Professional Documents
Culture Documents
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2. Anatomi
Menurut Hansen (2010), otak dan medula spinalis dikelilingi oleh tiga
lapisan jaringan ikat membranosa yang disebut meninges, yang meliputi:
1. Dura mater, yaitu lapisan terluar yang kaya akan serabut saraf sensoris. Dura
mater terutama disarafi oleh cabang-cabang sensoris meningeal dari nervus
trigeminus, nervus vagus, dan saraf-saraf servikal atas. Dura mater juga
membentuk lipatan atau lapisan jaringan ikat tebal yang memisahkan
berbagai regio otak seperti falks serebri, falks serebeli, tentorium serebeli, dan
diafragma sella.
2. Araknoid mater, yaitu lapisan di bawah dura mater yang avaskular. Ruang di
antara araknoid mater dan pia mater disebut spatium subarachnoideum dan
mengandung cairan serebrospinalis.
3. Pia mater, yaitu lapisan jaringan ikat yang langsung membungkus otak dan
medula spinalis. Araknoid mater dan pia mater tidak memiliki serabut saraf
sensoris.
Bagian yang paling menonjol dari otak manusia adalah hemisfer serebri.
Beberapa regio korteks serebri yang berhubungan dengan fungsi-fungsi spesifik
dibagi atas lobus-lobus. Lobus-lobus tersebut dan fungsinya masing-masing
antara lain:
1. Lobus frontal memengaruhi kontrol motorik, kemampuan berbicara ekspresif,
kepribadian, dan hawa nafsu
2. Lobus parietal memengaruhi input sensoris, representasi dan integrasi, serta
kemampuan berbicara reseptif
3. Lobus oksipital memengaruhi input dan pemrosesan penglihatan
4. Lobus temporal memengaruhi input pendengaran dan integrasi ingatan
5. Lobus insula memengaruhi emosi dan fungsi limbik
6. Lobus limbik memengaruhi emosi dan fungsi otonom (Hansen, 2010)
Komponen-komponen otak lainnya antara lain:
1. Talamus merupakan pusat relai di antara area kortikal dan subkortikal.
2. Serebelum mengkoordinasikan aktivitas motorik halus dan memproses posisi
otot.
3. Batang otak (otak tengah, pons, dan medula oblongata) menyampaikan
informasi sensoris dan motorik dari somatik dan otonom serta informasi
motorik dari pusat yang lebih tinggi ke target-target perifer (Hansen, 2010).
2.1.3. Histologi
Menurut Eroschenko (2008), otak dan medula spinalis dilindungi oleh
tulang, jaringan ikat, dan cairan serebrospinalis. Di dalam kranium dan foramen
vertebrale terdapat meninges, yaitu suatu jaringan ikat yang terdiri dari tiga
lapisan, yaitu dura mater, araknoid mater, dan pia mater. Di antara araknoid mater
dan pia mater terdapat spatium subarachnoideum, tempat beredarnya cairan
serebrospinalis yang membasahi dan melindungi otak dan medula spinalis.
Sel struktural dan fungsional jaringan saraf adalah neuron. Setiap neuron
terdiri dari soma atau badan sel, banyak dendrit, dan satu akson. Badan sel atau
soma mengandung nukleus, nukleolus, berbagai organel, dan sitoplasma atau
perikarion. Dari badan sel muncul tonjolan-tonjolan sitoplasma yang disebut
dendrit yang membentuk percabangan dendritik. Neuron dikelilingi oleh sel yang
lebih kecil dan lebih banyak yaitu neuroglia, yaitu sel penunjang nonneural yang
memiliki banyak percabangan di SSP dan mengelilingi neuron, akson, dan
dendrit. Sel ini tidak terangsang atau menghantarkan impuls karena secara
morfologis dan fungsional berbeda dari neuron. Sel neuroglia dapat dibedakan
dari ukurannya yang jauh lebih kecil dan nukleus yang berwarna gelap dan
jumlahnya sekitar sepuluh kali lipat lebih banyak daripada neuron (Eroschenko,
2008).
