You are on page 1of 37

LAPORAN KASUS

Diabetes Melitus Tipe 2

Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat


Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa

Pembimbing :
dr. Hascaryo Nugroho, Sp.PD

Disusun Oleh :
Linna Asni Zalukhu
1610211027

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN


ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN
NASIONAL VETERAN JAKARTA
PERIODE 03 JULI 05 AGUSTUS 2017
LEMBAR PENGESAHAN KEPANITERAAN KLINIK
ILMU PENYAKIT DALAM
Presentasi kasus dengan judul :
Diabetes Melitus Tipe 2

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di


Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUD Ambarawa

Disusun Oleh:
Linna Asni Zalukhu
1610221027

Telah Dipresentasikan pada Tanggal September 2017

Telah Disetujui oleh Pembimbing:


Ambarawa, September 2017

Pembimbing

dr. Hascaryo Nugroho, Sp.PD

2
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN............................................................................. 2
DAFTAR ISI................................................................................................... 3
KATA PENGANTAR..................................................................................... 4
BAB I
PENDAHULUAN.......................................................................................... 5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................6
BAB III
LAPORAN KASUS....................................................................................... 20
BAB IV
PEMBAHASAN............................................................................................28
BAB V
KESIMPULAN............................................................................................. 31
DAFTAR PUSTAKA................ ................................................................... 33

3
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat dan
rahmatnya kami dapat menyelesaikan penyusunan Laporan Kasus yang berjudul
Diabetes Melitus Tipe 2 Laporan kasus ini kami susun untuk melengkapi tugas
kepaniteraan Departemen Ilmu Penyakit Dalam di Rumah Sakit Umum Daerah
Ambarawa. Kami mengucapkan banyak terima kasih yang sebesar besarnya kepada
dr. Hascaryo Nugroho, Sp.PD yang telah membimbing dan membantu kami dalam
melaksanakan kepaniteraan dan dalam menyusun laporan kasus ini.
Penulis menyadari dalam penulisan laporan kasus ini masih banyak
kekurangan dan masih banyak yang perlu diperbaiki. Oleh karena itu penulis
mengharapkan saran dan kritik yang membangun guna menambah ilmu dan
pengetahuan penulis dalam ruang lingkup ilmu penyakit dalam, khususnya yang
berhubungan dengan laporan kasus ini

Penulis

4
BAB I
PENDAHULUAN

Diabetes Melitus (DM) adalah suatu penyakit menahun yang ditandai dengan
kadar glukosa darah yang melebihi nilai normal. Apabila dibiarkan tidak terkendali,
penyakit ini akan menimbulkan berbagai penyulit yang dapat berakibat fatal seperti
penyakit jantung, ginjal, kebutaan, dan nekrosis jaringan sehingga harus diamputasi.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Department of Medicine and


Therapeutics, The Chinese University of Hong Kong, Prince of Wales Hospital,
Shatin, Hong Kong pada tahun 2000 menyebutkan bahwa untuk daerah Asia Pasifik
terdapat lebih dari 30 juta orang menderita DM. Bahkan World Health Organization
(WHO) memprediksi bahwa jumlah penderita DM akan meningkat secara dramatis
pada tahun 2025.

Sedangkan untuk Indonesia, dari berbagai penelitian epidemiologis


menunjukkan bahwa angka prevalensi DM mencapai 4,6% dari 125 juta jiwa
penduduk Indonesia yang berusia > 20 tahun pada tahun 2000. Jumlah penderita
diperkirakan akan terus meningkat mengingat jumlah penduduk Indonesia yang terus
bertambah, sehingga diperkirakan pada tahun 2020 nanti jumlah penderita DM akan
mencapai 8,2 juta jiwa.

Mengingat bahwa DM adalah penyakit menahun yang akan diderita seumur


hidup, maka dalam pengelolaannya dibutuhkan peran serta tidak hanya dari dokter,
perawat, dan ahli gizi, namun lebih penting lagi partisipasi aktif dari pihak pasien dan
keluarganya. Edukasi kepada pasien dan keluarganya akan sangat membantu
meningkatkan keikutsertaan mereka dalam usaha memperbaiki hasil pengelolaan DM.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Diabetes Melitus menggambarkan suatu kelainan metabolik dengan berbagai etiologi


yang ditandai dengan hiperglikemia kronis dengan gangguan metabolisme
karbohidrat, lemak, dan protein yang disebabkan oleh gangguan sekresi insulin, fungsi
insulin, ataupun kedua-duanya. Penyebab diabetes biasanya primer tetapi bisa juga
sekunder yang disebabkan oleh penyakit lain seperti gangguan pada pankreas
(pankreatektomi total, pankreatitis kronis, haemokromatosis), gangguan endokrin
(akromegali, Cushings syndrome) dan juga drug induced (diuretik thiazid dan
kortikosteroid). Diabetes melitus mengakibatkan kerusakan jangka panjang, disfungsi,
dan kegagalan berbagai organ. Gejala umum dari Diabetes melitus adalah rasa haus
berlebihan, polyuria, penglihatan yang kabur, dan penurunan berat badan. Pada
keadaan yang lebih berat dapat terjadi ketoasidosis atau non ketotic hyperosmolar
state yang menyebabkan stupor, coma, dan juga kematian jika tidak ditangani dengan
benar. Biasanya gejala tidak berat ataupun tidak terlihat sama sekali sehingga
diagnosis diabetes melitus hanya ditegakkan setelah mengalami periode hiperglikemia
yang lama. Efek jangka panjang dari diabetes termasuk perkembangan komplikasi
yang progresif seperti retinopati dengan kemugkinan terjadinya kebutaan, nefropati
yang bisa menyebabkan gagal ginjal dan atau neuropati dengan resiko foot ulcer,
amputasi, charcot joints dan disfungsi otonom seperti disfungsi seksual. Penderita
diabetes mellitus mempunyai resiko yang tinggi untuk penyakit-penyakit
kardiovaskular, peripheral vascular dan cerebrovascular.
Keluhan khas DM
1. Poliuria
2. Polidipsia
3. Polifagia
4. BB menurun dengan cepat
Keluhan tidak khas DM
1. Kesemutan

6
2. Gatal di daerah genital
3. Keputihan
4. Infeksi sulit sembuh
5. Bisul yang hilang timbul
6. Penglihatan kabur
7. Cepat lelah
8. Mudah mengantuk

2.2 Faktor resiko Diabetes Melitus

1. Usia > 45tahun


2. Kegemukan (BB > 110% BB idaman atau IMT > 23 kg/m2)
BB Idaman (BBI) = (TB 100) 10%
IMT = BB (kg) / TB2 (m2)
3. Hipertensi (TD > 140/90 mmHg)
4. Riwayat DM dalam garis keturunan
5. Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat, atau BB lahir bayi > 4000g
6. Riwayat DM pada kehamilan (DM gestational)
7. Riwayat Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) atau Glukosa Darah Puasa
Terganggu (GDPT)
8. Penderita Penyakit Jantung Koroner, TBC, hipertiroidisme
9. Kolesterol HDL < 35mg/dl dan/atau trigliserida 250 mg/dl, kolesterol total
200 mg/dl

