Professional Documents
Culture Documents
2. 1. Epidemiologi
Infeksi Cytomegalovirus (CMV) tersebar luas di seluruh dunia, dan terjadi endemik
tanpa tergantung musim. Iklim tidak mempengaruhi prevalensi. Pada populasi dengan
keadaan sosial ekonomi yang baik, kurang lebih 60-70% orang dewasa, menunjukkan
hasil pemeriksaan laboratorium positif terhadap infeksi CMV. Keadaan ini meningkat
kurang lebih 1% setiap tahun. Pada keadaan sosial ekonomi yang jelek, atau di Negara
berkembang, lebih dari atau sama dengan 80 - 90% masyarakat terinfeksi oleh CMV
(Griffiths, 2004). Lisyani dalam observasi selama setahun pada tahun 2004,
1
mendapatkan dari 395 penderita tanpa keluhan yang memeriksakan diri untuk antibodi
anti-CMV, 344 menunjukkan hasil pemeriksaan IgG (imunoglobulin G) seropositif, 7 dari
344 penderita tersebut juga disertai IgM positif, dan 3 penderita hanya menunjukkan
hasil IgM positif. Total seluruhnya 347 orang atau 87,8 % menunjukkan seropositif. Hasil
observasi ini menyokong pendapat bahwa sangat banyak masyarakat kita yang
terinfeksi oleh CMV, dan sebagian besar sudah berjalan kronik dengan hanya IgG
seropositif, tanpa menyadari bahwa hal tersebut telah terjadi (Budipardigdo, 2007).
Cytomegalovirus (CMV) merupakan penyebab infeksi kongenital dan perinatal yang
paling umum di seluruh dunia. Prevalensi infeksi CMV kongenital bervariasi luas di
antara populasi yang berbeda, ada yang melaporkan sebesar 0,2 3% 5, ada pula
sebesar 0,7 sampai 4,1%. Peneliti lain mendapatkan angka infeksi 1%-2% dari seluruh
kehamilan. Ogilvie melaporkan bahwa penularan seperti ini terjadi kira-kira pada 1 dari
3 kasus wanita hamil. Infeksi fetus in utero yang terjadi ketika ibu mengalami reaktivasi,
reinfeksi, biasanya bersifat asimtomatik saat lahir dan kurang menimbulkan sequelae
(gejala sisa) dibandingkan dengan infeksi primer. Hal ini disebabkan karena antibodi
IgG anti-CMV maternal dapat melewati plasenta dan bersifat protektif. Keadaan
asimtomatik saat lahir dijumpai pada 5 17%, ada pula yang melaporkan 90% dari
infeksi CMV kongenital. Infeksi kongenital simtomatik dapat terjadi bila ibu terinfeksi
dengan strain CMV lain. Numazaki melaporkan sekitar 7% kasus dengan gejala
cytomegalic inclusion disease (CID) dijumpai pada saat lahir, sedangkan Lipitz
melaporkan sebesar 10 15%, dan dapat menimbulkan risiko kehilangan pendengaran
sensorineural yang progresif (progressive sensorineural hearing loss atau SNHL), atau
lain-lain defek perkembangan neurologik (retardasi mental) di kemudian hari.
Progresivitas komplikasi neurologic ini berhubungan dengan infeksi CMV yang
persisten, replikasi virus atau respons tubuh anak (Budipardigdo, 2007).
2. 2. Virologi Cytomegalovirus
Virus Cytomegalovirus (CMV) termasuk keluarga virus Herpes. Sekitar 50% sampai
80% orang dewasa memiliki antibodi anti CMV. Infeksi primer virus ini terjadi pada usia
bayi, anak - anak, dan remaja yang sedang dalam kegiatan seksual aktif. Penderita
infeksi primer tidak menunjukkan gejala yang khusus, tetapi virus terus hidup dengan
status laten dalam tubuh penderita selama bertahun tahun (Karger, 2001).
Bersama dengan Cytomegalovirus hewan, Cytomegalovirus manusia (HCMV) juga
disebut dalam literatur terbaru sebagai manusia herpesvirus 5 (HHV-5), milik keluarga
Herpesviridae, subfamili Betaherpesvirinae, Cytomegalovirus genus. Nama ini berasal
dari fakta bahwa hal itu menyebabkan pembesaran sel yang terinfeksi (cytomegaly) dan
mendorong badan inklusi karakteristik. Genom HCMV terdiri dari DNA untai ganda
dengan sekitar 230.000 pasangan basa. Genom ini tertutup oleh kapsid icosahedral
(diameter 100-110 nm, 162 capsomers). Antara kapsid dan amplop virus terdapat
lapisan protein yang dikenal sebagai tegument. Amplop virus berasal dari membran sel.
