You are on page 1of 7

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan sumber daya panas

bumi. Potensi panas bumi yang dimiliki Indonesia merupakan yang terbesar di

dunia, yaitu mencapai 29.215 MW atau sekitar 40% dari potensi panas bumi di

dunia yang tersebar di 285 titik (tabel 1.1). Kapasitas terpasang dari pembangkit

listrik tenaga panas bumi di Indonesia adalah 1196 MWe dan salah satunya berada

di Lahendong (Badan Geologi, 2011).

Tabel 1.1 Status potensi panas bumi Indonesia (Badan Geologi, 2011)

Lapangan panas bumi Lahendong memiliki sistem panas bumi dominasi

air, berada di lengan utara Sulawesi, 30 km di selatan Manado (gambar 1.1).

Lapangan ini terbagi menjadi 2 blok reservoar, yaitu Blok Lengkoan yang berada

di bagian selatan dan Blok Lahendong-Linau di bagian utara. Produksi listrik

lapangan ini dimulai pada Agustus 2001 dengan kapasitas terpasang 20 MWe dan
2

hingga saat ini kapasitas terpasang lapangan ini 60 MWe dengan 28 sumur

terpasang, baik sumur eksplorasi, produksi mapun injeksi (Azimudin, 1999 dalam

Azimudin, dkk., 2001; Koestono, dkk., 2010; Utami, dkk., 2004, Utami, dkk.,

2011).

Seiring dengan berjalannya waktu, kondisi reservoar panas bumi dapat

berubah sebagai respon dari eksploitasi. Perubahan ini dapat berupa perubahan

fisika, seperti tekanan, suhu, entalpi dan aliran panas, komposisi kimia panas bumi

maupun manifestasi permukaan, sehingga perlu dilakukan monitoring untuk dapat

mengetahui perubahan-perubahan kondisi reservoar tersebut (Wanjie, 2012).

Gambar 1.1 Peta lokasi lapangan panas bumi Lahendong (kotak merah)
3

Monitoring yang dilakukan di lapangan ini, yaitu berupa pengambilan

sampel kimia fluida, merupakan hal yang rutin dilakukan. Belum ditemukan

adanya permasalahan yang cukup berarti yang mengganggu produksi dari

lapangan panas bumi ini. Namun dari sampel-sampel tersebut ditemukan suatu

permasalahan yang dapat timbul dikemudian hari dari pemanfaatan energi panas

bumi ini, yaitu penurunan suhu di reservoar. Data kimia fluida menunjukkan

bahwa konsentrasi klorida dalam fluida reservoar berkurang yang

mengindikasikian adanya pencampuran atau pengenceran dengan fluida yang

miskin akan klorida. Fluida yang mencampur fluida reservoar merupakan fluida

yang dingin, sehingga lebih lanjut suhu di reservoar dapat mendingin. Padahal

suhu merupakan salah satu aspek atau karakteristik yang penting dalam

pemanfaatan energi panas bumi karena semakin tinggi suhu reservoar maka akan

semakin tinggi pula energi yang akan didapatkan.

I.2 Maksud dan Tujuan

Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan

karakteristik fluida reservoar panas bumi pada Lapangan Panas Bumi Lahendong

sebagai respon dari produksi melalui metode monitoring geokimia.

Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui penanda dari perubahan karakteristik kimia dan fisika fluida

reservoar.

2. Mengetahui mekanisme perubahan karakteristik fluida reservoar.


4

I.3 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian berada pada Lapangan Panas Bumi Lahendong,

Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. Pengumpulan dan pengolahan data

dilakukan di Fungsi Geokimia Pertamina Geothermal Energy dengan melakukan

kerja praktek.

I.4 Batasan Masalah

Penelitian ini akan membahas mengenai penanda perubahan karakteristik

reservoar, khususnya karakteristik geokimia fluida yang dilakukan berdasarkan

data monitoring komposisi kimia fluida dan mengenai mekanisme perubahan

karakteristik fluida yang terjadi yang mengakibatkan adanya perubahan

karakteristik. Selain itu juga terdapat batasan masalah berupa keterbatasan data

yang dapat disediakan oleh pihak PT. Pertamina Geothermal Energy.

I.5 Peneliti Terdahulu

1. Prijanto, dkk. (1984) melakukan penelitian geokimia di daerah Minahasa,

kemudian membagi prospek panasbumi di Minahasa menjadi 2 sistem

berdasarkan komposisi rasio Cl/B, yaitu Lokon-Mahawu di bagian utara

dengan rasio Cl/B berkisar 188 dan Lahendong-Tompaso di bagian tengah-

selatan dengan rasio Cl/B berkisar 13. Dari data isotop, air panas dari

lapangan prospek Minahasa berasal dari air meteorik. Kandungan gas

tertinggi terdapat di Lahendong, namun dari data sumur BNR-1

kandungan gasnya sangat rendah jika dibandingkan dengan fumarol.