2.3 Klasifikasi Diabetes Melitus


1. DM tipe 1:
Defisiensi insulin absolute
Defisiensi insulin relative akibat destruksi sel beta: - autoimun
- idiopatik
2. DM tipe 2:
Defek sekresi insulin lebih dominan daripada resistensi insulin
Resistensi insulin lebih dominan daripada defek sekresi insulin
3. DM tipe lain
Defek genetik fungsi sel beta :
7
- Maturity onset diabetes of the young
MODY 1: Kromosom 20, HNF 4 alfa
MODY 2: Kromosom 7, glukokinase
MODY 3: Kromosom 12, HNF 1alfa
MODY 4: Kromosom 13, IPF 1
- Mutasi mitokondria: DNA 3243 dan lain-lain
Penyakit Eksokrin pankreas: - pankreatitis
- pankreatektomi
Endokrinopati: - akromegali
- Cushing
- Hipertiroidisme
Akibat obat dan kimia: Glukokortikoid, hormon tiroid
Infeksi
- Cytomegalovirus (CMV)
- Rubella
Imunologi (jarang)
- Antibodi anti insulin
Sindrom genetik lain yang berhubungan dengan DM, contoh:
- Sindroma Down
- Klinefelter, Turner
4. DM Gestational

2.4 Patofisiologi

Diabetes melitus tipe 1

DM tipe 1 adalah penyakit katabolisme yang ditandai dengan kegagalan sel beta
pankreas dalam merespon stimulus untuk mensekresikan hormon insulin, sehingga
penderita membutuhkan hormon insulin dari luar untuk membantu proses katabolisme
di dalam tubuh. Keadaan ini ditandai dengan kadar hormon insulin yang sangat
rendah atau bahkan tidak ada dalam darah dan kadar hormon glukagon meningkat.

8
DM tipe 1 merupakan penyakit autoimun yang ditandai dengan infiltrasi limfosit pada
pankreas dan adanya destruksi sel penghasil insulin pada pulau-pulau Langerhans
yang menyebabkan defisiensi insulin. DM tipe 1 disebabkan tiga faktor yang saling
berhubungan, yaitu genetik, lingkungan, dan faktor imunologis. Sebuah teori yang
berhubungan dengan etiologi DM tipe 1 menyebutkan bahwa DM tipe 1 ditimbulkan
dari adanya kerusakan pada sel beta pankreas akibat agen infeksius dari lingkungan.
Agen yang masuk ke dalam tubuh tersebut akan merangsang sistem imun yang
kemudian secara genetik (bersifat individual) akan membentuk reaksi autoimun
terhadap sel beta pankreas itu sendiri. Agen-agen lingkungan yang telah dijadikan
hipotesa dapat menginduksi DM tipe 1, antara lain virus (mumps, rubella, coxsackie
B4), zat kimia beracun, pemberian susu formula sejak masih bayi, dan sitotoksin.

Prevalensi kejadian DM tipe 1 meningkat pada orang-orang yang menderita penyakit


autoimun, seperti Graves disease, Hashimoto thyroiditis, dan Addisons disease.
Sekitar 95% pasien yang menderita DM tipe 1 memiliki Human Leukocyte Antigen
(HLA)-DR3 atau HLA-DR4 yang merupakan marker spesifik DM tipe 1.

Diabetes Melitus tipe 2

DM tipe 2 merupakan penyakit yang ditandai dengan tiga faktor, yaitu gangguan
sekresi insulin, resistensi insulin di perifer, dan peningkatan produksi glukosa di
hepar. Semua penderita overweight memiliki resistensi insulin, namun hanya pada
orang-orang yang tidak mampu meningkatkan produksi insulin yang kemudian akan
berkembang menjadi DM tipe 2. Sekitar 90% pasien DM tipe 2 menderita obesitas.

Penurunan kemampuan insulin dalam bekerja efektif di perifer disebabkan kombinasi


faktor genetik dan obesitas. Penurunan sensitivitas insulin di perifer akan
menyebabkan penurunan penggunaan glukosa plasma 30-60%, sehingga merangsang
terjadinya peningkatan produksi glukosa di hepar.

Pada awalnya, sekresi insulin meningkat sebagai respon terhadap adanya resistensi
insulin untuk memenuhi kebutuhan tubuh terhadap glukosa. Namun lambat laun
terjadi penurunan kapasitas sekresi insulin yang penyebabnya masih belum jelas

9
mulai dari gangguan sekresi yang ringan namun bersifat progresif hingga akhirnya
sekresi insulin pun tidak adekuat.

Pada DM tipe 2, resistensi insulin pada organ hepar dapat merangsang terjadinya
glukoneogenesis yang menghasilkan keadaan hiperglikemia serta menurunkan
cadangan glikogen. Peningkatan produksi glukosa hepar terjadi setelah adanya
resistensi insulin dan penurunan sekresi insulin.

Gestational Diabetes Melitus

GDM merupakan suatu keadaan adanya intoleransi glukosa yang terjadi selama
proses kehamilan. Resistensi insulin terjadi akibat perubahan proses metabolisme
pada akhir masa kehamilan, sehingga meningkatkan kebutuhan terhadap hormon
insulin. Pada kasus GDM yang tidak ditangani dengan baik dapat berakibat fetal
makrosomia, hipoglikemia, hipokalsemia, dan hiperbilirubinemia.

10
2.5 Diagnosis

Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah dan tidak dapat
ditegakkan hanya atas dasar adanya glukosuria saja. Untuk diagnosis DM,
pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik
dengan bahan darah plasma vena.

Pemeriksaan Penyaring

Ada perbedaan antara uji diagnostic DM dengan pemeriksaan penyaring. Uji


diagnostic DM dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala / tanda DM,
sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang
tidak bergejala, tetapi memiliki risiko DM. Serangkaian uji diagnostic akan dilakukan
kemudian pada mereka yang hasil pemeriksaan penyaringnya positif. Pemeriksaan
penyaring dilakukan pada mereka yang mempunyai salah satu risiko DM. Untuk
kelompok risiko tinggi yang hasil pemeriksaan penyaringnya negatif, dilakukan
pemeriksaan ulangan tiap tahun, sedangkan untuk yang berusia > 45 tahun tanpa
faktor risiko, dapat dilakukan tiap 3 tahun.

