You are on page 1of 15

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Pterigium

2.1.1 Definisi dan Epidemiologi

Istilah pterigium berasal dari bahasa Yunani yaitu pterygion yang berarti wing

atau sayap. Pterigium merupakan proliferasi jaringan fibrovaskular pada

konjungtiva bulbi berbentuk segitiga atau menyerupai sayap yang dapat

menginvasi kornea superfisial (American Academy of Ophthalmology and Staff,

2011-2012a).

Kejadian pterigium tersebar diseluruh dunia dengan prevalensi meningkat

pada daerah ekuator antara 0,7% sampai 31% tergantung pada populasi dan

tempat tinggal (Varssano, et al., 2002). Penduduk daerah tropis seperti Indonesia

dengan paparan sinar matahari tinggi memiliki resiko pterigium lebih besar

daripada penduduk non tropis. Hasil survei Riset Kesehatan Dasar tahun 2007

mendapatkan prevalensi pterigium di Indonesia pada kedua mata sebesar 3,2%

dan prevalensi pterigium satu mata sebesar 1,9%. Prevalensi pterigium kedua

mata tertinggi di Provinsi Sumatera Barat yaitu sebesar 9,4% dan prevalensi

pterigium satu mata tertinggi di Provinsi Nusa Tenggara Barat yaitu sebesar 4,1%.

Prevalensi pterigium satu mata di Bali didapatkan sebesar 2,2% dan pterigium

kedua mata didapatkan sebesar 4,4% (Erry, et al., 2011). Prevalensi pterigium

meningkat pada dekade ke-2 dan ke-3 kehidupan (Gazzard, et al., 2002).

Prevalensi pterigium pada usia >40 tahun sebesar 16,8%. Laki-laki beresiko 4x
2

lebih besar daripada perempuan. Lokasi pterigium lebih sering ditemukan pada

konjungtiva bulbi nasal daripada temporal (Varssano, et al., 2002).

2.1.2 Patogenesis

Patogenesis terjadinya pterigium belum diketahui dengan jelas. Beberapa

penelitian menunjukkan korelasi pterigium dengan paparan sinar UV, inflamasi,

paparan angin, debu dan iritasi kronis lainnya (American Academy of

Ophthalmology and Staff, 2011-2012a). Pterigium ditemukan lebih sering terjadi

pada daerah dengan paparan tinggi sinar UV khususnya pada ekuator. Selain itu,

pterigium juga banyak ditemukan pada pekerja aktif diluar ruangan (Edward, et

al., 2002).

Teori lain yang menjelaskan terjadinya pterigium adalah abnormalitas

lapisan air mata, iritasi kronis okular, inflamasi kronis dengan produksi faktor

angiogenesis, mekanisme imunologik, faktor herediter, pembentukan jaringan

elastis serta infeksi okular oleh virus Human Papilloma. Hampir setengah kasus

pterigium menunjukkan ekspresi abnormal p53 tumor supresor gen, yaitu suatu

marker neoplasia yang bertanggung jawab pada siklus sel, diferensiasi sel dan

proses apoptosis (Rahman, et al., 2012; Bandyopadhyay, et al., 2010).

Lapisan dan fungsi air mata yang abnormal pada pterigium merupakan

faktor resiko perkembangan pterigium walaupun ada penelitian menunjukkan

fungsi air mata tetap normal pada pterigium. Lapisan air mata adalah mekanisme

pertahanan pertama akibat trauma lingkungan seperti paparan UV, debu, angin

atau iritan lain. Beberapa penulis menemukan sebaliknya, bahwa adanya patologi
3

konjungtiva atau kornea seperti pterigium yang akan mengakibatkan gangguan

fungsi air mata (Li, et al., 2007; XingMing, et al., 2012).

2.1.3 Histopatologi

Permukaan okular baik kornea dan konjungtiva normal terdiri dari 2-5 lapis sel

epitel nonkeratinizing stratified, khususnya di konjungtiva disertai sel goblet yang

berfungsi menghasilkan musin sebagai salah satu komponen lapisan air mata.

Pterigium merupakan suatu gangguan degeneratif kronis yang terlihat pada

gambaran histopatologi yaitu degenerasi elastosis pada stroma, jaringan

fibrovaskular subepitel dan pembuluh darah tampak prominen. Epitel konjungtiva

menunjukkan metaplasia skuamus ringan, penurunan jumlah sel goblet dan

keratinisasi pada permukaannya (Chan, et al., 2002; Nam, et al., 1991).

