You are on page 1of 9

2.

8 KLASIFIKASI 4,5,8
Tabel 2. Pembagian Klasifikasi Fungal Sinusitis
Sinusitis jamur ekstramukosa (non invasif)
Mikosis sinus superfisial
Misetoma (Fungal ball)
Sinusitis alergi jamur
Sinusitis jamur invasif
Sinusitis jamur kronis invasif (indolen)
Sinusitis jamur akut invasif (fulminan)
Sinusitis jamur invasif granulomatosus
KLASIFIKASI 4,5,8
Tabel 2. Pembagian Klasifikasi Fungal Sinusitis
Sinusitis jamur ekstramukosa (non invasif)
Mikosis sinus superfisial
Misetoma (Fungal ball)
Sinusitis alergi jamur
Sinusitis jamur invasif
Sinusitis jamur kronis invasif (indolen)
Sinusitis jamur akut invasif (fulminan)
Sinusitis jamur invasif granulomatosus

1. Fungal Sinusitis Non Invasive / Sinusitis Jamur Non Invasif


Keadaan ini timbul pada saat infeksi jamur ekstramukosa yang menyebabkan
inflamasi pada sinus. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh lingkungan, faktor pejamu,
terutama pengaruh genetik yang diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE) mediasi alergi.

a. Superficial Sinosal Mycosis / Mikosis Sinus Superfisial

Mikosis sinus superfisial adalah merupakan suatu keadaan inflamasi mukosa


sinus paranasal yang disebabkan infeksi jamur ekstramukosal. Pemeriksaan kultur
sekret yang dicurigai dapat ditemukan adanya jamur. Keadaan ini jarang ditemukan
dalam keadaan yang berat oleh karena patogenisitasnya rendah.(Tri Andhika)
Infeksi jamur tipe ini tidak akan menjadi infeksi yang berat. tetapi potensial
menjadi penyebab sinusitis kronis. Beberapa pendapat menyatakan bahwa kondisi ini
timbul oleh karena berkumpulnya spora jamur dengan konsentrasi yang tinggi sehingga
dapat mencetuskan sinusitis pada individu yang memiliki kemungkinan untuk alergi
terhadap jamur. (Tri Andhika)
Tidak ada keluhan yang khas pada penderita. Penderita hanya melaporkan
adanya tercium bau tidak enak pada hidung yang disertai krusta atau debris. Bentuk
sinusitis jamur ini paling khas diidentifikasi pada saat nasoendoskopi, tampak materi
jamur yang tumbuh pada krusta hidung. Biasanya krusta tersebut terdapat pada daerah
hidung yang tinggi aliran udaranya seperti pada bagian tepi anterior konka dan dapat
juga pada rongga sinus yang luas. Pada pemeriksaan dengan menggunakan endoskopi
tampak pada bagian dibawah krusta memperlihatkan mukosa yang eritem, edema dan
disertai adanya pus. Pemeriksaan Kultur pada krusta tersebut menunjukkan adanya
pertumbuhan bakteri dan jamur.( Tri Andhika)
Meskipun mekanisme terbentuknya fungall ball belum dapat diketahui secara
pasti, secara teori hal ini dapat timbul pada saat spora jamur terhirup, spora tersebut
masuk kedalam rongga sinus dan menjadi antigen yang dapat menyebabkan iritasi dan
proses inflamasi mukosa sinus sehingga pada akhirnya terjadi obstruksi ostium sinus.
Oleh karena sinus merupakan rongga lembab yang cocok untuk perkembangan jamur
maka terjadi pengumpulan hifa jamur yang berbentuk seperti bola.
Gejala klinik awal fungal ball umumnya tidak khas. Gejalanya mirip dengan
sinusitis kronik yang hanya mengenai satu sinus. Fungal ball biasanya tanpa gejala
sehingga sulit terdeteksi. Fungal ball ini dapat terjadi pada keseluruhan sinus paranasal
dan paling sering pada sinus maksilaris. Gejala yang tampak dapat berupa gangguan
penglihatan, kakosmia (selalu mencium bau busuk), demam, batuk, hidung tersumbat,
sekret hidung dan kadang kadang disertai nyeri pada wajah dan sakit kepala. Edema
wajah unilateral yang disertai nyeri pipi pada perabaan, atau kelainan pada mata dapat
terlihat pada pemeriksaan. Pada nasoendoskopi menunjukkan adanya sinusitis minimal.

