dan tes HIV

1. KONSELING
Terdapat dua macam pendekatan untuk tes HIV:
a. Konseling dan test HIV sukarela (voluntary counseling & testing/VCT)
b. Test HIV dan konseling atas insitiatif testing and counseling / PITC)
Hingga saat ini, PITC merupakan kebijakan pemerintah untuk dilaksanakan
di layanan kesehatan. Petugas kesehatan harus mengajukan tes HIV
setidaknya pada ibu hamil, pasien TB, pasien yang menunjukan gejala dan
tanda klinis diduga terinfeksi HIV , pasien dari kelompok berisiko
(penasun,PSK-pekerja seks komersial, lelaki yang berhubungan seks dengan
lelaki, pasien infeksi menular seksual dan seluruh pasangan seksual nya.
2. TEST HIV
Prosedur pemeriksaan laboratorium untuk HIV sesuai dengan panduan
nasional yang berlaku pada saat ini, yaitu dengan menggunakan tiga
pemeriksaan dan selalu didahului dengan konseling pra-test atau informasi
singkat. Ketiga test dapat menggunakan reagen test cepat atau dengan ELISA.
Untuk pemeriksaan pertama (A1) harus digunakan test dengan sensitisasi yang
tinggi (>99%) sedang untuk pemeriksaan selanjutnya (A2 dan A3)
menggunakan test dengan spesifitas tinggi (>99%).

Kriteria interpretasi tes anti HIV dan tindak lanjutnya

Hasil test kriteria Tindak lanjut


Positif Bila hasil AI reaktif, A2 Rujuk ke pengobatan
reaktif dan A3 reaktif HIV
Negative Bila hasil A1 non Bila tidak memiliki
reaktif prilaku berisiko,
Bila hasil A1 reaktif
dianjurkan prilaku hidup
tapi pada pengulangan
sehat
A1 dan A2 NON reaktif Bila berisiko dianjurkan
Bila salah satu reaktif
pemeriksaan ulang
tapi tidak berisiko
minimum 3 bulan, 6
bulan dan 12 bulan dari
pemeriksaan pertama
sampai satu tahun
intermediet bila duanhasil test Tes perlu di ulang
reaktif dengan specimen baru
bila hanya 1 tes reaktif
minimal setelah dua
tapi mempunyai risiko
minggu dari
atau pasangan berisiko
pemeriksaan yang
pertama
Bila hasil tetap
intermediate , dianjurkan
pemeriksaan PCR
Bila pemeriksaan PCR
tidak memungkinkan ,
rapid test di ulang 3
bulan, 6 bulan dan 12
bulan dari pemeriksaan
yang pertama, bila
sampai satu tahun hasil
tetap intermediet dan
factor resiko rendah ,
hasil dapat dinyatakan
sebagai negative.
Penilaian Imunologi

Tes hitung jumlah sel T CD4 merupakan cara yang terpercaya dalam menilai status
imunitas odha dan memudahkan kita untuk mengambil keputusan dalam memberikan
pengobatan ARV. Tes CD4 ini juga digunakan sebagai pemantau respon terapi ARV. Namun
yang penting diingat bahwa meski tes CD4 dianjurkan, bilamana tidak tersedia, hal ini tidak
boleh menjadi penghalang atau menunda pemberian terapi ARV. CD4 juga digunakan
sebagai pemantau respon terapi ARV. Pemeriksaan jumlah limfosit total (Total Lymphocyte
Count TLC) dapat digunakan sebagai indikator fungsi imunitas jika tes CD4 tidak
tersedia namun TLC tidak dianjurkan untuk menilai respon terapi ARV atau sebagai dasar
menentukan kegagalan terapi ARV. (Depkes RI, 2007)

Tabel 9. Stadium klinis HIV

Stadium 1 Asimptomatik
Tidak ada penurunan berat badan
Tidak ada gejala atau hanya : Limfadenopati Generalisata Persisten

