Professional Documents
Culture Documents
Oleh:
A. Taufani Irawan
Nim. 0920605001
A. Farid Nazaruddin ST.
Nim. 0920605002
2
Perkenalan
Pasar dalam Arti Luas adalah suatu bentuk transaksi jual-beli yang
melibatkan keberadaan produk barang atau jasa dengan alat tukar berupa uang ata
ualat tukar lainnya sebagai alat transaksi pembayaran yang sah dan disetujui oleh
kedua belah pihak. Pasar dalam konteks Perekonomian Menurut W.J. Stanton
adalah Sekumpulan orang yang memiliki keinginan untuk memenuhi kebutuhan,
uang untuk belanja (disposable income) serta kemauan untuk membelanjakannya.
Pasar Burung Malang terletak di pinggir Sungai Brantas yang membelah dua
kota Malang. Selain menjadi ladang penghidupan bagi ratusan pedagang, lokasinya
yang terletak hanya sepelemparan batu dari Kantor walikota Malang, serta alun-alun
kota yang juga ramai dikunjungi wisawatan.
Disini pengunjung bisa menikmati aneka jenis hewan yang hanya bisa dilihat
di televisi atau majalah-majalah. Dari burung langka hingga yang biasa kita temui
beterbangan di rumah-rumah kita, semua membaur jadi satu. Menciptakan aroma
pasar burung tradisional yang bisa melenakan setiap pengunjungnya. Selain aneka
jenis burung, hewan lain semacam kelinci, penyu, ikan hias, ular, bahkan tanaman
hias juga tersedia. Aneka pakan burung seperti jangkrik, ulat, kroto, cacing, juga ada.
Tak lupa didagangkan aneka jenis sangkar burung dari yang paling sederhana
seharga belasan ribu, hingga yang berukir indah berharga jutaan rupiah.
Para pedagang di pasar burung ini tergabung dalam sebuah paguyuban.
Paguyuban Pedagang Pasar Burung dan Pasar Ikan adalah sebuah organisasi lokal
yang beranggotakan komunitas pedagang pasar burung dan pasar ikan di kota
Malang. Sebuah kota terbesar kedua di Jawa Timur yang berkembang sangat pesat
sejak seratus tahun terakhir. Sejalan dengan berkembangnya kota Malang,
berkembang pula kegiaran ekonomi di kota ini. Tidak terkecuali pasar burung dan
pasar ikan ini.
Sejarah pasar ini cukup panjang dan berliku. Sejak tahun 1955-an pasar ini
sudah mulai ada tetapi tidak terpaku pada satu tempat khusus (ilegal). Dimulai
dengan beberapa pedagang yang melihat kesempatan meraup untung dengan
memberi fasilitas para pehobi dalam memelihara burung berkicau pada saat itu, yang
kemudian merembet kepada beberapa pedagang yang terkumpul dan membentuk
sebuah teritori (citra) sebuah tempat, sehingga pada tahun 1960-an, wilayah Kebalen
merupakan wilayah pertama yang menjadi wilayah yang terkenal dengan pasar
burungnya.
Hanya saja, karena perkembangan pasar ini vernakular dan tidak terrencana,
pemerintah kota berusaha untuk merelokasi pasar ini. Meskipun pemerintah telah
menarik distribusi pasar, tetap wilayah Kebalen tidak ditujukan untuk wilayah pasar
3
burung atau pasar ikan. Sehingga pada tahun 1967 pasar ini dipindah ke pasar
comboran. Dekat dengan pasar barang bekas. Hanya saja, para pedagang yang
telah ada di kebalen sebelumnya harus membeli stan di tempat yang baru. Sehingga
banyak pedagang-pedagang lama yang tidak dapat meneruskan kegiatannya karena
tidak mampu membeli stan yang baru, dan banyak pedagang baru yang melihat
kesempatan ikut dalam kancah jual beli kebutuhan binatang peliharaan ini. Meskipun
demikian, keeretan hubungan antar pedagang terjalin kembali.
Sejalan dengan waktu, konflik kepentingan pemerintah terhadap pasar
comboran ini semakin memuncak. Sehingga meski dengan usaha perjuangan dan
perlawanan sengit dari para pedagang yang kemudian mendirikan paguyuban ini,
pasar harus dipindah kembali pada tahun 1993. Kembali para pedagang harus
membeli stan yang baru (tidak ditukar). Posisi yang baru ini digunakan sampai
sekarang dan mereka berkomitmen tidak akan berpindah lagi, meski harus berjuang
mati-matian dalam mempertahankannya. Reformasi dan demokrasi yang selama ini
berkembang di Indonesia seakan telah merasuk dalam ranah jiwa mereka.