Pemeriksaan penyaring berguna untuk menyaring pasien DM, TGT, dan GDPT,
sehingga dapat ditentukan langkah yang tepat bagi mereka. Pasien dengan TGT atau
GDPT merupakan tahapan sementara menuju DM. Setelah 5 10 tahun kemudian 1/3
kelompok TGT akan berkembang menjadi DM, 1/3 tetap TGT, sedangkan 1/3 lainnya
kembali normal.

Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah


sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi
glukosa oral (TTGO) standar. (lihat tabel 1)

11
Tabel 1. kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan
diagnosis DM
Bukan DM Belum pasti DM DM
Kadar glukosa darah Plasma vena <110 110 199 200
sewaktu (mg/dl)
Darah kapiler <90 90 199 200
Kadar glukosa darah Plasma vena <110 110 125 126
puasa (mg/dl)
Darah kapiler <90 90 109 110

Diagnosis DM

Diagnosis klinis DM dipikirkan bila terdapat keluhan khas DM berupa poliuria,


polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada gambar 1 di bawah.

Cara Pelaksanaan TTGO (WHO,1994):


3 (tiga) hari sebelum pemeriksaan makan seperti biasa (karbohidrat cukup)
Kegiatan jasmani seperti yang biasa dilakukan
Puasa paling sedikit 8 jam mulai malam hari sebelum pemeriksaan, minum air
putih diperbolehkan
Diperiksa kadar gula darah puasa
Diberikan glukosa 75 gram (dewasa), atau 1.75 gram/KgBB (anak), dilarutkan
dalam air 250 ml dan diminum dalam waktu 5 menit
Diperiksa kadar gula darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa
Selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa istirahat dan tidak merokok

Kriteria Diagnosis Diabetes Mellitus


Glukosa darah sewaktu 11,1 mmol/l (200 mg/dl)
atau
Glukosa darah puasa 7 mmol/l (126 mg/dl)
atau
Glukosa darah 2 jam post prandial 11,1 mmol/l ( 200 mg/dl) setelah beban
glukosa 75 gram pada Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)
Sumber: Konsensus Pengelolaan DM Tipe 2 di Indonesia, PERKENI 2002

12
Gambar 1: Langkah-langkah Diagnostik DM dan Gangguan Toleransi Glukosa

Keluhan klinis diabetes

Keluhan khas (+) Keluhan khas (-)

GDP 126 < 126 120 110 - 125 < 110


126
GDS 200 < 200 200 110 - 199

Ulang GDS atau GDP

GDP < 126 < 126 TTGO


GDS < 200 < 200 GD 2 jam

200 140 - 199 < 140

DIABETES MELLITUS TGT GDPT Normal

- Nasihat Umum
- Evaluasi Status Gizi - Perencanaan Makanan
- Evaluasi Penyulit DM - Latihan Jasmani
- Evaluasi dan - Berat Idaman
Perencanaan Makanan - Belum Perlu Obat Penurun
Sesuai Kebutuhan Glukosa

GDM = Glukosa Darah Puasa


GDS = Glukosa Darah Sewaktu
GDPT = Glukosa Darah Puasa Terganggu
TGT = Toleransi Glukosa Terganggu

13
2.6 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan Diabetes Mellitus mencakup (1) edukasi, (2) perencanaan makanan,


(3) pengaturan aktifitas fisik, serta (4) Intervensi Farmakologik.

1. Edukasi
Meliputi pemahaman tentang:
Penyakit DM
Makna dan perlunya pengandalian dan pemantauan DM
Penyulit DM
Intervensi Farmakologis dan non-farmakologis
Hipoglikemia
Masalah khusus yang dihadapi
Cara mengembangkan sistem pendukung dan mengajarkan keterampilan
Cara menggunakan fasilitas perawatan kesehatan

2. Perencanaan Makanan

Perencanaan makanan harus disesuaikan dengan kebiasaan masing-masing


individu. Yang berpengaruh terhadap respons glikemik makanan adalah cara
memasak, proses penyiapan makanan, dan bentuk serta komposisi makanan
(karbohidrat, lemak, protein).Standar yang diajukan adalah makanan dengan
komposisi: Karbohidrat 60 70%
Protein 10 15%
Lemak 20 25%
Jumlah kolesterol yang disarankan < 300mg/hari dengan lemak yang berasal dari
sumber asamlemak tidak jenuh (MUFA), dan membatasi PUFA dan asam lemak
jenuh.

14
Untuk mrnghitung kebutuhan kalori antara lin dengan menggunakan rumus Broca:

Berat Badan Idaman dikalikan kebutuhan kalori basal (30 Kkal/KgBB untuk laki-
laki, dan 25 Kkal/KgBB untuk wanita), ditambah dengan:
kebutuhan kalori untuk aktivitas
- ringan + 10%
- sedang + 20%
- berat + 30%

koreksi status gizi


- BB gemuk - 20%
- BB lebih - 10%
- BB kurang + 20%
Stress metabolik (cth: infeksi, operasi, dsb.): + (10 30%)
Usia > 40 tahun - 5%
Hamil
- Trimester I, II + 300 kal
- Trimester III/laktasi +500 kal

jumlah kalori tersebut kemudian dibagi dalam 3 porsi besar (20% pagi, 30% siang,
25% malam), serta 2 3 x makanan selingan (10 15%).

3. Pengaturan Aktifitas Fisik

Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan teratur (3-4 x seminggu selama kurang
lebih 30 menit). Latihan jasmani dapat menurunkan berat badan, memperbaiki
sensitivitas terhadap insulin, sehingga dapat mengendalikan kadar gula darah.
Contoh latihan yang dapat dilakukan antara lain: bersepeda santai, jogging,
berenang. Prinsip: Continues-Rythmical-Interval-Progressive-Enduranc.

15
4. Intervensi Farmakologik

Intervensi farmakologik diberikan apabila sasaran kadar gula darah belum tercapai
dengan pengaturan makan dan latihan

Obat Hipoglikemia Oral(OHO)


Berdasarkan cara kerjanya dibagi menjadi 3 golongan:
Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea, glinid
Penambah sensitivitas terhadap insulin: metformin, tiazolidindion
Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa

I. Pemicu sekresi insulin

Sulfonylurea
Obat ini digunakan sebagai terapi farmakologis pada awal pengobatan diabetes
dimulai, terutama bila konsentrasi glukosa tinggi dan sudah terjai gangguan pada
sekresi insulin. Sulfonylurea sering digunakan sebagai terapi kombinasi karena
kemampuannnya untuk meningkatkan atau mempertahankan sekresi insulin. Obat
golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta
pancreas. Karena itu tentu saja hanya dapat bermanfaat pada pasien yang masih
mempunyai kemampuan untuk sekresi insulin. Golongan ini tidak dapat dipakai pada
DM tipe 1.

