You are on page 1of 7

Journal Reading

Manifestasi yang Berhubungan dengan Mata pada Rheumatoid


Arthritis (RA)

Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di


Departemen Ilmu Penyakit Mata
Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa

Diajukan Kepada :
Pembimbing : dr. Retno Wahyuningsih Sp.M

Disusun Oleh :
Nur Aulia Intan Pratiwi 1610221018

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH AMBARAWA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA
PERIODE 11 SEPTEMBER 14 OKTOBER 2017
Manifestasi yang Berhubungan dengan Mata pada Rheumatoid
Arthritis (RA)

Abstrak
Rheumatoid arthritis (RA) adalah penyakit sistemik autoimun yang paling umum.
Manifestasi okuler penyakit autoimun ini bervariasi dan utamanya adalah
keratokonjungtivitis sicca, episkleritis, skleritis dan keratitis. Penampilan tanda dan
gejala dari mata dan tingkat keparahannya terkait dengan kronisitas RA dan
ketahanan terhadap terapi. Pengobatannya terdiri dari kortikosteroid, NSAID dan
obat sitotoksik, tergantung pada jenis manifestasi mata dan respons pasien terhadap
pengobatan.

Kata kunci
Rheumatoid Arthritis, Manifestasi Okular, Autoimunitas, Nodul, Mata Merah,
Sicca, Skleritis, Episkleritis, Tes Schirmer, Kortikosteroid, Keratitis

1. Pengenalan
Rheumatoid arthritis adalah penyakit autoimun sistemik yang paling umum terjadi,
dan mempengaruhi wanita usia pertengahan tiga kali lebih sering daripada pria
dengan persentase 0,5% - 2% dari populasi umum. RA merupakan penyakit radang
kronis yang ditandai dengan sinovitis simetris dan progresif dalam sendi. Penyakit
ini juga ditandai dengan adanya faktor rheumatoid positif pada 80% pasien namun
ada juga kelompok auto-antibodi yang disebut anti-PKC dan sangat penting untuk
mendiagnosis penyakit. Presentasi penyakit ini sering terjadi pada dekade ke-3
dengan tanda pembengkakan sendi, biasanya pada tangan. Tanda-tanda penyakit ini
adalah arthritis simetris pada sendi kecil tangan yang biasanya melibatkan
interphalangeal proksimal dan pemisah sendi interphalangeal distal.
Ketidakstabilan sendi dapat menyebabkan subluksasi dan kelainan bentuk, seperti
deviasi ulnaris sendi metakarpofalangeal. Keterlibatan yang jarang terjadi adalah
keterlibatan pada kaki, bahu, siku, pinggul, dan tulang belakang cervikal.

Keterlibatan kulit meliputi tejadinya nodul subkutis dengan penonjolan


tulang, dan terjadinya vaskulitis yang dapat menyebabkan ulserasi. Komplikasi RA
meliputi nodul paru dan fibrosis, neuropati multifokal, artritis septik, amyloidosis
sekunder dan carpal tunnel syndrom. Mayoritas penyakit autoimun sistemik
memiliki tanda dan gejala dari mata dan tidak terkecuali Rheumatoid Arthritis.
Sekitar 25% pasien akan memiliki manifestasi mata seperti skleritis, episkleritis,
keratokonjungtivitis sicca, keratitis, penyakit kornea dan yang jarang terjadi yaitu
choroiditis, vaskulitis retina, nodul episkleral, detasemen retina dan edema makula.

2. Manifestasi pada Mata


Keratokonjungtivitis sicca (sindrom mata kering) adalah tanda mata pada
RA yang paling umum dengan persentase 10% - 35%. Hal ini disebabkan oleh
adanya infiltrasi kelenjar lakrimal oleh limfosit T dan B, yang menyebabkan atrofi
sekunder kelenjar yang berperan atas pengeluaran air mata. Ada tes sederhana yang
dapat dilakukan untuk menilai produksi kelenjar air mata yang disebut tes Schirmer,
dan ini dilakukan dengan terlebih dahulu mengeringkan film air mata, lalu
memasukkan strip Schirmer ke kantung-kantung konjungtiva yang lebih rendah
pada sis temporal dari kelopak bawah. Setelah 5 menit, jika strip yang basah oleh
air mata berukuran kurang dari 10 mm, maka kelenjar lakrimal tidak berfungsi
dengan benar. Terdapat gejala dan tanda-tanda sensasi benda asing yang sangat
mengiritasi, dan ada juga hiperemia konjungtiva (mata merah). Pasien
mengeluhkan sensasi terbakar pada mata, rasa sakit dan penglihatan kabur. Adanya
mucus dan mucus yang kering jarang terjadi. Jadi temuan dominan
Keratoconjunctivitis sicca adalah dua: meniskus kornea mata yang berkurang dan
uji Schirmer abnormal. Tujuan utama dalam mengelola mata kering adalah untuk
mengisi atau mmenjaga film air mata. Pengobatannya adalah kombinasi dari
beberapa tindakan. Pasien harus menghindari lingkungan kering dan terlalu banyak
terpapar sinar matahari. Selain itu, mereka harus memakai kacamata hitam dan
mereka disarankan untuk memilih kamar dengan pelembab humidifier. Akhirnya,
mereka harus menggunakan pengganti air mata alami, dalam kasus ekstrim
penyumbatan lakrimal drainase puncta atau tarsorrhaphy mungkin diperlukan untuk
menghilangkan masalah.

