You are on page 1of 10

LAPORAN PENDAHULUAN

ASKEP HEAD INJURY

Disusun oleh :
Bernadus Rudianto (30140108036)

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN


STIKes ST. BORROMEUS

1
2012
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN
TRAUMA KEPALA

A. PENGERTIAN
Cedera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau penyimpangan
garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan (accelerasi - decelerasi ) yang
merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan faktor
dan penurunan kecepatan, serta notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak
sebagai akibat perputaran pada tindakan pencegahan.
Head injury (Trauma kepala) termasuk kejadian trauma pada kulit kepala, tengkorak atau otak.
B. PATOFISIOLOGI
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi.
Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak
tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar
akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan
bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg %, karena akan menimbulkan koma.
Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar
glukosa plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen
melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada
kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat
metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik.
Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 - 60 ml / menit / 100 gr.
jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output.
Trauma kepala meyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas atypical-
myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udem paru. Perubahan otonom pada fungsi
ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P dan disritmia, fibrilasi atrium dan vebtrikel,
takikardia.
Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan
tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi . Pengaruh
persarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak
begitu besar.

2
Batasan trauma kepala digunakan terutama untuk mengetahui trauma cranicerebral,
termasuk gangguan kesadaran.
Kematian akibat trauma kepala terjadi pada tiga waktu setelah injury yaitu :
1. Segera setelah injury.
2. Dalam waktu 2 jam setelah injury
3. rata-rata 3 minggu setelah injury.
Pada umumnya kematian terjadi setelah segera setelah injury dimana terjadi trauma
langsung pada kepala, atau perdarahan yang hebat dan syok. Kematian yang terjadi dalam
beberapa jam setelah trauma disebabkan oleh kondisi klien yang memburuk secara progresif
akibat perdarahan internal. Pencatatan segera tentang status neurologis dan intervensi surgical
merupakan tindakan kritis guna pencegahan kematian pada phase ini. Kematian yang terjadi 3
minggu atau lebih setelah injury disebabkan oleh berbagai kegagalan sistem tubuh.
Faktor 2 yang diperkirakan memberikan prognosa yang jelek adalah adanya intracranial
hematoma, peningkatan usia klien, abnormal respon motorik, menghilangnya gerakan bola
mata dan refleks pupil terhadap cahaya, hipotensi yang terjadi secara awal, hipoksemia dan
hiperkapnea, peningkatan ICP.
Diperkirakan terdapat 3 juta orang di AS mengalami trauma kepala pada setiap tahun.
Angka kematian di AS akibat trauma kepala sebanyak 19.3/100.000 orang. Pada umumnya
trauma kepala disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas atau terjatuh.

C. Jenis Trauma Kepala :


1. Robekan kulit kepala.
Robekan kulit kepala merupakan kondisi agak ringan dari trauma kepala. Oleh karena
kulit kepala banyak mengandung pembuluh darah dengan kurang memiliki kemampuan
konstriksi, sehingga banyak trauma kepala dengan perdarahan hebat. Komplikasi utama
robekan kepala ini adalah infeksi.
2. Fraktur tulang tengkorak.
Fraktur tulang tengkoran sering terjadi pada trauma kepala. Beberapa cara untuk
menggambarkan fraktur tulang tengkorak :
a. Garis patahan atau tekanan.
b. Sederhana, remuk atau compound.
c. Terbuka atau tertutup.

3
Fraktur yang terbuka atau tertutup bergantung pada keadaan robekan kulit atau sampai
menembus kedalam lapisan otak. Jenis dan kehebatan fraktur tulang tengkorak bergantung
pada kecepatan pukulan, moentum, trauma langsung atau tidak.
Pada fraktur linear dimana fraktur terjadi pada dasar tengkorak biasanya berhubungan
dengan CSF. Rhinorrhea (keluarnya CSF dari hidung) atau otorrhea (CSF keluar dari mata).
Ada dua metoda yang digunakan untuk menentukan keluarnya CSF dari mata atau hidung,
yaitu melakukan test glukosa pada cairan yang keluar yang biasanya positif. Tetapi bila cairan
bercampur dengan darah ada kecenderungan akan positif karena darah juga mengadung gula.
Metoda kedua dilakukan yaitu cairan ditampung dan diperhatikan gumpalan yang ada. Bila
ada CSF maka akan terlihat darah berada dibagian tengah dari cairan dan dibagian luarnya
nampak berwarna kuning mengelilingi darah (Holo/Ring Sign).
Komplikasi yang cenderung terjadi pada fraktur tengkorak adalah infeksi intracranial dan
hematoma sebagai akibat adanya kerusakan menigen dan jaringan otak. Apabila terjadi
fraktur frontal atau orbital dimana cairan CSF disekitar periorbital (periorbital ecchymosis.
Fraktur dasar tengkorak dapat meyebabkan ecchymosis pada tonjolan mastoid pada tulang
temporal (Battles Sign), perdarahan konjunctiva atau edema periorbital.

