You are on page 1of 25

LAPORAN KASUS

Pre Eklamsi Berat

Oleh:
dr. Abang Anton

Pembimbing:
dr. Tri Wahyudi, Sp.OG
dr. Yudi Paulian Heriwibowo
dr. Evi Aprillia

Program Internsip Dokter Indonesia


Puskesmas Sungai Durian
Kabupaten Kubu Raya
2017
BAB I
PENDAHULUAN

Preeklampsia merupakan komplikasi kehamilan yang ditandai dengan


peningkatan tekanan darah disertai proteinuria pada wanita hamil yang sebelumnya
tidak mengalami hipertensi. Biasanya sindroma ini muncul pada akhir trimester
kedua sampai ketiga kehamilan. Gejalanya berkurang atau menghilang setelah
melahirkan sehingga terapi definitifnya mengakhiri kehamilan.
Preeklampsia dapat berakibat buruk baik pada ibu maupun janin yang
dikandungnya. Komplikasi pada ibu berupa sindroma HELLP (Hemolysis, Elevated
Liver Enzyme, Low Platelet), edema paru, gangguan ginjal, perdarahan, solusio
plasenta bahkan kematian ibu. Komplikasi pada bayi dapat berupa kelahiran
premature, gawat janin, berat badan lahir rendah atau intra uterine fetal death
(IUFD).
Angka kejadian preeklampsia berkisar antara 5 15% dari seluruh kehamilan
di seluruh dunia. Sampai saat ini etiologi preeklampsia belum diketahui secara pasti.
Terdapat beberapa hipotesis mengenai etiologi preeklampsia antara lain iskemik
plasenta, maladaptasi imun dan factor genetik. Akhir-akhir ini disfungsi endotel
dianggap berperan dalam patogenesis preeclampsia.
Di Indonesia, preeklampsia dan eklampsia masih merupakan salah satu
penyebab utama mortalitas maternal dan perinatal. Sebagian besar mortalitas
tersebut disebabkan oleh keterlambatan diagnosis dan penanganan dini
preeklampsia dan eklampsia, sehingga pasien tidak sempat mendapat penanganan
yang adekuat sebelum sampai ke rumah sakit rujukan, atau sampai ke rumah sakit
rujukan dalam kondisi yang sudah buruk. Belum semua rumah sakit rujukan
memiliki fasilitas perawatan intensif yang memadai untuk menangani kasus
eklampsia pada khususnya, sehingga pengetahuan mengenai pengenalan faktor
resiko untuk dapat mendeteksi secara dini preeklampsia sangat diperlukan agar tidak
terjadi keterlambatan penanganan pertama dan rujukan.

1
BAB II
ILUSTRASI KASUS

2.1 Anamnesis
1) Identitas Penderita
Nama : Ny. JL
Umur : 43 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Gg. Bersama RT 06 RW 01
Tanggal Masuk : 27 November 2016
Jam Masuk : 08.00
HPMT : ? Februari 2016
HPL : ? November 2016
UK : 9 Bulan

2) Keluhan Utama
Mules-mules

3) Riwayat Penyakit Sekarang


Datang seorang perempuan, usia 43 tahun, hamil keempat, tidak
pernah keguguran, anak pertama sampai ketiga hidup, hamil cukup bulan,
dengan keluhan mules sampai kepinggang sejak pukul 05.00, keluhan disertai
keluar air-air. keluar lendir darah (-). Nyeri kepala (-), kejang (-), nyeri di
sekitar ulu hati (-), pandangan mata kabur (-), mual(-), muntah(-). Pasien
gelisah.

4) Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat DM : disangkal
Riwayat Asma : disangkal
Riwayat Sakit Jantung : disangkal

2
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat Alergi obat/makanan : disangkal

5) Riwayat Fertilitas
Belum dapat dinilai

6) Riwayat Obstetri
Tidak bisa di nilai, buku ping tidak ada.

7) Riwayat Ante Natal Care (ANC)


Tidak bisa di nilai, buku pink tidak ada.

8) Riwayat Perkawinan
Menikah 1 kali

9) Riwayat KB
Tidak menggunakan kontrasepsi

3
2.2 PEMERIKSAAN FISIK
1) Status generalis
Tanggal 27 November 2016
Keadaan Umum : tampak kesakitan dan gelisah, compos mentis, gizi
cukup
Tanda vital :
T : 160/110 mmHg Rr : 24 x/ menit
N : 88 x/ menit S : 36,5 0C
Kepala : Mesocephal
Mata : Conjungtiva subnemis (-/-), Sclera Ikterik (-/-)
THT : Tonsil tidak membesar, pharing hiperemis (-)
Leher : Gld. thyroid tidak membesar, limfonodi tidak membesar
Thorax : Glandula mammae hipertrofi (+), areola mammae
hiperpigmentasi (+)
Cor : Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : BJ I-II intensitas normal, regular, bising (-)
Pulmo : Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri
Palpasi : Fremitus raba kanan = kiri
Perkusi : Sonor / sonor
Auskultasi : SD vesikuler (+/+), Rh (-/-), wh (-/-)
Abdomen : Inspeksi : Dinding perut > dinding dada,
stria gravidarum (+)
Auskultasi : Peristaltik (+) normal
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepar tidak membesar, lien
tidak membesar.
Perkusi : Timpani pada daerah bawah processus xyphoideus,
redup pada daerah uterus
Genital : Lendir darah (+), air ketuban (+)

