You are on page 1of 22

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

KOMPLEMENTER PADA PASIEN DENGAN NYERI TENGKUK ATAU


TTH (TENSION TYPE HEADACHE) DI JKMB DINAS KESEHATAN
PROVINSI BALI TANGGAL 16 DESEMBER 2016

OLEH :
I GUSTI AYU CINTYA ADIANTI
(P07120214012)

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES DENPASAR


DIV KEPERAWATAN TK.III / SEMESTER V
JURUSAN KEPERAWATAN
2016
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN
KOMPLEMENTER PADA PASIEN DENGAN NYERI TENGKUK ATAU
TTH (TENSION TYPE HEADACHE)

A. Pengertian Nyeri Kepala Tegang Otot


(TTH) adalah sakit kepala yang terasa seperti tekanan atau ketegangan di dalam dan
disekitar kepala. Nyeri kepala karena tegang yang menimbulkan nyeri akibat
kontraksi menetap otot- otot kulit kepala, dahi, dan leher yang disertai dengan
vasokonstriksi ekstrakranium. Nyeri ditandai dengan rasa kencang seperti pita di
sekitar kepala dan nyeri tekan didaerah oksipitoservikalis (Hartwig dan Wilson,
2006).
Nyeri kepala tegang otot (tension-type headache -TTH) adalah nyeri kepala yang
paling umum di seluruh dunia. Penulisan ilmiah ini bertujuan untuk mereview
publikasi terkini yang terkait dengan TTH. Review ini berfokus pada pembahasan
epidemiologi, etiopatofi siologi, potret klinis, pemeriksaan (fi sik dan penunjang),
penatalaksanaan, diagnosis banding, komorbiditas, pencegahan, dan prognosis.
Di dalam literatur kedokteran, tension-type headache (TTH) memiliki multisinonimi,
seperti: tension headaches, muscle contraction headache, sakit kepala tegang otot,
nyeri kepala tegang otot. Dahulu, TTH pernah dinamai stress headache. Tension-type
Headache (TTH) adalah nyeri kepala bilateral yang menekan (pressing/ squeezing),
mengikat, tidak berdenyut, tidak dipengaruhi dan tidak diperburuk oleh aktivitas fi
sik, bersifat ringan hingga sedang, tidak disertai (atau minimal) mual dan/ atau
muntah, serta disertai fotofobia atau fonofobia.

B. Klasifikasi
Menurut International Headache Society Classification, TTH terbagi atas 3 yaitu: 1.
Episodik tension-type headache, 2. Chronik-tension type Headache, dan 3 Headache
of the tension type not fulfilling above criteria (International Headache Society,
1988).
Klasifikasi tension-type headache:
1. Infrequent episodic tension-type headache
Paling tidak terdapat 10 episode serangan dalam <1 hari/bulan (atau <12 hari/
tahun), nyeri kepala berakhir dalam 30 menit 7 hari bilateral, menekan
mengikat, tidak berdenyut, mild atau moderate, tidak ada mual/ muntah, mungkin
ada fonofobia/ fotofobia, sama sekali tidak ada hubungannya dengan penyakit
nyeri kepala lain.
2. Frequent episodic tension-type headache
Paling tidak terdapat 10 episode serangan dalam 1- 15 hari/bulan dalam waktu
paling tidak selama 3 bulan (atau 12 -180hari pertahunnya), nyeri kepala berakhir
dalam 30 menit- 7 hari, bilateral, menekan, mengikat, tidak berdenyut, mild or
moderate, tidak ada mual/ muntah, mungkin ada fonopobia/ fotopobia, sama
sekali tidak ada hubungannya dengan penyakit nyeri kepala lain.
3. Chronic tension-type headache
Nyeri kepala yang berasal dari ETTH yang timbul >15 hari/bulannya dalam
waktu > 3 bulan (atau >180 hari/tahun).
4. Probable tension-type headache
Dijumpai memenuhi kriteria TTH akan tetapi kurang satu kriteria untuk TTH
bercampur dengan salah satu kriteria probable migrane. Nyeri kepala
berlangsung >15 hari/bulan selama > 3 bulan (atau > 180 hari/tahun), nyeri
kepala berlangsung selama sekian jam atau terus menerus kontinyu, bilateral,
rasa menekan/mengikat, intensitas mild or moderate, tidak ada severe nausea
atau vomiting, mungkin ada fotopobia/ fonopobia, tidak ada hubungannya
dengan penyakit kepala lainnya, paling tidak masa 2 bulan terakhir.