1. Commotio serebral :
Concussion/commotio serebral adalah keadaan dimana berhentinya sementara fungsi
otak, dengan atau tanpa kehilangan kesadaran, sehubungan dengan aliran darah keotak.
Kondisi ini biasanya tidak terjadi kerusakan dari struktur otak dan merupakan keadaan
ringan oleh karena itu disebut Minor Head Trauma. Keadaan phatofisiologi secara nyata
tidak diketahui. Diyakini bahwa kehilangan kesadaran sebagai akibat saat adanya
stres/tekanan/rangsang pada reticular activating system pada midbrain menyebabkan
disfungsi elektrofisiologi sementara. Gangguan kesadaran terjadi hanya beberapa detik atau
beberapa jam.
Pada concussion yang berat akan terjadi kejang-kejang dan henti nafas, pucat,
bradikardia, dan hipotensi yang mengikuti keadaan penurunan tingkat kesadaran. Amnesia
segera akan terjadi. Manifestasi lain yaitu nyeri kepala, mengantuk,bingung, pusing, dan
gangguan penglihatan seperti diplopia atau kekaburan penglihatan.

2. Contusio serebral
Contusio didefinisikan sebagai kerusakan dari jaringan otak. Terjadi perdarahan vena,
kedua whitw matter dan gray matter mengalami kerusakan. Terjadi penurunan pH, dengan

4
berkumpulnya asam laktat dan menurunnya konsumsi oksigen yang dapat menggangu fungsi
sel.
Kontusio sering terjadi pada tulang tengkorak yang menonjol. Edema serebral dapat
terjadi sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan ICP. Edema serebral puncaknya dapat
terjadi pada 12 24 jam setelah injury.
Manifestasi contusio bergantung pada lokasi luasnya kerusakan otak. Akan terjadi
penurunan kesadaran. Apabila kondisi berangsur kembali, maka tingat kesadaranpun akan
berangsur kembali tetapi akan memberikan gejala sisa, tetapi banyak juga yang mengalami
kesadaran kembali seperti biasanya. Dapat pula terjadi hemiparese. Peningkatan ICP terjadi
bila terjadi edema serebral.

3. Diffuse axonal injury.


Adalah injury pada otak dimana akselerasi-deselerasi injury dengan kecepatan tinggi,
biasanya berhubungan dengan kecelakaan kendaraan bermotor sehingga terjadi terputusnya
axon dalam white matter secara meluas. Kehilangan kesadaran berlangsung segera. Prognosis
jelek, dan banyak klien meninggal dunia, dan bila hidup dengan keadaan persistent
vegetative.

4. Injury Batang Otak


Walaupun perdarahan tidak dapat dideteksi, pembuluh darah pada sekitar midbrain akan
mengalami perdarahan yang hebat pada midbrain. Klien dengan injury batang otak akan
mengalami coma yang dalam, tidak ada reaksi pupil, gangguan respon okulomotorik, dan
abnormal pola nafas.

D. Komplikasi :
1. Epidural hematoma.
Sebagai akibat perdarahan pada lapisan otak yang terdapat pada permukaan bagian
dalam dari tengkorak. Hematoma epidural sebagai keadaan neurologis yang bersifat emergensi
dan biasanya berhubungan dengan linear fracture yang memutuskan arteri yang lebih besar,
sehingga menimbulkan perdarahan. Venous epidural hematoma berhubungan dengan robekan
pembuluh vena dan berlangsung perlahan-lahan. Arterial hematoma terjadi pada middle
meningeal artery yang terletak di bawah tulang temporal. Perdarahan masuk kedalam ruang
epidural. Bila terjadi perdarahan arteri maka hematoma akan cepat terjadi. Gejalanya adalah

5
penurunan kesadaran, nyeri kepala, mual dan muntah. Klien diatas usia 65 tahun dengan
peningkatan ICP berisiko lebih tinggi meninggal dibanding usia lebih mudah.