4
Ekstremitas bawah: akral hangat (+/+), Oedema (+/+), pitting (+/+). Reflek
patella (+/+)

2) Status Obstetri

Inspeksi
Kepala : simetris, mesocephal
Mata : Conjungtiva subnemis (-/-), Sclera Ikterik (-/-)
Thoraks : Glandula mammae hipertrofi (+), areola mammae
hiperpigmentasi (+)
Abdomen : Dinding perut > dinding dada, striae gravidarum (+)
Genetalia Eksterna: vulva/uretra tenang, lendir darah (+), peradangan (-),
tumor (-)
Palpasi
Abdomen : Supel, nyeri tekan (-), teraba janin tunggal, intra uteri,
memanjang, punggung di kiri, presentasi kepala, kepala
belum masuk panggul, TFU 34 cm, His (+) 3 x 10 25, DJJ
(+) 140x/meit (11-12-12)
Pemeriksaan Leopold :
I : Teraba tinggi fundus uteri setinggi tepi atas pusat, teraba bagian besar
dan lunak di fundus, kesan bokong
II : Teraba bagian besar janin di sebelah kiri, kesan punggung, bagian
kecil di sebelah kanan
III : Teraba bagian bulat dan keras, kesan kepala
IV : Bagian terendah janin sudah masuk masuk panggul
Ekstremitas bawah : Oedem (+), pitting (+), akral dingin (-)
Ekstremitas atas : Oedem (+), pitting (+), akral dingin (-)
Auskultasi
DJJ (+) 11-12-12, reguler.

5
Pemeriksaan Dalam (VT) :
V/U tenang, dinding vagina dalam batas normal, portio lunak oedem
mencucu kebawah, pembukaan 5 cm, kulit ketuban tidak ada, preskep,
bagian terbawah janin sudah masuk panggul, penurunan kepala hodge I-II
penunjuk belum dapat dinilai, air ketuban (+), lendir darah (+).

2.3 Pemeriksaan Penunjang


Protein Urin : (+) dipstick

2.4 Kesimpulan
Seorang wanita 43 tahun G4P3A0M0, UK cukup bulan. TD : 160/110 mmHg.
Janin tunggal, intra uteri, memanjang, presentasi kepala, punggung kiri, his (+),
DJJ (+) reguler. Kepala sudah masuk panggul. Portio lunak oedem, pembukaan 5
cm, kulit ketuban tidak ada, preskep, bagian terbawah janin sudah masuk
panggul, penurunan kepala hodge I-II penunjuk belum dapat dinilai, air ketuban
(+), lendir darah (+). Ekstrimitas inferior didapatkan oedem pitting (+). Dari
pemeriksaan laboratorium didapatkan proteinuria dipstick +1

2.5 Diaknosis
Wanita 43 tahun, G4 P3 A0 hamil aterm, intra uterin janin tunggal hidup, inpartu
kala 1 fase aktif, preeklamsia berat.

2.5 Tatalaksana
- Infus RL 20 tpm
- O2 3 liter/menit
- MgSO4 40% injeksi 4 gr IV pelan, dilanjutkan 6 gr dalam RL 500 cc/ 6 jam
- Pasang kateter urin
- Awasi tanda-tanda impending eklampsia
- Rujuk ke Rumah Sakit

6
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Diagnosis Awal pasien


Pasien merupakan wanita dengan usia 43 tahun, tampak kesakitan, sudah
ada keluar air-air dan pada waktu pemeriksaan dalam sudah ada pembukaan 5
cm, ini menandakan sudah ada tanda-tanda mau melahirkan pada kala I fase
aktif.
Dari pemeriksaan fisik tekanan darah pasien 160/110 mmHg (sistolik 160
mmHg dan diastol 90 mmHg), pemeriksaan laboratorium urinalisa dipstick
proteinuria +1, Riwayat penyakit dahulu pasien mengaku tidak memiliki riwayat
hipertensi sebelum kehamilan. Melihat usia kehamilan pasien lebih dari 20
minggu dapat di diagnosis dengan preeklamsia berat.
Dari anamnesa pasien tidak didapatkan gejala-gejala impending eklamsia
yang meliputi mata kabur, mual muntah, nyeri epigastrium, nyeri abdomen
kuadran kanan atas.
Pemeriksaan laboratorium tambahan pada kasus di atas untuk mencari
kemungkinan terjadinya sindroma HELLP pada kasus preeklamsia karena
diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil laboratorium di Rumah Sakit, walaupun
sampai saat ini belum ada batasan yang tegas tentang nilai batas untuk masing-
masing parameter. Gambaran hemolisis merupakan gambaran yang spesifik pada
sindroma HELLP. Hemoglobin bebas dalam sistem retikulo endothelial akan
berubah menjadi bilirubin. Peningkatan kadar bilirubin menunjukkan terjadinya
hemolisis. Hemolisis intravaskuler menyebabkan sumsum tulang merespon
dengan mengaktifkan proses eritropoesis, yang mengakibatkan beredarnya
eritrosit imatur. Pada pre eklampsia, SGOT dan SGPT meningkat 1/5 kasus,
dimana 50% diantaranya adalah peningkatan SGOT. Laktat dehidrogenase
(LDH) adalah enzim katalase yang bertanggungjawab terhadap proses oksidasi
laktat menjadi piruvat. LDH yang meningkat menggambarkan terjadinya
kerusakan sel hepar. Peningkatan kadar LDH tanpa disertai peningkatan kadar
SGOT dan SGPT menunjukkan terjadinya hemolisis. Jumlah platelet yang

