You are on page 1of 9

Resusitasi Hemodinamik

Rangkuman

Rekomendasi untuk resusitasi pada pasien awal syok hemoragik, dengan perdarahan aktif
yang masih terjadi telah berkembang dalam beberapa tahun terakhir. Review ini mengupas
teori terbaru dari patofisiologi dari syok dan tatalaksana yang direkomendasikan, termasuk
kontrol kerusakan dalam operasi, tatalaksana pada hipotensi, pemberian antifibrinolitik,
pengananan awal terhadap sistem koagulasi dan kemungkinan peran dari agen anestesia.

Kata kunci, resusitasi, transfusi, trauma

Resusitasi hemodinamik menjelaskan mengenai proses pengembalian dan dan menjaga


perfusi jaringan yang normal terhadap pasien yang mengalami syok perdarahan yang tidak
terkontrol dengan titk berat kepada preservasi pembekuan yang efektif. Dengan konsep
mengkombinasikan penangan pertama, pembedahan trauma, dan anestesi pada operasi.
Sistem ini lebih berdasarkan kelompok daripada spesialitas dan telah berdasarkan bukti
yang ada. Resusitasi menngedepankan pentingnya membuat keputusan dalam setiap
ketidakpastian mengenai kondisi klinis pasien, sumber perdarahan, dan volume dan durasi
dari perdarahan. Review ini akan membahas mengenai patofisiolog dari syok perdarahan
dan akan mengikuti perkembangan teori mengenai perdarah dalam beberapa tahun terakhir.

Patofisiologi syok perdarahan

Gambar 1 menjelaskan mengenai efek fisiologis dari trauma yang parah, menggambarkan
bahwa trauma adalah penyakit yang bersifat sistemik dan lokal. Patofisologi bermula dari
kerusakan jaringan oleh karena energi yang berasal dari luar. Hal ini akan menyebabkan
baik nyeri maupun kerusakan. Kerusakan pada pembuluh darah dan jaringan parenkim
menyebabkan perdarahan dan menyebabkan penurunan cardiac output. Kompensasi
sistemik terjadi berupa peningkatan simpatis yang mengakibatkan terjadinya peningkatan
denyut jantung dan vasokontriksi dari jaringan yang tidak penting. Ketika perdarahan cukup
parah dan melebihi kompensasi sistemik maka hasilnya adalah hipoperfusi dan syok.
Sel yang mengalami hipoperfusi dan rusak akan bereaksi dengan mengeluarkan toksin dan
mediator. Metabolisme anaerobik menghasilkan produk metabolik seperti laktat dan asam
lain yang akan menyebabkan kerusakan yang lebih jauh baik dalam lingkup lokal maupun
sistemik. Ratusan senyawa dikeluarkan oleh sel iskemik, termasuk interleukin, faktor
nekrosis tumor, dan protein komplemen. Molekul bioaktif tersebut ini lalu akan menhasilkan
reaksi yang berlebihan terhadap tubuh. Sehingga membuat gejala lokal menjadi sitemik.

Faktor-faktor yang dikeluarkan oleh sel yang rusak maupun iskemik telah banyak diketahui.
Penelitian terakhir pada bidang ini telah mengungkapkan suatu kunci dari respon tubuh ini.
Trombin merangsang pelepasan protein C dari trombomodulin sehingga protein C bisa
mengikat inhibitor dari aktivator plasminogen-1, sehingga menghasilkan berupa fibrinolitik.
Penemuan efek ini dimulai dengan observasi klinis terhadap pasien dengan trauma yang
parah telah mengalami koagulopathy terlebih dahulu terjadi daripada hilangnya darah dalam
jumlah banyak dan dilusi dengan cairan resusitasi terjadi.

