You are on page 1of 40

Bab 30

Keseimbangan Asam Basa

KONSEP KUNCI

1. Perbedaan ion yang kuat (strong ion difference, SID), PCO2, dan konsentrasi asam
lemah total (ATOT) merupakan hal-hal yang paling baik dalam menjelaskan
keseimbangan asam-basa pada sistem fisiologis.

2. Penyangga bikarbonat efektif melawan gangguan asam-basa metabolik namun tidak


pada respiratorik.

3. Berlawanan dengan penyangga bikarbonat, hemoglobin mampu menyangga baik asam-


asam karbonat (C02) dan nonkarbonat (nonvolatil).

4. Sebagai aturan umum, PaCO2 dapat diharapkan meningkat 0,25 1 mm Hg untuk setiap
peningkatan 1 mEq/L [HCO3-].

5. Respons ginjal terhadap asidemia terdiri dari 3-lapis hal: (1) peningkatan reabsorpsi
dari HCO3- yang terfiltrasi, (2) peningkatan ekskresi asam yang dapat dititrasi, dan (3)
peningkatan produksi amonia.

6. Selama asidosis respiratorik kronik, [HCO3-] plasma meningkat sekitar 4 mEq/L untuk
setiap 10 mm Hg peningkatan PaCO2 di atas 40 mm Hg.

7. Diare merupakan penyebab asidosis metabolik hiperkloremik yang paling umum.

8. Perbedaan antara alkalosis respiratorik akut dan kronik tidak selalu dapat dilakukan,
karena respons kompensasi terhadap alkalosis respiratorik kronik sangat bervariasi:
[HCO3-] plasma menurun 2 5 mEq/L untuk setiap 10 mm Hg penurunan pada PaCO2 di
bawah 40 mm Hg.
9. Vomitus dan kehilangan cairan lambung kontinu oleh drainase gastrik (penyedotan
nasogastrik) dapat menghasilkan alkalosis metabolik yang nyata, pengurangan volume
ekstraselular, dan hipokalemia.

10. Kombinasi alkalemia dan hipokalemia dapat mempresipitasi aritmia atrial dan
ventrikular.

11. Perubahan-perubahan pada suhu mempengaruhi pengukuran PCO2 dan PO2 secara
langsung dan pengukuran pH secara tidak langsung. Penurunan suhu mengurangi
tekanan parsial gas dalam larutanwalaupun kandungan gas total tidak berubah
karena solubilitas gas berbanding terbalik dengan suhu. Sehingga baik PCO2 dan PO2
menurun selama hipotermia, namun pH meningkat karena suhu tidak mengubah [HCO3-]
secara bermakna; PaCO2 menurun, namun [HCO3-] tidak berubah.

Hampir semua reaksi biokimia di dalam tubuh bergantung pada pemeliharaan konsentrasi
ion hidrogen fisiologis. Hal ini sangat teratur karena perubahan pada konsentrasi ion hidrogen
akan memperluas disfungsi organ.
Pengaturan inisering disebut sebagai keseimbangan asam-basamerupakan hal yang
penting untuk ahli anestesiologi. Perubahan ventilasi dan perfusi serta pemberian infus larutan
yang mengandung elektrolit umum dijumpai selama anestesia dan dengan cepat mengubah
kesimbangan asam-basa. Sehingga pemahaman yang menyeluruh pada gangguan asam-basa, efek
fisiologisnya, dan terapinya penting untuk penatalaksanaan anestetik yang baik.
Pemahaman kita mengenai keseimbangan asam-basa mengalami perkembangan. Di masa
lalu, kita berfokus pada konsentrasi ion hidrogen [H+], keseimbangan CO2, dan kelebihan/defisit
basa. Kini kita mengerti bahwa perbedaan ion yang kuat (strong ion difference, SID), PCO2, dan
konsentrasi asam lemah total (ATOT) merupakan hal-hal yang paling baik dalam menjelaskan
keseimbangan asam-basa pada sistem fisiologis.
Bab ini membahas fisiologi asam-basa, gangguan yang umum terjadi, dan dampak
anestetiknya. Pemeriksaan klinis gas darah dan interpretasinya juga dibahas.

DEFINISI

KIMIAWI ASAM-BASA
Konsentrasi Ion Hidrogen & pH

Pada semua larutan akuatik (mengandung air), molekul air berdisosiasi secara reversibel menjadi
ion hidrogen dan hidroksida:

H2O H+ + OH-

Proses ini digambarkan oleh konstanta disosiasi, KW:


KW = [H+] + [OH-] = 10-14

Konsentrasi air dihilangkan dari bilangan penyebut pada persamaan ini karena tidak
bervariasi bermakna dan telah tercakup dalam konstanta. Sehingga dengan [H+] atau [OH-] yang
diketahui, konsentrasi ion lain dapat segera diketahui.
Misal: jika [H+] = 10-8 nEq/L, maka [OH-] = 10-14 / 10-8 = 10-6 nEq/L.
[H+] arteri pada keadaan normal adalah 40 nEq/L, atau 40 x 10-9 mol/L. Konsentrasi ion hidrogen
lebih umum diekspresikan sebagai pH, karena penggunaan sejumlah besar angka ini akan terasa
sangat janggal. pH suatu larutan didefinisikan sebagai logaritme negatif (basa 10) dari [H+]
(Gambar 30-1). Sehingga pH arteri normal adalah log (40 x 10-9) = 7,40. Konsentrasi ion
hidrogen antara 16 dan 160 nEq/L (pH 6,8 7,8) sesuai untuk kehidupan.
Seperti semua konstanta disosiasi, KW dipengaruhi oleh perubahan-perubahan pada suhu.
Oleh karena itu titik elektronetralitas untuk air terjadi di pH 7,0 pada suhu 250C, dan di sekitar pH
6,8 pada suhu 370C; perubahan terkait suhu ini dapat bersifat penting selama hipotermia (lihat
Bab 21).
Karena cairan fisiologis merupakan larutan akuatik yang kompleks, faktor-faktor lain
yang mempengaruhi disosiasi air menjadi H+ dan OH- adalah SID, PCO2, dan ATOT.

Asam & Basa

Asam biasanya didefinisikan sebagai spesies kimia yang dapat berperan sebagai donor proton
[H+], sementara basa merupakan spesies yang dapat berperan sebagai akseptor proton (definisi
BronstedLowry). Pada larutan fisiologis, mungkin lebih baik menggunakan definisi
Arrhenius: asam merupakan komponen yang mengandung hidrogen dan bereaksi dengan air
untuk membentuk ion hidrogen. Basa merupakan komponen yang memproduksi ion hidroksida di
dalam air. Dengan menggunakan definisi ini, SID menjadi penting karena ion lain dalam larutan
(kation dan anion) akan mempengaruhi konstanta disosiasi untuk air dan, dengan demikian,
konsentrasi ion hidrogen. Suatu asam yang kuat adalah zat yang segera dan hampir selalu secara
ireversibel memberikan H+ dan meningkatkan [H+], sementara basa kuat akan sangat kuat
mengikat H+ dan menurunkan [H+]. Sebaliknya, asam lemah secara reversibel memberikan H+,
sementara basa lemah secara reversibel mengikat H+; keduanya cenderung memiliki efek yang
kurang pada [H+]. Komponen biologis terdiri baik dari asam lemah maupun basa lemah

Ion hidrogen (H+) nEq/L


Normal
Asidemia
Alkalemia

pH
Gambar 30-1. Hubungan antara pH dan [H+]. Perhatikan bahwa antara pH 7,10 dan 7,50;
hubungan antara pH dan [H+] hampir linear. (Direproduksi, dengan izin, dari Narins RG, Emmet
M: Simple and mixed acid-base disorder: a practical aproach. Medicine 1980;49:161.)

Untuk larutan yang mengandung asam lemah HA, di mana

HA H+ + A-

Suatu konstanta disosiasi, K, dapat didefinisikan sebagai berikut:

K = [H+][A-] atau [H+] = K[HA]


[HA] [A-]

Bentuk logaritma negatif dari persamaan yang terakhir disebut sebagai persamaan
HendersonHasselbalch:

pH = Pk + log ([A-])
([HA])
Dari persamaan ini, jelas bahwa pH larutan ini berkaitan dengan rasio anion yang
terdisosiasi terhadap asam yang tidak terdiosiasi.
Masalah pada pendekatan ini adalah bahwa hal ini bersifat fenomenologismengukur
pH dan bikarbonat, dan kemudian variabel lain dapat dimanipulasi secara matematis. Pendekatan
ini bekerja baik pada air murnikonsentrasi [H+] harus sama dengan [OH-]. Namun larutan
fisiologis, walaupun akuatik, jauh lebih kompleks. Bahkan pada larutan yang kompleks seperti
itu, [H+] dapat diperkirakan dengan menggunakan tiga variabel: SID, PCO2, dan konsentrasi asam
lemah total [ATOT].

Kation lain CO2-3


SIG
SIDa HCO-3
SIDe
A-
mEq/L Laktat
+
Na
Cl-

Kation Anion

Gambar 30-2. Perbedaan ion kuat (strong ion difference, SID). SIDa, perbedaan ion kuat yang
jelas. SIDe, perbedaan ion kuat efektif. Gap ion kuat (strong ion gap, SIG) adalah perbedaan
antara SIDa dan SIDe dan mencerminkan senjang anion. (Diproduksi ulang, dengan izin, dari
Kellum JA: Metabolic acidosis in the critically ill: lessons from physical chemistry [clinical
management of acute renal failure in ICU]. Kidney Int 1998;53:S-81.)

Perbedaan Ion Kuat (Strong Ion Difference)

SID merupakan penjumlahan dari semua kation (Na+, K+, Ca2+, Mg2+) yang kuat, terdosiasi
sempurna atau hampir sempurna dikurangi anion (Cl-, laktat-, dll) yang kuat (Gambar 30-2).
Walaupun kita dapat menghitung SID, karena hukum elektronetralitas harus diamati, jika terdapat
SID, ion lain yang tidak diukur harus ada. PCO2 merupakan variabel bebas yang mengasumsikan
ventilasi sedang berlangsung. Basa terkonjugasi dari HA adalah A- dan sebagian besar terdiri dari
fosfat dan protein yang tidak mengubah kebebasan dari kedua variabel lain. A - ditambah AH
merupakan variabel bebas karena nilainya tidak ditentukan oleh variabel lainnya. Perhatikan
bahwa [H-] bukan merupakan ion kuat (air tidak terdisosiasi sempurna), namun [H-] dapat,
sedang, dan harus berubah sebagai respons terhadap setiap perubahan pada SID, PCO2, atau ATOT
agar memenuhi hukum elektronetralitas dan konservasi massa. Ion kuat tidak dapat dibuat untuk
mencapai elektronetralitas namun ion hidrogen, H+, dibuat atau dikonsumsi berdasarkan pada
perubahan pada disosiasi air.