Mekanisme kerja efek hipoglikemia sulfonylurea adalah dengan meransang channel K


yang tergantung pada ATP dari sel beta pankreas. Bila sulfonylurea terikat pada
reseptor (SUR) pada channel tersebut maka akan terjadi penutupan. Keadaaan ini
akan menyebabkan terjadinya penurunan permeabilitas K pada membran sel beta,
terjadi depolarisasi membran dan membuka channel Ca tergantung voltase, dan
menyebabkan eksositosis granul yang mengandung insulin.

Penggunaan dalam klinik. Pada pemakaian sulfonylurea umumnya selalu dimulai


dengan dosis rendah, untuk menghindari kemungkinan hipoglikemia. Pada keadaan
tertentu di mana kadar glukosa darah sangat tinggi, dapat diberikan dengan dosis lebih
besae dengan perhatian khusus bahwa dalam beberapa hari sudah dapat terjadi efek
16
klinis yang jelas dan dalam 1 minggu sudah terjadi penurunan kadar glukosa darah
yang cukup bermakna.

Dosis permulaan sulfonylurea tergantung pada beratnya hiperglikemia. Bila


konsentrasi glukosa puasa <200mg/dL, SU sebaiknya dimulai dengan pemberian
dosis kecil dan titrasi secara bertahap setelah 1-2 minggu sehingga tercapai glukosa
darah puasa 90-130mg/dL. Bila glukosa darah puasa >200mg/dL dapat diberikan
dosis awal yang lebih besar. Obat sebaiknya diberikan setengah jam sebelum makan
karena diserap lebih baik. Pada obat yang diberikan satu kali sehari, sebaiknya
diberikan pada waktu makan pagi atau makanan porsi terbesar.

Kombinasi sulfonylurea dan insulin ternyata lebih baik daripada insulin sendiri dan
dosisi insulin yang diperlukan pun ternyata lebih rendah. Cara kombinasi ini lebih
dapat diterima pasien daripada penggunaan insulin multiple.

Glinid
Merupakan sekreagogue insulin yang baru. Kerjanya juga melalui reseptor
sulfonylurea (SUR) dan mempunyai struktur mirip dengan sulfonylurea tetapi tidak
mempunyai efek sepertinya. Repaglinid dan nateglinid keduanya diabsorpsi dengan
cepat setelah pemberian secara oral dan cepat dikeluarkan melalui metabolisme dalam
hati sehingga diberikan 2-3 kali sehari. Repaglinid dapat menurunkan kadar glukosa
darah puasa walaupun mempunyai masa paruh yang singkat karena menempel pada
kompleks SUR sehingga dapat menurunkan aktivitas A1c pada SU. Sedang nateglinid
mempunyai masa tinggal lebih singkat dan tidak menurunkan glukosa darah puasa.
Sehingga keduanya merupakan sekretagogue yang khusus menurunkan glukosa
pascaprandial dengan efek hipoglikemia minimal. Karena sedikit mempunyai efek
terhadap glukosa puasa maka kekuatannya untuk menurunkan A1c tidak begitu kuat.

II. Penambah sensitivitas terhadap insulin

Tiazolidindion
Tiazolidindion ( rosiglitazon dan pioglitazon) berikatan dengan peroxisome
proliferator activated receptor gamma (PPAB-gamma) suatu reseptor inti di sel ototo
dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan
17
meningkatkan jumlah protein pangangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan
glukosa do perifer. Tiazolidindion di kontraindikasikan pada pasien dengan gagal
jantung kelas I IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga
gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan
pemantauan faal hati secara berkala. Saat ini tiazolidindion tidak digunakan sebagai
obat tunggal.

III. Penghambat glukoneogenesis

Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis),
disamping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai pada diabetes
gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal
dan hati serta pada pasien dengan kecenderungan hipoksemia ( misalnya penyakit
serebrovaskular, sepsis, syok, gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek
samping mual,. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau
sesudah makan.

IV. Penghambat absorbsi glukosa

Penghambat glukosidase alfa


Obat ini bekerja dengan mengurangi absorbsi glukosa di usus halus sehingga
mempunyai efek menurunkan kadar glukosa sesudah makan. Acarbose tidak
menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering adalah
kembung dan flatulen.
Cara kerja utama Efek samping utama Penurunan A1c
Sulfonylurea Meningkatkan BB naik, hipoglikemia 1.5 2%
sekresi insulin
Glinid Meningkatkan BB naik, hipoglikemia
sekresi insulin
Metformin Menekan produksi Diare,dispepsia, 1.5 2%
glukosa hati dan asidosis laktat
menambah

18
sensitivitas tehadap
insulin
Penghambat Menghambat Flatulens, tinja lembek 0.5 1%
glukosidase alfa absorbsi glukosa
Tiazolidindion Menambah Edema 1.3%
sensitivitas
terhadap insulin
Insulin Menekan produksi Hipoglikemia, BB Potensial sampai
glukosa hati, naik normal
stimulasi
pemanfaatan
glukosa
Tabel 1 : Mekanisme kerja, efek samping utama dan pengaruh terhadap penurunan
A1c ( Hb-glikosilat)

Insulin
Insulin dibutuhkan untuk terapi semua pasien IDDM dan banyak pasien NIDDM.
Pada pasien NIDDM, insulin diperlukan dalam keadaan:
- Penurunan berat badan yang cepat
- Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
- Ketoasidosis Diabetik
- Hiperglikemia Hiperosmolar non-Ketotik
- Hiperglikemia dengan asidosis laktat
- Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal
- Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
- Kehamilan dengan DM/diabetes mellitus gestasional yang tidak
terkendsali dengan perencanaan makanan
- Gangguan fungsi hati atau ginjal yang berat
- Kontraindikasi atau alergi terhadap OHO

Teknik penyuntikan insulin ada 3 macam:


a) Terapi insulin konvensional

19
Diberikan satu atau dua suntukan insulin kerja sedang sehari seperti zinc
insulin (insulin lente) atau isophane insulin (insulin NPH) dengan atau
tanpa penambahan insulin reguler.

b) Teknik Multiple Subcutaneus Injection (MSI)


Dengan pemberian insulin kerja sedang atau panjang pada malam hari
sebagai dosis tunggal bersama dengan insulin reguler setiap sebelum
makan.

c) Continous Subcutaneus Insulin Infusion (CSII)


Dengan menggunakan pompa kecil yang dijalankan dengan batrai yang
mengeluarkan insulin subkutaneus ke dalam dinding perut, biasanya
melalui jarum kupu-kupu nomor 27.

Tabel 3. Jenis dan Lama Kerja Insulin


Efek terhadap glukosa darah (dalam jam sesudah pemberian)
Tipe Insulin
Awitan Puncak Akhir
Kerja singkat
Regular Segera 24 68
Semilente (SL) 1 46 12 16
Kerja Sedang
NPH 23 8 12 18 24
Lente 23 8 12 18 24
Kerja Panjang
PZI 6 14 20 24 36
Ultralente (UL) 6 16 18 30 36
Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dosis rendah, untuk kemudian
dinaikkan bertahap sesuai respon kadar glukosa darah. Kalau dengan OHO
tunggal sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, perlu kombinasi dua
kelompok obat hipoglikemik oral yang berbeda mekanisme kerjanya. Apabila
dengan OHO dosis hampir maksimal, baik sendiri maupun kombinasi gagal,
barulah dapat dipakai kombinasi insulin dengan OHO.