C. Epidemiologi
Sekitar 93% laki-laki dan 99% perempuan pernah mengalami nyeri kepala. TTH dan
nyeri kepala servikogenik adalah dua tipe nyeri kepala yang paling sering dijumpai.
TTH adalah bentuk paling umum nyeri kepala primer yang mempengaruhi hingga
dua pertiga populasi. Sekitar 78% orang dewasa pernah mengalami TTH setidaknya
sekali dalam hidupnya.
TTH episodik adalah nyeri kepala primer yang paling umum terjadi, dengan
prevalensi 1-tahun sekitar 3874%. Rata-rata prevalensi TTH 11-93%. Satu studi
menyebutkan prevalensi TTH sebesar 87%. Prevalensi TTH di Korea sebesar 16,2%
sampai 30,8%,8,9 di Kanada sekitar 36%, di Jerman sebanyak 38,3%, di Brazil hanya
13%. Insiden di Denmark sebesar 14,2 per 1000 orang per tahun. Suatu survei
populasi di USA menemukan prevalensi tahunan TTH episodik sebesar 38,3% dan
TTH kronis sebesar 2,2%.
TTH dapat menyerang segala usia. Usia terbanyak adalah 25-30 tahun, namun
puncak prevalensi meningkat di usia 30-39 tahun. Sekitar 40% penderita TTH
memiliki riwayat keluarga dengan TTH, 25% penderita TTH juga menderita migren.
Prevalensi seumur hidup pada perempuan mencapai 88%, sedangkan pada laki-laki
hanya 69%. Rasio perempuan:laki-laki adalah 5:4. Onset usia penderita TTH adalah
dekade ke dua atau ke tiga kehidupan, antara 25 hingga 30 tahun. Meskipun jarang,
TTH dapat dialami setelah berusia 50-65 tahun.

D. Etiologi
Secara umum diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Organik, seperti: tumor serebral, meningitis, hidrosefalus, dan sifilis
b. Gangguan fungsional, misalnya: lelah, bekerja tak kenal waktu, anemia, gout,
ketidaknormalan endokrin, obesitas, intoksikasi, dan nyeri yang direfl eksikan.
Buruknya upaya kesehatan diri sendiri (poor self-related health), tidak mampu relaks
setelah bekerja, gangguan tidur, tidur beberapa jam setiap malam, dan usia muda
adalah faktor risiko TTH.
Pencetus TTH antara lain: kelaparan, dehidrasi, pekerjaan/ beban yang terlalu berat
(overexertion), perubahan pola tidur, caffeine withdrawal, dan fluktuasi hormonal
wanita. Stres dan konflik emosional adalah pemicu tersering TTH. Gangguan
emosional berimplikasi sebagai faktor risiko TTH, sedangkan ketegangan mental dan
stres adalah faktor-faktor tersering penyebab TTH. Asosiasi positif antara nyeri kepala
dan stres terbukti nyata pada penderita TTH.
Iskemi dan meningkatnya kontraksi otot-otot di kepala dan leher diduga penyebab
TTH, tetapi kadar laktat otot penderita TTH kronis normal selama berolahraga (static
muscle exercise). Aktivitas EMG (electromyography) menunjukkan peningkatan titik-
titik pemicu di otot wajah (myofascial trigger points). Riset terbaru membuktikan
peningkatan substansi endogen di otot trapezius penderita tipe frequent episodic TTH.
Juga ditemukan nitric oxide sebagai perantara (local mediator) TTH. Menghambat
produksi nitric oxide dengan agen investigatif (L-NMMA) mengurangi ketegangan
otot dan nyeri yang berkaitan dengan TTH.
Mekanisme myofascial perifer berperan penting pada TTH episodik, sedangkan pada
TTH kronis terjadi sensitisasi central nociceptive pathways dan inadequate
endogenous antinociceptive circuitry. Jadi mekanisme sentral berperan utama pada
TTH kronis. Sensitisasi jalur nyeri (pain pathways) di sistem saraf pusat karena
perpanjangan rangsang nosiseptif (prolonged nociceptive stimuli) dari jaringan-
jaringan miofasial perikranial tampaknya bertanggung-jawab untuk konversi TTH
episodik menjadi TTH kronis.

E. Karakteristik Stres
Pada tabel dibawah ternyata persoalan kesehatan yaitu sakit pada diri sendiri
menempati posisi yang cukup tinggi yang dapat mengakibatkan stress pada seseorang.
Pada penderita penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis termasuk kedalam
kesehatan pribadi didalam table life scale, sehingga sering merasa stress pada diri
mereka.
Tabel 2.1. Life Event Scale

Peristiwa Kehidupan Nilai

Luka atau sakit (diri sendiri) 53


Perkawinan 50
Dipecat dari perusahaan 47
Rukun kembali 45
Pensiun 45
Perubahan kesehatan anggota keluarga 44

