You are on page 1of 63

PRESENTASI KASUS

SEORANG ANAK LAKI LAKI BERUSIA 2 TAHUN 1 BULAN


DENGAN INFEKSI SALURAN KEMIH, FIMOSIS, DAN
STATUS GIZI BAIK, NORMOWEIGHT, NORMOHEIGHT

DISUSUN OLEH:
RIFQY SYAIFUL BAHRI G99152078 (I-11)
STEFANUS ERDANA PUTRA G99162037 (I-17)

PEMBIMBING :
dr. AGUSTINA WULANDARI, Sp.A., M.Kes.
dr. ARIFATUN NISA

KEPANITERAAN KLINIK/ PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI

0
2017
HALAMAN PENGESAHAN

Presentasi kasus ini disusun untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik


Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret / RSUD Dr.
Moewardi. Presentasi kasus dengan judul:

Seorang Anak Laki laki Berusia 2 Tahun 1 Bulan dengan Infeksi Saluran
Kemih, Fimosis, dan Status Gizi Baik, Normoweight, Normoheight

Hari, tanggal : , September 2017

Oleh:
Rifqy Syaiful Bahri G99152078 (I-11)
Stefanus Erdana Putra G99162037 (I-17)

Mengetahui dan menyetujui,


Pembimbing Presentasi Kasus

dr. Agustina Wulandari, Sp.A., M.Kes.


NIP. 19810827 201412 2 002

1
BAB I
STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. DRA
Tanggal lahir : 8 Juli 2015 (2 tahun 1 bulan)
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Ngangkruk RT 002/ RW 003, Winong, Boyolali
Berat Badan (BB) : 11,7 kg
Tinggi Badan (TB) : 86,5 cm
Tanggal masuk : 20 Agustus 2017
Tanggal Pemeriksaan : 21 Agustus 2017
No. CM : 175486xx

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Demam

2. Riwayat Penyakit Sekarang

I II III IV
Sabtu 19.00 Minggu 06.15 Senin Selasa Rabu

Pasien datang ke IGD RSUD Pandan Arang dibawa oleh kedua


orang tuanya dengan keluhan demam tinggi sejak 1 hari sebelum masuk
rumah sakit (SMRS). Demam dirasakan terus-menerus dan semakin
tinggi. Demam tidak turun walaupun sudah dikompres dengan air hangat
dan diberikan obat penurun panas (Paracetamol) yang tersedia di rumah.
Pasien mengeluhkan nyeri perut di bagian bawah yang hilang timbul dan
dirasakan terutama saat buang air kecil (BAK). Ibu pasien juga

2
mengeluhkan anaknya muntah sejak 1 hari SMRS. Pasien merasa mual
dan diikuti muntah sebanyak empat kali berupa sisa sisa makanan,
tidak ada lendir, dan tidak ada darah. Pasien tidak merasakan perut
kembung.
BAK pasien sangat sedikit dan berwarna kuning keruh. Tidak ada
riwayat BAK kemerahan. Pasien juga mengeluhkan nyeri pada penisnya
saat akan kencing. Pasien sering menahan kencing jika di rumah, bahkan
pernah mengompol. Pasien baru mulai berlatih BAK dan BAB sendiri
(tidak menggunakan diapers) sejak satu bulan yang lalu.
Pasien sudah berobat ke bidan desa pada hari Sabtu malam (1 hari
SMRS) sekitar pukul 21.00 dan sudah mendapat obat Domperidone
(Hufadon), Amoxicillin, dan Cimetidine (Gastricon), tetapi keluhan
pasien tidak membaik, sehingga orang tuanya membawa ke IGD.
Ibu pasien menyangkal anaknya sedang batuk dan pilek. Tidak
terdapat cairan yang keluar dari telinga. Pasien juga tidak mengeluhkan
nyeri pada tenggorokannya. Tidak ada riwayat trauma maupun pijat di
daerah perut pada pasien. Buang Air Besar (BAB) pasien seperti biasa
sekali pada pagi hari.
Saat di IGD pasien masih demam, lemas, merasa mual dan diikuti
muntah sekali sebanyak gelas belimbing berupa sisa makanan tanpa
lendir maupun darah, BAK terakhir hanya menetes warna kuning keruh
tanpa adanya lendir ataupun darah sekitar pukul 23.00 satu hari SMRS,
serta BAB terakhir berwarna kuning padat tanpa adanya lendir ataupun
darah sekitar pukul 06.30 satu hari SMRS.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat penyakit ginjal atau cuci darah : disangkal
Riwayat kejang : disangkal
Riwayat batuk pilek : disangkal
Riwayat demam berdarah : disangkal
Riwayat bepergian ke daerah endemik malaria : disangkal

3
Riwayat trauma dan pijat di daerah perut : disangkal
Riwayat mondok sebelumnya : disangkal
Riwayat alergi obat/makanan : disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat penyakit serupa : disangkal
Riwayat penyakit ginjal atau cuci darah : disangkal
Riwayat alergi obat/makanan : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat batuk lama : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : disangkal

5. Riwayat Lingkungan Sekitar


Berdasarkan alloanamnesis dengan ibu pasien, pasien tinggal
dengan kedua orang tua dan kakaknya. Anggota keluarga dan tetangga
pasien tidak ada yang mengeluhkan keluhan serupa dengan pasien.
Rumah pasien beratap genteng, alasnya berupa plester, dan kamar
mandinya sudah dilengkapi dengan jamban.

6. Riwayat Kehamilan dan Prenatal


Ibu pasien hamil dalam usia 25 tahun dan merupakan kehamilan
yang kedua. Ibu pasien mengaku tidak merasakan keluhan apapun saat
hamil. Antenatal care dilakukan secara rutin di bidan desa. Ibu pasien
mengaku mendapatkan suplemen tambah darah dari bidan. Ibu pasien
tidak mengonsumsi obat-obatan. Riwayat sakit berat atau trauma saat
kehamilan juga disangkal.

7. Riwayat Kelahiran

4
Pasien lahir spontan di RSUD Pandan Arang Boyolali saat usia
kehamilan 38 minggu, dengan berat lahir 3400 gram, panjang badan 49
cm, menangis spontan (+), kebiruan (-) dan geraknya aktif (+).
8. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan
a. Pertumbuhan
Berat badan lahir 3400 gram, panjang badan lahir 49 cm. Sejak kecil
anak selalu dibawa ke Posyandu dan tidak didapatkan penurunan
berat badan. Umur sekarang 2 tahun 1 bulan, berat badan 11,7 kg,
dan tinggi badan 86,5 cm.
b. Perkembangan
Pasien sudah bisa melompat, menyebutkan enam nama bagian
badan, memakai baju (kemeja) sendiri, serta menyusun menara dari
empat kubus.
Kesan : pertumbuhan dan perkembangan sesuai usia

9. Status Imunisasi
a. HB0, Polio 0 : 0 bulan
b. BCG : 1 bulan
c. DPT, HB, Hib 1, Polio 1 : 2 bulan
d. DPT, HB, Hib 2, Polio 2 : 4 bulan
e. DPT, HB, Hib 3, Polio 3 : 6 bulan
f. Campak : 9 bulan
Kesimpulan : Pasien mendapatkan imunisasi lengkap sesuai pedoman
Kementerian Kesehatan 2014.

10. Riwayat Nutrisi


ASI eksklusif diberikan sejak lahir sampai usia enam bulan,
diberikan setiap kali menangis. Pasien saat ini setiap hari mengonsumsi
makanan yang sama dengan anggota keluarga lainnya sebanyak tiga kali
sehari. Kadang kadang pasien juga mengonsumsi makanan ringan
yang dibuat oleh ibunya.

5
Kesan : kualitas dan kuantitas asupan gizi cukup.

11. Riwayat Sosial


Pasien merupakan anak kedua dari Tn. S (35 tahun) yang bekerja
sebagai buruh tani dan Ny. W (31 tahun) yang bekerja sebagai penjahit.
Ayah Ibu pasien merupakan suku Jawa. Ayah, Ibu, dan pasien beragama
Islam. Pasien memeriksakan diri ke RSUD Pandan Arang Boyolali
menggunakan layanan BPJS kelas III.

12. Pohon Keluarga


I

II

Tn. S Ny. W
(35 tahun) (31 tahun)

III

An. DRA
(2 tahun 1 bulan)

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum
Sikap / keadaan umum : tampak sakit sedang
Derajat kesadaran : kompos mentis
Derajat gizi : baik
2. Tanda vital
BB : 11,7 kg
TB : 86,5 cm

6
SiO2 : 99%
Nadi : 140 x/menit, reguler
Pernafasan : 24 x/menit, reguler
Suhu : 38,8 C (per axilla)
3. Perhitungan Status Gizi
a. Secara klinis
Gizi kesan baik
b. Secara Antropometris
i. BB : 11,7 kg, Umur : 2 tahun 1 bulan, TB : 86,5 cm
ii. BB/U : 11,7/12,4 x 100% = 94,35%
0 SD < Z score < 1 SD (normoweight)
iii. TB/U : 86,5/88 x 100% = 98,3 %
0 SD < Z score < 1 SD (normoheight)
iv. BB/TB : 11,7/12,1 x 100% = 96,69 %
0 SD < Z score < 1 SD (gizi baik)
Status gizi secara antropometri: gizi baik, normoweight,
normoheight
4. Kepala
Normosefal, lingkar kepala (LK): 49 cm (-2 SD < LK < 0 SD,
Nellhaus), UUB (ubun-ubun besar) sudah menutup.
5. Mata
Oedem palpebra (-/-), bulu mata rontok (-), konjunctiva pucat (-/-),
cekung (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor (+ 3 mm/ + 3mm), air mata
(+/+)
6. Hidung
Napas cuping hidung (-), sekret (-/-), darah (-/-)
7. Mulut
Bibir sianosis (-), mukosa basah (+), lidah kotor dan hiperemis (-)
8. Telinga
Sekret (-/-), tragus pain (-/-)
9. Tenggorok

7
Uvula di tengah, tonsil T1-T1, hiperemis (-), faring hiperemis (-)
10. Leher
Trakea di tengah dan kelenjar getah bening tidak membesar
11. Toraks
Bentuk : normochest, retraksi (-)
Pulmo : Inspeksi : pengembangan dinding dada kanan = kiri
Palpasi : fremitus raba sulit dievaluasi
Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : suara dasar: vesikuler (+/+), suara
tambahan: RBH (-/-), RBK (-/-), wheezing
(-/-)
Cor : Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas normal,
regular, bising (-)
12. Abdomen
Inspeksi : dinding perut sejajar dengan dinding dada
Auskultasi : bising usus (+) normal 11x/menit
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, hepar tidak teraba, lien tidak teraba, ascites (-),
pekak alih (-), undulasi (-), nyeri tekan suprapubik (+),
turgor kulit abdomen kembali cepat
13. Ekstremitas
Akral dingin - - edema - -
- - - -
ADP kuat
CRT < 2 detik
14. Urogenital
Nyeri saat berkemih, fimosis (+), edema (-), OUE kemerahan (-)

8
D. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan 20/8/17 Satuan Rujukan
HEMATOLOGI RUTIN
Hemoglobin 11.3 g/dl 11.1 14.1
Hematokrit 35.6 % 31 41
Leukosit 14.3 ribu/ul 4.5 14.5
Eritrosit 4.41 juta/ul 4.00 5.20
Trombosit 411 ribu/ul 150 450
Protein plasma - g/dl 68
LED 2 /mm 0 20
INDEX ERITROSIT
MCV 83 fL 80.0 - 100.0
MCH 28 Pg 27.0 - 32.0
MCHC 33 g/dl 32.0 - 36.0
RDW 14 % 11.6 - 14.6
HITUNG JENIS
Eosinofil 0.1 % 03
Basofil 0.4 % 01
Neutrofil 87.6 % 50 70
segmen
Limfosit 6.6 % 20 40
Monosit 5.3 % 28
KIMIA ELEKTROLIT
Natrium 135 mmol/L 135 148
Kalium 5.0 mmol/L 3.5 5.3
Klorida 104 mmol/L 98 107
Kesan : hiperneutrofilia segmen dan limfositopenia