20
2.7 Komplikasi DM

KOMPLIKASI AKUT DM
Hipoglikemia
Hipoglikemia terjadi jika kadar glukosa darah dibawah 35mg/dl pada neonatus dan
dibawah 45-60 mg/dl pada anak-anak dan orang dewasa. Jika kadar gula darah
berkurang dengan cepat maka gejala dapat timbul sebelum kadarnya mencapai 60
mg/dl. Hipoglikemi biasanya terjadi pada orang DM yang mendapat terapi insulin.
Hipoglikemi pada diabetes sering disebut syok insulin atau reaksi insulin.

Gejala yang timbul bersumber pada aktivitas sistem saraf simpatis (gejala adrenergik)
atau terhentinya suplai glukosa ke otak secara tiba-tiba (neuroglycopenic symptoms).
Reaksi adrenergik terjadi ketika kadar glukosa darah menurun, gejalanya antaran lain:
takikardi, palpitasi, diaforesis, tremor, pucat, dan cemas. Gejala neuroglikopenik
antara lain: sakit kepala, pusing, rewel, lelah, bingung, gangguan penglihatan, lapar,
kejang dan koma. Hipoglikemik yang tidak disadari (hypoglycemia unawareness)
adalah suatu fenomena yang terjadi pada individu tanpa gejala otonom (autonomic
warning symptoms) sebelum akhirnya berkembang menjadi neuroglikopenia. Pada
orang yang hipoglikemik terjadi penurunan pada respon hormon counterrugulatory
(glukagon, epinepfrin, kortisol dan hormon pertumbuhan)

Diabetic ketoacidosis (DKA)


Ketoasidosis merupakan komplikasi serius dari DM. DKA terjadi karena defisiensi
insulin baik relatif maupun absolut dan peningkatan hormon counterregulatory
insulin. Pada kondisi ini, produksi glukosa oleh hepar meningkat, penggunaan glukosa
di perifer menurun, meningkatkan katabolisme lemak dan ketogenesis terjadi.
Defisiensi insulin menyebabkan penggunaan glukosa berkurang, terjadi proses
glukoneogenesis dan ketogenesis. Karena defisiensi insulin overproduksi -
hidroksibutirat dan asam asetoasetat menyebabkan peningkatan konsentrasi keton.
Keton akan digunakan oleh jaringan sebagai sumber energi. Gejala dari ketoasidosis
antara lain: respirasi Kussmaul (pernafasan yang cepat dan dalam/hiperventilasi untuk
mengkompensasi asidosis), depresi sistem saraf pusat, ketonuria, anoreksi, nyeri
abdomen, haus dan poliuria.

21
Hyperosmolar hyperglycemic nonketotic syndrome (HHNKS)
HHNKS berbeda dengan DKA pada derajat defisiensi insulin (defisensi insulin lebih
berat pada DKA) dan derajat defisiensi cairan (lebih berat pada HHNKS). Kadar asam
lemak bebas pada HHNKS lebih rendah daripada DKA, karena kadar insulin yang
dibutuhkan untuk menghambat lipolisis lebih rendah daripada yang dibutuhkan untuk
transport glukosa. Kadar glukosa darah lebih tinggi pada HHNKS (600-4800 mg/dl)
daripada DKA (300-750 mg/dl) karena pada HHNKS defisiensi cairan lebih besar.

Efek Somogyi
Efek Somogyi adalah kombinasi yang unik dari hipoglikemia yang diikuti oleh
rebound hyperglycemia. Efek Somogyi terjadi ketika hipoglikemia merangsang
keluarnya hormon counterregulatory insulin. Hormon-ormo ini akan meningkatkan
kadar gula darah melalui proses glukoneogenesis dan glikogenolisis. Hormon-hormon
ini juga memecah lemak dan protein serta menghambat penggunaan glukosa pada
jaringan perifer. Hormon ini dapat menyebabkan resistensi insulin selama 12-48 jam.
Kontributor utama terjadinya rebound hiperglikemia adalah konsumsi karbohidrat
yang berlebih. Selain itu, hipoglikemia juga biasanya terjadi pada puncak injeksi
insulin. Pada saat karbohidrat dikonsumsi, hormon-hormon counterregulatory sedang
aktif dan kadar insulin masih rendah, hal ini dapat menyebabkan hiperglikemia.
Manifestasi klinik dari fluktuasi kadar glukosa ini dapat tidak kentara.

Dawn Phenomenon
Dawn Phenomenon adalah suatu kondisi kadar glukosa saat pagi hari meningkat tanpa
disertai keadaan hipoglikemik pada malam harinya. Hal ini terjadi karena pada malam
hari terjadi peningkatan kadar hormon pertumbuhan. Hormon pertumbuhan adalah
hormon counterregulatory yang menyebabkan hiperglikemik dengan mengurangi
penggunaan glukosa darah oleh jaringan perifer. Untuk mengobati Dawn
Phenomenon ini dapat terjadi efek Somogyi.

KOMPLIKASI KRONIS DM

Berbagai komplikasi serius dapat terjadi pada DM, antara lain: komplikasi
mikrovaskular (retinopati dan nefropati), dan makrovaskular (penyakit arteri koroner,
stroke dan penyakit vaskular perifer), neuropati dan infeksi. Kebanyakan komplikasi
22
ini berhubungan dengan perubahan metabolik, khususnya hiperglikemia. Kontrol
ketat gula darah dapat mengurangi kejadian komplikasi-komplikasi ini. Ada 3
peristiwa metabolik yang berhubungan dengan hiperglikemia kronik yang dilibatkan
dalam patogenesis terjadinya komplikasi diabetes, yaitu glikosilasi non enzimatik,
penggunaan glukosa pada jalur polyol dan aktivasi protein C-kinase.