Zuyina Lukluk, 2008


F. Patofisiologi
Pada penderita TTH didapati gejala yang menonjol yaitu nyeri tekan yang bertambah
pada palpasi jaringan miofascial perikranial. Impuls nosiseptif dari otot perikranial
yang menjalar ke kepala mengakibatkan timbulnya nyeri kepala dan nyeri yang
bertambah pada daerah otot maupun tendon tempat insersinya.
TTH adalah kondisi stress mental, non-physiological motor stress, dan miofasial
lokal yang melepaskan zat iritatif ataupun kombinasi dari ke tiganya yang menstimuli
perifer kemudian berlanjut mengaktivasi struktur persepsi supraspinal pain, kemudian
berlanjut lagi ke sentral modulasi yang masing-masing individu mempunyai sifat self
limiting yang berbeda-beda dalam hal intensitas nyeri kepalanya.
Pengukuran tekanan palpasi terhadap otot perikranial dilakukan dengan alat
palporneter (yang diketemukan oleh Atkins, 1992) sehingga dapat mendapatkan skor
nyeri tekan terhadap otot tersebut.
Langemark & Olesen tahun 1987 (yang dikutip oleh Bendtsen) telah menemukan
metode palpasi manual untuk penelitian nyeri kepala dengan cara palpasi secara cepat
bilateral dengan cara memutar jari ke 2 dan ke 3 ke otot yang diperiksa, nyeri tekan
yang terinduksi dinilai dengan skor Total Tenderness Scoring system. Yaitu suatu
sistem skor dengan 4 point penilaian kombinasi antara reaksibehaviour dengan reaksi
verbal dari penderita.
Pada penelitian Bendtsen tahun 1996 terhadap penderita chronic tension type
headache (yang dikutip oleh Bendtsen) ternyata otot yang mempunyai nilai Local
tenderness score tertinggi adalah otot Trapezeus, insersi otot leher dan otot
sternocleidomastoid. Nyeri tekan otot perikranial secara signifikan berkorelasi
dengan intensitas maupun frekwensi serangan tension type headache kronik. Belum
diketahui secara jelas apakah nyeri tekan otot tersebut mendahului atau sebab akibat
daripada nyeri kepala, atau nyeri kepala yang timbul dahulu baru timbul nyeri tekan
otot. Pada migren dapat juga terjadi nyeri tekan otot, akan tetapi tidak selalu
berkorelasi dengan intensitas maupun frekwensi serangan migren.
Nyeri miofascial adalah suatu nyeri pada otot bergaris termasuk juga struktur fascia
dan tendonnya. Dalam keadaan normal nyeri miofascial di mediasi oleh serabut kecil
bermyelin (Aoc) dan serabut tak bermyelin (C), sedangkan serabut tebal yang
bermyelin (A dan A) dalam keadaan normal mengantarkan sensasi yang ringan /
tidak merusak (inocuous). Pada rangsang noxious dan inocuous event, seperti
misalnya proses iskemik, stimuli mekanik, maka mediator kimiawi terangsang dan
timbul proses sensitisasi serabut A dan serabut C yang berperan menambah rasa
nyeri tekan pada tension type headache.
Pada zaman dekade sebelum ini dianggap bahwa kontraksi dari otot kepala dan leher
yang dapat menimbulkan iskemik otot sangatlah berperan penting dalam tension type
headache sehingga pada masa itu sering juga disebut muscle contraction headache.
Akan tetapi pada akhir-akhir ini pada beberapa penelitian yang menggunakan EMG
(elektromiografi) pada penderita tension type headache ternyata hanya menunjukkan
sedikit sekali terjadi aktifitas otot, yang tidak mengakibatkan iskemik otot, jika
meskipun terjadi kenaikan aktifitas otot maka akan terjadi pula adaptasi protektif
terhadap nyeri. Peninggian aktifitas otot itupun bisa juga terjadi tanpa adanya nyeri
kepala.
Nyeri myofascial dapat di dideteksi dengan EMG jarum pada miofascial trigger point
yang berukuran kecil beberapa milimeter saja (tidak terdapat pada semua otot)
Mediator kimiawi substansi endogen seperti serotonin (dilepas dari platelet),
bradikinin (dilepas dari belahan precursor plasma molekul kallin) dan Kalium (yang
dilepas dari sel otot), SP dan CGRP dari aferens otot berperan sebagai stimulant
sensitisasi terhadap nosiseptor otot skelet. Jadi dianggap yang lebih sahih pada saat
ini adalah peran miofascial terhadap timbulnya tension type headache.
Untuk jenis TTH episodik biasanya terjadi sensitisasi perifer terhadap nosiseptor,
sedang yang jenis kronik berlaku sensitisasi sentral. Proses kontraksi otot sefalik
secara involunter, berkurangnya supraspinal descending pain inhibitory activity, dan
hipersensitivitas supraspinal terhadap stimuli nosiseptif amat berperan terhadap
timbulnya nyeri pada Tension type Headache. Semua nilai ambang pressure pain
detection, thermal & electrical detection stimuli akan menurun di sefalik maupun
ekstrasefalik.
Stress dan depresi pada umumnya berperan sebagai faktor pencetus (87%),
exacerbasi maupun mempertahankan lamanya nyeri kepala. Prevalensi life time
depresi pada penduduk adalah sekitar 17%. Pada penderita depresi dijumpai adanya
defisit kadar serotonin dan noradrenalin di otaknya.
Pada suatu penelitian dengan PET Scan, ternyata membuktikan bahwa kecepatan
biosintesa serotonin pada pria jauh lebih cepat 52% dibandingkan dengan wanita.
Dengan bukti tersebut di asumsikan bahwa memang terbukti bahwa angka kejadian
depresi pada wanita lebih tinggi 2- 3 kali dari pria.
G. Diagnosis
Mengingat diagnosis nyeri kepala sebahagian besar didasarkan atas keluhan, maka
anamnesis memegang peranan penting. Dalam praktek sehari- hari, jenis nyeri kepala
yang paling sering adalah nyeri kepala tipe tegang atau sering disebut tension-type
headache (TTH). Dari anamnesis, biasanya gejala terjadinya TTH terjadi setiap hari
dan terjadi dalam 10 kali serangan dalam satu hari. Durasi atau lamanya TTH
tersebut dapat terjadi selama antara 30 menit sampai dengan 7 hari. Nyerinya dapat
bersifat unilateral atau bilateral, dan pada TTH tidak adanya pulsating pain serta
intensitas TTH biasanya bersifat ringan. Pada TTH pun terdapat adanya mual,
muntah dan kelaian visual seperti adanya fonofobia dan fotofobia (Shevel, 2006).
Pemeriksaan tambahan pada TTH adalah pemeriksaan umum seperti tekanan darah,
fungsi cirkulasi, fungsi ginjal, dan pemeriksaan lain seperti pemeriksaan neurologi
(pemeriksaan saraf cranial, dan intracranial particular), serta pemeriksaan lainnya,
seperti pemeriksaan mental status (Mumenthaler & Mattle, 2004).
Pemeriksaan lainnya seperti pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologi (foto
rontgen, CT Scan), Elektrofisiologik (EEG, EMG) (Ropper & Robert, 2005).
Skema 1 Patofisiologi TTH
Keterangan gambar: AMPAalpha-amino-3-hydroxyl-5-methyl-4-isoxazole-propionate;