Episkleritis terjadi pada 4% - 10% pada pasien RA. Ada dua bentuk
episkleritis: episkleritis sederhana dan episkleritis nodular. Nodular ditandai oleh
adanya nodul subconjunctival yang dapat digerakan di atas sklera. Episkleritis
sederhana (difus) merupakan episkleritis yang lebih sering terjadi. Gejalanya
meliputi onset mendadak, dengan fotofobia ringan dan rasa tidaknyamanan pada
mata, tidak ada gangguan penglihatan. Adanya rasa nyeri ringan yang dapat
menyebar ke pipi-alis-pelipis. Tanda-tanda episkleritis adalah tampilan mata merah
terang dengan pembuluh darah yang berdilatasi. Penting untuk disebutkan bahwa
pembuluh yang berdilatasi juga berhubungan dengan skleritis untuk membedakan
wujud keduanya maka diperlukan penggunaan tetes mata phenylephrine 2,5%.
Pemberian satu atau dua tetes di mata yang terkena akan menyempitkan pembuluh
episkler superfisial namun tidak menyempitkan pembuluh pembuluh sklera yang
lebih dalam. Pembuluh darah akan kontriksi pada episkleritis sedangkan yang
disebabkan oleh skleritis tetap berdilatasi. Juga, tidak ada rasa lembut pada saat
dilakukan palpasi. Episkleritis, ini dapat sembuh sendiri dan dapat mengobatinya
dengan topikal/ oral/ steroid atau NSAID. Penting untuk diingat bahwa pengobatan
awal episkleritis harus difokuskan untuk menghilangkan ketidaknyamanan dan
menghentikan perkembangan dari penyakit.

Skleritis persentase terjadinya skelritis sama dengan episcleritis pada


pasien dengan RA yaitu 4% - 10%. RA adalah penyebab umum skleritis. Bentuk
skleritis dapat difus, nodula, atau nekrotikan. Pasien dengan skleritis non-nekrosis
biasanya memiliki penyakit sendi ringan sedangkan yang berbentuk nekrotik
cenderung pada pasien dengan penyakit rheumatoid yang sudah lama ada dengan
manifestasi ekstra artikular, terutama nodul rheumatoid. Skleritis nekrosis dengan
inflamasi adalah yang paling merusak. Selain temuan mata pada skleritis non-
nekrosis, area avaskular sklera atau nekrosis juga dapat dilihat, yang dikelilingi oleh
edema sklera. Komplikasinya adalah perforasi, staphyloma dan penebalan sklera.
Necrotizing scleritis tanpa peradangan merupakan tanda RA yang sudah lama
terjadi. Scleritis mungkin memiliki gejala yang mirip dengan episkleritis namun
Scleritis memiliki onset bertahap dengan rasa sakit yang dalam dan menjemukan
yang dapat menyebar ke pipi, alis dan pelipis. Skleritis menyebabkan penglihatan
kabur dan fotofobia. Pasien mungkin mengalami penurunan ketajaman visus dan
terdapat nodul lembut di atas sklera. Lebih nyeri yang diraskana daripada pada
episkleritis dan juga ada rasa lebut pada palpasi.

Adanya pembuluh darah berdilatasi yang tidak memudar saat diteteskan


dengan phenylephrine. Pasien dengan skleritis akan mengeluh karena rasa sakit
sementara pasien dengan Episkleritis tidak. Pengobatan skleritis tidak sama dengan
yang Episkleritis, sebenarnya ada pengobatan yang lebih akut pada skleritis.
Awalnya kami menggunakan steroid topikal. Jika ada penyakit non-nekrosis maka
kita mengobati dengan NSAID topikal dan oral. Karena ada variasi besar dalam
tanggapan individu terhadap NSAID, seringkali diperlukan beberapa jenis obat
yang berbeda sebelum menemukan obat yang dapat mengurangi gejala. Suntikan
steroid periokular juga dapat digunakan pada penyakit non-nekrosis dan nekrosis
namun efeknya biasanya bersifat sementara.

Kortikosteroid dengan rute sistemik digunakan saat adanya kontraindikasi


penggunaan NSAID atau tidak efektif. Agen sitotoksik / imunomodulator (seperti
siklofosfamid, azatioprin, metotreksat, mikofenolatemofetil) biasanya diperlukan
jika penyakit ini tidak sepenuhnya dapat dikontrol dengan steroid atau juga
digunakan untuk mengurangi dosis kortikosteroid pada pasien yang memerlukan
pengobatan jangka panjang. Agen imunosupresif, termasuk penghambat
kalsineurin/ Ca-channel cyclosporine dan tacrolimus telah digunakan sebagai
pengobatan jangka panjang. Penggunaan antibodi monoklonal/ agen biologis,
seperti infliximab dan rituximab adalah menjanjikan. Infliximab sebagai antagonis
TNF menghambat faktor yang dimaksud atau serum atau pada permukaan sel target
dan menekan proses inflamasi dan rituximab sebagai antibodi anti-CD20
monoklonal untuk limfosit B menghilangkan limfosit memori B yang spesifik
sehingga menghambat aktivasi sel antigen reaktif yang mencegah langka mereka
untuk menciptakan peradangan. Triamsinolon subconjunctival telah digunakan
baru-baru ini dengan hasil yang menjanjikan.

Penetrasi skleromalakia adalah sejenis skleritis nekrosis tanpa adanya


pembengkakan, yang biasanya terjadi pada wanita yang lebih tua dengan RA yang
kronis. Istilah penetrasi ini mengejutkan karena penetrasi bola sangat tidak mungkin
dan integritas bola mata tetap tipis namun lapisannya utuh jaringan fibrosa. Terjadi
pembentuk nekrosis sklera di dekat limbus tanpa kongesti vaskular. Ini merupakan
progress yang sangat lambat dengan adanya penipisan skleral dan tidak tertutupnya
dasar choroid. Pengobatannya mungkin efektif pada tahap awal, jika tidak, akan
terjadi phthisis dari bola mata.

Keratitis adalah aspek lain yang sangat penting dari manifestasi mata.
Penyakit kornea pada pasien dengan RA dapat menjadi komplikasi yang terisolasi,
namun paling sering dikaitkan dengan keratokonjungtivitis sicca atau bentuk
skleritis anterior. Keratitis ditandai dengan rasa sakit disertai fotofobia, sensasi
benda asing, mata merah, pengeluaran air mata dan penurunan penglihatan.
Keratitis disebabkan oleh infiltrasi oleh sel-sel inflamasi dan mungkin ditandai
dengan opakifikasi kornea atau dengan vaskularisasi kornea, yang dapat
menyebabkan ulserasi atau bahkan lebih melelehnya kornea. Keratitis yang terkait
dengan skleritis mungkin akut atau sklerosis. Keratitis ulseratif perifer (PUK) juga
dikaitkan dengan RA, yang dapat cepat menyebabkan keratolisis kornea, perforasi
secara keseluruhan dan kegagalan visual dan dikaitkan dengan vaskulitis sistemik
di lebih dari 50% kasus, yang membawa tingkat kematian yang tinggi dan
membutuhkan penanganan dini dan agresif. Presentasi klinis PUK bervariasi, hal
itu mungkin terjadi setelah operasi intraokular atau timbul de novo, dan biasanya
pasien menggambarkan sensasi benda asing yang tidak spesifik dengan rasa sakit,
mata yang berair dan berkurangnya ketajaman penglihatan. Periferal kornea
memiliki karakteristik morfologi dan imunologi yang menjadi predisposisi
terjadinya peradangan autoimun. Tidak seperti kornea sentral avaskular, perifer
kornea dilengkapi dengan nutrisi dari kapiler, yang menutupi kornea perifer 0,5
mm. Vaskular limbus yang sesuai untuk terjadinya akumulasi IgM dan komplen C1
dan molekul berat tinggi lainnya dan imunokompleks. Endapan kompleks imun
memicu jalur klasik komplement, yang menginduksi chemotaxis sel inflamasi,
terutama neutrofil dan makrofag. Sel-sel ini bisa melepaskan kolagenase dan
protease lain yang menghancurkan stroma kornea. Selain itu, sitokin proinflamasi
seperti interleukin-1 oleh sel-sel inflamasi ini merangsang keratosit stromat untuk
menghasilkan metaloproteinase, yang dapat mempercepat proses destruktif. PUK
menggambarkan ketidakseimbangan lokal dalam rasio tingkat kolagenase tertentu
(MMP-1) dan inhibitor (TIMP-1) dan telah mengacu bahwa ketidakseimbangan ini
bertanggung jawab atas terjadinya keratolisis yang cepat.