7
rendah menjadi acuan untuk dikelompokkan dalam kelas Sindroma HELLP yang
berbeda.
Untuk pemeriksaan laboratorium pasien didapatkan proteinuria (+). Pada
PEB, proteinuria bisa terjadi karena kerusakan sel glomerulus yang menyebabkan
peningkatan permeabilitas membrane basalis sehingga terjadi kebocoran protein
pada urin. Pada pasien ini, terdapat edema pada extremitas inferior. Edema
sebenaranya normal terjadi pada 40% wanita hamil kecuali edema yang
patologik. Edema patologik yaitu edema nondependent pada muka dan tangan,
atau edema generalisata (anasarka) dan biasanya disertai kenaikan berat badan
yang cepat.
Pada preeklampsia terjadi vasospasme menyeluruh pada hampir semua
organ tubuh termasuk pada sistem saraf pusat. Hal tersebut menyebabkan
peningkatan volume cairan intraseluler sel otak karena penurunan tekanan
osmotik koloid yang menyebabkan edema serebri sehingga dapat menimbulkan
gejala seperti kejang, nyeri kepala, vertigo, hiperrefleksi, dan buta kortical. Nyeri
kepala merupakan salah satu keadaan yang mengancam kearah eklamsia atau
disebut Impending Eklampsia

3.2 Penatalaksanaan PEB


Prinsip penatalaksanaan preeklamsia berat adalah terapi pada penyulit
dengan medikamentosa dan merencanakan sikap pada kehamilan tergantung dari
usia kehamilan.
Menurut Wibowo dkk (2016), rekomendasi manajemen preeklampsia:
a. Perawatan ekspektatif pada preeklampsia tanpa gejala berat:
1) Manajemen ekspektatif direkomendasikan pada kasus preeklampsia tanpa
gejala berat dengan usia kehamilan < 37 minggu dengan evaluasi
maternal dan janin yang lebih ketat
2) Perawatan poliklinis secara ketat dapat dilakukan pada kasus
preeklampsia tanpa gejala berat.

8
Evaluasi ketat yang dilakukan adalah:
- Evaluasi gejala maternal dan gerakan janin setiap hari oleh pasien
- Evaluasi tekanan darah 2 kali dalam seminggu secara poliklinis
- Evaluasi jumlah trombosit dan fungsi liver setiap minggu
- Evaluasi USG dan kesejahteraan janin secara berkala (dianjurkan 2
kali dalam seminggu)
- Jika didapatkan tanda pertumbuhan janin terhambat, evaluasi
menggunakan doppler velocimetry terhadap arteri umbilikal
direkomendasikan

b. Perawatan ekspektatif pada preeklampsia berat:


1) Manajemen ekspektatif direkomendasikan pada kasus preeklampsia berat
dengan usia kehamilan kurang dari 34 minggu dengan syarat kondisi ibu
dan janin yang stabil
2) Manajemen ekspektatif pada preeklampsia berat juga direkomendasikan
untuk melakukan perawatan di fasilitas kesehatan yang adekuat dengan
tersedianya perawatan intensif bagi maternal dan neonatal
3) Bagi wanita yang melakukan perawatan ekspektatif preekklamsia berat,
pemberian kortikosteroid direkomendasikan untuk membantu pematangan
paru janin
4) Pasien dengan preeklampsia berat direkomendasikan untuk melakukan
rawat inap selama melakukan perawatan ekspektatif
Pemberian terapi medikamentosa dalam hal ini meliputi perawatan di
Rumah Sakit, pemberian terapi intravena, dan pemberian anti kejang MgSO4
sebagai pencegahan dan terapi kejang. Pada pasien juga diberikan MgSO4.
Pemberian MgSO4 sebagai antikejang karena MgSO4 mampu menurunkan kadar
asetilkolin dan menghambat transmisi neuromuscular dengan menjadi kompetitif
inhibitor ion kalsium.
Menurut Wibowo dkk (2016) merekomendasi pemberian magnesium sulfat
pada preeklampsia berat:
1) Magnesium sulfat direkomendasikan sebagai terapi lini pertama eklampsia