COXcyclooxygenase; CTTH chronic tension-type headache; ETTHepisodic tension-type

headache; iNOSinducible nitric oxide synthase; NFB nuclear factor -light-chain; NK1

neurokinin-1; NMDAN-methyl-D-aspartate; PAGperiaqueductal gray; PGE2

prostaglandin E2; PkCprotein kinase C; RVMrostroventral medulla; TCC

trigeminocervical complex.
TTH episodik dapat berubah menjadi TTH kronis
a. Pada individu yang rentan secara genetis, stres kronis menyebabkan elevasi glutamat yang
persisten. Stimulasi reseptor NMDA mengaktivasi NFB, yang memicu transkripsi iNOS
dan COX-2, di antara enzim-enzim lainnya. Tingginya kadar nitric oxide menyebabkan
vasodilatasi struktur intrakranial, seperti sinus sagitalis superior, dan kerusakan nitrosative
memicu terjadinya nyeri dari beragam struktur lainnya seperti dura.
b. Nyeri kemudian ditransmisikan melalui serabut-serabut C dan neuron-neuron nociceptive
A menuju dorsal horn dan nukleus trigeminal di TCC (trigeminocervical complex.),
tempat mereka bersinap dengan second-order neurons.
c. Pada beragam sinap ini, terjadi konvergensi nosiseptif primer dan neuron-neuron
mekanoreseptor yang dapat direkrut melalui fasilitasi homosinaptik dan heterosinaptik
sebagai bagian dari plastisitas sinaptik yang memicu terjadinya sensitisasi sentral.
d. Pada tingkat molekuler, sinyal nyeri dari perifer menyebabkan pelepasan beragam
neuropeptida dan neurotransmiter (misalnya substansi P dan glutamat) yang mengaktivasi
reseptor-reseptor di membran postsynaptic, membangkitkan potensial-potensial aksi dan
berkulminasi pada plastisitas sinaptik serta menurunkan ambang nyeri (pain thresholds).
Sirkuit spinobulbospinal muncul dari RVM (rostroventral medulla) secara normal melalui
sinyal-sinyal fi ne-tunes pain yang bermula dari perifer, namun pada individu yang rentan,
disfungsi dapat memfasilitasi sinyal-sinyal nyeri, serta membiarkan terjadinya sensitisasi
sentral.
e. Pericranial tenderness berkembang seiring waktu oleh recruitment serabut-serabut C dan
mekanoreseptor A di sinap-sinap TCC, membiarkan perkembangan allodynia dan
hiperalgesia.
f. Intensitas, frekuensi, dan pericranial tenderness berkembang seiring waktu, berbagai
perubahan molekuler di pusat-pusat lebih tinggi seperti thalamus memicu terjadinya
sensitisasi sentral dari neuron-neuron tersier dan perubahan-perubahan selanjutnya pada
persepsi nyeri.

Proses ini dapat dilihat pada Skema 1


Konsentrasi platelet factor 4, beta-thromboglobulin, thromboxane B2, dan 11-
dehydrothromboxane B2 plasma meningkat signifikan di kelompok TTH episodik dibandingkan
dengan di kelompok TTH kronis dan kelompok kontrol (sehat).33 Pada penderita
TTHepisodik,peningkatankonsentrasisubstansi P jelas terlihat di platelet dan penurunan
konsentrasi beta-endorphin dijumpai di sel-sel mononuklear darah perifer.34 Peningkatan
konsentrasi metenkephalin dijumpai pada CSF (cairan serebrospinal) penderita TTH kronis, hal
ini mendukung hipotesis ketidakseimbangan mekanisme pronociceptive dan antinociceptive
pada TTH.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa TTH adalah proses multifaktorial yang melibatkan baik
faktor-faktor miofasial perifer dan komponen-komponen sistim saraf pusat

H. Manifestasi Klinis
TTH dirasakan di kedua sisi kepala sebagai nyeri tumpul yang menetap atau konstan, dengan
intensitas bervariasi, juga melibatkan nyeri leher. Nyeri kepala ini terkadang dideskripsikan
sebagai ikatan kuat di sekitar kepala. Nyeri kepala dengan intensitas ringansedang
(nonprohibitive) dan kepala terasa kencang. Kualitas nyerinya khas, yaitu: menekan (pressing),
mengikat (tightening), tidak berdenyut (non-pulsating). Rasa menekan, tidak enak, atau berat
dirasakan di kedua sisi kepala (bilateral), juga di leher, pelipis, dahi. Leher dapat terasa kaku.
TTH tidak dipengaruhi aktivitas fisik rutin. Dapat disertai anorexia, tanpa mual dan muntah.
Dapat disertai photophobia (sensasi nyeri/tidak nyaman di mata saat terpapar cahaya) atau
phonophobia (sensasi tak nyaman karena rangsang suara). TTH terjadi dalam waktu relatif
singkat, dengan durasi berubah-ubah (TTH episodik) atau terus-menerus (TTH kronis). Disebut
TTH episodik bila nyeri kepala berlangsung selama 30 menit hingga 7 hari, minimal 10 kali, dan
kurang dari 180 kali dalam setahun. Disebut TTH kronis bila nyeri kepala 15 hari dalam sebulan
(atau 180 hari dalam satu tahun), selama 6 bulan. Penderita TTH kronis sangat sensitif terhadap
rangsang.
Berdasarkan analisis multivariat karakteristik klinis, kriteria diagnostik TTH yang memiliki nilai
sensitivitas tinggi adalah tidak disertai muntah (99%), tidak disertai mual (96%), lokasi bilateral
(95%), tidak disertai fotofobia (94%). Sedangkan yang memiliki nilai spesifisitas tinggi adalah
intensitas ringan (93%), kualitas menekan atau mengikat (86%), tidak disertai fonofobia (63%),
kualitas tidak berdenyut (57%).
I. Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Anamnesis, pemeriksaan fisik umum dan pemeriksaan neurologis komprehensif adalah
kuncievaluasiklinisTTHdandapatmenyediakan petunjuk potensial terhadap penyebab penyakit
(organik, dsb) yang mendasari terjadinya TTH. Pada palpasi manual gerakan memutar kecil dan
tekanan kuat dengan jari ke dua dan ke tiga di daerah frontal, temporal, masseter, pterygoid,
sternocleidomastoid, splenius, dan otot-otot trapezius, dijumpai pericranial muscle tenderness,
dapat dibantu dengan palpometer. Pericranial tenderness dicatat dengan Total Tenderness Score.
Menurut referensi lain, prosedurnya sederhana, yaitu: delapan pasang otot dan insersi tendon
(yaitu: otot-otot masseter, temporal,frontal,sternocleidomastoid, trapezius, suboccipital,
processus coronoid dan mastoid) dipalpasi. Palpasi dilakukan dengan gerakan rotasi kecil jari
kedua dan ketiga selama 4-5 detik. Tenderness dinilai dengan empat poin (0,1,2, dan 3) di tiap
lokasi (local tenderness score); nilai dari kedua sisi kiri dan kanan dijumlah menjadi skor
tenderness total (maksimum skor 48 poin).
Penderita TTH diklasifikasikan sebagai terkait (associated) (skor tenderness total lebih besar
dari 8 poin) atau tidak terkait (not associated) (skor tenderness total kurang dari 8 poin) dengan
pericranial tenderness. Pada TTH juga dijumpai variasi TrPs, yaitu titik pencetus nyeri otot
(muscle trigger points). Baik TrPs aktif maupun laten dijumpai di otot-otot leher dan bahu
penderita TTH. TrPs berlokasi di otot-otot splenius capitis,splenius cervicis, semispinalis
cervicis, semispinalis capitis, levator scapulae, upper trapezius, atau suboccipital. TrPs di otot-
otot superior oblique, upper trapezius, temporalis, sub occipital, dan sternocleidomastoid secara
klinis relevan untuk diagnosis TTH episodik dan kronis.
Diagnostik penunjang TTH adalah pencitraan (neuroimaging) otak atau cervical spine, analisis
CSF, atau pemeriksaan serum dengan laju endap darah (erythrocyte sedimentation rate),
atauujifungsitiroid. Neuroimagingterutama direkomendasikan untuk: nyeri kepala dengan pola
atipikal, riwayat kejang, dijumpai tanda/gejala neurologis, penyakit simtomatis seperti: AIDS
(acquired immunodefi ciency syndrome), tumor, atau neurofi bromatosis. Pemeriksaan
funduskopi untuk papilloedema atau abnormalitas lainnya penting untuk evaluasi nyeri kepala
sekunder. Pengaruh nyeri kepala pada kehidupan penderita dapat diketahui dengan kuesioner
Headache Impact Test-6 (HIT-6). Pada individu dan masyarakat, TTH berdampak pada
penurunan produktivitas, ketidakhadiran dari sekolah dan pekerjaan, dan penggunaan jasa medis
(konsultasi/berobat ke dokter).
J. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan adalah reduksi frekuensi dan intensitas nyeri kepala (terutama TTH) dan
menyempurnakan respon terhadap terapi abortive. Terapi dapat dimulai lagi bila nyeri kepala
berulang. Masyarakat sering mengobati sendiri TTH dengan obat analgesik yang dijual bebas,
produk berkafein, pijat, atau terapi chiropractic.Terapi TTH episodik pada anak: parasetamol,
aspirin, dan kombinasi analgesik. Parasetamol aman untuk anak. Asam asetilsalisilat tidak
direkomendasikan pada anak berusia kurang dari 15 tahun, karena kewaspadaan terhadap
sindrom Reye. Pada dewasa, obat golongan anti-infl amasi non steroid efektif untuk terapi TTH
episodik. Hindari obat analgesik golongan opiat (misal: butorphanol). Pemakaian analgesik
berulang tanpa pengawasan dokter, terutama yang mengandung kafein atau butalbital, dapat
memicu rebound headaches, Beberapa obat yang terbukti efektif: ibuprofen (400 mg),
parasetamol (1000 mg), ketoprofen (25 mg). Ibuprofen lebih efektif daripada parasetamol.
Kafein dapat meningkatkan efek analgesik. Analgesik sederhana, nonsteroidal anti-infl
ammatory drugs (NSAIDs), dan agen kombinasi adalah yang paling umum direkomendasikan
(Tabel 1).
Suntikan botulinum toxin (Botox) diduga efektif untuk nyeri kepala primer, seperti: tension-type
headache, migren kronis, nyeri kepala harian kronis (chronic daily headache). Botulinum toxin
adalah sekelompok protein produksi bakteri Clostridium botulinum. Mekanisme kerjanya adalah
menghambat pelepasan asetilkolin di sambungan otot, menyebabkan kelumpuhan fl aksid. Botox
bermanfaat mengatasi kondisi di mana hiperaktivitas otot berperan penting. Riset tentang Botox
masih berlangsung.
Intervensi nonfarmakologis misalnya: latihan relaksasi, relaksasi progresif, terapi kognitif,
biofeedback training, cognitive-behavioural therapy, atau kombinasinya. Solusi lain adalah
modifi kasi perilaku dan gaya hidup. Misalnya: istirahat di tempat tenang atau ruangan gelap.
Peregangan leher dan otot bahu 20-30 menit, idealnya setiap pagi hari, selama minimal
seminggu. Hindari terlalu lama bekerja di depan komputer, beristirahat 15 menit setiap 1 jam
bekerja, berselang-seling, iringi dengan instrumen musik alam/klasik. Saat tidur, upayakan
dengan posisi benar, hindari suhu dingin. Bekerja, membaca, menonton TV dengan pencahayaan
yang tepat. Menuliskan pengalaman bahagia. Terapi tawa.berdoa.Pendekatan multidisiplin adalah
strategi efektif mengatasi TTH. Edukasi baik untuk anak dan dewasa, disertai intervensi
nonfarmakologis dan dukungan psikososial amat diperlukan.
Tabel. 1 Terapi Akut TTH
Level
Medikamentosa Dosis Rekomendasi
Parasetamol/asetaminofen 5001000 mg A
Aspirin 5001000 mg A
Ibuprofen 200800 mg A
Ketoprofen 2550 mg A
Naproxen 375550 mg A
Diclofenac 12,5100 mg A
Caffeine 65200 mg B
Keterangan: Level A: effective; Level B: probably effective

Tabel 2 Terapi Preventif Nonfarmakologis TTH


Level
Terapi Rekomendasi
EMG (electromyography) biofeedback A
Cognitive-behavioral therapy C
Pelatihan relaksasi C
Terapi fi sik C
Acupuncture C
Keterangan: Level A: effective; Level B: probably
effective; Level C: possibly effective

Skema 1 Putative pathophysiological targets of preventive therapies for TTH


Terapi non-farmakologik

1. Regulasi lifestyle

a. mengatur dan tidur yang cukup

b. makan terapi dan diet yang baik

c. mengetahui dan menghindari makanan yang dapat memicu nyeri kepala

berolahraga teratur (seperti aerobik)

2. Hindari Stres

a. Menghindari lingkungan sosial yang dapat menyebabkan stress

b. Meditasi

c. melakukan hobi, rekreasi

d. relaksasi otot (dengan latihan-latihan)

e. psikoterapi

3. Fisioterapi

a. panas, dingin, ultrasound, transcutaneous electrical nerve stimulation (tens)

b. Pijat dan traksi leher

c. peregangan otot-otot leher

4. Manipulasi osteopathic atau chiropractic

5. Terapi alternatif

a. Akupuntur

b. Acupressure

c. Therapeutic touch

d. Aromatherapy (contoh : peppermint, green apple)

salep topikal (contoh : salicylic acid, piroxicam [Feldene], ketoprofen [Orudis, Oruvail])
K. Pencegahan
Untuk profilaksis TTH kronis, dapat diberikan golongan antidepresan, misalnya: amitriptyline
(10-75 mg, 1-2 jam sebelum tidur untuk meminimalkan pening saat terbangun). Efek samping
amitriptyline adalah: mulut kering dan penglihatan kabur. Bila belum efektif diberikan
mirtazepine. Selengkapnya ada di tabel 3.
Penderita TTH kronis dianjurkan membatasi konsumsi analgesik bebas (tanpa resep dokter)
hingga 2 kali seminggu untuk mencegah berkembangnya sakit kepala harian kronis (chronic
daily headache). Penderita TTH kronis dianjurkan berhenti merokok. Buku harian nyeri kepala
(headache diary) sangat membantu dokter menilai frekuensi dan mencegah TTH bertambah
parah. Berpola hidup sehat, bekerja, berolahraga, dan beristirahat secara seimbang.

