Professional Documents
Culture Documents
Oleh
Laras Prasasti
NIM 132011101034
Pembimbing
dr. H. Ahmad Nuri, Sp. A
dr. B. Gebyar Tri Baskara, Sp. A
dr. Saraswati Dewi, Sp. A
dr. Lukman Oktadianto, Sp. A
dr. M. Ali Shodikin, M. Kes, Sp. A
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2017
DAFTAR ISI
BAB 1. PENDAHULUAN
dibawa oleh makrofag alveolar. Satu kali transit dari fosfolipid melalui lumen
alveoli membutuhkan beberapa jam. Fosfolipid dalam lumen dibawa kembali ke
sel tipe II dan digunakan kembali 10 kali sebelum didegradasi. Protein surfaktan
disintesa sebagai poliribosom dan dimodifikasi secara ekstensif di retikulum
endoplasma, aparatus Golgi dan badan multivesikular. Protein surfaktan dideteksi
dalam badan lamelar sebelum surfaktan disekresikan ke alveolus (Rahajoe, 2008).
Surfaktan berfungsi mengurangi tegangan permukaan pada rongga
alveoli, memfasilitasi ekspansi paru dan mencegah kolapsnya alveoli selama
ekspirasi. Selain itu dapat pula mencegah edema paru serta berperan pada sistem
pertahanan terhadap infeksi (Rahajoe, 2008).
2.3.1 Epidemiologi
Data mengenai penyebab angka kematian bayi yang tinggi dengan PMH
di negara berkembang sangat terbatas. Penelitian yang dilakukan Fidanovski et al.
menunjukkan bahwa faktor risiko kematian bayi dengan PMH yang menggunakan
ventilasi mekanik adalah air-leak syndrome, berat badan lahir 1,5 kg, dan
bronchopulmonary dysplasia (Fidanovski et al., 2005). Penelitian lain yang
serupa menunjukkan bahwa usia kehamilan <30 minggu, presentasi bokong dan
skor APGAR 5 menit 7 merupakan faktor risiko kematian bayi PMH (Nichpanit,
2005).
Insidensi PMH pada bayi prematur sebesar 60-80% pada bayi kurang
dari 28 minggu, 15-30% pada bayi 32-36 minggu, 5% pada bayi kurang dari 37
minggu, dan sangat jarang terjadi pada bayi matur. Frekuensinya meningkat pada
ibu yang diabetes, kelahiran sebelum usia kehamilan 37 minggu, kehamilan
dengan lebih dari satu fetus, kelahiran dengan operasi caesar, kelahiran yang
dipercepat. Pada ibu diabetes, terjadi penurunan kadar protein surfaktan yang
menyebabkan terjadinya disfungsi surfaktan. Selain itu dapat juga disebabkan
pecahnya ketuban untuk waktu yang lama serta hal-hal yang menimbulkan stres
pada fetus seperti ibu dengan hipertensi dan drug abuse, atau adanya infeksi
kongenital kronik (Liu et al., 2014).
Insiden tertinggi didapatkan pada bayi prematur laki-laki atau bayi kulit
putih. Pada laki-laki, androgen menunda terjadinya maturasi paru dengan
menurunkan produksi surfaktan oleh sel pneumosit tipe II. Insidensinya berkurang
5
Hipertensi paru yang menyebabkan pirau kanan ke kiri melalui foramen ovale dan
duktus arteriosus memperburuk hipoksemia. Aliran darah paru yang awalnya
menurun dapat meningkat karena berkurangnya resistensi vaskuler paru dan PDA.
Sebagai tambahan dari peningkatan permeabilitas vaskuler, aliran darah paru
meningkat karena akumulasi cairan dan protein di interstitial dan rongga alveolar.
Protein pada rongga alveolar dapat menginaktivasi surfaktan. Berkurangnya
functional residual capacity (FRC) dan penurunan compliance paru merupakan
karakteristik PMH. Beberapa alveoli kolaps karena defisiensi surfaktan, sementara
beberapa terisi cairan, menimbulkan penurunan FRC. Sebagai respon, bayi
prematur mengalami grunting yang memperpanjang ekspirasi (Hessler et al.,
1985).
jam kelahiran, ditandai dengan sesak nafas, sianosis dan apnea. Gejala ini terlihat
jelas pada hari ke 47 dan menetap dalam 23 minggu (Locci et al., 2014).