Pada banyak kasus, koagulopati telah menyebabkan peningkatan perdarahan serta progresi
dari iskemia, sehingga menjadikan kerusakan seluler yang semakin parah yang bisa
menyebabkan kematian. Pemkiran tradisional mengenai resusitasi mengedepankan
terhadap pemberian cairan segera, meskipun data klinis menunjukan bahwa pemebrian
cairan saat perdarahan berlangsung akan menyebabkan peningkatan perdarahan.
Peningkatan volume akan meningkatkan cardiac output yang nantinya akan menyebabkan
tekanan arterial meningkat. Hal ini menyebabkan terdorongnya cairan lebih banyak keluar
dari sirkulasi dan mencuci clot ekstra vaskuler. Selain itu cairan yang berasal dari luar tubuh
biasanya lebih dingin sehingga dapat menyebabkan terjadinya hipotermi. Beberapa
penelitian juga menunjukan bahwa kristaloid dapat memiliki efek pro inflamasi.

Kematian oleh karena syok perdarahan terjadi melalui dua proses. Kerusakan akut terjadi
pada awal trauma dan terjadi karena anatomis tubuh yang tidak bisa diperbaiki. Kematian
terjadi karena sistem kardiovaskuler tidak mampu menjaga cardiac output minimal.
Kematian subakut terjadi ketika tubuh mampu menjaga perfusi jaringan namun gangguan
kumulatif dari iskemia yang berakibat fatal. Cedera paru akut adalah hal yang sering terjadi
setelah trauma yang parah, cedera pulmonal, aspirasi, transfusi yang masif, iskemia dan
inflamasi sistemik. Kerusakan paru akan mampu menyebabkan gagal ginjal, disfungsi usus,
dan imunosupresi.

Tujuan dari Resusitasi Awal

Resusitasi awal didefinisikan sebagai penanganan medis yang diberikan sejak dari
terjadinya cedera hingga kontrol anatomis definif diberikan. Resusitasi awal memiliki ciri-ciri
ketdakpastian mengenai sumber perdarahan, jumlah darah yang keluar, dan durasinya.
Sedangkan tujuan dari resusitasi awal adalah mengembalikan delivery oksigen ke jaringan.
Ketika perdarahan aktif, terjadi perubahan tujuan dari pendekatan tradisional berupa bolus
cepat cairan dengan maksud untuk mejaga tekanan arterial menjadi menjaga dan
mendukung koagulasi selama menghasilkan kardiak ouput minimal untuk menjaga fungsi
organ penting.

Tabel 1 menunjukan komponen utama dalam resusitasi hemodinamik dan memperkirakan


tingkat bukti dalam mendukung masing-masing rekomendasi. Masing-masing dari
komponen tersebut dijelakan dibawah. Ketika perdarahan telah ditangani melalui
pembedahan, angiografi, maka tujuan dari resusitasi akan menjadi lebih sederhana. Tujuan
dari resusitasi akhir adalah untuk menjaga cardiac output, selama proses menstabilkan
tanda-tanda vital, hasil laboratorium, dan komposisi darah. Terapi cairan lebih lanjut setelah
seleseinya perdarahan harus ditunjang dengan menggunakan monitopr dan pengukuran,
meliputi penilaian invasif maupun non invasif dari cardiac output dan perfusi jaringan,
emeriksaan serial BGA dan serum laktat.

Mempercepat pembedahan kontrol kerusakan

Konsep dari kontrol lerusakan diadopsi dari US Navy, yang menjelaskan teori bahwa
response terhadap katasthrope harus diprioritaskan untuk menjaga kapal tetap di
permukaan. Dalam istilah medis, hal ini berarti bahwa resusitasi bertujuan untuk menjaga
pasien bertahan lebih lama untuk mendapatkan pengangan selanjutnya. Untuk penanganan
sebelum ruamh sakit, khususnya pada militer, telah terjadi peningkatan fokus terhadap
kontrol awal mengilngkan perdarah dengan penggunaan tourniquet. Pada kamar operasi,
teoori ini menjelaskan bahwa pembedahan awal terhadap pasien dengan hemodinamik
yang tidak stabil harus difokuskan terhadap kontrol anatomis perdarahan, dan perbaikan
tidak lebih penting sampai semuai resusitasi terpenuhi. Kontrol kerusakan ditujukan untuk
meminimalisasi waktu operasi, pemberian cairan, dan mejaga normotermi sehingga
mengurangi pembedahan sekunder dan inflamasi yang bisa terjadi akibat rekonstruksi
saluran pencernaan atau jaringan yang terlalu lama, manipulasi ortopedik, atau prosedur
lain yang kurang penting.