Pasangan Konjugasi & Penyangga

Seperti yang didiskusikan di atas, ketika asam lemah HA dalam bentuk larutan, HA dapat bekerja
sebagai asam dengan mendonasi H+ dan A- dapat bekerja sebagai suatu basa dengan mengambil
H+. Oleh karena itu A- sering disebut sebagai basa konjugasi dari HA. Konsep yang sama dapat
diaplikasikan untuk basa lemah. Dengan mempertimbangkan basa lemah adalah B, di mana

B + H+ BH+

Sehingga BH+ merupakan asam konjugasi dari B.


Suatu penyangga merupakan larutan yang mengandung asam lemah dan basa
konjugasinya atau basa lemah dengan asam konjugasinya (pasangan konjugasi). Penyangga
meminimalkan setiap perubahan pada [H+] dengan segera menerima atau memberikan ion
hidrogen. Sangat jelas bahwa penyangga paling efisien dalam meminimalisasi perubahan-
perubahan pada [H+] larutan (yaitu, [A-] = [HA]) ketika pH = pK. Selain itu, pasangan konjugasi
harus ada dalam jumlah yang signifikan agar dapat bekerja sebagai suatu penyangga yang efektif.

GANGGUAN-GANGGUAN KLINIS

Pemahaman yang jelas mengenai gangguan asam basa dan respons fisiologis yang
mengompensasi membutuhkan terminologi yang tepat (Tabel 30-1). Akhiran -osis digunakan
untuk menunjukkan setiap proses patologis yang mengubah pH arteri. Sehingga, setiap gangguan
yang cenderung menurunkan pH adalah suatu asidosis, sementara yang cenderung meningkatkan
pH disebut sebagai alkalosis. Jika gangguan terutama mempengaruhi [HCO-3], disebut sebagai
metabolik. Jika gangguan terutama mempengaruhi PaCO2, disebut respiratorik. Respons
kompensasi sekunder (lihat di bawah) harus disebut begitu saja tanpa sebagai osis. Sehingga
dapat dikatakan sebagai asidosis metabolik dengan kompensasi respiratorik.
Ketika hanya satu proses patologis terjadi dengan sendirinya, gangguan asam-basa
dianggap sederhana. Adanya dua atau lebih proses primer menunjukkan gangguan asam-basa
campuran.

Tabel 30-1. Menentukan gangguan asam-basa.


Gangguan Perubahan Utama Respons Kompensasi
Respiratorik
Asidosis PaCO2 HCO3-
Alkalosis PaCO2 HCO3-
Metabolik
Asidosis HCO3- PaCO2
alkalosis HCO3- PaCO2

Akhiran emia digunakan untuk menunjukkan efek bersih dari semua proses primer
dan respons fisiologis kompensasinya (lihat di bawah) pada pH darah arteri. Karenaa pH darah
arteri pada keadaan normal adalah 7,35 7,45 pada dewasa, istilah asidemia menandakan pH <
7,35 sementara alkalemia menandakan pH > 7,45.

MEKANISME KOMPENSASI

Respons-respons fisiologis terhadap perubahan dalam [H+] ditandai oleh tiga fase: (1) penyangga
kimiawi segera, (2) kompensasi respiratorik (kapanpun memungkinkan), dan (3) kompensasi
ginjal yang lebih lambat namun lebih efektif yang dapat hampir menormalisasi pH arteri bahkan
jika proses patologis tetap berlangsung.

PENYANGGA TUBUH

Penyanggaan pada manusia yang penting secara fisiologis meliputi bikarbonat (H2CO3/HCO3-),
hemoglobin (HbH/Hb-), protein intraselular lain (PrH/Pr-), fosfat (H2PO4-/HPO42-) dan amonia
(NH3/NH4+). Efektivitas penyangga ini dalam berbagai kompartemen cairan berkaitan dengan
konsentrasinya. Bikarbonat merupakan penyangga yang paling penting di dalam kompartemen
cairan ekstraselular. Hemoglobin, walaupun tertahan di dalam sel darah merah, juga berfungsi
sebagai penyangga yang penting di dalam darah. Protein lainnya memiliki peran yang penting
dalam menyangga kompartemen cairan intraselular. Ion fosfat dan amonium merupakan
penyangga urin yang penting.
Penyanggaan kompartemen ekstraselular juga dapat dilakukan dengan menukar H+
ekstraselular untuk ion Na+ dan Ca2+ dari tulang dan dengan menukar H+ ekstraselular untuk K+
intraselular. Beban asam juga dapat mendemineralisasi tulang dan melepaskan komponen basa
(CaCO3 dan CaHPO4). Beban basa (NaHCO3) meningkatkan deposisi karbonat di dalam tulang.
Penyanggaan oleh bikarbonat plasma terjadi hampir segera sementara bikarbonat
interstisial memerlukan waktu 15-20 menit. Sebaliknya, penyanggaan oleh protein intraselular
dan tulang lebih lambat (2 4 jam). Sampai dengan 50 60% beban asam pada akhirnya
mungkin disangga oleh penyangga tulang dan intraselular.

Penyangga Bikarbonat

Walaupun dalam pengertian yang sangat ketat, penyangga bikarbonat yang terdiri dari H2CO3 dan
HCO3-, tekanan CO2 (PCO2) dapat digantikan untuk H2CO3, karena:

H2O + CO2 H2CO3 H+ + HCO3-

Hidrasi CO2 ini dikatalisasi oleh anhidrase karbonat. Jika dilakukan penyesuaian dalam
konstanta disosiasi untuk penyangga bikarbonat dan jika koefisien solubilitas untuk CO2 (0,03
mEq/L) dipertimbangkan, persamaan Henderson Hasselbalch untuk bikarbonat dapat ditulis
sebagai berikut:

pH = pK + ([HCO3-])
(0,03 PaCO2)

Di mana pK = 6,1.

Perhatikan bahwa pK tidak mendekati pH arteri normal yaitu 7,40, yang berarti bahwa
bikarbonat mungkin tidak dapat menjadi penyangga ekstraselular yang efisien (lihat di atas).
Meskipun demikian, sistem bikarbonat bersifat penting karena dua alasan: (1) bikarbonat (HCO3-)
terdapat dalam konsentrasi yang relatif tinggi di dalam cairan ekstraselular, dan (2) yang lebih
pentingPaCO2 dan [HCO3-] plasma sangat diatur oleh paru dan ginjal. Kemampuan dari kedua
organ ini untuk mengubah rasio [HCO3-]/PaCO2 memungkinkan kedua organ ini untuk
menimbulkan pengaruh yang penting pada pH arteri.
Turunan persamaan Henderson Hasselbalch yang disederhanakan dan lebih praktis
untuk penyangga bikarbonat adalah sebagai berikut:

[H+] = 24 x PaCO2
[HCO3-]

Persamaan ini sangat berguna secara klinis karena pH dapat segera dikonversi menjadi
[H+] (Tabel 30-2). Perhatikan bahwa di bawah 7,40; [H+] meningkat 1,25 nEq/L untuk setiap 0,01
penurunan pH; di atas 7,40; [H+] menurun 0,8 nEq/L untuk setiap 0,01 peningkatan pH.

Tabel 30-2. Hubungan antara pH dan [H+].


pH [H+] nEq/L
6,80 158
6,90 126
7,00 100
7,10 79
7,20 63
7,30 50
7,40 40
7,50 32
7,60 25
7,70 20

Contoh: jika pH arteri = 7,28 dan PaCO2 = 24 mm Hg, bagaimana [HCO3-] plasma?

[H+] = 40 + [(40 28) x 1,25] = 55 nEq/L

Sehingga,

55 = 24 x 24 dan [HCO3-] = (24 x 24) = 10,5 mEq/L


[HCO3-] 55
Harus ditekankan bahwa penyangga bikarbonat efektif melawan gangguan asam-basa
metabolik namun tidak pada respiratorik. Jika asam nonvolatil kuat sebanyak 3 mEq/L seperti
HCl ditambahkan ke dalam cairan ekstraselular , reaksi berikut terjadi:

3 mEq/L H+ + 24 mEq/L HCO3- H2CO3 + H2O + 3 mEq/L CO2 + 21 mEq/L HCO3-

Perhatikan bahwa HCO3- bereaksi dengan H+ untuk menghasilkan CO2. Selain itu, CO2
yang dibentuk pada keadaan normal dieliminasi oleh paru sehingga PaCO2 tidak berubah.
Akibatnya, [H+] = 24 x 40 / 21 = 45,7 nEq/L dan pH = 7,34. Lebih lanjut, penurunan pada [HCO3-
] mencerminkan jumlah asam nonvolatil yang ditambahkan.
Sebaliknya, peningkatan pada tekanan CO2 (asam volatil) memiliki efek minimal pada
[HCO3-]. Jika, misalnya, PaCO2 meningkat dari 40 sampai 80 mm Hg, CO2 yang terlarut
meningkat hanya dari 1,2 mEq/L menjadi 2,3 mEq/L. Selain itu, konstanta keseimbangan untuk
hidrasi CO2 sedemikian rupa sehingga peningkatan besar-besaran ini secara minimal
mengarahkan reaksi ke kiri:

H2O + CO2 H2CO3 H+ + HCO3-

Jika dibuat suatu asumsi yang valid sehingga [HCO3-] tidak berubah secara bermakna,
maka

[H+] = (24 x 80) = 80 nEq/L dan pH = 7,10


24

Sehingga [H+] meningkat sebanyak 40 nEq/L, dan karena HCO3- dihasilkan dalam rasio
1:1 dengan H+, [HCO3-] juga meningkat sebanyak 40 nEq/L. Oleh karena itu, [HCO3-]
ekstraselular menigkat secara tidak berarti, dari 24 mEq/L menjadi 24,000040 mEq/L. Sehingga
penyangga bikarbonat tidak efektif melawan peningkatan PaCO2, dan perubahan pada [HCO3-]
tidak mencerminkan keparahan asidosis respiratorik.