Setidaknya delapan glikoprotein virus yang berbeda yang tertanam di lapisan ganda
lipid. Partikel virus matang memiliki diameter 150-200 nm. Seperti semua herpesvirus,
HCMV sensitif terhadap pH rendah, agen lipiddissolving dan panas. HCMV memiliki
2
waktu paruh sekitar 60 menit pada 37C dan relatif stabil pada -20C. Perlu disimpan di
setidaknya -70C untuk mempertahankan infektivitasnya (Karger, 2001).
Pada penelitian terbaru, tiga CMV monyet diakui sebagai spesies dalam klasifikasi
ICTV terbaru, sedangkan virus dari monyet rhesus (RhCMV), simpanse (ChCMV), dan
monyet hijau Afrika (AgmCMV). CMV isolat dari babun, latihan, burung hantu, dan
monyet bajing juga telah dijelaskan. Kemungkinan bahwa banyak spesies monyet lebih
pelabuhan CMVs mereka sendiri. CMVs lebih besar dari herpesvirus lainnya (200-300
nm diameter) dan cenderung disebabkan pleomorfik dengan bentuk amplop tidak
teratur. Genom CMV juga merupakan terbesar di antara genom virus herpes. ChCMV
adalah relatif dekat CMV manusia (HCMV). Genom HCMV dan ChCMV hampir
sempurna. Pada saat yang sama homologi urutan gen orthologous dalam genom ada di
moderat rata-rata rendah. Meskipun RhCMV jelas lebih jauh dari HCMV dari ChCMV,
fitur penting dari infeksi HCMV cukup erat tercermin pada monyet rhesus terinfeksi
RhCMV. Model monyet rhesus (RhCMV) menyediakan peluang bagus untuk
mempelajari patogenesis penyakit CMV dalam sebuah host immunocompromised,
terutama SIV-imunosupresi kera dengan SAIDS. Walaupun penyakit bawaan CMV tidak
teramati di kera, dapat eksperimen diinduksi oleh inokulasi langsung intrauterine fetus
monyet rhesus dengan RhCMV. Pengembangan vaksin profilaksis efektif dan HCMV
terapi, kompleksitas tugas yang tangguh, dapat difasilitasi oleh pengujian berbagai
protokol imunisasi menggunakan RhCMV / model monyet rhesus (Karger, 2001).
Virus CMV akan aktif apabila host mengalami penurunan kondisi fisik, seperti wanita
yang sedang hamil atau orang yang mengalami pencangkokan organ tubuh. Jika infeksi
pada wanita hamil terjadi pada awal kehamilannya maka kelainan yang ditimbulkan
semakin besar (Karger, 2001).
Hanya sekitar 5 hingga 10 bayi yang terinfeksi CMV selama masa kehamilan
menunjukkan gejala kelainan sewaktu dilahirkan. Gejala klinis yang umum dijumpai
adalah berat badan rendah, hepatomegali, splenomegali, kulit kuning, radang paru -
paru, dan kerusakan sel pada jaringan syaraf pusat. Gejala non syaraf akan muncul
pada beberapa minggu pertama, cacat pada jaringan syaraf yang akan berlanjut
menjadi kemunduran mental, gangguan pendengaran, gangguan penglihatan, dan
raikrosefali (Karger, 2001).
3
CMV lebih sering menyerang mata yang dapat dengan cepat menyebabkan
kebutaan. Bila tidak diobati CMV dapat menyebar ke seluruh tubuh dan menginfeksi ke
beberapa organ lain sekaligus. Risiko infeksi CMV paling tinggi terjadi bila sel CD4
kurang dari 100 (Karger, 2001).
Transmisi CMV
Risiko mendapatkan sitomegalovirus (CMV) melalui kontak biasa sangat kecil. Virus
ini biasanya ditularkan dari orang yang terinfeksi kepada orang lain melalui kontak
langsung dari cairan tubuh, seperti urin, air liur, atau ASI. CMV ditularkan secara
seksual dan dapat menyebar melalui organ-organ transplantasi dan transfusi darah
(Karger, 2001).
Orang yang terinfeksi dengan CMV dapat menularkan virus ( terinfeksi virus dari
cairan tubuh mereka, seperti urin, air liur, darah, dan air mani, ke lingkungan). Anak-
anak kecil sering menularkan CMV selama berbulan-bulan setelah mereka pertama
terinfeksi. Walaupun orang tua dari anak-anak yang shedding virus dapat menjadi
terinfeksi dari anak-anak mereka, CMV tidak menyebar dengan mudah. Kurang dari 1
dari 5 orang tua dari anak-anak yang terinfeksi CMV penumpahan selama setahun
(Karger, 2001).
Meskipun CMV dapat ditularkan melalui ASI, infeksi yang terjadi dari pemberian ASI
biasanya tidak menimbulkan gejala atau penyakit pada bayi. Karena infeksi CMV
setelah lahir dapat menyebabkan penyakit pada bayi lahir prematur atau rendah sangat
berat, ibu bayi tersebut harus berkonsultasi dengan penyedia layanan kesehatan
mereka tentang menyusui (Karger, 2001).