Tanpa pengobatan, penyakitnya mungkin dapat sembuh sendiri. Pengobatan


termasuk NSAID adalah topikal/ oral/ IV, kortikosteroid, dan sitotoksik. Pemberian
kortikosteroid sistemik yang digunakan untuk mengobati fase akut dan
imunomodulator sitotoksik (siklo siklikofosfamid, metotreksat, azatioprin) untuk
pengobatan jangka panjang. Pada kasus perforasi PUK dilakukan lem jaringan
kornea atau patch membran amniotik atau keratoplasti. Pemberian siklosporin
secara sistemik sebagai imunosupresan, saat RA stadium lanjut bekerja sama
dengan rheumatologist. Administrasi siklosporin lokal juga dapat memiliki peran,
meskipun seringkali dapat menyebabkan toksisitas lokal pada kornea. Keputusan
mengenai durasi pengobatan tergantung pada apakah terkait dengan vaskulitis
sistemik yang mendasar, respons terhadap pengobatan, dan apakah infeksi terjadi.
Perhatian khusus diperlukan saat meresepkan steroid topikal untuk mencegah
penipisan lebih lanjut pada kornea.
Pasien RA juga dapat terjadi keratitis jenis non-ulseratif berikut ini:

1) Penipisan stromal perifer. Hal ini ditandai dengan penipisan bertahap stroma
kornea perifer, meninggalkan epitel utuh. Perforasi bisa terjadi pada kasus lanjut.
2) Sclerosis keratitis. Hal ini ditandai dengan penebalan dan penutupan stroma
kornea secara bertahap yang berdekatan dengan skleritis.
3) Peleburan kornea tengah akut. Hal itu bisa terjadi terkait dengan peradangan atau
kekeringan mata yang parah.

Uveitis (uveitis anterior/ iridoklikitis, uveitis perantara, uveitis posterior/


chorioretinitis, panuveitis) adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan
beberapa bentuk peradangan intraokular, dan dapat terjadi pada rheumatoid arthritis.
Tanda klinisnya adalah berkurang ketajaman visual, infiltrasi sel inflamasi pada
ruang anterior, synechie dan miosis. Pengobatan meliputi cycloplegics, steroid
topikal dan immunosuppressants. Uveitis mungkin juga terjadi sekunder akibat
radang intraokular dan vaskulitis akibat skleritis. Skleritis posterior mungkin disertai
dengan keluarnya eksudatif, pembengkakan dan radang yang menyertai elemen
orbital (prolaps, myositis, keterbatasan gerakan mata). Mereka dirujuk dan
manifestasi mata lainnya yang tidak sesering misalnya edema makular dan vaskulitis
retina.

Selain itu, manifestasi mata telah diamati sebagai efek samping dari penggunaan
obat untuk RA. Penyebab utamanya adalah kerusakan terjadi di kapsul anterior dari
kapsul lensa di sekitar 50% pasien yang menjalani perawatan lebih dari 3 tahun.

Zat seperti klorokuin dan hydroxychloroquine (Plaquenil), yang digunakan


dalam pengobatan rheumatoid arthritis, dapat menyebabkan makulopati toksin
dengan ketajaman visual yang berkurang, dan "bulls eye" di retina terkait dengan
lama pengobatan (> 7 tahun) dan dosis obat (rata-rata dosis harian untuk
meminimalkan toksisitas adalah massa tubuh 6,5 mg / Kgr untuk hidroksi klorokuin
dan massa tubuh 5 mg/ Kgr sampai klorokuin). Pengobatan ini juga terlibat dengan
terjadinya implikasi pada kornea yang ditandai dengan endapan emas kecoklatan di
epitel kornea bawah. Endapan bersifat reversibel pada pengobatan dengan
administrasi yang diberi jeda dan tidak menyebabkan penurunan ketajaman
penglihatan. Pasien mungkin memiliki gejala cahaya halo. Untuk deteksi dini lesi ini
diperlukan pengawasan oftalmologis setiap 6 - 12 bulan dengan tes oftalmik
diagnostik yang sensitif.

3. Kesimpulan
Manifestasi rheumatoid arthritis dapat mempengaruhi berbagai komponen
mata. Ada banyak tanda dan gejala mengenai jaringan mata seperti
keratokonjungtivitis sicca, episkleritis, skleritis, keratitis dan uveitis. Penelitan
kami merupakan langkah awal dalam memahami konsekuensi dari rheumatoid
arthritis dalam keterlibatan mata. Selain itu, tujuan artikel peninjauan ini adalah
untuk mengklarifikasi kepada klinisi kemungkinan manifestasi penyakit tersebut di
atas, serta pilihan pengelolaan dan pengobatan spesifik mereka.

Benturan Kepentingan
Penulis menyatakan bahwa tidak ada benturan kepentingan sehubungan dengan
penerbitan manuskrip ini.

You might also like