Sekarang, nuansa kekeluargan antar pedagang menjadi semakin erat,
sehingga banyak kegiatan-kegiatan yang mendukung jual beli, hidup dan
berkehidupan di tempat ini dilakukan secara bersama-sama (partisipatorik). Proses
partisipasi sosial ini cukup menarik untuk dikaji sebagai bahan pembelajaran
khususnya pembelajaran sosial arsitektural. Berbagai pengalaman yang dialami para
pedagang ternyata sangat membentuk prinsip partisipasi sosial yang terjadi saat ini.
Makalah ini berusaha untuk mendefinisikan beberapa kegiatan partisipatif di wilayah
pasar ini.
Jl. majapahit
Gambar: peta kawasan dan papan
Paguyuban sebagai wadah kebersamaan nama pasar burung
4
dalam menghadapi berbagai masalah yang melanda pasar burung dan pasar ikan
selama ini.
Secara kata, paguyuban adalah [n] perkumpulan yg bersifat kekeluargaan,
didirikan orang-orang yg sepaham (sedarah) untuk membina persatuan (kerukunan)
di antara para anggotanya (KBBI, 2001). Tepat kiranya para pedagang memilih kata
ini, karena dasar komunitas mereka adalah kekeluargaan. Meskipun tidak ada
hubungan darah, tetapi mereka membagi hubungan senasib sepenanggungan.
Perasaan itu seakan-akan menjadi “darah” yang mempersatukan mereka.
Apabila di pecah satu persatu struktur arti dari paguyuban, adalah sebagai
beriikut, ke.ke.lu.ar.ga.an [n] perihal (yg bersifat, berciri) keluarga. Sedang ke.lu.ar.ga
adalah [n] (1) ibu dan bapak beserta anak-anaknya; sanak saudara; kaum kerabat:
(4) satuan kekerabatan yg sangat mendasar dl masyarakat (ibid, 2001). Sesuai hal
itu, prinsip hubungan dalam keluarga (baca: kekeluargaan) adalah merupakan
prinsip dasar hubungan dalam masyarakat. Dalam keluarga terjadi hubungan yang
berbeda-beda tetapi tersatukan oleh rasa sayang dan cinta. Bagaimana ibu
menyayangi anak-anaknya berbeda dengan bagaimana suami menyayagi istrinya,
demikian juga hubungan adik dan kakak, bahkan hubungan adik kakak berjenis
kelamin sama, berbeda dengan hubungan adik-kakak berjenis kelamin berbeda.
Keberbedaan hubungan ini seharusnya tidak menjadikan keluarga itu pecah dan
terlingkup oleh konflik yang terus menerus. Hal ini dapat terjadi karena keluarga
selalu dipersatukan oleh kasih sayang. Sehingga dapat dikatakan, bahwa prinsip
hubungan kekeluargaan adalah berprinsip dari hubungan berdsasarkan rasa kasih
sayang.
5
diri manusia. Bagaimana manusia berinteraksi dengan lingkungannya dapat diartikan
dimanakah posisi lingkungan dalam diri manusia?
Beberapa pendapat religius (believe) menganggap manusia adalah satu-
satunya makhluk di dunia ini yang diberi kemampuan untuk berpikir (aqal). Tetapi
tidak hanya itu, manusia juga diberi suatu tanggung jawab untuk memilih. Memilih
antara baik dan buruk. Karena itu, manusia diberi tanggung jawab yang menurut
malaikat sia-sia dan merusak yaitu tanggung jawab akan dunia dan alamnya.
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya
Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya
Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (QS Al-Baqarah 30.)
Apabila kita melihat manusia sebagai satu individu kita akan melihat bahwa
manusia sebelum melakukan suatu hubungan sosial dia pertama kalinya meletakkan
posisi hubungan itu pada tempat-tempat tertentu di dalam “benaknya”. Hal ini dapat
dikatakan sebagai tata cara manusia dalam memahami dan membaca
lingkungannya.
Bagaimana proses manusia dalam membaca alamnya? Hal ini menjadi
pertanyaan filosofis yang sangat mendasar bersanding dengan eksistensialisme.
Dalam bukunya, Heidegger menganggap selalu ada “Being” (suatu entitas unik) yang
memberi pengaruh dalam pemahaman suatu “being” (objek yang dipahami). Being
inilah yang mengakibatkan pemahaman eksistensial menjadi dapat dipahami. Being
inilah yang menjadikan pemahaman banyak orang menjadi sama. Dapat dikatakan
Heidegger berusaha menggali fitrahnya sebagai manusia. Dia berusaha untuk
mencari dimanakah posisi Being dalam being itu. Tetapi, sayangnya ia berhenti
setelah memperbesar huruf b dalam being.