Hemoglobin sebagai Peyangga


Hemoglobin kaya akan histidin, yang merupakan penyangga efektif dari pH 5,7 sampai 7,7 (pKa
6,8). Hemoglobin merupakan penyangga nonkarbonik yang paling penting dalam cairan
ekstraselular. Secara sederhana, hemoglobin yang berada di dalam sel darah merah dapat dianggap
dalam keadaan ekuilibrium sebagai asam lemah (HHb) dan garam kalium (KHb). Berlawanan
dengan penyangga bikarbonat, hemoglobin mampu menyangga baik asam-asam karbonat (C02)
dan nonkarbonat (nonvolatil):

H+ + KHb HHb + K+ dan


H2C3 + KHb HHb + HC03-

KOMPENSASI PARU

Perubahan-perubahan pada ventilasi alveolar yang bertanggung jawab terhadap kompensasi paru
dari PaCO2 dimediasi oleh kemoreseptor di dalam batang otak (lihat Bab 22). Reseptor-reseptor
ini berespons terhadap perubahan-perubahan dalam pH cairan spinal serebrospinal. Ventilasi
menit meningkat 1 4L/menit untuk setiap 1 mm Hg peningkatan dalam PaCO2. Pada
kenyataannya, paru bertanggung jawab untuk mengeliminasi sekitar 1 mEq karbon dioksida yang
dihasilkan setiap hari sebagai produk sampingan dari metabolisme karbohidrat dan lemak.
Respons kompensasi paru juga penting dalam mempertahankan diri dari perubahan-perubahan
yang nyata pada pH selama gangguan metabolik.

Kompensasi Paru Selama Asidosis Metabolik

Penurunan pH darah arteri menstimulasi pusat pernapasan medular. Peningkatan pada ventilasi
alveolar yang dihasilkan menurunkan PaCO2 dan cenderung mengembalikan pH arteri menuju
normal. Respons paru untuk menurunkan PaCO2 terjadi dengan cepat namun mungkin tidak
mencapai keadaan tetap yang diprediksikan sampai 12 24 jam; pH tidak pernah kembali normal
sepenuhnya. PaCO2 pada keadaan normal menurun 1 1,5 mm Hg di bawah 40 mm Hg untuk
setiap 1 mEq/L menurunkan [HCO3-] plasma.

Kompensasi Paru Selama Alkalosis Metabolik

Peningkatan pH darah arteri menekan pusat pernapasan. Hipoventilasi alveolar yang dihasilkan
cenderung meningkatkan PaCO2 dan mengembalikan pH arteri menuju normal. Respons paru
terhadap alkalosis metabolik umumnya kurang dapat diprediksi dibandingkan respons terhadap
asidosis metabolik. Hipoksemia, sebagai akibat dari hipoventilasi progresif, pada akhirnya
mengaktivasi kemoreseptor sensitif-oksigen; hal ini menstimulasi ventilasi dan membatasi
respons kompensasi paru. Akibatnya, PaCO2 biasanya tidak meningkat di atas 55 mm Hg sebagai
respons terhadap alkalosis metabolik. Sebagai aturan umum, PaCO2 mungkin meningkat 0,25 1
mm Hg untuk setiap 1 mEq/L peningkatan pada [HCO3-].

KOMPENSASI GINJAL

Kemampuan ginjal untuk mengontrol jumlah HCO3- yang direabsorpsi dari cairan tubular yang
difiltrasi, membentuk HCO3- yang baru, dan mengeliminasi H+ dalam bentuk asam yang dapat
dititrasi dan ion amonium (lihat Bab 31) yang memungkinkan organ ini menimbulkan pengaruh
utama pada pH baik selama gangguan asam-basa metabolik dan respiratorik. Pada kenyataannya,
ginjal bertanggung jawab untuk mengeliminasi sekitar 1 mEq/kg per hari dari asam sulfat, asam
fosfat, dan asam organik yang teroksidasi secara tidak sempurna yang pada keadaan normal
dihasilkan oleh metabolisme protein makanan dan endogen, nukleoprotein, dan fosfat organik
(dari fosfoprotein dan fosfolipid). Metabolisme nukleoprotein juga menghasilkan asam urat.
Pembakaran yang tidak sempurna dari asam lemak dan glukosa menghasilkan asam keto dan
asam laktat. Alkali endogen diproduksi selama metabolisme beberapa asam amino anionik
(glutamat dan aspartat) dan komponen organik lainnya (sitrat, asetat, dan laktat), namun
jumlahnya tidak cukup untuk mengimbangi produksi asam endogen.

Kompensasi Ginjal selama Asidosis

Respons ginjal terhadap asidemia terdiri dari 3-lapis hal: (1) peningkatan reabsorpsi dari HCO3-
yang terfiltrasi, (2) peningkatan ekskresi asam yang dapat dititrasi, dan (3) peningkatan produksi
amonia.
Walaupun mekanismenya mungkin diaktivasi segera, efeknya secara umum tidak berarti
selama 12 24 jam dan mungkin belum maksimal sampai dengan 5 hari.

A. PENINGKATAN REABSORPSI HCO3-

Reabsorpsi bikarbonat ditunjukkan pada Gambar 30-3, CO2 di dalam sel tubular ginjal bergabung
dengan air jika terdapat anhidrase karbonat. Asam karbonat (H2CO3) yang terbentuk dengan cepat
berdisosiasi menjadi H+ dan HCO3-. Ion bikarbonat kemudian masuk ke aliran darah sementara
H+ disekresikan ke dalam tubulus ginjal, di mana ion tersebut bereaksi dengan HCO3- untuk
membentuk H2CO3. Anhidrase karbonat yang berhubungan dengan tepi lumen mengkatalisasi
disosiasi H2CO3 menjadi CO2 dan H2O. CO2 yang terbentuk dapat berdifusi kembali kedalam sel
tubular ginjal untuk menggantikan CO2 yang dikonsumsi. Tubulus proksimal pada keadaan
normal mereabsorpsi 80 90% beban bikarbonat yang difiltrasi bersama dengan natrium,
sementara tubulus distal bertanggung jawab untuk 10 20% sisanya. Tidak seperti pompa H+
proksimal, pompa H+ di dalam tubulus distal tidak selalu berhubungan dengan reabsorpsi
natrium, dan mampu membangun gradien H+ yang dalam antara cairan tubular dan sel tubular.
pH urin dapat menurun sampai 4,4 (dibandingkan dengan pH 7,40 di dalam plasma).

B. PENINGKATAN EKSKRESI ASAM YANG DAPAT DITITRASI

Setelah semua HCO3- di dalam cairan tubular diperoleh kembali, H+ yang disekresi ke dalam
lumen tubulus dapat bergabung dengan HPO42- untuk membentuk H2PO4- (Gambar 30-4); yang
terakhir ini tidak segera direabsorpsi akibat muatannya dan dieliminasi di dalam urin. Hasil
akhirnya adalah bahwa H+ dieksresikan dari tubuh sebagai H2PO4-, dan HCO3- yang terbentuk
dalam proses tersebut dapat masuk ke aliran darah. Dengan pK 6,8 pasangan H2PO4-/ HPO42- pada
keadaan normal merupakan penyangga urin yang ideal. Ketika pH urin mendekati 4,4, namun
demikian, semua fosfat yang mencapai tubulus distal berada dalam bentuk H2PO4-, ion HPO42-
tidak lagi tersedia untuk mengeliminasi H+.

C. PENINGKATAN PEMBENTUKAN AMONIA

Setelah reabsorpsi HCO3- sempurna dan konsumsi penyangga fosfat, pasangan NH3/NH4+
menjadi penyangga urin yang paling penting (Gambar 30-5). Deaminasi glutamin di dalam
mitokondria sel-sel tubulus proksimal adalah sumber utama produksi NH3 di dalam ginjal.
Asidemia dengan nyata meningkatkan produksi NH3 ginjal. Amonia yang terbentuk kemudian
mampu untuk melintasi membran luminal sel secara pasif, masuk ke cairan tubular, dan bereaksi
dengan H+ untuk membentuk NH4+. Tidak seperti NH3, NH4+ tidak dapat menembus membran
luminal sehingga terperangkap di dalam tubulus. Oleh karena itu, ekskresi NH4+ di dalam urin
secara efektif mengeliminasi H+.
Tubulus Kapiler
proksimal peritubular
ginjal

HCO3-
+ Na+
H+ H+ + HCO3-

H2CO3- H2CO3
Anhidrase
karbonat

H2O H2O
+ +
CO2 CO2

Gambar 30-3. Reklamasi HCO3- yang difiltrasi oleh tubulus proksimal ginjal.

Tubulus Kapiler
Ginjal peritubular

HPO42-
Na+
H+ H+ + HCO3-

H2PO4- H2CO3
Anhidrase
karbonat
H2O
+
CO2

Gambar 30-4. Pembentukan asam yang dapat dititrasi di dalam urin.


Kompensasi Ginjal selama Alkalosis

Jumlah HCO3- yang sangat besar yang pada keadaan normal difiltrasi dan kemudian direabsorpsi
menjadikan ginjal dengan cepat mengekskresi sejumlah besar bikarbonat jika diperlukan (lihat
Bab 28). Hasilnya, ginjal sangat efektif dalam melindungi terhadap alkalosis metabolik, sehingga
hanya terjadi akibat defisiensi natrium atau kelebihan mineralokortikoid yang terjadi bersamaan.
Pengurangan natrium menurunkan volume cairan ekstraselular dan meningkatkan reabsorpsi Na +
di dalam tubulus proksimal. Untuk mempertahankan netralitas, ion Na+ diikutkan melintas
bersama ion Cl-. Ketika ion Cl- berkurang jumlahnya (< 10 mEq/L urin), HCO3- Harus
direabsorpsi. Selain itu, peningkatan sekresi H+ dalam pertukaran untuk reabsorpsi Na+ yang
diperkuat mendorong pembentukan HCO3 lebih lanjut dengan alkalosis metabolik. Begitu juga,
peningkatan aktivitas mineralokortikoid memperuat reabsorpsi Na+ yang dimediasi aldosteron
dalam pertukaran untuk sekresi H+ di dalam tubulus distal. Peningkatan pembentukan HCO3-
yang dihasilkan dapat memulai atau memperberat alkalosis metabolik. Alkalosis metabolik
umumnya berkaitan dengan peningkatan aktivitas mineralokortikoid bahkan pada tidak adanya
pengurangan natrium dan klorida.

Kelebihan Basa

Kelebihan basa adalah jumlah asam atau basa yang harus ditambahkan agar pH darah mencapai
7,40 dan PaCO2 kembali ke 40 mm Hg pada satrasi O2 penuh dan suhu 370C. Selain itu,
kelebihan basa menyesuaikan penyanggaan nornkarbonik di dalam darah. Secara sederhana,
kelebihan basa mencerminkan komponen metabolik dari gangguan asam-basa. Nilai yang positif
menunjukkan alkalosis metabolik, sementara nilai negatif menandakan asidosis metabolik.
Kelebihan basa biasanya diturunkan secara grafik atau elektronik dari nomogram yang pada
awalnya dikembangkan oleh Siggaard-Andersen dan membutuhkan pemeriksaan konsentrasi
hemoglobin (Gambar 30-6).