Hiperglikemia dan glikosilasi non enzimatik


Glikosilasi nonenzimatik adalah ikatan reversibel glukosa dengan protein, lipid, dan
asam nukleat tanpa penggunaan enzim. Dalam kondisi hiperglikemia yang persisten,
glukosa menjadi terikat secara irreversibel dengan kolagen dan protein lainnya dalam
eritrosit, dinding pembuluh darah, dan jaringan interstitial. Produk dari ikatan
irreversibel ini disebut advance glycosylation end-products (AGE). AGE dapat
menimbulkan kerusakan jaringan, yaitu
- AGE dapat membentuk ikatan dengan protein dan lipid, seperti albumin, LDL,
Ig dan komplemen yang dapat mempertebal membrana basalis atau
meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan saraf.
- AGE dapat berikatan dengan resepor sel, seperti makrofag dan sel mesangial
glomerulus dan dapat menginduksi terbentuknya sitokin dan faktor-faktor
pertumbuhan yang menstimulasi proliferasi selular di glomerulus, otot polos di
pembuluh darah dan sintesis kolagen dengan fibrosis.
- AGE dapat menginaktivasi nitric oxide yang menyebabkan hilangnya
kemampuan vasodilatasi dan mengurangi fungsi endotelial.
- AGE dapat menyebabkan perubahan prokoagulan pada sel endotelial sehingga
merangsang adesi platelet dan mengurangi fibrinolisis
Penggunaan aminoguanidine dapat menghambat pembentukan AGE

Hiperglikemia dan jalur polyol


Jaringan yang tidak membutuhkan insulin untuk transport glukosa, seperti ginjal,
eritrosit, pembuluh darah, lensa mata dan saraf pada kondisi hiperglikemik dapat
mengaktifkan jalur metabolik alternatif untuk memetabolisme glukosa yang disebut
dengan jalur polyol. Glukosa akan digunakan pada jalur ini, dan diubah manjadi
sorbitol (polyol) dengan enzim aldose reduktase. Sorbitol akan diubah menjadi
fruktosa dengan enzim sorbitol dehidrogenase. Akumulasi sorbitol dan fruktosa ini
meningkatkan tekanan osmotik intraselular dan kemudian menarik air, menyebabkan
23
kerusakan sel. Hal ini khususnya terjadi pada lensa mata dan menyebabkan katarak.
Di saraf sorbitol dapat mengganggu pompa ion, merusak sel Schwann dan
mengganggu konduksi saraf. Eritrosit menjadi bengkak dan kaku dan hal ini dapat
mengganggu perfusi jaringan. Penggunaan inhibitor aldose reduktase dapat
memperlambat atau mencegah komplikasi-komplikasi ini.

Aktivasi protein kinase C (PKC)


Protein kinase C akan diaktifkan pada kondisi hiperglikemik. Hal ini dapat
menyebabkan resistensi insulin, produksi matriks ekstraselular dan sitokin, proliferasi
sel vaskular dan meningkatkan permeabilitas. Efek-efek ini berkontribusi pada
kejadian komplikasi DM. Penggunaan PKC inhibitor dapat mencegah terjadinya
komplikasi ini.

Komplikasi mikrovaskular
Komplikasi mikrovaskular terutama disebabkan karena pembentukan AGE, sehingga
banyak organ dapat mengalami hipoksia dan iskemik.organ yang sering terkena
adalah retina dan ginjal.

a. Retinopati
Retinopati diabetikum disebabkan oleh iskemi pada retina. Hipertensi yang tidak
terkontrol dapat memperparah retinopati. Retinopati diabetikum berkaitan erat
dengan nefropati diabetikum sehingga sering disebut renal retinal syndrome. Ada 3
tahap retinopati, yaitu:
-Tahap I (retinopati nonproliferatif): ditandai oleh permeabilitas kapiler yang
meningkat, dilatasi vena, pembentukan mikroaneurisma, perdarahan superfisial
(flame-shaped) dan perdarahan profunda (blot hemorrhage)
-Tahap II (retinopati prepoliferatif): merupaka kelanjutan dari iskemi retina dengan
area-area yang perfusinya buruk yang dapat menjadi infark.
-Tahap III (reinopati proliferatif): terbenuknya neovaskularisasi dan jaringan fibrosa
pada reina dan diskus optikus
Tarikan pembuluh darah yang baru ini dengan cairan vitreus dapat menyebabkan
retinal detachment atau perdarahan pada vitrous humor.

b. Nefropati diabetikum
24
Pada DM, dapat terjadi perubahan glomerulus ginjal. Pembesaran glomerulus dan
penebalan membrana basalis glomerulus menyebabkan glomerulosklerosis difus.
Mikroalbuminuria merupakan manifestasi utama pada disfungsi ginjal. Kebocoran
albumin dapat dikarenakan pori-pori membran glomerulus yang melebar. Sebelum
terjadi proteinuria, biasanya pasien tidak mengeluhkan gejala. Proteinuria ini akhirnya
dapat menurunkan tekanan osmotik plasma dan dapat terjadi edema anasarka dan
hipertensi. Pada gangguan fungsi ginjal sering didapatkan kondisi hipoglikemia
karena kemampuan ginjal untuk memetabolisme insulin menurun akibat kerusakan.
Kematian akibat gangguan fungsi ginjal ini biasanya terjadi pada DM tipe 1.

Komplikasi makrovaskular

Komplikasi makrovaskuilar merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas


pada DM tipe II. Pada DM dapat terjadi aterosklerosis karena beberapa faktor antara
lain: hiperinsulinemia, hipertrigliseridemia, kadar HDL yang rendah, oksidasi
lipoprotein, gangguan vaskular akibat AGE. Perubahan fungsi endotelial. Plak fibrosis
pada aterosklerosis dapat terbentuk akibat proliferasi otot polos vaskular. Hipertensi
dapat meningkatkan tekanan dinding kapiler, meningkatkan permeabilitas kapiler,
mengurangi sintesis nitric oxide dan mengurangi autoregulasi aliran darah.

a. Coronary artery disease (CAD)

Infark miokard (kematian otot jantung akibat oklusi arteri koroner) adalah penyebab
kematian sebanyak 20%pada DM. Pada DM juga sering didapatkan gagal janung
kongestif akibat peningkatan jumlah kolagen pada dinding ventrikel yang mengurangi
compliance saat pengisian jantung. Peningkatan adesi platelet dan fibrinolisis yang
menurun menyebabkan pembentukan trombus dan oklusi vaskular.

b. Stroke
Stroke 2 kali lebih banyak terjadi pada penderita diabetes daripada yang non diabetes.
Stroke iskemik lebih banyak terjadi daripada stroke hemoragik.

c. Peripheral arterial disease (PAD)


25
PAD, gangren dan amputasi sering terjadi pada DM tipe II. Penyebab utamanya
adalah proses aterosklerosis. Perkembangan dari PAD ini dipengaruhi oleh umur,
lama menderita diabetes, genetik dan faktor resiko lainnya.

Neuropati diabetik
Neuropati dibagi menjadi 2 tahap yaitu: subklinik dan klinik. Pada stadium subklinik:
sudah terjadi disfungsi saraf perifer sehingga gerakan mtoriknya berkurang dan
gangguan konduksi saraf namun tanpa gejala. Pada tahap klinik: gejala sudah dapat
terdeteksi. Diabetik neuropati merupakan dying back neuropati, dimana bagian yang
pertama kali terganggu adalah bagian distal tubuh. Perubahan morfologi awal adalah
degenerasi axon terutama pada serabut saraf yang tidak bermielin. Metabolisme pada
sel Schwann terganggu, menyebabkan hilangnya membran mielin. Kondisi patologik
pada DM biasanya terjadi di area sumsum tulang, posterior root ganglia dan serabut
perifer.