Dalam pemahamannya, Ki Moenadi MS (1990) dalam Pangarsa 2010,
membagi potensi manusia menjadi Ruh, Rasa, Hati, Aqal, dan Nafsu. Sejalan
dengan itu jauh sebelumnya Al Ghazali membagi potensi manusia menjadi Ruh,
Hati, Aqal, dan Nafsu (Toha, 2003). Intinya manusia mempunyai potensi diri dalam
memahami dan berinteraksi dengan lingkungannya. Bagaimana memanfaatkan
potensi ini?
Pangarsa (2010) dalam tulisannya Membaca Sesuatu Bersama Logika, atau
Bersama Allah? Berpendapat bahwa manusia seharusnya tidak hanya
menggunakan nafsu dan aqal nya saja dalam melihat, memaknai dan berinteraksi
dengan lingkungannya. Tetapi dia seharusnya mempedulikan hatinya, rasanya dan
bahkan kalau bisa ruhnya dalam membaca, memaknai atau berinteraksi dengan
6
sesamanya (lingkungannya). Tidak hanya terpaku pada pemahaman aqal yang
sangat terbatas. Pemahaman ini dapat dikatakan, sebuah pemahaman “lanjutan”
akan pemahaman Heidegger memahami Being. Bahwa Being yang dipahami oleh
being merupakan interverensi Ketuhanan.
Untuk lebih jelasnya, coba kita bertanya kepada aqal kita masing-masing
pertanyaan-pertanyaan berikut, bagaimanakah bahagia itu? Bagaimanakah cinta itu?
Apakah indah itu? Semua pertanyaan ini tidak dapat dirumuskan oleh aqal tetapi
dapat diwadahi oleh hati. Dapat dikatakan prinsip nilai-nilai yang terwadahi oleh hati
tetapi tidak dapat terwadahi oleh aqal.
Guyub yang dilandasi oleh rasa kekeluargaan yang dilandasi oleh rasa
sayang (hati) membuat kerukunan menjadi lebih erat dan proses partisipasi sosial
menjadi non formal. Mengapa hal ini dapat terjadi? karena partisipasi sosial yang
formal (aqal) seringkali hanya menyentuh permukaan dan tidak dapat bertahan lama,
tetapi apabila menjadi non formal (tidak terikat peraturan tertulis/ hati), maka
partisipasi sosial akan bertahan lebih lama.
7
menurut pengamatan kami, hubungan manusia dalam berkegiatan bersama di
kawasan pasar burung dan pasar ikan ini berdasarkan hubungan hati.
Setiap kegiatan selalu dilandasi oleh musyawarah, setiap keputusan adalah
keputusan bersama disetujui bersama dan dilaksanakan dengan baik secara
bersama pula. Hal ini diwadahi oleh kegiatan arisan bersama sebulan sekali di
tempat-tempat yang disetujui, selain itu berbagai perbincangan silaturahmi impulsif
yang terjadi pada sehari-hari menjadi dasar penggodokan konsep keputusan yang
kemudian dibicarakan dan dimusyawarahkan bersama. Semua atas nama
kebersamaan.
Berikut beberapa kegiatan partisipasi sosial yang dilakukan tanpa
persetujuan tertulis dan tanpa adanya peraturan tertulis, hanya mengandalkan
komitmen, etika, nilai-nilai dan ke”gak ilok”an.
1. partisipasi sosial dalam distribusi sampah.
Dana distribusi sampah ini diambil dari dana bersama yang diambil per bulan
dengan hitungan per hari min 1000 rupiah secara rata pada seluruh kawasan.
Meskipun demikian, dinas pasar juga mempunyai andil (membayar “pasukan
kuning”). Petugas tidak membersihkan sampah yang ada tetapi hanya mengambil
dari tempat sampah kamudian mengangkutnya ke TPA. Sehingga, tanggung jawab
kebersihan kawasan lebih kepada masyarakat sendiri. Keputusan bersama,
meskipun tidak tertulis mengikat masyarakat untuk membersihkan lingkungannya
sendiri. Kesadaran akan keputusan inilah yang membuat kawasan menjadi cukup
bersih.
Prinsip partisipasi sosial dalam distribusi sampah ini berlandaskan
musyawarah bersama, kemudian disetujui, dilakukan dan didanai secara
partisipatorik. Pembersihan kawasan kemudian dapat dibagi menjadi pembersihan
individu, yang tertanggung adalah toko-toko dan tempat umum seperti toilet atau
jalan di sekitar tokonya. Yang kedua adalah pembersihan oleh masyarakat yang
dilakukan dengan kesadaran dan kerelaan pribadi masyarakat (pembeli dan penjual)
untuk membuang sampah pada tempatnya dan menjaga kebersihan fasilitas yang
dipakainya.