Pada kedua bentuk gambaran ini atelektasis merupakan bentuk patologi
utama paru. Dengan adanya atelektasis paru, terjadilah penurunan volume dada,
secara fisik terlihat adanya konkafitas yang nyata di daerah aksila, daya regang
rongga dada menurun, sehingga pada saat inspirasi terlihat jelas adanya retraksi di
daerah interkostal dan supraternal. Pada saat ekspirasi dibutuhkan tenaga yang
lebih besar, karena pengembangan paru yang tidak merata, udara terperangkap di
bagian distal, sedangkan jalan udara tertutup karena kolaps, sehingga tekanan
ekspirasi yang besar ini menyebabkan bising ekspirasi yang khas yakni merintih
(Locci et al., 2014).
Pada pemeriksaan terlihat bayi mengalami dispnea dan takipnea. Secara
klinis gejala lain yang dapat diamati adanya bradikardi, hipotensi, hipotermi,
tonus otot menurun dan apnea. Terjadinya sianosis karena menurunnya oksigen
yang diambil oleh paru dengan atelektasis. Dengan berkurangnya oksigen maka
terjadi asidosis yang mengakibatkan meningkatnya frekuensi pernapasan.
Menurunnya perfusi jaringan menyebabkan kulit dan selaput lendir berwarna
pucat. Pada keadaan berat terjadi apnea yang berakibat fatal (Behrman et al.,
1998).
Tanda dari PMH muncul beberapa menit sesudah lahir, namun biasanya
baru diketahui beberapa jam kemudian di mana pernafasan menjadi cepat dan
dangkal (60x/menit). Bila didapatkan onset takipnea yang terlambat harus
dipikirkan penyakit lain. Beberapa pasien membutuhkan resusitasi saat lahir
akibat asfiksia intrapartum atau distres pernafasan awal yang berat (Locci et al.,
2014).
Pada bayi dengan PMH ditemukan takipnea, grunting, retraksi intercostal
dan subcostal, dan pernafasan cuping hidung. Sianosis meningkat, yang biasanya
tidak responsif terhadap oksigen. Suara nafas dapat normal atau hilang dengan
kualitas tubular yang kasar, dan pada inspirasi dalam dapat terdengan ronkhi
basah halus, terutama pada basis paru posterior. Terjadi perburukan yang
progresif dari sianosis dan dispnea. Bila tidak diterapi dengan baik, tekanan darah
9
dan suhu tubuh akan turun, terjadi peningkatan sianosis, lemah dan pucat,
grunting berkurang atau hilang seiring memburuknya penyakit. Apnea dan
pernafasan iregular muncul saat bayi lelah, dan merupakan tanda perlunya
intervensi segera. Dapat juga ditemukan gabungan dengan asidosis metabolik,
edema, ileus, dan oliguria. Tanda asfiksia sekunder dari apnea atau kegagalan
respirasi muncul bila ada progresi yang cepat dari penyakit. Kondisi ini jarang
menyebakan kematian pada bayi dengan kasus berat. Tapi pada kasus ringan,
tanda dan gejala mencapai puncak dalam 3 hari. Setelah periode inisial tersebut,
bila tidak timbul komplikasi, keadaan respirasi mulai membaik. Bayi yang lahir
pada 3233 minggu kehamilan, fungsi paru akan kembali normal dalam 1 minggu
kehidupan. Pada bayi lebih kecil (usia kehamilan 2628 minggu) biasanya
memerlukan ventilasi mekanik. Perbaikan ditandai dengan diuresis spontan, dan
kemampuan oksigenasi pada kadar oksigen lebih rendah. Kematian jarang terjadi
pada 1 hari pertama, biasanya terjadi pada hari kedua sampai ketujuh, sehubungan
dengan adanya kebocoran udara alveoli (emfisema interstitial, pneumothorax)
perdarahan paru atau intraventrikular. Kematian dapat terjadi setelah beberapa
minggu atau bulan bila terjadi bronchopulmonary displasia (BPD) pada penderita
dengan ventilasi mekanik (PMH berat) (Locci et al., 2014).