Pemeriksaan 21/8/17 Satuan Rujukan


URIN LENGKAP

9
Warna kuning kuning
Kejernihan keruh jernih
Bau khas khas
KIMIA
Blood 3+ negatif
Bilirubin negatif negatif
Urobilinogen normal normal
Benda Keton 3+ negatif
Reduksi negatif negatif
Protein 1+ negatif
Nitrit 1+ negatif
Leukosit 2+ negatif
pH 6.5 4.6-8.5
Berat Jenis 1.015 1.003-1.030
SEDIMEN
Epitel 1(+) 1(+)/LPB
Leukosit 2(+) 1(+)/LPB
Eritrosit 1(+) 1(+)/LPB
Silinder negatif negatif/LPK
Kristal negatif negatif
Lain-lain negatif negatif
Kesan : urin kuning keruh, hematuria, ketonuria, proteinuria, nitrituria, dan
leukosituria

E. RESUME
Pasien datang ke IGD RSUD Pandan Arang dibawa oleh kedua orang
tuanya dengan keluhan demam tinggi sejak 1 hari SMRS. Demam dirasakan
terus-menerus dan semakin tinggi. Pasien sudah dikompres dan minum
Paracetamol namun demam tidak turun. Pasien mengeluhkan nyeri perut di
bagian bawah yang hilang timbul dan dirasakan terutama saat buang air kecil
(BAK). Pasien merasa mual dan diikuti muntah sebanyak empat kali berupa
sisa sisa makanan, tidak ada lendir, dan tidak ada darah. Pasien tidak
merasakan perut kembung. BAK pasien sangat sedikit dan berwarna kuning
keruh. Tidak ada riwayat BAK kemerahan. Pasien juga mengeluhkan nyeri
pada penisnya saat akan kencing. Pasien sering menahan kencing jika di

10
rumah, bahkan pernah mengompol. Pasien sudah berobat ke bidan dan sudah
mendapat obat Domperidone (Hufadon), Amoxicillin, dan Cimetidine
(Gastricon), tetapi keluhan pasien tidak membaik, sehingga orang tuanya
membawa ke IGD.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan didapatkan pasien tampak
sakit sedang, BB: 11,7 kg, TB: 86,5 cm, SiO2: 99%, nadi: 140 x/menit,
pernafasan: 24 x/menit, peningkatan suhu mencapai 38,8C, nyeri tekan
suprapubik, nyeri saat berkemih, dan fimosis. Hasil pemeriksaan laboratorium
darah didapatkan hiperneutrofilia segmen dan limfositopenia, sedangkan hasil
pemeriksaan laboratorium urin didapatkan urin kuning keruh, hematuria,
ketonuria, proteinuria, nitrituria, serta leukosituria.

F. DAFTAR MASALAH
1. Anamnesis:
a. Demam tinggi terus menerus sejak satu hari SMRS
b. Mual dan muntah berupa sisa makanan sebanyak empat kali SMRS
c. Nyeri perut bagian bawah yang hilang timbul terutama saat BAK
d. BAK pasien sangat sedikit dan keruh, disertai nyeri pada penis saat
kencing
e. Pasien sering menahan kencing
f. Tidak ditemukan batuk, pilek, keluar cairan dari telinga, dan nyeri
tenggorokan
g. Tidak ada keluhan perut kembung dan BAB dalam batas normal
h. Tidak ada riwayat trauma dan pijat di daerah perut
2. Pemeriksaan Fisik:
a. Nadi 140 kali/menit
b. Pernapasan 24 kali/menit
c. Suhu: 38.8o C per axilla
d. Nyeri tekan suprapubik dan nyeri saat berkemih
e. Fimosis
f. CRT < 2 detik

11
g. ADP kuat
3. Pemeriksaan Penunjang :
a. hiperneutrofilia segmen dan limfositopenia,
b. urin kuning keruh, hematuria, ketonuria, proteinuria, nitrituria, serta
leukosituria

G. DIAGNOSIS BANDING
1. Infeksi saluran kemih dd demam typhoid
2. Fimosis
3. Gizi baik, normoweight, normoheight (antropometri)

H. DIAGNOSIS KERJA
1. Infeksi saluran kemih
2. Fimosis
3. Gizi baik, normoweight, normoheight (antropometri)

I. PENATALAKSANAAN
1. IVFD D5 NS 12 tetes per menit
2. Inj Pamol 250 mg jika suhu tubuh > 38.5oC
3. Inj Ranitidin 1 mg/kgBB/12 jam 12 mg/12 jam ( ampul/12 jam)
4. Inj Ampicilin 25 mg/kgBB/6 jam 280 mg/6 jam

J. PLAN
1. Rawat inap bangsal anak
2. Kultur urin
3. Konsultasi dokter spesialis bedah perihal tatalaksana fimosis

K. MONITORING
Keadaan umum, tanda vital, balance cairan, dan diuresis tiap 8 jam.

12
L. EDUKASI
1. Mengenai penyakit pasien.
2. Mengenai pengobatan dan kesembuhan pasien.
3. Mengenai kemungkinan dan cara pencegahan kekambuhan penyakit
pasien.
4. Mengenai cara menjaga kebersihan alat kelamin.
5. Mengenai keperluan konsultasi ke dokter spesialis bedah berkaitan
dengan keadaan fimosis pada penis pasien.

M. PROGNOSIS
Ad vitam : bonam
Ad sanam : bonam
Ad fungsionam : bonam

N. FOLLOW UP
Follow up status pasien
Follow up 20/8/2017 21/8/2017 22/8/2017 23/8/2017
S Demam (+), Demam (+), Demam (-), mual Demam (-), mual
mual (+), BAB mual (+), BAB (+), BAB dalam (-), BAB dalam
dalam batas dalam batas batas normal, batas normal,
normal, BAK normal, BAK BAK kuning BAK kuning
kuning keruh kuning keruh agak keruh, jernih, nyeri perut
dan sedikit, dan agak susah, nyeri perut (+), (-), muntah(-) ,
nyeri perut (+), nyeri perut (+), muntah (+) satu batuk(-), pilek (-),
muntah (+) muntah (+) tiga kali berupa sisa kejang (-), makan
empat kali kali berupa sisa makanan tanpa dan minum
berupa sisa makanan tanpa lendir darah, seperti biasa, anak
makanan tanpa lendir darah, batuk(-), pilek (-), sudah mulai ceria
lendir darah, batuk(-), pilek (-), kejang (-), mulai dan mulai aktif
batuk(-), pilek (-), kejang (-), susah mau makan kembali

13
kejang (-), susah makan dan yang lunak
makan dan minum
minum
O KU: tampak sakit KU: tampak sakit KU: tampak sakit KU: tampak
sedang, GCS sedang, GCS ringan, GCS sehat, GCS
E4V5M6, gizi E4V5M6, gizi E4V5M6, gizi E4V5M6, gizi
kesan baik kesan baik kesan baik kesan baik
Tanda SiO2: 99%, RR SiO2: 97%, RR SiO2: 98%, RR SiO2: 97%, RR
Vital 24 x/menit, t 24 x/menit, t 21 x/menit, t 20 x/menit, t
38.8oC, HR 140 38.1oC, HR 136 36.7oC, HR 118 36.8oC, HR 122
x/menit x/menit x/menit x/menit
Kepala Normosefal, Normosefal, Normosefal, Normosefal,
lingkar kepala lingkar kepala lingkar kepala lingkar kepala
(LK): 49 cm, (LK): 49 cm, (LK): 49 cm, (LK): 49 cm,
Telinga Sekret (-/-) Sekret (-/-) Sekret (-/-) Sekret (-/-)
Mata CA (-/-), SI (-/-) CA (-/-), SI (-/-) CA (-/-), SI (-/-) CA (-/-), SI (-/-)
Oedem palpebra Oedem palpebra Oedem palpebra Oedem palpebra
(-/-) (-/-) (-/-) (-/-)
Hidung Nafas cuping Nafas cuping Nafas cuping Nafas cuping
hidung (-), sekret hidung (-), sekret hidung (-), sekret hidung (-), sekret
(-/-) (-/-) (-/-) (-/-)
Mulut Mukosa basah (+) Mukosa basah (+) Mukosa basah (+) Mukosa basah (+)
Tenggorok Tonsil T1-T1 Tonsil T1-T1 Tonsil T1-T1 Tonsil T1-T1
hiperemis (-), hiperemis (-), hiperemis (-), hiperemis (-),
faring hiperemis faring hiperemis faring hiperemis faring hiperemis
(-) (-) (-) (-)
Thorax Retraksi (-) Retraksi (-) Retraksi (-) Retraksi (-)
Cor I: ictus cordis tak I: ictus cordis tak I: ictus cordis tak I: ictus cordis tak
tampak tampak tampak tampak
P: ictus cordis P: ictus cordis P: ictus cordis P: ictus cordis
tidak kuat angkat tidak kuat angkat tidak kuat angkat tidak kuat angkat
P: batas jantung P: batas jantung P: batas jantung P: batas jantung
sulit dievaluasi sulit dievaluasi sulit dievaluasi sulit dievaluasi
A: BJ I-II A: BJ I-II A: BJ I-II A: BJ I-II

14
intensitas normal, intensitas normal, intensitas normal, intensitas normal,
reguler, bising (-) reguler, bising (-) reguler, bising (-) reguler, bising (-)
Pulmo I: pengembangan I: pengembangan I: pengembangan I: pengembangan
dada kanan = kiri dada kanan = kiri dada kanan = kiri dada kanan = kiri
P: fremitus raba P: fremitus raba P: fremitus raba P: fremitus raba
kanan=kiri kanan=kiri kanan=kiri kanan=kiri
P: sonor/sonor P: sonor/sonor P: sonor/sonor P: sonor/sonor
A: suara dasar: A: suara dasar: A: suara dasar: A: suara dasar:
vesikuler (+/+), vesikuler (+/+), vesikuler (+/+), vesikuler (+/+),
suara tambahan suara tambahan suara tambahan suara tambahan
(-/-) (-/-) (-/-) (-/-)
Abdomen I: dinding dada I: dinding dada I: dinding dada I: dinding dada
sejajar dengan sejajar dengan sejajar dengan sejajar dengan
dinding perut dinding perut dinding perut dinding perut
A: bising usus (+) A: bising usus (+) A: bising usus (+) A: bising usus (+)
normal 11 x/ normal 10 x/ normal 9 x/ menit normal 12 x/
menit menit P: timpani menit
P: timpani P: timpani P: supel, nyeri P: timpani
P: supel, nyeri P: supel, nyeri tekan P: supel, nyeri
tekan tekan suprapubik (+), tekan (-), hepar
suprapubik (+), suprapubik (+), hepar tidak tidak teraba,
hepar tidak hepar tidak teraba, ascites (-) ascites (-) dan lien
teraba, ascites (-) teraba, ascites (-) dan lien tidak tidak teraba
dan lien tidak dan lien tidak teraba
teraba teraba
Genital Fimosis (+), Fimosis (+), Fimosis (+), nyeri Fimosis (+), nyeri
nyeri saat nyeri saat saat berkemih (-), saat berkemih (-),
berkemih (+), berkemih (+), edema (-),OUE edema (-),OUE
edema (-), OUE edema (-),OUE kemerahan (-) kemerahan (-)
kemerahan (-) kemerahan (-)
Ekstremitas Akral dingin (-), Akral dingin (-), Akral dingin (-), Akral dingin (-),
sianosis (-), CRT sianosis (-), CRT sianosis (-), CRT sianosis (-), CRT