8
TPA DANA DINPAS
PETUGAS RESMI
MUSYAWARAH BERSAMA
9
KEAMANAN KAWASAN
PETUGAS PAYROL
MUSYAWARAH BERSAMA
10
DISTRIBUSI AIR
KETUA
MUSYAWARAH BERSAMA
11
DANA BERSAMA
KETUA
MUSYAWARAH BERSAMA
PETUGAS RESMI
MUSYAWARAH BERSAMA
Diagram: jalur partisipasi sosial untuk perawatan fasilitas
12
Gambar: Fasilitas musholla dan jalan
13
dan batasan yang orang lain buat dan akan dibuat pula, tanpa ada pembicaraan dan
penandaan secara khusus. Lalu, bagaimana satu mengetahui batasan kepentingan
(ruang) yang lain padahal tidak ada pembicaraan (komunikasi) atau penandaan
secara khusus?. Hal ini dapat terjawab dengan kesingkronan perasaan dimana
perasaan satu dengan yang lain sama dan nilai-nilai yang terkandung dalam
pemberian batasan pun sama. Dengan prinsip saling memberi, batasan satu dengan
yang lain tidak saling tumpang tindih. Disinilah kekuatan hubungan nilai-nilai yang
menurut penjelasan diatas terkandung dalam hati. Dapat dikatakan hubungan antar
hati.
Hal ini cukup berbeda dengan pemahaman arsitektural saat ini. Dikarenakan
banyak yang menganggap bahwa batasan ruang adalah selalu fisik. Tetapi di dalam
pemahaman terhadap pasar ini, batasan ruang ternyata dapat pula non fisik, tidak
tertulis, dan sangat kompleks. Mengetahui hal ini, perancangan arsitektural yang
patut dilakukan seharusnya adalah perancanaan yang open plan, partisipatorik, dan
tidak menonjolkan ego arsitek.
Kesimpulan
Paguyuban pedagang pasar burung dan pasar ikan di kota Malang telah
menempuh perjuangan panjang dan perjuangan itu telah membentuk kekompakan
dan keguyuban. Prinsip hubungan keguyuban ini dilandasi oleh hubungan kasih
sayang antar-hati manusia tidak dari antar-aqal saja. Keguyuban ini terlihat dalam
pelaksanaan secara partisipatif kegiatan-kegiatan yang ada di dalam kawasan.
Antara lain distribusi sampah, keamanan, pembagian air, dana kas, perawatan
fasilitas dan pembuatan batasan ruang. Semua kegiatan itu dilandasi oleh peraturan
tidak tertulis dengan dilakukannya musyawarah setiap sebulan sekali yang diwadahi
oleh kegiatan “arisan”.
14
Partisipasi sosial untuk pembuatan batasan ruang di wilayah pasar burung
dan pasar ikan ini dilakukan secara non formal pula. Hanya bergantung kepada
prinsip saling memberi saling mengerti. Interaksi komunikasi antar hati menjadi dasar
nilai-nilai batasan ruang, sehingga seringkali batasan non fisik yang dibuat, tidak
konflik dengan batasan non fisik yang lain. Kesingkronan ini merupakan bukti bahwa
ruang pun dapat diajak untuk “guyub”.
Catatan penutup:
Pemahaman hubungan antar manusia tidak dapat terlepas dengan pemahaman hubungan
antar ruang dan teritorinya. Dalam bukunya, ‘Ilmu Ladduni, Al Ghazali menyebutkan tentang teritori dan
batasan dalam tubuh manusia. Dalam bukunya yang lain Misykatun Al-Anwaar. Beliau menjelaskan
tentang ruang dan batasan di luar tubuh manusia. Sangat berbeda dengan pemahaman buku-buku
teritori saat ini. Sekiranya patut untuk diperiksa.
Secara khusus kami mengucapkan terima kasih kepada bapak Ramli selaku ketua Paguyuban
Pedagang Pasar Burung dan Pasar Ikan Kota Malang dan rekan-rekan pedagang di tempat itu dalam
memberikan gambaran, pengalaman dan pemahaman akan berkegiatan di pasar dalam survey kami
yang kami lakukan sekitar bulan Mei dan Juni 2010.
Daftar Pustaka
------. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Balai Pustaka. Jakarta
--------Al-Qur’an dan Terjemahan. Departemen Agama RI. Media Insani Publishing.
Surakarta.
Pangarsa, GW. 2010. Membaca Sesuatu Bersama Logika, atau Bersama Allah.
http://kajianbudayailmu.blogspot.com.
Sibley, David. 1995. Geographies of exclusion: society and difference in the West.
Routledge. New York.
Toha, Mahmud. 2003. Membangun paradigma baru llmu Pengetahuan Sosial dan
Kemanusiaan. (BAB II). LIPI. Jakarta
Tuan Yi-Fu. 2001. Space And Place; The Perspective Of Experience. University of
Minnesota Pers. London.
15