2.3.4 Diagnosis
a. Anamnesis
Pada anamnesis harus dicari faktor risiko meliputi: usia kehamilan yang
preterm, ibu diabetes melitus, kehamilan kembar, seksio cesar, partus presipitatus
setelah perdarahan antepartum, asfiksia pada masa perinatal dan adanya riwayat
sebelumnya ibu yang melahirkan bayi dengan PMH (Gomella et al., 2004).
b. Pemeriksaan Fisik
Bayi kurang bulan berdasarkan New Ballard Score disertai sianosis pada
udara kamar, napas cuping hidung, takipnea, merintih dan retraksi dinding dada
yang dijumpai dalam 24 jam pertama kehidupan dan bisa menetap atau menjadi
progresif dalam 48-96 jam pertama (Gomella et al., 2004). Terkadang ditemukan
10
c. Pemeriksaan Penunjang
- Laboratorium
Dari pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan Hb, HCT dan gambaran darah
tepi tidak menunjukan tanda-tanda infeksi. Analisis gas darah awalnya dapat
ditemukan hipoksemia, dan pada keadaan lanjut ditemukan hipoksemia progresif,
hipercarbia dan asidosis metabolik yang bervariasi.
- Echocardiografi
Echocardiografi dilakukan untuk mendiagnosa PDA dan menentukan arah
dan derajat pirau. Juga berguna untuk mendiagnosa hipertensi pulmonal dan
menyingkirkan kemungkinan adanya kelainan struktural jantung.
- Tes kocok (shake test)
Dari aspirat lambung dapat dilakukan tes kocok. Aspirat lambung diambil
melalui nasogastrik tube pada neonatus sebanyak 0,5 ml. Lalu tambahkan 0,5 ml
alkohol 96 %, dicampur di dalam tabung 4 ml, kemudian dikocok selama 15 detik
dan didiamkan selama 15 menit. Pembacaan:
a. Neonatus imatur : tidak ada gelembung 60 % resiko terjadi PMH
b. +1: gelembung sangat kecil pada meniskus (< 1/3) 20 % resiko terjadi PMH
c. +2: gelembung satu derat, > 1/3 permukaan tabung
d. +3: gelembung satu deret pada seluruh permukaan dan beberapa gelembung
pada dua deret
e. +4: gelembung pada dua deret atau lebih pada seluruh permukaan neonatus
matur.
- Amniosentesis
Berbagai macam tes dapat dilakukan untuk memprediksi kemungkinan
terjadinya PMH, antara lain mengukur konsentrasi lechitin dari cairan amnion
dengan melakukan amniosentesis (pemeriksaan antenatal). Rasio lechitin-
spingomielin.
11
- Radiologi
Gambaran radiologis menunjukkan kekeruhan granular halus (atelaktasis
difus) di kedua bidang paru dan bronkogram udara (bronkus berisi udara tampak
nyata terhadap paru yang atelektasis). Paru yang buram akan susah untuk
membedakan antara batas paru dan siluet jantung pada penyakit berat15 disebut
whiteout yakni tekstur kekeruhan paru reticulogranular, penurunan ekspansi
paru, penipisan pembuluh paru yang normal, udara bronkogram hingga padat,
konsolidasi paru simetris bilateral.
Berdasarkan pemeriksaan radiologi, menurut kriteria Bomsel terdapat 4
stadium PMH yaitu:
1) Stadium I : terdapat sedikit bercak retikulogranular dan sedikit bronkogram
udara
2) Stadium II: bercak retikulogranular homogen pada kedua lapangan paru dan
gambaran air bronkogram udara lebih jelas dan meluas sampai ke perifer
menutupi bayangan jantung dengan penurunan aerasi paru
3) Stadium III: kumpulan alveoli yang kolaps bergabung sehingga kedua lapangan
paru terlihat lebih opak dan bayangan jantung hampir tak terlihat, bronkogram
udara lebih luas; batas jantung kabur
4) Stadium IV: kolaps seluruh lapangan paru (white lung)
12
pada RDS gambaran opak menetap minimal 34 hari (Effendi dan Indrasanto,
2008).
c. Sindroma Aspirasi Mekonium
Pada sindroma aspirasi mekonium terlihat adanya air trapping, gambaran
opak noduler kasar difus, serta area emfisema fokal. Berbeda dengan gambaran
opak granuler halus pada RDS. Paru-paru biasanya hiperaerasi (Effendi dan
Indrasanto, 2008).