ASIDOSIS

EFEK FISIOLOGIS ASIDEMIA


[H+] sangat diregulasi dalam kisaran nanomol/liter (36-43 nmol/L) sebagai ion H+ yang memiliki
densitas muatan yang tinggi dan lapang elektrik luas yang dapat mempengaruhi kekuatan ikatan
hidrogen yang terdapat pada sebagian besar zat biokimiawi. Reaksi biokimiawi sangat sensitif
terhadap perubahan pada [H+]. Efek keseluruhan dari asidemia terlihat pada pasien yang
menampakkan keseimbangan antara efek langsungnya dan aktivasi simpatoadrenal. Dengan
perburukan asidosis (pH< 7,20), efek depresan langsung mendominasi. Depresi langsung pada
miokard dan otot polos menurunkan kontraktilitas jantung dan resistansi vaskular perifer,
menghasilkan hipotensi yang progresif. Asidosis berat dapat menyebabkan hipoksia jaringan di
samping pergeseran ke kanan pada afinitas hemoglobin terhadap oksigen. Baik jantung dan otot
polos vaskular menjadi kurang responsif terhadap katekolamin endogen dan eksogen, dan
ambang untuk fibrilasi ventrikel menurun. Hiperkalemia progresif sebagai akibat dari pergerakan
K+ ke luar sel dalam pertukaran untuk H+ ekstraselular juga berpotensi letal. [K+] plasma
meningkat sekitar 0,6 mEq/L untuk setiap 0,10 penurunan pH.
Depresi sistem saraf pusat lebih menonjol pada asidosis respiratorik dibadingkan pada
asidosis metabolik. Efek ini, sering disebut sebagai narkosis CO2, mungkin merupakan akibat
dari hipertensi intrakranial yang terjadi sekunder akibat peningkatan aliran darah serebral dan
asidosis intraselular berat. Tidak seperti CO2, ion H+ tidak dapat menembus sawar darah-otak.

Tubulus Kapiler
ginjal peritubular

Asam keto
NH3 NH3 Asam amino
(glutamin)
+ Na+
H+ H+ + HCO3-
H2CO3-
NH4+
H2O
+
CO2

Gambar 30-5. Pembentukan amonia di dalam urin.


pH

Menurun Meningkat
PaCO2 PaCO2

Menurun Meningkat Menurun Meningkat

Asidosis Asidosis Alkalosis Alkalosis


metabolik respiratorik respiratorik metabolik

Gambar 30-6. Diagnosis gangguan asam-basa sederhana.

ASIDOSIS RESPIRATORIK

Asidosis respiratorik didefinisikan sebagai peningkatan primer pada PaCO2. Peningkatan ini
menyebabkan reaksi

H2O + CO2 H2CO3 H+ + HCO3-

ke arah kanan, menyebabkan peningkatan [H+] dan penurunan pH arteri. Karena alasam
yang digambarkan di atas, [HCO3-] hanya terpengaruh secara minimal.
PaCO3 mencerminkan keseimbangan antara produksi CO2 dan eliminasi C02:

PaCO2 = Produksi CO2


Ventilasi alveolar

Produksi karbondioksida merupakan produk sampingan dari metabolisme lemak dan


karbohidrat. Aktivitas otot, suhu tubuh, dan aktivitas hormon tiroid semuanya dapat memiliki
pengaruh yang ebsar pada porduksi CO2. Karena produksi CO2 tidak bervariasi secara bermakna
pada sebagian besar keadaan, asidosis respiratorik biasanya merupakan hasil dari hipoventilasi
alveolar (Tabel 30-3). Pada pasien dengan kapasitas untuk meningkatkan ventilasi alveolar yang
terbatas, namun demikian, produksi CO2 yang meningkat dapat mencetuskan asidosis
respiratorik.

Asidosis Respiratorik Akut

Respons kompensasi terhadap peningkatan PaCO2 akut (6 12 jam) terbatas. Penyanggaan


terutama disediakan oleh hemoglobin dan pertukaran H+ ekstraselular untuk Na+ dan K+ dari
tulang dan kompartemen cairan intraselular (lihat di atas). Respons ginjal untuk menahan
bikarbonat lebih banyak lagi sangat terbatas secara akut. Hasilnya, [HCO3-] plasma meningkat
hanya sekitar 1 mEq/L untuk setiap 10 mm Hg peningkatan pada PaCO2 di atas 40 mm Hg.

Asidosis Respiratorik Kronik

Kompensasi ginjal penuh menandakan asidosis respiratorik kronik. Kompensasi ginjal hanya
bermakna hanya setelah 12 24 jam dan mungkin tidak memuncak sampai 3 5 hari. Selama
waktu tersebut, peningkatan PaCO2 yang menetap telah terjadi cukup lama untuk memungkinkan
kompensasi ginjal maksimal. Selama asidosis respiratorik kronik, [HCO3-] plasma meningkat
sekitar 4 mEq/L untuk setiap 10 mm Hg peningkatan PaCO2 di atas 40 mm Hg.

Terapi Asidosis Respiratorik

Asidosis respiratorik diterapi dengan membalikkan keseimbangan antara produksi CO2 dan
ventilasi alveolar. Pada kebanyakan keadaan, hal ini dilakukan dengan meningkatkan ventilasi
alveolar. Tindakan yang ditujukan untuk menurunkan produksi CO2 hanya berguna pada keadaan
tertentu (misal, dantrolen untuk hipertermia maligna, paralisis otot untuk tetanus, pengobatan
antitiroid untuk badai tiroid, dan penurunan asupan kalori). Tindakan sementara yang bertujuan
memperbaiki ventilasi alveolar antara lain bronkodilatasi, pembalikan narkosis, pemberian
stimulan pernapasan (doksapram), atau perbaikian komplians paru (diuresis). Asidosis sedang
sampai berat (pH < 7,20), narkosis CO2, dan kelemahan otot pernapasan yang akan terjadi
merupakan indikasi untuk ventilasi mekanis. Peningkatan konsentrasi oksigen terinspirasi juga
jarang diperlukan, karena hipoksemia umumnya menyertai. NaHCO3 intravena jarang diperlukan
kecuali pH < 7,10 dan HCO3- < 15 mEq/L. Terapi natrium bikarbonat akan meningkatkan PaCO2
sementara:
H+ + HCO3- CO2 + H2O

Penyangga yang tidak menghasilkan CO2, seperti carbicarb atau trometamin (THAM),
telah dianjurkan sebagai alternatif namun tidak terbukti bermanfaat (di bawah). Carbicarb
merupakan campuran 0,3 M natrium bikarbonat dan 0,3 M natrium karbonat; penyanggaan
dengan campuran ini terutama menghasilkan natrium bikarbonat dari pada CO2. trometamin
memiliki keuntungan tambahan karena tidak adanya natrium dan mungkin merupakan penyangga
intraselular yang lebih efektif.
Pasien dengan dasar asidosis respiratorik kronik membutuhkan perhatian khusus. Ketika
pasien-pasien tersebut mengalami gagal pernapasan akut, terapi harus bertujuan mengembalikan
PaCO2 ke garis dasar normal pasien. Menormalisasi PaCO2 pasien ke 40 mm Hg akan
menghasilkan alkalosis respiratorik (lihat di bawah). Terapi oksigen juga harus dipantau secara
hati-hati, karena usaha pernapasan pada pasien ini mungkin bergantung pada hipoksemia, bukan
PaCO2; atau mungkin meningkatkan ruang mati fisiologis. Normalisasi PaCO2 atau hiperoksia
relatif dapat mempresipitasi hipoventilasi berat.

Tabel 30-3. Berbagai penyebab asidosis respiratorik.

Hipoventilasi alveolar
Depresi sistem saraf pusat
Induksi obat
Gangguan tidur
Sindrom hipoventilasi obesitas (Pickwickian)
Iskemia serebral
Trauma serebral
Gangguan neuromuskular
Miopati
Neuropati
Abnormalitas dinding dada
Flail chest
Kifoskoliosis
Abnormalitas pleura
Pneumotoraks
Efusi pleura
Obstruksi jalan napas
Jalan napas bagian atas
Benda asing
Tumor
Laringospasme
Gangguan tidur
Jalan napas bagian bawah
Asma berat
Penyakit paru obstruktif kronik
Tumor
Penyakit paru parenkim
Edema paru
Kardiogenik
Nonkardiogenik
Emboli paru
Pneumonia
Aspirasi
Penyakit paru interstisial
Malfungsi ventilator
Peningkatan produksi CO2
Beban kalori tinggi
Hipertermia maligna
Menggigil kuat
Aktivitas kejang yang lama
Badai tiroid (thyroid storm)
Cedera suhu ekstensif (luka bakar)

ASIDOSIS METABOLIK

Asidosis metabolik didefinisikan sebagai penurunan primer pada [HCO3-]. Proses patologis dapat
menginisiasi asidosis metabolik melalui salah satu dari tiga mekanisme berikut: (1) konsumsi
HCO3- oleh asam nonvolatil kuat, (2) pembuangan bikarbonat melalui ginjal atau gastrointestinal,
atau (3) dilusi cepat dari kompartemen cairan ekstraselular dengan cairan bebas bikarbonat.
Penurunan pada [HCO3-] plasma tanpa penurunan yang seimbang pada PaCO2
menurunkan pH arteri. Respons kompensasi paru berupa asidosis metabolik sederhana (lihat di
atas) secara karakteristik tidak menurunkan PaCO2 sampai level yang secara komplet
menormalisasi pH namun dapat menghasilkan hiperventilasi yang nyata (pernapasan Kussmaul).
Tabel 30-4 menyebutkan kelainan yang dapat menyebabkan asidosis metabolik.
Perhatikan bahwa diagnosis banding asidosis metabolik mungkin dibantu oleh penghitungan
senjang anion (anion gap) .

Senjang Anion (Anion Gap)

Senjang anion di dalam plasma paling umum didefinisikan sebagai perbedaan antara kation utama
yang terukur dan anion utama yang terukur:

Senjang anion = kation plasma utama anion plasma utama

Atau

Senjang anion = [Na+] ([Cl-] + [HCO3-])

Beberapa ahli memasukkan K+ plasma dalam perhitungan. Dengan menggunakan nilai-


nilai normal,

Senjang anion = 140 (104 + 24) = 12 mEq/L


(kisaran normal = 7 14 mEq/L)

Tabel 30-4. Berbagai penyebab alkalosis metabolik.