9
2) Magnesium sulfat direkomendasikan sebagai profilaksis terhadap eklampsia
pada pasien preeklampsia berat
3) Magnesium sulfat merupakan pilihan utama pada pasien preeklampsia berat
dibandingkan diazepam atau fenitoin, untuk mencegah terjadi
kejang/eklampsia atau kejang berulang
4) Magnesium sulfat merupakan pilihan utama pada pasien preeklampsia berat
dibandingkan diazepam atau fenitoin, untuk mencegah terjadi
kejang/eklampsia atau kejang berulang
5) Dosis penuh baik intravena maupun intramuskuler magnesium sulfat
direkomendasikan sebagai prevensi dan terapi eklampsia
6) Evaluasi kadar magnesium serum secara rutin tidak direkomendasikan
7) Pemberian magnesium sulfat tidak direkomendasikan untuk diberikan
secara rutin ke seluruh pasien preeklampsia, jika tidak didapatkan gejala
pemberatan (preeklampsia tanpa gejala berat)
c. Pemberian antihipertensi
Pada pasien ini tekanan darah saat datang adalah 160/110, pemberian
antihipertensi pada preeklampsia, rekomendasi:
1) Antihipertensi direkomendasikan pada preeklampsia dengan hipertensi
berat, atau tekanan darah sistolik 160 mmHg atau diastolik 110 mmHg
2) Target penurunan tekanan darah adalah sistolik < 160 mmHg dan diastolik <
110 mmHg
3) Pemberian antihipertensi pilihan pertama adalah nifedipin oral short acting,
hidralazine dan labetalol parenteral
4) Alternatif pemberian antihipertensi yang lain adalah nitogliserin, metildopa,
labetaloll.
Pada hipertensi kronis kehamilan, metildopa merupakan antihipertensi lini
pertama dengan dosis awal 3x 500 mg dosis maksimal 3 gram/ 24 jam. Lini
selanjutnya adalah antihipertensi dari golongan Calsium Canal Blocker seperti
nifedipin dengan dosis bervariasi antara 30- 90 mg/ hari.

10
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA

4.1 Definisi dan Klasifikasi Preeklampsia Berat


Preeklampsia merupakan sindrom spesifik-kehamilan berupa berkurangnya
perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel, yang ditandai dengan
hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan disertai dengan proteinuria
(Cunningham, et al, 2007). Hipertensi ialah tekanan darah 140/90 mmHg. Dengan
catatan, pengukuran darah sekurang-kurangnya dilakukan 2 kali selang 4 jam.
Sedangkan proteinuria adalah adanya 300 mg protein dalam urin 24 jam atau sama
dengan 1+ dipstick (Angsar, 2008).
Preeklampsia termasuk dalam kelompok penyakit hipertensi dalam
kehamilan, yakni hipertensi yang ditemukan pada masa kehamilan. Preeklampsia
dapat berkembang dari preeklampsia yang ringan sampai preeklampsia yang berat
(George, 2007).
Preeklampsia berat ialah preeklampsia dengan tekanan darah sistolik 160
mmHg dan tekanan darah diastolik 110 mmHg disertai proteinuria 5 g/ 24 jam
atau kualitatif 4+. Sedangkan pasien yang sebelumnya mengalami preeclampsia
kemudian disertai kejang dinamakan eklampsia (Angsar, 2008). Penggolongan
preeclampsia menjadi preeclampsia ringan dan preeclampsia berat dapat
menyesatkan karena preeclampsia ringan dalam waktu yang relative singkat dapat
berkembang menjadi preeclampsia berat (Cunningham, et al, 2007).
Preeklampsia berat dibagi menjadi:
a) Preeklampsia berat tanpa impending eclampsia
b) Preeklampsia berat dengan impending eclampsia.
Disebut impending eclampsia bila preeklampsia berat disertai gejala-gejala subjektif
berupa :
Muntah-muntah
Sakit kepala yang keras karena vasospasm atau oedema otak
Nyeri epigastrium karena regangan selaput hati oleh haemorrhagia atau oedema,
atau sakit karena perubahan pada lambung

11
Gangguan penglihatan: penglihatan menjadi kabur sampai terkadang buta.
Hal ini disebabkan karena vasospasm, oedema atau ablation retinae. Perubahan
perubahan ini dapat dilihat dengan ophtalmoskop (Angsar, 2008).

