Professional Documents
Culture Documents
serebri yakni melalui sistem limbik untuk merangsang pusat sekresi saliva
di medulla oblongata.9
2.2. Asialorhea
Asialorhea bukan suatu penyakit tetapi merupakan simtom. Asialorhea
menyebabkan xerostomia. Faktor- faktor penyebab :
1). Obat-obatan :
- Atropin
9
- Anti Histamin
- Belladona
2). Penyakit sistemik :
- Tifus
- DM tidak terkontrol
- Hipertiroid
3). Fisiologis :
- Menopause
- Lanjut usia
4). Pemakai gigi palsu
5). Psikis:
- Ketakutan
- Gelisah
- Gembira
6). Kerusakan kelenjar ludah :
- Gangguan congenital
- Radiasi kepala dan leher.
Gejala:
- Mukosa mulut kering
- Mudah terkena iritasi sehingga bisa menyebabkan luka
- Fisur sakit / pecah-pecah, mudah berdarah bila terjadi trauma
b. Ranula
Gambar 6. Ranula
Ranula adalah istilah yang digunakan untuk mucocele yang terjadi
pada dasar mulut. Nama ini berasal dari bahasa latin rana yang berarti
katak, karena penampilan lesi ini seperti katak.. Meski sumber mucin
yang tercurah biasanya dari gld. sublingualis, ranula juga bisa berasal
dari duktus gld. submandibularis juga bisa terjadi. dari glandula
salivarius minor pada dasar mulut. 11
Temuan klinis: Ranula merupakan pembesaran berbentuk kubah
berwarna kebiruan dengan fluktuasi pada dasar mulut. Lesi yang lebih
dalam penampakan warnanya normal. Ranula berlokasi pada lateral
dari median line, ini membedakannya dari kista dermoid yang terletak
pada median line. Plunging ranula atau cervical ranula terjadi jika
mucin yang tercurah mengalir sepanjang m. mylohyoideus dan
mengakibatkan pembesaran pada leher. 11
Gambaran mikroskopis ranula sama dengan mucocele di tempat
lain, yaitu terlihat mucin dikelilingi jaringan granulasi yang merupakan
respon jaringan yang khas mengandung foamy histiocyt. 11
c. Salivary duct cyst (Mucus retention cyst, mucus duct cyst, sialocyst)
Salivary duct cyst (SDC) merupakan ruangan yang dibatasi oleh
epitel yang berasal dari jaringan glandula salivarius. Ini merupakan
suatu true cyst karena dibatasi oleh epitel. Penyebab yang pasti tidak
jelas.11
13
Gambar 7. Parotitis
Mumps atau yang lebih dikenal dengan parotitis ialah penyakit virus
akut yang disebabkan oleh paramyxovirus dan biasanya menyerang
kelenjar ludah terutama kelenjar parotis. Gejala khas yang biasa terjadi
yaitu pembesaran kelenjar ludah terutama kelenjar parotis. Pada saluran
14
Ro) dan anti-SS-B (anti-La) sering dijumpai, terutama pada pasien dengan
SS primer. Kadang-kadang autoantibodies pada duktus salivarius juga bisa
dijumpai, terutama pada SS sekunder. Biopsi pada glandula minor pada
bibir bawah merupakan tes yang cukup berhasil untuk menegakkan SS.15
3.6. Sialolithiasis
Gambar 8. Sialolithiasis
Salah satu penyakit pada kelenjar saliva adalah terdapatnya batu pada
kelenjar saliva. Angka kejadian terdapatnya batu pada kelenjar
submandibula lebih besar dibandingkan dengan kelenjar saliva lainnya,
yaitu sekitar 80%. Juga 20% terjadi pada kelenjar parotis, dan 1% terjadi
pada kelenjar sublingualis. Salah satu penyakit sistemik yang bisa
menyebabkan terbentuknya batu adalah penyakit gout, dengan batu yang
terbentuk mengandung asam urat. Kebanyakan, batu pada kelenjar saliva
mengandung kalsium fosfat, sedikit mengandung magnesium, amonium
dan karbonat. Batu kelenjar saliva juga dapat berupa matriks organik, yang
mengandung campuran antara karbohidrat dan asam amino.10,15
Saliva yang normal mengandung banyak hidroksiapatit, bahan utama
pada batu kelenjar liur. Agregasi dari debris yang termineralisasi dalam
duktus akan membentuk nidus, lalu menyebabkan pembentukan kalkuli,
18
3.8. Sarkoidosis
Sarkoidosis merupakan penyakit granulomatosa dengan etiologi yang
belum jelas. Secara klinis, manifestasi penyakit ini ke kelenjar saliva
hanya sekitar 6%, namun secara histologi, keterlibatan pada kelenjar saliva
dapat mencapai 33%. Salah satu contoh dari penyakit ini adalah sindroma
Heerfordt dengan gejala berupa uveitis, pembesaran kelenjar parotis, serta
paralisis fasialis. Gejala awal yang dialami dapat berupa demam, malaise,
kelemahan, mual, serta keringat di malam hari.10
19
4.2. Etiologi
Paling sedikit ada 400 kelompok bakteri yang berbeda secara
morfologi dan biochemical yang berada dalam rongga mulut dan gigi.