4
Antara bayi yang lahir dengan infeksi CMV (infeksi CMV kongenital), sekitar 1 dari 5
akan memiliki cacat permanen, seperti cacat perkembangan atau gangguan
pendengaran (Karger, 2001).
Virus CMV memasuki sel dengan cara terikat pada reseptor yang ada di permukaan
sel inang, kemudian menembus membran sel, masuk ke dalam vakuole di sitoplasma,
lalu selubung virus terlepas, dan nucleocapsid cepat menuju ke nukleus sel inang
(uncoating) (Budipardigdo, 2007)
Riwayat infeksi CMV sangat kompleks, setelah infeksi primer, virus diekskresi
melalui beberapa tempat dan ekskresi virus dapat menetap beberapa minggu, bulan,
bahkan tahun sebelum virus hidup laten. Episode infeksi ulang sering terjadi, karena
reaktivasi dari keadaan laten dan terjadi pelepasan virus lagi. Infeksi ulang juga dapat
terjadi eksogen dengan strain lain dari CMV. Infeksi CMV dapat terjadi setiap saat dan
menetap sepanjang hidup. Sekali terinfeksi, tetap terinfeksi, virus hidup dormant
dalam sel inang tanpa menimbulkan keluhan atau hanya keluhan ringan seperti
common cold. Replikasi virus merupakan faktor risiko penting untuk penyakit dengan
manifestasi klinik infeksi CMV. Penyakit yang timbul melibatkan peran dari banyak
molekul baik yang dimiliki oleh CMV sendiri maupun molekul tubuh inang yang terpacu
aktivasi atau pembentukannya akibat infeksi CMV. CMV dapat hidup di dalam
bermacam sel seperti sel epitel, endotel, fibroblas, leukosit polimorfonukleus, makrofag
5
yang berasal dari monosit, sel dendritik, limfosit T (CD4 + , CD8+), limfosit B, sel
progenitor granulosit-monosit. Dengan demikian berarti CMV menyebabkan infeksi
sistemik dan menyerang banyak macam organ antara lain kelenjar ludah, tenggorokan,
paru, saluran cerna, hati, kantong empedu, limpa, pankreas, ginjal, adrenal, otak atau
sistem syaraf pusat. Virus dapat ditemukan dalam saliva, air mata, darah, urin, semen,
sekret vagina, air susu ibu, cairan amnion dan lain-lain cairan tubuh. Ekskresi yang
paling umum ialah melalui saliva, dan urin dan berlangsung lama, sehingga bahaya
penularan dan penyebaran infeksi mudah terjadi. Ekskresi CMV pada infeksi kongenital
sama seperti pada ibu, juga berlangsung lama (Budipardigdo, 2007).
Reaktivasi, replikasi dan reinfeksi umum terjadi secara intermiten, meskipun tanpa
menimbulkan keluhan atau kerusakan jaringan. Replikasi DNA virus dan pembentukan
kapsid terjadi di dalam nukleus sel inang. Sel-sel terinfeksi CMV dapat berfusi satu
dengan yang lain, membentuk satu sel besar dengan nukleus yang banyak. Endothelial
giant cells (multinucleated cells) dapat dijumpai dalam sirkulasi selama infeksi CMV
menyebar. Sel berinti ganda yang membesar ini sangat berarti untuk menunjukkan
replikasi virus, yaitu apabila mengandung inklusi intranukleus berukuran besar seperti
mata burung hantu (owl eye) (Budipardigdo, 2007).
Respons imun seseorang memegang peran penting untuk mengeliminasi virus yang
telah menyebabkan infeksi. Pada kondisi kompetensi imun yang baik (imunokompeten),
infeksi CMV akut jarang menimbulkan komplikasi, namun penyakit dapat menjadi berat
bila individu berada dalam keadaan immature (belum matang), immunosuppressed
(respons imun tertekan) atau immunocompromised (respons imun lemah), termasuk ibu
hamil dan neonatus, penderita HIV (human immunodeficiency virus), penderita yang
mendapatkan transplantasi organ atau pengobatan imunosupresan dan yang menderita
penyakit keganasan. Pada kondisi tersebut, sistem imun yang tertekan atau lemah,
belum mampu membangun respons baik seluler maupun humoral yang efektif,
sehingga dapat mengakibatkan nekrosis atau kematian jaringan yang berat, bahkan
fatal (Budipardigdo, 2007).