Stadium 2 Sakit ringan


Penurunan BB 5-10%
ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitis
Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
Luka di sekitar bibir (keilitis angularis)
Ulkus mulut berulang
Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo -PPE)
Dermatitis seboroik
Infeksi jamur kuku

Stadium 3 Sakit sedang


Penurunan berat badan > 10%
Diare, Demam yang tidak diketahui penyebabnya, lebih dari 1 bulan
Kandidosis oral atau vaginal
Oral hairy leukoplakia
TB Paru dalam 1 tahun terakhir
Infeksi bakterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll)
TB limfadenopati
Gingivitis/Periodontitis ulseratif nekrotikan akut
Anemia (Hb <8 g%), netropenia (<5000/ml), trombositopeni kronis
(<50.000/ml)

Stadium 4 Sakit berat (AIDS)


Sindroma wasting HIV
Pneumonia pnemosistis*, Pnemoni bakterial yang berat berulang
Herpes Simpleks ulseratif lebih dari satu bulan.
Kandidosis esophageal
TB Extraparu*
Sarkoma kaposi
Retinitis CMV*
Abses otak Toksoplasmosis*
Encefalopati HIV
Meningitis Kriptokokus*
Infeksi mikobakteria non-TB meluas

Sumber : Depkes RI, 2007

2.8 PENATALAKSANAAN

HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara total. Namun data
selam 8 tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat meyakinkan bahwa pegobatan dengan
menggunakan kombinasi beberapa obat anti HIV bermanfaat untuk menurunkan morbiditas
dan mortalitas dini akibat infeksi HIV. . (Djoerban Z dkk,2006)
Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa jenis, yaitu:

a) Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral


(ARV).
b) Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang
menyertai infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis,
toksoplasmosis, sarkoma kaposi, limfoma, kanker serviks.
c) Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih baik
dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan dukungan
agama serta juga tidur yang cukup dan perlu menjaga kebersihan. Dengan
pengobatan yang lengkap tersebut, angka kematian dapat ditekan, harapan hidup
lebih baik dan kejadian infeksi oportunistik amat berkurang.

2.8.1Terapi Antiretroviral (ARV)


Secara umum, obat ARV dapat dibagi dalam 3 kelompok besar yakn (Djauzi S dkk,2002):

Kelompok nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI) seperti: zidovudin,


zalsitabin, stavudin, lamivudin, didanosin, abakavir
Kelompok non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTI) seperti evafirens
dan nevirapin
Kelompok protease inhibitors (PI) seperti sakuinavir, ritonavir, nelvinavir, amprenavir.

Waktu memulai terapi ARV harus dipertimbangkan dengan seksama karena obat
antiretroviral akan diberikan dalam jangka panjang. Proses memulai terapi ARV meliputi
penilaian terhadap kesiapan pasien untuk memulai terapi ARV dan pemahaman tentang
tanggung jawab selanjutnya (terapi seumur hidup, adherence, toksisitas). Jangkauan pada
dukungan gizi dan psikososial, dukungan keluarga atau sebaya juga menjadi hal penting
yang tidak boleh dilupakan ketika membuat keputusan untuk memulai terapi ARV. ( Depkes
RI, 2007)
Dalam hal tidak tersedia tes CD4, semua pasien dengan stadium 3 dan 4 harus
memulai terapi ARV. Pasien dengan stadium klinis 1 dan 2 harus dipantau secara seksama,
setidaknya setiap 3 bulan sekali untuk pemeriksaan medis lengkap atau manakala timbul
gejala atau tanda klinis yang baru.Adapun terapi HIV-AIDS berdasarkan stadiumnya seperti
pada tabel 10. (Depkes RI, 2007)