Kekomplekan flora rongga mulut dan gigi dapat menjelaskan etiologi
spesifik dari beberapa tipe terjadinya infeksi gigi dan infeksi dalam rongga
mulut, tetapi lebih banyak disebabkan oleh adanya gabungan antara
bakteri gram positif yang aerob dan anaerob. Dalam cairan gingival, kira-
kira ada 1.8 x 1011 anaerobs/gram. Pada umumnya infeksi odontogen
secara inisial dihasilkan dari pembentukan plak gigi. Sekali bakteri
patologik ditentukan, mereka dapat menyebabkan terjadinya komplikasi
lokal dan menyebar/meluas seperti terjadinya bacterial endokarditis,
infeksi ortopedik, infeksi pulmoner, infeksi sinus kavernosus, septicaemia,
sinusitis, infeksi mediastinal dan abses otak.
Infeksi odontogen biasanya disebabkan oleh bakteri endogen. Lebih
dari setengah kasus infeksi odontogen yang ditemukan (sekitar 60 %)
disebabkan oleh bakteri anaerob. Organisme penyebab infeksi odontogen
yang sering ditemukan pada pemeriksaan kultur adalah alpha - hemolytic
Streptococcus, Peptostreptococcus, Peptococcus, Eubacterium,
Bacteroides (Prevotella) melaninogenicus, and Fusobacterium. Bakteri
aerob sendiri jarang menyebabkan infeksi odontogen (hanya sekitar 5 %).
Bila infeksi odontogen disebabkan bakteri aerob, biasanya organisme
penyebabnya adalah speciesStreptococcus. Infeksi odontogen banyak juga
yang disebabkan oleh infeksi campuran bakteri aerob dan anaerob yaitu
sekitar 35 %. Pada infeksi campuran ini biasanya ditemukan 5-10
organisme pada pemeriksaan kultur.
4.3. Patogenesis
dan akhirnya akan terjadi kematian pulpa gigi(nekrosis pulpa). Infeksi gigi
dapat terjadi secara lokal atau meluas secara cepat. Adanya gigiyang
nekrosis menyebabkan bakteri bisa menembus masuk ruang pulpa sampai
apeks gigi. Foramen apikalis dentis pada pulpa tidak bisa mendrainase
pulpa yang terinfeksi. Selanjutnya proses
infeksi tersebut menyebar progresif ke ruangan atau jaringan lain yang
dekat dengan struktur gigi yang nekrosis tersebut (Green et. Al. 2001).
Penjalaran infeksi odontogen akibat dari gigi yang nekrosis dapat
menyebabkan abses,abses ini dibagi dua yaitu penjalaran tidak berat (yang
memberikan prognosis baik) dan penjalaran berat (yang memberikan
prognosis tidak baik, di sini terjadi penjalaran hebat yang apabila tidak
cepat ditolong akan menyebabkan kematian). Adapun yang termasuk
penjalarantidak berat adalah serous periostitis, abses subperiosteal, abses
submukosa, abses subgingiva,dan abses subpalatal, sedangkan yang
termasuk penjalaran yang berat antara lain abses perimandibular,
osteomielitis, dan phlegmon dasar mulut.