15
< 2, ADP kuat < 2, ADP kuat < 2, ADP kuat < 2, ADP kuat
R. fisiologis: R. fisiologis: R. fisiologis: R. fisiologis:
dalam batas dalam batas dalam batas dalam batas
normal normal normal normal
R. patologis: (-) R. patologis: (-) R. patologis: (-) R. patologis: (-)
Meningeal sign : Meningeal sign : Meningeal sign : Meningeal sign :
(-) (-) (-) (-)
Asessment - Observasi febris - Observasi febris
- Infeksi saluran
hari II dd ISK hari III dd ISK - Infeksi saluran
kemih
dd demam dd demam kemih
(perbaikan)
typhoid typhoid - Fimosis
- Fimosis
- Fimosis - Fimosis - Gizi baik
- Gizi baik
- Gizi baik - Gizi baik
Terapi - Infus RL 20 - Infus D5 NS - Infus D5 NS - Lapimox pulv
tpm 12 tpm 12 tpm 125 mg/ 8 jam
- Inj Pamol 200 - Inj Pamol 200 - Inj Pamol 200 - Paracetamol
mg jika mg jika mg jika pulv 250 mg
t>38.5oC t>38.5oC t>38.5oC jika t>38.5oC
- Inj Ranitidin 12 - Inj Ranitidin 12 - Inj Ranitidin 12
mg/12 jam ( mg/12 jam ( mg/12 jam (
ampul/12 jam) ampul/12 jam) ampul/12 jam)
- Inj Ampicilin - Inj Ampicilin
280 mg/ 6 jam 280 mg/ 6 jam
Planning Cek darah rutin Menunggu hasil - - Pasien boleh
dan urinalisis urinalisis pulang
- Kontrol
kembali ke poli
anak 2 hari
berikutnya
(Jumat,
25/8/2017)
- Konsultasi ke

16
dokter spesialis
bedah perihal
tatalaksana
fimosis
Monitoring KUVS dan BCD KUVS dan BCD KUVS dan BCD
8 jam 8 jam 8 jam

17
BAB II
ANALISIS KASUS
Pada kasus ini diagnosis infeksi saluran kemih dan fimosis ditegakkan
berdasarkan:
A. Anamnesis
1. Pasien mengalami demam tinggi sejak 1 hari sebelum masuk rumah
sakit. Demam semakin tinggi dan tidak turun walaupun sudah
dikompres dengan air hangat dan minum Paracetamol.
2. Pasien merasa mual dan diikuti muntah sebanyak empat kali berupa
sisa sisa makanan, tanpa adanya lendir ataupun darah. Pasien tidak
merasakan perut kembung.
3. Pasien mengeluhkan nyeri perut bagian bawah, BAK pasien sangat
sedikit dan berwarna kuning keruh, serta nyeri pada penisnya saat akan
kencing. Pasien memiliki kebiasaan menahan kencing.
4. Tidak ada riwayat batuk dan pilek pada pasien. Tidak terdapat cairan
yang keluar dari telinga dan tidak ada nyeri tenggorokan. Tidak ada
riwayat trauma maupun pijat di daerah perut pada pasien. BAB pasien
dalam batas normal.

B. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum pasien tampak sakit sedang
2. Tanda vital pasien: SiO2 : 99%, nadi : 140 x/ menit reguler,
pernafasan : 24 x/menit reguler, suhu: 38.8 C (per axilla)
3. Nyeri tekan suprapubik dan nyeri saat berkemih
4. Fimosis
5. ADP kuat, CRT < 2 detik

C. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium darah dalam batas normal, kecuali ada
peningkatan kadar neutrofil segmen (87.6%) serta limfositopenia
(6.6%).
2. Pemeriksaan urin lengkap menunjukkan beberapa abnormalitas seperti
warna urin kuning keruh, darah (+3), benda keton (+3), proten (+1),
nitrit (+1), leukosit (+2), serta sedimen leukosit (+2).
Infeksi saluran kemih adalah keadaan bertumbuh dan berkembang biaknya
kuman atau mikroba di dalam saluran kemih dalam jumlah bermakna.
Diagnosis klinis ISK dapat ditegakkan sehingga dapat diterapi dengan
antibiotik empiris meskipun belum ada hasil biakan urin, apabila :
1. anak dengan demam, disertai kelainan pada urinalisis seperti
leukosituria, uji nitrit positif, dan leukosit esterase positif
2. anak dengan keluhan gangguan berkemih seperti dysuria,
polakisuria, urgensi, frekuensi, ngompol, nyeri pinggang, disertai
dengan kelainan pada urinalisis seperti leukosituria, uji nitrit
positif, dan leukosit esterase positif.
Kriteria rawat inap pada pasien ISK adalah pasien neonatus, pielonefritis
akut, ISK dengan komplikasi gagal ginjal dan hipertensi, ISK disertai sepsis
atau syok, serta ISK dengan keadaan umum toksik, kesulitan asupan oral,
muntah, dan dehidrasi. Pemberian antibiotik parenteral harus dipertimbangkan
pada anak yang toksik, muntah, dehidrasi, ataupun yang mempunyai kelainan
pada sistem saluran kemih.
Algoritma pemeriksaan pencitraan pada anak dengan ISK pada usia 6
bulan sampai dengan tiga tahun adalah sebagai berikut :

Gambar 2. Algoritma pemeriksaan pencitraan pada ISK3

19
Penegakan diagnosis pada pasien ini dengan anamnesis dan pemeriksaan
fisik. Dari anamnesis didapatkan demam tinggi sejak 1 hari sebelum masuk
rumah sakit dan tidak turun walaupun sudah dikompres dengan air hangat,
mual muntah sebanyak 4 kali sejak 1 malam sebelum masuk rumah sakit,
nyeri perut bagian bawah, nyeri saat berkemih, dan adanya kebiasaan
menahan kencing pada pasien.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya demam, nyeri tekan suprapubik,
nyeri saat berkemih, dan fimosis pada penis. Dari hasil pemeriksaan
penunjang berupa pemeriksaan darah lengkap, didapati adanya peningkatan
kadar neutrofil segmen dan limfositopenia. Pemeriksaan urin lengkap juga
menunjukkan abnormalitas seperti warna urin keruh, darah (+3), benda keton
(+3), proten (+1), nitrit (+1), leukosit (+2), serta sedimen leukosit (+2).

20
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

I. Infeksi Saluran Kemih


A. Definisi dan Epidemiologi
Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan suatu kondisi satu atau lebih
bagian traktus urinarius terinfeksi oleh bakteri yang mampu melemahkan
pertahanan tubuh dan sering ditemukan pada anak-anak dengan ditandai
jumlah bakteri yang bermakna dalam urin1,2. Kemaknaan jumlah bakteri
menurut CDC adalah bila kultur urin positif 10 5 colony forming unit
(cfu) /ml urin dan ditemukan tidak lebih dari dua spesies mikroorganisme,
dengan atau tanpa disertai gejala klinis1.
Berdasarkan ada tidaknya komplikasi, ISK dibagi menjadi ISK
simpleks dan kompleks. ISK simpleks/ sederhana/ uncomplicated UTI
adalah terdapat infeksi pada saluran kemih tetapi tanpa penyulit (lesi)
anatomis maupun fungsional saluran kemih. ISK kompleks/ dengan
komplikasi/ complicated UTI adalah terdapat infeksi pada saluran kemih
disertai penyulit (lesi) anatomis maupun fungsional saluran kemih misalnya
sumbatan muara uretra, refluks vesikoureter, urolithiasis, parut ginjal, buli-
buli neurogenik, dan sebagainya.3
Berdasarkan letaknya, ISK dibagi menjadi ISK atas dan bawah. ISK
atas adalah infeksi pada parenkim ginjal atau ureter, lazimnya disebut
sebagai pielonefritis. ISK bawah adalah infeksi pada vesika urinaria (sistitis)
atau uretra. Batas antara atas dan bawah adalah vesicoureteric junction.
ISK terjadi pada 3-5% anak perempuan dan 1% dari anak laki-laki.
Pada anak perempuan, ISK pertama biasanya terjadi pada umur 5 tahun,
dengan puncaknya pada bayi dan anak-anak yang sedang toillete training.
Setelah ISK pertama, 60%-80% anak perempuan akan mengembangkan ISK
yang kedua dalam 18 bulan. Pada anak laki-laki, ISK paling banyak terjadi
selama tahun pertama kehidupan; ISK jauh lebih sering terjadi pada anak
laki-laki yang tidak disunat. Prevalensi ISK bervariasi berdasarkan usia.

21
Selama tahun pertama kehidupan, rasio penderita laki-laki: rasio wanita
adalah 2,8-5,4 : 1. Sedangkan dalam tahun pertama sampai tahun kedua
kehidupan, terjadi perubahan yang mencolok, di mana rasio laki-laki: rasio
perempuan adalah 1:10.2
Pada anak-anak prasekolah usia, prevalensi anak perempuan dengan
infeksi tanpa gejala yang akhirnya didiagnosa oleh aspirasi suprapubik
adalah 0,8% dibandingkan dengan 0,2% pada anak laki-laki. Pada kelompok
usia sekolah, angka insidensi bakteriuria pada perempuan lebih banyak 30
kali dibandingkan pada anak laki-laki.3
Remaja putri lebih cenderung memiliki vaginitis (35%)
dibandingkan ISK (17%). Selain itu, gadis remaja yang didiagnosis dengan
sistitis sering memiliki vaginitis bersamaan.3

B. Etiologi
Sekitar 50% ISK disebabkan Escherichia coli, penyebab lain
adalah Klebsiella, Staphylococcus aureus, coagulase negative
Staphylococci, Proteus, Pseudomonas sp., dan bakteri gram negatif lainnya.
Terdapat beberapa faktor predisposisi terjadinya ISK kompleks, di antaranya
adalah:4,5
1. Outflow obstruction
a. Striktur uretra
b. Pelviureteric junction
c. Posterior urethral valves
d. Bladder neck obstruction
e. Batu/tumor
f. Neuropathic bladder
g. Kista ginjal
2. Kelainan ginjal
a. Parut ginjal
b. Refluks vesikoureter
c. Displasia ginjal

22
d. Ginjal dupleks
3. Benda asing
a. Indwelling catheter
b. Batu
c. Selang nefrostomi
4. Metabolik
a. Imunosupresi
b. Gagal ginjal
c. Diabetes

C. Patogenesis
Secara umum patogenesis ISK kompleks hampir sama dengan ISK
simpleks, tetapi terdapat perbedaan yaitu pada ISK kompleks terdapat faktor
risiko berupa kelainan anatomi, fungsi, dan metabolik, serta sering
menimbulkan infeksi berulang. Hampir seluruh ISK terjadi secara asenden.
Bakteri berasal dari flora feses, berkolonisasi di daerah perineum, dan
memasuki kandung kemih melalui uretra. Pada bayi, septikemia karena
bakteri gram negatif relatif lebih sering. Hal ini mungkin disebabkan
imaturitas dinding saluran pencernaan pada saat kolonisasi oleh Escherichia
coli atau karena imaturitas sistem pertahanan. Penyebaran secara hematogen
lebih sering terjadi pada neonatus. Infeksi nosokomial juga dapat terjadi,
biasanya disebabkan operasi atau intrumentasi pada saluran kemih. Bakteri
penyebab ISK yang paling sering ditemukan di praktek umum adalah E. coli
(lebih dari 90%), sedangkan yang disebabkan infeksi nosokomial (hospital
acquired) sekitar 47%.
Awal terjadinya ISK adalah bakteri berkolonisasi di perineum pada
anak perempuan atau di preputium pada anak laki-laki. Kemudian bakteri
masuk ke dalam saluran kemih mulai dari uretra secara asenden. Setelah
sampai di kandung kemih, bakteri bermultiplikasi dalam urin, dan melewati
mekanisme pertahanan anti bakteri dari kandung kemih dan urin. Pada
keadaan normal papila ginjal memiliki sebuah mekanisme anti refluks yang