Respons imun terhadap infeksi CMV sama seperti terhadap infeksi terhadap virus
pada umumnya, bersifat kompleks yang meliputi baik faktor atau komponen yang
berperan dalam respons imun seluler maupun humoral. Kontrol yang cepat, segera
pada infeksi akut dilakukan oleh sistem imun yang diperantarai sel yaitu sel NK (natural
killer), sel T CD8+ dan dengan bantuan sel T CD4 +. Sel NK, anggota limfosit nonT-nonB
yang beredar dalam sirkulasi darah dan jaringan, merupakan komponen nonspesifik
dari sistem imun bawaan, akan mengenal sel inang yang terinfeksi virus, kemudian
menghancurkan sel tersebut dengan cara lisis proteolitik. Pada awal infeksi akut, dalam
respons imun spesifik, antigen virus diproses oleh makrofag antigen presenting cells
(APC), dipresentasikan ke sel limfosit T CD4+ (T helper) yang memproduksi sitokin dan
memicu proliferasi klon tunggal sel T sitotoksik atau sitolitik (CD8+) yang tersensitasi.
Sel T CD8+ yang teraktivasi kemudian secara spesifik akan menghancurkan sel inang
yang mengekspresikan antigen virus yang berikatan dengan major histocompatibility
complex (MHC) atau human leucocyte antigen (HLA) kelas I di permukaan sel. MHC
atau HLA kelas I dijumpai pada hampir semua sel berinti. Respons imun ini ditargetkan
terhadap bermacam antigen seperti protein IE1, IE2, gB dan pp 65. Sel T-CD4 + spesifik
6
juga memegang peran penting di dalam mengontrol infeksi virus dengan cara
melepaskan interferon ( IFN- ) yang kemudian mengaktifkan makrofag sebagai
fagosit. Imunitas yang diperantarai sel ini memegang peran utama untuk menekan
aktivitas virus yang menetap secara laten (Budipardigdo, 2007).
Respons imun humoral terbentuk karena fragmen antigen yang berikatan dengan
molekul MHC kelas II dipresentasikan oleh APC kepada limfosit T-CD4 +. Produksi
sitokin terpacu untuk mengaktifkan sel B, kemudian sel B berproliferasi dan
berdiferensiasi menjadi sel plasma yang menghasilkan antibodi atau imunoglobulin. IgM
muncul pertama kali, setelah itu dengan mutasi somatik yang terjadi pada limfosit B
yang terstimulasi antigen, maka akan terjadi isotype switching dan terbentuk isotype
immunoglobulin yang lain seperti IgG, IgA., IgE, dan IgD. Antibodi yang terbentuk pada
awalnya memiliki kekuatan mengikat antigen yang masih lemah, selanjutnya terjadi
affinity maturation terhadap sebagian dari sel B, sehingga menghasilkan antibodi yang
mampu mengikat antigen dengan kuat. Kekuatan ikatan antibodi terhadap antigen ini
disebut high-affinity dan high avidity. Antibodi IgG adalah yang paling utama melakukan
neutralisasi dan eliminasi terhadap CMV yang beredar dalam sirkulasi. IgG tersebut
adalah antibody anti-gB (anti-glikoprotein B) yang merupakan antibodi terhadap antigen
paling imunogenik dari amplop CMV (Budipardigdo, 2007).
CMV kongenital terjadi karena virus yang beredar dalam sirkulasi (viremia) ibu
menular ke janin. Kejadian transmisi seperti ini dijumpai pada kurang lebih 0,5 1% dari
kasus yang mengalami reinfeksi atau rekuren. Viremia pada ibu hamil dapat menyebar
melalui aliran darah (per hematogen), menembus plasenta, menuju ke fetus baik pada
infeksi primer eksogen maupun pada reaktivasi, infeksi rekuren endogen, yang mungkin
akan menimbulkan risiko 6 tinggi untuk kerusakan jaringan prenatal yang serius. Risiko
pada infeksi primer lebih tinggi daripada reaktivasi atau ibu terinfeksi sebelum konsepsi.
Infeksi transplasenta juga dapat terjadi, karena sel terinfeksi membawa virus dengan
muatan tinggi. Transmisi tersebut dapat terjadi setiap saat sepanjang kehamilan, namun
infeksi yang terjadi sampai 16 minggu pertama, akan menimbulkan penyakit yang lebih
berat (Dwindra, 2009).
Respons imun pada fetus dan anak diperantarai sel yang terbentuk 1 minggu
sebelum respons humoral, mencapai puncak sama dengan respons humoral. Respons
imun seluler mulai dapat terdeteksi dengan baik pada umur fetus 22 minggu. Aktivasi
dan diferensiasi sel T CD4 + dapat terjadi, meskipun kemampuan untuk menghasilkan
IFN- masih lemah. Hasil suatu studi menyatakan bahwa peran sel T CD4 + spesifik
dengan frekuensi yang tinggi pada neonatus memungkinkan terjadi stimulasi terhadap
imunitas seluler, sehingga infeksi CMV kongenital bersifat asimtomatik. Respons imun
humoral dimulai pada 9 11 minggu kehamilan, namun kadar antibodi dalam sirkulasi
tetap rendah sampai pertengahan kehamilan, kecuali terdapat virus dalam titer tinggi
dan ada perkembangan reseptor antigen di permukaan sel keadaan ini, kadar antibodi
meningkat dengan predominan IgM. Pada infeksi kongenital, IgG maternal dapat
menembus plasenta masuk ke sirkulasi fetus, sedangkan IgM atau IgA yang terdeteksi
pada darah tali pusat neonatus, menunjukkan bahwa antibodi tersebut diproduksi oleh
fetus atau bayi sendiri yang terinfeksi secara vertikal dari ibu. Pada reaktivasi, antibodi
7
anti-CMV terbentuk adekuat, sebaliknya terjadi defek imunitas yang diperantarai sel
dengan penurunan jumlah sel NK dan T CD8+ (Budipardigdo, 2007).