Peningkatan senjang anion


Peningkatan produksi asam nonvolatil endogen
Gagal ginjal
Ketoasidosis
Diabetik
Kelaparan
Asidosis laktat
Campuran
Koma hiperosmolar nonketotik
Alkoholik
Kesalahan metabolisme bawaan
Konsumsi toksin
Salisilat
Metanol
Etilen glikol
Paraldehid
Toluen
Sulfur
Rabdomiolisis
Senjang anion normal (hiperkloremik)
Peningkatan kehilangan HC03- melalui gastrointestinal
Diare
Resin pertukaran anion (kolestiramin)
Konsumsi CaCl2, MgCl2
Fistula (pankreatik, bilier, atau usus halus)
Ureterosigmoidostomi atau obstruksi lingkar ileal
Peningkatan kehilangan HCO3- melalui ginjal
Asidosis tubular ginjal
Inhibitor anhidrase karbonat
Hipoaldosteronisme
Dilusional
Sejumlah besar cairan bebas bikarbonat
Nutrisi parenteral total (garam Cl- dari asam amino)
Peningkatan asupan asam yang mengandung klorida
Amonium klorida
Lisin hidroklorida
Arginin hidroklorida

Pada kenyataannya, suatu senjang anion tidak dapat terjadi karena elektronetralitas harus
dipertahankan di dalam tubuh; jumlah semua anion harus sama dengan semua kation. Sehingga,
Senjang anion = anion yang tidak dihitung kation yang tidak dihitung

Kation yang tidak dihitung mencakup K+, Ca2+, dan Mg2+, sementara anion yang tidak
dihitung mencakup semua anion organik (termasuk protein plasma), fosfat, dan sulfat. Albumin
plasma pada keadaan normal merupakan fraksi terbesar dari senjang anion (sekitar 11 mEq/L).
Senjang anion menurun sebesar 2,5 mEq/L untuk setiap penurunan 1 g/dL dalam konsentrasi
albumin plasma. Setiap proses yang meningkatkan anion yang tidak dihitung atau menurunkan
kation yang tidak dihitung akan meningkatkan senjang anion. Sebaliknya, setiap proses yang
menurunkan anion yang tidak dihitung atau meningkatkan kation yang tidak dihitung akan
menurunkan senjang anion.
Peningkatan ringan pada senjang anion sampai dengan 20 mEq/L mungkin tidak dapat
membantu secara diagnostik selama asidosis, namun nilai > 30 mEq/L biasanya menandakan
adanya asidosis senjang anion yang tinggi (di bawah). Alkalosis metabolik juga dapat
menghasilkan senjang anion yang tinggi akibat pengurangan volume ekstraselular, peningkatan
muatan pada albumin, dan peningkatan kompensasi pada produksi laktat. Suatu senjang anion
plasma yang rendah mungkin terjadi bersama hipoalbuminemia, intoksikasi bromida atau litium,
dan mieloma multipel.

Asidosis Metabolik dengan Senjang Anion Tinggi

Asidosis metabolik dengan senjang anion tinggi ditandai oleh peningkatan pada asam nonvolatil
yang relatif kuat. Asam ini berdisosiasi menjadi H+ dan anion yang berhubungan, H+
menhabiskan HCO3- untuk menghasilkan CO2, sementara anionnya (basa konjugasi)
berakumulasi dan mengambil tempat HCO3- di dalam cairan ekstraselular (sehingga senjang
anion meningkat). Asam nonvolatil dapat dihasilkan secara endogen atau dikonsumsi.

A. KEGAGALAN MENGEKSKRESI ASAM NONVOLATIL ENDOGEN

Asam organik yang diproduksi secara endogen pada keadaan normal dieliminasi oleh ginjal di
dalam urin (di atas). Kecepatan filtrasi glomerular di bawah 20 mL/menit (gagal ginjal) biasanya
menghasilkan asidosis metabolik progresif dari akumulasi asam-asam ini.

B. PENINGKATAN PRODUKSI ASAM NONVOLATIL ENDOGEN


Hipoksia jaringan yang berat setelah hipoksemia, hipoperfusi (iskemia), atau ketidakmampuan
untuk menggunakan oksigen (keracunan sianida) dapat menghasilkan asidosis laktat. Asam laktat
merupakan produk akhir dari meabolisme anaerobik glukosa (glikolisis) dan dengan cepat dapat
berakumulasi di bawah kondisi ini. Penurunan penggunaan laktat oleh hepar, dan dalam derajat
yang lebih rendah oleh ginjal, kurang bertanggung jawab terhadap asidosis laktat; berbagai
penyebabnya meliputi hipoperfusi, alkoholisme, dan penyakit hepar. Level laktat dapat segera
diukur dan normalnya 0,3 -1,3 mEq/L. Asidosis yang dihasilkan oleh asam latat-D, yang tidak
dikenali oleh dehidrogenase laktat (dan tidak terukur dengan pemeriksaan rutin), mungkin
terjadi pada pasien dengan sindrom usus pendek; asam laktat-D dibentuk oleh bakteria kolonik
dari glukosa dan kanji dalam makanan dan diabsorpsi secara sistemik.
Kekurangan insulin absolut atau relatif dapat menyebabkan hiperglikemia dan
ketoasidosis progresif dari akumulasi asam hidroksibutirat dan asetoasetat. Ketoasidosis juga
dapat terlihat setelah kelaparan dan pesta alkohol. Patofisiologi asidosis yang sering dikaitkan
dengan intoksikasi alkoholik berat dan koma hiperosmolar nonketotik kompleks dan mungkin
mencerminkan pembentukan asam laktat, keto, atau asam yang tidak diketahui lainnya.
Beberapa kelainan metabolisme bawaan, seperti penyakit urin sirup maple, asiduria
metilmalonik, asidemia propionat, dan asidemia isovalerat, menghasilkan asidosis metabolik
dengan senjang anion tinggi sebagai akibat dari akumulasi asam amino abnormal.

C. KONSUMSI ASAM NONVOLATIL EKSOGEN

Konsumsi sejumlah besar salisilat secara sering menyebabkan asidosis metabolik. Asam salisilat
seperti asam intermediat lain dengan cepat berakumulasi dan mengasilkan asidosis dengan
senjang anion tinggi. Karena salisilat juga menghasilkan stimulasi pernapasan langsung, sebagian
besar orang dewasa mengalami asidosis metabolik campuran bersamaan dengan (superimposed)
alkalosis respiratorik. Konsumsi metanol (metil alkohol) secara sering menghasilkan asidosis dan
gangguan visual (retinitis). Gejala-gejala biasanya tertunda sampai oksidasi lambat dari metanol
oleh alkohol dehidrogenase menghasilkan asam format, yang sangat toksik terhadap retina.
Senjang anion yang tinggi mencerminkan akumulasi berbagai asam organik, termasuk asam
asetat. Toksisitas etilen glikol juga merupakan hasil dari kerja alkohol dehidrogenase untuk
menghasilkan asam glikolat. Asam glikolat, penyebab utama asidosis, akan dimetabolisme lebih
jauh lagi untuk membentuk asam oksalat, yang dapat disimpan di dalam tubulus ginjal dan
menghasilkan gagal ginjal.
Asidosis Metabolik dengan Senjang Anion Normal

Asidosis metabolik yang menyebabkan senjang anion normal biasanya ditandai dengan
hiperkloremia. [Cl-] plasma meningkat untuk mengambil tempat ion HCO3- yang hilang.
Asidosis metabolik hiperkloremik paling umum disebabkan oleh kehilangan HCO3- abnormal dari
gastrointestinal atau ginjal.
Perhitungan senjang anion di dalam urin dapat bermanfaat dalam mendiagnosis asidosis
dengan senjang anion normal.

Senjang anion urin = ([Na+] + [K+]) [Cl-]

Senjang anion urin pada keadaan normal positif atau mendekati nol. Kation urin utama
yang tidak dihitung pada keadaan normal adalah NH4+, yang seharusnya meningkat (bersama
dengan Cl-) selama asidosis metabolik; hal ini menghasilkan senjang anion urin negatif.
Kerusakan pada sekresi H+ atau NH4+, seperti yang terjadi pada gagal ginjal atau asidosis tubular
ginjal (di bawah), menghasilkan senjang anion urin positif walaupun terdapat asidosis sistemik.

A. PENINGKATAN KEHILANGAN HCO3- GASTROINTESTINAL

Diare merupakan penyebab asidosis metabolik hiperkloremik yang paling umum. Cairan diare
mengandung 20 50 mEq/L HCO3-. Cairan usus halus, bilier, dan pankreas semuanya kaya akan
HCO3-. Kehilangan sejumlah besar cairan ini dapat menyebabkan asidosis metabolik
hiperkloremik. Pasien dengan uterosigmoidostomi dan mereka dengan lingkar ileus yang terlalu
panjang atau terobstruksi sebagian seringkali mengalami asidosis metabolik hperkloremik.
Konsumsi resin penukar-anion yang mengandung klorida (kolestiramin) atau sejumlah besar
kalsium atau magnesium klorida dapat menghasilkan peningkatan absorpsi klorida dan
kehilangan ion bikarbonat. Resin yang tidak dapat diabsorpsi ini mengikat ion bikarbonat.
Sementara kalsium dan magnesium bergabung dengan bikarbonat membentuk garam yang tidak
larut di dalam usus.

B. PENINGKATAN KEHILANGAN HCO3- GINJAL

Pembuangan HCO3- melalui ginjal dapat terjadi akibat kegagalan untuk mereabsorpsi HCO3- yang
terfiltrasi atau menyekresi sejumlah H+ yang adekuat dalam bentuk asam yang dapat dititrasi atau
ion amonium. Defek ini terjadi pada pasien yang mendapat inhibitor anhidrase karbonat seperti
asetazolamid dan pada mereka dengan asidosis tubular ginjal.
Asidosis tubular ginjal terdiri dari sekelompok defek nonazotemik dari sekresi H+ oleh
tubulus ginjal, menghasilkan pH urin yang terlalu tinggi untuk asidemia sistemik. Defek ini
mungkin merupakan akibat dari defek ginjal primer atau mungkin sekunder akibat kelainan
sistemik. Lokasi defek sekresi H+ mungkin berada di dalam tubulus ginjal distal (tipe 1) atau
proksimal (tipe 2). Hipoaldosteronisme hiporeninemik umumnya disebut sebagai asidosis tubular
ginjal tipe 4. Pada asidosis tubular ginjal distal, defek terjadi pada lokasi setelah sebagian besar
HCO3- yang terfiltrasi telah diperoleh kembali. Hasilnya, terdapat kegagalan untuk mengasamkan
urin, sehingga ekskresi asam bersih kurang dari produksi asam bersih harian. Kelainan ini
seringkali berkaitan dengan hipokalemia, demineralisasi tulang, nefrolitiasis, dan nefrokalsinosis.
Terapi alkali (NaHCO3) (1 3 mEq/kg/hari) biasanya cukup untuk membalikkan efek samping
tersebut. Pada asidosis tubular ginjal proksimal yang lebih jarang terjadi, sekresi H+ yang
mengalami defek di dalam tubulus proksimal mengjasilkan pembuangan HCO3- masif. Defek
yang bersamaan pada reabsorpsi tubular zat lainnya seperti glukosa, asam amino, atau fosfat
umum dijumpai. Asidosi hiperkloremik menyebabkan pengurangan volume dan hipokalemia.
Terapi meliputi pemberian alkali (sebanyak 10 25 mEq/kg perhari) dan kalium tambahan.