Histopatologi pterigium dikemukakan oleh Fuchs tahun 1890 yaitu terjadi

peningkatan jumlah dan penebalan serat elastis, degenerasi hialin jaringan

konjungtiva dan perubahan struktur epitel (Duni, et al., 2010). Laporan lain

menyatakan histopatologi pterigium berupa hialinisasi jaringan konektif subepitel

substansia propia, timbunan material granular eosinofilik difus atau lobular yang

berhubungan dengan peningkatan jumlah fibroblas atau sel lainnya, peningkatan

dan penebalan jumlah serat elastis, concretion pada area granular dan hialinisasi

yang menunjukkan sel eosinofil dan basofil. Material elastosis pada pterigium

terbentuk dari degenerasi kolagen, pre-existing serat elastis dan aktivitas fibroblas

yang abnormal. Perubahan histopatologi lain yang teridentifikasi pada epitel

jaringan pterigium yaitu metaplasia sel skuamus, akantosis, diskeratosis,


4

penurunan kepadatan sel goblet (Chavda, et al., 2014; Doughty, et al., 2012;

Kunert, et al., 2002).

Pemeriksaan sitologi impresi pasien pterigium didapatkan terjadi

metaplasia sel epitel skuamus konjungtiva yang signifikan. Hal tersebut

menggambarkan transisi patologis epitel konjungtiva berupa peningkatan jumlah

sel epitel stratified bersamaan dengan penurunan jumlah sel goblet. Sel epitel

mengalami perubahan yaitu ukuran sel membesar, mendatar, piknosis pada

nukleus dan perubahan rasio nukleus:sitoplasma (Chui, et al., 2011).

2.1.4 Gambaran Klinis

Pterigium umumnya berbentuk segitiga dengan bagian cap, head dan body. Cap

terletak pada bagian tepi pterigium disusun oleh gray subepithelial corneal

opacity yang disebut daerah abu-abu. Abnormalitas kronis pengumpulan air mata

di bagian kepala (cap), menyebabkan terjadinya pengumpulan hemosiderin dari

air mata sehingga terbentuk corneal epithelial iron line (stocker line). Bagian

head pterigium adalah peninggian massa yang melekat kuat pada jaringan

episklera di bawahnya. Bagian body pterigium merupakan jaringan fibrovaskular

yang dibatasi oleh lipatan konjungtiva normal (Tradjutrisno, 2009; Edward, et al.,

2002).

Tipe pterigium dibagi menjadi tipe progresif dan regresif. Pterigium tipe

progresif memiliki karakteristik tebal dengan vaskularisasi dan jaringan

fibrovaskular yang banyak. Sedangkan tipe regresif memiliki karakteristik

jaringan fibrovaskular atropi dengan sedikit pembuluh darah (Khurana, 2007).


5

Berdasarkan tampak atau tidaknya pembuluh darah episklera melalui pemeriksaan

slit lamp biomikroskopi, derajat vaskularisasi pterigium dibagi menjadi 3. Gradasi

1 (atrophy) bila pembuluh darah episklera masih tampak jelas di bawah jaringan

pterigium. Gradasi 2 (intermediate) bila pembuluh darah episklera tampak kurang

jelas di bawah jaringan pterigium. Gradasi 3 (fleshy) bila pembuluh darah

episklera tidak tampak di bawah jaringan pterigium (Tan, et al., 1997).

Pterigium menimbulkan keluhan sensasi benda asing, rasa perih, berair

akibat iritasi kronis dan reaksi inflamasi aktif dari pterigium. Keluhan penurunan

visus sekunder terjadi akibat pertumbuhan pterigium menutupi aksis visual dan

akibat astigmatisma kornea iregular (Jabbarvand, et al., 2007).

Pterigium primer adalah pterigium yang belum dilakukan tindakan bedah

eksisi. Gambaran klinis pterigium diklasifikasikan menjadi 4 gradasi berdasarkan

perluasan ke kornea menurut klasifikasi Youngson. Gradasi 1 bila pertumbuhan

pterigium terbatas pada limbus kornea. Gradasi 2 bila pertumbuhan pterigium

melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm melewati kornea. Gradasi 3

bila pertumbuhan pterigium melebihi gradasi 2 tetapi tidak melewati tepi pupil

dalam keadaan cahaya normal. Gradasi 4 bila pertumbuhan pterigium melewati

tepi pupil dalam keadaan cahaya normal (Francisco J, 2010).