8
berkembang menjadi kebutaan jika tidak diobati. Unilateral dan bilateral
penyakit mungkin ada. Pengobatan jangka panjang CMV diperlukan untuk
mencegah kambuh retinitis (Kauser, 2010).
2. Manifestasi klinis pada Ibu Hamil :
Umumnya >90% infeksi CMV pada ibu hamil asimpomatik, tidak terdeteksi
secara klinis. Gejala yang timbul tidak spesifik, yaitu: demam, lesu, sakit kepala,
sakit otot dan nyeri tenggorok. Wanita hamil yang terinfeksi CMV akan menyalurkan
pada bayi yang dikandungnya, sehingga bayi yang dikandungnya akan
mendapatkan kelainan kongenital. Selain itu wanita yang hamil dapat mengalami
keguguran akibat infeksi CMV (Kauser, 2010).
3. Manifestasi Klinis pada Bayi
Transmisi dari ibu ke janin dapat terjadi selama kehamilan, Infeksi pada
kehamilan sebelum 16 minggu dapat mengakibatkan kelainan kongenital berat.
Gejala klinik infeksi CMV pada bayi baru lahir jarang ditemukan. Dari hasil
pemeriksaan virologis, CMV hanya didapat 5-10% dari seluruh kasus infeksi
kongenital CMV. Kasus infeksi kongenital CMV hanya 30-40% saja yang disertai
persalinan prematur. Dari semua yang prematur setengahnya disertai Pertumbuhan
Janin Terhambat (PJT). 10% dari janin yang menunjukkan tanda-tanda infeksi
kongenital mati dalam dua minggu pertama. infeksi kongenital pada anak baru lahir
jelas gejalanya. Gejala infeksi pada bayi baru lahir bermacam-macam, dari yang
tanpa gejala apa pun sampai berupa demam, kuning (jaundice), gangguan paru,
pembengkakan kelenjar limfe, pembesaran hati dan limpa, bintik merah di sekujur
tubuh, serta hambatan perkembangan otak (microcephaly). Hal ini bisa
menyebabkan buta, tuli, retardasi mental bahkan kematian. Tetapi ada juga yang
baru tampak gejalanya pada masa pertumbuhan dengan memperlihatkan gangguan
neurologis, mental, ketulian dan visual. Komplikasi yang dapat muncul pada infeksi
CMV antara lan (Firman, 2009) :
a. Infeksi pada sistem saraf pusat (SSP) antara lain: meningoencephalitis,
kalsifikasi, mikrosefali, gangguan migrasi neuronal, kista matriks germinal,
ventriculomegaly dan hypoplasia cerebellar). Penyakit SSP biasanya
menunjukan gejala dan tanda berupa: kelesuan, hypotonia, kejang, dan
pendengaran defisit.
b. Kelainan pada mata meliputi korioretinitis, neuritis optik, katarak, koloboma, dan
mikroftalmia.
c. Sensorineural hearing defisit (SNHD) atau kelainan pendengaran dapat terjadi
pada kelahiran, baik unilateral atau bilateral, atau dapat terjadi kemudian pada
masa kanak-kanak. Beberapa pasien memiliki pendengaran normal untuk
pertama 6 tahun hidup, tetapi mereka kemudian dapat mengalami perubahan
tiba-tiba atau terjadi gangguan pendengaran. Di antara anak-anak dengan
defisit pendengaran, kerusakan lebih lanjut dari pendengaran terjadi pada 50%,
dengan usia rata-rata perkembangan pertama pada usia 18 bulan (kisaran usia
2-70 bulan). Gangguan pendengaran merupakan hasil dari replikasi virus dalam
telinga bagian dalam.
9
d. Hepatomegali dengan kadar bilirubin direk transaminase serum meningkat.
Secara patologis dijumpai kolangitis intralobar, kolestasis obstruktif yang akan
menetap selama masa anak. Inclusian dijumpai pada sel kupffer dan epitel
saluran empedu.
Bayi dengan infeksi CMV kongenital memiliki tingkat mortalitas 20-30%.
Kematian biasanya disebabkan disfungsi hati, perdarahan, dan intravaskuler
koagulopati atau infeksi bakteri sekunder (Kim, 2010).