C. PENYEBAB LAIN ASIDOSIS HIPERKLOREMIK

Asidosis hiperkloremik dilusional dapat terjadi ketika volume ekstraselular dengan cepat dipenuhi
oleh cairan bebas bikarbonat seperti salin normal. HCO3- plasma menurun sebanding dengan
jumlah cairan yang diinfuskan karena HCO3- ekstraselular terdilusi. Infus asam amino
(hiperlaimentasi parenteral) mengandung kation organik dalam kelebihan anion organik dan dapat
menghasilkan asidosis metabolik hiperkloremik karena klorida pada umumnya digunakan sebagai
anion untuk asam amino kationik. Pada akhirnya, pemberian asam yang mengandung klorida
dalam jumlah yang berlebihan seperti amonium klorida atau arginin hidroklorida (biasanya
diberikan untuk mengatasi alkalosis metabolik) dapat menyebabkan asidosis metabolik
hiperkloremik.

Terap Asidosis Metabolik

Beberapa tindakan umum dapat dilakukan untuk mengontrol keparahan asidemia sampai proses
yang mendasari dikoreksi. Setiap komponen respiratorik dari asidemia harus dikoreksi. Respirasi
sebaiknya dikontrol jika diperlukan; PaCO2 pada level serendah 30an mungkin diharapkan untuk
mengembalikan pH secara parsial ke normal. Jika pH darah arteri tetap di bawah 7,20; terapi
alkali, biasanya dalam bentuk NaHCO3 (biasanya larutan 7,5%), mungkin diperlukan. PaCO2
mungkin meningkat sementara karena HCO3- dikonsumsi oleh asam (menegaskan kebutuhan
untuk mengontrol ventilasi pada asidemia berat). Jumlah NaHCO3 yang diberikan diputuskan
secara empiris sebagai dosis tetap (1 mEq/L) atau berasal dari kelebihan basa dan jarak
bikarbonat yang dihitung (lihat di bawah). Pada kedua keadaan tersebut, pemeriksaan gas darah
serial merupakan keharusan untuk menghindari komplikasi (misal, alkalosis yang berlebihan dan
kelebihan beban natrium) dan untuk memandu terapi selanjutnya. Peningkatan pH arteri sampai >
7,25 biasanya cukup untuk mengatasi efek fisiologis yang tidak diinginkan dari asidemia.
Asidemia yang nyata atau refrakter mungkin memerlukan hemodialisis akut dengan dialisat
bikarbonat.
Penggunaan rutin NaHCO3 dalam jumlah besar dalam mengatasi henti jantung dan
keadaan aliran rendah tidak lagi direkomendasikan. Asidosis intraselular paradoksikal mungkin
terjadi, khususnya ketika eliminasi CO2 terganggu, karena CO2 yang terbentuk segera masuk ke
dalam sel namun ion bikarbonat tidak demikian. Penyangga berseling yang tidak menghasilkan
CO2 secara teoritis mungkin lebih disukai, namun tidak terbukti secara klinis.
Terapi spesifik untuk ketoasidosis diabetik mencakup penggantian defisit cairan yang
telah ada (sebagai akibat dari diuresis osmotik hiperglikemik) pada awalnya dan juga insulin,
kalium, fosfat, dan magnesium. Terapi untuk asidosis laktat pertama-tama harus bertujuan
mengembalikan oksigenasi yang adekuat dan perfusi jaringan. Alkalinisasi urin dengan NaHCO3
sampai pH lebih dari 7,0 meningkatkan eliminasi salisilat setelah keracunan salisilat. Infus etanol
(dosis loading intravena sebanyak 8 10 mL/kg etanol 10% dalam larutan D5 selama 30 menit
dengan pemberian infus kontinu secara bersamaan pada kecepatan 0,15 mL/kg/jam untuk
mencapai kadar etanol darah sebesar 100 130 mg/dL) diindikasikan setelah terjadi intoksikasi
metanol dan etilen glikol. Etanol berkompetisi dengan alkohol dehidrogenase, dan memperlambat
pembentukan asam format dari metanol dan asam glikolat dan oksalat dari etilen glikol.

RUANG BIKARBONAT

Ruang bikarbonat didefinisikan sebagai volume di mana HCO3- akan berdistribusi ketika
diberikan secara intravena. Walaupun hal ini secara teoritis harus sama dengan ruang cairan
ekstraselular (sekitar 35% dari berat tubuh), pada kenyataannya ruang ini berkisar di manapun
antara 25% dan 60% berat tubuh bergantung pada keparahan dan durasi asidosis. Variasi ini
setidaknya sebagian berkaitan dengan jumlah penyanggaan intraselular dan tulang yang telah
terjadi.
Contoh: Hitung jumlah NaHCO3 yang diperlukan untuk mengoreksi defisit basa (base
deficit, BD) sebesar -10 mEq/L untuk pria dengan berat tubuh 70-kg dengan ruang HCO3- yang
diperkirakan sebesar 30%:

NaHCO3 = BD x 30% x berat badan dalam L

NaHCO3 = -10 mEq/L x 30% x 70 L = 210 mEq

Pada prakteknya, hanya sekitar 50% dari dosis yang dihitung (105 mEq) yang biasa diberikan,
setelah itu dilakukan pengukuran gas darah lainnya.

PERTIMBANGAN ANESTETIK PADA PASIEN DENGAN ASIDOSIS

Asidemia dapat mempotensiasi efek depresan sebagian besar sedatif dan obat anestetik pada
sistem saraf pusat dan sirkulasi. Karena sebagian besar opioid adalah basa lemah, asidosis dapat
meningkatkan fraksi obat di dalam bentuk nonionisasi dan membantu penetrasi opioid ke dalam
otak. Peningkatan sedasi dan depresi refleks jalan napas dapat menimbulkan predisposisi terhadap
aspirasi pulmoner. Efek depresan sirkulasi anestetik volatil maupun intravena juga dapat
diperkuat. Selain itu, setiap obat yang dengan cepat menurunkan tonus simpatik dapat berpotensi
memungkinkan depresi sirkulasi yang tidak terlawan pada keadaan asidosis. Halotan lebih
aritmogenik pada keadaan asidosis. Suksinilkolin sebaiknya dihindari pada pasien asidotik
dengan hiperkalemia untuk mencegah peningkatan lebih lanjut pada [K +] plasma. Pada akhirnya,
asidosis respiratoriknamun bukan metabolikmemperkuat blokade neuromuskular
nondepolarisasi dan mungkin mencegah antagonismenya oleh obat-obat pembalik.

ALKALOSIS

EFEK FISIOLOGIS ALKALOSIS

Alkalosis meningkatkan afinitas hemoglobin terhadap oksigen dan menggeser kurva disosiasi
oksigen ke kiri, membuat hemoglobin lebih sulit memberikan oksigen ke jaringan. Pergerakan H+
ke luar sel dalam pertukaran untuk pergerakan K+ ekstraselular ke dalam sel dapat menyebabkan
hipokalemia. Alkalosis meningkatkan jumlah lokasi pengikatan anionik untuk Ca 2+ pada protein
plasma sehingga menurunkan [Ca2+] plasma yang terionisasi, menyebabkan depresi sirkulasi dan
iritabilitas neuromuskular. Alkalosis respiratorik menurunkan aliran darah serebral, meningkatkan
resistensi vaskular sistemik, dan dapat mempresipitasi vasospasme koroner. Di dalam paru,
alkalosis respiratorik meningkatkan tonus otot polos bronkial (bronkokonstriksi) namun
menurunkan resistansi vaskular sistemik.

Tabel 30-5. Berbagai penyebab alkalosis respiratorik.

Stimulasi sentral
Nyeri
Ansietas
Iskemia
Stroke
Tumor
Infeksi
Demam
Induksi obat
Salisilat
Progesteron (kehamilan)
Analeptik (doksapram)
Stimulasi perifer
Hipoksemia
Ketinggian
Penyakit paru
Gagal jantung kongestif
Edema paru nonkardiogenik
Asma
Emboli paru
Anemia berat
Mekanisme yang tidak diketahui
Sepsis
Ensefalopati metabolik
Iatrogenik
Diinduksi ventilator

ALKALOSIS RESPIRATORIK

Alkalosis respiratorik didefinisikan sebagai penurunan primer pada PaCO2. Mekanisme umumnya
adalah peningkatan ventilasi alveolar yang tidak sesuai terhadap produksi CO2. Tabel 30-5
mencantumkan penyebab alkalosis repiratorius paling umum. [HCO3-] plasma biasanya menurun
2 mEq/L untuk setiap 10 mm Hg penurunan akut pada PaCO2 di bawah 40 mm Hg. Perbedaan
antara alkalosis respiratorik akut dan kronik tidak selalu dapat dilakukan, karena respons
kompensasi terhadap alkalosis respiratorik kronik sangat bervariasi: [HCO3-] plasma menurun 2
5 mEq/L untuk setiap 10 mm Hg penurunan pada PaCO2 di bawah 40 mm Hg.

Terapi Alkalosis Respiratorik

Koreksi pada proses yang mendasari merupakan satu-satunya terapi untuk alkalosis respiratorik.
Untuk alkalemia berat (pH arteri > 7,60), asam hidroklorida intravena, arginin klorida, atau
amonium klorida mungkin diindikasikan (lihat di bawah).

ALKALOSIS METABOLIK

Alkalosis metabolik didefinisikan sebagai peningkatan primer pada [HCO3-] plasma. Sebagian
besar kasus alkalosis metabolik dapat dibagi menjadi (1) yang berkaitan dengan defisiensi NaCl
dan pengurangan cairan ekstraselular, sering disebut sebagai sensitif klorida, dan (2) yang
berkaitan dengan peningkatan aktivitas mineralokortikoid, umumnya disebut sebagai resisten
klorida (Tabel 30-6).

Tabel 30-6. Berbagai penyebab alkalosis metabolik.

Sensitif-klorida
Gastrointestinal
Vomitus
Drainase gaster
Diare klorida
Adenoma vilosa
Ginjal
Diuretik
Pascahiperkapnik
Asupan klorida rendah
Keringat
Fibrosis kistik
Resisten-klorida
Peningkatan aktivitas mineralokortikoid
Hiperaldosteronisme primer
Gangguan edematosa (hiperaldosteronisme sekunder)
Sindrom Cushing
Konsumsi licorice
Sindrom Bartter
Hipokalemia berat
Lain-lain
Transfusi darah masif
Larutan koloid yang mengandung asetat
Pemberian basa pada insufisiensi ginjal
Terapi alkali
Terapi gabungan antasida dan resin pertukaran kation
Hiperkalemia
Sindrom alkali-susu
Metastasis tulang
Penisilin natrium
Pemberian glukosa setelah kelaparan.