5

o
Temperatur minimum dari reservoar berkisar 200 C yang didapat dari

geothermometer.

2. Lecuyer, dkk. (1997) melakukan penelitian dari citra SPOT, peta topografi

dan analisis lapangan pada aktivitas tektonik di lengan utara Sulawesi.

Terdapat hubungan dekat antara vulkanisme dengan tektonik, terlebih

pada runtuhnya kaldera Tondano. Peristiwa ini dikontrol oleh sesar geser

sinistral yang masih aktif berarah ENE.

3. Azimudin (1999) menyatakan bahwa berdasarkan metode dating K/Ar,

sumber panas reservoar di Lahendong berumur sekitar 0,458 0,042 juta

tahun di sekitar Gunung Lengkoan. Sedangkan dari data sebaran litologi

secara vertikal dan gradien temperatur masing-masing sumur, diketahui

bahwa reservoar terdiri dari 2 lapisan yaitu reservoar dangkal (+570 -

+250 masl) dan reservoar dalam (-150 (-1150) masl). Pembagian blok ini

didasarkan dari pola struktur geologi, karakter produksi dan kimia

fluidanya. Lapangan panas bumi ini terbagi menjadi 2 blok, yaitu Blok

Lengkoan yang berada di sebelah selatan dan Blok Lahendong-Linau di

sebelah utara. Blok Lengkoan dibatasi oleh rim NW-SE di sebelah timur,

rim NE-SW di sebelah utara dan rim Pangolombian di sebelah selatan.

Sedangkan Blok Lahendong-Linau dibatasi oleh sesar melingkar yang

terjadi saat terbentuknya Danau Linau.

4. Siahaan, dkk. (2005) mengutarakan bahwa lengan utara Sulawesi terdiri

dari bagian Minahasa, Gorontalo dan Leher dimana bagian Minahasa

dikenali dari busur vulkanik aktif dan bagian yang lain dari granit dan
6

batuan metamorf. Evolusi magmatik Minahasa berasal dari tholeitic

hingga kalk-alkali yang merupakan tipikal lingkungan tektonik orogenik.

Batuan dasar di lapangan ini tersusun dari perulangan sedimen karbonat

dan endapan batuan vulkanik yang terendapkan dari Miosen Tengah

hingga Pliosen. Pada Plio-Pleistosen area ini mengalami pensesaran dan

terjadi regresi yang diikuti dengan pembentukan Tondano. Saat Pliosen,

Kaldera Pangolombian terbentuk yang dikontrol oleh sesar geser yang

berarah NE-SW.

5. Koestono (2010) melakukan penelitian alterasi hidrotermal pada sumur

BNR-23 dan BNR-28. Pada BNR-23 ditemukan 4 zona alterasi, yaitu

smektit, smektit-klorit, klorit-ilit dan klorit-ilit-epidot. Sedangkan pada

BNR-28 terbagi menjadi 5 zona alterasi, yaitu smektit, smektit-klorit,

klorit-ilit, klorit-ilit-epidot dan epidot-aktinolit. Dua zona alterasi yang

bersifat asam juga ditemukan di lapangan ini, yaitu zona kaolinit dan

pirofilit-ilit.

6. Utami (2011) melakukan penelitian tentang sejarah hidrotermal dari

Lapangan Panas Bumi Lahendong. Meskipun Lahendong berada di zona

kolisi, namun sistem hidrologi dan hidrotermal yang dimiliki mirip dengan

konfigurasi tektonik yang lebih umum. Klorit sebagai mineral yang

pertama kali terbentuk mengindikasikan sistem hidrotermal di Lahendong

adalah dominan air. Hadirnya klorit yang berasosiasi dengan hematit dan

pirit menunjukkan pengaruh dari air yang lebih dingin dan mengandung

oksigen. Pada fase kedua, fluida hidrotermal kaya akan CO2 yang
7

diindikasikan dari kehadiran kalsit. Fase selanjutnya terjadi inklusi fluida

pada urat. Pada fase keempat dan kelima, tekstur yang didapat semakin

kompleks. Kemungkinan hal ini mencerminkan pola aliran fluida yang

lebih kompleks. Fluida yang bersirkulasi pada fase empat memiliki pH

o
mendekati netral dengan suhu 200-300 C yang diindikasikan dengan

kehadiran epidot, albit, wairakit dan prehnit. Kandungan CO 2 dalam fluida

rendah, sehingga tidak membentuk kalk-silikat. Pada semua sumur,

beberapa endapan mineral pada fase 5 mencerminkan kondisi saat ini.

Keberadaan dari kalk-silikat (wairakit, epidot, prehnit) sesuai dengan

temperatur sumur terukur dan komposisi deep fluid merupakan air klorida

dengan pH mendekati netral.

You might also like