23
dapat mencegah urin mengalir secara retrograd menuju collecting tubulus.
Akhirnya bakteri bereaksi dengan urotelium atau ginjal sehingga
menimbulkan respons inflamasi dan timbul gejala ISK.6,7
Mekanisme tubuh terhadap invasi bakteri terdiri dari mekanisme
fungsional, anatomis, dan imunologis. Pada keadaan anatomi normal,
pengosongan kendung kemih terjadi secara teratur, drainase urin baik, dan
pada saat setiap miksi, urin dan bakteri dieliminasi secara efektif. Pada
tingkat seluler, bakteri dihancurkan oleh leukosit polimorfonuklear dan
komplemen. Maka setiap keadaan yang mengganggu mekanisme pertahanan
normal tersebut dapat menyebabkan risiko terjadinya infeksi.6
Pada anak anak, ISK kompleks sering terjadi pada usia toilet
training karena gangguan pengosongan kandung kemih terjadi pada usia ini.
Anak mencoba untuk menahan kencing agar tidak mengompol, di mana
kontraksi otot kandung kemih ditahan sehingga urin tidak keluar. Hal ini
menyebabkan tekanan tinggi, turbulensi aliran urin, dan/atau pengosongan
kandung kemih yang tidak tuntas, kemudian semuanya akan menyebabkan
bakteriuria. Gangguan pengosongan kandung kemih dapat terjadi pula pada
anak yang tidak BAK secara teratur. Uropati obstruktif menyebabkan
hidronefrosis yang akan meningkatkan risiko ISK karena adanya stasis urin.
Instrumentasi pada uretra selama VCUG (Voiding Cystourethrogram) atau
kateterisasi yang tidak steril dapat menginfeksi kandung kemih oleh bakteri
patogen. Konstipasi dapat meningkatkan risiko terjadinya ISK karena dapat
menyebabkan gangguan pengosongan kandung kemih.7
Patogenesis ISK adalah berdasarkan adanya pili atau fimbrae pada
permukaan bakteri. Terdapat 2 tipe fimbrae yaitu tipe I dan tipe II. Fimbrae
tipe I terdapat pada seluruh strain E.Coli. Karena perlekatan pada sel target
dapat dihambat oleh D-Mannose, maka fimbrae ini disebut juga mannose
sensitive dan tidak berperan dalam pielonefritis. Perlekatan fimbrae tipe II
tidak dihambat oleh mannose, sehingga disebut juga mannose resistant,
fimbrae ini hanya terdapat pada beberapa strain E. coli. Reseptor fimbrae
tipe II adalah suatu glikospingolipid yang terdapat pada sel uroepitel dan sel

24
darah merah. Fraksi Gal 1-4 oligosakaridase adalah resptor fimbrae ini.
Karena fimbrae tersebut dapat diaglutinasi oleh P-blood eritrosit maka
disebut sebagai P fimbrae. Bakteri dengan P fimbrae lebih sering
menyebabkan pielonefritis. Sekitar 76-94% strain pielonefritogenik E. Coli
mempunyai P fimbrae, sedangkan strain sistitis sekitar 19-23%.7,8,9
Infeksi persisten atau rekuren dari ISK pertama dapat terjadi
disebabkan oleh terapi yang tidak adekuat (misalnya antibiotik yang tidak
tepat, lama terapi terlalu panjang, atau pendekatan dosis kurang tepat).
Tetapi selain hal tersebut, merupakan suatu tanda adanya kelainan yang
mendasari di saluran kemih (misalnya batu ginjal, kista, abses, benda asing)
yang menjadi tempat bakteri berkembang biak. Infeksi rekuren dapat
merupakan infeksi baru yang disebabkan bakteri yang baru dan harus
dicurigai adanya kelainan anatomi atau fungsi.8,10

D. Manifestasi Klinis
Secara umum, gejala ISK kompleks hampir sama dengan gejala
ISK simpleks. Tetapi pada ISK kompleks biasanya gejala sistemik lebih
menonjol yaitu demam dan loin tenderness disertai hitung bakteri yang
tinggi (> 100.000 CFU/ml) dan adanya pus dalam urin. Derajat beratnya
gejala dapat bervariasi dari ringan sedang sampai berat. Pada bayi baru lahir
gejala yang timbul biasanya berupa gejala nonspesifik yaitu penurunan
nafsu makan, penurunan berat badan, gelisah, muntah, dan diare. Gejala
yang lebih berat dapat berupa letargis, kejang, atau tanda sepsis seperti hipo-
atau hipertermi. Pada anak yang lebih besar gejala yang timbul dapat berupa
gejala yang mengarah pada saluran kemih seperti disuri, poliuri, urgensi
nyeri perut dan flank pain. Sedangkan gejala nonspesifik atau sistemik lebih
jarang dan tidak terlalu berat. Apabila infeksi disebabkan adanya obstruksi
maka gejala yang timbul adalah hipertensi, ginjal dan kandung kemih dapat
teraba dan nyeri, tanda-tanda syok, septikemia, dan distensi abdomen.6
Anak yang tidak mendapat antibiotik pada gejala akut umumnya
berkembang menjadi kronis. Pada beberapa kasus anak yang terinfeksi tidak

25
menunjukkan gejala, tetapi beberapa yang lainnya menunjukan demam
berulang, malaise, dan gejala terlokalisir yang menetap yang tidak
terdiagnosis. Anak yang mengalami infeksi dan tidak dieradikasi dengan
antibiotik dapat mengalami ISK berulang dengan proporsi yang tinggi
umumnya akan mengalami rekurensi daripada relaps.6
Pada anak laki-laki rekurensi jarang terjadi lebih dari 1 tahun
setelah infeksi pertama. Penelitian yang dilakukan Winberg et al., 23 %
anak laki-laki yang mengalami ISK pada tahun pertama kehidupan dapat
terjadi rekurensi dalam waktu 12 bulan dan hanya 3% terjadi setelah periode
tersebut. Berbeda dengan anak perempuan, rekurensi yang terjadi sebanyak
29% dan dapat dialami pada usia periode follow up.10
Gambaran klinis infeksi saluran kemih sangat bervariasi mulai dari
tanpa gejala hingga menunjukkan gejala yang sangat berat. Gejala yang
sering timbul ialah disuria, polakisuria, dan terdesak kencing yang biasanya
terjadi bersamaan, disertai nyeri suprapubik dan daerah pelvis. Gejala klinis
ISK sesuai dengan bagian saluran kemih yang terinfeksi, yaitu :11,15
1. Pada ISK bagian bawah, keluhan pasien biasanya berupa nyeri
supra pubik, disuria, frekuensi, hematuri, urgensi, dan stranguria
2. Pada ISK bagian atas, dapat ditemukan gejala demam, kram, nyeri
punggung, muntah, skoliosis, dan penurunan berat badan.

26
Gambar 1. Hubungan antara lokasi infeksi dengan gejala klinis.14

E. Patofisiologi
Pada individu normal, laki-laki maupun perempuan urin selalu
steril karena dipertahankan sesuai jumlah dan frekuensi kencing. Uretro
distal merupakan tempat kolonisasi mikroorganisme non-pathogenic
fastidious gram-positive dan gram negatif 7.
Hampir semua ISK disebabkan invasi mikroorganisme asenden dari
uretra ke dalam saluran kemih yang lebih distal, misalnya kandung kemih 7,8.
Pada beberapa pasien tertentu invasi mikroorganisme dapat mencapai ginjal.
Proses ini dipermudah refluks vesikoureter. Proses invasi mikroorganisme
hematogen sangat jarang ditemukan di klinik, mungkin akibat lanjut dari
bakteremia. Ginjal diduga merupakan lokasi infeksi sebagai akibat lanjut
septikemi atau endokarditis akibat S. Aureus.10.

27
F. Gejala11,12
Gejala yang dapat timbul pada ISK pada anak sangat tidak spesifik,
dan seperti telah diungkapkan sebelumnya, banyak yang hanya disertai
demam sebagai gejala. Dua kategori klinis dari ISK adalah pyelonefritis
akut atau ISK atas dan sistitis akut atau ISK bawah. Gejala bervariasi sesuai
usia.
1. Anak baru lahir - 2 bulan : sering tak ada gejala di saluran kemih. ISK
ditemukan dengan adanya sepsis neonatus, kuning berkepanjangan, gagal
tumbuh, dan tak mau menyusu.
2. Anak 2 bulan - 2 tahun :
a. Bayi dan anak-anak pada usia ini memiliki gejala demam yang tidak
diketahui sebabnya ( >38oC)
b. Usia ini memiliki resiko tinggi luka pada ginjal dibanding usia yang
lebih tua, karena tanda yang kurang menyebabkan keterlambatan
pengobatan dengan antibiotik. Aturan 3 hari dapat membantu untuk
mencegah hal tersebut terjadi. Contohnya jangan hanya mengawasi
bayi atau anak-anak dengan demam 3 hari yang tak diketahui
sebabnya tanpa pemeriksaan urin untuk evaluasi infeksi.
c. Bayi sering mendapat demam dan gejala lainnya, seperti rewel, tak
mau menyusu, nyeri perut, muntah, dan diare.
d. Anak dengan usia 1-2 tahun datang dengan gejala sugestif sistitis akut.
Gejala biasanya menangis saat berkemih atau kencing yang berbau
busuk tanpa adanya demam (suhu <38oC).
3. Anak usia 2 - 6 tahun
a. Pada kelompok dengan demam, ISK sering memiliki gejala sistemik
yaitu tak nafsu makan, rewel, dan nyeri pada perut, panggul, dan
punggung dengan atau tanpa kelainan berkemih.
b. Pasien dengan sistitis akut memiliki gejala berkemih dengan sedikit
atau tanpa peningkatan suhu. Disfungsi berkemih termasuk urgensi,
frekuensi, hesistensi, disuria, dan inkontinensia urin.

28
c. Nyeri suprapubis atau perut dapat ditemukan dan adanya bau busuk
pada urin.
4. Anak usia lebih tua dan remaja
a. Sering mengenai saluran bagian bawah, tetapi pielonefritis akut masih
mungkin. Gejalanya mirip pada anak usia 2-6 tahun.
b. Anak perempuan dengan pielonefritis akut, dapat ada refluks
vesikoureter persisten (VUP), biasanya memiliki sistitis akut dengan
ISK bila mereka bertambah tua. Penyebabnya : proliferasi kuman
dalam saluran kemih menyebabkan ISK. Infeksi hampir selalu
asenden dan disebabkan kehadiran bakteri di distal uretra. E coli
umumnya menyebabkan infeksi awal, tapi basil gram negatif lain dan
Enterococci dapat juga menyebabkan infeksi. Staphylococcal
saprophyticus juga sering menjadi penyebab infeksi pada remaja
perempuan. Masuknya bakteri tersebut ke kandung kemih merupakan
hasil dari aliran turbulen pada saat berkemih normal, gangguan
berkemih, atau kateterisasi.
Faktor-faktor yang berpengaruh dengan terjadinya ISK sebagai berikut
:
1. Pasien yang mendapat antibiotik spektrum luas (Amoxicillin, Cephalexin)
dapat menggangu flora usus dan saluran kemih dan meningkatkan resiko
ISK karena gangguan pada pertahanan alami terhadap kolonisasi oleh
bakteri patogen.
2. Inkubasi bakteri yang diperlama dalam kandung kemih akibat
pengosongan kandung kemih yang tak sempurna atau jarang berkemih
dapat melemahkan pertahanan kandung kemih terhadap infeksi bakteri.
Gejala dari gangguan berkemih seperti urgensi, frekuensi, hesistensi,
dribbling, atau inkontinensia dapat terjadi tanpa adanya infeksi atau iritasi
lokal karena kontraksi detrusor yang tak terhalangi. Ketika inkontinensia
dicegah oleh obstruksi uretra, urin yang mengandung bakteri dari distal
uretra akan kembali ke kandung kemih. Hal tersebut yang umum
menyebabkan ISK pada anak-anak.

29
3. Khitan pada neonatus menurunkan resiko ISK kurang lebih 90% pada bayi
laki-laki dalam tahun pertama kehidupan. Resiko ISK pada anak yang
dikhitan pada tahun pertama kehidupan adalah 1 dalam 1000, sedangkan
yang tidak dikhitan 1 dalam 100 anak.