Gambar 2.3. Astrosit fibrosa dan kapiler di otak. Pewarnaan: metode Cajal.
Pembesaran sedang.
(Sumber: Eroschenko, V.P., 2008. diFiores Atlas of Histology with Functional
Correlations. 11th ed. United States of America: Lippincott Williams & Wilkins.
Terjemahan Brahm U. Pendit. Atlas Histologi diFiore dengan Korelasi
Fungsional. 2008. Edisi Ke-11. Jakarta: EGC, 159)
Gambar 2.6. Sel ependimal pada kanalis sentralis medula spinalis (X200, H&E)
(Sumber: Mescher, A.L., 2009. Junqueiras Basic Histology Text & Atlas. 12th ed.
United States of America: The McGraw-Hill Professional)
2.1.4. Fisiologi
Menurut Sherwood (2011), sistem saraf pusat (SSP) terdiri dari otak dan
medula spinalis. Tidak ada bagian otak yang bekerja sendiri dan terpisah dari
bagian-bagian otak lain karena anyaman neuron-neuron terhubung secara
anatomis oleh sinaps, dan neuron-neuron di seluruh otak berkomunikasi secara
ekstensif satu sama lain dengan cara listrik atau kimiawi. Akan tetapi, neuron-
neuron yang bekerja sama untuk melaksanakan fungsi tertentu cenderung tersusun
dalam lokasi yang terpisah. Karena itu, meskipun merupakan suatu keseluruhan
yang fungsional, otak tersusun menjadi bagian-bagian yang berbeda. Bagian-
bagian otak dapat dikelompokkan dalam berbagai cara bergantung pada perbedaan
anatomik, spesialisasi fungsi, dan perkembangan evolusi.
Medula spinalis memiliki lokasi strategis antara otak dan serat aferen dan
eferen susunan saraf tepi. Lokasi ini memungkinkan medula spinalis memenuhi
dua fungsi primernya, yaitu sebagai penghubung untuk transmisi informasi antara
otak dan bagian tubuh lainnya dan mengintegrasikan aktivitas refleks antara
masukan aferen dan keluaran eferen tanpa melibatkan otak. Jenis aktivitas refleks
ini disebut refleks spinal (Sherwood, 2011).
Batang otak (otak 1. Asal dari sebagian besar saraf kranialis perifer
tengah, pons, dan 2. Pusat kontrol kardiovaskular, respirasi, dan
medula) pencernaan
3. Regulasi refleks otot yang berperan dalam
keseimbangan dan postur
4. Penerimaan dan integrasi semua input sinaps dari
medula spinalis; pengaktifan korteks serebri dan
keadaan terjaga
5. Peran dalam siklus tidur-bangun
(Sumber: Sherwood, L. 2007. Human Physiology: From Cells to Systems. 6th ed.
Singapore: Cengange Learning Asia Pte Ltd. Terjemahan Brahm U. Pendit.
Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. 2011. Edisi Ke-6. Jakarta: EGC, 155)
menunjukkan adanya hubungan antara pemakaian telepon dengan tumor otak atau
tumor lainnya (El-Zein, 2013).
7. Supresi imun
Supresi sistem imun yang didapat seperti pada infeksi HIV (human
immunodeficiency virus) atau terapi imunosupresif kronis setelah transplantasi
organ meningkatkan risiko limfoma SSP primer. Risiko glioma juga meningkat
pada individu yang terinfeksi HIV (Deangelis dan Rosenfeld, 2009).
8. Obat-obatan dan bahan kimia lainnya
Beberapa penelitian telah menemukan adanya hubungan antara tumor otak pada
anak-anak dengan paparan prenatal terhadap obat fertilitas, kontrasepsi oral, obat
tidur, obat antinyeri, antihistamin, dan diuretik. Pada orang dewasa, obat sakit
kepala, antinyeri, dan obat tidur memiliki efek protektif yang tidak signifikan
terhadap tumor otak (El-Zein, 2013).