10
III. PEMBAHASAN
11
c. Pemeriksaan Penunjang
CMV biasanya diisolasi dari urin dan air liur, tetapi dapat diisolasi dari
cairan tubuh lainnya, termasuk susu payudara, sekresi leher rahim, cairan
ketuban, sel-sel darah putih, cairan serebrospinal, sampel tinja dan biopsi. Tes
terbaik untuk diagnosis infeksi bawaan atau perinatal adalah isolasi virus atau
demonstrasi reaksi berantai materi CMV genetik (PCR) dari urin atau air liur
bayi baru lahir. Sensitivitas PCR dengan spesimen urin adalah 89% dan
spesifisitas 96%. Sampel urine dapat didinginkan (4) tetapi tidak boleh beku
dan disimpan pada suhu kamar. Tingkat pemulihan virus 93% dalam urin
setelah 7 hari pendinginan, kemudian menurun menjadi 50% setelah 1 bulan
(Kim, 2010).
Peningkatan titer IgG empat kali lipat di dalam sera pasangan atau anti-
CMV IgM yang positif kuat berguna mendiagnosis infeksi, tes serologis tidak
dianjurkan untuk diagnosis infeksi pada bayi baru lahir. Hal ini dikarenakan
deteksi IgG anti-CMV pada bayi baru lahir mencerminkan antibodi yang
diperoleh dari ibu melalui transplasental dan antibodi tersebut dapat bertahan
sampai 18 bulan. Uji IgM juga dapat bernilai positif palsu dan negatif palsu,
Computed tomography (CT) lebih sensitif untuk mendeteksi kalsifikasi
intracranial. MRI dapat digunakan untuk mendeteksi gangguan migrasi
neuronal dan lesi parenkim serebral (Kim, 2010).
Amniosentesis merupakan tes diagnostik prenatal tunggal yang paling
berharga, sedangkan PCR atau kultur virus dari cairan ketuban, mempunyai
tingkat spesifisitas dan sensitivitas yang sama. Kuantitatif PCR menunjukkan
105 genom/mL cairan ketuban yang mungkin mengandung prediktor gejala
infeksi congenital. Ultrasonografi kelainan janin pada wanita hamil dengan
infeksi primer atau berulang biasanya menunjukkan gejala infeksi janin.
Kelainan sonografi janin yang dilaporkan termasuk oligohidroamnios,
pembatasan pertumbuhan intrauterin, microcephaly, ventriculomegaly,
kalsifikasi intrakranial, hipoplasia corpus callosum, asites,
hepatosplenomegali, hypoechogenic bowel, efusi pleura dan pericardial (Kim,
2010).
2. Diagnosis Banding
a. Toxoplasmosis
a) Gejala (Marino et al, 2010) :
i. First half of pregnancy : dapat menyebabkan malformation pada CNS,
mikrosefali, hidrosefalus dan kematian perinatal.
ii. Second half of pregnancy : Ringan/asimtomatik, demam (flu like
syndrome, limpadenopati, servikal, aksila, namun tidak sakit.
Gejala-gejala ini muncul selama beberapa minggu s/d bulan. Anemia,
lekopenia, kadang lekositosis. Dapat terjadi chorioretinitis dan
kelainan pada CNS setelah beberapa bulan atau beberapa tahun
kemudian.
b) Pemeriksaan Penunjang (Marino et al, 2010) :
i. IgM Toxoplasma gondii sangat baik dalam mendiagnosa
toxoplasmosis kongenital dan didapat.
ii. IgM antibodi tidak bisa menembus plasenta
iii. IgG dapat menembus plasenta
12
iv. IgG pada bayi akan berkurang dan habis yang didapat dari ibunya.
Selanjutnya akan dibentuk sendiri pada usia 2-3 bulan
v. IgM tidak ditemukan pada bayi. Diagnosa Toxoplasmosis pada bayi
dipastikan dengan deteksi peningkatan IgG pada bayi berumur 2-3
bulan dan 6 bulan, dimana pada waktu itu IgG dari Ibu sudah habis.
vi. Serodiagnosis pada wanita hamil titer tunggal tidak mempunyai arti
klinis, oleh karenanya perlu 2x pengujian (2x) sedikitnya (secara
serial).
vii. Serokonversi IgG dari negatif menjadi positif memastikan infeksi akut
primer.