L. PROGNOSIS
Nyeri kepala tegang otot ini pada kondisi tertentu dapat menyebabkan nyeri yang menyakitkan,
tetapi tidak membahayakan. Nyeri ini dapat sembuh dengan perawatan ataupun dengan
menyelesaikan masalah yang menjadi latar belakangnya jika merupakan nyeri kepala tegang otot
yang timbul akibat pengaruh psikis. Nyeri kepala ini dapat sembuh dengan terapi obat berupa
analgetik. Nyeri kepala tipe tegang ini biasanya mudah diobati sendiri. Dengan pengobatan,
relaksasi, perubahan pola hidup, dan terapi lain, lebih dari 90% pasien sembuh dengan baik.
Tabel 3 Terapi Preventif TTH
Level
Medikamentosa Dosis Harian Rekomendasi

Amitriptyline 3075 mg A

Mirtazapine 30 mg B

Venlafaxine 150 mg B

Clomipramine 75150 mg B

Keterangan: Level A: effective; Level B; probably effective; Level C: possibly effective


M. Diagnosa Keperawatan
Berikut ini adalah diagnosa keperawatan yang sering muncul pada migrain
1. Nyeri Akut
Definisi : Pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang muncul
akibat kerusakan jaringan yang aktual atau potensial atau digambarkan dalam hal
kerusakan sedemikian rupa (International Association for the Study of Pain), awitan yang
tiba-tiba atau lambat dari intensitas ringan hingga berat dengan akhir yang dapat
diantisipasi atau diprediksi dan berlangsung < 6 bulan.
Batasan Karakteristik :
a. Perubahan selera makan
b. Perubahan tekanan darah
c. Perubahan frekuensi jantung
d. Perubahan frekuensi pernapasan
e. Laporan isyarat
f. Diafroesis
g. Perilaku distraksi (mis, berjalan modar mandir, mencari orang lain dan/atau aktivitas
lain, aktivitas yang berulang)
h. Mengekspresikan perilaku (mis, gelisah, merengek, menangis, waspada, iritabilitas,
mendesah)
i. Masker wajah (mis, mata kurang bercahaya, tampak kacau, gerakan mata berpencar
atau tetap pada satu fokus, meringis)
j. Sikap melindungi area nyeri
k. Fokus menyempit (mis,gangguan persepsi nyeri, hambatan proses berpikir,
penurunan interaksi dengan orang dan lingkungan)
l. Indikasi nyeri yang dapat diamati
m. Perubahan posisi untuk menghindari nyeri
n. Sikap tubuh melindungi
o. Dilatasi pupil
p. Melaporkan nyeri secara verbal
q. Fokus pada diri sendiri
r. Gangguan tidur
Faktor yang Berhubungan :
Agens cedera (mis.,biologis, zat kimia, fisik, psikologis)

2. Gangguan Pola Tidur


Definisi : Gangguan kualitas dan kuantitas waktu tidur akibat faktor eksternal.
Batasan Karakteristik
a. Perubahan pola tidur normal
b. Penurunan kemampuan berfungsi
c. Ketidakpuasan tidur
d. Menyatakan sering terjaga
e. Menyatakan tidak mengalami kesulitan tidur
f. Menyatakan tidak merasa cukup istirahat.
Faktor yang Berhubungan
a. Kelembapan lingkungan sekitar
b. Suhu lingkungan sekitar
c. Tanggung jawab memberi asuhan
d. Perubahan pajanan terhadap cahaya-gelap
e. Gangguan (mis., untuk tujuan terapeutik, pemantauan, pemeriksaan laboratorium)
f. Kurang control tidur
g. Kurang privasi
h. Pencahayaan
i. Bising
j. Bau gas
k. Restrain fisik
l. Teman tidur
m. Tidak familier dengan perabot tidur.
N. Intervensi Keperawatan

No. Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi (NIC) Rasional


Dx (NOC)
1 Setelah diberikan asuhan Pain Management 1. Untuk
keperawatan selama x 1. Lakukan pengkajian nyeri mengetahui
diharapkan nyeri akut secara komprehensif klasifikasi dan
berkurang dengan kriteria hasil: termasuk lokasi, karakteristik
a. Pain level (level nyeri): karakteristik, durasi, nyeri yang
- Klien tidak melaporkan frekuensi, kualitas dan dirasakan pasien
adanya nyeri faktor presipitasi dan membantu
- Klien tidak merintih 2. Observasi reaksi nonverbal memilih
ataupun menangis dari ketidaknyamanan intervensi yang
- Klien tidak menunjukkan 3. Berikan terapi relaksasi tepat
ekspresi wajah terhadap napas dalam 2. Untuk mengkaji
nyeri 4. Berikan terapi musik, skala nyeri
- Klien tidak tampak akupressure, dan massage pasien
berkeringat dingin 5. Berikan kesempatan 3. Mengurangi
1 2istirahat untuk pasien kecemasan yang
b. Pain control (kontrol 6. Jika nyeri masih terasa, memburuk
nyeri): anjurkan untuk persepsi nyeri
- Klien dapat mengontrol mengonsumsi obat analgetik 4. Untuk
nyerinya dengan bila perlu. mengurangi
menggunakan teknik sakit kepala
manajemen nyeri non karena ganguan
farmakologis vaskuler dengan
- Klien melaporkan nyeri mengaktifkan
terkontrol energy-energi
yang terdapat di
beberapa titik
meridian tubuh.
5. Menurunkan
stimulasi yang
berlebihan yang
dpt mengurangi
sakit kepala.
6. Membantu
mengurangi
nyeri dengan
cepat
2 Setelah diberikan asuhan 1. Kaji masalah gangguan 1. Mengetahui
keperawatan selama x tidur batasan
diharapkan pasien dapat tidur 2. Berikan lingkungan yang gangguan tidur
dengan nyenyak dengan kriteria nyaman. 2. Pasien dapat
hasil : 3. Berikan terapi massase. beirahat dengan
Rest : 4. Berikan terapi relaksasi nyaman.
a. Jumlah istirahat cukup (6-8 napas dalam 3. Melancarkan
jam/hari) pembuluh darah
b. Energi pulih setelah dan
beristirahat meningkatkan
c. Nampak beristirahat kenyamanan
d. Tidur selama malam hari pasien
secara konsisten 4. Untuk
e. Terbangun di waktu yang meminimalkan
tepat kecemasan.

O. Implementasi Keperawatan
Implementasi dilakukan sesuai dengan rencanca keperawatan yang telah disusun. Selama
implementasi perhatikan respon klien dan dokumentasikan.
P. Evaluasi
Evaluasi dilakukan untuk mengetahui apakah NOC yang telah kita rencanakan telah tercapai
atau tidak. Evaluasi dilakukan dengan SOAP.
Daftar Pustaka
Adult Health Advisor. Tension Headache. University of Michigan Health System. McKesson
Corporation. (Online) 2005. Available from: http://www.med umich edu (Accessed: 16
desember 2016)
Binder MD, Hirokawa N, Windhorst U (Eds.). Encyclopedia of Neuroscience. Springer-Verlag
Berlin Heidelberg. 2009:4052.
Crystal SC, Robbins MS. Epidemiology of tension-type headache. Curr Pain Headache Rep.
2010;14:44954.
Edmeads J, Findlay H, Tugwell P, Pryse-Phillips W, Nelson RF, Murray TJ. Impact of migraine
and tension-type headache on life-style, consulting behaviour, and medication use: a
Canadian population survey. Can J Neurol Sci 1993;20:131-7.
Gbel H, Petersen-Braun M, Soyka D. The epidemiology of headache in Germany: a
nationwide survey of a representative sample on the basis of the headache classifi cation of
the International Headache Society. Cephalalgia 1994;14:97-106.
Headache Classifi cation Subcommittee of the International Headache Society: The
International Classifi cation of Headache Disorders, 2nd edn. Cephalalgia 2004;24(Supp
1):1150.
Kim BK, Chu MK, Lee TG, Kim JM, Chung CS, Lee KS. Prevalence and Impact of Migraine
and Tension-Type Headache in Korea. J Clin Neurol 2012;8:204-11.
Lyngberg AC, Rasmussen BK, Jrgensen T, Jensen R: Has the prevalence of migraine and
tension-type headache changed over a 12-year period? A Danish population survey. Eur J
Epidemiol 2005;20:2439.
Mueller L. Tension-type, The Forgotten Headache How to Recognize This Common but
Undertreated Condition. Postgraduate Medicine, Vol. III No. 4. (Online) 2002. Available
from: http://www.postgradmed.com/issues/2002/04_02/mueller.htm (Accessed: 16
Desember 2016)
Ravishankar K, Chakravarty A, Chowdhury D, Shukla R, Singh S. Guidelines on the diagnosis
and the current management of headache and related disorders. Ann Indian Acad Neurol.
2011 July;14(Suppl1):S40S59.
Russell MB. Genetics of tension-type headache. J Headache Pain 2007;8:71-6.
Rasmussen BK, Jensen R, Schroll M, Olesen J. Epidemiology of headache in a general
population-a prevalence study. J Clin Epidemiol 1991;44:114757.
Roh JK, Kim JS, Ahn YO. Epidemiologic and clinical characteristics of migraine and tension-
type headache in Korea. Headache 1998;38: 356-65.
Schwartz BS, Stewart WF, Simon D, Lipton RB. Epidemiology of tension-type headache.
JAMA 1998;279(5):381-3.
Stovner LJ. Zwart JA. Hagen K. Terwindt GM. Pascual J. Epidemiology of headache in Europe.
Eur J Neural 2006; 13:333-45.
Rasmussen BK. Epidemiology of headache. Cephalalgia 2001;21:774-7.
World Health Organization. Headache Disorder. (Online) 2004. Available from:
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs277/en/ (Accessed: 16 Desember 2016)

You might also like