2.1.5 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pterigium secara umum adalah konservatif dan tindakan bedah.

Konservatif dikerjakan pada pterigium ringan atau tanpa keluhan dengan

menggunakan obat tetes mata lubrikasi atau steroid. Ada 5 indikasi dilakukan
6

tindakan bedah eksisi yaitu: (1) penurunan visus akibat pterigium menutupi aksis

visual atau akibat pterigium menginduksi astigmat ireguler kornea; (2) deformitas

bermakna secara kosmetik; (3) rasa tidak nyaman dan iritasi yang tidak membaik

dengan terapi konservatif; (4) gerak bola mata terbatas akibat restriksi dan (5)

terjadi pertumbuhan pterigium secara progresif ke arah aksis visual yang

memungkinkan terjadinya penurunan visus (Bradley, et al., 2010). Tujuan bedah

eksisi pterigium adalah untuk mendapatkan permukaan okular yang normal secara

topografi. Pilihan tekniknya dengan bare sclera, simple closure, sliding flap, flap

rotasional, conjunctival limbal graft, transplantasi membran amnion, keratoplasti

lamelar atau penggunaan antimetabolit yang bertujuan mengurangi angka

kekambuhan (Markovska, et al., 2011; Xiaoli, et al., 2010).

Conjunctival limbal graft diperkenalkan oleh Kenyon et al pada tahun

1985. Graft diambil dari konjungtiva bulbi superior pada mata yang sama untuk

menutup area bare sclera. Konjungtiva bulbi superior umumnya memiliki resiko

paparan iritasi kronis paling kecil sehingga dipilih sebagai graft. Angka

kekambuhan dilaporkan 5,3% pada 57 pasien (41 pterigium rekuren, 16

pterigium primer) dengan rerata follow up 24 bulan. Teknik transplantasi

konjungtiva-limbus autograft yang sering digunakan adalah teknik jahitan dengan

vicryl 8.0 atau dengan nylon 10.0 (Jha, 2008). Graft konjungtiva dapat

menimbulkan komplikasi minor seperti edema graft, dellen korneosklera.

Komplikasi berat berupa astigmat kornea, hematoma, granuloma kapsul tenon,

nekrosis graft dan disinsersi muskulus ekstraokular. Kekurangan teknik ini berupa
7

waktu operasi relatif lebih lama dan rasa tidak nyaman setelah tindakan ( Abdalla,

2010; Seid, et al., 2000; Singh, et al., 2009).

Prosedur conjunctival limbal graft adalah sebagai berikut. Pertama

dilakukan eksisi pterigium seperti pada teknik bare sclera. Bola mata diposisikan

lirik ke bawah sehingga terlihat konjungtiva bulbi superior. Blunt scissor Wescott

digunakan untuk insisi konjungtiva bulbi superior, undermind dengan diseksi

tumpul dan sisakan kapsul tenon. Donor graft dibuat setipis mungkin sehingga

terjadi sedikit pengerutan pada saat penyembuhan. Konjungtiva donor dibiarkan

terbuka. Pegang graft dengan forceps tumpul, tempatkan pada area resipien, jahit

dengan vicryl 8.0 atau nylon 10.0. Berikan tetes mata kombinasi antibiotika dan

steroid selama 4-6 minggu untuk mengatasi inflamasi (Hirst, 2003; Massaoutis, et

al., 2006).

Gambar 2.1 Eksisi pterigium dengan conjunctival limbal graft (Singh, et al.,

2009)
8

2.1 Air Mata

2.2.1 Lapisan Air Mata

Air mata berfungsi melindungi permukaan bola mata, menjaga tajam penglihatan,

menyediakan nutrisi dan oksigen untuk kornea. Air mata terdiri dari tiga lapisan

yaitu lipid, aqueous dan musin. Lipid merupakan lapisan superfisial dengan

ketebalan sekitar 0,1-0,2 m. Lapisan aqueous di bagian tengah dengan tebal 7-8

m dan lapisan musin di bagian basal dengan tebal 1 m. Lapisan lipid dihasilkan

oleh kelenjar meibom yang berfungsi mencegah penguapan air mata dan

mempertahankan stabilitas air mata. Lapisan aqueous dihasilkan oleh kelenjar

lakrimal utama dan tambahan. Lapisan musin kaya akan glikoprotein kontak

dengan permukaan epitel kornea. Musin diproduksi oleh sel goblet konjungtiva

sebagai sumber utama dan kripte Henle di daerah forniks sebagai sumber

tambahan. Musin penting untuk mempertahankan keseimbangan lapisan air mata

prekornea. Setiap perubahan jumlah dan kualitas musin air mata dapat

menyebabkan ketidakstabilan air mata yang dapat menimbulkan penyakit (Oh, et

al., 2006; Rajiv, et al., 1991; Shintya, et al., 2010).