Peran dari kontrol yang cepat terhadap perdarahan yang sedang terjadi memilki peran yang
penting. Kontrol kerusakan terlah banyak dipelajari dan menunjukan suatu hal yang
bermanfaat. Sementara detailnya akan bervariasi untuk setiap pasien dan institusi yang
melakukan, keseluruhan teori telah diterima secara luas baik oleh militer maupun sipil. Untuk
anestesiologis, peran dari mempercepat operasi sangat penting. Waktu puasa sebelum
operasi tidak relevan karena resiko kegagalan organ lebih tinggi daripada terjadinya
aspirasi. Menunda operasi untuk mendapatkan hasil laboratorium maupun radiologi,
menunggu crossmatch darah merupakan hal-hal yang tidak diperbolehkan. Seharusnya hal-
hal tersebut dikerjakan secara bersama-sama dengan dilakukannya operasi.

Hipotensi Disengaja

Ketika perdarah aktif terjadi, pemberian cairan yang meningkatkan tekanan arterial akan
menningkatkan juga darah yang hilang. Pemberian cairan menyebabkan peningkatan
venous return ke jantung yang akan meningkatkan tekanan dinding miokard dan akhirnya
juga mengkatkan cardiac output. Peningkatan cardiac output akan mengurangi refleks
vasokonstriksi dari syok hemoragik, menyebabkan peningkatan aliran darah pada vaskuler
yang mengalami kerusakan. Peningkatan tekanan juga akan mencuci dan mebuang clot
ekstraluminal yang dapat membatasi perdarahan. Cairan resusitasi dapat juga
menyebabkan penurunan kekentalan darah dan akan mendilusi konsentrasi faktor
pembekuan, sel darah merah dan platelet pada lokasi perdarahan.

Perbedaan dari perdarahan terkontrol dan perdarahan yang tidak terkontrol pertama kali
diteliti dengan model binatang pada tahun 1990 an. Hasil dari beberapa beberpa resusitasi
pada babi, tikus, dan anjing, dan domba menunjukan bahwa perdarahan akan berkurang
ketika hipotensi. Pasien yang dapat bertahan meningkat dengan strategi resusitasi yang
membatasi jumalh dari cairan yang diberikan atau ditritasi lebih rendah dari MAP. Mencoba
untuk mencapai normotensi ketika perdarahan aktif meningktakan kematian secara
konsisten.

Dua penelitian yang menggunakan manusia sebagai objek mengenai hipotensi yang
disengaja telah dilakukan pada tahun 1990 an dan penelitian yang ketiga sedang berjalan
sekarang. Penelitian pertama pada 1994, 598 orang dengan hipotensi akibat trauma
torakoabdominal diteliti pada lokasi cedera dengan penggunaan terapi cairan konvensional
atau terapi cairan minimal selama fase pre hospital dan fase emergensi care. Pemberian
cairan minimal memberikan keuntungan yang signifika sebesar (70% vs 62% P =0.04).
penelitian kedua dengan menggunakan pemberian cairan dengan target tekanan darah
80/60 tidak memilki perbedaan mengenai survival rate pasien.

Mayoritas penelitian selama 20 tahun terakhir menunjukan bahwa tekanan arterial yuang
kurang dari normal harus dilakukan selama awal resusitasi. Keuntungannya meliputi
memeinimalisasi perdarahan, mencapai hemostasis lebih cepat, dan menjaga faktor
koagulasi alami yang lebih baik.

Kelemahannyua adalah penundaan dari reperfusi ke jaringan yang iskemia dan fase syok
menjadi lebih lama.