9. Sindrom genetik
Menurut Deangelis dan Rosenfeld (2009), sejumlah sindrom herediter
berhubungan dengan peningkatan risiko tumor otak. Misalnya, neurofibromatosis
tipe 1 meningkatkan risiko glioma, neurofibromatosis tipe 2 meningkatkan risiko
schwannoma vestibular dan meningioma, dan sindrom Li-Fraumeni yang
berkaitan dengan mutasi pada gen supresor tumor p53 menyebabkan glioma dan
meduloblastoma.
2.2.3. Epidemiologi
Menurut Deangelis dan Rosenfeld (2009), tumor intrakranial dapat terjadi
pada usia manapun, tetapi histopatologi dan insidensi tumor bervariasi menurut
usia. Kasus tumor otak lebih banyak terdapat pada pria daripada wanita, kecuali
meningioma yang sangat didominasi oleh wanita. Pada anak-anak,
meduloblastoma dan astrositoma low-grade lebih mendominasi, sedangkan pada
orang dewasa, astrositoma maligna dan meningioma adalah tumor otak yang
paling umum terjadi. Tabel 2.2. menunjukkan epidemiologi tumor otak di Medan,
Indonesia, pada tahun 2003-2004.
Tabel 2.2. Distribusi tumor otak berdasarkan usia dan jenis kelamin di RSUP H.
Adam Malik dan RS Haji Medan tahun 2003-2004
Jenis kelamin
Umur Jumlah Persentas
No Laki-laki Perempuan
(tahun) (N) e (%)
n % n %
1 0-10 1 2,08 1 2,08 2 4,17
2 11-20 2 4,17 1 2,08 3 6,25
3 21-30 4 8,33 2 4,17 6 12,50
4 31-40 3 6,25 1 2,08 4 8,33
5 41-50 7 14,58 3 6,25 10 20,83
6 51-60 7 14,58 2 4,17 9 18,75
7 >60 11 22,92 3 6,25 14 29,17
Jumlah total 35 72,92 13 27,08 48 100,00
(Sumber: Hakim, A.A., 2005. Kasus-Kasus Tumor Otak di Rumah Sakit H. Adam
Malik dan Rumah Sakit Haji Medan Tahun 2003-2004. Medan: Universitas
Sumatera Utara. Tersedia di: http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/15584)
2.2.4. Patogenesis
Menurut Ropper dan Samuels (2009), tumor dapat berasal dari sel-sel
embrionik yang tertinggal di otak selama proses perkembangan. Tumor juga dapat
muncul dari transformasi neoplastik sel-sel dewasa yang matang seperti astrosit,
oligodendrosit, mikroglia, atau sel ependimal. Selama sel-sel ini memperbanyak
diri, sel-sel anakan menjadi anaplastik dan derajat keganasan semakin bertambah.
Terbentuknya tumor didasarkan atas anggapan bahwa lapisan sel tuba
neuralis bermigrasi dan berdiferensiasi menjadi meduloblas yang kemudian
berdiferensiasi menjadi dua bagian, yaitu golongan neuron menjadi neuroblas dan
neuron, dan golongan glia melalui spongioblas menjadi astrosit dan
oligodendrosit. Lapisan sel tuba neuralis juga dapat menjadi sel ependimal. Setiap
tipe sel ini dapat berubah menjadi neoplastik sehingga meduloblas menjadi
meduloblastoma, neuroblas menjadi neuroblastoma dan ganglioneuroma, astrosit
menjadi astrositoma, oligodendrosit menjadi oligodendroglioma, dan sel
ependimal menjadi ependimoma. Tumor yang berasal dari sel-sel glia ini
dinamakan glioma (Sobirin, 2001).
Identifikasi penyimpangan kromosom tertentu yang timbul pada sel-sel
tumor sistem saraf memberi kesan bahwa biogenesis dan perkembangan tumor
otak disebabkan oleh gangguan kendali siklus sel. Sebagian defek molekuler
memengaruhi terbentuknya tumor, sedangkan sebagian yang lain mendasari
perkembangan berikutnya, mempercepat transformasi menjadi ganas, dan
menimbulkan sensitivitas atau resistansi terhadap kemoterapi. Mutasi pada gen-
gen yang normalnya menekan proliferasi sel, yaitu gen supresor tumor, dapat
memicu perkembangan tumor, contohnya mutasi berupa delesi gen supresor
tumor p53 pada kromosom 17p yang ditemukan pada 50% kasus astrositoma
(Ropper dan Samuels, 2009).