Berbagai metoda pemeriksaan dry eye sindrom seperti tear break up time

(TBUT), Schirmers atau Ferning menunjukkan fungsi air mata. TBUT

merupakan tes sederhana untuk menentukan kestabilan air mata dan menunjukkan

jumlah serta kualitas normal musin. Penurunan TBUT juga ditemukan pada

defisiensi lipid dan dry eye tipe aquoeus tear defisiensi. Ferning digunakan untuk

menilai lapisan musin air mata secara kualitatif dengan menilai bentuk kristaloid
9

dan reaksi biokimiawi antara elektrolit dan glikoprotein dengan berat molekul

yang besar. Perbedaan hasil TBUT yang bermakna dilaporkan terjadi pada orang

normal dibandingkan mata dengan pterigium. Hal ini menunjukkan terjadi

abnormalitas fungsi air mata pada mata dengan pterigium dan berhubungan

dengan defisiensi musin (Hong, et al., 2010; Rajiv, et al., 1991; Shintya, et al.,

2010).

Kornea yang kering pada bagian depan dari kaput pterigium berperan

merangsang pembentukan jaringan pterigium akibat perubahan kualitas dan

kuantitas air mata. Suatu penelitian pterigium primer di Makasar mendapatkan

terjadi abnormalitas lapisan musin air mata (hasil BUT yang singkat dan gradasi

Ferning lebih tinggi) serta gradasi sitologi impresi lebih berat pada mata dengan

pterigium dibandingkan mata normal (Shintya, et al., 2010). Proliferasi fibroblas

pada epitel konjungtiva pterigium menyebabkan abnormalitas struktur dan sekresi

sel goblet sehingga terjadi penurunan lapisan musin pada pterigium. Perubahan

pola musin menginduksi pembentukan pterigium atau merupakan gambaran

patologis sel-sel yang melapisi permukaan okular. Pemeriksaan Schirmers tidak

bisa digunakan untuk memprediksi perubahan morfologi konjungtiva walaupun

Sood et al menemukan adanya korelasi kuat antara hasil Schirmers dengan hasil

sitologi impresi konjungtiva (Kumar, et al., 2014; Rahman, et al., 2012).

2.2.2 Sel Goblet

Sel goblet merupakan sel epitel kolumnar dengan sitoplasma jernih akibat sintesa

dan akumulasi substansi glikosaminoglikan, terlihat cup atau dilatasi polus apikal

yang tampak pada pewarnaan klasik. Sekitar 75% pasien yang epitelnya
10

teridentifikasi sebagai sel goblet ditemukan baik terisolir atau berkumpul

membentuk intraepitel gland. Pewarnaan Periodic Acid Stiff (PAS)-

Hematoxyllin Eosin (HE) memberi warna spesifik pada sel ini. Sel goblet hanya

ditemukan secara normal pada epitel konjungtiva yang berfungsi menghasilkan

musin. Perubahan fenotif sel, dari tipe sel keratinous menjadi sekreto musin

terjadi progresif seperti yang tampak pada epitel sel kolumnar mengandung

sedikit sekresi musin dengan PAS positif pada polus apikal. Peningkatan sekresi

musin tanpa ekskresi menimbulkan ekspansi dari polus apikal sel sehingga

terbentuk cup of champagne atau kalsiformi sel goblet (Anshu, et al., 2001;

Golu, et al., 2011; Vujkovi, et al., 2002).

A B

Gambar 2.2 Sel goblet pada konjungtiva. (A) Sel goblet tersebar difus dan (B) sel
goblet berkelompok membentuk intraepithelial gland (Golu, et al., 2011)

Gangguan proliferasi dan diferensiasi sel goblet menyebabkan aglutinasi

membentuk intraepithelial gland atau terjadi hiperplastik dan hipertropi

menyerupai gland Henle. Morfologi ini diyakini sebagai hasil etiopatogenesis

paparan iritan langsung khususnya partikel debu udara. Penulis lain meyakini

hiperplasia sel goblet adalah respon stereotipikal dari mukosa konjungtiva tehadap
11

polusi udara. Lebih dari dua pertiga pasien pterigium memiliki sel goblet, baik

tersebar difus atau berkelompok membentuk intraepitel gland. Jaringan kelenjar

musin Henle juga menunjukkan positif pada pewarnaan PAS seperti sel goblet

(Golu, et al., 2011; Shatos, et al., 2003).