G. Pemeriksaan Laboratorium11
Diagnosis didasarkan kultur kuantitatif dari spesimen urin yang
telah dikumpulkan. Urin midstream bisa didapatkan pada anak yang telah
dapat mengontrol kencing. Bayi atau anak di bawah 2 tahun dengan demam
tanpa sumber tampak sakit berat, antibiotik diberikan dan contoh urin diambil
untuk kultur dengan cara aspirasi suprapubik atau kateter. Aspirasi suprapubik
adalah pengambilan urin langsung dari kandung kemih dengan jarum yang
lebih dipilih untuk anak laki yang belum dikhitan. Kemungkinan kontaminasi
pada urin yang diperoleh dengan kedua cara tersebut sangat kecil sehingga
kedua cara tersebut merupakan cara yang paling diandalkan.
Namun bila bayi atau anak di bawah 2 tahun dengan demam
tersebut tidak tampak sakit berat, aspirasi suprapubik atau kateterisasi kadang
dianggap berlebihan. Pada kondisi ini, pengambilan contoh urin dapat
dilakukan dengan cara yang tidak invasif, misalnya :
1. Pada anak yang sudah cukup besar, dapat dilakukan pengambilan urin
mid-stream.
2. Pada bayi atau batita, dapat dilakukan pengambilan urin dengan urin
mid-stream atau kantung penampung urin yang dilekatkan pada
perineum. Pengambilan contoh urin dengan cara ini memiliki risiko
kontaminasi yang rendah jika sebelum pengambilan urin perineum
dibersihkan dengan teliti, kantung penampung urin segera dilepaskan
setelah urin diperoleh, dan sediaan tersebut cepat diproses. Pada anak
perempuan, perineum harus dibersihkan dari depan ke belakang
dengan semacam kassa yang dibasahi air hangat tanpa antiseptik. Jika
tidak dapat langsung diproses, sediaan harus disimpan dalam suhu
40oC. Sediaan yang telah disimpan hingga 48 jam masih dapat

30
digunakan untuk kultur, namun tidak dapat digunakan untuk
pemeriksaan mikroskopik karena sel-sel yang ada sudah rusak.
Yang dilakukan pada contoh urin itu adalah :
1. Kultur. Kultur yang negatif akan menyingkirkan diagnosis ISK.
Sedangkan pada kultur yang positif, proses pengambilan contoh urin
harus diperhatikan. Jika kultur positif berasal dari aspirasi suprapubik
atau kateterisasi, maka hasil tersebut dianggap benar. Namun jika
kultur positif diperoleh dari kantung penampung urin, perlu dilakukan
konfirmasi dengan kateterisasi atau aspirasi suprapubik.
2. Urinalisis. Komponen urinalisis yang paling penting dalam ISK
adalah esterase leukosit, nitrit, pemeriksaan leukosit, dan bakteri
mikroskopik. Namun tidak ada komponen urinalisis yang dapat
menggantikan pentingnya kultur sehingga kultur tetap merupakan
keharusan untuk mendiagnosis ISK.
Kultur urine dilakukan dengan wadah yang steril yang melekat di
daerah perineal, yang tak menunjukkan pertumbuhan atau sangat sedikit
(<100.000 Colony-forming unit[CFU]/ml), menjadi bukti yang kuat tak
adanya ISK. Sayangnya cara ini sering positif palsu jadi kurang sesuai untuk
diagnosis. Urinalisis tak dapat menggantikan kultur urin untuk menunjukkan
adanya ISK, tetapi dapat membantu dalam identifikasi anak yang
membutuhkan terapi antibakteri sambil menunggu hasil kultur urin.
Menurut AAP, jumlah koloni bakteri yang tumbuh pada kultur
untuk dapat dikategorikan positif tercantum dalam Tabel 1.

31
Tabel 1. Kriteria Diagnosis ISK

Pengambilan urin Jumlah koloni Kemungkinan infeksi (%)

Aspirasi suprapubik Gram-negatif : berapa pun >99%


Gram-positif : > beberapa
ribu
Kateterisasi >105 95%
4 5
10 -10 Kemungkinan besar infeksi
103-104 Meragukan, ulangi
3
<10 Kemungkinan tidak infeksi
Mid-stream / kantung
Anak laki-laki >104 Kemungkinan besar infeksi
Anak perempuan 3 kali pemeriksaan 95%
2 kali pemeriksaan 90%
1 kali pemeriksaan 80%
4 5
5 10 - 10 Meragukan, ulangi
104 - 5 104 + gejala : meragukan, ulangi
- gejala : kemungkinan tidak
infeksi
4
<10 Kemungkinan tidak infeksi

Penghitungan sel darah putih dan metabolisme basal dilakukan pada anak
dengan dugaan diagnosis pielonefritis akut. Kultur darah dapat dilakukan pada
bayi demam dan untuk anak yang lebih tua yang sakit, riwayat paparan toksin,
atau memiliki demam tinggi.

Tabel 2. Urinalisis untuk Dugaan Diagnosis ISK*

Metode Temuan

Mikroskopis dengan lapang pandang terang Bakteri


atau kontras dari sedimen urin yang

32
disentrifugasi

Pewarnaan gram sedimen urin yang tidak


Bakteri
disentrifugasi

(+) : cenderung ke
Nitrit dan leukosit esterase
arah ISK

(+) : kemungkinan
Nitrit
ISK

Leukosit esterase (+) : tidak spesifik


*Urine mikroskopik negatif untuk bakteri tidak menyingkirkan diagnosis ISK,
demikian juga dengan dipstick negatif untuk nitrit dan leukosit esterase.

Tabel 3. Kultur Urin untuk Diagnosis ISK*

Kultur urin kuantitatif yang menunjukkan


Metode
ISK di antara anak-anak dengan gejala ISK

Aspirasi suprapubik ISK ditandai dengan pertumbuhan bakteri


koagulase-negatif Staphylococci > 2000-

33
3000 CFU / mL.

Anak perempuan
Bayi yang demam dan anak-anak dengan
dengan kateter atau
ISK biasanya memiliki patogen urin
urin pancaran tengah
tunggal > 50.000 CFU / mL; Namun, ISK
pada anak laki laki
mungkin tegak hanya dengan organisme
yang sudah
tunggal 10.000-50.000 CFU / mL.*
disirkumsisi

Urin pancaran tengah


ISK diindikasikan bila patogen urin >
pada anak perempuan
100.000 CFU / mL ditemukan pada pasien
atau anak laki laki
simtomatik (dengan gejala). Piuria
yang belum
biasanya muncul pada pasien.
disirkumsisi

Jika pasien tidak menunjukkan gejala,


pertumbuhan bakteri biasanya> 100.000
CFU / mL berupa organisme yang sama
Metode yang lain
pada hari yang berbeda. Jika tidak ada
piuria, kuantitas ini mungkin lebih
mengindikasikan kolonisasi daripada ISK.
*Pasien yang sering berkemih kebanyakan terdapat proliferasi bakteri pada
kandung kemih dengan kehadiran jumlah koloni yang sedikit.

Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan untuk menunjang


menegakkan diagnosis infeksi saluran kemih, antara lain:
1. Urinalisis
a. Eritrosit. Ditemukannya eritrosit dalam urin (hematuria) dapat
adalah penanda bagi berbagai penyakit glomeruler maupun non-
gromeruler. Penyakit non-gromeluler seperti batu saluran kemih
dan infeksi saluran kemih.

34
b. Piuria. Piuria atau sedimen leukosit dalam urin yang didefinisikan
oleh Stamm, bila ditemukan paling sedikit 8000 leukosit per ml
urin yang tidak disentrifus atau setara dengan 2-5 leukosit per
lapangan pandang besar pada urin yang di sentrifus. Infeksi saluran
kemih dapat dipastikan bila terdapat leukosit sebanyak > 10 per
mikro liter urin atau > 10.000 per ml urin. Piuria yang steril dapat
ditemukan pada keadaan :14 infeksi tuberculosis, urin
terkontaminasi dengan antiseptic, urin terkontaminasi dengan
leukosit vagina, nefritis intersisial kronik (nefropati analgetik),
nefrolitiasis, dan tumor uroepitelial
c. Silinder. Silinder dalam urin dapat memiliki arti dalam diagnosis
penyakit ginjal, antara lain :14
i. Silinder eritrosit, sangat diagnostic untuk glomerulonefritis
atau vaskulitis ginjal
ii. Silinder leukosit bersama dengan hanya piuria, diagnostic
untuk pielonefritis
iii. Silinder epitel, dapat ditemukan pada nekrosis tubuler akut
atau pada gromerulo nefritis akut
iv. Silinder lemak, adalah penanda untuk sindrom anefrotik bila
ditemukan bersaman dengan proteinuria nefrotik.
d. Kristal. Kristal dalam urin tidak identik dengan infeksi saluran
kemih, namun diagnostik untuk penyakit ginjal
e. Bakteri. Bakteri dalam urin yang ditemukan dalam urinalisis tidak
identik dengan infeksi saluran kemih, lebih sering hanya
disebabkan oleh kontaminasi.14
2. Bakteriologis
a. Mikroskopis, pada pemeriksaan mikroskopis dapat digunakan urin
segar tanpa diputar atau pewarnaan gram. Bakteri dinyatakan
positif bila dijumpai satu bakteri lapangan pandang minyak emersi.

35
b. Biakan bakteri, pembiakan bakteri sedimen urin dimaksudkan
untuk memastikan diagnosis ISK yaitu bila ditemukan bakteri
dalam jumlah bermakna sesuai kriteria Catteli. 11,12

Tabel 4. Kriteria Catteli untuk diagnosis bakteriuria yang bermakna.11,12


Wanita, simtomatik
102 organisme koliform/ mL urin plus piuria atau
105 organisme pathogen apapun/ mL urin atau
Tumbuhnya organism pathogen apapun pada urin yang diambil dengan
cara aspirasi suprapubik.
Laki-laki, simtomatik
103 organisme patogen/ mL urin
Pasien asimtomatik
105 organisme patogen/ mL urin pada 2 sampel urin berurutan

3. Tes Kimiawi. Beberapa tes kimiawi dapat dipakai untuk penyaring adanya
bakteriuria, di antaranya yang paling sering dipakai ialah tes reduksi griess
nitrate. Dasarnya ialah sebagian besar mikroba kecuali enterococci
mereduksi nitrat.11,12
4. Tes Plat Celup (Dip-Slide). Beberapa pabrik mengeluarkan biakan
buatan yang berupa lempengan plastic bertangkai dimana pada kedua sisi
permukaannya dilapisi pembenihan padat khusus. Lempengan tersebut
dicelupkan kedalam urin pasien atau dengan digenangi urin. Setelah itu
lempengan dimasukkan kembali ke dalam tabung plastic tempat
penyimpanan semula, lalu diletakkan pada suhu 37oC selama satu malam.
Penentuan jumlah kuman /mL dilakukan dengan membandingkan pola
pertumbuhan kuman dengan serangkaian gambar yang memperlihatkan
keadaan kepadatan koloni yang sesuai dengan jumlah kuman antara 1000
dan 10.000.000 dalam tiap mL urin yang diperiksa. Cara ini mudah
dilakukan, murah dan cukup adekuat. Kekurangannya ialah jenis kuman
dan kepekaannya tidak dapat diketahui.11,12

36
H. Pemeriksaan Pencitraan11
Pemeriksaan radiologis pada ISK dimaksudkan untuk mengetahui
adanya batu atau kelainan anatomis yang adalah faktor predisposisi ISK.
Pemeriksaan ini dapat berupa foto polos abdomen, pielonegrafi intravena,
demikian pula dengan pemeriksaan lainnya, misalnya ultrasonografi dan
CT-Scan. Dilakukan bila telah dikonfirmasi dengan kultur urin kuantitaif.
Dapat berupa pemeriksaan :
1. USG
a. Pemeriksaan USG dilakukan dari saluran kemih pada bayi, anak
kecil, atau remaja dengan diagnosis pertama pyelonefritis akut.
b. USG mungkin terabaikan untuk anak perempuan >2 tahun dengan
episode sistitis akut pertama maupun kedua, bila respon terapi cepat
dan memuaskan.
c. Pada kasus sistitis akut, USG saluran kemih bayi perempuan dan
laki-laki diperlukan jika merupakan ISK yang pertama kali.
2. Voiding cystourethrogram (VCUG)
a. Lakukan VCUG pada pasien anak dengan pielonefritis akut yang
belum pernah melakukan pemeriksaan pencitraan saluran kemih
sebelumnya.
b. Beberapa klinisi melakukan VCUG pada pasien yang berusia >4-5
tahun dengan pielonefritis akut yang memiliki pola berkemih yang
normal ketika tak terinfeksi.
c. VCUG tidak diperlukan untuk menilai anak dengan sistitis akut yang
telah berespon cepat terhadap terapi, kecuali USG saluran kemih tak
normal.
d. VCUG dapat dilakukan bila urin bersih dari bakteri dan piuria dan
kemampuan berkemih telah kembali seperti sebelumnya.
e. Beberapa klinisi merekomendasikan menunggu 4-6 minggu untuk
dilakukan VCUG. Bila anak dalam terapi antibakteri pada masa ini,
rekomendasi ini diterima.