4.2 Faktor Resiko Preeklampsia Berat


Terdapat banyak faktor resiko untuk terjadinya hipertensi dalam kehamilan,
termasuk preeclampsia berat, yaitu:
Primigravida, primipaternitas
Hiperplasentosis, misalnya: mola hidatidosa, kehamilan multiple, diabetes
mellitus, hidrops fetalis, bayi besar.
Umur yang ekstrim.
Riwayat keluarga pernah preeclampsia/ eklampsia.
Penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil (Angsar,
2008)
Resiko preeclampsia meningkat dari 4.3 % pada ibu hamil dengan BMI kurang
dari 19,8 kg/m2 hingga 13,3% pada ibu hamil dengan BMI lebih dari 35 kg/m2
Faktor lingkungan juga memiliki kontribusi. Sebuah penelitian melaporkan
bahwa ibu hamil yang tinggal di dataran tinggi Colorado memiliki insiden
preeclampsia yang tinggi.
Walaupun merokok selama hamil berkaitan dengan dampak negative pada kehamilan
secara umum, namun merokok berkaitan dengan menurunnya resiko hipertensi
kehamilan. Plasenta previa telah dilaporkan menurunkan resiko hipertensi dalam
kehamilan (Cunningham, et al, 2007).

4.3 Etiologi Preeklampsia Berat


Setiap teori mengenai etiologi dan patofisiologi preeclampsia harus dapat
menjelaskan alasan mengapa hipertensi pada kehamilan cenderung terjadi pada:
Wanita yang terpapar dengan villi korionik untuk pertama kali
Wanita yang terpapar oleh vili korionik dalam jumlah besar, seperti pada
kehamilan kembar atau kehamilan mola.
Wanita dengan predisposisi penyakit vaskuler sebelumnya.

12
Wanita dengan predisposisi genetic ada yang pernah menderita hipertensi selama
kehamilan.
Vili korionik yang dapat mencetuskan preeclampsia tidak harus berada di
dalam rahim. Sedangkan ada atau tidaknya janin bukanlah suatu syarat untuk
terjadinya preeklampsia. Namun demikian, terlepas dari etiologinya, kaskade
peristiwa yang mengarah ke sindrom preeklampsia ditandai dengan sejumlah
kelainan yang mengakibatkan kerusakan endotel vaskular dengan vasospasme,
transudasi plasma, dan sequelae iskemik dan trombotik. Menurut Sibai (2003),
penyebab potensial saat ini masuk akal adalah sebagai berikut:
1. Invasi trofoblas abnormal pada pembuluh darah rahim.
2. Intoleransi imunologi antara jaringan ibu dan fetoplacental.
3. Maladaptasi ibu terhadap perubahan kardiovaskular atau perubahan respon
inflamasi dari kehamilan normal.
4. Faktor defisiensi nutrisi.
5. Faktor genetic (Cunningham, et al, 2007).

4.4 Patogenesis Preeklampsia Berat


4.4.1 Vasospasme
Konsep vasospasme diajukan oleh Volhard (1918) berdasarkan
pengamatan langsung tentang pembuluh darah kecil di kuku, mata, dan
conjunctivae bulbar. Ia juga menduga dari perubahan histologis terlihat dalam
berbagai organ yang terkena.
Penyempitan pembuluh darah menyebabkan peningkatan resistensi dan
hipertensi berikutnya. Pada saat yang sama, kerusakan sel endotel
menyebabkan kebocoran yang interstisial melalui darah konstituen, termasuk
platelet dan fibrinogen, yang disimpan pada subendothelial.
Wang dan kolega (2002) juga menunjukkan gangguan protein endothel
junctional. Suzuki dan rekannya (2003) menjelaskan perubahan resistensi
ultrastruktural di wilayah subendothelial arteri pada wanita preeklampsia.
Dengan aliran darah yang berkurang karena maldistribusi, iskemia jaringan

13
sekitarnya akan menyebabkan nekrosis, perdarahan, dan lain organ akhir
gangguan karakteristik sindrom tersebut (Cunningham, et al, 2007).

4.4.2 Aktivasi sel endotel


Selama dua dekade terakhir, aktivasi sel endotel menjadi bintang dalam
pemahaman kontemporer dari patogenesis preeklampsia. Dalam skema ini,
faktor yang tidak diketahui - kemungkinan berasal dalam plasenta - juga
dikeluarkan ke sirkulasi ibu dan memprovokasi aktivasi dan disfungsi vaskular
endotelium. Sindrom klinis preeklampsia diperkirakan merupakan hasil dari
perubahan sel endotel yang luas.
Selain mikropartikel, Grundmann dan rekan (2008) telah melaporkan
bahwa sirkulasi sel endotel, secara signifikan meningkat empat kali lipat dalam
darah perifer wanita preeklampsia.
Endotelium utuh memiliki sifat antikoagulan, dan sel endotel
menumpulkan respon otot polos vaskular untuk agonis dengan melepaskan
oksida nitrat. Sel endotel yang rusak atau teraktivasi dapat memproduksi oksida
nitrat dan mengeluarkan zat yang mempromosikan koagulasi dan meningkatkan
kepekaan terhadap vasopressors (Cunningham, et al, 2007).
Pada waktu terjadi kerusakan sel endotel yang mengakibatkan disfungsi
sel endotel akan terjadi:
Gangguan metabolism prostaglandin (vasodilator kuat)
Agregasi sel trombosit untuk menutup endotel yang mengalami kerusakan.
Agregasi trombosit ini memproduksi tromboksan (TXA2), suatu
vasokonstriktor kuat. Dalam keadaan normal, kadar prostasklin lebih
tinggi daripada kadar tromboksan. Pada preeclampsia, terjadi sebaliknya
sehingga berakibat naiknya tekanan darah.
Peningkatan endotelin (vasopresor), penurunan oksida nitrit (vasodilator).
Peningkatan faktor koagulasi.
Bukti lebih lanjut dari aktivasi endotel termasuk perubahan karakteristik
morfologi endotel kapiler glomerulus, permeabilitas kapiler meningkat, dan
meningkatnya konsentrasi mediator yang berperan untuk menimbulkan aktivasi

14
endotel. Penelitian menunjukkan bahwa serum dari wanita dengan
preeklampsia merangsang sel endotel yang dikultur untuk memproduksi
prostasiklin dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan serum wanita hamil
normal (Cunningham, et al, 2007).

1.5 Diagnosis dan Diagnosis Banding Preeklampsia Berat


Digolongkan preeclampsia berat bila ditemukan satu atau lebih gejala
sebagai berikut:
Tekanan darah sistolik 160 mmHg dan tekanan darah diastolic 110 mmHg.
Tekanan darah tidak turun meskipun ibu hamil sudah dirawat di rumah sakit dan
sudah menjalani tirah baring.
Proteinuria lebih 5 g/24 jam atau 4+ dalam pemeriksaan kualitatif.
Oliguria, yaitu produksi urin <500 cc/24 jam.
Peningkatan kreatinin plasma (>1.2 mg/dL).
Gangguan visus dan serebral: penurunan kesadaran, nyeri kepala, skotoma, dan
pandangan kabur.
Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen (akibat
teregangnya kapsula Glisson oleh karena nekrosis hepatoseluler, iskemia, dan
edema).
Gangguan fungsi hepar (peningkatan kadar AST dan ALT)
Edema paru-paru dan sianosis.
Hemolisis mikroangiopati (ditandai dengan peningkatan LDH)
Trombositopenia (<100.000/mm3)
Pertumbuhan janin intra uterin yang terlambat.
Sindrom HELLP.

4.6 Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan preeklampsia adalah sebagai berikut :
1) Melindungi ibu dari efek peningkatan tekanan darah
2) Mencegah progresifitas penyakit menjadi eklampsia
3) Mengatasi dan menurunkan komplikasi pada janin

15
4) Terminasi kehamilan dengan cara yang paling aman
Perawatan preeklampsia berat dibagi menjadi dua unsur:
Pertama adalah rencana terapi pada penyulitnya: yaitu terapi medikamentosa
dengan pemberian obat-obatan untuk penyulitnya
Kedua baru menentukan rencana sikap terhadap kehamilannya: yang tergantung
pada umur kehamilannya dibagi 2, yaitu:
Ekspektatif; Konservatif : bila umur kehamilan < 37 minggu, artinya:
kehamilan dipertahankan selama mungkin sambil memberi terapi
medikamentosa
Aktif, agresif: bila umur kehamilan > 37 minggu, artinya kehamilan diakhiri
setelah mendapat terapi medikamentosa untuk stabilisasi.

4.6.1 Penanganan di Puskesmas


Mengingat terbatasnya fasilitas yang tersedia di Puskesmas, secara
prinsip pasien dengan PEB dan eklampsia harus dirujuk ke tempat pelayanan
kesehatan dengan fasilitas yang lebih lengkap. Persiapan yang perlu dilakukan
dalam merujuk pasien PEB atau eklampsia adalah sebagai berikut :
1. Pada pasien PEB/Eklampsia sebelum berangkat, pasang infus RD 5,
berikan SM 20 % 4 g iv pelan-pelan selama 5 menit, bila timbul kejang
ulangan berikan SM 20 % 2 g iv pelan-pelan. Bila tidak tersedia berikan
injeksi diazepam 10 mg iv secara pelan-pelan selama 2 menit, bila timbul
kejang ulangan ulangi dosis yang sama.
2. Untuk pasien dengan eklampsia diberikan dosis rumatan setelah initial
dose di atas dengan cara : injeksi SM 40 % masing-masing 5 g im pada
glutea kiri dan kanan bergantian, atau drip diazepam 40 mg dalam 500 c
RD 5 28 tetes per menit.
3. Pasang Oksigen dengan kanul nasal atau sungkup.
4. Menyiapkan surat rujukan berisi riwayat penyakit dan obat-obat yang
sudah diberikan.
5. Menyiapkan partus kit dan sudip lidah.

16
6. Menyiapkan obat-obatan : injeksi SM 20 %, injeksi diazepam, cairan
infuse, dan tabung oksigen.
7. Antasid untuk menetralisir asam lambung sehingga bila mendadak kejang
dapat mencegah terjadinya aspirasi isi lambung yang sangat asam.