Kepadatan sel goblet pada konjungtiva bulbi normal ditemukan tidak

berbeda secara signifikan pada tiap lokasi baik pada area konjungtiva bulbi nasal,

temporal, superior dan inferior (Kim, et al., 1992). Kepadatan sel goblet sesuai

dengan gradasi Nelson pada konjungtiva normal atau gradasi 0 yaitu >500

sel/mm2; gradasi 1 yaitu 350-500 sel/mm2; gradasi 2 yaitu 100-350 sel/mm2;

gradasi 3 yaitu <100 sel/mm2 atau tidak tampak sel goblet. Namun penelitian lain

menyatakan bahwa jumlah sel goblet 100-300 sel/mm2 masih dalam batas normal.

Perbedaan kepadatan sel goblet pada kedalaman konjungtiva bulbi belum pernah

dilaporkan. Pengaruh usia pada kepadatan sel goblet ditemukan tidak bermakna

namun dikatakan masih perlu analisis lebih lanjut (Doughty, 2012; Gaton, et al.,

2006).

Populasi sel goblet menunjukkan derajat diferensiasi atau maturasi epitel

konjungtiva yang menggambarkan kesehatan permukaan okular. Segala bentuk

perubahan patologi pada konjungtiva bulbi berhubungan dengan penurunan

kepadatan sel goblet kecuali bila terjadi hiperplasia sel goblet (Doughty, 2012).

Penelitian pada 3 kelompok dry eye, yaitu kelompok simple dry eye, dry eye

sindrom sjogren, dry eye connective tissue disease, menemukan tidak ada

perbedaan signifikan pada jumlah musin dan kepadatan sel goblet (Haller-

Schober, et al., 2006). Penelitian lain menemukan adanya perbedaan signifikan


12

yaitu rerata kepadatan sel goblet pada kasus dry eye sebesar 490213 sel/mm2

dibandingkan kelompok kontrol normal sebesar 1462661 sel/mm2 dengan nilai

kepadatan sel goblet normal >500 sel/mm2. Kepadatan sel goblet ditemukan

menurun secara signifikan pada kasus dry eye. Selain itu didapatkan juga

perbedaan jumlah sel goblet pada konjungtiva yang terpapar yaitu 427376

sel/mm2 dibandingkan pada konjungtiva yang tidak terpapar sebesar 973789

sel/mm2 (Kumar, et al., 2014).

Suatu penelitian pada 70 kasus pterigium primer ditemukan rerata

kepadatan sel goblet sebelum tindakan eksisi pterigium metoda bare sclera

sebesar 41,82 18,29/10 lapang pandang. Rerata kepadatan sel goblet meningkat

secara signifikan pada 1 bulan setelah bare sclera (t=6,37, p<0,001, paired

samples t-test) menjadi 50,6718,71/10 lapang pandang. Peningkatan kepadatan

sel goblet ini diyakini meningkatkan sekresi musin setelah tindakan bare sclera

(Li, et al., 2007). Penelitian lain pada 74 pasien pterigium primer ditemukan

insiden dry eye menurun secara signifikan setelah eksisi pterigium, yaitu sebesar

8,3% pasien mengalami dry eye pada 3 bulan setelah eksisi dibandingkan sebelum

eksisi yaitu sebesar 33,3% (Shintya, et al., 2010).

2.2.3 Sitologi Impresi

Sitologi impresi konjungtiva adalah metoda pemeriksaan sitologi konjungtiva

dengan mengambil 1-3 lapis sel epitel permukaan. Teknik ini relatif mudah

dikerjakan, invasif minimal, memberikan informasi sel pada area yang diperiksa,
13

kenyamanan pasien tidak terganggu walaupun cara ini bukan pemeriksaan first

line pada dry eye (Kumar, et al., 2014).

Sitologi impresi konjungtiva diperkenalkan oleh Egbert et al tahun 1977,

menggunakan aplikasi kertas filter selulosa asetat atau filter nitroselulosa pada

permukaan konjungtiva untuk mengangkat lapisan superfisial epitel konjungtiva.