Pendukung koagulasi

Koagulopathy yang ireversibel adalah penemuan yang sering kali ditemukan pada pasien
trauma yang meninggal karena kehabisan darah setelah sampai ke pusat penanganan
trauma dalam keadaan hidup. Mengetahui lebih baik mengenai mekanisme yang terlibat,
seperti yang dijelaskan di atas, telah menyebabkan strategi resusitasi mempriorotaskan
mendukung koagulasi. Dalam prakteknya, hal ini menjelaskan transfusi plasma,platelet, dan
faktor konsentrasi yang lebih awal dan agresif. Para klinisi telah mengetahui bahwa hal
tersebut lebih berguna, terapi transfusi harus dimulai penjelasan terperinci mengenai cedera
pasien dan dan fisiologinya tersedia. Penanganan dimulai dari kontrol terhadap perdarahan
eksternal yang signifikan. Penekanan langsung pada cedera adalah pendekatan pertama
yang bisa dilakukan diikuti dengan pemasangan perban maupun pemasangan tourniquet.
Tekanan arterial dibolehkan untuk tetap rendah sampai tedapat bukti terdapatnya gangguan
perfusi yang parah terhadap organ-organ. Pemberian kristaloid atau koloid diminimalisasi
dengan tujuan sel darah merah dan plasma yang diberikan bisa dalam jumlah yang sama.
Agen antifibrinolitik seperti asam traneksamat diberikan secepat mungkin jika perdarahan
yang fatal terjadi.

Logistik yang cukup adalah kunci dari proses mendukung koagulasi. Kebutuhan untuk
mepercepat pemebrian sel darah merah dan plasma telah menyebabkan perkembangan
dari protokol transfusi masif pada hampir semua sentral trauma. Donor universal plasma
lebih sulit disediakan karena jarangnya golongan darah AB. Perbandinagn dari sel darah
merah dan plasma yang diberikan masih kontroversial. Fresh whole blood, ciran resusitasi
yang ideal memliki perbandingan 1:1. Komponen terapi yang didesain untuk melipatkan ini
hanya mampu mencapai level sel darah merah yang tidak terlalu banyak dan juga faktor
pembekuan dan platelet.

Bukti klinis untuk mendukung teori masih tercampur . Studi retrospektif menunjukkan
hubungan yang kuat antara kelangsungan hidup dan peningkatan administrasi plasma, studi
ini cacat oleh sifat pasien yang heterogen dan persediaan logistik transfusi yang nyata.
Pasien yang mengalami luka parah lebih cepat berdarah, dan lebih mungkin mati setelah
menerima RBC namun plasma bisa mencapai jaringan. Sebuah tinjauan baru-baru ini lebih
dari 20 studi tentang plasma: RBC ratio dalam praktek klinis membuat fenomena ini jelas
penelitian yang berusaha mengendalikan kelangsungan hidup .Bias menunjukkan hasil yang
beragam, dengan beberapa menunjukkan ringan manfaat untuk meningkatkan rasio plasma
dan yang lainnya menunjukkan tanpa efek.

Kritik yang berdasarkan perbandingan algoritma resusitasi mencatat bahwa berbeda pasien,
dengan cedera yang berbeda, secara logis harus ditangani dengan cara yang berbeda juga.
Ketidakpercayaan terhadap pendekatan empiris telah meningkatan kepentingan untuk
meningkatkan kecepatan dan spesifitas dari teknologi untuk pendiagnosaan awal.

Mendukung proses koagulasi pada walnya meliputi pemberian senyawa antifibrinolitik,


biasanya asam traneksamat, dengan tujuan untuk menjaga stabilitas clot selama resusitasi.
Penelitian yang lebih luas dengan menggunakan 20000 pasien trauma di seluruh dunia
yang menerima baik placebo maupun asam traneksamat selama waktu pemberian dan
menunjukan angka survival yang signifikan dengan terapi ini. Namun tidak terdapat
perbedaan pada persyaratan transfusi diantara kedua kelompok, menunjukan bahwa asam
traneksamat mungkin bisa berefek dalam penambahan antifibrinolitik. Semakin cepat obat
diberikan semakin positif efek yang diberikan.

Mengembalikan perfusi jaringan

Satu komponen dari resusitasi modern telah dikatakan menjadi bermanfaat. Hal ini adalah
pemebrian agen anestesia lebih awal dan lebih agresif untuk mengurangi efek simpatis dan
vasokonstriksi vaskuler. Setiap pasien sebaiknya dilakukan anestesi ketika menjalani
pemeriksaan di departemen emergensi dan pembedahan untuk mengontrol kerusakan.
Pendekatan ini memiliki manfaat secara emotional dan psikologis. Sayangnya apapun obat
yang menurunkan kesadaran juga akan menurunkan saraf simpatis sehingga cardiac output
juga akan berkurang. Kebanyakan agen anestesi seperti propofol, midazolam, dan gas
volatil adalah vasodilator langsung dan inotropik negatif messkipun masih aman terhadap
pasien euvolemik namun dapat menyebabkan hipotensi yang mendadal dan bahkan bisa
terjadi henti jantung jika diberikan pada pasien dengan syok perdarahan.

Perhatian terhadap membuat situasi semakin buruk telah membatasi kedalaman dari
anestesi yang disediakan pada pasien dengan trauma yang tidak stabil. Belum terdapat
penelitian terkontrol yang menilai kedalaman anestesi dengan monitoring aktivitas otak
ketika perdarahan yang parah, namun akan menjadi hal yang tidak biasa untuk mengamati
pasien syok perdarahan di dalam kamar operasi yang mendapatkan agen amnestif dengan
dosis kecil, agen bloker neuromuskuler, dan juga analgesik atau sedatif. Selama hal ini
dapat membantu untuk menjaga mekanisme vasokontriktif yang alami sehingga tekanan
arterial yang lebih dengan pemberian cairan yang lebih sedikit. Ini juga kan membatasi
patofisiologi dari terjadinya syok, jaringan yang terkena dan iskemik dari sitem organ. Hal ini
memungkinkan bahwa hasil jangka panjang akan meningkat dengan pemberian agen
anestesi dan cairan yang dititrasi, yang bertujuan untuk menjaga aliran yang tinggi,
vasodilatasi tekanan rendah yang akan mengembalikan perfusi ke jaringan tanpa
meningkatkan tekanan arterial yang dapat meningkatkan perdarahan.

Arah penelitian masa kini dan masa depan

Daftar dibawah ini merangkum isu-isu yang kontroversial pada praktek resusitasi :
Definisi dari kedalaman yang dapat diterima dan durasi dari hipotensi yang
disengaja, perkembangan dari syok monitor yang dapat membantu resusitasi
Perbandingan antara plasma, platelet, dan sel darah merah untuk resusitasi empiris
dan penilaian terhadap resiko, manfaat, untuk terapi transfusi secara umum.
Peran ideal dari faktor terisolasi dan produk platelet
Perkembangan dari tujuan penanganan monitoring koagulasi, validasi dari
kemampun hal tersebut untuk meningkatakan hasil
Penelitian yang lebih lanjut dari fungsi endotelial ketika terjadi syok perdarahan dan
penyembuhannya
Penelitian tentang agen anestesi selama resusitasi dan efek dari kedalaman dari
anestesi terhadap kelangsungan hidup dan morbiditas

Kesimpulan
Resusitasi yang ideal untuk trauma perdarahan aktif telah berkembang secara cepat dalam
satu dekade terakhir dan akan terus berkembang. Penggantian volum, transfusi darah,
mediasi inflamasi, dan tatalaksana anestesia semua sangat penting terhadap hasil akhir dan
semuanya butuh untuk dilakukan penelitian klinis yang lebih lanjut. Data dari penanganan
trauma militer dan sipil menunjukan bahwa hasil akhir menjadi lebih baik, sebuah
kecenderungan yang akan terus berlanjut dengan penelitian yang lebih jauh.

You might also like