Perubahan lainnya adalah ekspresi berlebihan faktor-faktor pertumbuhan
atau reseptornya. Perkembangan menjadi keganasan dapat dipicu oleh defek pada
jalur signaling gen p16-retinoblastoma, hilangnya kromosom 10, atau ekspresi
berlebihan gen faktor pertumbuhan epidermal (epidermal growth factor).
Contohnya antara lain ekspresi berlebihan (overexpression) atau bentuk mutan
dari EGFR (epidermal growth factor receptor) dan PDGFR (platelet-derived
transforming growth factor receptor) pada sekitar 50% kasus glioma. Konsentrasi
yang tinggi dari VEGF (vascular endothelial growth factor) ditemukan pada
meningioma yang secara alamiah kaya akan pembuluh darah. Namun, belum jelas
apakah penemuan ini menunjukkan suatu hubungan sebab-akibat atau hanya suatu
penyimpangan proses genetik yang menyertai pertumbuhan dan perkembangan
tumor (Ropper dan Samuels, 2009).
Saat ini, teori yang umum dianut adalah kanker berkembang melalui
akumulasi dari perubahan genetik yang memungkinkan sel-sel untuk tumbuh di
luar kendali mekanisme regulasi yang normal dan lolos dari proses penghancuran
oleh sistem imun. Perubahan-perubahan genetik tersebut mencakup agregasi
familial, sindrom-sindrom herediter, faktor-faktor metabolik, sensitivitas mutagen,
serta instabilitas kromosom (El-Zein, 2013).
2.2.5. Patofisiologi
Menurut Ropper dan Samuels (2009), kavum kranii memiliki volume yang
terbatas dan memiliki tiga unsur yang relatif tidak dapat terkompresi, yaitu otak
(sekitar 1.200-1.400 mL), cairan serebrospinalis (70-140 mL), dan darah (150
mL). Hukum Monro-Kellie menyatakan volume total ketiga unsur ini selalu
konstan dan penambahan volume salah satu unsur mengurangi volume unsur
lainnya. Tumor yang tumbuh di salah satu bagian otak akan menekan jaringan
otak di sekitarnya dan mengurangi volume cairan serebrospinalis dan darah.
Begitu batas akomodasi ini telah dicapai, tekanan intrakranial (TIK) akan
meningkat.
Seiring pertumbuhan tumor, venula-venula di jaringan otak yang
berdekatan dengan tumor akan tertekan sehingga tekanan kapiler meningkat,
terutama pada jaringan substansia alba di mana edema lebih mencolok.
Pertumbuhan tumor yang lambat memungkinkan otak untuk menyesuaikan diri
dengan perubahan aliran darah otak dan peningkatan TIK. Pada stadium
pertumbuhan tumor yang lebih lanjut, mekanisme kompensasi gagal serta tekanan
cairan serebrospinalis dan TIK meningkat. Pada awalnya, tumor mulai menggeser
jaringan di sekitarnya dan kemudian menggeser jaringan pada jarak tertentu dari
tumor, menimbulkan tanda-tanda lokalisasi yang palsu (Ropper dan Samuels,
2009).
dengan defisit neurologis fokal yang bersifat tiba-tiba seperti pada stroke. Kejang
dapat disebabkan oleh gangguan pada sirkuit kortikal. Kelainan neurologis
nonfokal biasanya menunjukkan peningkatan TIK, hidrosefalus, atau penyebaran
tumor yang difus. Peningkatan TIK dapat mengakibatkan kerusakan yang lebih
luas dengan mengkompresi struktur otak yang kritis. Gejala-gejala yang umum
dijumpai adalah penurunan kesadaran, malaise, sakit kepala, mual/muntah, dan
papiledema. Sakit kepala pada tumor otak, selain disebabkan oleh peningkatan
TIK, dapat juga diakibatkan oleh iritasi fokal atau pergeseran dari struktur-
struktur yang sensitif terhadap nyeri (Sagar dan Israel, 2010).