4.6.2 Penanganan di rumah sakit


Dasar pengelolaan PEB terbagi menjadi dua. Pertama adalah
pengelolaan terhadap penyulit yang terjadi, kedua adalah sikap terhadap
kehamilannya.
Penanganan penyulit pada PEB meliputi (Prasetyorini, 2009):
a. Pencegahan Kejang
Tirah baring, tidur miring kiri
Infus RL atau RD5
Pemberian anti kejang MgSO4 yang terbagi menjadi dua tahap, yaitu
:
- Loading / initial dose : dosis awal
- Maintenance dose : dosis rumatan
Pasang Foley catheter untuk monitor produksi urin
Tabel 1. Tatacara Pemberian SM pada PEB
Loading dose Maintenance dose
SM 20 % 4 g iv pelan-pelan - SM 40 % 10 g im, terbagi pada
selama 5 menit glutea kiri dan kanan
- SM 40 % 5 g per 500 cc RD5 30
tts/m
1. SM rumatan diberikan sampai
24 jam pada perawatan
konservatif dan 24 jam setelah
persalinan pada perawatan aktif
Syarat pemberian SM :
- Reflex patella harus positif
- Respiration rate > 16 /m

17
- Produksi urine dalam 4 jam 100cc
- Tersedia calcium glukonas 10 %
Antidotum :
Bila timbul gejala intoksikasi SM dapat diberikan injeksi Calcium
gluconas 10 %, iv pelan-pelan dalam waktu 3 menit
Bila refrakter terhadap SM dapat diberikan preparat berikut :
1. Sodium thiopental 100 mg iv
2. Diazepam 10 mg iv
3. Sodium amobarbital 250 mg iv
4. Phenytoin dengan dosis :
- Dosis awal 100 mg iv
- 16,7 mg/menit/1 jam
500 g oral setelah 10 jam dosis awal diberikan selama 14 jam
b. Antihipertensi
Hanya diberikan bila tensi 180/110 mmHg atau MAP 126
Bisa diberikan nifedipin 10 20 mg peroral, diulang setelah 30 menit,
maksimum 120 mg dalam 24 jam
Penurunan darah dilakukan secara bertahap :
- Penurunan awal 25 % dari tekanan sistolik
- Target selanjutnya adalah menurunkan tekanan darah < 160/105
mmHg atau MAP < 125
c. Diuretikum
Tidak diberikan secara rutin karena menimbulkan efek :
Memperberat penurunan perfusi plasenta
Memperberat hipovolemia
Meningkatkan hemokonsentrasi
Indikasi pemberian diuretikum :
1. Edema paru
2. Payah jantung kongestif
3. Edema anasarka

18
Berdasarkan sikap terhadap kehamilan, perawatan pada pasien PEB
dibedakan menjadi perawatan konservatif dan perawatan aktif.
a. Perawatan konservatif
1. Tujuan :
Mempertahankan kehamilan hingga tercapai usia kehamilan yang
memnuhi syarat janin dapat hidup di luar rahim
Meningkatkan kesejahteraan bayi baru lahir tanpa mempengaruhi
keselamatan ibu
2. Indikasi :
Kehamilan < 37 minggu tanpa disertai tanda dan gejala impending
eklampsia
3. Pemberian anti kejang :
Seperti Tabel 1 di atas, tapi hanya diberikan maintainance dose (
loading dose tidak diberikan )
4. Antihipertensi
Diberikan sesuai protokol untuk PER.
5. Induksi Maturasi Paru
Diberikan injeksi glukokortikoid, dapat diberikan preparat
deksametason 2 x 16 mg iv/24 jam selama 48 jam atau betametason
24 mg im/24 jam sekali pemberian.
6. Cara perawatan :
Pengawasan tiap hari terhadap gejala impending eklampsia
Menimbang berat badan tiap hari
Mengukur protein urin pada saat MRS dan tiap 2 hari sesudahnya
Mengukur tekanan darah tiap 4 jam kecuali waktu tidur
Pemeriksaan Lab : DL, LFT, RFT, lactic acid dehydrogenase,
Albumin serum dan faktor koagulasi
Bila pasien telah terbebas dari kriteria PEB dan telah masuk
kriteria PER, pasien tetap dirawat selama 2 3 hari baru
diperbolehkan rawat jalan. Kunjungan rawat jalan dilakukan 1
minggu sekali setelah KRS.