Gigi yang nekrosis juga merupakanfokal infeksi penyakit ke organ
lain, misalnya ke otak menjadi meningitis, ke kulit menjadidermatitis, ke
mata menjadi konjungtivitis dan uveitis, ke sinus maxilla menjadi
sinusitismaxillaris, ke jantung menjadi endokarditis dan perikarditis, ke
ginjal menjadi nefritis, ke persendian menjadi arthritis. Infeksi
odontogenik merupakan suatu proses infeksi yang primer atau sekunder
yangterjadi pada jaringan periodontal, perikoronal, karena traumatik atau
infeksi pasca bedah. Ciri khas dari infeksi odontogenik adalah berasal dari
karies gigi yang merupakan suatu proses dekalsifikasi email. Suatu
perbandingan demineralisasi dan remineralisasi struktur gigi terjadi pada
perkembangan lesi karies. Demineralisasi yang paling baik pada gigi terjad
i pada saataktivasi bakteri yang tinggi dan dengan pH yang rendah.
Remineralisasi yang paling baikterjadi pada pH lebih tinggi dari 5,5 dan
pada saliva terdapat konsentrasi kalsium dan fosfatyang tinggi. Sekali
email larut, infeksi karies dapat langsung melewati bagian dentin yang
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Kirk. RM, Ribbans. W.J. 2004. Clinical Surgery in General: Fourth edition.
London: Churchill Livingstone.
2. Soejoto, Soetedjo, Faradz SMH, Witjahyo RB, Susilaningsih N, Purwanti
RD, et al. 2010. Lecture Notes Histologi II. Semarang: Bagian Histologi
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
3. Paulsen, Douglas F. 2000. Histology & Cell Biology, Examination & Board
Review 4th Ed. Elsevier.
4. Widiastuti MS, Asalnyaman Gea, Suryo Adji, C Suhartoyo. 2010. Situs Colli.
Semarang: Bagian Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
5. Richard L Drake; Wayne Vogl; Adam W M Mitchell. 2014. Grays
Anatomy:Anatomy of the Human Body. Elsevier.
6. Putz, Reinhard. 1997. Sobotta: Atlas Anoatomi Manusia JILID I: Edisi 22.
Jakarta : EGC.
7. Netter, Frank H. 2014. Atlas Of Human Anatomy 25th Edition. Jakarta: EGC.
8. Mescher, Anthony L. 2012. Buku Histologi Dasar Janqueira. Jakarta: EGC.
9. Sherwood, Lauralee. 2011. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem: Edisi 6 .
Jakarta: EGC.
10. Kontis TC, Johns ME. 2001. Anatomy and physiology of the salivary gland.
In: Baily BJ, ed. Head and neck surgery-otolaryngology. Philadelphia:
Lippincott. p. 429-36.
11. Nahlieli O, Nakar LH, Nazarian Y, Turner MD. 2006. Sialoendoscopy: a new
approach to salivary gland obstructive pathology. J Am Dent Assoc.
137:1394-14900.
12. Turner MD. Sialoendoscopy and salivary gland sparing surgery. Oral
Maxillofac Surg Clin North Am 2009; 21(3):323-9.
13. Serbetci E, Sengor GA. Sialoendosopy: experience, with first 60 glands in
turkey and literature review. Ann Otol Rhinol Laryngol 2010; 119(3):155-64.
14. Jabbour N, Tibesar R, Lander T, Sidman J. 2010. Sialoendoscopy in
children. J Ped torhinolryngol; 7:347-50.
25
15. Yu C, Zheng L, Yang C, Shen N. c. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral
Radiol Endod 2008; 105(3):365-70.
16. Fritsch MH. Sialoendoscopy strategies difficult cases. Otolaryngol Clin North
Am 2009; 42:1093-113.
17. Nakayama E, Yuasa K, Beppu M, Kawazu T, Okamura K, Kanda S.
Interventional sialoendoscopy: a new procedure for noninvasive insertion and
a minimally invasive sialolithectomy. J Oral Maxillofac Surg 2003;
61(10):1233-6.
18. Su YX, Liao GQ, ZhengGS, Liu H, LiangY, Ou D. Sialoendoscopically
assisted open sialolithectomy for removal of large submandibular hilar
calculi. J Oral Maxillofac Surg 2010; 68:68-73.