37
I. Terapi11
Penting untuk memberikan terapi empirik pada anak dengan hasil
kultur urin positif. Terapi antibiotik secara parenteral maupun oral
diberikan kepada anak yang lebih muda yang tidak menunjukkan gejala
tetapi memiliki hasil kultur urin positif. Pada anak-anak yang memiliki
kecurigaaan ISK yang terlihat sakit berat, dehidrasi, ataupun dengan asupan
cairan yang tidak adekuat, pemberian terapi inisial antibiotik harus secara
parenteral, dan perawatan di rumah sakit perlu dipertimbangkan.
Neonatus dengan ISK diterapi selama 10-14 hari dengan
pemberian antibiotik secara parenteral. Pada anak yang lebih besar dengan
sistisis akut diterapi selama 7-14 hari dengan antibiotik oral. Resistensi
antibiotik golongan penisilin, misalnya amoksisilin dilaporkan meningkat.
Trimethorprim-sulfamethoxaxole sering digunakan walaupun angka
resistensi juga semakin meningkat. Golongan antibiotik yang memiliki efek
terapi yang baik seperti golongan sefalosporin generasi ketiga lebih mahal
harganya walaupun terbukti efektif. Anak dengan demam tinggi ataupun
dengan manifestasi klinis pielonefritis akut lainnya seringkali memerlukan
perawatan inap untuk mendapatkan terapi inisial antibiotik parenteral.
Pasien yang mengalami gejala toksik sistemik seperti menggigil dan demam
tinggi harus dirawat inap dan diterapi dengan sefotaksim dan gentamisin
intravena ataupun preparat aminoglikosida lainnya. Bila pasien telah
menjadi lebih baik dan afebris, terapi oral dengan preparat yang disesuaikan
dengan hasil kultur diberikan untuk melanjutkan terapi antibiotik hingga
total mencapai 7 sampai 14 hari.
Memperbaiki dan mempertahankan hidrasi yang adekuat termasuk
koreksi kelainan elektrolit yang seringkali terjadi akibat muntah ataupun
asupan yang tidak adekuat sangat penting. Bayi yang tidak menunjukkan
respon perbaikan klinik dalam dua hari setelah pemberian terapi
antimikrobial harus dievaluasi ulang dan dilakukan pengambilan ulang
spesimen urine untuk dikultur, serta menjalani pemeriksaan ultrasonografi,
pemeriksaan VCUG, ataupun sistografi radionuklida segera. 14

38
Anak - anak dengan pieloneritis akut umumnya memerlukan cairan
oral atau parenteral dan antipiretik, sesegera terapi antibakteri. Asupan yang
sesuai adalah 1-1,5 kali kebutuhan rumatan biasa. Pada penyakit yang lebih
ringan dapat diberikan cairan parenteral, pemberian antibakteri, dan dapat
dirawat di rumah. Pada keadaan yang lebih berat seringnya perlu perawatan
lebih.
Perawatan khusus pada anak dengan pielonefritis akut yang
terkomplikasi meliputi :
1. Penyediaan cairan parenteral yang sesuai, umumnya 1-1,5 kali lebih
banyak dari rumatan biasanya.
2. Pengobatan dengan cephalosporin generasi ketiga, ceftriaxone, atau
cefotaxime. Tambahkan ampicillin bila terdapat kokus gram positif
dalam sedimen urin atau bila tak ditemukan kuman. Gentamicin
sebagai pilihan lain pada bayi cukup bulan yang >7 hari, anak yang
lebih dewasa dan remaja yang alergi cephalosporin. Monitor fungsi
ginjal dan kadar aminoglikosida darah perlu dilakukan bila
pengobatan ini berlanjut lebih dari 48-72 jam.
3. Kultur urin dan tes sensitivitas dapat dilakukan pada 48 jam. Bila
kuman patogen sensitif terhadap antibiotik yang digunakan,
lanjutkan terapi dengan rute parenteral hingga ada perbaikan klinis
dan tidak demam setelah 24-36 jam. Antibiotik oral yang efektif
melawan organisme yang menginfeksi kemudian digantikan dengan
antiobiotik parenteral. Lanjutan terapi antibiotik oral kira-kira untuk
10 hari setelah terapi parenteral berakhir. Lalu dilanjutkan dengan
terapi antibiotik untuk mencegah reinfeksi, diteruskan minimal
hingga dilakukan VCUG.

Tabel 5. Daftar Antibiotik untuk Kasus ISK

Dosis harian dan interval


Antibiotik
pemberian

39
120-150 mg/kg, dalam dosis
Sulfisoxazole
terbagi setiap 4-6 jam

6-12 mg/kg TMP, 30-60 mg/kg


Trimethoprim/sulfamethoxazole
SMX, per 12 jam

Amoxicillin* 20-40 mg/kg, per 8 jam

Cephalexin 20-50 mg/kg, per 6 jam

Cefixime 8 mg/kg, per 12 24 jam

Cefpodoxime 10 mg/kg, per 12 jam

Loracarbef 15-30 mg/kg, per 12 jam

Nitrofurantoin 5-7 mg/kg, per 6 jam


*Pada beberapa komunitas, sebagian besar strain E. Coli resisten terhadap
amoxicillin

Nitrofurantoin mungkin dapat digunakan untuk mengobati ISK bawah, tapi


karena rendahnya daya penetrasi ke jaringan, nitrofurantoin tak sesuai untuk
infeksi ginjal.

Tabel 6. Obat Antibiotik untuk Mencegah Reinfeksi.

Obat Dosis Harian

Nitrofurantoin* 1-2 mg/kg

1-2 mg/kg TMP, 5-10 mg/kg


Trimethoprim/sulfamethoxazole*
SMX

Trimethoprim 1-2 mg/kg


*Jangan menggunakan nitrofurantoin dan sulfa pada bayi
Penanganan anak dengan sistitis akut meliputi :
1. Anak dengan sistitis akut biasanya tidak memerlukan perawatan medis
khusus, selain terapi antibiotik yang sesuai dan menilai kembali frekuensi

40
urin dan masalah inkontinensia. Pada keadaan tertentu, analgesik
diperlukan untuk disuria atau spasme kandung kemih yang berat.
2. Bila respon klinis tak bagus setelah 2-3 hari, penggantian terapi mungkin
diperlukan. Dan bila memuaskan, terapi tak perlu diganti, walaupun data
laboratorium menunjukkan bahwa bakteri tak sesuai dengan antibiotik
yang digunakan.
3. Diikuti selama 5-7 hari untuk mengikuti gejala klinis dan mengevaluasi
ulang urinnya. Secara umum, terapi antibiotik selama 5-7 hari cukup
untuk anak dengan sistitis akut. Dosis tunggal dapat digunakan pada
remaja perempuan dengan sistitis akut. Terapi dosis tungal biasanya
dapat menggunakan amoxicillin (3 gram) atau trimethroprim/
sulfamethoxazole (320 mg/1600 mg, 2 tablet kekuatan ganda).
4. Berendam di air hangat selama 20-30 menit, 3-4 x per hari, sering
meringankan gejala. Dan penggunaan analgesik sistemik dengan
asetaminofen atau analgesik di kandung kemih dengan phenazopyridine
hydrochloride (Pyridium) dapat sangat membantu, dan tak boleh
digunakan lebih dari 48 jam karena resiko methemoglobinemi, anemia
hemolitik, dan efek samping lain.
5. Pasien dengan ketidaknyamanan berkemih berat dapat diperingan dengan
pemberian belladona dan opium suppositoria rektal yang sesuai. Tak
boleh digunakan lebih dari 4 kali sehari dan tak lebih dari 2 hari.
Pada anak 2 bulan 2 tahun dengan kecurigaan ISK dan tampak
sakit berat, antibiotik dapat diberikan secara parenteral. Perawatan di
rumah sakit diindikasikan jika ada gejala sepsis atau bakteremia.
Sebagian pihak mengindikasikan perawatan di rumah sakit dan
pemberian antibiotik parenteral pada anak di bawah 6 bulan. Sedangkan
pada anak yang tidak tampak sakit berat, antibiotik yang diberikan
umumnya per oral (diminum). Beberapa antibiotik yang dapat digunakan
adalah :

41
1. Amoxicillin 20-40 mg/kg/hari dalam 3 dosis. Sekitar 50% bakteri
penyebab ISK resisten terhadap amoxicillin. Namun obat ini masih dapat
diberikan pada ISK dengan bakteri yang sensitif terhadapnya.
2. Co-trimoxazole atau trimethoprim 6-12 mg trimethoprim/kg/hari dalam 2
dosis. Sebagian besar ISK akan menunjukkan perbaikan dengan
cotrimoxazole. Penelitian menunjukkan angka kesembuhan yang lebih
besar pada pengobatan dengan cotrimoxazole dibandingkan amoxicillin.
3. Cephalosporin seperti cefixime atau cephalexin. Cephalexin kira-kira
sama efektif dengan cotrimoxazole, namun lebih mahal dan memiliki
spektrum luas sehingga dapat mengganggu bakteri normal usus atau
menyebabkan berkembangnya jamur (Candida sp.) pada anak
perempuan.
4. Co-amoxiclav digunakan pada ISK dengan bakteri yang resisten terhadap
cotrimoxazole. Harganya juga lebih mahal dari cotrimoxazole atau
cephalexin.
5. Obat-obatan seperti asam nalidiksat atau nitrofurantoin tidak digunakan
pada anak-anak yang dikhawatirkan mengalami keterlibatan ginjal pada
ISK. Selain itu nitrofurantoin juga lebih mahal dari cotrimoxazole dan
memiliki efek samping seperti mual dan muntah.
Lama pemberian antibiotik pada ISK umumnya adalah 7 hari
pada infeksi akut. Walaupun ada pihak yang menganjurkan 10-14 hari,
namun pemberian dalam waktu sepanjang itu memberikan kemungkinan
lebih besar untuk terjadinya resistensi, gangguan bakteri normal di usus
dan vagina, dan menyebabkan candidiasis. Sedangkan pengobatan
parenteral umumnya dilakukan dengan cephalosporin seperti ceftriaxone
75 mg/kg setiap 24 jam. Sebagian pihak memilih gentamicin 7.5 mg/kg
per 24 jam dan benzylpenicillin 50 mg/kg per 6 jam untuk anak di atas 1
bulan.
Selain antibiotik, pengobatan yang dapat dilakukan untuk
mengurangi gejala contohnya adalah penurun demam jika diperlukan.

42
Obat-obatan lain yang pada orang dewasa digunakan untuk ISK,
umumnya tidak dianjurkan untuk diberikan pada anak-anak.
Jika tidak ada perbaikan dalam 2 hari setelah pengobatan, contoh
urin harus kembali diambil dan diperiksa ulang. Kultur ulang setelah 2
hari pengobatan umumnya tidak diperlukan jika diperoleh perbaikan dan
bakteri yang dikultur sebelumnya sensitif terhadap antibiotik yang
diberikan. Jika sensitivitas bakteri terhadap antibiotik yang diberikan atau
tidak dilakukan tes sensitivitas/resistensi sebelumnya, maka kultur ulang
dilakukan setelah 2 hari pengobatan.

J. Perawatan Lanjutan13
Perawatan lebih lanjut diperlukan pada pasien yang dirawat
dengan pielonefritis akut :
1. Berikan antibiotik untuk mencegah infeksi, minimal hingga
dilakukan VCUG.
2. Walaupun beberapa klinisi tak melanjutkan terapi antibakteri 1-2 hari
setelah VCUG, bila VUP didapatkan, dan lebih lama bila refluks
hadir.
Perawatan lebih lanjut pada pasien yang tak dirawat inap dilakukan
pada pasien pielonefritis akut yang tak ada komplikasi, berupa :
1. Walaupun anak dengan ISK disertai demam mungkin dapat
dikualifikasikan sebagai pasien yang tak dirawat, tetapi masih
memiliki resiko kerusakan ginjal. Penggunaan terapi oral
cephalosporin generasi ketiga efektif sebagai terapi tradisional pada
pasien yang dirawat secara parenteral.
2. Bila pasien tak alergi terhadap cephalosporin, terapi awal dengan
ceftriaxone dosis tunggal. (75 mg/kg IV/IM tiap 12-24jam)
3. Bila pasien alergi cephalosporin, dapat digunakan gentamicin (2,5
mg/kg IV/IM dosis tunggal)
4. Terapi awal dengan antibakteri oral dengan dosis terapeutik tiap 12-
18 jam.