Kenaikan titer IgG yang bermakna adalah 4x pada pemeriksaan serial,
menunjukkan infeksi akut (parah)
b. Rubella
a) Gejala (Marino et al, 2010) :
Gejala klinis Rubella bervariasi setiap orang dan sulit dikenali. Gejalanya
mirip dengan infection mononucleosis, drug induced rashes. Pada wanita
hamil dengan infeksi primer bisa menularkan ke janin dengan masa
inkubasi 2 3 minggu rata-rata 18 hari. Kelainan kongenital tergantung
pada saat mana terjadi infeksi pada waktu hamil. Infeksi pada bulan
pertama kehamilan dapat menyebabkan fetal malformation 50% 80%,
25% pada bulan kedua dan 17% pada bulan ketiga. Congenital Rubella
Syndrome dapat terjadi pada infeksi di trimester 1 kehamilan. Kelainan
lainnya adalah CHD (PDA, VSD dan PT), katarak, chorioretinitis,
microcephaly, retardasi mental dan deafness.
b) Pemeriksaan Penunjang (Marino et al, 2010) :
Infeksi rubella primer pada penderita dari rubella dijumpai antibodi IgM
sesuai dengan gejala klinis yang ada. Pada infeksi rubella primer akut, IgM
dapat dideteksi hampir pada 100% kasus yaitu pada hari 4-15 setelah
munculnya ruam, menurun setelah 36-70 hari, dan menghilang setelah 180
hari Reinfeksi asimptomatik pada wanita hamil berbahaya untuk fetus,
dengan karakteristik IgG meninggi dan tidak dijumpai IgM. Pemeriksaan
IgM ini tidak hanya untuk wanita hamil tapi perlu juga untuk wanita yang
belum hamil. IgG meningkat cepat pada hari ke 7 s/d 21 kemudian
menurun, dan tetap tinggal sebagai pelindung
c. Herpes
a) Gejala (Marino et al, 2010) :
i. HSV-1
Vesikel-vesikel di sekitar mulut, acute ginggivostomatitis. Infeksi
HSV-1 primer dapat menyebabkan follicular congjungtivitis dengan
kemosis, edema dan ulks kornea. Herpes labialis dan dendritic
corneal ulcers paling sering merupakan manifestasi infeksi HSV-1
rekuren. Pada keadaan parah dapat menyebabkan HSV encephalitis.
ii. HSV-2
Infeksi HSV-2 merupakan infeksi pada genital dan dapat
menyebabkan infeksi pada bayi pada waktu proses kelahiran.
Sebagian besar bayi mendapat infeksi HSV-2 pada ibu hamil
13
asimtomatis. Lesi ulserativ, pain fever, disuria, dan lymphadenopathy
selalu dijumpai.
b) Pemeriksaan Penunjang (Marino et al, 2010) :
Virus dapat diisolasi dari vesicular fluid, ulcer scraping, throat swabs,
salifa, CSF dan pada jaringan yang terinfeksi, bufficoat, urine, rectal
cultures. Virus mempunyai sifat cytopathogenic effects (CPE) dan
berkembang biak sangat cepat dalam 24 jam, tetapi pemeriksaan cara ini
memerlukan waktu yang lama. Antibodi IgM HSV-1 & IgM HSV-2 muncul
pada infeksi primer atau reaktivasi. IgM pada infeksi primer bertahan s/d
9 bulan pada beberapa pasien. Pengambilan sampel untuk IgG setelah
2-7 minggu Anti HSV IgG positif pada neonatus, yang didapat dari ibu
hanya bertahan 6 bulan. Jika negatif infeksi bawaan dapat diabaikan.
Cara pemeriksaan :
i. Citology dan Histology
ii. Immunoflourescence
iii. Enzim Immuno Assay dan Immunoblotting
Pemeriksaan serologi merupakan pemeriksaan yang paling baik
dilakukan untuk menentukan adanya infeksi HSV, juga untuk diagnosa
primary infection jika titer antibodi terjadi peningkatan 4 kali atau lebih.
14
profilaksis organ padat transplantasi (penerima seronegatif). Meskipun demikian,
asiklovir tidak pernah digunakan untuk terapi penyakit Cytomegalovirus yang aktif.
Formulasi oral dibuktikan untuk digunakan pada pasien HIV dewasa yang
mengalami retinitis Cytomegalovirus. Meskipun demikian bioavailabilitasnya kurang
dan tidak ada data yang mendukung pada anak-anak (Schleiss, 2010).
Sekuel neurologi dari Cytomegalovirus kongenital umumnya tuli sensorineural,
berkembang pada posnatal, kemunculan hasilnya dari percobaan terminasi
kolaborasi bangsa-bangsa masih menarik diteliti. Gansiklovir intravena membawa
perkembangan atau stabilisasi pendengaran pada sejumlah balita usia 6 bulan.
Laporan kasus menyarankan efikasi gansiklovir untuk penyakit neonatus akut
dengan pengancaman jiwa penyakit Cytomegalovirus (seperti pneumonia) (Schleiss,
2010).
Alternatif gansiklovir meliputi trisodium fosformat (PFA) dan cidofovir.
Pengalaman dokter anak dengan obat ini terbatas. Meskipun berpotensi digunakan
dalam latar belakang resisten gansiklovir, toksisitas antivirus ini cukup besar.
Penggunaan obat-obatan ini pada pasien pediatrik hanya pada kondisi perkecualian.