2. Subdural Hematoma.
Terjadi perdarahan antara dura mater dan lapisan arachnoid pada lapisan meningen yang
membungkus otak. Subdural hematoma biasanya sebagai akibat adanya injury pada otak dan
pada pembuluh darah. Vena yang mengalir pada permukaan otak masuk kedalam sinus sagital
merupakan sumber terjadinya subdural hematoma. Oleh karena subdural hematoma
berhubungan dengan kerusakan vena, sehingga hematoma terjadi secara perlahan-lahan.
Tetapi bila disebabkan oleh kerusakan arteri maka kejadiannya secara cepat. Subdural
hematoma dapat terjadi secara akut, subakut, atau kronik.
Setelah terjadi perdarahan vena, subdural hematoma nampak membesar. Hematoma
menunjukkan tanda2 dalam waktu 48 jam setelah injury. Tanda lain yaitu bila terjadi
konpressi jaringan otak maka akan terjadi peningkatan ICP menyebabkan penurunan tingkat
kesadaran dan nyeri kepala. Pupil dilatasi. Subakut biasanya terjadi dalam waktu 2 14 hari
setelah injury.
Kronik subdural hematoma terjadi beberapa minggu atau bulan setelah injury.
Somnolence, confusio, lethargy, kehilangan memory merupakan masalah kesehatan yang
berhubungan dengan subdural hematoma.

3. Intracerebral Hematoma.
Terjadinya pendarahan dalamn parenkim yang terjadi rata-rata 16 % dari head injury.
Biasanya terjadi pada lobus frontal dan temporal yang mengakibatkan ruptur pembuluh darah
intraserebral pada saat terjadi injury. Akibat robekan intaserebral hematoma atau intrasebellar
hematoma akan terjadi subarachnoid hemorrhage.

4. Collaborative Care.
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk memonitor hemodinamik dan mendeteksi
edema serebral. Pemeriksaan gas darah guna mengetahui kondisi oksigen dan CO2.
Okdigen yang adekuat sangat diperlukan untuk mempertahankan metabolisma serebral. CO2
sangat beepengaruh untuk mengakibatkan vasodilator yang dapat mengakibatkan edema
serebral dan peningkatan ICP. Jumlah sel darah, glukosa serum dan elektrolit diperlukan
untuk memonitor kemungkinan adanya infeksi atau kondisi yang berhubungan dengan lairan
darah serebral dan metabolisma.

6
CT Scan diperlukan untuk mendeteksi adanya contusio atau adanya diffuse axonal injury.
Pemeriksaan lain adalah MRI, EEG, dan lumbal functie untuk mengkaji kemungkinan adanya
perdarahan.Sehubungan dengan contusio, klien perlu diobservasi 1 2 jam di bagian
emergensi. Kehilangan tingkat kesadaran terjadi lebih dari 2 menit, harus tinggal rawat di
rumah sakit untuk dilakukan observasi.
Klien yangmengalami DAI atau cuntusio sebaiknya tinggal rawat di rumah sakit dan
dilakukan observasi ketat. Monitor tekanan ICP, monitor terapi guna menurunkan edema otak
dan mempertahankan perfusi otak.pemberian kortikosteroid seperti hydrocortisone atau
dexamethasone dapat diberikan untuk menurunkan inflamasi. Pemberian osmotik diuresis
seperti mannitol digunakan untuk menurunkan edema serebral.klien dengan trauma kepala
yang berat diperlukan untuk mempertahankan fungsi tubuh normal dan mencegah kecacatan
yang nmenetap. dapat juga diberikan infus, enteral atau parenteral feeding, pengaturan posisi
dan ROM exercise untuk mensegah konraktur dan mempertahankan mobilitas.