43
K. Pemeriksaan Lanjutan13
Setelah pemberian antibiotik selesai dan urin sudah steril, dilakukan
pemeriksaan lanjutan pada anak dengan ISK. Pemeriksaan lanjutan yang
dilakukan adalah :
1. Ultrasonografi ginjal, ureter, dan kandung kemih. Pemeriksaan ini
dilakukan pada semua anak dengan ISK sesegera mungkin.
2. DMSA (Dimercaptosuccinic acid nuclear scan) scan. Pemeriksaan
ini terutama untuk melihat fungsi saluran kemih. DMSA scan masih
diperdebatkan batasan usianya. Namun biasanya dilakukan pada
anak di bawah 5 tahun dengan hasil ultrasonografi yang tidak
normal. Umumnya dilakukan 2 bulan setelah episode ISK untuk
memberi waktu perbaikan pada saluran kemih. Selama menunggu
dilakukannya pemeriksaan ini, beberapa pihak menganjurkan
pemberian antibiotik dosis rendah.
3. Cystogram. Pemeriksaan ini adalah pemeriksaan kandung kemih
yang juga masih diperdebatkan batasan usianya. Namun umumnya
dilakukan pada anak di bawah usia 1 tahun atau anak dengan hasil
ultrasonografi atau DMSA yang tidak normal.
Pemeriksaan-pemeriksaan tersebut dilakukan lebih awal jika tidak ada
perbaikan setelah 2 hari pemberian antibiotik.

L. Komplikasi11
Komplikasi yang mungkin timbul antara lain :
1. Reaksi alergi merupakan resiko terapi antibiotik.
2. Anak dengan pielonefritis akut dapat berkembang menjadi inflamasi
lobus ginjal atau abses ginjal.
3. Inflamasi parenkim ginjal dapat mengawali pembentukan jaringan
parut.
4. Komplikasi jangka panjang dari pielonefritis akut adalah hipertensi,
fungsi ginjal terganggu, ESRD (end stage renal disease), dan

44
komplikasi terhadap kehamilan (ISK, hipertensi pada kehamilan,
bayi berat lahir rendah).

M. Prognosis
Kerusakan ginjal pada komplikasi jangka panjang sebagai
konsekuensi dari ISK kadang-kadang ditemukan di awal abad ke-20,
ketika pielonefritis akut menjadi sebab sering hipertensi dan ESRD pada
perempuan muda. Hipertensi, fungsi ginjal terganggu, ESRD sekarang
sering didapatkan pada bayi dengan kerusakan ginjal intrauterine. Anak
dengan resiko komplikasi ini biasanya ditemukan dengan USG saluran
kemih yang menunjukkan hidronefrosis. Penelitian pada neonatus
menyebutkan bahwa kerusakan ginjal terkait dengan obstruksi di saluran
keluar kandung kemih atau hidronefrosis non obstruktif karena VUP yang
berat. Anak ini mungkin mendapat tambahan kerusakan ginjal sebagai
hasil dari infeksi, tetapi ISK bukan faktor utama penyebab komplikasi
renal.

N. Pencegahan
Pencegahan primer dicapai dengan cara menjaga higiene area
perineum dan pengelolaan faktor risiko yang mendasari terjadinya ISK
seperti konstipasi kronik, enkopresis, dan inkontinensia urin pada siang
hari maupun malam hari. Pencegahan sekunder ISK dengan pemberian
antibiotik profilaksis yang diberikan sekali sehari, dilakukan untuk
mencegah terjadinya infeksi berulang, walaupun pengaruh profilaksis
sekunder untuk mencegah terjadinya jaringan parut pada ginjal tidak
diketahui. Pengasaman urin dengan jus cranberry tidak direkomendasikan
sebagai terapi profilaksis tunggal untuk pencegahan ISK pada anak-anak
yang berisiko tinggi.14

II. Fimosis

45
A. Definisi
Fimosis (Phimosis) merupakan salah satu gangguan yang timbul
pada organ kelamin bayi laki-laki, yang dimaksud dengan fimosis adalah
keadaan dimana kulit kepala penis (preputium) melekat pada bagian
kepala (glans) dan mengakibatkan tersumbatnya lubang di bagian air
seni, sehingga bayi dan anak kesulitan dan kesakitan saat kencing,
kondisi ini memicu timbulnya infeksi kepala penis (balantis). Jika
keadaan ini dibiarkan dimana muara saluran kencing di ujung penis
tersumbat maka dokter menganjurkan untuk disunat. Tindakan ini
dilakukan dengan membuka dan memotong kulit penis agar ujungnya
terbuka.24 Sebenarnya yang berbahaya bukanlah fimosis sendiri, tetapi
kemungkinan timbulnya infeksi pada uretra kiri dan kanan, kemudian ke
ginjal. Infeksi ini dapat menimbulkan kerusakan pada ginjal.
Apabila preputium melekat pada glans penis, maka cairan smegma,
yaitu cairan putih kental yang biasanya mengumpul di antara kulit kulup
dan kepala penis akan terkumpul di tempat itu, sehingga mudah terjadi
infeksi. Umumnya tempat yang diserang infeksi adalah ujung penis,
sehingga disebut balantis. Sewaktu anak buang air kecil, anak akan
menjadi rewel dan yang terlihat adalah kulit preputium terbelit dan
menggelembung.
Fimosis bisa merupakan kelainan bawaan sejak lahir (kongenital)
maupun didapat. Fimosis kongenital (true phimosis) terjadi apabila kulit
preputium selalu melekat erat pada glans penis dan tidak dapat ditarik ke
belakang pada saat lahir, namun seiring bertambahnya usia serta
diproduksinya hormon dan faktor pertumbuhan, terjadi proses
keratinisasi lapisan epitel dan deskuamasi antara glans penis dan lapis
bagian dalam preputium sehingga akhirnya kulit preputium terpisah dari
glans penis.24

B. Epidemiologi
Hanya sekitar 4% bayi yang seluruh kulit preputiumnya dapat
ditarik ke belakang penis pada saat lahir, namun mencapai 90% pada saat

46
usia 3 tahun dan hanya 1-1,5% laki-laki berusia 17 tahun yang masih
mengalami fimosis kongenital. Walaupun demikian, penelitian lain
mendapatkan hanya 20% dari 200 anak laki-laki berusia 5-13 tahun yang
seluruh kulit preputiumnya dapat ditarik ke belakang penis.25

C. Etiologi
Fimosis pada bayi laki-laki yang baru lahir terjadi karena ruang di
antara kutup dan penis tidak berkembang dengan baik. Kondisi ini
menyebabkan kulup menjadi melekat pada kepala penis, sehingga sulit
ditarik ke arah pangkal. Penyebabnya, bisa dari bawaan dari lahir atau
didapat, misalnya karena infeksi atau benturan.24
Kelainan ini juga menyebabkan bayi/anak sukar berkemih.
Kadang-kadang begitu sukar sehingga kulit preputium menggelembung
seperti balon. Bayi/anak sering menangis keras sebelum urin keluar.
Keadaan demikian lebih baik segera disunat, tetapi kadang orangtua tidak
tega karena bayi masih kecil. Untuk menolongnya dapat dicoba dengan
melebarkan lubang preputium dengan cara mendorong ke belakang kulit
preputium tersebut dan biasanya akan terjadi luka. Untuk mencegah
infeksi dan agar luka tidak merapat lagi pada luka tersebut dioleskan
salep antibiotik. Tindakan ini mula-mula dilakukan oleh dokter,
selanjutnya di rumah orangtua sendiri diminta melakukannya seperti
yang dilakukan dokter (pada orang barat sunat dilakukan pada seorang
bayi laki-laki ketika masih dirawat/ketika baru lahir). Tindakan ini
dimaksudkan untuk kebersihan/mencegah infeksi karena adanya
smegma, bukan karena keagamaan.25
Adanya smegma pada ujung preputium juga menyulitkan bayi
berkemih maka setiap memandikan bayi hendaknya preputium didorong
ke belakang kemudian ujungnya dibersihkan dengan kapas yang telah
dijerang dengan air matang.
Untuk mengetahui adanya kelainan saluran kemih pada bayi, tiap
bayi baru lahir harus diperhatikan apakah bayi telah berkemih setelah

47
lahir atau paling lambat 24 jam setelah lahir. Perhatikan apakah urin
banyak atau sedikit sekali. Bila terdapat gangguan ekskresi bayi akan
terlihat sembab pada mukanya. Atau bila kelainan lain misalnya kista
akan terlihat perut bayi lebih besar dari normal. Jika menjumpai kelainan
tersebut beritahu dokter. Sampai bayi umur 3 hari pengeluaran urin tidak
terpengaruh oleh pemberian cairan. Baru setelah umur 5 hari dapat
terpengaruh.24

D. Gejala
Gejala yang sering terjadi pada fimosis di antaranya26:
1. Bayi atau anak sukar berkemih
2. Kadang-kadang begitu sukar sehingga kulit preputium
menggelembung seperti balon
3. Kulit penis tidak bisa ditarik ke arah pangkal
4. Penis mengejang pada saat buang air kecil
5. Bayi atau anak sering menangis sebelum urin keluar atau aiir seni
keluar tidak lancer
6. Timbul infeksi

E. Patofisiologi
Fimosis dialami oleh sebagian besar bayi baru lahir, karena
terdapat adesi alamiah antara preputium dengan glans penis. Sampai usia
3-4 tahun, penis tumbuh dan berkembang. Debris yang dihasilkan oleh
epitel preputium (smegma) mengumpul di dalam preputium dan
perlahan-lahan memisahkan preputium dengan glans penis. Smegma
terjadi dari sel-sel mukosa preputium dan glans penis yang mengalami
deskuamasi oleh bakteri yang ada di dalamnya.
Ereksi penis yang terjadi secara berkala membuat preputium
terdilatasi perlahan-lahan sehingga preputium menjadi retraktil dan dapat
ditarik ke arah proksimal. Pada usia 3 tahun, 90% preputium sudah dapat
diretraksi. Pada sebagian anak, preputium tetap lengket pada glans penis,

48
sehingga ujung preputium mengalami penyimpangan dan akhirnya dapat
mengganggu fungsi miksi.
Biasanya anak menangis dan pada ujung penis tampak
menggelembung. Air kemih yang tidak lancar, kadang-kadang menetes
dan memancar dengan arah yang tidak dapat diduga. Kalau sampai
terjadi infeksi, anak akan menangis setiap buang air kecil dan dapat pula
disertai demam. Ujung penis yang tampak menggelembung disebabkan
oleh adanya penyempitan pada ujung preputium karena terjadi
perlengketan dengan glans penis yang tidak dapat ditarik ke arah
proksimal. Adanya penyempitan tersebut menyebabkan terjadi gangguan
aliran urin pada saat miksi. Urine terkumpul di ruang antara preputium
dan glans penis, sehingga ujung penis tampak menggelembung.

49
Gambar 3. Mekanisme Fimosis24

F. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada anak /bayi yang mengalami
fimosis, antara lain terjadinya infeksi pada uretra kanan dan kiri akibat
terkumpulnya cairan smegma dan urine yang tidak dapat keluar
seluruhnya pada saat berkemih. Infeksi tersebut akan naik mengikuti
saluran urinaria hingga mengenai ginjal dan dapat menimbulkan
kerusakan pada ginjal.24
Pada 90% laki-laki yang dikhitan kulup zakar menjadi dapat ditarik
kembali (diretraksi) pada umur 3 tahun. Ketidakmampuan untuk
meretraksi kulup zakar sebelum umur ini dengan demikian fimosis
patologis dan fimosis merupakan indikasi untuk dikhitan. Fimosis adalah

50
ketidakmampuan kulup zakar untuk diretraksi pada umur tertentu yang
secara normal harus dapat diretraksi. Fimosis dapat kongenital/sekuele
radang. Fimosis yang sebenarnya biasanya memerlukan bedah
pelebaran/pembesaran cincin fimosis/khitan. Akumulasi smegma di buah
kulup zakar infatil fimosis patologis dan fimosis memerlukan pengobatan
bedah.25

G. Tatalaksana
Tidak dianjurkan melakukan retraksi yang dipaksakan pada saat
membersihkan penis, karena dapat menimbulkan luka dan terbentuk
sikatriks pada ujung preputium sehingga akan terbentuk fimosis
sekunder. Fimosis yang disertai balaniits xerotica obliterans dapat
diberikan salep deksamethasone 0,1% yang dioleskan 3-4 kali sehari, dan
diharapkan setelah 6 minggu pemberian, preputium dapat diretraksi
spontan.
Fimosis dengan keluhan miksi, menggelembungnya ujung
preputium pada saat miksi, atau infeksi prostitis merupakan indikasi
untuk dilakukan sirkumsisi. Fimosis yang disertai balantis atau prostitis
harus diberikan antibiotika lebih dahulu sebelum dilakukan sirkumsisi.
Jika fimosis menyebabkan hambatan aliran air seni, diperlukan tindakan
sirkumsisi (membuang sebagian atau seluruh bagian kulit preputium)
atau teknik bedah lainnya seperti preputioplasty (memperlebar bukaan
kulit preputium tanpa memotongnya). Indikasi medis utama
dilakukannya tindakan sirkumsisi pada anak-anak adalah fimosis
patologik
Penatalaksanaan fimosis yang dapat dilakukan terbagi menjadi dua,
yakni secara medis dan secara konservatif.26
1. Penatalaksanaan secara medis
a. Dilakukan tindakan sirkumsisi (membuang sebagian atau
seluruh bagian kulit preputium).