Infeksi
DM meningkatkan resiko terjadinya infeksi karena:
- gangguan penglihatan akibat retinopati dan gangguan sensasi akibat neuropati
menyebabkan penderita DM sering mendapat luka yang tidak dirasakan
- komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular menyebabkan suplai oksigen ke
jaringan berkurang. Selain itu, peningkatan glycosylated hemoglobin menghambat
perfusi osigen ke jaringan.
- mikroba lebih mudah bermultiplikasi di jaringan penderita DM karena kadar glukosa
pada cairan tubuh yang tinggi
- berkurangnya aliran darah menyebabkan leukosit menjadi sukar menuju ke area
yang
terinfeksi
- fungsi dari leukosit terganggu akibat iskemi dan hiperglikemi. Chemotaxis menjadi
abnormal dan fagositosis menjadi terganggu.

26
BAB III
LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : Ny. S
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 43 Tahun
Alamat : Dukuh Barat
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Agama : Islam
Status Perkawinan : Menikah

II. Anamnesis
Keluhan Utama:
Badan lemas sejak dua bulan.

. Riwayat Penyakit Sekarang:


Os datang dengan keluhan badan lemas yang dirasa sejak dua bulan yang
lalu. Os juga mengeluh sering merasa haus dan tiap malamnya bisa dua kali
terbangun untuk buang air kecil. Sejak 5 bulan yang lalu juga os merasa sering
kesemutan pada kedua tangan dan kakinya. Os merasa berat badannya turun dari
70 kg menjadi 56 kg.
Riwayat batuk lama disangkal.
Riwayat batuk darah disangkal.
Riwayat mendapat pengobatan paru-paru disangkal.

Riwayat Penyakit Dahulu:


Riwayat sakit hipertensi disangkal.
Riwayat penyakit tuberkulosis disangkal
Riwayat asma disangkal
Riwayat alergi disangkal

27
Riwayat Penyakit Keluarga:
Menurut pasien tidak ada anggota keluarga yang memiliki riwayat hipertensi,
diabetes mellitus, asma, dan alergi.

Riwayat Pengobatan:
Os mengaku tidak pernah mengobati penyakit diabetes nya.

III. Pemeriksaan Fisik


Kesadaran : Composmentis
Keadaan umum : Sedang
Tensi : 130/80 mmHg
Nadi : 80x/menit
Suhu : 36,60C
Pernafasan : 20 x/menit
Icterus : -/-
Oedema : -/-
Cyanotik : -/-
Anemia : -/-
Ptechia :-
Turgor kulit : Baik

IV. Pemeriksaan Fisik


Kepala : Sklera tidak ikterik
Konjungtiva anemis -/-
Refleks pupil +/+, pupil isokor.
Leher : Trakea berada di tengah-tengah
Tidak ada pembesaran KGB
Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid
Thorax : Paru-paru:
I: Dinding dada datar, tidak tampak massa, kelainan kulit dan
pelebaran pembuluh darah
P: Fremitus taktil vokal paru dextra dan sinistra normal
P: Sonor diseluruh lapang paru

28
A: Vesikuler +/+
Jantung
I: iktus kordis tidak terlihat
P: iktus kordis teraba
P: Batas atas jantung pada SIC 3 linea parasternalis sinistra
Batas kanan jantung pada SIC 5 linea sternalis
Batas kiri jantung pada SIC 5 linea midklavikula
A: BJ 1 dan 2 reguler, murmur () dan gallop ()

Abdomen : I: Perut cembung


Venektasi (-)
Caput meduse (-)
P: Tidak terdapat nyeri tekan, tidak ada pembesaran organ,
tidak teraba massa
P: Timpani seluruh lapang abdomen
A: Bising usus + normal

Extremitas : tidak terdapat udema


Akral hangat
CRT <2 detik

V. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal 06 September 2017
Darah Rutin Nilai Satuan Nilai Normal
Hemoglobin 14,7 g/dL 11.7-15.5
Hematokrit 41.5 % 32.0-42.0
Eritrosit 5.17 106/uL 3.8-5.2
Trombosit 284 103/uL 150.000-400.000
MCV 80.2 fL 82-98
MCH 28.5 pg 27-32
MCHC 35.5 g/dL 32.0-37.0

29
Leukosit 5.8 ribu 3.6-11.0
-Basofil 0.0 10^3/mikro 0-2
-Eosinofil 0.07 10^3/mikro 0,04-0,8
-Neutrofil 3.79 10^3/mikro 1.8-7.5
-Limfosit 27.2 10^3/mikro 1.0-4.5
-Monosit 6.4 10^3/mikro 0.2-0.1

KIMIA KLINIK
Glukosa Sewaktu 328 mg/dL 74-105
UREUM 33.5 mg/dL 10-50
Kreatinin 0,68 mg/dL 0.45-0.75
Na + K + Cl
Natrium 132 mmol/L 136-146
Kalium 4,1 mmol/L 3.5-5.1
Chlorida 102 mmol/L 98-108

VI. Resume
Pasien berusia 43 tahun datang dengan keluhan badan lemas (malaise), poliuri,
polidipsi, parestesia di keempat ekstrimitas, berat badan menurun, parastesia
dikeempat ektremitas. Pada pemeriksaan glukosa darah puasa didapatkan 189mg/dL
dan glukosa 2PP 286 mg/dL.

VII. Diagnosis
Dibetes mellitus tipe 2

VIII. Diagnosis Banding


Hiperglikemia reaktif
Toleransi glukosa terganggu (TGT)
Glukosa darah puasa terganggu (GDPT)

IX. Penatalaksanaan
Tirah baring
Diet DM 1700 kkal
Cek gula darah sewaktu dan PP setiap kontrol

30
Metformin tab 2x1

X. Prognosis
Dubia ad bonam

31
I.8 FOLLOW UP

Tanggal Follow Up
5/09/17 S : pasien mengatakan lemas, Pusing (+), dan A : DM Tipe 2
sering buang air kecil (+), mudah haus (+), P :
keluhan disertai sering kesemutan pada kedua Infus Nacl 0,9% 20 tpm
tangan dan kakinya sejak 5 bulan lalu. Injeksi Novorapid 3x10 unit
O: Injeksi Mecobalamin 1x1
KU : Lemah KS : Compos KSR 1x1
Mentis Diet DM 1900 Kkal
HR: 85 x/ mnt R : 20 x/menit
T : 36,7 C SpO2 : 96 %
TD; 120/80