Menurut Ropper dan Samuels (2009), tumor otak seringkali muncul tanpa
adanya gejala yang berarti seperti gangguan kapasitas aktivitas mental, sedangkan
tanda-tanda fokal lainnya tidak muncul. Pada kelompok pasien yang lain, terdapat
indikasi awal adanya tumor otak berupa hemiparesis yang progresif, kejang yang
muncul pada orang yang sebelumnya sehat, dan gejala-gejala lainnya. Kelompok
pasien yang lainnya memiliki gejala berupa peningkatan TIK dengan atau tanpa
tanda-tanda lokalisasi tumor. Beberapa pasien juga memiliki gejala-gejala yang
sangat khas yang jarang muncul oleh karena penyakit yang lainnya sehingga dapat
ditegakkan diagnosis bukan hanya eksistensi tumor otaknya saja, namun juga tipe
dan lokasi tumor tersebut.
Menurut Deangelis dan Rosenfeld (2009), gejala klinis tumor otak
bervariasi menurut lokasinya, seperti:
1. Tumor lobus oksipitalis menyebabkan hemianopia dan gangguan penglihatan.
2. Tumor lobus frontalis sering menyebabkan perubahan kepribadian, demensia,
kelainan cara berjalan, seizure, hemiparesis, dan afasia ekspresif dari
hemisfer serebri yang dominan.
3. Tumor lobus temporalis menyebabkan perubahan kepribadian, termasuk
gangguan berbahasa dari hemisfer serebri yang dominan, kejang parsial
kompleks, dan defisit lapangan pandang.
4. Tumor pada korpus kalosum dapat menyebabkan demensia apabila kalosum
anterior terlibat, perubahan kepribadian dan kehilangan ingatan yang berat
dengan sindrom amnestik apabila splenium terlibat, atau tanpa gejala sama
sekali.
5. Tumor pada sudut serebelopontin dapat menyebabkan ketulian ipsilateral,
mati rasa pada wajah, kelemahan, dan ataksia.
6. Tumor basis kranii umumnya memengaruhi saraf kranialis.
7. Tumor pineal menyebabkan hidrosefalus dan sindrom Parinaud dengan
upgaze yang terganggu dan kelainan pada pupil.
8. Tumor serebelum menyebabkan sakit kepala, ataksia, nistagmus, dan nyeri
leher.
9. Tumor hipofisis menyebabkan hemianopia bitemporal dari kompresi kiasma
optikum.
2.2.7. Diagnosis
Menurut Sobirin (2001), tidak selalu mudah untuk menduga dan membuat
suatu diagnosis tumor otak karena gejala klinis yang dihasilkan dapat bervariasi
tergantung pada histopatologi dan lokasinya. Misalnya, glioma tahap dini, yaitu
astrositoma grade I dan II, dapat mendekam di otak tanpa menimbulkan
manifestasi klinis apapun. Selain itu, gejala klinisnya sukar dibedakan dengan
penyakit-penyakit lainnya, sehingga dugaan yang mengarah ke tumor otak sering
terlewatkan. Padahal, tumor otak merupakan penyakit yang serius dan kesuksesan
pengobatannya bergantung pada diagnosis yang lebih dini. Diagnosis tumor otak
ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis dan penunjang, di antaranya
pemeriksaan EEG, CT scan, arteriografi, dan patologi anatomi.