51
b. Dilakukan tindakan teknik bedah preputioplasty
(memperlebar bukaan kulit preputium tanpa
memotongnya).
2. Penatalaksanaan secara konservatif. Cara menjaga kebersihan
pada fimosis adalah dengan menjaga kebersihan bokong dan
penis.
a. Bokong. Area bokong sangat mudah terkena masalah
karena sering terpapar dengan popok basah dan terkena
macam-macam iritasi dari bahan kimia serta
mikroorganisme penyebab infeksi air kemih atau tinja,
maupun gesekan dengan popok atau baju. Biasanya,
akan timbul gatal-gatal dan merah di sekitar bokong.
Meski tidak semua bayi mengalaminya, namun pada
beberapa bayi, gatal-gatal dan merah di bokong
cenderung berulang timbul. Tindak pencegahan yang
penting adalah mempertahankan area ini tetap kering dan
bersih. Tindakan yang sebaiknya dilakukan adalah
sebagai berikut:
i. Jangan gunakan diapers sepanjang hari. Cukup saat
tidur malam atau bepergian.
ii. Jangan berganti-ganti merek diapers. Gunakan
hanya satu merek yang cocok dengan bayi
iii. Lebih baik gunakan popok kain. Jika terpaksa
memakai diapers, kendurkan bagian paha untuk
ventilasi dan seringlah menggantinya (tiap kali
sehabis buang air kecil atau besar).
iv. Tak ada salahnya sesekali membiarkan bokongnya
terbuka. Pastikan suhu ruangan cukup hangat
sehingga ia tidak kedinginan.

52
v. Jika peradangan kulit karena popok pada bayi tidak
membaik dalam 1-2 hari atau lebih bila timbul lecet
atau bintil-bintil kecil, hubungi dokter.
b. Penis. Tindakan yang sebaiknya dilakukan pada area
penis adalah sebagai berikut :
i. Sebaiknya setelah BAK, penis dibersihkan denga air
hangat menggunakan kassa. Membersihkannya
harus sampai selangkangan, jangan digosok-gosok.
Cukup diusap dari atas ke bawah dengan satu arah
sehingga bisa bersih dan yang kotor bisa hilang.
ii. Setiap selesai BAK, popok selalu diganti agar
kondisi penis tidak iritasi.
iii. Setelah BAK, penis jangan dibersihkan dengan
sabun yang banyak karena bisa menyebabkan iritasi.
iv. Memberikan salep kortikoid (0,05-0,1%) 2 kali per
hari selama 20-30 hari. Terapi ini tidak dianjurkan
bagi bayi dan anak-anak yang masih memakai
popok, tetapi dapat dipertimbangkan untuk usia
sekitar 3 tahun.26

53
Gambar 4. Alur Tatalaksana Fimosis26

54
III. Growth Chart

55
Gambar 5. Kurva Pertumbuhan WHO

Cara Menggunakan Grafik Pertumbuhan WHO


1. Tentukan umur, panjang badan (anak di bawah 2 tahun)/tinggi badan (anak
di atas 2 tahun), berat badan.
2. Tentukan angka yang berada pada garis horisontal / mendatar pada kurva.
Garis horisontal pada beberapa kurva pertumbuhan WHO menggambarkan
umur dan panjang / tinggi badan.
3. Tentukan angka yang berada pada garis vertikal/lurus pada kurva. Garis
vertikal pada kurva pertumbuhan WHO menggambarkan panjang/berat
badan, umur, dan IMT.
4. Hubungkan angka pada garis horisontal dengan angka pada garis vertikal
hingga mendapat titik temu (plotted point). Titik temu ini merupakan
gambaran perkembangan anak berdasarkan kurva pertumbuhan WHO.

56
Cara Menginterpretasikan Kurva Pertumbuhan WHO
1. Garis 0 pada kurva pertumbuhan WHO menggambarkan median, atau
rata-rata
2. Garis yang lain dinamakan garis z-score. Pada kurva pertumbuhan
WHO garis ini diberi angka positif (1, 2, 3) atau negatif (-1, -2, -3). Titik
temu yang berada jauh dari garis median menggambarkan masalah
pertumbuhan.
3. Titik temu yang berada antara garis z-score -2 dan -3 diartikan di bawah
-2.
4. Titik temu yang berada antara garis z-score 2 dan 3 diartikan di atas 2.
5. Untuk menginterpretasikan arti titik temu ini pada kurva pertumbuhan
WHO dapat menggunakan tabel berikut ini.

Tabel 7. Z-Skor Menurut Acuan WHO

Catatan :
1. Anak dalam kelompok ini berperawakan tubuh tinggi. Hal ini tidak
masih normal. Singkirkan kelainan hormonal sebagai penyebab
perawakan tinggi.

57
2. Anak dalam kelompok ini mungkin memiliki masalah pertumbuhan
tapi lebih baik jika diukur menggunakan perbandingan beratbadan
terhadap panjang / tinggi atau IMT terhadap umur.
3. Titik plot yang berada di atas angka 1 menunjukan berisiko gizi lebih.
Jika makin mengarah ke garis Z-skor 2 resiko gizi lebih makin
meningkat.
4. Mungkin untuk anak dengan perawakan pendek atau sangat pendek
memiliki gizi lebih.
5. Hal ini merujuk pada gizi sangat kurang dalam modul pelatihan IMCI
(Integrated Management of Childhood Illness in-service training.
WHO, Geneva, 1997

58
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang, pasien tersebut didiagnosis dengan infeksi saluran kemih
dan fimosis dengan status gizi baik.
2. Pada pasien tersebut telah dilakukan penanganan yang tepat sesuai
dengan Pedoman Pelayanan Medis IDAI 2011 dan Konsensus Infeksi
Saluran Kemih IDAI 2011.

B. Saran
1. Setelah pasien diperbolehkan pulang, sebaiknya dilakukan follow up
kembali untuk mengevaluasi hasil pengobatan.
2. Perlu edukasi pada keluarga pasien untuk menjaga kebersihan
lingkungan dan diri sendiri untuk mencegah terjadinya sakit yang
berulang.
3. Perlu edukasi keluarga untuk konsultasi dengan dokter spesialis bedah
untuk penatalaksanaan fimosis.

59
DAFTAR PUSTAKA

1. Dorland WAN. (2002). Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Dalam :


Hartantod H., et al., (penyunting). Jakarta: EGC. pp. 137-139.
2. Akram M, Shahid M, Khan AU. (2007). Etiology and Antibiotic
Ressistance Patterns of Community-Acquired Urinary Tract Infection.
Annals of Clinical Microbiology and Antimicrobials; 6(4): pp 1-7.
3. Rusdijas, Ramayati R. (2002). Infeksi Saluran Kemih. Dalam : Alatas H.
Tambunan T,Trihono PP, (penyunting). Buku Ajar Nefrologi Anak.
Jakarta: IDAI. pp. 142-163.
4. Lee JBL, Neild GH. (2007). Urinary Tract Infection. Medicine; 35(8): pp.
423-428.
5. Rubin MI. (2005). Infection of the Urinary Tract. Dalam: Ruben MI,
Barratt M. Pediatric Nephrology. Baltimore: Williams & Wilkins
Company. pp. 608-641.
6. Jones VK, Asscher. (2008). Urinary Tract Infection and Vesicoureteral
Reflux. Dalam: Edelman JCM. Pediatric Kidney Disease Edisi ke-2.
Boston: Little Brown Company. pp. 1943-1991.
7. Elder JS. (2004). Urinary Tract Infections. Dalam: Behrman RM,
Kliegman RM, Jenson HB, (penyunting). Nelson Textbook of Pediatrics
Edisi ke-17. Philadelphia: WB Saunders. pp. 1785-1794.
8. Azzarone G, Liewehr S, OConnor K. (2007). Cystitis. Pediatrics in
Review; 28(12): pp. 474-476.
9. Shehab MZ. Urinary Tract Infection. Dalam: Barakat AY. Renal Disease in
Children. Massachusets: Springer-Verlag. pp. 157-166.
10. Egland G. (2006). Pediatric Urinary Tract Infection and Pyelonephritis.
Department of Operational and Emergency Medicine, Walter Reed Army
Medical Center. http://www.emedicine.com/EMERG/topic769.htm.
[diakses pada 29 Agustus 2017].
11. Pudjiadi AH, et al. (2010). Dalam: Trihono et al., (penyunting). Pedoman
Pelayanan Medis. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia. pp. 136-140.

60
12. Hellerstein, Stanley. (2006). Urinary Tract Infection. Children's Mercy
Hospital of Kansas City. http://www.emedicine.com/PED/topic2366.htm.
[diakses pada 29 Agustus 2017].
13. Mahan JD. (2013). Dalam: Marcdante JK, Kliegman RM, Jenson HB,
Behrman RE, (penyunting). Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial Edisi
Ke-enam. Jakarta: Saunders Elsevier. pp. 662-664.
14. Siregar P. (2009). Manfaat Klinis Urinalisis dalam Nefrologi.
Disampaikan pada : Pertemuan Ilmiah Nasional VII PB. PABDI Medan.
15. MacGregor J. (2008). Introduction to the Anatomy and Physiology of
Children Second Edition. Oxon: Routledge. pp. 110-120.
16. Ahmed SM, Swedlund SK. Evaluation and Treatment of Urinary Tract
Infection in Children. Diunduh dari http://www.aafp.org/afp/. [Diakses
pada 6 September 2017].
17. Wong SN. (2006). Practical Pediatric Nephrology: An Update of Current
Practices. Taiwan: XiuLing Enteprise. pp. 107-123.
18. Webb N. (2003). Clinical Pediatric Nephrology Edisi ke-3. New York:
Oxford. pp. 146-166.
19. Edelmann CM. (2008). Pediatric Kidney Disease. Dalam: Disease of The
Kidney and Urinary Tract. Boston: Little Brown and Company. pp. 294-
316.
20. White B. (2011). Diagnosis and Treatment of Urinary Tract Infection.
American Family Physician; 83: pp. 104-112. Diunduh dari :
www.aafp.org/afp. [Diakses pada 2 September 2017].
21. Hansson S, Jodal U. (2004). Urinary Tract Infection. Dalam: Avner ED, et
al., (penyunting). Pediatric Nephrology Edisi ke-5. New York: Oxford. pp.
1164-1183.
22. World Health Organization. (2005). Department of Child and Adolescent
Health and Development. Discussion Papers on Child Health, Urinary
Tract Infection of Infant and Children in Developing Countries in The
Context of IMCI. pp. 139-165

61
23. Jeffrey S., Palmer. (2010). Phimosis and Paraphimosis. Dalam :
Campbells Walsh Urology 10th Edition. Philadelphia: WB Saunders. pp.
3530-3543.
24. R. S. Van Howe. (2009). Is Neonatal Circumcision Clinically Beneficial?
Argument Against. Nature Clinical Practice Urology; 6(2): pp. 7475.
25. Shahid, Sukhbir Kaur. (2012). Phimosis in Children. International
Scholarly Research Network, ISRN Urology; 70(3): pp.70-84.

62

You might also like