Tabel 10. Terapi pada ODHA dewasa


Stadium Jika tidak tersedia
Bila tersedia pemeriksaan CD4
Klinis pemeriksaan CD4
1 Terapi ARV tidak diberikan
Terapi antiretroviral dimulai bila CD4 <200 Bila jumlah total limfosit
2
<1200
3
Jumlah CD4 200 350/mm , pertimbangkan
terapi sebelum CD4 <200/mm3.
Pada kehamilan atau TB:
Terapi ARV dimulai tanpa
Mulai terapi ARV pada semua ibu hamil
3 memandang jumlah limfosit
dengan CD4 350
total
Mulai terapi ARV pada semua ODHA
dengan CD4 <350 dengan TB paru atau
infeksi bakterial berat
Terapi ARV dimulai tanpa memandang jumlah
4
CD4
Sumber : Depkes RI, 2007

1. CD4 dianjurkan digunakan untuk membantu menentukan mulainya terapi. Contoh, TB


paru dapat muncul kapan saja pada nilai CD4 berapapun dan kondisi lain yang
menyerupai penyakit yang bukan disebabkan oleh HIV (misal, diare kronis, demam
berkepanjangan).
2. Nilai yang tepat dari CD4 di atas 200/mm3 di mana terapi ARV harus dimulai belum
dapat ditentukan.
3. Jumlah limfosit total 1200/mm3 dapat dipakai sebagai pengganti bila pemeriksaan
CD4 tidak dapat dilaksanakan dan terdapat gejala yang berkaitan dengan HIV (Stadium
II atau III). Hal ini tidak dapat dimanfaatkan pada ODHA asimtomatik. Maka, bila tidak
ada pemeriksaan CD4, ODHA asimtomatik (Stadium I) tidak boleh diterapi karena pada
saat ini belum ada petanda lain yang terpercaya di daerah dengan sumber daya terbatas.

Bila terdapat tes untuk hitung CD4, saat yang paling tepat untuk memulai terapi
ARV adalah sebelum pasien jatuh sakit atau munculnya IO yang pertama. Perkembangan
penyakit akan lebih cepat apabila terapi Arv dimulai pada saat CD4 < 200/mm3
dibandingkan bila terapi dimulai pada CD4 di atas jumlah tersebut. Apabila tersedia sarana
tes CD4 maka terapi ARV sebaiknya dimulai sebelum CD4 kurang dari 200/mm3. Waktu
yang paling optimum untuk memulai terapi ARV pada tingkat CD4 antara 200- 350/mm3
masih belum diketahui, dan pasien dengan jumlah CD4 tersebut perlu pemantauan teratur
secara klinis maupun imunologis. Terapi ARV dianjurkan pada pasien dengan TB paru atau
infeksi bakterial berat dan CD4 < 350/mm3. Juga pada ibu hamil stadium klinis manapun
dengan CD4 < 350 / mm3. Keputusan untuk memulai terapi ARV pada ODHA dewasa
danremaja didasarkan pada pemeriksaan klinis dan imunologis. Namun Pada keadaan
tertentu maka penilaian klinis saja dapat memandu keputusan memulai terapi ARV.
Mengukur kadar virus dalam darah (viral load) tidak dianjurkan sebagai pemandu
keputusan memulai terapi. (Depkes RI, 2007)
Terapi ARV sebaiknya jangan dimulai bila terdapat keadaan infeksi oportunistik
yang aktif. Pada prinsipnya, IO harus diobati atau diredakan dulu.
Namun pada kondisi-kondisi dimana tidak ada lagi terapi yang efektif selain
perbaikan fungsi kekebalan dengan ARV maka pemberian ARV sebaiknya diberikan
sesegera mungkin (AIII). Contohnya pada kriptosporidiosis, mikrosporidiosis, demensia
terkait HIV. Keadaan lainnya, misal pada infeksi M.tuberculosis, penundaan pemberian
ARV 2 hingga 8 minggu setelah terapi TB dianjurkan untuk menghindari bias dalam
menilai efek samping obat dan juga untuk mencegah atau meminimalisir sindrom restorasi
imun atau IRIS. (Depkes RI, 2007)