Menurut Deangelis dan Rosenfeld (2009), pemeriksaan pencitraan yang
dapat dilakukan untuk mengidentifikasi adanya massa intrakranial antara lain:
1. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI merupakan pilihan utama dalam mengevaluasi tumor intrakranial. MRI lebih
sensitif daripada CT scan untuk menggambarkan detail anatomis dan tumor-tumor
di fossa posterior. Functional MRI (fMRI) dapat menunjukkan hubungan tumor
dengan struktur intrakranial yang lain seperti pusat motorik atau berbicara
2.2.8. Klasifikasi
Menurut Ropper dan Samuels (2009), tumor otak diklasifikasikan
berdasarkan sel asal tumor dan tingkat keganasan untuk menilai laju pertumbuhan
dan perilaku klinis tumor. Perbedaan antara tumor otak varian klasik dan
anaplastik penting untuk penatalaksanaan pascapembedahan di lokasi-lokasi otak
tertentu dan prognosis tumor. Menurut American Brain Tumor Association
(2014), karakteristik beberapa tumor otak secara umum menurut gambaran
histopatologi adalah sebagai berikut:
1. Glioma
Glioma merupakan tumor yang berasal dari sel glia. Ada tiga jenis sel glia yang
dapat menghasilkan tumor, yaitu astrosit yang menghasilkan astrositoma,
oligodendrosit yang menghasilkan oligodendroglioma, dan sel ependimal yang
menghasilkan ependimoma. Tumor yang menampilkan campuran dari berbagai
jenis sel ini disebut mixed glioma (American Brain Tumor Association, 2012).
2. Astrositoma
Astrositoma berasal dari astrosit, yaitu sel-sel berbentuk bintang yang membentuk
jaringan penyokong otak. Berdasarkan normal atau tidaknya penampakan sel-
selnya, dikenal adanya astrositoma low-grade yang umum pada anak-anak dan
high-grade yang umum pada orang dewasa. Astrositoma paling sering dijumpai
pada usia 45 tahun ke atas, meskipun jenis astrositoma tertentu seperti astrositoma
pilositik lebih sering muncul pada anak-anak dan dewasa muda. Tumor ini lebih
sering muncul pada laki-laki dibandingkan pada perempuan (American Brain
Tumor Association, 2012). Contoh gambaran histopatologi astrositoma antara lain
astrositoma pilositik, astrositoma well-differentiated, dan astrositoma anaplastik.
Astrositoma pilositik seringkali bersifat kistik, dan jika padat, biasanya berbatas
tegas. Tumor ini terdiri dari sel-sel bipolar dengan prosesus-prosesus yang
panjang dan tipis. Rosenthal fibers, badan-badan granul eosinofilik, mikrokista
sering dijumpai, sedangkan nekrosis dan mitosis jarang dijumpai. Astrositoma
well-differentiated dicirikan oleh peningkatan jumlah nukleus sel glia yang ringan
sampai sedang, pleomorfisme nukleus yang bervariasi, dan prosesus-prosesus sel
astrosit yang memberikan penampilan seperti fibril. Astrositoma anaplastik
6. Meningioma
Meskipun diklasifikasikan sebagai tumor otak, meningioma tidak berasal dari
jaringan otak, namun berasal dari meninges (American Brain Tumor Association,
2012). Menurut Kumar (2013), meningioma dapat mengkompresi jaringan otak
namun tidak menginvasinya. Meningioma dapat juga meluas hingga ke tulang di
dekatnya. Menurut Riemenscheider (2006), meningioma diklasifikasikan menjadi
tiga tipe, yaitu benigna (WHO grade I), atipikal (WHO grade II), dan anaplastik
(WHO grade III). Menurut American Brain Tumor Association (2012) dan
mengandung sel-sel tumor yang besar (American Brain Tumor Association, 2012;
Kumar, 2013).
8. Metastasis
Lesi-lesi metastatik, sebagian besar berupa karsinoma, mencakup kira-kira
seperempat hingga setengah dari jumlah tumor intrakranial. Lesi-lesi tersebut
membentuk massa yang berbatas jelas antara sel-sel tumor dengan parenkim otak
disertai dengan gliosis reaktif di sekelililing lesi (Kumar, 2013). Tumor otak yang
berupa metastasis berasal dari sel-sel tumor dari bagian tubuh yang lain, di
antaranya kanker paru-paru, kanker payudara, melanoma, kanker kolon, dan
kanker ginjal (American Brain Tumor Association, 2012).