Meskipun obat ini memiliki aktivitas perlawanan terhadap virus ini tingkat sedang,
dosis tinggi acyclovir oral dan valacyclovir telah digunakan untuk profilaksis penyakit
ini dengan individu risiko tinggi seperti yang telah disebutkan, tetapi tidak sesuai
pada terapi penyakit aktif. Terapi oral dengan valgansiklovir dipertimbangkan untuk
diinvestigasi pada anak (Schleiss, 2010).
1) Gansiklovir
Gansiklovir terlisensi untuk terapi infeksi CMV. Nukleotida asiklik sintetik
secara struktural serupa dengan guanin. Struktur tersebut serupa pada acyclovir
yang membutuhkan fosforilasi aktivitas antiviral. Enzim yang bertanggung jawab
untuk fosforilasi adalah produk gen UL97 virus, sebuah protein kinase.
Resistensi dapat terjadi pada penggunaan jangka panjang, secara umum terjadi
karena mutasi gen ini. Indikasi obat ini untuk anak immunocompromised seperti
infeksi HIV, postransplan, dan lain-lain jika secara klinis dan virologis
membuktikan penyakit spesifik berakhirnya organ yang spesifik (Schleiss, 2010).
Pada balita, terapi antiviral dengan gansiklovir mungkin berguna
menurunkan prevalensi sekuel perkembangan neural, umumnya tuli
sensorineural. Sebuah penelitian mengenai penyakit alergi dan infeksiinstitusi
nasional di negara peneliti menunjukkan perbaikan relatif pada pendengaran
pada tuli simtomatik kongenital CMV yang diterapi dengan gansiklovir. Meskipun
demikian, terapi pada neonatus harus dikonsultasikan oleh ahlinya (Schleiss,
2010).
2) Immunoglobulin
Imunoglobulin digunakan sebagai imunisasi pasif untuk mencegah penyakit
Cytomegalovirus simtomatik. Strategi ini telah digunakan pada kontrol penyakit
Cytomegalovirus pada pasien immunocompromised pada era aantivirus
prenuklosida. Bukti pada kehamilan menyarankan infus Ig CMV pada wanita
dengan infeksi primer dapat mencegah transmisi dan memeperbaiki kondisi
kelahiran (Schleiss, 2010).
15
3) Valgansiklovir (VGCV)
Valgansiklovir (VGCV) adalah sebuah prodrug turunan valyl dari gansiklovir.
Setelah absorbsi di intestinum, moase valine cepat diurai oleh hepar
menghasilkan GCV. Zat ini inaktif dan membutuhkan trifosforilasi untuk aktivitas
virostatis (Schleiss, 2010).
b. Pembedahan
Terapi operatif yang dibutuhkan seperti pada kejadian dengan cerebral palsy
yaitu dengan operasi ortopedik dan gastrotomy. Gastrotomy dilakukan untuk
mengganti nutrisi untuk ke enteral (Schleiss, 2010).
16
2. Isolasi: tidak dilakukan. Lakukan tindakan kewaspadaan
terhadap sekret yang dikeluarkan oleh penderita yang diduga mengekskresikan
virus.
3. Disinfeksi serentak: Disinfeksi dilakukan terhadap discharge
dari penderita yang dirawat di Rumah Sakit dan terhadap benda-benda yang
tercemar.
4. Karantina tidak dilakukan.
5. Imunisasi kontak : vaksin secara komersial tidak tersedia.
6. Investigasi kontak dan sumber infeksi tidak dilakukan,
karena tingginya angka prevalensi orang yang tidak menunjukkan gejala klinis di
masyarakat.
17
IV. PENUTUP
4. 1. Ringkasan
Infeksi Cytomegalovirus (CMV) tersebar luas di seluruh dunia, dan terjadi endemik
tanpa tergantung musim. Iklim tidak mempengaruhi prevalensi. Pada populasi dengan
keadaan sosial ekonomi yang baik, kurang lebih 60-70% orang dewasa, menunjukkan
hasil pemeriksaan laboratorium positif terhadap infeksi CMV. Kejadian infeksi CMV pada
Ibu hamil sangat tinggi dan menyebabkan kelainan congenital pada janin. Diagnosis dini
dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang amatlah penting
untuk menentukan status infeksi dan penentuan perlu tidaknya mendapat terapi untuk
mencegah mortalitas dan morbiditas. Untuk mengurangi risiko kelainan congenital pada
janin perlu memperhatikan tindakan pencegahan yang efektif.
4. 2. Saran
a. Perlunya sosialisasi pencegahan infeksi TORCH termasuk di dalamnya infeksi CMV
untuk mengurangi risiko kelainan congenital pada janin
b. Perlunya tindakan skrining infeksi TORCH tersebar luas dan terjangkau di sarana
pelayanan kesehatan
18
DAFTAR PUSTAKA
Akhter, Kauser dan Wills, Todd S. 2010. Cytomegalovirus. eMedicine Infectious Disease.
Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/215702-overview. Diakses 29
September 2010.
19