2.8.2 Panduan Kombinasi Obat ARV


Kombinasi tiga obat antiretroviral merupakan regimen pengobatan ARV yang
dianjurkan oleh WHO, yang dikenal sebagai Highly Active AntiRetroviral Therapy atau
HAART. Kombinasi ini dinyatakan bermanfaat dalam terapi infeksi HIV. Semula, terapi
HIV menggunakan monoterapi dengan AZT dan duo (AZT dan 3TC) namun hanya
memberikan manfaat sementara yang akan segera diikuti oleh resistensi. (Yunihastuti E,
2005)

WHO merekomendasikan penggunaan obat ARV lini pertama berupa kombinasi 2


NRTI dan 1 NNRTI. Obat ARV lini pertama di Indonesia yang termasuk NRTI adalah AZT,
lamivudin (3TC) dan stavudin (d4T). Sedangkan yang termasuk NNRTI adalah nevirapin
(NVP) dan efavirenz (EFZ). ( Depkes RI, 2007) Adapun terapi kombinasi untuk HIV/AIDS
seperti pada tabel 11.

Tabel 11 : Terapi ARV

Sumber : Depkes RI, 2007


Di Indonesia, pilihan utama kombinasi obat ARV lini pertama adalah AZT + 3TC +
NVP. Pemantauan hemoglobin dianjurkan pada pemberian AZT karena dapat menimbulkan
anemia. Pada kondisi ini, kombinasi alternatif yang bisa digunakan adalah d4T + 3TC +
NVP. Namun AZT lebih disukai daripada stavudin (d4T) oleh karena adanya efek toksik
d4T seperti lipodistrofi, asidosis laktat, dan neuropati perifer. Kombinasi AZT + 3TC +
EFZ dapat digunakan bila NVP tidak dapat digunakan. Namun, perlu kehati-hatian pada
perempuan hamil karena EFZ tidak boleh diberikan (Depkes RI, 2007). Pemilihan ARV
golongan NRTI tentunya dengan mempertimbangkan keuntungan dan kekurangan masing-
masing obat. Adapun kombinasi terapi ARV yang tidak dianjurkan seperti pada tabel 12.

Tabel 12. Pilihan obat ARV golongan NR

Sumber : Depkes RI, 2007


Tabel 13 mencoba menampilkan ringkasan mengenai keuntungan dan kerugian obat ARV
golongan ini.

Tabel 13 : Kombinasi ARV

Sumber : Depkes RI, 2007

PI tidak direkomendasikan sebagai paduan lini pertama karena penggunaa PI pada


awal terapi akan menghilangkan kesempatan pilihan lini kedua di Indoneesia di mana
sumber dayanya masih sangat terbatas. PI hanya dapat digunakan sebagai paduan lini
pertama (bersama kombinasi standar 2 NRTI) pada terapi infeksi HIV-2, pada perempuan
dengan CD4>250/ mm3 yang mendapat ART dan tidak bisa menerima EFV, atau pasien
dengan intoleransi NNRTI.

2.6.3 Sindrom Pemulihan Imunitas (immun reconstitution syndrome = IRIS)


Kumpulan tanda dan gejala akibat dari pulihnya system kekebalan tubuh selama
terapi ARV. Merupakan reaksi paradoksal dalam melawan antigen asing (hidup atau mati)
dari pasien yang baru memulai terapi ARV dan mengalami pemulihan respon imun
terhadap antigen tersebut.M. tuberkulosi merupakan sepertiga dari seluruh kasus IRIS.
Frekuensinya 10% dari seluruh pasien yang mulai terapi ARV dan 25% dari pasien yang
mulai terapi ARV dengan CD4 <50 / mm3. Berikut table pedoman tatalaksana IRIS di
Indonesia, seperti pada tabel 14.
Tabel 14: pedoman tatalaksana IRIS