Secara makroskopis lesi pada fungal ball dapat berbentuk mulai dari debris halus
yang basah, berpasir atau bergumpal. Warna yang bervariasi dari putih kekuningan,
kehijauan, coklat hingga hitam. Diagnosis fungal ball ditegakkan secara mikroskopis
dengan tidak adanya infiltrasi sel radang yang nyata dan banyaknya kumpulan hifa
jamur. Mukosa di sekitarnya menunjukkan adanya peradangan yang kronis dengan sel
plasma ringan hingga menengah dan infiltrasi sel limfosit. Neutrofil dan eosinofil dapat
dijumpai dan kadang kadang dapat di jumpai kristal oksalat. (Tri Andhika)

Alergic Fungal Sinusitis / Sinusitis Jamur Alergi

Sinusitis jamur alergik ini merupakan keadaan kronik yang dikarakteristikkan


dengan 3 kondisi : (1) Adanya Jamur pada mucin alergik yang dapat diperiksa secara
mikologi atau histopatologi, (2) tidak adanya invasi jaringan subepitel oleh jamur yang
dibuktikan dengan pemeriksaan histopatologi (3) dijumpai alergi yang diperantarai IgE
terhadap jamur tertentu atau family-nya. (Amidi, Tri Andhika)

Secara teori, sinusitis alergi jamur timbul setelah terhirup dan terperangkapnya
spora jamur yang memungkinkan antigen jamur tersebut bereaksi dengan sel mast yang
telah disensitisasi IgE. Reaksi imunologik yang terjadi selanjutnya menyebabkan
inflamasi yang kronik dan diikuti dengan destruksi jaringan. Terjadinya penumpukan
eosinofil dan terperangkapnya hifa jamur pada sekret memungkinkan terjadinya
stimulasi antigen secara terus menerus. Pada saat terjadinya degenerasi eosinofil, granul
enzimatik yang kaya akan major basic protein pun dilepaskan. Major basic protein
adalah suatu mediator peradangan yang toksik terhadap jaringan dan biasanya sering
dijumpai pada penyakit kronis. (Tri Andhika)

Mukus yang kental di Sinus Maxillaris

Penderita sinusitis alergi jamur dapat mempunyai kriteria sebagai berikut, antara
lain:
(1) Adanya peningkatan eosinofil pada darah tepi,
(2) Adanya reaksi test kulit yang positif terhadap jamur penyebab,
(3) peningkatan kadar serum IgE total,
(4) adanya antibodi pencetus pada allergen penyebab, dan
(5) peningkatan IgE spesifik jamur.
Foto polos sinus paranasal akan menunjukan opasifitas pada beberapa atau
seluruh sinus paranasal yang terlibat. CT scan merupakan metode pencitraan yang
terpilih untuk keadaan ini.(Manning)

CT Scan Potongan Coronal Pasien dengan Sinusitis Alergi Jamur yang Unilateral menunjukan gambaran
hiperdens dan inhomogenitas sinus; opaksifikasi: terdapat musin alergi
Secara histologi kondisi ini ditandai dengan adanya hifa jamur pada sekret
dengan disertai eosinofil yang sangat banyak dan adanya kristal Charcot-Leyden. Sekret
tersebut adalah merupakan allergic mucin. Allergic mucin ini dikarakteristikan
dengan kumpulan eosinofil yang nekrotik dan debris seluler lainnya, granul eosinofil
bebas dengan latar belakang pucat, dan sekret eosinofilik hingga basofilik yang amorf.
Keadaan ini dibedakan dari sekret inflamasi non alergi yang banyak netrofil. Allergic
mucin diidentifikasi dengan pewarnaan standar hematoksilin-eosin.
Spesies Aspergilus dan Dematiaceous merupakan organisme penyebab
terbanyak. Pada beberapa literatur menyatakan bahwa famili Dematiaceous (pigmen
gelap) merupakan organisme terbanyak dibandingkan Aspergilus. Famili
Dematiaceous merupakan jamur yang paling banyak dijumpai di tanah, debu dan
berbagai tumbuhan, termasuk Bipolaris, Curvularia, Alternaria, Exserohilum dan
Drechslera. Jamur Dematiaceous mengandung melanin pada dinding selnya sehingga
dapat menghasilkan warna gelap pada jaringan dan kultur. Hal ini yang
membedakannya dari Aspergilus. (Balengeer, Amidi, Tri Andhika)