GDS : 246 mg/dL

Tanggal Follow Up
6/09/17 S : keluhan lemas berkurang, Pusing (+), dan A : DM Tipe 2
sering buang air kecil (+), mudah haus (+), P :
keluhan disertai sering kesemutan pada kedua Infus Nacl 0,9% 20 tpm
tangan dan kakinya sejak 5 bulan lalu. Injeksi Novorapid 3x12 unit
O: Injeksi Mecobalamin 1x1
KU : Sedang KS : Compos KSR 1x1
Mentis Diet DM 1900 Kkal
HR: 90x/ mnt R : 20 x/menit
T : 36,7 C SpO2 : 96 %
TD; 137/95

GDS : 280 mg/dL

32
BAB V
KESIMPULAN

Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelompok gangguan metabolik yang


dicirikan dengan adanya hiperglikemia; berhubungan dengan abnormalitas
metabolisme karbohidrat, lemak dan protein; menyebabkan komplikasi kronis
termasuk gangguan mikrovaskular, makrovaskular dan neuropati. DM adalah
penyebab utama kebutaan pada dewasa dengan umur antara 20 sampai 74 tahun dan
berperan dalam perkembangan gagal ginjal tahap akhir. Penyakit kardiovaskular
diperkirakan penyebab kematian pada 75 % individu dengan DM tipe 2. Walaupun
usaha untuk mengontrol hiperglikemia dan gejala yang berhubungan itu penting;
namun tantangan utama dalam menangani pasien DM secara optimal adalah
mengurangi atau mencegah komplikasi; meningkatkan angka harapan hidup dan
kualitas.

Diabetes mellitus (DM) juga dapat didefinisikan sebagai keadaan absolut


atau relatif defisiensi insulin menunjukkan peningkatan kronis dari konsentrasi dari
gula darah. Secara praktis ini adalah kondisi ketika tubuh kehilangan kemampuan
menggunakan karbohidrat sebagai energi dan keluar melalui air kencing. Diabetes
mellitus (DM) bukan merupakan suatu penyakit tapi merupakan suatu gejala.

Perencanaan pengobatan yang komprehensif terhadap pasien Diabetes


Mellitus bertujuan untuk mengoptimalkan pengontrolan kadar glukosa darah, dan
skrining untuk mencegah atau menangani komplikasi mikrovaskular dan
makrovaskular. Pengukuran-pengukuran terhadap parameter glikemia, lipid dan
hipertensi (faktor-faktor resiko) pada pasien DM seharusnya menjadi target
monitoring sekaligus penerapan terapi. Pengontrolan glikemik sangat penting dalam
pengobatan DM tipe 1 dan 2; hal tersebut membutuhkan pengukuran kadar glukosa
yang sering dan penyesuaian dengan diet, latihan fisik serta terapi farmakologis. Profil
lipid harus diperiksa sebagai bagian dari langkah awal terapi dan kemudian pada
setiap kunjungan follow-up jika tujuan terapi tidak tercapai. Jika tujuan terapi tercapai
dan stabil, pemeriksaan dilakukan sekali setahun dan sekali dua tahun jika profil
lipidnya menunjukkan resiko yang rendah. Hal lain yang penting dilakukan adalah

33
pemeriksaan kaki yang regular pada setiap kunjungan, pemeriksaan albumin urin
setiap tahun, pemeriksaan oftalmologik setiap tahun atau lebih sering jika terdeteksi
adanya abnormalitas

34
BAB V
KESIMPULAN

Diabetes mellitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang
oleh karena gangguan keseimbangan karbohidrat, dan protein yang disebabkan
kekurangan insulin secara absolut maupun relatif. Sehingga menyebabkan terjadinya
hiperglikemia dan glukosuria. Pada keadaan normal glukosa diatur sedemikian rupa
oleh insulin yang diproduksi oleh sel pancreas. Sehingga kadarnya dalam darah
selalu keadaan normal. Baik keadaan puasa maupun sesudah makan, kadar gula darah
selalu stabil sekitar 70 sampai 110 mg %. Pada keadaan diabetes mellitus tubuh
relative kekurangan sekresi insulin maupun aktivitas insulin akibatnya pengaturan
gula darah menjadi kacau. Walaupun kadar gula darah selalu tinggi, terjadi juga
pemecahan lemak dan protein menjadi gula (glukoneogenesis) di hati yang tidak dapat
dihambat karena insulin sekresinya relative berkurang sehingga gula darah semakin
meningkat. Akibatnya terjadi gejala-gejala diabetes mellitus yaitu poliuri, polifagi,
polidipsi, lemas, berat badan menurun. Bila dibiarkan berlarut-larut berakibat
kegawatan diabetes mellitus dengan ketoasidosis yang sering menimbulkan kematian.
Kasus diabetes mellitus yang terbanyak adalah DM type II yang mempunyai
latar belakang berupa resistensi insulin akibat disfungsi sel pancreas, dan penurunan
mass sel pancreas dimana sekresi serta aktivitas insulin berkurang.
Pasien DM mempunyai resiko untuk terjadinya komplikasi khronik yaitu :
Penyakit jantung koroner dan penyakit pembuluh darah otak 2 kali lebih besar, 50 kali
lebih mudah menderita ulkus/gangrene, 7 kali lebih mudah mengidap gagal ginjal
terminal dan 25 kali lebih cenderung mengalami kebutaan akibat kerusakan retina
daripada pasien non DM.
Pada kasus ulkus diabetikum dalam praktek digunakan terapi anti diabetic yaitu
insulin, yang diindikasikan untuk diabetes tipe I dan tipe II yang hiperglikemianya
tidak berespon terhadap terapi diet dan obat-obat hipoglikemik oral.
Indikasi pengobatan dengan insulin
a. Ketoasidosis, koma hiperosmolar dan asidosis laktat
b. DM dengan berat badan menurun secara cepat/kurus
c. DM yang mengalami stress berat ( infeksi sistemik, operasi berat, dll)
d. DM dengan kehamilan

35
e. DM tipe 1
f. Kegagalan pemakaian hipoglikemik oral (OHD)

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan dokter spesialis penyakit dalam indonesia. Panduan Pelayanan


Medik. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006.
2. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsesus pengelolaan dan pencegahan
diabetes mellitus tipe2 diIndonesia. Jakarta: PB Perkeni. 2006
3. Permana, Hikmat. Pengelolaan Hipertensi pada Diabetes Mellitus Tipe 2.
Bandung : Sub bagian Endokrinologi dan metabolism Bagian Ilmu Penyakit
Dalam Perjan RS Dr Hasan Sadikin.
4. Price Sylvia A, Wilson Lorraine M. Patofisiologi konsep klinis proses-prose
penyakit, ed 4. Jakarta: EGC. 1995
5. Sudoyo Aru, Satiyohadi Bambang, Idrus Alwi, Simadibrata Macellus, Setiati Siti.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.

37

You might also like