Alkalosis Metabolik Sensitif-Klorida

Pengurangan cairan ekstraselular menyebabkan tubulus ginjal untuk nereabsorpsi Na+ secara
cepat. Karena Cl- yang tersedia tidak cukup untuk menyertai semua ion Na+ yang direabsorpsi,
peningkatan sekresi pH harus terjadi untuk memperahankan elektronetralitas. Pada efeknya, ion
HCO3- yang mungkin telah dieksresi direabsorpsi, menghasilkan alkalosis metabolik. Secara
fisiologis, pemeliharaan volume cairan ekstraselular diberikan sebagai prioritas di atas
keseimbangan asam-basa. Karena sekresi ion K+ juga dapat mempertahankan elektronetralitas,
sekresi kalium juga diperkuat. Selain itu, hipokalemia meningkatkan sekresi H+ (dan reabsorpsi
HCO3-) dan juga akan mempercepat alkalosis metabolik. Tentu saja, hipokalemia berat saja dapat
menyebabkan alkalosis. Konsentrasi klorida urin selama alkalosis metabolik sensitif-klorida
secara khas rendah (< 10 mEq/L)
Terapi diuretik merupakan penyebab yang paling umum alkalosis metabolik sensitif-
klorida. Diuretik seperti furosemid, asam etakrinat, dan tiazid meningkatkan ekskresi Na +, Cl-,
dan K+, menghasilkan pengurangan NaCl, hipokalemia, dan biasanya alkalosis metabolik ringan.
Hilangnya cairan lambung juga merupakan penyebab alkalosis metabolik sensitif-klorida yang
umum. Sekresi gastrik mengandung 25 100 mEq/L H+, 40 160 mEq/L Na+, sekitar 15 mEq/L
K+, dan sekitar 200 mEq/L Cl-. Vomitus dan kehilangan cairan lambung kontinu oleh drainase
gastrik penyedotan nasogastrik) dapat menghasilkan alkalosis metabolik yang nyata, pengurangan
volume ekstraselular, dan hipokalemia. Normalisasi PaCO2 yang cepat setelah [HCO3+] plasma
telah meningkat pada asidosis respiratorik kronik menghasilkan alkalosis metabolik (alkalosis
pascahiperkapnik; lihat di atas). Bayi yang telah diberikan formula yang mengandung Na + tanpa
klorida akan mengalami alkalosis metabolik akibat peningkatan sekresi H+ (atau K+) yang garus
menyertai absorpsi natrium.

Alkalosis Metabolik Resisten-Klorida

Peningkatan aktivitas mineralokortikoid pada umumnya menyebabkan alkalosis metabolik


bahkan ketika hal ini tidak berkaitan dengan pengurangan volume ekstraselular. Peningkatan
yang tidak sesuai (tidak diregulasi) pada aktivitas mineralokortikoid menyebabkan retensi
natrium dan perluasan volume cairan ekstraselular. Peningkatan sekresi H+ dan K+ terjadi untuk
mengimbangi reabsorpsi natrium yang dimediasi mineralokortikoid yang diperkuat,
menghasilkan alkalosis metabolik dan hipokalemia. Konsentrasi klorida urin biasanya lebih besar
dari 20 mEq/L pada kasus-kasus demikian.

Penyebab Lain Alkalosis Metabolik

Alkalosis metabolik jarang terjadi pada pasien yang diberikan dosis besar NaHCO3 kecuali
ekskresi HCO3- ginjal terganggu. Pemberian sejumlah besar produk darah dan sedikit larutan
koloid yang mengandung protein seringkali menghasilkan alkalosis metabolik. Sitrat, laktat, dan
asetat yang terkandung di dalam cairan ini dikonversi oleh hepar menjadi HCO3-. Pasien yang
mendapatkan natrium penisilin dalam jumlah besar (khususnya karbenisilin) dapat mengalami
alkalosis metabolik. Karena penisilin bekerja sebagai anion yang tidak dapat diserap pada tubulus
ginjal, peningkatan sekresi H+ (atau K+) harus menyertai absorpsi natrium. Untuk alasan yang
belum jelas, hiperkalsemia yang dihasilkan dari penyebab-penyebab nonparatiroid (sindrom
alkali-susu dan metastasis tulang) juga berkaitan dengan alkalosis metabolik. Patofisiologi
alkalosis setelah pemberian makanan kembali juga tidak diketahui.

Terapi Alkalosis Metabolik

Seperti gangguan asam-basa lainnya, koreksi alkalosis metabolik tidak sempurna sampai
gangguan yang mendasari diobati. Ketika ventilasi dikontrol, setiap komponen respiratorik yang
berperan pada alkalemia harus dikoreksi dengan menurunkan ventilasi menit untuk
menormalisasi PaCO2. Terapi pilihan untuk alkalosis metabolik sensitif-klorida adalah pemberian
salin intravena (NaCl) dan kalium (KCl). Terapi bloker-H2 berguna ketika kehilangan cairan
gastrik yang berlebihan merupakan penyebabnya. Asetazolamid juga dapat berguna pada pasien
edematosa. Alkalosis yang berkaitan dengan dengan peningkatan primer pada aktivitas
mineralokortikoid segera berespons terhadap antagonis aldosteron (spironolakton). Ketika pH
darah arteri lebih dari 7,60; terapi dengan asam hidroklorida intravena (0,1 mol/L, amonium
klorida (0,1 mol/L), arginin hidroklorida, atau hemodialisis harus dipertimbangkan.

PERTIMBANGAN ANESTETIK PADA PASIEN DENGAN ALKALEMIA

Alkalosis respiratorik tampaknya memperpanjang durasi depresi pernapasan yang diinduksi


opioid; efek ini mungkin dihasilkan oleh peningkatan ikatan protein pada opioid. Iskemia serebral
dapat terjadi akibat penurunan yang nyata pada aliran darah serebral selama alkalosis respiratorik,
khususnya selama hipotensi. Kombinasi alkalemia dan hipokalemia dapat mempresipitasi aritmia
atrial dan ventrikular. Potensiasi pada blokade neuromuskular nondepolarisasi pernah dilaporkan
pada alkalemia namun mungkin lebih berhubungan langsung dengan hipokalemia yang terjadi
bersamaan.

DIAGNOSIS GANGGUAN ASAM-BASA

Interpretasi status asam-basa dari analisis gas darah membutuhkan pendekatan sistematis.
Pendekatan yang direkomendasikan adalah sebagai berikut (Gambar 30-6):
(1) Periksa pH arteri: Apakah terdapat asidemia atau alkalemia?
(2) Periksa PaCO2: Apakah perubahan pada PaCO2 konsisten dengan komponen respiratorik?
(3) Jika perubahanPaCO2 tidak menjelaskan perubahan pH arteri, apakah perubahan pada
[HCO3-] menunjukkan komponen metabolik?
(4) Buatlah diagnosis sementara (lihat Tabel 30-1).
(5) Bandingkan perubahan [HCO3-] dengan perubahan PaCO2. Apakah terdapat respons
kompensasi (Tabel 30-7)? Karena pH arteri berkaitan dengan rasio PaCO2 dan [HCO3-],
baik mekanisme kompensasi paru dan ginjal selalu terjadi sehingga PaCO2 dan [HCO3-]
berubah dengan arah yang sama. Perubahan pada arah yang berlawanan menandakan
gangguan asam-basa campuran.
(6) Jika respons kompensasi lebih atau kurang dari yang diharapkan, berdasarkan definisi
terjadi gangguan asam-basa campuran.
(7) Hitung senjang anion plasma pada kasus asidosis metabolik.
(8) Ukur konsentrasi klorida urin pada kasus alkalosis metabolik.

Suatu pendekatan alternatif yang cepat namun mungkin kurang tepat adalah
menghubungkan perubahan pada pH dengan perubahan pada CO2 atau HCO3. Untuk gangguan
respiratorik, setiap perubahan sebesar 10 m Hg pada CO2 akan mengubah pH arteri sekitar 0,08 U
pada arah yang berlawanan. Selama gangguan metabolik, setiap perubahan 6 mEq/L pada HCO3
juga mengubah pH arteri sebesar 0,1 pada arah yang sama. Jika perubahan pada pH melebihi atau
kurang dari yang diharapkan, suatu gangguan asam-basa campuran cenderung terjadi.

Tabel 30-7. Respons kompensasi normal pada gangguan asam-basa.

Gangguan Respons Perubahan yang diharapkan


Asidosis respiratorik
Akut [HCO3-] 1 mEq/L/10 mm Hg
peningkatan PaCO2
Kronik [HCO3-] 4 mEq/L/10 mm Hg
peningkatan PaCO2
Alkalosis respiratorik
Akut [HCO3-] 2 mEq/L/10 mm Hg
penurunan PaCO2
kronik [HCO3-] 4 mEq/L/10 mm Hg
penurunan PaCO2
Asidosis metabolik PaCO2 1,2 x penurunan [HCO3-]]
Alkalosis metabolik PaCO2 0,7 x peningkatan [HCO3-]

PEMERIKSAAN TEKANAN & PH GAS DARAH

Nilai-nilai yang didapatkan pada pemeriksaan gas darah rutin mencakup tekanan oksigen dan
karbondioksida (PO2 dan PCO2), pH, [HCO3-], kelebihan basa, hemoglobin, dan persentase
saturasi oksigen dari hemoglobin. Sebagai aturan, hanya PO2, PCO2, dan pH yang diperiksa.
Hemoglobin dan persentase saturasi oksigen diperiksa dengan kooksimeter. [HCO3-] didapatkan
dengan menggunakan persamaan Henderson-Hasselbalch dan kelebihan basa dari nomogram
Siggaard-Andersen.

Sumber dan Pengumpulan Sampel

Sampel darah arteri adalah yang paling umum digunakan secara klinis, walaupun darah kapiler
dan vena dapat digunakan jika terdapat keterbatasan dalam sampel tersebut. Tekanan oksigen
pada darah vena (pada keadaan normal 40 m Hg) mencerminkan pengambilan jaringan, bukan
fungsi paru. PCO2 vena biasanya 4 6 mm Hg lebih tinggi dari pada PaCO2. Akibatnya, pH
darah vena biasanya 0,05 U lebih rendah dari pada pH darah arteri. Walaupun berbagai
keterbatasan ini, darah vena seringkali berguna dalam menentukan status asam-basa. Darah
kapiler mencerminkan campuran darah arteri dan vena, dan nilai yang didapatkan mencerminkan
hal ini. Sampel biasanya dikumpulkan dalam siring yang dilapisi heparin dan harus dianalisa
secepat mungkin. Gelembung udara harus dihilangkan, dan sampel harus ditutup dan ditempatkan
pada es untuk mencegah ambilan gas yang signifikan dari sel darah atau kehilangan gas ke
atmosfer. Walaupun heparin sangat asam, heparin dalam jumlah yang berlebihan di dalam
semprit (syringe) sampel biasanya hanya sedikit menurunkan pH namun menurunkan PCO2
dalam perbandingan langsung dengan persentase pengenceran, dan memiliki efek yang bervariasi
pada PO2.