(Sumber: Louis, D.N. et al., 2007. The 2007 WHO Classification of Tumours of
Central Nervous System. Acta Neuropathologica. 114(2): 97109)
2.2.9. Staging
Menurut National Cancer Institute (2014), tumor otak juga dapat
dikelompokkan berdasarkan tingkat keganasannya. Tumor otak tidak
dikelompokkan berdasarkan staging TNM oleh karena ukuran tumor (T) kurang
relevan dibandingkan dengan histopatologi dan lokasi tumor, otak dan medula
spinalis tidak memiliki jaringan limfatik (N), dan tumor otak jarang bermetastasis
(M) dan pasien tumor otak kebanyakan tidak hidup cukup lama untuk mengalami
metastasis.
2.2.10. Penatalaksanaan
Menurut National Cancer Institute (2014), penatalaksanaan tumor otak
bervariasi menurut histopatologi dan lokasi anatomis. Bahkan untuk tumor-tumor
seperti meningioma low-grade yang asimtomatis, observasi saja sudah cukup dan
terapi dilakukan apabila telah terdeteksi pertumbuhan tumor atau munculnya
gejala. Adapun pilihan penatalaksanaan tumor otak secara umum mencakup:
1. Pembedahan
Untuk sebagian besar tumor otak, usaha pembedahan komplit atau hampir komplit
umumnya direkomendasikan, apabila mungkin, dengan pemeliharaan fungsi
neurologis dan kesehatan pasien. Tujuan pembedahan adalah untuk menegakkan
diagnosis histopatologi dan mengurangi TIK (National Cancer Institute, 2014).
2. Terapi radiasi
Pasien yang menjalani terapi radiasi pascaoperasi baik tumor low-grade maupun
high-grade dinilai dapat bertahan hidup lebih lama dibandingkan dengan yang
tidak menjalani terapi radiasi. Terapi radiasi yang berulang harus diberikan
dengan hati-hati karena adanya risiko defisit neurokognitif dan nekrosis yang
timbul akibat radiasi (National Cancer Institute, 2014).
3. Kemoterapi
Selama beberapa tahun, kemoterapi sistemik yang digunakan adalah nitrosourea
carmustine (BCNU) yang merupakan kemoterapi standar sekaligus dengan
pembedahan dan radiasi untuk glioma maligna. Namun saat ini, temozolomide
sudah menggantikan carmustine sebagai kemoterapi standar. Kemoterapi bukan
terapi utama bagi kebanyakan pasien, namun dapat bermanfaat bagi pasien dengan
metastasis tumor yang kemosensitif (National Cancer Institute, 2014).
4. Kortikosteroid
Kortikosteroid dapat meredakan gejala tumor otak dengan cepat dengan cara
mengurangi edema di sekitar tumor dan mengurangi TIK. Obat standar yang
digunakan adalah deksametason. Deksametason dapat memperbaiki sawar darah
otak yang terganggu pada tumor otak yang ganas. Kortikosteroid diindikasikan
pada seluruh pasien tumor otak yang simtomatis, khususnya pasien dengan edema
peritumoral yang terlihat pada pencitraan, kecuali pada pasien dengan limfoma
SSP primer di mana kortikosteroid dapat meregresi tumor sehingga menyulitkan
penegakan diagnosis apabila diberikan sebelum tumor dibiopsi. Meskipun
bermanfaat, pemberian kortikosteroid jangka panjang dapat mengakibatkan
toksisitas klinis, sehingga apabila gejala yang dialami pasien sudah terkontrol dan
terapi yang spesifik untuk tumor telah dilakukan, dosis kortikosteroid harus
dikurangi (Deangelis dan Rosenfeld, 2009).
5. Antikonvulsan
Antikonvulsan diberikan pada seluruh pasien tumor otak yang mengalami kejang.
Namun, kebanyakan pasien tumor otak tidak mengalami kejang sebagai gejala
awal. Pemberian antikonvulsan profilaksis tidak dianjurkan bagi pasien tumor
otak yang belum mengalami kejang karena diteliti tidak bermanfaat. Yang lebih
penting, banyak antikonvulsan berinteraksi dengan obat-obatan yang lain,
misalnya dapat meningkatkan metabolisme agen kemoterapi sehingga kadarnya
menurun ke level subterapetik (Deangelis dan Rosenfeld, 2009).