E. Asuhan keperawatan :
Pengkajian riwayat terjadinya injury akan membantu guna memahami trauma
craniocerebral. Mengetahui jika klien kehilangan kesadaran akan membantu perawat untuk
merencanakan tindakan keperawatan.
Asuhan keperawatan pada klien pada phase akut biasanya difukuskan pada
mempertahankan pengaliran udara dan pola nafas. Asuhan keperawatan ditujukan untuk
mengkaji secara terus menerus dan memonitoring fungsi neurologis pengaruhnya terhadap
berbagai sistem tubuh.
Banyak diagnosa keperawatan yang berhubungan dengan dengan hematoma intracranial atau
sebagai akibat peningkatan ICP.

Diagnosa keperawatan :
Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan Coma atau perdarahan masuk kedalam
jalan nafas.
Tujuan :
Klien akan mempertahankan jalan nafas tetap efektif, ditandai :
1. Jalan nafas bagian atas bebas dari sekresi.
2. Pernafasan teratur (16-22)
3. bunyi perbafasan jelas pada kedua dasar paru.
4. Gerakan dada simetris.

7
5. Tidak ada dispnea, agitasi, confusio.
6. AGD normal ( PO2 diatas 90 mmHg dan PCO2 antara 30 35 mmHg..

Implementasi :
1. Pertahankan jalan udara bebas.
2. Pertahankan jalan nafas tetap bebas.
3. Lakukan suction oropharynx dan trachea setiap 1 2 jam.
4. Kaji RR setiap 1 2 jam.
5. Cek bunyi nafas dan gerakan dada.
6. Monitor AGD.
7. Posisi baring semi prone/posisi lateral.
8. Berikan oksigen humidified.
9. Bantu atau pertahankan endotracheal tube, tracheostomy, dan mechanical ventilation
(bila diperlukan).

Diagnosa keperawatan :
Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan hipotensi/intracranial
hemorrhage/hematoma/atau injury lain.
Tujuan :
Klien akan mempertahankan perfusi jaringan serebral yang adekuat, ditandai dengan :
1. LOC stabil atau meningkat.
2. GCS nilai 9 atau lebih.
3. Temperatur kurang dari 38.5C.
4. refleks pupil terhadap cahaya baik.
5. Respon motorik stabil atau peningkatan(gerakan lengan dan tungkai).
6. ICP kurang dari 15 mmHg.
7. tekanan sistolik diatas 90 mmHg.

Implementasi :
1. Kaji LOC.
2. Kaji lebarnya pupil setiap 1 4 jam.
3. Kaji gerakan ekstraokuler setiap 1 4 jam.
4. Cata respon verbal, gerakan tungkai, dorsiflexion dan plantar flexion setiap 1 4 jam.
5. Jika klien tidak sadar, catat gerekan spntan atau upaya menghindari nyeri setiap 1 4 jam.

8
6. Laporkan jika ada kelainan/kemunduran yang terjadi.
7. Monitor temperatur setiap setiap 2 jam, pertahankan temperatur batas normal denganpemberian
obat antiperetika.
8. Monitor kondisi kardiovaskular dan pernafasan.
9. Cata vital sign setiap 1 4 jam.
10. Pertahankan posisi kepala 30 derajat dan pertahankan posisi kepala secara netral dengan
memasang bantal pasir.
11. Monitor input dan output urin.
12. Lakukan massage setiap 2- 4 jam untuk mencegah adanya tekanan pada tonjolan tulang.
13. Robah posisi setiap 2 jam.

9
DAFTAR KEPUSTKAAN

Alexander (1995). Care of the patient in Surgery. (10 th ed.), St Louis ; Mosby. P : 855 930.

Doenges, Moorehouse & Geisser (1993). Nursing Care Plans ; Guidelines for planning and
dokumenting patient care. (3rd ed) philadelphia ; F.A.Davis Company. p : 271 290.

Lemone & burke. (1996). Medical-Surgical Nursing ; critical thinking in client care.
California : Addison-Wesley. p : 1720 - 1728

Lewis, Heitkemper & Dirkssen (2000). Medical Surgical Mursing ; Assessment and
management ofg clinical problems. St.louis : Mosby. P : 1720 171624 1630.

Luckman (1996). Core principles and practice of medical-surgical nursing. Philadelphia :


W.B.Sauders Company. p ; 341 354

10

You might also like