Sumber : Depkes RI, 2007

Penatalaksanaan Infeksi Opurtunistik


Infeksi oportunistik (IO) adalah infeksi yang timbul akibat penurunan kekebalan tubuh.
Infeksi ini dapat timbul karena mikroba (bakteri, jamur, virus) yang berasal dari luar tubuh,
maupun yang sudah ada dalam tubuh manusia namun dalam keadaan normal terkendali
oleh kekebalan tubuh. (Yunihastuti E, 2005)
Infeksi oportunistik dapat dihubungkan dengan tingkat kekebalan tubuh yang
ditandai dengan jumlah CD4 dan dapat terjadi pada jumlah CD4 < 200 sel/L ataupun >
200 sel/L. Sebagian besar infeksi oportunistik dapat diobati namun apabila kekebalan
tubuh tetap rendah maka infeksi oportunistik mudah kambuh kembali atau juga dapat
timbul oportunistik yang lain. Pada umumnya kematian pada odha disebabkan oleh infeksi
oportunistik sehingga infeksi ini perlu dikenal dan diobati. Dengan penggunaan ARV
peningkatan kekebalan tubuh ( CD4 ) dapat dicapai sehingga risiko infeksi oportunistik
dapat dikurangi. Terdapat banyak penyakit yang digolongkan infeksi oportunistik seperti
terlihat pada table 15.
Tabel 15. Infeksi Oportunistik/ Kondisi yang Sesuai dengan Kriteria Diagnosis AIDS
Cytomegalovirus (CMV) selain hati, limpa, atau kelenjar getah bening
CMV, retinitis (dengan penurunan fungsi penglihatan)
Ensefalopati HIV a
Herpes simpleks, ulkus kronik (lebih dari 1 bulan), bronchitis, pneumonitis, atau
esofagitis
Histoplasmosis, diseminata atau ekstraparu
Isosporiasis, dengan diare kronis (> 1 bulan)
Kandidiasis bronkus, trakea, atau paru
Kandidiasis esophagus
Kanker serviks invasif
Koksidioidomikosis, diseminata, atau ekstraparu
Kriptokokosis, ekstraparu
Kriptokosporidiosis, dengan diare kronis (> 1 bulan)
Leukoensefalopati multifocal progresif
Limfoma Burkitt
Limfoma imunoblastik
Limfoma primer pada otak
Mycobacterium avium complex atau M. kansasii, diseminata atau ekstraparu
Mycobacteriumi tuberculosis, di paru atau ekstraparu
Mycobacteriumi spesies lain atau tak teridentifikasi, di paru atau ekstraparu
Pneumonia Pneumocystis carinii
Pneumonia rekuren b
Sarkoma Kaposi
Septikemia Salmonella rekuren
Toksoplasmosis otak
Wasting syndrome c

a
Terdapat gejala klinis gangguan kognitif atau disfungsi motorik yang
mengganggu kerja atau aktivitas sehari-hari, tanpa dapat dijelaskan oleh penyebab
lain selain infeksi HIV. Untuk menyingkirkan penyakit lain dilakukan
pemeriksaan lumbal pungsi dan pemeriksaan pencitraan otak (CT scan atau MRI)
b
Berulang lebih dari satu episode dalam 1 tahun
c
Terdapat penurunan berat badan lebih dari 10% ditambah diare kronik (minimal
2 kali selama > 30 hari), atau kelemahan kronik dan demam lama (>30 hari,
intermiten, atau konstan) tanpa dapat dijelaskan oleh penyakit/ kondisi lain
(missal kanker, tuberkulosis, enteritis spesifik) selain HIV.
Sumber :Yunihastuti E dkk, 2005

BAB III

KESIMPULAN

AIDS adalah kumpulan gejala atau penyakit yang diakibatkan karena penurunan
kekebalan tubuh akibat adanya infeksi oleh Human Imunodeficiency Virus (HIV)
yang termasuk famili retroviridae. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV.

Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan banyak
Negara di seluruh dunia. Tidak ada satupun negara di dunia ini yang terbebas dari
HIV.
Pada tahun 2009, jumlah odha diperkirakan mencapai 33,3 juta orang, dengan
sebangian besar penderitanya adalah usia produktif , 15,9 juta penderita adalah
perempuan dan 2,5 juta adalah anak-anak. perkembangan epidemi HIV di Indonesia
termasuk yang tercepat di Asia.
Infeksi HIV terjadi melalui tiga jalur transmisi utama yakni transmisi melalui
mukosa genital (hubungan seksual) transmisi langsung ke peredaran darah melalui
jarum suntik yang terkontaminasi atau melalui komponen darah yang
terkontaminasi, dan transmisi vertikal dari ibu ke janin.
Limfosit CD4+ (sel T helper atau Th) merupakan target utama infeksi HIV karena
virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4+
berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting sehingga
bila terjadi kehilangan fungsi tersebut maka dapat menyebabkan gangguan imun
yang progresif.
Dalam tubuh odha, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga satu
kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Sebagian
berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi
pasien AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang yang
terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal
Diagnosis ditegakkan dengan Anamnesis yang lengkap termasuk risiko pajanan
HIV , pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan konseling perlu dilakukan
pada setiap odha saat kunjungan pertama kali ke sarana kesehatan. Hal ini
dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis, diperolehnya data dasar mengenai
pemeriksaan fisik dan laboratorium, memastikan pasien memahami tentang infeksi
HIV, dan untuk menentukan tata laksana selanjutnya.
Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa jenis, yaitu:

a) Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral


(ARV).
b) Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang
menyertai infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis,
toksoplasmosis, sarkoma kaposi, limfoma, kanker serviks.
c) Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih baik
dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan dukungan
agama serta juga tidur yang cukup dan perlu menjaga kebersihan.
Secara umum, obat ARV dapat dibagi dalam 3 kelompok besar yakni: nucleoside
reverse transcriptase inhibitors (NRTI) , non-nucleoside reverse transcriptase
inhibitors (NNRTI), dan protease inhibitors (PI).
Di Indonesia, pilihan utama kombinasi obat ARV lini pertama adalah AZT + 3TC +
NVP

DAFTAR PUSTAKA

1. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi


I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006

2. Djauzi S, Djoerban Z. Penatalaksanaan HIV/AIDS di pelayanan kesehatan dasar.


Jakarta: Balai Penerbit FKUI 2002.

3. Fauci AS, Lane HC. Human Immunodeficiency Virus Disease: AIDS and related
disorders. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hause SL, Jameson
JL. editors. Harrisons Principles of Internal Medicine. 17th ed. The United States of
America: McGraw-Hill
4. Kelompok Studi Khusus AIDS FKUI. In: Yunihastuti E, Djauzi S, Djoerban Z,
editors. Infeksi oportunistik pada AIDS. Jakarta: Balai Penerbit FKUI 2005.

5. Laporan statistik HIV/AIDS di Indonesia. 2009 [cited 2009 March 10]. Available at
url: http://www.aidsindonesia.or.id

6. Merati TP, Djauzi S. Respon imun infeksi HIV. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi
I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006

7. Mustikawati DE. Epidemiologi dan pengendalian HIV/AIDS. In: Akib AA, Munasir
Z, Windiastuti E, Endyarni B, Muktiarti D, editors. HIV infection in infants and
children in Indonesia: current challenges in management. Jakarta: Departemen Ilmu
Kesehatan Anak FKUI-RSCM 2009

8. Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral. Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV


pada orang Dewasa dan Remaja edisi ke-2, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
2007

9. UNAIDS-WHO. Report on the global HIV/AIDS epidemic 2010: executive


summary. Geneva. 2010.

10. Yayasan Spiritia. Sejarah HIV di Indonesia. 2009 [cited 2009 April 8]; Available
from: http://spiritia.or.id/art/bacaart.php?artno=1040

You might also like