19
7. Terminasi kehamilan
Bila pasien tidak inpartu, kehamilan dipertahankan sampai aterm
Bila penderita inpartu, persalinan dilakukan sesuai dengan
indikasi obstetrik
b. Perawatan aktif
1. Tujuan : Terminasi kehamilan
2. Indikasi :
(i). Indikasi Ibu :
Kegagalan terapi medikamentosa :
- Setelah 6 jam dimulainya terapi medikamaentosa terjadi
kenaikan tekanan darah persisten
- Setelah 34 jam dimulainya terapi medikamentosa terjadi
kenaikan tekanan darah yang progresif
Didapatkan tanda dan gejala impending preeclampsia
Didapatkan gangguan fungsi hepar
Didapatkan gangguan fungsi ginjal
Terjadi solusio plasenta
Timbul onset persalinan atau ketuban pecah
(ii). Indikasi Janin
Usia kehamilan 37 minggu
PJT berdasarkan pemeriksaan USG serial
NST patologis dan Skor Biofisikal Profil < 8
Terjadi oligohidramnion
(iii). Indikasi Laboratorium
Timbulnya HELLP syndrome
3. Pemberian antikejang : Seperti protokol yang tercantum pada tabel 1.
4. Terminasi kehamilan :
Bila tidak ada indikasi obstetrik untuk persalinan perabdominam,
mode of delivery pilihan adalah pervaginam dengan ketentuan sebagai
berikut :
(i) Pasien belum inpartu

20
Dilakukan induksi persalinan bila skor pelvik 8. Bila skor
pelvik < 8 bisa dilakukan ripening dengan menggunakan
misoprostol 25 g intravaginal tiap 6 jam. Induksi persalinan
harus sudah mencapai kala II sejak dimulainya induksi, bila
tidak maka dianggap induksi persalinan gagal dan terminasi
kehamilan dilakukan dengan operasi sesar.
Indikasi operasi sesar :
- Indikasi obstetrik untuk operasi sesar
- Induksi persalinan gagal
- Terjadi maternal distress
- Terjadi fetal compromised
- Usia kehamilan < 33 minggu
(ii) Pasien sudah inpartu
Perjalanan persalinan dilakukan dengan mengikuti partograf
Kala II diperingan
Bila terjadi maternal distress maupun fetal compromised,
persalinan dilakukan dengan operasi sesar
Pada primigravida direkomendasikan terminasi dengan operasi
sesar

4.7 Komplikasi Preeklampsia Berat


4.7.1 Penyulit Ibu
a. SSP : Perdarahan Intrakranial
Thrombosis vena sentral
Hipertensi ensephalopati
Edema cerebri
Edema retina
Macular atau retinal detachment
Kebutaan cortex
b. Gastrointestinal-hepatik:
Subcapsular hematoma hepar

21
Ruptur kapsul hepar
Ascites
c. Ginjal : Gagal ginjal akut
Nekrosis Tubular Akuta
d. Hematologik:
DIC
Trombositopenia
e. Kardiopulmonal:
Edema paru
Arrest napas
Cardiac arrest
Iskemia miokardium
(Angsar, 2008)

4.7.2 Penyulit Janin


a. PJT
b. Solusio plasenta
c. IUFD
d. Kematian neonatal
e. Prematuritas
f. Cerebral palsy (Prasetyorini, 2009)

22
DAFTAR PUSTAKA

Angsar, 2008. Hipertensi dalam Kehamilan dalam Buku Ilmu Kebidanan Edisi
keempat halaman 534-559, editor: Saifudin, Abdul Bari, Jakarta: PT Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Cunningham FG, Mac Donald PC, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hankins GD et
al. 2001, Hypertension Disorders in Pregnancy. Williams Obstetrics. 21th ed.
London: Prentice-Hall International, 2001: 567-618.

Dekker GA, Sibai BM, Etiology and Pathogenesis of Preeclampsia: Current


Concepts. Am J Obstet Gynecol 1998; 179: 1359-1375.

Handaya, 2001. Penanganan preeklampsia/eklampsia. Jakarta: Prosiding Seminar


Konsep Mutakhir Preeklampsia.

Isler CM, Rinehart BK, Terrone DA, Martin RW, Magann EF, Martin JN. Maternal
Mortality with HELPP (Hemolysis, Elevated Liver Enzymes, And Low
Platelets) Syndrome. Am J Obstet Gynecol 1999; 181: 924-928.

Prasetyorini, N, 2009. Penanganan Preeklampsia dan Eklampsia. Seminar POGI


Cabang Malang. Divisi Kedokteran Feto Maternal - FKUB/RSSA Malang

Roberts JM, Redman CWG. Preeclampsia: More Than Pregnancy-induced


Hypertension. Lancet 1993; 341: 1447-1454.

Roberts JM, Taylor RN, Musci TJ, Rodgers GM, Hubel CA, McLaughlin.
Preeclampsia: An Endothelial Cell Disorder. Am J Obstet Gynecol 1989; 161:
1200-1204.

Wang Y, Alexander JS. Placental Pathophysiology in Preclampsia. Pathophysiology


2000; 6: 261-270.

23
Wibowo. Noroyono, dkk. 2016. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran,
Diagnosis dan Tata Laksana Pre-Eklamsia. Perkumpulan Obstetri dan
Ginekologi Indonesia Himpunan Kedokteran Feto Maternal.

24

You might also like