Koreksi Suhu

Perubahan-perubahan pada suhu mempengaruhi pengukuran PCO2 dan PO2 secara langsung dan
pengukuran pH secara tidak langsung. Penurunan suhu mengurangi tekanan parsial gas dalam
larutanwalaupun kandungan gas total tidak berubahkarena solubilitas gas berbanding
terbalik dengan suhu. Sehingga baik PCO2 dan PO2 menurun selama hipotermia, namun pH
meningkat karena suhu tidak mengubah [HCO3-] secara bermakna; PaCO2 menurun, namun
[HCO3-] tidak berubah. Karena tekanan gas darah dan pH selalu diukur pada suhu 370C, terjadi
kontroversi mengenai apakah perlu mengoreksi nilai yang terukur pada suhu pasien sebenarnya.
Nilai normal pada suhu selain 370C tidak dikeahui. Banyak klinisi menggunakan pengukuran
pada suhu 370C secara langsung, tanpa mempertimbangkan suhu pasien sebenarnya (lihat Bab
21).

PENGUKURAN PH

Ketika logam diletakkan pada larutan dengan garam-garamnya, kecenderungan logam untuk
terionisasi ke dalam larutan menyebabkan logam menjadi bermuatan negatif. Jika dua logam
yang berbeda (elektroda) dan garam-garamnya dipisahkan oleh partisi yang berpori
(memungkinkan perpindahan muatan), kecenderungan untuk satu logam masuk ke dalam larutan
lebih dari yang lainnya menghasilkan kekuatan elektromotif di antara dua elektroda. Untuk
pemeriksaan pH, suatu perak/elektroda perak klorida dan suatu merkuri/elektroda merkuri klorida
(calomel) adalah yang paling umum digunakan. Elektroda perak berhubungan dengan larutan
yang diperiksa melalui kaca sensitif-pH. Elektroda calomel berhubungan dengan larutan yang
diperiksa melalui larutan klorida kalium dan sumbat berpori. Kekuatan elektromotif terjadi di
antara kedua elektroda sebanding dengan [H+].

PEMERIKSAAN KARBON DIOKSIDA

Modifikasi sistem elektroda pH memungkinkan pemeriksaan PCO2. Pada sistem ini (elektroda
Severinghaus), kedua elektroda dipisahkan oleh natrium bikarbonat dan larutan kalium klorida.
Sampel yang diperiksa berkontak dengan larutan bikarbonat melalui membran Teflon yang tipis
yang memungkinkan CO2 berekuilibrasi diantara keduanya. Hasilnya, pH larutan bikarbonat
mencerminkan PCO2 dari larutan yang diperiksa.

PEMERIKSAAN OKSIGEN

PO2 adalah pemeriksaan yang paling umum secara polarografis dengan menggunakan elektroda
Clark. Pada sistem ini, platinum berhubungan dengan perak/elektroda perak klorida melalui
larutan elektrolit (NaCl dan KCl). Sampel yang diperiksa dipisahkan dari larutan elektrolit oleh
membran yang memungkinkan oksigen berdifusi secara bebas. Ketika voltase negatif diberikan
ke elektroda platinum, arus listrik yang mengalir di antara kedua elektroda secara langsung
berhubungan dengan PO2. Pada proses, molekul-molekul oksigen mengambil elektron dari katoda
dan bereaksi dengan air untuk membentuk ion hidrogen.

DISKUSI KASUS:
GANGGUAN ASAM-BASA KOMPLEKS

Seorang bayi laki-laki berusia 1 bulan dengan malformasi anorektal menjalani anoplasti. Pada
periode pascabedah, bayi tersebut diketahui mengalami gagal jantung kongestif akibat
koarktasio aorta. Ia dikatakan mengalami takipnea, penurunan curah urin, perfusi perifer yang
buruk, hepatomegali, dan kardiomegali. Setelah intubasi trakeal, bayi diberikan ventilator
(ventilasi didukung tekanan, fraksi oksigen terinspirasi [FiO2] = 1,0). Pemeriksaan awal pada
gas darah arteri, hemoglobin, dan elektrolit adalah sebagai berikut:
PaCO2 = 11 mm Hg
pH = 7,47
PaO2 = 209 mm Hg
[HCO3-] terhitung = 7,7 mEq/L
Defisit basa = -14,6 mEq/L
Hb = 9,5 g/dL
[Na+] = 135 mEq/L
[Cl-] = 95 mEq/L
[K+] = 5,5 mEq/L
[CO2 total] = 8 mEq/L
Perhatikan bahwa [CO2] total yang pada keadaan normal diukur bersama elektrolit
mencakup [HCO3-] plasma dan CO2 terlarut di dalam plasma.

Gangguan asam-basa apa yang terjadi?

Dengan menggunakan pendekatan yang digambarkan di atas, pasien jelas mengalami


alkalosis (pH > 7,45), di mana setidaknya sebagian berasal dari respiratorik (PaCO2 < 40 mm
Hg). Karena PaCO2 menurun mendekati 30 mm Hg, kita akan mengharapkan [HCO3-] sebesar
18 mEq/L:
(40 10) x 2 mEq/L = 6 mEq/L di bawah 24 mEq/L
10
Pada kenyataannya, [HCO3-] pasien hampir 10 mEq/L lebih rendah dari hasil tersebut!
Oleh karena itu pasien juga memiliki gangguan asam-basa campuran: alkalosis respiratorik
primer dan asidosis metabolik primer. Perhatikan bahwa perbedaan antara [HCO3-] pasien dan
[HCO3-] yang diharapkan untuk alkalosis respiratorik murni secara kasar berhubungan dengan
kelebihan basa.

Apa kemungkinan penyebab dari gangguan ini?

Alkalosis respiratorik kemungkinan merupakan akibat dari gagal jantung kongestif,


sementara asidosis metabolik dihasilkan dari asidosis laktat sekunder akibat perfusi yang buruk.
Yang terakhir ini ditunjukkan oleh senjang anion plasma yang dihitung:

Senjang anion = 135 (95+8) = 32 mEq/L

Kadar laktat pada kenyataannya diukur dan diketahui meningkat sampai 14,4 mEq/L.
Kemungkinan kelebihan cairan mempresipitasi gagal jantung kongestif.

Terapi apa yang dianjurkan?

Terapi harus diarahkan pada proses primernya, yaitu, gagal jantung kongestif. Pasien
diterapi dengan digoksin dan furosemid. Konsentrasi hemoglobin rendah untuk usia bayi ini
(normal, 14 16 g/L), sehingga transfusi setelah diuresis juga mungkin dianjurkan.
Setelah diuresis, takipnea pada pasien ini membaik, namun perfusi tetap tampak buruk.
Pemeriksaan laboratorium ulangan sebagai berikut (FiO2 = 0,5):
PaCO2 = 23 mm Hg
pH = 7,52
PaO2 = 136 mm Hg
[HCO3-] yang dihitung = 18 mEq/L
Defisit basa = -3,0 mEq/L
Hb = 10,3 g/dL
[Na+] = 137 mEq/L
[Cl-] = 92 mEq/L
[K+] = 3,9 mEq/L
[CO2 total] = 18,5 mEq/L

Gangguan asam-basa apakah yang terjadi?

Alkalosis respiratorik tetap terjadi, sementara defisit basa tampaknya membaik.


Perhatikan bahwa konsentrasi hemoglobin sedikit meningkat, namun [K+] menurun akibat
diuresis. Dengan PaCO2 yang baru, [HCO3_] yang diharapkan akan menjadi 20,6 mEq/L:

(40 23) x 2 mEq/L = 3,4 mEq/L di bawah 24 mEq/L


________
10

Sehingga, pasien tetap memiliki asidosis metabolik karena [HCO3-] 2 mEq/L lebih kecil.
Perhatikan lagi bahwa perbedaan ini mendekati defisit basa yang diberikan dan senjang anion
tetap tinggi:

Senjang anion = 137 (92 + 18) = 27

Pemeriksaan laktat ulangan kini 13,2 mEq/L


Senjang anion yang tinggi dan kadar laktat menjelaskan mengapa pasien tetap tidak
membaik dan menunjukkan adanya proses baru yang menutupi keparahan asidosis metabolik
(yang pada intinya tidak berubah).
Dengan perjalanan penyakit tersebut, sepertinya pasien kini memiliki gangguan asam-
basa tiga kali lipat: alkalosis respiratorik, asidosis metabolik, dan kini alkalosis metabolik. Yang
terakhir mungkin dihasilkan dari hipovolemia yang terjadi sekunder akibat diuresis yang
berlebihan (alkalosis metabolik sensitif-klorida). Perhatikan juga bahwa alkalosis metabolik
hampir sama besarnya dengan asidosis metabolik.
Pasien kemudian diberikan sel darah merah padat dalam salin, dan dalam 24 jam ketiga
gangguan ini membaik:
PaCO2 = 35 mm Hg
pH = 7,51
PaO2 = 124mm Hg
[HCO3-] yang dihitung = 26,8 mEq/L
Defisit basa = +5,0 mEq/L
Hb = 15 g/dL
[Na+] = 136mEq/L
[Cl-] = 91 mEq/L
[K+] = 3,2 mEq/L
[CO2 total] = 27 mEq/L
Laktat = 2,7 mEq/L

Hasil akhir

Alkalosis respiratorik dan asidosis metabolik telah teratasi, dan alkalosis metabolik kini
yang paling jelas.
Penggantian KCl intravena dam sejumlah kecil salin diberikan secara bijaksana, diikuti
dengan pemulihan komplet dari alkalosis metabolik. Pasien kemudian menjalani pembedahan
untuk memperbaiki koarktasio.

BACAAN YANG DIANJURKAN

Kellum JA: Metabolic acidosis in the critically ill: lessons from physical chemistry [clinical
management of acute renal failure in the ICU]. Kidney Int 1998;53:S-81. An outstanding
review of the changes in understanding of acid-base balance using the work of Stewart
and others.
Kraut JA, Madias NE: Approach to patients with acid-base disorders. Respir Care 2001;46:392.
Longenecker JC: High-Yield Acid-Base. Williams & Wilkins, 1998.
Pestana C: Fluid and Electrolytes in the Surgical Patient, 5th ed. Lippincott, Williams & Wilkins,
2000.

You might also like