Stafilokokus aureus, Hemofilus influenza dan Pseudomonas aeruginosa merupakan


bakteri yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan frekuensi gerakan silia.
Irigasi hidung juga diyakini dapat menurunkan stasis mukous dan menurunkan
konsentrasi bakteri dan jamur. Topikal steroid intranasal tidak efektif bila digunakan
sendiri tetapi dapat memberikan efek pencegahan jangka panjang setelah pemberian
steroid sistemik. Perlu diingat bahwa pemberian steroid yang tidak rasional pada
sinusitis alergi jamur dapat menyebabkan penyakit yang berulang. (McCafrey, Tri
Andhika)
Keadaan ini memiliki prognosis yang sangat baik jika fungus ball dapat diangkat
dan pengisian udara yang adekuat pada sinus dapat dilakukan kembali. Tidak
dibutuhkan follow-up jangka panjang untuk sebagian besar pasien. (Manning, Tri
Andhika)

Fungal Sinusitis Invasive / Sinusitis Jamur Invasif


Kondisi ini terjadi pada saat terdapat invasi jamur ke jaringan sinus. Sinusitis
jamur kelompok ini dibagi menjadi dua bentuk : Sinusitis Jamur Invasif Kronik
(Indolen) Dan Sinuistis Jamur Invasif Akut (Fulminan). Sinusitis jamur invasif kronik
banyak ditemukan pada penderita sinusitis yang imunokompeten, sedangkan pada tipe
fulminan sering ditemukan pada penderita dengan penurunan sistem imun
(imunokompromis). (Tri Andhika)
Invasif Fungal Sinusitis

Acute Invasive Fungal Sinusitis ( Fulminant )

Gejala klinisnya diawali dengan demam yang tidak respon dengan pemberian
antibiotik, adanya keluhan pembengkakan pada wajah dan orbita, nyeri pada wajah
yang disetai kerusakan saraf kranial unilateral atau perubahan penglihatan akut dengan
gangguan pergerakan mata dan penurunan tajam penglihatan. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan edema di daerah muka atau periorbita disertai eritema, kemosis, proptosis,
dan oftalmoplegia. Adanya gejala tersebut yang disertai penurunan tajam penglihatan
menandakan telah terjadi keterlibatan orbita yang progresif. Pada pemeriksaan rongga
mulut dapat ditemukan eschar pada ginggiva dan palatum. Pemeriksaan endoskopik
dapat ditemukan edema mukosa hidung yang disertai sekret purulen, tetapi umunya
secara khas rongga hidung tampak kering disertai krusta darah. Adanya eschar pada
rongga hidung, merupakan tanda patognomonik dari rinosinusitis jamur invasif akut.
(Manning)
CT scan merupakan pemeriksaan radiologi yang harus dilakukan segera,
diperlukan untuk mengetahui apakah sudah terjadi erosi tulang dan keterlibatan jaringan
lunak. Pada CT scan tampak penebalan jaringan yang berbentuk nodular pada mukosa
sinus dan disertai adanya destruksi dinding sinus. Perluasan ke arah orbita dapat terjadi
langsung melewati lapisan tipis lamina papirasea atau melewati pembuluh darah etmoid.
Destruksi tulang jarang ditemukan pada awal infeksi dan dapat ditemukan apabila telah
terjadi nekrosis jaringan lunak. Penggunaan MRI digunakan untuk mengetahui apakah
sudah terjadi keterlibatan mata, khususnya untuk mengevaluasi keadaan orbita, sinus
kavernosus, dan otak. Temuan utama pada pemeriksaan dengan MRI termasuk
keterlibatan bagian dasar hemisfer otak, batang otak, dan daerah
hipotalamus.(McCafrey)

Pada pemeriksaan mikroskopi dari jaringan yang dicurigai dengan mengunakan


2 atau 3 tetes larutan KOH 10% atau 20% dapat terlihat adanya jamur dalam beberapa
menit setelah dilakukan prosedur biopsi. Apabila ada infeksi disebabkan jamur
golongan Mucor maka pada pemeriksaan histopatologi didapati bentuk hifa yang besar,
tidak beraturan, tidak bersepta dan bercabang dengan arah sudut kekanan. Sedangkan
apabila pada Aspergilus, dapat dicurigai apabila di temukan hifa dengan ukuran yang
lebih kecil yaitu 2.5 sampai 5m dibandingkan dengan ukuran hifa pada Mucor yang
berukuran 6 sampai 50 m. Bentuk lainnya yang dapat membedakan jenis jamur
tersebut yaitu pada Aspergilus di temukan bentuk hifa yang bersepta dan beraturan, dan
pada bagian cabangnya membentuk sudut 45 0. Temuan tersebut dapat di identifikasi
dengan pewarnaan hematoxylin Eosin dan dapat lebih mudah dikenali dengan
pewarnaan khusus, seperti periodic acid-Schiff (PAS) dan pewarnaan methenamine
silver. (McCafrey, Manning, Tri Andhika)

kerena itu perlu dilakukan pemantauan yang baik. Pemberian Amfoterisin B dapat
menyebabkan efek samping yang akut seperti, demam, mengigil, sakit kepala,
tromboflebitis, mual, dan muntah. Walupun obat ini tidak dieksresikan langsung oleh
ginjal, obat ini sangat nefrotoksik dan dapat menyebabkan (biasanya reversibel) asidosis
tubuler. Reaksi lanjutannya adalah termasuk hipokalemia, nefrotoksik, penekanan
sumsum tulang, dan ototoksik. Toksisitas Amfoterisin B ini sangat perlu
dipertimbangkan pada pasien dengan gangguan metabolik. Apabila serum kreatinin
menjadi lebih dari 3.0 mg/dl, pemberian obat ini ditunda sampai fungsi ginjal kembali
stabil. Dosis total yang optimum dan durasi dengan menggunakan amfoterisin ini masih
belum jelas, secara umum digunakan dosis tes 1 mg dalam dextrosa 5 % pada hari
pertama terapi, kemudian dilakukan peningkatan dosis 5 mg sampai tercapai dosis 1 mg
/kg berat badan. Pada pasien dengan infeksi yang lebih berat dapat diberikan dosis tes 1
mg yang diberikan dalam beberapa jam kemudian diikuti dosis ulangan tiap 12 jam
yaitu 10 sampai 15 mg sampai tercapai dosis 0,7 sampai 1 mg / kg berat badan.
(Manning, Tri Andhika)
Keadaan memiliki prognosis yang kurang baik. Angka mortalitas dilaporkan
50%, meskipun dengan operasi yang agresif dan pengobatan. Kekambuhan sering
terjadi.(McCafrey)
Chronic Invasive Fungal Sinusitis ( Indolen )