2.3.6 Tatalaksana
a. Medikamentosa
- Jaga jalan napas tetap bersih dan terbuka
- Terapi oksigen sesuai kondisi: nasal kanul atau head box dengan kelembaban
dan konsentrasi yang cukup untuk mempertahankan tekanan oksigen arteri
antara 50-70 mmHg. Jika PaO2 tidak dapat dipertahankan di atas 50 mmHg
pada konsentrasi oksigen inspirasi 60% atau lebih, penggunaan CPAP (Nasal
Continous Positive Airway Pressure) terindikasi. Penggunaan NCPAP sedini
mungkin untuk stabilisasi bayi BBLSR sejak di ruang persalinan juga
direkomendasikan untuk mencegah kolaps alveoli. Pada pemakaian nasal
prong perlu lebih hati-hati karena pemakaian yang terlalu ketat dapat merusak
septum nasi. Ventilator mekanik digunakan pada bayi dengan PMH berat atau
komplikasi yang menimbulkan apneu persisten (IDAI, 2009). Indikasi
rasional untuk penggunaan ventilator adalah:
1. pH darah arteri <7,2
2. pCO2 darah arteri 60 mmHg atau lebih
3. pO2 darah arteri 50 mmHg atau kurang padakonsentrasi oksigen 70-
100% dan tekanan CPAP 6-10 cmH2O atau
4. Apneu persisten
5. Jaga kehangatan
6. Pemberian infus cairan intravena dengan dosis rumatan
7. Pemberian nutrisi bertahap, diutamakan ASI.
14
b. Manajemen Khusus
Pemberian surfaktan dilakukan bila memenuhi persyaratan, obat tersedia, dan
lebih disukai bila tersedia fasilitas NICU (IDAI, 2009). Syarat pemberian
surfaktan adalah:
- diberikan oleh dokter yang memiliki kualifikasi resustitasi neonatal dan tata
laksana respiratorik serta mampu memberi perawatan pada bayi hingga
setelah satu jam pertama stabilisasi
- tersedia staf (perawat atau terapis respiratorik) yang berpengalaman dalam
tata aksana ventilasi bayi berat lahir rendah
- peralatan pemantauan (radiologi, analisis gas darah, dan pulse oximetry)
harus tersedia
- terdapat protookol pemberian surfaktan yang disetujui oleh institusi
bersangkutan.
c. Surfaktan
Surfaktan diberikan dalam 24 jam pertama jika bayi terbukti mengalami
PMH, diberikan dalam bentuk dosis berulang melalui pipa endotrakea setiap 6-12
jam untuk total 2-4 dosis tergantung jenis preparat yang dipergunakan. Survanta
(bovine survactant) diberikan dengan dosis total 4 ml/kgBB intratrakea (masing-
masing 1ml/kgBB untuk lapangan paru depan kiri dan kanan serta paru belakang
kiri dan kanan), terbagi dalam beberapa kali biasanya 4 kali (masing-masing
dosis total atau 1 ml/kg). Dosis total 4 ml/kgBB dapat diberikan dalam jangka
15
waktu 48 jam pertama kehidupan dengan interval minimal 6 jam antar pemberian.
Bayi tidak perlu dimiringkan ke kanan atau ke kiri setelah pemberian surfaktan,
karena surfaktan akan menyebar sendiri melalui pipa endotrakeal. Selama
pemberian surfaktan dapat terjadi obstruksi jalan napas yang disebabkan oleh
viskositas obat. Efek samping dapat berupa perdarahan dan infeksi paru (IDAI,
2009).
2.3.8 Pemantauan
Terapi
- Efektifitas terapi dipantau dengan memperhatikan perubahan gejala klinis
yang terjadi.
- Setelah BKB/BBLR melewati masa krisis yaitu kebutuhan oksigen sudah
terpenuhi dengan oksigen ruangan/atmosfer, suhu tubuh bayi sudah stabil di
luar inkubator, bayi dapat minum sendiri/menetek, ibu dapat erawat dan
mengenali tanda-tanda sakit pada bayi dan tidak ada komplikasi atau penyulit
maka bayi dapat berobat jalan.
- Pada BBLR, ibu diajarkan untuk melakukan perawatan metode kanguru.