Hasil pemeriksaan dapat digradasikan sesuai gradasi Nelson atau gradasi Adam.

Sitologi impresi dapat menunjukkan morfologi konjungtiva dibandingkan dengan

cara smear yang dapat merusak susunan sel. Dasar dari sitologi konjungtiva

adalah abnormalitas sel epitel skuamus dan sel goblet. Penilaian dilakukan pada

perubahan morfologi sel epitel, rasio nukleus:sitoplasma (N:C) dan kepadatan sel

goblet. Pada gradasi Nelson, dikatakan gradasi 0 (normal) bila sel epitel

berukuran kecil dan bulat, rasio N:C sebesar 1:2, jumlah sel goblet banyak dan

bila diwarnai dengan PAS menunjukkan positif yang baik. Gradasi 1 (slight

abnormal) bila sel epitel sedikit memanjang dan poligonal, nukleus kecil dengan

rasio N:C sebesar 1:3, jumlah sel goblet mulai berkurang. Gradasi 2 (abnormal)

bila sel epitel memanjang dan poligonal dengan rasio N:C sebesar 1:4-1:5, sel

goblet sedikit. Gradasi 3 (signifikan abnormal) bila sel epitel besar dan poligonal,

nukleus kecil dan piknosis dengan rasio N:C sebesar 1:6, tidak dijumpai sel

goblet. (Nelson, et al., 1984; Shrestha, et al., 2011).

Sitologi impresi menggunakan kertas filter nitroselulosa berukuran pori

0,22 m. Pasien ditetesi anestesi topikal pantocain 0,5%, tunggu hingga rasa perih

hilang. Letakkan kertas filter di permukaan konjungtiva bulbi, fiksasi salah satu

ujung dengan pinset konjungtiva dan tekan secara perlahan. Air mata diabsorpsi
14

dengan cotton bud atau gaas sebelum kertas filter dilepas. Lepaskan kertas filter

dan pindahkan spesimen di atas gelas obyek. Fiksasi dengan alkohol 95%

kemudian diwarnai. Pewarnaan bisa dengan Periodic Acid Schiff (PAS),

Papaniculaou atau Haematoxylin-Eosin, diperiksa dibawah mikroskop dengan

pembesaran 400x. Rata-rata kepadatan sel goblet dapat dihitung dari total jumlah

sel goblet pada 10 lapang pandang kemudian dihitung reratanya atau jumlah sel

total per 4 lapang pandang besar (Gillan, 2008; Li, et al., 2007).

Gambar 2.3 Sel goblet (panah merah) pada sitologi impresi dengan pewarnaan
PAS (Hong, et al., 2009)

Hasil pemeriksaan sitologi impresi konjungtiva bulbi pada suatu penelitian

terhadap 36 kasus pterigium primer ditemukan bahwa gradasi metaplasia skuamus

lebih tinggi (gradasi 1-2) pada kelompok kasus daripada kelompok kontrol mata

tanpa pterigium. Pada penelitian tersebut, fungsi air mata secara klinis dinilai

dengan pemeriksaan BUT menunjukkan hasil abnormal sehingga disimpulkan

bahwa gradasi sitologi impresi berkorelasi dengan fungsi air mata pada pasien

pterigium primer (Rajiv, et al., 1991). Hasil sitologi impresi konjungtiva bulbi

yang abnormal juga ditemukan pada suatu penelitian di Makasar tahun 2010. Dari

34 mata pterigium primer didapatkan gradasi 2 sebesar 32,4% dan gradasi 3


15

sebesar 67,6% dibandingkan dengan kelompok kontrol yaitu 34 mata tanpa

pterigium didapatkan gradasi 0 sebesar 58,8% dan gradasi 1 sebesar 41,2%

(Shintya, et al., 2010).

Pterigium setelah dilakukan bedah eksisi dinyatakan sembuh secara

histologi terlihat dari rasio normal nukleus:sitoplasma yaitu 1:1, kepadatan sel

goblet normal, ukuran sel dan nukleus normal. Penelitian pada 60 mata pterigium

primer menyatakan durasi penyembuhan epitel secara sitologi pada pasien

pterigium pasca eksisi metoda conjunctival limbal graft yaitu 40 hari.

Penyembuhan epitel secara sitologi pasca graft amnion yaitu 6 bulan dan pasca

eksisi + MMC topikal yaitu 10 bulan (Salman, et al., 2011).

You might also like