Sinusitis jamur invasif kronik (indolen) ini perjalanan penyakitnya bisa


membutuhkan waktu berbulan-bulan sampai tahun, dan banyak terdapat pada penderita
dengan imunokompeten, tipe ini dihubungkan dengan gambaran granulomatosa pada
pemeriksaan histopatologi. Sinusitis jamur invasif kronik ini adalah bentuk yang jarang
ditemukan. Tanda khas dari infeksi jamur tipe ini adalah adanya invasi jamur ke dalam
jaringan mukosa sinus. Infeksi jamur tipe ini dapat diawali oleh misetoma sinus (Fungal
ball) kemudian menjadi invasif oleh karena perubahan status imun penderita. Oleh
karena prognosis yang buruk, tipe ini disarankan dilakukan pentalaksanaan secara
agresif. (Manning, Tri Andhika)
Gejala dari infeksi jamur tipe ini secara umum sama seperti rinosinusitis kronis
yaitu berupa sakit kepala dan sumbatan hidung. Pada keadaan tertentu dapat ditemukan
massa pada daerah sinus, massa tersebut dapat mengerosi pembatas anatomi ke dalam
pipi, orbita, palatum durum, otak ataupun kelenjar pituitari. Keluhan pandangan ganda,
termasuk proptosis sering ditemukan. Diagnosis ditegakkan berdasarkan biopsi yang
menggambarkan adanya invasi jaringan oleh hifa jamur. Pada pemeriksaan fisik,
terdapat deformitas wajah, proptosis, dan disfungsi saraf kranialis. Pemeriksaan
endoskopi hidung tampak gambaran yang sangat mirip dengan fungal ball (misetoma).
Tampak inflamasi kronis pada sinus yang terinfeksi disertai jaringan granulasi yang
mudah berdarah. (Manning, Tri Andhika)
Pemeriksaan dengan CT scan dianjurkan, dan didapatkan gambaran penebalan
jaringan yang meluas ke bagian tulang. Pemeriksaan dengan MRI direkomendasikan pada
pasien dengan infeksi yang meluas ke rongga orbita dan kompartemen intrakranial.

CT Scan Potongan Coronal Pasien dengan Sinusitis Jamur Invasif Kronik Pada Sinus Maxillaris
Kanan, Rongga Hidung Kanan, dan Sinus Sfenoid; erosi fossa kranial anterior, dengan ekstensi intrakranial
pada sisi kanan
Granulomatous Invasive Fungal Sinusitis

Pasien penderita sinusitis jamur invasif granulomatosus datang dengan gejala


sinusitis kronik yang berhubungan dengan proptosis. Penyakit ini mulai sering dilaporkan
terjadi pada individu imunokompeten dari Afrika Utara. Penyakit granulomatosa sinusitis
jamur invasif ini pada umumnya dikaitkan dengan proptosis. Pada pemriksaan
histopatologis ditemukannya granuloma dengan sel raksasa multinuklear dengan disertai
nekrosis akibat tekanan, dan erosi yang ditemukan dalam granulomatosa sinusitis jamur
invasive. (Manning)
Debridemen bedah menjadi pilihan utama yang terbaik dalam pengobatan, diikuti
dengan pemberian pengobatan secara sistemik dengan obat antijamur. Rekurensi
kekambuhan dari penyakit ini jarang terjadi. Endoskopi dan pendekatan eksternal dapat
menjadi pertimbangan dalam penatalaksanaan penderita granulomatosa sinusitis jamur
invasive (McCafrey,Manning)
Pengalaman mengenai penyakit ini sungguh jarang dan terbatas bahkan sedikit
sekali. Secara umum prognosisnya baik namun terdapat kecenderungan terjadinya
kekambuhan. (Manning)

Daftar Pustaka:

6. Ballenger JJ. Hidung Dan Sinus Paranasal, Aplikasi Klinis Anatomi Dan Fisiologi
Hidung Dan Sinus Paranasal. Dalam : Penyakit Telinga Hidung Dan Tenggorokan Dan
Leher. Edisi 13. Jilid Satu. Binarupa Aksara. Jakarta; 1994. Hal 1 25
7. Amedee G Ronald. Sinus Anatomy And Function. In : Head And Neck Surgery
Otolaryngology Bryon J. Bailey. J.B. Lippincott Company. Philadhelpia; 1993. Hal
343 - 49
8. Tri Andhika Nasution M. Frekuensi Penderita Rinosinusitis Maksila Kronis Yng
Disebabkan Infeksi Jamur. Dalam: Jurnal Kedokteran Fakultas Kedokteran Unversitas
Sumatera Utara. Medan; 2007. Hal 24 - 56
9. Mccaffrey. Diagnosis Of Fungal Sinusitis. In : Rhinologic Diagnosis And Treatment
Thomas V. Mccaffery. Thieme. New York Stuttgart; 1997. p. 317 - 33
10. Manning S. 1998. Fungal Sinusitis. In : Rhinology And Sinus Disease A
Promblem-Oriented Approach, Schaefer S. Mosby, St Louis: p. 99 104

You might also like