- Rekomendasi pemeriksaan Retinopathy of Prematurity (ROP):
a.bayi dengan BBL <1.500g atau usia gestasi <34 minggu
b. pemeriksaanpada usia 4 minggu atau pada usia koreksi 32-33 minggu
Tumbuh Kembang
- Bayi yang menderita gangguan napas dan berhasil hidup tanpa komplikasi
maka proses tumbuh kembang anak selanjutnya tidak mengalami gangguan.
- Apabila timbul komplikasi (hipoksia serebri, gagal ginjal, keracunan O2,
komplikasi cerebral palsy) maka tumbuh kembang anak tersebut akan
mengalami gangguan dari yang ringan sampai yang berat termasuk gangguan
penglihatan, sehingga diperlukan pemantauan berkala pada masa balita.
17
2.3.9 Komplikasi
a. Bronchopulmonary Dysplasia (BPD)
Oksigen bersifat toksik bagi paru-paru, terutama bila diberikan dengan
respirator tekanan positif, menyebabkan terjadinya BPD. Selain itu, BPD juga
dapat disebabkan oleh robeknya alveoli akibat tekanan, volutrauma, saponifikasi
hipokapnea, atelektasis akibat absorpsi, dan terjadinya inflamasi. Beberapa bayi
yang mendapat bentuan nafas berupa intermittent positivepressure secara
berkepanjangan dengan konsentrasi oksigen yang ditingkatkan, menunjukkan
perburukan paru pada gambaran rontgen. Distres nafas menetap ditandai hipoksia,
hiperkarbia, ketergantungan pada oksigen, dan terjadinya gagal jantung kanan.
Gambaran rontgen berubah, sebelumnya menunjukan gambaran opak hampir
menyeluruh disertai air bronchogram dan emfisema interstitial, menjadi area
lusen bulat kecil berselangseling dengan area dengan densitas yang iregular,
seperti gambaran spons (Northway et al., 1967).
b. Retinopathy of Prematurity (ROP)
Bayi dengan RDS dan PaO2 > 100 mmHg memiliki resiko terkena ROP,
maka monitor PaO2 harus dilakukan secara ketat dan dipertahankan antara 50-70
mmHg. Pulse oximetry tidak membantu mencegah ROP pada bayi sangat kecil
karena kurva disosiasi oksigen-hemoglobin hampir rata. Bila ROP berlanjut,
terapi laser atau cryotherapy dilakukan untuk mencegah terlepasnya retina dan
kebutaan (Locci et al., 2014).
2.3.10 Prognosis
Melakukan observasi intensif dan perhatian pada bayi baru lahir berisiko
tinggi dengan segera akan mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat PMH dan
penyakit neonatus akut lainnya. Hasil yang baik bergantung pada kemampuan dan
pengalaman personel yang menangani, unit rumah sakit yang dibentuk khusus,
peralatan yang memadai, dan kurangnya komplikasi seperti asfiksia fetus atau
bayi yang berat, perdarahan intrakranial, atau malformasi kongenital. Terapi
surfaktan telah mengurangi mortalitas 40%. Mortalitas dari bayi dengan berat
lahir rendah yang dirujuk ke ICU menurun dengan pasti, 75 % dari bayi dengan
18
berat <2.500 gr bertahan. Meski 8590% bayi yang selamat setelah medapat
bantuan respirasi dengan ventilator adalah normal, penampakan luar lebih baik
pada yang berat badannya > 1.500 gr, sekitar 80 % dari yang beratnya (Anggraini
et al., 2013).
19
BAB 3. PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
Effendi, S.H., dan E. Indrasanto. 2008. Buku Ajar Neonatologi. Edisi 1. Jakarta:
Badan Penerbit IDAI.
Liu, J., N. Yang, dan Y. Liu. 2014. High Risk Factors Of Respiratory Distress
Syndrome In Term Neonates: A Retrospective Case Control Study. Balkan
Medical Journal. 31:64-68.
Locci, G., Fanos, V., Gerosa, C., & Faa, G. (2014). Hyaline membrane disease
(HMD): the role of the perinatal pathologist. Journal of Pediatric and
Neonatal Individualized Medicine. 3(2).
Nichpanit, S. 2005. Risk Factors for Death Among Newborns with Respiratory
Distress Syndrome at Kalasin Hospital. Srinagarind Med J. 20: 255-261.
21
Rahajoe, N. 2008. Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi Ke-1. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI.