You are on page 1of 310

Tugas Paper I

Kondisi Maritim Indonesia, Kondisi Perdagangan Nasional, Kondisi Pelabuhan di


Indoneisa dan Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia

Rahmat Wijanarko 04211440000013


Jurusan Teknik Sistem Perkapalan
Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Kampus ITS Keputih, Sukolilo, Surabaya 60111

1. Pendahuluan
Terjadinya perubahan tantangan perdagangan global ditandai dengan perubahan
arah emerging economy market sejak tahun 1970, 1990 dan menjadi semakin jelas memasuki
tahun 2010, sehingga menyebabkan peran Indonesia dalam konteks perdagangan global
dunia menjadi semakin penting. Inter regional trade mendominasi 12% dari PDB dunia
dalam kurun 1980-2009, didukung dengan penurunan hambatan tarif dan non-tarif serta
penurunan biaya transportasi dan komunikasi. Dalam bidang transportasi terjadi perbaikan
kapasitas sarana dan prasarana, peningkatan kecepatan serta space shrinking technologies,
begitu juga dalam kancah maritim, terjadi peningkatan transaksi perdagangan domestik
maupun internasional di Indonesia setelah penetapan azas cabotage tahun 2005, meskipun
belum dirasakan peningkatan pelayanan prasarana secara signifikan khususnya di wilayah
yang belum berkembang industri dan perdagangannya.

Keadaan geografis Indonesia sebagai negara kepulauan dengan jumlah pulau


terbanyak yaitu 18.110 pulau, juga sebagai negara yang memiliki wilayah laut mencapai dua
pertiga dari luas wilayahnya, serta negara kedua terpanjang di dunia dengan pantai sepanjang
95.181 KM1, sangat menguntungkan. Diperkirakan dari sektor laut saja Indonesia sudah bisa
memberikan lapangan kerja bagi 180 juta penduduk.

Dengan besarnya potensi Indonesia tersebut bukan hal yang tidak mungkin
Indonesia menjadi Poros Maritim Dunia. Indonesia Poros Maritim Dunia merupakan salah
satu visi yang disampaikan oleh Presiden Indonesia saat ini yaitu Joko Widodo. Dengan
dicanangkannya visi tersebut seakan-akan meberi angin segar untuk kebangkitan
kemaritiman di Indonesia. Hal yang sangat menarik memang jika berbicara tentang
kemaritiman di Indonesia. Hal tersebut dikarenakan history atau sejarah pada zaman dahulu,
dimana dahulu seitkali tepatnya ketika zaman kerajaan, dimana 2 kerajaan besar di Nusantara
yaitu Sriwijaya dan Majapahit berhasil menjadi kerajaan di Nusantara yang mampu
menguasai kemaritiman dunia. Hal tersebut pun terus berlanjut ke kerajaan-kerajaan lain,
dimana dahulu banyak sekali kerajaan-kerajaan di Nusantara yang mampu menguasai
perdagangan dunia, melalui kemaritiman. Namun, sejarah tersebut secara perlahan
terlupakan, dimana pola pikir Indonesia Negara Maritim, secara cepat berubah menjadi
Indonesia Negara Agraris. Dan sejak saat itu pun kemaritiman di Indonesia pun seakan
dilupakan, dan segala macam pembangunan semua terfokus ke daratan. Namun, ketika
Presiden Joko Widodo mencoba mencanangkan kembali Indonesia Poros Maritim Dunia,
dunia kemaritiman Indonesia pun seakan-akan kembali dari tidurnya. Sekarang
pembangunan di sektor maritim menjadi tidak dilupakan lagi.

Secara definisi Maritim menurut L.P. Hildebrand dan J.-U. Schrder-Hinrichs


(2014), Maritim merupakan pendiskripsian dari kapal, kegiatan perkapalan, pembuatan
kapal dan kegiatan mereka yang terkait. Maritim juga mengacu pada kegiatan perkapalan
yang berhubungan dengan sipil atau pun semua yang terhubung oleh lautan dan atau semua
yang terkait laut. Arti kata maritim sendiri dari KBBI adalah Berkenaan dengan laut;
Berhubungan dengan pelayaran dan perdagangan di laut. Dapat didefiniskan maritim adalah
seluruh kegiatan yang berkaitan dengan kelautan.

2. Kondisi Maritim Indonesia


Dalam menjelaskan kondisi kemaritiman di Indonesia tentu perlu di tilik dari
beberapa factor sehingga nantinya dapat di tarik kesimpulan yang jelas mengenai kondisi
terkini dan kondisi ideal yang diharapkan.

2.1 Konsep Wilayah Depan & Wilayah Dalam, dan Jaringan Sistem Logistik Nasional
Terbukanya akses regional melalui implementasi konsep tol laut dapat memberikan
peluang industri kargo/logistik nasional untuk berperan dalam distribusi internasional,
dimana saat ini 40% melalui wilayah Indonesia. Untuk menjadi pemain di negeri sendiri
serta mendukung asas cabotage serta beyond cabotage, maka saat ini Pemerintah telah
menetapkan dua pelabuhan yang berada di wilayah depan sebagai hub-internasional, yaitu
pelabuhan Kuala Tanjung dan pelabuhan Bitung. Dengan posisi pelabuhan hub internasional
di wilayah depan maka kapal yang melakukan ekspor/impor dengan Indonesia akan berlabuh
di wilayah depan. Untuk melanjutkan distribusi logistik ke wilayah dalam akan
menggunakan kapal berbendera Indonesia/lokal. Konsep tersebut tidak hanya akan
meminimalisir pergerakan kapal dagang internasional (saat ini masih didominasi kapal
berbendera asing) di wilayah dalam Indonesia, namun juga meminimalisir penetrasi produk
asing hingga wilayah dalam Indonesia.

Gambar 1. Konsep Wilayah Depan dan Wilayah Dalam


Gambar 2. Jaringan Sistem Logistik Nasional

2.2 Roadmap Pembangunan Kelautan Dan Perikanan 2015-2019

Berdasarkan roadmap pembangunan kelautan dan perikanan 2015-2019 yang


telah disusun Kadin, strategi yang dapat dilakukan untuk menjawab isu dan permasalahan
tersebut adalah;
1. Penguatan peran masyarakat (dunia usaha dan masyarakat) dan negara dalam
peningkatan nilai tambah produk kelautan dan perikanan.
2. Penguatan sumber daya, logistik, transportasi laut, dan teknologi terhadap semua
subsistem kelautan dan perikanan. Ketiga, penguatan regulasi, koordinasi, dan
eksekusi pembangunan kelautan dan perikanan untuk menunjang daya saing
pelaku usaha perikanan dan kelautan Indonesia menghadapi pasar bebas.

Sasaran yang perlu dicapai dalam periode 2015-2019 adalah;


1. Pertama, pertumbuhan PDB perikanan 7 persen per tahun. Berdasarkan Data
Pendapatan Domestik Bruto Harga Konstan 2000, terlihat pada periode 2005-
2013, pertumbuhan ekonomi perikanan dalam periode 2005-2013 berkisar antara
5,07-6,96 persen. Berdasarkan data Nota Keuangan dan APBN 2014, terlihat
pertumbuhan ekonomi nasional dalam periode 2004-2008 rata-rata tumbuh 5,9
persen per tahun. Dengan demikian, terlihat sektor perikanan memiliki
pertumbuhan di atas pertumbuhan ekonomi nasional. Berdasarkan hal itulah,
Kadin memandang pertumbuhan ekonomi perikanan dalam periode 2015-2019
dapat mencapai di atas 7 persen per tahun.
2. Kedua, peningkatan produksi perikanan budidaya di laut dan perairan umum 24
persen pada 2019. Dalam periode 2000-2012 pertumbuhan produksi perikanan
mencapai 9,34 persen per tahun. Dalam periode tersebut, pertumbuhan perikanan
budi daya tercatat mencapai 20,59 persen per tahun, dan perikanan tangkap hanya
mencapai 2,93 persen per tahun. Total produksi perikanan pada 2000 mencapai
5,12 juta ton, terdiri atas 4,12 juta ton perikanan tangkap dan 882,99 ton
perikanan budi daya. Namun, pada 2012 produksi perikanan meningkat tajam
menjadi 15,42 juta ton per tahun, yang terdiri atas 5,822 juta ton produksi
perikanan tangkap dan 9,60 juta ton produksi perikanan budi daya.
3. Ketiga, produksi perikanan tangkap 3 persen per tahun. Produksi perikanan
tangkap dalam periode 2015-2019 belum dapat dikembangkan lebh jauh lagi. Hal
ini karena produksi ikan tangkap sejak 2010 (5,4 juta ton per tahun) sudah berada
di atas jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB), yaitu 5,22 juta ton per tahun.
Hal ini sesuai Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor
KEP.45/MEN/2011 tentang Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan di Wilayah
Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
4. Keempat, Produksi rumput laut 42 persen pada 2019. Rumput laut merupakan
produksi unggulan perikanan budi daya. Kontribusi produksi rumput laut
terhadap total produksi periknan budi daya pada 2012 mencapai 67,87 persen,
yang terdiri atas jenis Eucheuma (59,78 persen) dan Gracilaria (8,09 persen).
Berdasarkan hal tersebut, komoditas rumput laut sangat potensial untuk terus
dikembangkan.
5. Kelima, peningkatan produksi ikan budi daya hias 16 persen per tahun. Produksi
ikan hias Indonesia selama 2009-2013 mengalami pertumbuhan rata-rata 16,85
persen per tahun. Produksi ikan hias pada 2009 mencapai 566,34 juta ekor dan
pada 2013 meningkat tajam menjadi 1,04 miliar ekor. Peningkatan produksi ikan
hias tersebut hendaknya terus dijaga dan lebih dioptimalkan guna mendukung
peningkatan perdagangan ikan hias Indonesia.
6. Keenam, pengembangan dan pembinaan promosi dan kerja sama hasil perikanan
dalam negeri.
7. Ketujuh, Pengembangan pengelolaan pulau-pulau kecil untuk kegiatan ekonomi,
seperti wisata bahari.
8. Kedelapan, Utilitas Unit Pengolahan Ikan (UPI) (persen).
9. Kesembilan, Wilayah distribusi bahan bakar minyak untuk nelayan dan pembudi
daya ikan (persen).
10. Kesepuluh, Wilayah perairan Indonesia bebas IUU Fishing dan kegiatan yang
merusak sumber daya (persen). Kesebelas, peningkatan kawasan konservasi laut
nasional. Kedua belas, peningkatan kapasitas SDM kelautan dan perikanan.
Ketiga belas, peningkatan IPTEK kelautan dan perikanan dan diseminasi
teknologi. Keempat belas, peningkatan tata kelola pembangunan kelautan dan
perikanan nasional.

2.3 Kondisi Perikanan Indonesia Kini

. Jika dilihat kondisi geografis, data empirik tentang luas wilayah laut Indonesia
adalah 64,97% dari total wilayah Indonesia, yang jika diuraikan adalah : (a) Luas Lautan
= 3.544.743,9 km (UNCLOS 1982), (b) Luas Laut Teritorial = 284.210,90 km, (c)
Luas Zona Ekonomi Ekslusif = 2.981.211,00 km, dan (d) Luas Laut 12 Mil =
279.322,00 km, inilah data yang menunjukkan betapa luasnya laut Indonesia Namun,
populasi nelayan yang ada di seluruh wilayah Indonesia sangatlah tidak sebanding
dengan luasnya lautan Negara, hal ini tidak mengherankan karena dua per tiga wilayah
I.ndonesia adalah lautan yang memiliki potensi perikanan terbesar di dunia. Secara
keseluruhan jumlah nelayan di Indonesia diperkirakan sebanyak 2,17 juta (hanya 0,87
persen dari jumlah tenaga kerja Indonesia). Diantaranya ada sekitar 700.000 lebih
nelayan yang berstatus bukan sebagai kepala rumah tangga. Sebagian besar nelayan
tinggal tersebar di 3.216 desa yang terkategori sebagai desa nelayan (yaitu area yang
mayoritas penduduknya berprofesi sebagai nelayan). Provinsi dengan jumlah nelayan
paling banyak di Indonesia adalah Provinsi Jawa Timur (mencapai lebih dari 334.000
nelayan), diikuti Jawa Tengah (lebih dari 203.000 nelayan) dan Jawa Barat (sekitar
183.000 nelayan). Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, dan Aceh berturut-turut menjadi
provinsi dengan jumlah nelayan terbanyak ke-4, ke-5, dan ke-6 di Indonesia. Jumlah
nelayan paling sedikit ditemui di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Maluku
Utara.

Memahami angka tersebut menunjukkan bahwa luas lautan Indonesia tidaklah


sebanding denganjumlah nelayan yang ada saat ini. Dan bahkan, masih banyak
masalah yang tidak semua nelayan memahami seperti teknik penangkapan modern yang
efektif dan efisien serta tata cara penanganan ikan pasca penangkapan. Nelayan
tidak paham bahwa penanganan ikan segar merupakan salah satu mata rantai terpenting
di dunia perikanan. Kecepatan pembusukan ikan setelah penangkapan sangat
dipengaruhi oleh teknik penangkapan, teknik penanganan, dan penyimpanan di atas
kapal.

Menurut survei BPS (Badan Pusat Statistik) hasil sensus 2003-2013, jumlah nelayan
tradisional turun dari 1,6 juta menjadi 864 ribu rumah tangga. Sementara nelayan
budidaya justru naik, dari 985 ribu menjadi 1,2 juta rumah tangga. Kondisi eksisting
diatas diperkuat dengan pernyataan Presiden Republik Indonesia dalam rapat terbatas
membahas pengembangan potensi ekonomi Kepulauan Natuna di kantor Presiden di
Jakarta, Rabu, 29 Juni 2016: Perikanan di Natuna hanya 8,9 persen dari potensi yang
kita miliki. Ini perlu dipercepat lagi sehingga bisa mendatangkan manfaat bagi kita,

Ketika mata pencaharian sebagai nelayan tidak lagi menguntungkannya maka sudah
pasti tidak akan ada lagi masyarakat yang mau berprofesi sebagai nelayan di kemudian
hari. Inilah mungkin satu faktor yang menjadiobstacle bagi mereka yang berprofesi atau
yang ingin berprofesi sebagai nelayan, yaitu antara lain : (1). Rendahnya supply dan
demand yang terjadi saat ini, (2) tidak memadainya peralatan tangkap sehingga
tidak mampu bersaing dengan nelayan asing yang memakai peralatan tangkap lebih
modern, (3) sumberdaya manusia yang memiliki kemampuan pemanfaatan Iptek dan
pemahaman tentang inovasi yang rendah, sampai dengan dikotomi eksplorasi yang
hanya berpihak di daratan saja merupakan sekelumit masalah umum yang dialami oleh
nelayan Indonesia. Fakta yang sangat memprihatinkan adalah catatan tentang rendahnya
kemampuan nelayan sehingga hasil hasil tangkap perikanan mengalami penurunan
drastis.

Jumlah nelayan tradisional menurut survei BPS hasil sensus 2003-2013 dimana
jumlah nelayan tradisional turun dari 1,6 juta menjadi 864 ribu. Dari data tersebut
jumlah nelayan usia tua lebih banyak dibandingkan dengan usia muda sehingga data ini
memberikan fakta bahwa tidak adanya lagi minat generasi muda untuk menjadi nelayan.
Didepan mata persoalan nelayan semakin memprihatinkan ketika banyak anak muda
yang kemudian tidak ingin lagi menjadi nelayan dan lebih memilih menjadi tenaga
buruh dikota-kota besar, terlebih lagi persoalan nelayan belum mendapat perhatian dan
keberpihakan kebijakan pemerintah yang terjadi adalah : (1) semakin berkurangnya
SDM yang produktif, (2) tidak tersedianya jaminan akses modal, (3) tidak tersedianya
jaminan akses pasar, (4) sarana infrastuktur yang tidak memadai, dan (5) tidak tersedia
teknologi yang memadai yang Jika hal ini terus terjadi maka akan menjadi bencana atas
ketersedian pangan.

2.4 Pariwisata Bahari


2.4.1 Kondisi Pariwisata Bahari Indonesia
kinerja wisata bahari Indonesia belum optimal. Meskipun jumlah kunjungan
wisatawan (turis) dan perolehan devisa pariwisata bahari terus meningkat, namun
pencapaian hasil pembangunan (kinerja) pariwisata bahari Indonesia masih jauh dari
optimal. Kinerja pariwisata bahari Indonesia jauh lebih rendah ketimbang negara-negara
tetangga dengan potensi yang lebih kecil, seperti Singapura, Malaysia, Thailand, dan
Australia. Pekerja dan masyarakat di lokasi pariwisata bahari pun sebagian besar belum
sejahtera. Sementara, ekosistem pesisir dan laut yang menjadi obyek pariwisata bahari
mulai banyak yang rusak. Kondisi tersebut disebabkan masih banyaknya permasalahan
yang dihadapi dalam pengembangan dan pengelolaan wisata bahari, antara lain :
1. Pencapaian pembangunan pariwisata bahari Indonesia secara umum masih
sangat rendah (15%). Padahal, di Malaysia pariwisata bahari mampu
menyumbang 40 % terhadap sektor pariwisata.
2. Rendahnya aksesibilitas ke lokasi (destinasi).
3. Jumlah dan variasi obyek wisata (attractions) terbatas, kemasan dan
perawatannya kurang menarik dan inovatif.
4. Buruknya infrastruktur dan sarana di lokasi wisata.
5. Keamanan, kenyamanan, dan ketenteraman di lokasi wisata umumnya masih
kurang.
6. Pembangunan wilayah pariwisata bahari kurang mengindahkan daya dukung
dan kualitas lingkungan, sehingga daya tariknya atau kualitasnya (pantai,
terumbu karang, mangroves, dan lainnya) menurun, mengakibatkan pariwisata
bahari kurang berdaya saing dan tidak berkelanjutan (unsustainable).
7. Masyarakat lokal dan SDM pengelola umumnya kurang welcome terhadap
wisatawan, khususnya wisatawan mancanegara.
8. Buruknya promosi dan marketing tentang pariwisata bahari, baik di dalam
negeri maupun di tingkat global.
9. Terbatasnya anggaran pemerintah untuk pembangunan pariwisata.
10. Lemahnya koordinasi dan sinkronisasi antar instansi pemerintah (horizontal
dan vertikal); dan antara pemerintah, pengusaha (swasta), dan masyarakat.
11. Fungsi intermediasi perbankan kepada pariwisata bahari masih sangat rendah:
bunga tinggi dan persyaratan pinjam rumit.
12. Kebijakan politik-ekonomi (seperti moneter, fiskal, visa, pajak dan retribusi,
keamanan berusaha, OTODA, dan kosistensi kebijakan pemerintah) belum
begitu kondusif bagi tumbuh-kembangnya pariwisata bahari.

2.4.2 Potensi Pariwisata Bahari Indonesia


Menurut undang-undang No 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan : Wisata
Bahari atau Tirta adalah usaha yang menyelenggarakan wisata dan olahraga air,
termasuk penyediaan sarana dan prasarana serta jasa lainnya yang dikelola
secara komersial di perairan laut, pantai, sungai, danau, dan waduk. Dengan 17.504
pulau, 95.181 km garis pantai, pantai dan laut yang indah, keanekaragaman hayati laut
tertinggi di dunia, Indonesia memiliki potensi pariwisata bahari terbesar di dunia (Mann,
1995; Allen, 2002).

Luas ekosistem terumbu karang di Indonesia mencapai 85.707 km2 (18% dari total
luas terumbu karang di dunia), 10 ekosistem terumbu karang terindah dan terbaik di
dunia, 6 berada di Indonesia meliputi Raja Ampat, Wakatobi, Taka Bone Rate, Bunaken,
Karimun Jawa dan PulauWeh). Komunitas mangrove terluas di dunia, yaitu 4,25 juta ha
atau 27% dari luas hutan mangrove dunia (15,9 juta ha ) dan 236 jenis ikan hias terdapat
di perairan Indonesia.
Penyebaran Destinasi Surfing Indonesia antara lain terdapat di daerah:
1. Sumatera meliputi Nias, Bawa, P. Ase, P. Sorake, P. Mentawai
2. Jawa meliputi P. Panaitan, P. Deli, Baya, pelabuhan Ratu, TG. Genteng,
Tanjung Kuncur
3. Bali meliputi Madewi, Balian, Canggu, Padma, Kuta, Balangan, Uluwatu,
Nyangnyang, Nusa Dua, Tandjung Sanur, Padang Galak, Kateweel, Lebih,
Nusa Lembongan, Padang Bai
4. Nusa Tenggara meliputi P. Safari, Bangko-Bangko, Belongas, Selongas, Selong
Belanak, Ayan, Grupuk, Gili Inus, Ekas, Labuhan Jahi, Senggigi, Gili
(Trawangan dan Meno), Silung Belanak, Pasona.

Selain memiliki penyebaran destinasi surfing, Indonesia juga memiliki destinasi Diving
yang terdapat di:
1. Sumatera meliputi Bintan, Sabang
2. Jawa meliputi Ujung Kulon, Krakatau, P. Seribu
3. Bali meliputi Menjangan, Tulamben, Cemeluk, Candi Dasa, Padang Bai, Nusa
Dua, Nusa Penda, Sanur, Pemuteran
4. Sulawesi meliputi Manado Tua, Bunaken, Montehage, Bitung, Sangihe, Talaud,
Ujung Pandang, Tukang Besi (Wakatobi), P. Togian, Sangalaki, Kakaban, P.
Siau
5. Maluku meliputi Ambon, Banda, Pindito
6. Irian meliputi Ayu, Asia, Mapia, Padaido, Sorong, Manokwari, Cendrawasih,
Waigeo-Batanta
7. Nusa Tenggara meliputi Gili (Trawangan, Meno, Air), Komodo, Lembata,
Kupang, Roti, Maumere, Alor.

Begitu juga dengan penyebaran destinasi fishing di Indonesia Tersebar Mulai Dari
Nanggroe Aceh Darussalam (Pulau Weh), Hingga Sulawesi Selatan (Kepulauan
Takabonerate). Yang Tak Kalah Pentingnya, Ialah Penyebaran Destinasi Kapal Pesiar
Indonesia meliputi Sumetera Utara (Belawan), Sumatera Barat (Teluk Bayur), Jawa Tengah
(Tanjung Emas), Bali (Benoa, Padang Bai), Sulawesi Utara (Bitung), Sulawesi Selatan (Pare-
Pare, Makassar), Nusa Tenggara Timur (Komodo, Kupang, Riung, Larantuka) hingga Papua
(Biak, Jayapura).

Dengan potensi dan beragam wisata bahari yang dapat dikembangkan di Indonesia,
ditaksirkan mampu menghasilkan nilai ekonomi mencapai 20 Miliar dolar AS setiap
tahunnya (Rokhmin Dahuri Institute, 2015).

2.4.3 Tantangan Dan Permasalahan Pembangunan Pariwisata Bahari di Indonesia


Disamping memiliki potensi pengembangan yang luar biasa untuk menghasilkan
pundi-pundi rupiah, terdapat tantangan dan permasalahan yang harus diatasi oleh
seluruh stakeholders yang terlibat lansung maupun tidak langsung dalam pengelolaan
dan pengembangan pariwisata bahari, diantaranya ialah
1. Aksesbilitas ke lokasi wisata bahari (pulau kecil, pesisir, dan laut) umumnya masih
rendah dan sulit,
2. Infrastruktur dan sarana pembangunan di lokasi wisata bahari umumnya buruk
3. Promosi dan pemasaran kurang memadai
4. Dukungan dan sinergi dari instansi pemerintahan terkait masih kurang
5. Kualitas SDM (pemerintah, operator, dan masyarakat perlu ditingkatkan
6. Kebijakan politik-ekonomi (seperti fiskal, moneter, dan iklim investasi kurang
kondusif
7. Kontribusi wisata bahari terhadap dunia pariwisata di Indonesia secara umum masi
hsangat minim, masih 10%
8. Negara tetangga seperti Malaysia wisata bahari mampu menyumbang 40 %
terhadap sektor kepariwisataan
9. Tidak adanya data statistik yang jelas dari pemerintah, terutama mengenai
wisatawan asing, sehingga sering terjadi adanya orang asing melakukan kegiatan
usaha dengan visa wisata atau sebaliknya mereka melakukan bisnis dan wisata
sekaligus
10. Kurangnya koordinasi dan kerjasama lintas sektor untuk pengembangan pariwisata
bahari
11. Biaya pembangunan infrastruktur yang jauh lebih tinggi. Tantangan dan
permasalahan dalam pengembangan pariwisata bahari diatas dapat diatasi dengan
solusi berikut ini, sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan
mampu mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
2.4.4 Strategi Pengembangan Pariwisata Bahari Menuju Indonesia Sebagai Poros
Maritim Dunia
Dengan potensi pariwisata bahari dan kekayaan alam laut yang ada, sudah
seharusnya sektor pariwisata bahari ikut membantu dalam mensukseskan program
besar Presiden Joko widodo untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim
dunia. Untuk itu, diperlukan sistem dan manajemen pengelolaan yang benar dan
tepat sasaran, diantaranya ialah :
1. Pengelolaan pariwisata bahari harus mengubah dari pendekatan sistem birokrasi
berbelit menjadi sistem pendekatan entrepreurial,
2. Pemetaan potensi pariwisata bahari,berupa nilai, karakteristiknya, infrastruktur
pendukungnya, dan kemampuanya dalam menopang perekonomian,
3. Menyusun rencana investasi dan pembangunan dari berbagai informasi yang
didapat dari pemetaan, sehingga perlu dibangun faktor pendukungnya seperti akses
transportasi, telekomunikasi sarana dan prasarana pendukung lainnya,
4. Menciptakan kualitas SDM tangguh di bidang pariwisata bahari, baik skill, inovasi,
adaptabilitas, budaya kerja dan tingkat pendidikan, tingkat pemahaman
permasalahan strategis dan konsep yang akan dilaksanakannya
5. Melakukan strategi pemasaran yang baik, melalui televisi internasional dan
berbagai media seperti internet, majalah dan pameran-pameran pariwisata di tingkat
internasional, Contoh : Thailand menghabiskan dana = US$ 1 miliyar untuk
promosi wisatanyadi beberapa jaringan televisi internasional, sehingga wajar bila
kunjungan wisatawan ke Thailand menduduki peringkat pertama di Asean
6. Pengembangan obyek (destinasi) wisata bahari yang baru yang lebih atraktif,
berdaya saing, inklusif, dan berkelanjutan sesuai daya dukung lingkungan wilayah,
7. Peningkatan rasa aman, nyaman, tenteram, dan bersahabat di lokasi wisata bahari
8. Stop ego sektoral dan ego daerah dan kembangkan Indonesia Marine Tourism
Incorporated serta menerapkan manajemen KISS (Koordinasi, Integrasi,
Simplifikasi, dan Sinkronisasi) dan
9. Penciptaan iklim investasi dan politik-ekonomi yang kondusif bagi kinerja
pembangunan pariwisata bahari. Dengan peta jalan pembangunan Pariwisata Bahari
seperti di atas, Insya Allah Indonesia akan menjadi Maju, Adil-Makmur dan
Sejahtera; dan menjadi poros maritim dunia

2.5 Pelayaran Indonesia


2.5.1 Kondisi Dunia Pelayaran Indonesia
Dunia pelayaran masih dalam kondisi krisis. Sejak dua tahun terakhir ini, sejumlah
perusahaan pelayaran dunia banyak yang merugi tidak terkecuali di Indonesia,
perekonomian global yang terpuruk menjadi faktor pengaruhnya.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pelayaran Nasional atau Indonesian Nation


Shipowners Association (INSA) Carmelita Hartoto mengatakan, kondisi ini
menyebabkan perusahaan pelayaran menurunkan kapasitas angkut hingga melakukan
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Hasilnya, banyak armada pelayaran nasional yang idle atau tidak beroperasi.
Contohnya, kapal jenis tongkang pengangkut batubara kapasitas idle mencapai 60%,
kapal general kargo besaran idle 40% dan kapal kapal hulu migas idle kapasitasnya
sebesar 60%.

Memang, pemerintah gencar mengeluarkan paket kebijakan ekonomi dan


mengembangkan tol laut. Namun sampai saat ini kebijakan pemerintah belum
berpengaruh signifikan bagi pengusaha pelayaran. Asosiasi Pengusaha Pelayaran
Nasional atau Indonesian National Shipowners' Association (INSA) mencatat, 4.900
kapal atau 35 persen total kapal nasional dari 14 ribu unit menganggur.

2.5.2 Usulan Dari Pihak INSA Dunia Pelayaran Indonesia


Ada beberapa poin usulan dari INSA agar konsisi bisnis pelayaran di Indonesia naik
kembali :
1. Mempercepat pelaksanaan Anggaran Belanja Pemerintah, terutama yang terkait
dengan infrastruktur, seperti: Pembangunan Power Plant, Pembangunan Pelabuhan,
Jalan, dan Kapal.
2. Optimalisasi pengelolaan sumber daya alam di setiap daerah, terutama di bidang
energi seperti: Pengangkutan Minerba, Pengangkutan Produk Bio Diesel dan
Kegiatan Hulu Migas. Bila perlu, pemerintah dapat memberikan subsidi di bidang
ini.

3. Pemerintah harus memperhatikan pemerataan pertumbuhan dengan


mempertimbangkan komoditi masing-masing daerah.

4. Memacu pertumbuhan ekonomi agar daya beli masyarakat meningkat, sehingga


menaikkan transaksi perdagangan barang dan jasa.

5. Kondisi ekonomi yang kondusif tersebut di atas akan meningkatkan konsumsi


rumah tangga bagi penduduk secara merata.

6. Kebijakan yang Pro Bisnis. INSA meminta ada equal treatment antara industri
pelayaran di luar negeri dengan industri pelayaran dalam negeri.

7. Skema term of trade untuk ekspor menggunakan CIF dan untuk Impor
menggunakan FOB.

2.6 Industri Galangan Kapal


2.6.1 Roadmap Industri Perkapalan Indonesia
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) telah menyiapkan peta jalan (road map)
pembangunan industri perkapalan di Indonesia tahun 2012-2025. Industri ini pun diharapkan
bisa memproduksi dan mereparasi semua jenis kapal dari yang berukuran kecil hingga besar.
Salah satu sasarannya, pada 2020, klaster industri perkapalan nasional sudah mampu
memproduksi kapal berkapasitas 200 ribu ton bobot mati (dead weight tonnage/DWT).
Roadmap Industri Perkapalan :
2010-2014
1 Meningkatnya jumlah dan kemampuan industri perkapalan/galangan kapal nasional
dalam pembangunan kapal sampai dengan kapasitas 150.000 DWT.
2 Meningkatnya produktivitas industri perkapalan/galangan kapal nasional dengan
semakin pendeknya delivery time maupun docking days.

2010-2025
1 Adanya galangan kapal nasional yang memiliki fasilitas produksi berupa building
berth/graving dock yang mampu membangun kapal dan mereparasi kapal/docking
repair sampai dengan kapasitas 300.000 DWT untuk memenuhi kebutuhan di dalam
maupun luar negeri (world class industry).
2 Meningkatnya kemampuan industri perkapalan/galangan kapal nasional dalam
membangun kapal untuk berbagai jenis dan ukuran seperti Korvet, Frigate, Cruise Ship,
LPG Carrier dan kapal khusus lainnya.
3 Meningkatnya pertumbuhan dan perkembangan industri komponen kapal nasional
untuk mampu men-supply kebutuhan komponen kapal dalam negeri. Pusat Desain dan
Rekayasa Kapal Nasional (PDRKN)/National Ship Design and Engineering Centre
(NaSDEC) semakin berkembang dan semakin kuat dalam mendukung industri
perkapalan/galangan kapal nasional.

Gambar 3. Potret Perkapalan dan Galangan Kapal di Indonesia


Gambar 4. Peta Galangan Kapal di Indonesia

Gambar 5. Lokasi Potensial Galangan Kapal Di Indonesia

Dari semua rencana tersebut pihak Kementrian Perindustrian (Kemenperin)


menargetkan industri galangan kapal nasional bisa tumbuh 15% tahun ini. Artinya, akhir
tahun ini, galangan kapal nasional sanggup memproduksi kapal hingga total 750.000 dead
weigt tonnage (dwt). Namun, bisnis industri galangan kapal tak cuma membuat kapal baru
saja tapi juga menyediakan komponen kapal. Sejauh ini, di bidang industri komponen kapal
di Indonesia baru ada sekitar 100 perusahaan yang terdiri dari berbagai jenis. Padahal angka
yang ideal adalah sekitar 200 unit (perusahaan) industri komponen kapal. Untuk mencapai
jumlah tersebut, diperlukan total investasi senilai Rp 10 triliun hingga dua tahun mendatang.
Investasi komponen ini penting dan mendesak, karena sekitar 70% komponen kapal masih
impor.

Lalu untuk pengembangan industri di kawasan timur dalam pelaksanaannya


pelabuhan Makassar masih menjadi pintu gerbang (tumpuan) untuk konektivitas Indonesia
bagian timur yaitu kepulauan Maluku dan Papua. Pemerintah nampaknya terlihat lambat
dalam mengembangkan kawasan industri yang akan menjadi pintu masuk dan keluarnya arus
logistik di Indonesia bagian timur. Bitung sebagai pelabuhan utama masih belum terlihat
mampu untuk melayani daerah belakangnya, yaitu kepulauan Maluku dan Papua, ini dapat
terlihat nyata karena di Bitung belum dikembangkan kawasan Industri yang terintegrasi
layaknya dikota Makassar.

Pengembangan kawasan industri di Bitung diyakini akan mampu memenuhi


kebutuhan masyarakat kepulauan Maluku dan Papua tanpa berharap pasokan dari Jawa dan
Makassar. Oleh karena itu konsep kawasan industri yang terintegrasi merupakan jawaban
atas terkendalanya Bitung sebagai tumpuan (pelabuhan Utama) di Indonesia timur.
2.6.2 Potensi Industri Perkapalan
Dengan adanya program Indonesia Poros Maritim Dunia dimana Tol Laut sebagai
salah satu fokusan utama dalam proyek ini, industri perkapalan nasional, yang seharusnya
menjadi tulang punggung terwujudnya cita-cita pemerintah tersebut.

Jika melihat besarnya potensi industri perkapalan nasional harusnya kita mampu
memenuhi kebutuhan kapal domestik. Namun, dilapangan berkata lain, sebagai negara yang
menahbiskan diri sebagai negara poros maritim, kebutuhan kapal domestik masih saja
bergantung pada produk kapal dari luar negeri.

Dan hal tersebut pun benar-benar menjadi sebuah perhatian besar untuk pemerintah,
terutama Presiden Joko Widodo. Oleh karena itu, Presiden pun menetapkan pelarangan
impor produk kapal di dalam negeri. Presiden Joko Widodo pun berpendapat Galangan
kapal kita siap. Sampai (kapal ukuran, red) 17.500 (DWT) saja siap. Industri galangan kapal
kita siap. Sehingga dalam ratas (rapat terbatas) saya perintahkan pemerintah tidak boleh lagi
pesan kapal dari luar negeri, tidak boleh impor. Buat sendiri di Indonesia. Kita harus
utamakan industri dalam negeri terlebih dahulu. Kebiasaan impor sudah tidak sustainable

Dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Presiden agar industri maritim bisa
bergantung pada produk kapal dalam negeri, maka terbuka lebar peluang industri galangan
kapal nasional untuk bertumbuh. Peluang tersebut sebenarnya sudah mulai terbuka ketika
azas cabotage mulai diberlakukan beberapa tahun silam.

Sebenarnya industri terkait kemaritiman dan kelautan di dalam negeri tak perlu
khawatir soal pasokan kapal. Pasalnya seperti disampaikan oleh Menteri Perindustrian Saleh
Husin baru-baru ini, terdapat sekitar 250 galangan kapal di dalam negeri, yang sanggup
memproduksi kapal hingga kapasitas 1,2 juta dead weight tonnage (DWT) termasuk untuk
mereparasi kapal dengan kapasitas yang sama.
Namun, untuk mewujudkan hal tersebut masih ada banyak masalah-masalah yang
harus diselesaikan, diantaranya adalah Dalam memproduksi kapal, banyak komponen yang
dibutuhkan, diantaranya komponen utama dan komponen pendukung yang tersedian di
dalam negeri sangat terbatas guna pemenuhan standar yang ditetapkan.

Masalah ini merupakan salah satu selain kapasitas produksi maupun fasilitas yang
usang, dukungan pendanaan serta sumber daya manusia untuk menumbuhkan dan
meningkatkan Industri Galangan. Selain itu Dari 15.300 kapal yang beroperasi di Indonesia
kapasitas galangan hanya 900, hal tersebut menjadi hambatan tersendiri bagi tumbuhnya
industri galangan di Indonesia.

Oleh karena itu, sangatlah diperlukan sekali sebuah solusi untuk permasalahan-
permasalahan tersebut. Mungkin diantara solusi tersebut adalah dengan melakukan
peremajaan terhadap fasilitas-faslitas produksi yang telah menurun untuk menunjang
produktifitas, Memacu Inovasi agar produktivitas semakin meningkat melalui konvensi
GKM (Gugus Kendali Mutu), meningkatkan kompetensi tenaga kerja, baik melalui pelatihan
training maupun bekerja secara langsung dengan cara mengirim tenaga ahli atau
mendatangkan tenaga ahli untuk proses pembangunan Kapal guna transfer of technology.
Sehingga kedepannya nanti Industri Perkapalan di Indonesia benar-benar siap dalam
menjalankan perannya sebagai salah satu penunjang tol laut dan sebagai salah satu pilar
dalam mewujudkan Indonesia Poros Maritim Dunia.

2.6.3 Kondisi Industri Perkapalan


Industri galangan kapal merupakan industri strategis dalam menopang visi
pemerintah terkait program Indonesia sebagai poros maritim. Tapi di tengah gencarnya
program tersebut, industri galangan kapal nasional justru lesu. Gembornya visi poros
maritim, perkembangan industri ini cenderung mengalami penurunan dengan indikator
menurunnya pesanan pembuatan kapal di galangan kapal Batam.

Berdasarkan perhitungan Kemenperin, kebutuhan kapal nasional selama 5 tahun


kedepan untuk mendukung program tol laut mencapai 1.574 unit yang terdiri dari berbagai
jenis kapal niaga. Saat ini diperkirakan industri dalam negeri hanya mampu menyuplai 10
persen, maka kebutuhan kapal untuk 5 tahun kedepan sebesar 1.417 unit kapal. Bertolak
belakang dengan angka ini, industri galangan kapal di Batam saat ini masih lesu, orderan
pembuatan kapal baru masih sepi. Karena permasalahan tersebut dalam kurun waktu 2016
sudah banyak sekali galangan kapal di Batam gulung tikar. Padahal, saat ini industri
galangan kapal nasional masih terkonsentrasi di wilayah Batam. Suplai kapal baru menurut
Kementerian Industri masih ditopang 75 persen dari galangan kapal Batam. Jadi boleh
dikatakan bahwa kondisi industri galangan kapal nasional dapat diwakilkan oleh kondisi
lesunya galangan kapal nasional.

2.6.4 Kondisi Kekinian Industri Galangan Kapal


Untuk mewujudkan tol laut, tentunya permasalahan galangan kapal dipandang dari
2 bagian, yaitu jumlah galangan dan berbagai permasalahan yang menghambat kemajuan
galangan. Untuk jumlah galangan, Indonesia masih mengalami permasalahan dari segi
penyebaran dan kuantitas yang akan di jelaskan lebih lanjut.

Infrastruktur galangan kapal Indonesia dapat dijustifikasi dengan beberapa


indikator. Namun, justifikasi ini diukur berdasarkan fungsi galangan kapal, yaitu kapasitas
produksi dan reparasi kapal. Indonesia memiliki roadmap untuk mencapai jumlah kapal yang
dibutuhkan dalam pelaksanaan tol laut. 10Berdasarkan roadmap galangan kapal Indonesia,
pemerintah menargetkan pada tahun 2020 galangan dapat memproduksi kapal berkapasitas
200,000 dwt dan pada tahun 2025, galangan kapal Indonesia diharapkan dapat memproduksi
kapal berukuran 300,000 dwt. Namun, kinerja dari galangan kapal Indonesia belum
memuaskan. Untuk itu, pendikotomian perspektif mengenai kondisi obyektif galangan kapal
diperlukan agar dapat menilai permasalahan secara komprehensif. Dalam kajian ini,
perspektif akan dibagi menjadi 3 entitas, yaitu raw material (jumlah permintaan
pembangunan kapal), instrumental material (kemampuan teknis galangan), dan
environmental material (politik, ekonomi, sosial).

pemerintah menargetkan kembali galangan kapal di Indonesia pada tahun 2015


mampu membangun kapal berbagai tipe seperti kapal barang, kapal penumpang atau kapal
tanker sampai dengan ukuran 85.000 dwt dan kemampuan reparasi kapal sampai 150.000
dwt.

Namun, kondisi galangan kapal di Indonesia masih jauh dari target tersebut. Dari
250 dari total galangan kapal yang ada di Indonesia, hanya 6 galangan yang mampu
membangun kapal berkapasitas diatas 10000 dwt. Selain itu, kapasitas produksi industri
galangan kapal Indonesia sangat rendah. Dari data Kementerian Perindustrian, galangan
kapal di Indonesia secara umum hanya mampu membangun 126 bangunan kapal baru dan
166 reparasi berkapasitas di bawah 1000 dwt, 31 bangunan kapal baru dan 17 reparasi
berkapasitas 1.000 sampai 5.000 dwt, tujuh bangunan kapal baru dan 11 reparasi
berkapasitas 5.000 sampai dengan 10.000 dwt, 6 bangunan kapal baru dan 10 reparasi di atas
10.000 DWT. Berikut ini merupakan fasilitas galangan kapal di Indonesia.
Fasilitas yang dimiliki antara lain (2016) ;
1. Building berth ukuran sampai 50,000 DWT
2. Graving Dock kapasitas 150,000 DWT
3. Floating Dock ukuran sampai 6,500 DWT
4. Slipway ukuran sampai 6,000 DWT
5. Shiplift ukuran sampai 300 TLC.

Kemampuan Produksi Galangan Kapal adalah ;


1. Untuk kapal bangunan baru, kapasitas terpasang adalah, 400,000 DWT/tahun dari
jumlah bangunan baru
2. Kapal Penumpang dengan kapasitas, lebih 500 penumpang
3. Kapal Curah (Bulk Carrier) sampai ukuran 42,000 DWT
4. Tanker dengan ukuran 1.500 DWT, 3.500 DWT, 6.500 DWT dan 17.000 DWT
5. Kapal LPG kapasitas 5.600 Cbm (Cubic meter)
6. Kapal patrol boat 57 meter (fast patrol boat 57)
7. Pusher tug/fire fighting boat ukuran 4.200 HP
8. Kapal ikan ukuran 300 GT
9. Kapal keruk ukuran 12.000 Ton
10. Reparasi floating storage ukuran 150.000 DWT
11. Kapal container (container carrier) 600 TEU & 1.600 TEU
12. Floating repair 150.000 DWT (Cinta Natomas).

Berdasarkan data tersebut, galangan kapal di Indonesia belum memenuhi target yang
dicanangkan oleh pemerintah. Terhambatnya salah satu bagian primer dari suksesnya
program tol laut dapat menghambat terwujudnya pemerataan pembangunan.
Galangan kapal di Indonesia memiliki permasalahan yang tak kunjung usai pada sisi
SDM. Manusia yang merupakan subyek dalam pembangunan sebuah kapal, tentunya
menjadi salah satu faktor penentu terhambat atau tidaknya pengerjaan suatu kapal.

Salah satu permasalahan tersebut adalah SDM pengelasan kapal. Permasalahan ini
merupakan permasalahan klasik yang terjadi di hampir seluruh galangan kapal Indonesia.
17
Idealnya, setiap galangan memiliki 100 tenaga kerja pengelasan. Kondisi ideal ini sangat
jauh dari realitas. Kondisi obyektif galangan kapal saat ini hanya memiliki sekitar 50 orang
per galangan sebagai tenaga kerja pengelasan. Kurangnya tenaga pengelasan sangat
berdampak dari kondisi eksisting pembangunan kapal dari segi waktu.

Permasalahan SDM yang merupakan titik vital adalah mengenai kualitas SDM
dalam bidang keteknikan. 19Galangan kapal di Indonesia mengalami kekurangan SDM yang
handal dan profesional dari segi keteknikan. Permasalahan ini merupakan permasalahan
jangka pendek yang dialami oleh galangan kapal di Indonesia. SDM yang handal merupakan
kunci utama industri galangan kapal.

Selain itu, galangan di Indonesia masih kekurangan jumlah SDM. Lulusan SMK /
STM saat ini lebih banyak dibandingkan lulusan perguruan tinggi. Ini berdampak pada
kualitas SDMnya. Lulusan SMK / STM ini di didik kembali secara otodidak sehingga
kualitas dari SDM tersebut tidak setara.
Permasalahan mendasar SDM di Indonesia adalah kurangnya etos kerja yang baik.
Jika dibandingkan dengan negara Jepang, etos kerja SDM di negara tersebut sangat
memengaruhi kemajuan industri galangan kapal.

Teknologi galangan kapal Indonesia belum dapat dikatakan maju. Satu satunya
galangan Indonesia yang menerapkan teknologi Full Block hanyalah PT. PAL yang notabene
merupakan BUMN. Namun, teknologi ini tidak didukung dengan SDM yang memadai
sehingga menyebabkan terjadinya kesalahan produksi dan menghambat produktivitas
pembangunan. Mayoritas galangan kapal di Indonesia masih menerapkan sistem semi blok.
Sistem blok adalah pembagian sebuah kapal menjadi blok blok yang akan di satukan (joint
erection). Pembuatan blok, dimulai dari middle body kapal sebagai acuan untuk bagian
depan dan belakang kapal nantinya.
.
Gambar 1: Desain Semi Block

Perbedaan antara full block dan sistem semi blok adalah sistem full block
mengintegrasikan sistem ke dalam blok blok tersebut. Sehingga pada saat join erection,
body beserta sistem dikapal tersebut menjadi satu kapal.

Permasalahan ini disebabkan karena infrastruktur pendukung untuk lifting blok


blok tersebut belum memadai. Selain itu dalam menyusun blok blok tersebut, diperlukan
software yang memadai. Mahalnya harga software membuat galangan di Indonesia
kekurangan daya dukung untuk pengaplikasian sistem ini.

Permasalahan infrastruktur dapat terjawab jika pemerintah ikut bersinergi dalam


menyelesaika permasalahan ini. Galangan tidak dapat berkembang dengan baik karena
kurangnya investasi untuk mengembangkan infrastruktur. Fasilitas docking yang sekurang
kurangnya mampu untuk berkapasitas 300,000 DWT sesuai dengan target yang disusun oleh
pemerintah. Salah satu infrastruktur lainnya yang cukup vital dalam mendukung
pembangunan kapal yang efisien adalah fasilitas lifting. Setiap pembangunan bagian
bagian kapal membutuhkan fasilitas lifting untuk memindahkan dari satu tempat ke tempat
lainnya. Namun, fasilitas lifting ini tidaklah murah. Cukup banyak galangan di Indonesia
yang menyewa fasilitas lifting ini untuk menutupi kekurangan alat lifting yang dibutuhkan.
Namun, semua infrastruktur tersebut membutuhkan modal. Modal didapatkan melalui
investasi ataupun pinjaman.

Sejatinya, Indonesia menempati peringkat 4 sebagai negara idaman investor.


Namun, implementasi dari regulasi yang diterapkan pemerintah pusat, sering kali membuat
iklim investasi di Indonesia lesu. Regulasi rumit, pph yang tinggi, perizinan berbelit belit,
serta kondisi politik yang tidak stabil menambah panjang daftar masalah yang menyebabkan
iklim investasi di Indonesia lesu. Solusi lebih lengkap mengenai masalah ini akan dibahas
pada second sector.

Permasalahan SDM merupakan permasalahan yang cukup menahun. Kurangnya


kuantitas SDM di Indonesia disebabkan pula karena sedikitnya minat lulusan teknik yang
ingin bekerja di galangan. Ini disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satunya adalah
permasalahan gaji.

Gaji rata rata engineer di galangan dikategorikan kecil dibandingkan dengan di


industri lainnya. Gaji seorang engineer di galangan berkisar antara 3 juta 8 juta. Sedangkan
gaji seorang engineer di industri lain masih dikuasai oleh perusahaan oil and gas dan IT.
Permasalahan gaji tentu saja berpengaruh besar terhadap minat seseorang bekerja.

Untuk itu, perlu adanya peningkatan gaji agar minat untuk bekerja di galangan meningkat.
Selain kuantitas, tentunya kualitas SDM merupakan faktor penting dalam
percepatan kemajuan industri galangan kapal. 33Seorang fresh graduate perguruan tinggi
belum memiliki kapasitas yang cukup untuk dunia kerja. Seringkali ilmu yang didapatkan di
perguruan tinggi tidak sesuai dengan realita pekerjaan. Untuk itu perlu adanya pendidikan
agar sesuai dengan kebutuhan industri. Disamping itu, berbagai pelatihan bersertifikat yang
menunjang dunia kerja nanti dirasa perlu agar fresh graduate tidak kaget dengan dunia
kerja nantinya. Peran pemerintah diperlukan untuk memberikan insentif dana kepada
perguruan tinggi dalam melaksanakan pelatihan besertifikat ini.

Untuk engineer, sertifikasi dengan biaya yang terjangkau sangat diperlukan. Hal ini
disebabkan karena biaya untuk mengambil sertifikasi sangat besar. Biaya untuk tes sertifikasi
internasional dapat mencapai ratusan juta dan belum dapat dipastikan lulus. Walaupun saat
ini telah banyak pelatihan, namun dengan biaya yang mencapai 10 juta sangat memberatkan.
34
Pemerintah dapat melaksanakan standardisasi nasional tentang berbagai keahlian yang
dibutuhkan (welding inspector, dsb). Sertifikasi nasional ini diakui, dijamin kualitasnya, serta
dengan biaya terjangkau. Solusi ini dapat menyelesaikan ketergantungan terhadap sertifikasi
internasional yang mahal dan tidak memiliki kepastian lulusnya.

Dari sisi teknologi, galangan di Indonesia tidak tertinggal. Namun, karena


keterbatasan pengadaan software, Indonesia tertinggal dalam segi waktu..
Pengimplementasian sistem full block yang mempercepat proses pembangunan kapal
membutuhkan software orisinil yang tidak cukup hanya satu. Dengan harga yang relatif
mahal, banyak galangan yang tidak sanggup untuk mendapatkan software tersebut. Sehingga
diperlukan adanya subsidi dari pemerintah untuk penyediaan software yang orisinil.
Pemerintah dapat membuat perjanjian kerjasama dengan perusahaan software terkait untuk
mensubsidi berbagai galangan di Indonesia.

2.6.5 Jumlah Galangan Kapal


Jumlah galangan kapal Indonesia saat ini berkisar + 250 galangan denga 60%
diantaranya berada di Pulau Batam. Ini diperparah dengan hanya 6 galangan yang berada di
timur Indonesia. Berikut ini merupakan rincian galangan kapal Indonesia:
Palembang :
PT. Intan Sengkunyit
PT. Dok&Perkapalan Kodja
Bahari
PT. Mariana Bahagia
PT. SAC Nusantara
PT. Dok Karang Sumatera
PT. Karya Makmur
PT. Nirwana Indah
PT. Hidup Sejahtera
PT. Galpin

Jambi :
PT. Naga Cipta Sentrl
PT. Pura Gurita Karya
PT. Cahaya Murni Mega

Batam :
PT. ASL Shipyard Indonesia
PT. Nan Indah Mutiara Shipyard
PT. Pan United Shipyard
PT. Batamec Shipyard
PT. Jaya Asiatic Shipyard
PT. Britoil Offshore Indonesia
PT. Bandar Victory Shipyard
PT. Bandar Abadi
PT. Batam Expresindo Shipyard
PT. Trikarya Alam
PT. Karimun Sembawang Shipyard
PT. Palma Progress Shipyard
PT. Surya Prima Bahtera
PT. Hyundai Citra Shipyard
PT. Bahtera Mutiara Harapan
PT. Inocin
PT. Inter Nusa Jaya
PT. Kacaba Marga Marina
PT. Sumatra Timur Indonesia
PT. Dwi Rejeki Jaya Indonesia
PT. Marcopolo Marine
PT. Sentek Indonesia
PT. Perkasa Melati

Pontianak : Pekanbaru (Dumai)


PT. Dok Patra Dumai
Balikpapan
PT. Steadfast Marine: PT. Usda Soraya Jaya
Rengat
Inocin Marina
PT. Amerta
Perkasa
PT. Kapuas Cahaya Bahari
PT. Balikpapan Utama


PT. Dua Dua Kapuas
Wahana
PT. Megah Mulia
Bangka Belitung
PT. H&H Utama PT. Dok & Perkapalan Air
International Kantung
PT. Sarana Daya Utama PT. Timah
PT. Panrita Shipbuilding PT. Dwi Jasa Mitra
PT. Teknik Samudera PT. Sarana Marindo
Ulung
PT. Gema Cipta Bahtera
Jakarta : Balikpapan
1. PT. Amerta Marina
:
PT. Dok & Perkapalan
Perkasa
Kodja Bahari
2. PT. Balikpapan Utama
PT. Inggom Shipyard


Samarinda
PT. Daya Radar Utama 4.
PT. Marspec
3. PT. Dua Dua
PT. Megah Mulia :
5. PT. H&H Utama
PT. Wayata KencanaA. PT. Kaltim Shipyard
International
Dockyard B. 6.PT. Rejeki AbadiDaya
PT. Sarana SaktiUtama
PT. Indomarine 7. PT. Panrita Shipbuilding
C. 8.PT. Manumbar
Samarinda :

PT. Karya Teknik Utama
PT. Sarana Laut Pawitraz
Kaltim
PT. Teknik Samudera
D. PT. Bengkel
Ulung Merdeka
PT. Kaltim Shipyard PT. Samudera Marine 9. PT. Gema Cipta Bahtera
E. PT. Teluk Bajau Kaltim
Indonesia
PT. Rejeki Abadi Sakti
PT. Manumbar Kaltim
Palembang
PT. Bengkel Merdeka :
A. PT. Intan Sengkunyit
B. PT. Dok&Perkapalan Kodja Semarang/Tegal
Bahari PT. Jasa Marina Indah
C. PT. Mariana Bahagia
PT. Dok & Perkapalan Kodja Bahari
PT. Galkap Tirtamas Menado :
D. PT. SAC Nusantara PT. Tegal Shipyard Utama A. PT. Industri Kapal
PT. Tirta Raya Mina
E. PT. Dok Karang Sumatera PT. Menara Tegal
Indonesia
F. PT. Karya Makmur
G.
H.
PT. Nirwana Indah
PT. Hidup Sejahtera
Papua/Sorong
A. PT. Pertamina
I. PT. Galpin
Surabaya : B. PT. Navigasi
Papua/Sorong PT. PAL Indonesia C. PT. Usaha mina
PT. Dok & Perkapalan
PT. Pertamina Surabaya
PT. Dumas Tanjung Perak


PT. Navigasi
PT. Usaha mina
Shipyard Maluku :

PT. Adiluhung Segara Balikpapan :
PT. Najatim Dockyard 1. PT. Dok & Perkapalan
Waiame
Utama 10.
2. PT.
PT. Amerta Marina
Perum Perikani
Jakarta :

PT. Dewa Ruci Agung 3.
PT. Bayu Samudera Sakti
Perkasa
PT. Seramu Jaya Prima
11. PT. Balikpapan Utama
I.1 PT. Dok & Perkapalan Kodja

I.2
Bahari
PT. Inggom Shipyard

Samarinda
PT. Ben Sentosa 12. PT. Dua Dua
13. PT. Megah Mulia :
G. 14.PT. Kaltim
PT. H&H Utama
Shipyard
I.3
I.4
PT. Daya Radar Utama
PT. Marspec Jambi : Makasar : International
H. 15.PT. Rejeki AbadiDaya
PT. Sarana SaktiUtama
I.5 PT. Wayata Kencana Dockyard 1. PT.PT.Panrita
IndustriShipbuilding
Kapal
I.6 PT. Indomarine A. I. 16.
PT. Naga Cipta Sentrl PT. Manumbar
Indonesia Kaltim
17. PT. Teknik Samudera
I.7 PT. Karya Teknik Utama B. J. 2.PT. Bengkel
PT. Pura Gurita Karya PT. Perikanan
Ulung Merdeka
I.8 PT. Sarana Laut Pawitraz
I.9 PT. Samudera Marine Indonesia C. Mega18.
PT. Cahaya Murni K. Samudera
PT. BesarBahtera
Gema Cipta
PT. Teluk Bajau Kaltim

Maluku : Menado :
4. PT. Dok & Perkapalan
Waiame
5.
6.
PT. Perum Perikani
PT. Seramu Jaya Prima
PT. Industri Kapal
Indonesia Menado :
B. PT. Industri Kapal
Indonesia
Dengan tidak meratanya galangan kapal di Indonesia, akan berakibat pada biaya
dan waktu ketika kapal melakukan reparasi. Kapal yang berlayar di timur Indonesia harus
menuju wilayah barat Indonesia untuk melakukan reparasi. Biaya yang dikeluarkan serta
waktu yang ditempuh untuk perjalanan ini menyebabkan rendahnya minat investasi dan
pelayaran untuk wilayah timur Indonesia.

Sedikitnya galangan kapal Indonesia menjadi permasalahan yang harus dipecahkan.


Dalam hal ini pemerintah dapat berperan serta untuk membuat galangan kapal dalam bentuk
BUMN. Ini dilakukan karena kurangnya minat investasi di sektor maritim. Namun, dengan
cukup banyaknya galangan yang harus dibangun akan memberikan beban tersendiri untuk
pemerintah. Maka dari itu perlibatan swasta sangat diperlukan.

Selama ini minat swasta dalam berinvestasi di bidang industri maritim sangat kecil.
Ini disebabkan karena panjangnya jangka investasi, regulasi yang berbelit belit, serta suku
bunga yang tinggi. Pemerintahan Presiden Joko Widodo telah memangkas berbagai regulasi
untuk merangsang investasi. Ini memacu investasi di berbagai industri lain terkecuali
maritim. Perkembangan industri maritim serta galangan kapal belum terasa signifikan.

Untuk itu, pemerintah dapat turun tangan dalam menghimpun pengusaha


pengusaha daerah dan memberikan stimulus untuk berinvestasi di industri galangan kapal.
Ini dirasa penting mengingat pengusaha daerah tidak berani berinvestasi karena kurangnya
pemahaman mengenai industri galangan kapal.

2.6.6 Raw Material


Jumlah pemesanan kapal merupakan faktor penting dalam kemajuan industri
galangan kapal. Galangan yang memiliki kemampuan memadai bahkan mampu membangun
kapal dengan jumlah yang cukup besar. Penurunan harga minyak dunia yang terjadi beberapa
tahun belakangan ini, sangat berpengaruh besar pada industri perkapalan dunia khususnya
Indonesia. 11Batam yang terkenal dengan kemajuan industri galangan kapalnya, mengalami
mati suri. Hanya beberapa galangan yang mampu bertahan karena lelang proyek dari
pemerintah. Begitu pula berbagai galangan lain di Indonesia.

Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di Korea. 3 raksasa
industri perkapalan Korea yaitu, Hyundai Heavy Industry, DSME (Daewoo Shipbuilding and
Marine Engineering), dan Samsung Heavy Industry, bahkan memiliki beban hutang
mencapai 42.1 milliar dollar AS. Pada tahun 2016 tercatat The Koreans Big Three ini sudah
merumahkan hingga 5000 orang karyawannya. Hal yang sama juga menimpa galangan kapal
lain di Korea yaitu STX Offshore & Shipbuilding (STX O&S). Galangan kapal yang sudah
berekspansi sampai ke Eropa ini dinyatakan bangkrut oleh pengadilan Seoul.

Kondisi ini tentunya cukup berbahaya bagi galangan kapal di Indonesia. Namun,
pemerintah sebenarnya telah melakukan upaya untuk memperbaikin kondisi galangan
Indonesia yang kian kritis. Pada tahun 2015, Presiden Joko Widodo menginstruksikan setiap
kementerian yang membutuhkan kapal agar membangun kapal di galangan Indonesia.
13
Tender pengadaan 170 kapal dengan nilai proyek hampir Rp 10 triliun memberikan angin
segar untuk galangan kapal di Indonesia. Namun, proyek ini belum cukup mengingat masih
banyaknya galangan kapal yang masih sekarat.
Solusi jangka pendek mengenai kurangnya proyek pembangunan kapal di galangan
Indonesia dapat dilakukan dengan menambah instruksi untuk setiap BUMN atau
kementerian kembali membangun kapal di Indonesia. Namun, solusi ini bukanlah solusi
terbaik. Harga minyak dunia yang semakin stabil dan meninggi menjadi sebuah momentum
kebangkitan industri perkapalan. Dapat diprediksi beberapa tahun lagi kebutuhan akan kapal
laut akan meningkat kembali seiring dengan stabilnya harga minyak dunia. Untuk itu,
industri galangan Indonesia harus berani untuk membangun kapal terlebih dahulu. 30Cara ini
memang cukup beresiko, namun cara ini pernah dilakukan oleh Korea Selatan ketika
menghadapi krisis berkepanjangan tahun 1970 1990. Korsel berani mengambil langkah
jitu, yaitu menggenjot kapasitas produksinya saat dunia sedang dilanda kelangkaan order
kapal. Pada masa krisis berakhir di tahun 1990, Korsel sudah berada pada posisi paling siap.
Untuk itu, cara ini dapat diadaptasi oleh industri galangan kapal Indonesia dengan dukungan
dari pemerintah.

2.7 Industri Komponen Kapal


2.7.1 Kondisi Industri Komponen Kapal
Hingga saat ini, industri perkapalan nasional masih kekurangan pasokan komponen
dari dalam negeri sehingga sangat bergantung pada komponen impor. Di tengah pelemahan
nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, hal ini membuat biaya produksi kapal melambung.
Idealnya ada 200 -300 industri komponen kapal untuk mengurangi ketergantungan atas
impor. Tapi saat ini baru ada puluhan industri komponen yang beroperasi.

Dari sekitar 10 ribu komponen yang dibutuhkan untuk memproduksi


sebuah kapal, hanya sebagian kecil yang sudah diproduksi di dalam negeri. Untuk sementara,
produsen komponen lokal baru bisa membuat komponen jangkar, pintu, papan, dan baling-
baling. Untuk kapal ukuran kecil, komponen impor yang dibutuhkan sekitar 40 persen,
sedangkan untuk kapal ukuran besar sekitar 60 persen. Dalam pembangunan kapal pun
Indonesia masih mengkonsumsi sekitar 70 persen barang impor untuk bahan baku dan
komponen kapal.

2.7.2 Peluang Pengembangan Industri Komponen Kapal


Sejumlah kurang lebih 250 unit perusahaan galangan kapal nasional, dengan
berbagai kapasitas produksi, tersebar di Indonesia. Total kapasitas terpasang bangunan baru
sebesar 936.000 DWT (deadweight tons) per tahun, sedangkan untuk reparasi kapal 12,15
juta DWT per tahun. Pengalaman produksi kapal nasional dapat terlihat dari kemampuan
Indonesia untuk membangun berbagai jenis kapal dengan berbagai ukuran, di antaranya
seperti kapal-kapal Caraka Jaya 3000 4180 DWT; kapal kontainer 400 1600 TEUs; kapal
penumpang PAX-500; kapal patroli cepat FPB 57 m dan 28 m; kapal ikan 400 GT; tanker
3.500 30.000 DWT; LPG carrier 5.600 m3; Offshore Tin Bucket Dredger 12.000 ton; bulk
carrier 42.000 dan 50.000 DWT; kapal tunda 800 6000 HP; Ro-Ro 18.900 GT; serta
berbagai tipe dan ukuran kapal lainnya.

Sayangnya, untuk pembangunan kapal baru di Indonesia, komponen kapal untuk


konstruksi lambung, perlengkapan lambung dan dek, mesin penggerak , peralatan listrik,
peralatan navigasi dan komunikasi, peralatan keselamatan dan pencegah pencemaran
lingkungan, serta akomodasi dan perlengkapan lainnya, hampir 65 % dari total kebutuhan
komponen masih diimpor dari luar negeri. Komponen kapal yang telah mampu diproduksi di
dalam negeri masih terbatas pada komponen kerja desain dan pengujian model kapal;
Approval & Klasifikasi BKI; Fabricated Material; Consumable Material; Pompa; dan
Peralatan Electric Outfitting (IPERINDO, 2015).
Dari berbagai diskusi upaya pengembangan industri komponen kapal, dihasilkan
pemikiran seperti perlunya: Kebijakan investasi dan modal kerja; Kajian skala ekonomi
produksi; Kajian daya serap pasar yang harus memperhitungkan pasar global; Penciptaan
kualitas produk yang berdaya saing; Sertifikasi; Kerjasama sinergitas antara pihak-pihak
terkait sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya untuk saling mendukung; serta
Penyelenggaraan alih teknologi. Hal-hal tersebut yang dibutuhkan menjadi langkah-langkah
nyata untuk mewujudkan peningkatan peran industri komponen kapal dalam negeri, sehingga
menjadi peluang berkembangnya industri penunjang galangan kapal di Indonesia.

Program Tol Laut, mendorong kebutuhan kapal baru. Kebutuhan untuk kurun waktu
2015-2019 sebanyak 83 kapal petikemas berbagai ukuran; 500 unit kapal pelayaran rakyat;
26 unit kapal perintis (Bappenas, 2015); 73 unit kapal penjaga pantai, 60 unit kapal barang,
15 unit kapal semi peti kemas, 20 unit kapal rede, 5 unit kapal ternak, 20 unit kapal
kenavigasian (Kemenhub, 2015); 1 unit FLNG, 4 unit FPU, 3 unit FPSO, dan 1 unit FSO
(SKK Migas, 2015); kurang lebih 3280 unit kapal ikan, 9 unit kapal pengangkut ikan, dan 1
unit kapal riset perikanan (KKP, 2015); 30 unit kapal patroli (Bakamla RI); 13 unit kapal
patroli (Dit. POLAIR POLRI). Kapal juga dibutuhkan untuk pelayaran sungai, danau dan
penyeberangan, untuk keperluan Hankam dalam bentuk kapal perang, kapal selam, dan
lainnya. Sektor wisata bahari juga terus membutuhkan kapal di dalam kegiatannya. Kondisi
ini akan memerlukan komponen kapal yang tidak kecil jumlahnya dan menjadikan peluang
bagi pengembangan Industri Komponen Bangunan Kapal Dalam Negeri.
Pajak impor merupaka pajak yang wajib untuk dibayarkan ketika membeli barang dari luar
negeri. Pajak ini berlaku pula untuk industri maritim Indonesia khususnya industri galangan
kapal.

Setiap galangan di Indonesia diwajibkan untuk membayar pajak impor ketika


membeli komponen dari luar negeri. Pajak impor terdiri dari pajak pertambahan nilai impor
(PPN) dan bea masuk. Pajak pertambahan nilai impor dikenakan biaya sebesar 10% dari
harga komponen.6Sedangkan bea masuk berdasarkan UU no 17 tahun 2006 adalah pungutan
negara berdasarkan Undang-Undang ini yang dikenakan terhadap barang yang diimpor.
Secara umum, bea masuk berfungsi untuk:
1. Mencegah kerugian industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dengan
barang impor tersebut.
2. Melindungi pengembangan industri barang sejenis dengan barang impor tersebut di dalam
negeri
3. Mencegah terjadinya kerugian serius terhadap industri dalam negeri yang memproduksi
barang sejenis dan/atau barang yang secara langsung bersaing.

Untuk bea masuk, terdapat perhitungan dalam penentuan pajaknya dengan rumus:
Bea masuk = (CIF-50) x tarif bea masuknya
C = Cost (harga komponen)
I = Insurance (Asuransi)
F = Freight (Biaya kirim

Bea masuk dikenakan untuk barang yang berharga diatas 50 USD. Ini disebabkan
barang yang berharga di bawah 50 USD dianggap hadiah sehingga tidak dikenakan bea
masuk. Tarif bea masuk untuk komponen kapal sekitar 5 12%. Ambil contoh sebuah
galangan mengimpor engine kapal berdaya 600 HP dengan harga 15000 USD dengan
asuransi 1500 USD dan biaya kirim 3000 USD serta tarif bea masuk 5%. Sehingga tarif bea
masuk:
Bea masuk = (15000 + 1500 + 3000 50) x 5% USD
= 19450 USD x 5% USD
= 972.5 USD

Berdasarkan perhitungan ini sebuah galangan harus membayar 972.5 USD (Rp 12,642,500)
untuk bea masuk. Sedangkan untuk PPN menggunakan rumus :
PPN = ((CIF-50) + bea masuk) x 10%
Sehingga PPN impor menjadi =
PPN = (19450 USD +972.5 USD x 10%)
= 2042.25 USD
Sehingga pajak impor yang harus dibayarkan senilai 3014.75 USD atau Rp 39,191750.

Dengan biaya sebesar itu, tentunya sangat memberatkan galangan kapal yang masih
merangkak untuk berkembang. Dampak dari tinggi nya pajak impor ini adalah kurangnya
modal dari galangan yang berdampak langsung pada lambatnya pembangunan kapal di
Indonesia.
Setiap galangan membutuhkan modal dalam pembangunan sebuah kapal. Modal ini di
peroleh dari peminjaman kepada bank. Di setiap peminjamannya, bank menerapkan suku
bunga. Suku bunga adalah harga dari penggunaan uang atau bisa juga dipandang sebagai
sewa atas penggunaan uang untuk jangka waktu tertentu atau harga dari meminjam uang
untuk menggunakan daya belinya dan biasanya dinyatakan dalam persen (%).
Suku bunga yang diterapkan oleh bank di Indonesia belum berpihak kepada industri
maritim. Suku bunga untuk industri maritim masih disamakan dengan industri lainnya yang
notabene cukup tinggi. Berbeda kondisinya di Jepang, untuk industri maritim diberikan suku
bunga yang relatif kecil.
27
Suku bunga bank di Indonesia mencapai 15% berbanding terbalik dengan Jepang
yang hanya 2%. Berikut ini beberapa suku bunga negara di dunia:

Gambar 2 : Suku Bunga Beberapa Negara di Dunia


Dengan tingginya suku bunga tersebut, pemilik galangan Indonesia berkeberatan dalam
mengembalikan modal yang dipinjam untuk mengembangkan infrastruktur. Ini akan
berdampak besar pada carut marutnya pembangunan kapal yang selalu tertinggal dari segi
waktu dengan negara negara lain.

Komponen merupakan unsur penting dalam pembangunan kapal. Komponen yang


memiliki kualitas baik, mudah di dapat, dan harga yang terjangkau, tentunya mempercepat
pembangunan kapal. Berdasarkan data dari Perkumpulan Industri Komponen Kapal
Indonesia (Pikki), Indonesia baru mampu memproduksi komponen kecil seperti rubber and
plastic product, capstand and windlass, casting product, crane, fire extinguisher, IMO
fluorescent signs, marine and protective coating, anchor and chain, steering gear,
propheller, interior, hingga pintu, jendela, dan tangga. Namun untuk industri komponen
seperti main engine, Indonesia belum memiliki perusahaan yang mampu memproduksi.
Berikut ini merupakan kondisi industri komponen yang mendukung pembangunan kapal:

Design SDM
(100% Lokal) (100% Lokal)

(65% Impor) Material (35% Lokal)

Material Impor : Material Lokal :


Main Engine Plat Baja Marine
Auxiliary Engine Pipa
Pompa - Elektrode
OWS Gas
Sea Water Treatment Panel Listrik (MSB, ESB, JL, JP)
Air Contioning Outfitting
Fresh Water generator
Alat Navigasi dan Komunikasi
Kabel Marine

Hal ini menjadi problematika sendiri. Galangan kapal Indonesia terpaksa membeli
komponen dari luar negeri karena tidak adanya produsen komponen dari dalam negeri.
Selain harga yang menjadi lebih mahal karena penambahan biaya impor, waktu
pembangunan kapal pun terlambat. Ini disebabkan pengiriman sebuah komponen
membutuhkan waktu berbulan bulan. Untuk pengadaan mesin saja membutuhkan waktu
delapan sampai satu tahun. Inilah faktor vital penghambat percepatan pembangunan kapal
Indonesia.

Jika dibandingkan dengan Korea, Indonesia membutuhkan waktu 18 bulan untuk


membangun kapal tanker 10.000 DWT. Padahal, Korea Selatan mampu membangun kapal
tanker 260.000 DWT dengan waktu 9 bulan.

Pajak impor merupakan faktor penting dalam rangka perwujudan percepatan pembangunan
kapal Indonesia. Tingginya pajak impor menjadi beban tersendiri bagi galangan Indonesia.
Pembayaran bea masuk impor sebesar 5% sampai 12,5% dan PPN impor sebesar 10%
menambah besar biaya pembangunan kapal hingga 17%.

Pemerintah telah membebaskan PPN impor berdasarkan Peraturan Pemerintah


Nomor 69 tahun 2015 tentang Impor dan Penyerahan Alat Angkutan Tertentu dan
Penyerahan Jasa Kena Pajak Terkait Alat Angkutan Tertentu Yang Tidak Dipungut Pajak
Pertambahan Nilai (PPN).

Namun, PP ini kembali menimbulkan kontroversi. Berikut ini merupakan isi dari
pasal terkait:

Gambar 3: Peraturan Pemerintah No 69 Tahun 2015


Peraturan Pemerintah No 69 Tahun 2015
Berdasarkan PP tersebut, PPN yang dibebaskan :
1. Impor kapal / komponen yang dilakukan oleh Kementerian Pertahanan, Tentara Nasional
Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan oleh pihak lain yang ditunjuk oleh
Kementerian Pertahanan, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
2. Impor kapal / komponen yang dilakukan oleh Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional,
Perusahaan Penangkapan Ikan Nasional, Perusahaan Penyelenggara Jasa Kepelabuhanan
Nasional, dan Perusahaan Penyelenggara Jasa Angkutan Sungai, Danau dan
Penyeberangan Nasional, sesuai dengan kegiatan usahanya
3. Pembebasan PPN ketika penyerahan kapal yang dilakukan oleh galangan ke pemilik
kapal.

PP ini tidak menjadi solusi dari permasalahan yang dialami galangan kapal
Indonesia sebab galangan kapal Indonesia tetap diwajibkan untuk membayar PPN impor
sebesar 10% ketika melakukan impor komponen dari luar negeri. Fakta di lapangan saat ini,
banyak galangan kapal di Indonesia mendapatkan pesanan tidak hanya berasal dari instansi
kepolisian ataupun militer. Pembebasan PPN seharusnya dilakukan untuk seluruh galangan
tanpa adanya embel embel instansi.

Namun pajak impor bukan hanya PPN, tetapi juga bea masuk. Pengenaan bea
masuk 5 12% ini memberatkan galangan. Sebenarnya pemerintah sudah berupaya untuk
menyelesaikan permasalahan ini dengan skema Bea Masuk Ditanggung Pemerintah
(BMDTP). Adapun objek dari BMDTP adalah
Barang dan bahan belum diproduksi di dalam negeri.
Barang dan bahan sudah diproduksi di dalam negeri, namun belum
memenuhi spesifikasi.

Barang dan bahan sudah diproduksi didalam negeri, namun belum mencukupi kebutuhan.
Prosedur pengajuan BMDTP sebagai berikut:

Gambar 4: Prosedur Permohonan Fasilitas BMDTP


Berikut ini merupakan sektor yang menjadi cakupan BMDTP:

Gambar 5: Sektor Industri yang Diberikan BMDTP


Namun, prosedur yang rumit dan berbelit belit menambah permasalahan baru
galangan Indonesia. . Dari skema yang ada, BMDTP mewajibkan galangan untuk membuat
list yang akan di impor di awal tahun. Ini menjadi permasalahan karena proses produksi yang
berada di awal tahun dan nature business dari industri galangan kapal adalah job order,
menyebabkan pihak galangan tidak dapat membuat planning yang jelas. Setelah itu, klaim
tersebut akan disahkan untuk bisa dicairkan. Akibatnya industri malas menggunakan fasilitas
ini. Berikut ini merupakan penyerapan BMDTP beberapa tahun terakhir:

Gambar 6: Penyerapan BMDTP


Data di atas menunjukkan sebaran penyerapan Pagu anggaran, jika dianalisa terlihat
bahwa serapan baru berkisar antara 30 % sampai dengan 45,76 % di semua industri. Jadi
pemanfaatan fasilitas BMDTP ternyata belum optimal.

Jika dibandingkan dengan daerah lain, Batam merupakan kota yang memiliki industri
galangan kapal paling maju. Ini tidak lain disebabkan karena diberlakukannya kawasan
berikat. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 22 tahun 1986, yang dimaksud dengan
Kawasan Berikat (Bonded Zone) yaitu suatu kawasan dengan batas-batas tertentu di wilayah
pabean Indonesia yang didalamnya diberlakukan ketentuan khusus di bidang kepabeanan,
yaitu barang-barang yang dimasukkan dari luar daerah pabean atau dari dalam daerah pabean
Indonesia lainnya tanpa terlebih dahulu terkena pungutan bea-cukai, dan atau pungutan
negara lainnya sampai barang tersebut dikeluarkan dengan tujuan impor, ekspor atau re-
ekspor. 42Kawasan berikat diberikan berbagai kemudahan antara lain; bebas pajak
pertambahan nilai, bebas pajak penghasilan, serta bebas bea masuk. Jika kawasan berikat di
implementasikan di daerah lain, tentunya akan merangsang pertumbuhan galangan kapal di
Indonesia.

Suku bunga yang tinggi sangat memberatkan pengusaha galangan di Indonesia.


Dengan tingginya suku bunga ini, menyulitkan pengusaha yang membutuhkan modal dalam
rangka pengembangan galangan kapal. Rasanya sangat sulit untuk mampu bersaing dengan
negara lain serta mewujudkan target yang dicanangkan pemerintah apabila suku bunga masih
tinggi karena modal merupakan salah satu faktor utama dalam pengembangan industri
galangan kapal. Untuk itu, pengurangan suku bunga hingga 1 digit dirasa sangat penting.
Suku bunga yang mencapai 15% dapat diturunkan hingga mencapai 3%.

Solusi dari permasalahan ini adalah dengan membentuk bank maritim yang
memiliki suku bunga pinjam yang kecil. Dengan adanya pembentukan bank maritim, akan
merangsang investor untuk berinvestasi di Indonesia. Ini akan merangsang perkembangan
galangan kapal yang selama ini terhambat karena kurangnya modal. Di beberapa negara lain
bahkan sudah memiliki bank maritim untuk mendukung kemajuan industri galangan kapal.

Contoh negara yang telah membentuk bank maritim adalah Vietnam. Bank
maritim pada tahun 2012 menetapkan suku bunga pinjam sebesar 6% untuk pinjaman mata
uang dong dan 4.5 % untuk pinjaman mata uang dollar.

Industri komponen adalah industri yang sangat mendukung proses pembangunan


kapal. Untuk itu, keberadaan industri komponen sangat vital. Ketiadaan industri komponen
mengakibat harga produksi yang lebih mahal serta waktu pembangunan yang lebih lama.
Untuk itu, disini perlunya dilibatkan peran pengusaha untuk mengembangkan industri
komponen di Indonesia.

Peran pemerintah dalam mengembangkan industri komponen dengan melibatkan


swasta serta membentuk Badan Usaha Milik Negara di bidang industri komponen kapal.
Dengan adanya industri komponen dalam negeri, biaya produksi kapal dapat ditekan karena
ketiadaan pajak impor serta bea masuk. Selain itu, waktu pembangunan kapal lebih cepat. Ini
terjadi karena tidak membutuhkan waktu berbulan bulan untuk pengiriman komponen.

Selain itu, perlu adanya pengembangan penelitian yang di dukung dengan dana yang
memadai agar Indonesia mampu memiliki industri komponen sendiri. Dengan berdirinya
industri komponen, permasalahan waktu dan biaya yang lebih mahal dapat teratasi. Selain
itu, pengembangan industri komponen dapat menjadi solusi jangka panjang terbaik.

3. Kondisi Perdagangan Nasional


Industri kelautan adalah merupakan aktifitas manufakturing untuk memenuhi
kebutuhan pembangunan bidang kelautan maupun aktivitasnya menggunakan sumber daya
laut seperti galangan kapal, perawatan kapal, industri mesin kapal, dan pendukungnya
sampai ke industri perikanan.

Salah satu Menterinya yang bergerak pada bidang perikanan yaitu Susi Pudjiastuti
juga menegaskan, Kementrian Kelautan dan Perikanan optimis mampu mewujudkan hal
tersebut. Hal ini bisa terwujud dengan dukungan dari sumber daya manusia berkualitas tinggi
yang mampu mendorong KKP sebagai salah satu pemeran utama dalam konsep ini.

Sebelumnya, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menilai ada dua aspek
penting yang harus dibangun oleh pemerintah agar dapat mewujudkan Indonesia sebagai
Poros Maritim Dunia. Sebagaimana disampaikan oleh Deputi Bidang Kemaritiman dan
Sumber Daya Alam Kementerian PPN/Bappenas Endah Murniningtyas, kedua aspek tersebut
adalah aspek ekonomi kelautan dan kemaritiman, lalu selanjutnya aspek tata kelola.

Aspek pertama yaitu aspek ekonomi kelautan dan kemaritiman,adalah aspek yang
akan menjadi aset andalan pengembangan dan pembangunan Poros Maritim. Sedangkan,
aspek yang kedua yaitu aspek tata kelola, akan menentukan bagaimana komponen pertama
tersebut dapat dikelola dan dikembangkan arahnya untuk mewujudkan Poros Maritim Dunia.
Dua hal di atas yang kemudian secara integratif penting untuk dikelola sebagai domain
Indonesia untuk menjadi Poros Maritim Dunia, ujar Endah.

Kontribusi sektor kelautan dan kemaritiman pada saat baru sekitar 11,8 persen dari total
PDB, dan ditargetkan akan meningkat menjadi 20 persen pada 2020. Untuk mewujudkan hal
tersebut, diperlukan langkah memulai nyata dan harus diawali dengan penegasan kedaulatan,
pengembangan konektivitas laut, pengembangan regional, penguatan aspek-aspek yang
menjadi inti ekonomi, penguasaan teknologi serta penataan kelembagaan yang untuk tepat
menyongsong visi Poros Maritim Dunia.

Sebelumnya di tempat terpisah, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI)


mengatakan, kebijakan guna meningkatkan kesejahteraan nelayan merupakan salah satu
poros maritim dunia yang tidak boleh diabaikan oleh berbagai pihak di Tanah Air.

Menurut Ketua Umum KNTI, untuk mencapai hal tersebut diperlukan penguatan
partisipasi masyarakat dalam pengawasan program perlindungan dan pemberdayaan. Untuk
itu, lanjut Rizal, pemerintah juga wajib melibatkan masyarakat dalam pengawasan kinerja
perencanaan dan pelaksanaan perlindungan pemberdayaan nelayan. Sebab di masa lalu,
pemerintah sebenarnya sudah memberikan bantuan kapal, jaring, benur. Dalam
perjalanannya terbukti gagal karena minimnya partisipasi masyarakat sejak awal, lanjutnya.

Terakhir ia menyatakan, pemerintah sudah bermaksud membantu nelayan dengan standard


yang sama agar tidak gagal, perlu dipastikan keterlibatan atau partisipasi nelayan dan
pembudidaya ikan di dalamnya.
Sumber daya ikan dunia telah dimanfaatkan penuh. Arti dari hasil evaluasi ini bagi
Indonesia adalah bahwa pembangunan perikanan tangkap ke depan tidak dapat diekspansi
lagi seperti tahun-tahun sebelumnya. Khusus untuk wilayah perairan dengan kode 71 dan 57
secara agregat telah mencapai puncak pemanfaatannya. Kawasan barat dan selatan Indonesia
adalah wilayah perairan dengan kode 71, sementara kawasan timur dan utara Indonesia
adalah wilayah perairan dengan kode 57.

Gambaran tentang status pemanfaatan sumber daya ikan di tingkat global atau
regional tidak berbeda dengan hasil penelidan tentang hal ini yang dilakukan di tanah air.
Produksi tangkapan ikan laut Indonesia tahun 2004 telah mencapai 4 juta ton atau sekitar
63% dari perkiraan MSY sekitar 6,4 juta ton. Dari data produksi agregat nasional ini, tampak
bahwa produksi ikan masih berada di bawah potenii sumber daya yang dapat dimanfaatkan.

Akan tetapi pada tolok ukurnya bukan MSY melainkan TAC (Total Allowable Catch) yang
diperkirakan sekitar 5 jata ton, maka sebetulnya pada akhir tahun 1999 sumber daya ikan laut
Indonesia telah dimanfaatkan sekitar 74% dari potensi yang tersedia.

Tahun 2008 produksi perikanan nasional mencapai 8,6 juta ton. Produksi
akuakultur mencapai 3,5 juta ton dan perikanan tangkap sebesar 5.1 juta ton. Kontribusi
perikanan tangkap sebesar 5,1 juta ton berarti sekitar 83% perikanan laut Indonesia telah
dieksploitasi penuh jika tolok ukurnya adalah MSY. Namun jika menggunakan perkiraan
TAC, maka perikanan laut Indonesia telah mengalami kelebihan tangkap (over fishing).

Tingkat pemanfaatan sumber daya ikan laut yang telah mencapai 83 % (Perkiraan
MSY) sebenarnya telah melewati batas maksimal jumlah ikan yang ditangkap, karena
berdasarkan tanggung jawab komitmen Internasional mengenai perikanan yang dibuat FAO
dalam CCRF (Code of conduct for Reyparisible Fisheries) hanya sekitar ikan yang beleh
ditangkap, ltu berarti perikanan laut Indonesia telah ditangkap melebihi 3% pada tahun 2008.

Perkiraan MSY tidak berbeda dengan kenyataan di lapangan. Perairan Laut Jawa,
Selat Malaka, Selat Makassar dan Laut Flores berindikasi telah mencapai status tangkap
penuh (full-fishing) atau bahkan tangkap lebih (over Fishing). Selain itu, sumber daya udang
di Laut Arafura diindikasikan telah mencapai status tangkap penuh. Sementara itu, sumber
daya tuna dan cakalang di perairan utara timur Indonesia cenderung telah dimanfaatkan
secara penuh dilihat dari semakin berkurangnya produksi, semakin kecilnya ukuran ikan
yang ditangkap, dan semakin jauhnya daerah penangkapan (fishing ground).

Kondisi bahwa sumber daya perikanan laut Indonesia telah dimanfaatkan secara
penuh dapat juga dilihat dari komposisi jenis ikan yang ditangkap, ikan yang berharga murah
dan yang lebih rendah derajatnya dalam rantai makanan (food chain) mendominasi
komposisi produksi ikan. Indikator yang paling jelas pada akhir-akhir ini adalah munculnya
ubur-ubur sebagai jenis hayati laut yang tinggi produksinya.

Kemunculan ubur-ubur dalam jumlah yang sangat banyak di suatu perairan, tidak
seperti biasanya, sering mengelabui nelayan sebagai suatu potensi baru yang perlu
dimanfaatkan. Padahal secara biologis, booming (melimpah)-nya ubur-ubur ini adalah
indikator bahwa pemangsanya, yaitu ikan-ikan yang lebih besar dan lebih tinggi derajatnya
dalam rantai makanan, telah berkurang karena menjadi sasaran dan target penangkapan
nelayan.
Melihat indikasi indikasi ini, sebetulnya perairan laut Indonesia dengan sumber daya ikannya
telah berada pada kondisi kritis (Nikijuluw 2002) kenyataan ini memaksa negara-negara di
dunia, termasuk Indonesia, untuk meningkatkan produksi perikanan melalui kegiatan
akuakultur. Pada tahun 2007, produksi perikanan dunia mencapai 143 juta ton terdiri dari 91
juta ton berasal dari kegiatan penangkapan dan 52 juta ton dari usaha akultur

Ini berarti, kontribusi akuakultur untuk produksi Perikanan dunia telah mencapai
sekitar 36%. Produksi perikanan dari kegiatan akuakultur diperkirakan terus meningkat
beriringan kecenderungan menurutinya produksi perikanan tangkap. Selain akuakultur, salah
satu cara yang perlu dilakukan adalah pening katan stok (stock enhancement) ikan
laut melalui kegiatan restoking (restocking). Di negara-negara maju seperti AS, Jepang,
RRC, dan negara-negara Eropa yang teknologi akuakulturnya sudah maju, telah
mengintegrasikan kegiatan akuakultur dengan perikanan tangkap, yakni kegiatan restoking
ikan di suatu perairan.

Kegiatan ini bertujuan meningkatkan stok ikan di perairan tersebut dalam rangka menaikkan
pendapatan para pelaku perikanan tangkap (nelayan) dan pelestarian ikan tersebut. Kegiatan
ini dilakukan secara reguler dan terus-menerus dengan menggunakan benih yang dihasilkan
dari kegiatan akuakultur. Dengan cara ini stok ikan laut dapat ditingkatkan, produksi
perikanan laut meningkat, habitat dan sumber daya ikan dikonservasi, sekaligus
meningkatkan pendapatan nelayan dan petani ikan.

Contoh lagi tentang perdagangan Internasional Minyak Mentah Dunia

Arus Perdagangan Internasional Minyak Mentah Dunia (juta ton) 5 Namun


perkembangan sektor maritim nasional masih sangat terbatas. Untuk menjadi sebuah negara
maritim, Indonesia harus mampu mengoptimalkan wilayah laut sebagai basis pengembangan
kekuatan geopolitik, kekuatan militer, kekuatan ekonomi dan kekuatan budaya bahari.
Indonesia memiliki potensi wilayah laut yang dapat dioptimalkan pemanfaatannya,
antara lain kandungan cadangan minyak, gas alam, pariwisata bahari, perikanan tangkap dan
budidaya kelautan lain. Khususnya di sektor transportasi, wilayah laut Indonesia tidak saja
berfungsi untuk menghubungkan seluruh kepulauannya, namun juga melayani angkutan
laut/logistik internasional yang melintasi alur laut kepulauan Indonesia (ALKI).

Ilustrasi Global Trade Flow and Indonesia Context (Maersk, 2014) menggambarkan
potensi pemanfaatan wilayah laut Indonesia cukup tinggi mengingat perkembangan aktivitas
ekonomi/perdagangan khususnya di wilayah Eropa, Afrika dan Asia Pasifik yang tidak lagi
mengenal batas negara sehingga menyebabkan tingginya kebutuhan transportasi mendukung
rantai pasok global.

Oleh sebab itu perlu segera dirumuskan sebuah kebijakan nasional untuk
memanfaatkan rantai pasok global melalui peningkatan peran transportasi logistik
memanfaatkan transportasi laut yang efisien. Berdasarkan perhitungan pakar maritim
Indonesia diperkirakan sekitar 90% perdagangan international diangkut melalui laut,
sedangkan 40% dari rute perdagangan internasional tersebut melewati Indonesia. Angka
yang luar biasa. Hal ini berarti, Indonesia sampai kapanpun akan menjadi tempat strategis
dalam peta dunia.
Contoh ke 2 yaitu Konektivitas menjadi kunci dalam menjawab tantangan Globalisasi
Ekonomi.

Transportasi laut saat ini digunakan oleh sekitar 90% perdagangan domestik dan
internasional sehingga pengembangan kapasitas dan konektivitas dari pelabuhan sangat
penting bagi penurunan biaya logistik dan pemerataan pertumbuhan nasional. Telah
diketahui bahwa biaya jasa layanan transportasi laut logistik sebelumnya belum dapat
berkompetisi dengan negara tetangga.

Diperlukan upaya pembaharuan dan pemeliharaan infrastruktur pelabuhan untuk


mengakomodir ukuran kapal yang sesuai, menghilangkan antrian sandar, serta menyediakan
sistem dan layanan kepelabuhanan yang profesional. Potensi Indonesia dalam konteks
regional memerlukan dorongan lebih tinggi karena persaingan yang tinggi sesama negara
ASEAN. Indonesia meskipun naik dari posisi 59 ke 53 pada peringkat Logistic Performance
Index (World Bank, 2014), namun masih lebih rendah dibandingkan kinerja logistik
Singapura, Malaysia, Thailand bahkan Vietnam.

Contoh selanjutnya yaitu Kontribusi PDB Indonesia Berdasarkan Pulau

Saat ini transportasi angkutan laut domestik masih terpusat melayani wilayah yang
memiliki aktifitas ekonomi tinggi yaitu di wilayah Barat Indonesia meskipun karakteristik
kepulauan di wilayah Timur Indonesia telah menjadikan transportasi laut sebagai tulang
punggung aktivitas pergerakannya saat ini.

Konsep tersebut dikenal sebagai konsep pembangunan ship follow the trade dimana
konsep tersebut memiliki daya ungkit yang tinggi terhadap percepatan pertumbuhan ekonomi
nasional. Namun untuk mewujudkan pemerataan, diperlukan pembangunan dengan konsep
ship promote the trade, dimana pembangunan konektivitas di wilayah Timur Indonesia
diharapkan mampu meningkatkan aktivitas ekonomi dan perdagangannya. Pengembangan
pelayanan transportasi laut sebagai tulang punggung distribusi logistik yang menghubungkan
wilayah Barat dan Timur Indonesia diharapkan mampu menurunkan biaya logistik sehingga
mempercepat pertumbuhan ekonomi disertai terwujudnya pemerataan.

Dan contoh selanjutnya yaitu Arus Perdagangan Menggunakan Armada Laut


Pada periode pembangunan jangka menengah 2015-2019, konsep Tol Laut
diimplementasikan diantaranya untuk tujuan peningkatan kinerja transportasi laut melalui
perbaikan jaringan pelayaran domestik dan internasional, penurunan dwelling time sebagai
penghambat utama kinerja pelabuhan nasional, serta peningkatan peran transportasi laut
Indonesia yang saat ini baru mencapai 4% dari seluruh transportasi Indonesia, dimana share
tersebut sangat kecil bagi sebuah negara kepulauan.

Melalui sinergi implementasi konsep Tol Laut diharapkan berdampak terhadap terciptanya
keunggulan kompetitif bangsa, terciptanya perkuatan industri nasional di seluruh hinterland
pelabuhan strategis, serta tercapainya PDB tertinggi di Asia Tenggara yang disertai
pemerataan nasional dan disparitas harga yang rendah.

Dan memakai konsep wilayah depan dan wilayah dalamterbukanya akses regional melalui
implementasi konsep tol laut dapat memberikan peluang industri kargo/logistik nasional
untuk berperan dalam distribusi internasional, dimana saat ini 40% melalui wilayah
Indonesia. Untuk menjadi pemain di negeri sendiri serta mendukung asas cabotage serta
beyond cabotage, maka saat ini Pemerintah telah menetapkan dua pelabuhan yang berada di
wilayah depan sebagai hub-internasional, yaitu pelabuhan Kuala Tanjung dan pelabuhan
Bitung
Memakai sistem logistik nasional Dengan posisi pelabuhan hub internasional di
wilayah depan maka kapal yang melakukan ekspor/impor dengan Indonesia akan berlabuh di
wilayah depan.

Untuk melanjutkan distribusi logistik ke wilayah dalam akan menggunakan kapal berbendera
Indonesia/lokal. Konsep tersebut tidak hanya akan meminimalisir pergerakan kapal dagang
internasional (saat ini masih didominasi kapal berbendera asing) di wilayah dalam Indonesia,
namun juga meminimalisir penetrasi produk asing hingga wilayah dalam Indonesia. Berikut
contoh gabarnya

Untuk membantu kinerja perdagangan seharusnya juga ada dukungan seperti


pembuatan galangan lalu pembuatan kapal agar sesuai dengan target yang di inginkan.
Memperhatikan potensi muatan yang tumbuh seiring dengan pemerataan pengembangan
wilayah yang didukung oleh penguatan konektivitas, maka potensi industri berbagai jenis
dan ukuran kapal dan jasa perawatan kapal (galangan kapal) sangat besar dengan proyeksi
mencapai 1.000 unit per-tahun. Kemampuan galangan saat ini baru mencapai 200-300 unit
per-tahun dengan jumlah docking kapal sekitar 250 unit yang terkonsentrasi di wilayah barat
Indonesia.

Keadaan disebabkan pelaku industri jasa pelayaran cenderung membeli kapal bekas
guna menekan biaya investasi dan depresiasi. Oleh sebab itu, kebijakan strategis
pengutamaan pembangunan kapal di dalam negeri perlu direalisasikan untuk mengambil
peluang dari kebutuhan peremajaan dan penambahan berbagai jenis/ukuran kapal. Untuk
merealisasikan hal terebut, maka diperlukan: 1. Pembangunan galangan kapal baru yang
berteknologi canggih dan effisien di wilayah yang tersebar. 2. Penyusunan payung hukum
agar dapat dikembangkan Galangan Kapal milik Pemerintah. 3. Insentif dan perhatian khusus
dari pemerintah (Kementerian Perindustrian) untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas
industri galangan kapal nasional.
Indonesia merupakan negara maritim, negara yang memiliki wilayah laut yang
sangat luas. Hampir 2/3 wilayah Indonesia merupakan perairan, dan 1/3 wilayahnya
merupakan daratan dalam bentuk kepulauan. Sehingga sudah sepatutnya bahwa masyarakat
Indonesia bergantung pada kehidupan laut, mencari nafkah dari laut , bergerak dan berpindah
memanfaatkan laut. Namun pada kenyataannya saat ini Indonesia masih belum
memanfaatkan potensi dari sumber daya yang ada di laut milik Indonesia sendiri. kita sudah
terlalu lama memunggungi laut, ungkap Presiden Jokowi ketika menyampaikan impiannya
menggerakan proyek tol laut, dimana tol laut ini diharapkan menjadi penggerak roda
perekonomian Indonesia di bidang maritime, serta dapat menyeimbangkan perekonomaian
yang saat ini masih berpusat di Indonesia bagian barat menuju ke Indonesia bagian timur.
Sebenarnya sebelum dicetuskan adanya nama tol laut ini, Indonesia sudah memiliki proyek
serupa yang digagas oleh pt. pelni yaitu diberi nama dengan pendulum nusantara. Pendulum
nusantara ini berkerja dengan cara membuat jalur distribusi barang dan manusia dari
Indonesia bagian barat ke Indonesia timur begitu sebaliknya diibaratkan sebagai sebuah
pendulum besar. Namun kurangnya minat dan antusiasme dari pemerintah menyebabkan
tidak berkembangya proyek ini, padahal untuk proyek daerah perintis seperti ini , peran
pemerintah sangat lah besar sebagai pemicu terjadinya perdagangan di daerah perintis
tersebut.

Sebelum kita membahas jauh masalah kondisi maritime Indonesia dibidang


perdagangan ini, ijinkan penulis memperkenalkan diri terlebih dahulu. Nama saya Raka
Sukma Purwoto, Mahasiswa Tekniks Sistem Perkapalan, Fakultas Teknlogi kelautan, Institut
Teknologi Sepuluh Nopember. Dalam paper ini akan saya jelaskan beberapa tema maritime
yang saya bagi menjadi 4 judul, yaitu diantaranya adalah menjelaskan tentang kondisi
maritime indonesia tentang perdagangan, kondisi pelayaran nasional , kondisi pelabuhan
nasional, serta Indonesia sebagai poros maritime.

Dalam membahas kondisi maritime Indonesia di bidang perdagangan saat ini mari
kita sedikit mengilas balik kondisi maritime Indonesia pada zaman dahulu kala. Perdaganan
maritime sudah ada sejak lama, sejak ditemukannya perahu layer sebagai alat transportasi
laut yang paling mutakhir maka perpindahan penduduk dari satu tempat ke tempat yang lain
di berbagai belahan dunia. di belahan dunia utara bangsa Viking sudah memulai perdaganan
dengan mengandalkan transportasi laut seperti kapal. Selain itu ada juga bangsa eropa yang
menjelajah dunia untuk menemukan sesuatu yang baru dan membuktikan bumi itu bulat,
serta mengadakan perdagangan pada tiap tempat yang dikunjunginya. Tidak terkecuali di
asia tenggara, bangsa-bangsa dan kerajaan-kerajaan yang ada di Asia tenggara telah memulai
perdagangan maritime antar bangsa.

Asia Tenggara merupakan sebuah kawasan yang berada pada bagian selatan benua
Asia. Konsep penamaan Asia Tenggara ini muncul setelah Perang Dunia II. Asia Tenggara
sudah dimasuki oleh ajaran Hindu pada awal Masehi, maka dari itu agama Hindu sangat
lekat dengan masyarakat Asia Tenggara. Selain dengan India, wilayah ini pun membia
hubungan baik dengan Cina. Cina merupakan kerajaan yang begitu berjaya. Mereka begitu
percaya diri bahwa hanya mereka satu-satunya bangsa yang beradab pada waktu itu.

Hubungan dagang Asia Tenggara dapat dilihat dengan jelas dan diawali pada
hubungannya dengan Cina. Para ilmuwan berpendapat bahwa penggerak utama kurun niaga
di Asia Tenggara ialah dengan berkuasanya Kaisar Yong Le dari Dinasti Ming di Cina.
Sebelumnya, Cina menutup diri dengan tidak melakukan perdagangan dengan sembarangan,
hanya wilayah yang mau tunduk pada Cina saja yang boleh berdagang dengan Cina. Pada
1406 Kaisar Yong Le mengirimkan sebuah ekspedisi yang dipimpin oleh Laksamana muslim
yang bernama Cheng Ho. Tujuan dari Ekspedisi ini ialah untuk menjalin hubungan baik
dengan negeri-negeri disekitar Cina, termasuk Asia Tenggara. Cheng Ho mengunjungi
wilayah Asia Tenggara, khususnya wilayah nusantara. Di tempat-tempat yang disinggahi
Cheng Ho, terdapat peninggalan-peninggalan berupa masjid yang kini diubah menjadi
kelenteng dan masyarakat etnis Cina yang sampai sekarang masih ada.

Komoditi yang diperdagangkan di Asia Tenggara ini bermacam-macam mulai dari


cengkeh, pala, lada, beras, kayu dan masih banyak lagi. Pada abad 15-17 sudah terdapat
spesialisasi perdagangan di tiap-tiap wilayah, seperti Maluku menghasilkan cengkeh, Banda
menghasil kan Pala, Sumatera dan banten menghasilkan Lada, Pedalaman Jawa dan Ayuthya
menghasilkan beras dan kayu.

Rempah-rempah (Cengkeh, Lada dan Pala) merupakan komoditi yang paling dicari pada
kurun niaga di Asia Tenggara. Orang-orang Eropa membutuhkan rempah-rempah sebagai
penghangat dan penyedap rasa. Sejak Konstantinopel jatuh ke tangan Turki Ustmani maka
orang-orang Barat enggan berdaganag dengan para penguasa Islam. Mereka mencari sendiri
pulau penghasil rempah-rempah. Menurut literature-literatur sejarah, Portugis ialah bangsa
Eropa yang menjadi pelopor penjelajahan samudera untuk mencari rempah-rempah. Portugis
akhirnya menemukan Malaka pada tahun 1511. pada waktu itu Malaka buklan sebagai
penghasil rempah, namun hanya sebagai tempat berdagang. Penghasil rempah ada di
Maluku. Dari Maluku, rempah diangkut ke pantai utara Jawa lalu baru dibawa ke Malaka
untuk diperdagangkan. Di Malaka berkumpul para pedagang dari berbagai Negara seperti
dari Cina, India, Arab dan Eropa. Para pedagang asing ini lantas mengangkut rempah melalui
samudera Hindia hingga ke melintasi laut Arab. Perjalanan bercabang dua yaitu melalui Selat
Ormuz atau Teluk Aden. Jika melalui Ormuz, maka rempah akan dibawa ke teluk Persia.

Membahas tentang kondisi perdagangan nasional, banyak sekali pokok bahasan yang
dapat dikaji secara luas dan menyeluruh seperti misalnya definisi dari perdagangan itu
sendiri, mengapa menggunakan jalur laut, Batasan-batasan apa saja yang mempengaruhi
perdagangan via laut, dan masih banyak yang lainnya. Factor-faktor yang mempengaruhi
perdagangan menjadi pokok bahasan dalam hal ini. Hal apa saja yang mempengaruhi
permintaan dan kebutuhan, sumber daya apa saja yang dimiliki oleh pulau yang ada di
Indonesia, serta pemerataan kebutuhan yang masih simpang di Indonesia. Berbagai hal yang
secara umum dapat dibahas disini kurang lebih akan meningkatkan kondisi ekonomi di
Indonesia.

Hambatan dan tantangan ke depan menjadikan Indonesia masih berkembang tanpa


mengetahui potensi besar yang dimiliki oleh negara kepulauan ini. Mental dan pengetahuan
yang dirasa belum mumpuni menjadi pekerjaan rumah tersendiri agar negara Indonesia dapat
menjadi negara maju. Pembahasan pertama yang akan saya bahas adalah mengenai
ketergantungan negara kita terhadap perdagangan Internasional yang berdampak pada
perdagangan nasional.

Ketergantungan Indonesia pada perdagangan internasional sebagai mesin penggerak


perekonomian nasional cukup besar. Menurut Salvatore (2007), salah satu aktivitas
perekonomian yang tidak dapat dilepaskan dari perdagangan internasional adalah aktivitas
aliran modal, baik yang sifatnya masuk maupun keluar, dari suatu negara. Ketika terjadi
aktivitas perdagangan internasional berupa kegiatan ekspor dan impor maka besar
kemungkinan terjadi perpindahan faktor-faktor produksi dari negara eksportir ke negara
importir yang disebabkan oleh perbedaan biaya dalam proses perdagangan internasional.
Salvatore (2007) juga menyatakan bahwa secara umum, sebuah negara tidak boleh hanya
berekspektasi pada perdagangan internasional, khususnya ekspor sebagai satu-satunya mesin
penggerak pertumbuhan ekonomi pada masa sekarang. Kinerja perdagangan Indonesia yang
semakin menurun, terlihat dari surplus neraca perdagangan yang semakin menurun (defisit)
dari tahun ke tahun patut diwaspadai pemerintah. Hal tersebut menunjukkan bahwa tidak
selamanya keuntungan dapat diperoleh dari aktivitas perdagangan, sehingga pemerintah
harus mulai memikirkan alternatif lain guna menutupi kekurangan yang ada.

Salah satu usaha yang dapat dilakukan pemerintah adalah menarik investor asing untuk
menanamkan modalnya di Indonesia dalam bentuk Foreign Direct Investment (FDI). Aliran
FDI yang masuk ke Indonesia pada dasarnya diharapkan mampu untuk meningkatkan
produktivitasyang pada akhirnya akan berdampak pada peningkatan pendapatan nasional
dalam bentuk Produk Domestik Bruto (PDB) maupun dalam bentuk peningkatan ekspor.
Dengan kata lain, guna meningkatkan kinerja perdagangan internasional, investasi
merupakan hal yang mutlak diperlukan. Selain itu, diperlukan pula pembangunan sector
industri dan pembangunan infrastruktur untuk mendorong daya saing produksi nasional.
Ketika terjadi peningkatan kinerja perdagangan internasional, sector industri, dan
pembangunan infrastruktur Indonesia, pada akhirnya akan meningkatkan daya saing
Indonesia yang merupakan daya tarik bagi investor asing untuk menanamkan modalnya di
Indonesia. Sektor industri yang terbuka bagi penanaman modal asing dapat pula menjadi
daya tarik tersendiri bagi investor. Aliran FDI yang diharapkan mampu meningkatkan
kapasitas produksi nasional, khususnya ekspor ternyata belum sepenuhnya dapat terwujud.
Hal tersebut disebabkan oleh orientasi FDI yang masuk ke Indonesia masih cenderung
bersifat domestik. Gubernur Bank Indonesia (2012) dalam Viva Business News (2012).

Darmin Nasution menyatakan bahwa masuknya investasi asing ke Indonesia lebih


dominan mengarah pada pasar dalam negeri, tidak berorientasi ekspor. Hal ini berdampak
pada timpangnya struktur ekspor dan impor Indonesia. Artinya, masih terdapat
kecenderungan investor asing menanamkan modalnya pada industri atau sector yang
outputnya masih merupakan konsumsi masyarakat domestik bukan sebagai komoditas
ekspor. Hal tersebut kemudian menimbulkan ketidakseimbangan antara jumlah ekspor dan
impor Indonesia yang berakhir pada terjadinya defisit neraca perdagangan Indonesia. Hal
tersebut sejalan dengan hasil Laporan Perekonomian Indonesia 2010 yang menyatakan
bahwa kinerja ekspor yang semakin menurun ternyata diikuti oleh peningkatan jumlah
impor, khususnya barang modal dan bahan baku. Hal tersebut kemudian berdampak pada
defisit neraca perdagangan. Sejalan dengan peningkatan impor, FDI mengalami peningkatan
yang mampu menutupi defisit neraca transaksi berjalan. Dampak aliran masuk modal asing
ke sektor riil secara umum terjadi melalui perubahan nilai tukar riil mata uang domestik
(nilai tukar setelah memperhitungkan tingkat harga di negara-negara terkait). Nilai tukar riil
mata uang domestik yang cenderung terapresiasi dapat berdampak negatif terhadap kinerja
ekspor (melemahkan daya saing ekspor dari sisi harga), namun dapat mendorong kenaikan
volume impor (Bank Indonesia, 2010). Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan
bahwa terdapat ketidaksesuain harapan pemerintah terkait keterkaitan hubungan
perdagangan internasional (ekspor dan impor) dan FDI di Indonesia. Hal tersebut yang
kemudian melatarbelakangi penelitian ini. Perdagangan internasional (ekspor dan impor) dan
FDI merupakan dua aktivitas penting bagi perekonomian Indonesia yang memiliki
keterkaitan satu sama lainnya.

Penelitian mengenai keterkaitan antara perdagangan internasional dan FDI pun telah
banyak dilakukan baik itu di luar negeri maupun di Indonesia. Akan tetapi, hasil penelitian
yang diperolah tidak selalu sama, ada yang menyimpulkan bahwa terdapat hubungan satu
arah atau hubungan dua arah dan hubungan positif antara perdagangan internasional dan FDI
namun ada pula yang berhubungan negatif. Berdasarkan pemaparan tersebut, kajian
mengenai hubungan antara FDI dan perdagangan internasional menjadi penting untuk
dilakukan. Mengingat kedua aktivitas merupakan aktivitas perekonomian yang sangat
berpotensi memberikan kontribusi yang besar terhadap peningkatan perekonomian Indonesia
dan memiliki keterkaitan satu sama lain. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan
sebagai salah satu bahan pertimbangan lembaga berwenang dalam mengambil kebijakan
terkait perdagangan internasional baik itu ekspor maupun impor serta FDI. Sehingga dapat
menciptakan harmonisasi kebijakan yang mampu mensinergikan kinerja perdagangan dan
FDI. Dengan adanya harmonisasi dan kesinergisan kebijakan, kedua aktivitas perekonomian
tersebut diharapkan dapat saling mendukung dan meningkatkan satu sama lain sehingga
dapat memberikan kontribusi yang lebih maksimal lagi dalam meningkatkan perekonomian
nasional.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji hubungan antara perdagangan internasional dan
FDI di Indonesia periode 1996-2012. Penelitian ini menggunakan variabel perdagangan
internasional sebagai nilai total ekspor dan nilai impor yang dikhususkan pada impor barang
modal dan bahan baku/penolong, serta nilai FDI masingmasing, kemudian dibuat dalam
bentuk nyata (riil) menggunakan Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) dan deflator PDB.
Penelitian ini berbeda dengan penelitian lain dalam hal penggunaan analisis inferensia yang
berbeda, cakupan periode penelitian yang berbeda serta penggunaan variable yang telah
dinyatakan dalam bentuk nyata (riil). Keseluruhan variable dianalisis dalam satuan USD juta
dan merupakan data triwulan dengan referensi waktu selama Triwulan I tahun 1996 s/d
Triwulan IV tahun 2012.

Dengan demikian periode penelitian ini mencakup Triwulan I tahun 1996 sampai dengan
Triwulan IV tahun 2012. Ada dua aspek yang menjadi focus penelitian ini yaitu pertama,
bagaimana arah hubungan perdagangan internasional dan FDI, kedua apakah hubungan
kedua variabel tersebut bersifat negatif atau positif. Fokus penelitian tersebut sejalan dengan
yang dikemukakan oleh Liu (2001) dan menyatakan bahwa terdapat dua aspek dari
keterkaitan antara FDI dan perdagangan internasional yaitu apakah FDI dan perdagangan
internasional memiliki hubungan substitusi (negatif) atau komplementer (positif), dan apakah
FDI yang menyebabkan perdagangan internasional ataukah sebaliknya.

Keterbukaan perdagangan yang dilihat dari proporsi nilai total ekspor dan impor
terhadap PDB memiliki pengaruh terhadap arus investasi asing pada suatu negara. Menurut
Skipton (2007) dalam Pramudita (2012), dampak keterbukaan perdagangan pada tingkat
investasi swasta dalam perekonomian, dalam jangka panjang berpengaruh terhadap
pertumbuhan ekonomi secara tidak langsung. Jika dibutuhkan waktu untuk melihat dampak
liberalisasi perdagangan dalam mempengaruhi perilaku investasi di pasar, maka ada alasan
untuk percaya bahwa ada lag antara liberalisasi perdagangan dan tingkat investasi swasta
dalam perekonomian.

Mayang, Rakesh dan Nigel (2007) dalam skripsinya yang berjudul FDI, Trade And
Growth, A Causal Link? menyimpulkan bahwa FDI yang masuk ke Indonesia berdampak
positif terhadap ekspor Indonesia yang sesuai dengan teori umum pembangunan dan
mengindikasikan bahwa FDI yang masuk ke Indonesia merupakan FDI vertikal. Menurut
Antoni (2008) aktivitas ekonomi antar negara dan perniagaan, terdapat dua aspek hubungan
antara FDI dengan perdagangan internasional, yaitu :

(1) FDI merupakan pengganti atau pelengkap perdagangan internasional;

(2) FDI menjadi penyebab perdagangan internasional atau sebaliknya.

Dalam aspek yang pertama, model Heckscher Ohlin Samuelson (H-O-S)


menyatakan bahwa perdagangan internasional dapat menggantikan pergerakan faktor
pengeluaran antar negara yang salah satunya berupa ekspor. Model ini menjelaskan bahwa
perdagangan komoditi suatu negara melibatkan pertukaran faktor pengeluaran antara negara
secara tidak langsung. Pendapat ini juga didukung oleh Mundell (1957) yang mengatakan
bahwa perdagangan antar negara dan pergerakan faktor pengeluaran bangsa (termasuk FDI)
adalah bersifat pengganti.

Terdapat pula penelitian lain yang menyangkal pandangan di atas. Misalnya, Dunning
(1998) seperti yang dikutip oleh Antoni (2008) yang mengatakan hubungan antara FDI
dengan perdagangan internasional adalah saling melengkapi antara satu sama lain.
Pandangan ini juga didukung oleh peneliti-peneliti lain seperti Lipsey, Blomstrom dan
Kulchycky (1988), dan Pain dan Wakelin (1998) seperti yang dikutip oleh Antoni (2008)
yang menghasilkan wujud hubungan pelengkap antara ekspor dengan FDI. Teori
perdagangan baru/modern mengidentifikasi dua faktor penentu utama dari hubungan FDI
dan perdagangan (Fontagn dan Pajot, 2000). Pertama, pengaturan perusahaan merupakan
kunci penentu. Perusahaan yang diatur secara vertikal dan menempatkan proses produksi di
negara cabang yang berbeda akan menimbulkan hubungan saling melengkapi dan
memperkuat satu sama lain antara perdagangan internasional dan FDI.

Perusahaan yang diatur secara horizontal akan menghasilkan komoditas tertentu di satu
lokasi yang kemungkinan dekat dengan pasar jika biaya transportasi relatif tinggi dan ukuran
pabrik minimum atau tidak terlalu besar. Kedua, skala ekonomi mengurangi jumlah pabrik
untuk mencapai efisiensi yang lebih besar, namun pada saat yang sama biaya transportasi dan
perdagangan menjadi hambatan insentif untuk meningkatkan jumlah pabrik. Jika perusahaan
memiliki biaya tetap yang tinggi dan masing-masing pabrik memiliki biaya tetap yang
terbatas, perusahaan diberikan insentif untuk mencari produksi dekat dengan pasar dan FDI
akan menggantikan perdagangan jika biaya transportasi merupakan faktor yang signifikan.

Banyaknya argumen tersebut kemudian disimpulkan oleh Pacheco- Lpez (2005), yang
menunjukkan bahwa ada dua hubungan kausal yang mungkin antara FDI dan impor.
Pertama, peningkatan impor dalam negara menyebabkan kenaikan arus masuk FDI ke negara
yang sama. Dia berpendapat bahwa impor menunjukkan adanya permintaan untuk
komoditas. Akibatnya, perusahaan multinasionalmungkin tertarik untuk melakukan investasi
langsung di negara tersebut untuk menghasilkan produk dalam negeri. Kedua, kehadiran
perusahaan multinasional di negara tuan rumah merangsang peningkatan impor melalui
peningkatan permintaan untuk pasokan impor, seperti bahan baku dan produk antara, serta
barang modal dari negara asal. Secara umum, aliran investasi dari luar negeri berupa FDI
akan berpengaruh terhadap produktivitas nasional. Hal tersebut disebabkan oleh terjadinya
transfer teknologi, manajemen dan keahlian yang dibawa oleh negara investor. Peningkatan
produktivitas ini akan berdampak pada peningkatan output baik itu yang dikonsumsi
domestik maupun yang diekspor.

Selain itu, FDI dapat merangsangekspor dari sektor domestik melaluiketerkaitan industri
(industries linkage) atau efek spill-over, khususnya melalui keterkaitan ke belakang, yaitu
membeli input antara buatan lokal untuk menghasilkan ekspor (Haddad & Harrison, 1993
dalam Hailu, 2010). Efek ini menciptakan stimulus permintaan yang kuat untuk perusahaan
domestik dan mempromosikan ekspor. Sebaliknya, peningkatan ekspor menyebabkan
peningkatan produktivitas. Peningkatan produktivitas berarti pula peningkatan pertumbuhan
ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat pula menjadi salah satu daya tarik
investor untuk menanamkan modalnya. Selain itu, kinerja ekspor yang baik bisa pula
menjadi daya tarik tersendiri bagi investor asing karena menunjukkan tingkat daya saing
internasional yang baik dan terbukanya peluang untuk menanamkan modalnya pada
sektorsektor yang berorientasi ekspor tersebut.

Pada awal fase FDI, impor peralatan, mesin, penyediaan fasilitas dan ahli semua
berkontribusi terhadap peningkatan impor. Hal tersebu disebabkan oleh perusahaan FDI
yangmemiliki kecenderungan tinggi untuk mengimpor barang modal, barang antara dan jasa
yang tidak tersedia di negara tuan rumah. Pada tahap selanjutnya dari penanaman modal, jika
FDI menggunakan bahan baku local dan input produksi lokal lainnya, maka kemungkinan
tidak akan memiliki dampak merugikan yang signifikan terhadap impor. Namun sebaliknya,
jika hal itu bergantung pada bahan baku lokal, keterampilan manusia, dan asset tidak
berwujud lainnya yang berasal dari luar negeri, maka akan memberikan dampak yang
merugikan yaitu meningkatkan impor (Hailu, 2010).

Selain itu, hubungan antara impor dan jenis output FDI bisa positif atau negatif. Jika
output FDI cenderung melengkapi produk lainnya yang diimpor, maka akan mendorong
kenaikan impor. Namun, jika FDI terkonsentrasi pada industri substitusi impor, maka akan
mengurangi impor karena barang yang diimpor sebelumnya sudah dapat diproduksi di negara
tuan rumah oleh asing investor. Di sisi lain, peningkatan impor dalam suatu negara akan
mendorong perusahaan substitusi impor yang telah beroperasi dalam negeri untuk berinovasi
dan merestrukturisasi diri mereka untuk bersaing dengan rival asing, sehingga meningkatkan
efisiensi produktivitas. Peningkatan efiesiensi dan peningkatan permintaan impor pada
akhirnya dapat menarik minat perusahaan asing untuk melakukan kegiatan investasi untuk
memasok pasar (Hailu, 2010).
Pembahasan lebih lanjut mengenai perdagangan Internasional berkaitan dengan dampak
menyeluruh dan nilai ekspor impor terhadap neraca perdagangan nasional. Perdagangan
internasional adalah kegiatan jual beli barang atau jasa yang dilakukan oleh dua atau lebih
suatu negara guna memenuhi kebutuhan bersama. Dari pengertian di atas dapat kita ambil
kesimpulan bahwa kegiatan dalam perdagangan internasional yaitu suatu kegiatan jual beli
barang atau pun jasa ke luar negeri. Kegiatan membeli barang dari luar negeri disebut impor,
sedangkan menjual barang ke luar negeri disebut ekspor. Sedangkan pelaku impor disebut
sebagai importir dan pelaku ekspor disebut eksportir. Pada prakteknya, kegiatan yang ada
dalam perdagangan internasional sama dengan kegiatan perdagangan yang terjadi di dalam
negeri.

Berbicara mengenai perdagangan sosial yang dilakukan di setiap negara di dunia


mempunyai berbagai macam jenis di antaranya :

1. Perdagangan Ekspor

Ekspor biasa, yaitu pengiriman barang ke luar negeri dengan ketentuan berlaku
yang ditujukan kepada pembeli di luar negeri menggunakan letter of credits (L/C)
dengan ketentuan tertentu.
Ekspor tanpa L/C, penjual barang mengirimkan barangnya terlebih dahulu melalui
izin khusus dari departemen pedagangan.

2. Perdagangan Barter

Dirrect barter.
Switch barter.
Counter purchase.
Buy black barter.

3. Perdagangan Konsinyasi (Consigment)

Konsinyasi adalah penjualan dengan pengiriman barang, belum ada pembeli tertentu
di luar negeri. Penjualan-Nya dapat dilakukan melalui pasar bebas atau bursa dagang dengan
cara memakai sistem lelang.

4. Perdagangan Package Deal

Package Deal adalah perdagangan yang dilakukan untuk memperluas pemasaran


hasil produksi.

5. Perdagangan Penyelundupan (Smuggling)

Penyelundupan ini merupakan kegiatan yang tidak baik dan merupakan masuk dalam
tindakan kriminal. Penyelundupan sendiri terbagi menjadi 2 yaitu:

Penyelundupan yang dilakukan memakai cara ilegal penuh.


Penyelundupan administratif (custom fraud).

6. Perdagangan Border Crossing

Border crossing merupakan perdagangan yang terjadi di perbatasan negara satu sama
lain, dengan persetujuan tertentu. Perdagangan macam ini bisa terjadi karena:

Lintas batas laut (Sea border).

Lintas batas darat (Overland border).

Ada beberapa faktor yang mendorong perdagangan internasional, di bawah ini akan
kami paparkan beserta penjelasan-Nya.

Perbedaan Sumber Daya alam

Permukaan bumi yang kita pijaki saat ini sangatlah berbeda-beda, oleh karena itulah
terjadi banyak perbedaan antara satu negara dengan negara lain, ada gersang dan ada
yang subur, ada yang bisa dihidupi oleh hewan-hewan atau tumbuhan dengan jenis
tertentu, dan sebagainya. Dari situ dapat kita ambil contoh pada tumbuhan kurma yang
hanya bisa tumbuh baik di tanah Arab saja. Adanya perbedaan sumber daya alam yang
berbeda sangat mendorong terjadinya perdagangan internasional pada negara yang
bersangkutan, demi memenuhi kebutuhan negara tersebut.

Memenuhi Kebutuhan Nasional

Dalam hal ini bisa bercermin di negara kita, bahwa tidak semua negara yang
mempunyai banyak sumber daya alam mampu memproduksi dan memenuhi kebutuhan-
Nya sendiri. Berbiacara mengenai sumber daya alam tentunya Indonesia paling pertama.
Walau mempunyai wilayah yang luas dan mampu menghasilkan beras, Sampai saat ini
Indonesia belum bisa memenuhi kebutuhan nasional, bahkan sampai impor dari negara-
negara dengan wilayah yang tak sebanding seperti Thailand misal.

Penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Negara-negara dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tinggi


akan mampu memproduksi barang dan jasa yang lebih banyak, berkualitas, dan tentunya
efisien dibandingkan dengan negara yang lambat akan IPTEK-Nya. Hal demikian bisa
terjadi karena pemanfaatan teknologi sangat menghemat biaya produksi dan mampu
menghasilkan barang yang lebih banyak. Negara-negara yang teknologinya lebih maju
cenderung melakukan spesialisasi dalam memproduksi suatu barang, sedangkan barang
yang bukan produk sendiri akan dibeli dari negara lain. Dalam hal ini kita ambil contoh
negara Jepang, seperti yang sudah kita ketahui bahwa negara jepang melakukan
spesialisasi dalam produk industri motor dan mobil, dan berusaha mengekspor-Nya ke
Indonesia. Sebaliknya, Jepang banyak membeli hasil tambang dan perkebunan dari
Indonesia, walaupun ujung-ujungnya kembali lagi ke Indonesia.

Adanya Kelebihan atau Kekurangan Hasil Produksi


Kelebihan produk pada suatu negara (suplus) dan kekurangan kas dalam suatu
negara (defisit), kedua hal tersebut terjadi karena adanya perbedaan sumber daya alam
dan kemajuan antara negara satu dan lain-Nya. Terjadinya surplus menyebabkan negara
yang bersangkutan akan menjual hasil produknya ke negara lain, sedangkan negara yang
mengalami defisit akan membeli barang dari luar negeri melalui perdagangan
internasional.

Adanya Transportasi Antar Negara

Kemajuan teknologi alat transportasi sudah mampu menciptakan transportasi yang


menjangkau semua negara. Dengan adanya transportasi semacam itu tentu sangat
memudahkan kegiatan perdagangan internasional. Kegiatan ekspor dan impor dengan
jumlah besar bisa dilakukan dalam waktu yang singkat. Kondisi inilah yang menjadikan
keberadaan transportasi antar negara menjadi salah satu faktor dalam perdagangan
internasional.

Adanya Perbedaan Selera

Terjadinya perbedaan kebudayaan , sistem politik, pandangan hidup, dan tatanan


sosial menyebabkan terjadinya selera terhadap berbagai jenis komoditas. Kita ambil
contoh, negara Amerika Serikat memproduksi mobil Ford dan Chevrolet, namun
Amerika mengimpor mobil Honda dari Jepang. Hal demikian terjadi karena warga
Amerika telah menyukai mobil Honda.

Adanya Hubungan Diplomatik

Pengertian hubungan diplomatik adalah hubungan resmi antara satu negara dengan
negara lain. Perdagangan internasional tidak akan terjadi apabila negara-negara tersebut
tidak memiliki hubungan diplomatik.

Era Globalisasi

Dengan adanya era globalisasi ini, menyebabkan dalam perdagangan bebas tidak
satu pun yang bisa hidup sendiri. Mereka semua akan membutuhkan kerja sama dengan
negara lain, salah satunya yaitu dengan perdagangan internasional.

Selain faktor pendorong, kamu juga harus mengetahui faktor-faktor yang bisa
menghambat perdagangan internasional antara lain yaitu:

Adanya peperangan.

Perbedaan tingkat upah.


Sempitnya kesempatan kerja.
Adanya organisasi perdagangan internasional atau regional.

Contoh Perdagangan Internasional

Dalam menjalankan sesuatu pastinya ada yang namanya untung dan rugi, begitu
pun dengan kegiatan perdagangan internasional yang sudah kita bahas di atas. Berikut adalah
beberapa manfaat atau dampak yang dihasilkan dari perdagangan internasional.

Manfaat/Dampak Positif Akibat Perdagangan Internasional

1. Terjalin-Nya persahabatan dan hubungan di antara kedua negara yang bersangkutan


serta sangat memungkinkan negara terlibat, dapat menghasilkan barang dan jasa
melebihi kebutuhan di dalam negeri. Dalam hal ini tentu meningkatkan ekonomi.

2. Memungkinkan negara tersebut melakukan spesialisasi terhadap barang-barang,


sehingga bisa melakukan jual beli dengan harga yang relatif lebih murah.
3. Memberikan kesempatan terhadap suatu negara untuk mengimpor barang konsumsi atau
barang-barang modal seperti: Bahan baku, peralatan dsb. Tentu dengan kualitas dan
harga yang lebih menguntungkan.
4. Membuka peluang dan kesempatan khususnya bagi negara berkembang untuk
mengetahui teknologi yang lebih baik.

Manfaat/Dampak Negatif Perdagangan Internasional

1. Impor Barang Menjadi Dominasi

Kegiatan impor yang terlalu mendominasi dapat mengakibatkan pertumbuhan


ekonomi menjadi lambat. Apabila barang masuk lebih banyak dari barang yang keluar, maka
hal itu dapat mengakibatkan pendapatan nasional menurun, begitu pun dengan mata uang
yang anjlok.

2. Masalah Bagi Petani dan Produksi Barang Lainnya

Akibat dari banyaknya impor, maka kerugian juga menyerang para nelayan, petani,
atau orang yang memproduksi barang, karena barang hasil impor harganya lebih murah.

3. Ketergantungan Dengan Negara Maju

Masyarakat jadi mengenal merk, sudah banyak terbukti sebagian masyarakat di


Indonesia lebih suka memilih merk luar ketimbang lokal. Padahal kalo dilihat dari segi bahan
sama-sama aja.

4. Terbentuknya Perdagangan Bebas Internasional

Dengan adanya sistem perdagangan nasional ini membuat suatu negara mengalami
kerugian. Kerugian tersebut didasari tertama banyaknya kasus-kasus penyelundupan yang
dilakukan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Pengertian perdagangan Dalam Negeri adalah Perdagangan Barang dan/atau Jasa dalam
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tidak termasuk Perdagangan Luar
Negeri. Pemerintah mengatur kegiatan Perdagangan Dalam Negeri melalui kebijakan dan
pengendalian. Kebijakan dan pengendalian Perdagangan Dalam Negeri sebagaimana
dimaksud diatas diarahkan pada :

1. peningkatan efisiensi dan efektivitas Distribusi;

2. peningkatan iklim usaha dan kepastian berusaha;

3. pengintegrasian dan perluasan Pasar dalam negeri;

4. peningkatan akses Pasar bagi Produk Dalam Negeri; dan

5. pelindungan konsumen.

Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri paling sedikit mengatur tentang:

1. pengharmonisasian peraturan, Standar, dan prosedur kegiatan Perdagangan antara


pusat dan daerah dan/atau antardaerah;

2. penataan prosedur perizinan bagi kelancaran arus Barang;

3. pemenuhan ketersediaan dan keterjangkauan Barang kebutuhan pokok masyarakat;

4. pengembangan dan penguatan usaha di bidang Perdagangan Dalam Negeri,


termasuk koperasi serta usaha mikro, kecil, dan menengah;

5. pemberian fasilitas pengembangan sarana Perdagangan;

6. peningkatan penggunaan Produk Dalam Negeri;

7. Perdagangan antarpulau; dan

8. pelindungan konsumen.

Pengendalian Perdagangan Dalam Negeri meliputi:

1. Perizinan;

2. Standar; dan

3. Pelarangan dan pembatasan.

Setiap Pelaku Usaha wajib menggunakan atau melengkapi label berbahasa Indonesia
pada Barang yang diperdagangkan di dalam negeri. Distribusi Barang yang diperdagangkan
di dalam negeri secara tidak langsung atau langsung kepada konsumen dapat dilakukan
melalui Pelaku Usaha Distribusi. Distribusi Barang secara tidak langsung dilakukan dengan
menggunakan rantai Distribusi yang bersifat umum yang antara lain adalah :
1. Distributor dan jaringannya;

2. Agen dan jaringannya

3. Waralaba.

Distribusi Barang secara langsung) dilakukan dengan menggunakan pendistribusian


khusus melalui sistem penjualan langsung secara:

1. Single level;

2. Multilevel.

Barang dengan hak Distribusi eksklusif yang diperdagangkan dengan sistem penjualan
langsung hanya dapat dipasarkan oleh penjual resmi yang terdaftar sebagai anggota
perusahaan penjualan langsung.

Pada masa modern awal, kota Ormuz merupakan salah satu emporium termakmur di
dunia karena menjadi komoditi Asia menuju Eropa. Di jalur kedua, maka rempah akan
melewati Teluk Aden dan Laut Merah laluio melewati Suez (Terusan Suez belum dibangun)
lalui melalui jalur darat dibawa ke Iskandariah untuk diangkut ke pelabuhan-pelabuhan di
Italia seperti Genoa, Venesia dan Napoli.

Perdagangan di Asia dilakukan bukan hanya di darat, namun juga di laut. Komoditi
barang itu diangkut dengan menggunakan kapal. Kapal-kapal yang mengangkut barang
dagang itu meliputi kapal Cina, Arab, Persia dan India. menurut Anthony Reid, kapal-kapal
di Asia Tenggara diindikasikan terpengaruh oleh bentuk kapal Cina dan Arab. Kapal-kapal
yang ada pada waktu itu belum menggunakan mesin seperti sekarang. Kpal-kapal tersebut
masih menggunakan system angin jadi tidak dapat berlayar seenaknya saja harus patuh pada
angin. Pelayaran yang bergantung pada system angina ini membuat pelayaran ke Asia
Tenggara khususnya Nusantar memiliki pola-pola yang tetap. Angina Musim Timur terjadi
dari bulan April dan bertipu dari selatan, sedangkan Angin Musim Barat dimulai pada bulan
September dari arah utara.

Perkembangan masyarakat di Asia tenggara tidak lepas dari orang Austronesia.


Austronesia adalah istilah yang dipakai oleh para ahli linguistik untuk keluarga bahasa yang
berkembang di Taiwan antara lima hingga tujuh ribu tahun silam. Mereka berpindah dari
Cina dan mengarungi selat Formosa. Saat itu mereka telah menguasai teknik perladangan
berpindah dan pembuatan kapal.
Semenjak awal milenium pertama, orang Austronesia telah berlayar hingga Madagaskar
secara mandiri. Perkembangan navigasi astronomi dan difusi pengetahuan tentang ritme
angin musim turut mendorong partisipasi pelayaran jarak jauh ini. Pelayaran menakjubkan
ini membuat kelompok bahasa ini terpencar luas, dan bisa dikatakan mereka adalah orang
bahari yang senantiasa berpindah-pindah.

Pada awal milenium pertama terjadi peralihan jalur perdagangan dunia, dari jalur
sutera(darat) ke jalur laut. Orang Austronesia ikut andil dalam membawa kepulauan Asia
Tenggara ke dalam sistem perdagangan global pada saat itu. Mereka menguasai rute-rute
perdagangan Asia Timur-Eurasia.
Kawasan Asia Tenggara menjadi wilayah yang strategis karena berada di tengah
rute perdagangan global dan menjadi kawasan persinggahan para pedagang dari penjuru
negeri. Akibatnya muncul pelabuhan-pelabuhan dan pusat-pusat perdagangan seperti
kawasan pesisir Malaka dan Vietnam. Para pedagang yang singgah bukan hanya untuk
berdagang saja, melainkan berhenti dalam alur perjalanan untuk menunggu anguin musim
yang tepat. Selain itu, aktivitas perpindahan kargo juga banyak dilakukan di kawasan Asia
Tenggara. Ini merupakan hal yang lazim dilakukan karena jarak yang terlalu jauh dari Timur
Tengah maupun kawasan barat yang lain untuk menuju Cina. Secara alami kegiatan ini
menuntun pada pola perdagangan yang berbeda antara dunia barat dan dunia timur(Munos
2009: 90).

Aktivitas perdagangan yang intensif ini menimbulkan kontak sosial,


komunikasi,dan interaksi dengan berbagai elemen masyarakat, baik sesama pedagang
maupun masyarakat lokal. Interaksi ini memungkinkan terbangunnya suatu kebudayaan yang
menerabas tapal batas geografis, religi, dan etnis. Dengan demikian timbul paradigma bahwa
laut sebagai prinsip pemersatu sejarah Asia Tenggara (Reid 2004:54).

Masyarakat pesisir dapat dikatakan sebagai masyarakat yang plural karena kental
akan keanekaragaman budaya. Budaya tersebut tumbuh dan berkembang secara difusi,
asimilasi, maupun akulturasi. Bahasa, kepercayaan, peralatan, adat-istiadat, dan ilmu
pengetahuan merupakan contoh produk budaya yang berkembang di tengah-tengah
keanekaragaman tersebut.

Tradisi keberanian leluhur Bangsa Indonesia yang menjelajah laut hingga ke manca
negara tidak berlanjut ke anak cucunya karena orientasi mereka beralih ke daratan. Indonesia
sebagai sebuah negara kepulauan justru tidak menjadikan laut sebagai focus perhatiannya.
Setidaknya ini merupakan hasil dari pengamatan sekilas perkembangan di tingkat nasional
dalam sepuluh tahun terakhir tentang arah dan kebijakan yang diambil pemerintah dalam
mengelola negeri ini (Dault,2008). Oleh karena itu muncullah ungkapan negara kelautan
namun orientasi ke daratan (Zuhdi, 2006:5). Visi kemaritiman dalam mengelola negara
semestinya sudah dilakukan oleh pemerintah sejak lama mengingat Indonesia secara
geografis historis letaknya sangat srategis kerena berada di persimpangan jalur maritim atau
pertemuan berbagai jalur pelayaran internasional yang telah berlangsung sejak berabad
silam.

Pemikiran kemaritiman sebagai pusat perhatian juga belum tampak dalam berbagai
kajian akademis misalnya di bidang ekonomi, sosial politik, antropologi dan sejarah. Di
bidang sejarah, fokus historiografi Indonesia lebih banyak membahas tentang persoalan yang
menyangkut daratan, baik masyarakat maupun institusi sosial politiknya. Bukuarya Adrian B.
Lapian Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke-16 dan 17 misalnya, merupakan
salah satu sumbangan berharga dalam historiografi bahari di Indonesia. Banyak informasi
dalam buku ini yang sekaligus menjadi pancingan untuk studi lanjut tentang kemaritiman
yang meliputi aspek teknologi, pust-pusat pelayaran, pola pelayaran dan perdagangan, dan
pelabuhan. Buku ini juga memaparkan tentang hal apa yang diatur dalam hukum laut
Amanna Gappa.

Pentingnya laut sebagai suatu kajian maritim juga dapat dibaca dari pengantar
Lapian tentang teori Mahan (van Leur dan Verhoeven : 1974). Bercermin pada Mahan dan
menimbang posisi Indonesia sendiri, Lapian berpendapat bahwa riset sejarah Maritim tidak
boleh diabaikan. Sebagaimana dikaaatakan oleh Mahan dalam bukunya The Influence of Sea
Power Upon History 16601783, seperti dikutip oleh Lapian dalam mengantar pemikiran
Mahan ke komunitas ilmuwan di sini, bahwa para sejarawan pada umumnya tidak mengenal
keadaan laut, karena mereka tidak menaruh perhatian khusus terhadapnya, lagi pula mereka
tidak memiliki pengetahuan khusus tentang laut; dan mereka tidak mengindahkan pengaruh
daripada kekuatan laut yang sangat menentukan jalannya peristiwa-peristiwa besar di dunia.
Mahan membuktikan pentingnya laut mempengaruhi jalannya sejarah suatu bangsa.
Menurut Mahan, ada enam unsur yang menentukan dapat tidaknya suatu negara
berkembang menjadi kekuatan laut, yaitu
1) letak geografi,
2) bentuk tanah dan pantainya,
3) luas wilayah,
4) jumlahpenduduk,
5) karakter penduduk, dan
6) sifatpemerintah termasuk lembaga-lembaga nasional.

Uraian ini sebenarnya ditujukan kepada bangsa dan pemerintah Amerika Serikat,
yang mengabaikan potensi Samudra yang mengelilingi negara itu, yaitu Samudra Pasifik dan
Samudra Atlantik karena waktu itu negara lebih berorientasi ke daratan serta politik
isolasinya menghalangi negara ini untuk menjadi sebuah negara besar. Sebagai contoh,
Mahan menarik perhatian masyarakat Amerika Serikat akan potensi negaranya sebagai
negara yang memiliki potensi kekuatan laut yang besar, karena selama ini usaha-usaha
negara untuk membuka wilayah wild west, masih menurut Mahan, mengabaikan peranan laut
negara. Dampak dari pemikiran Alfred Thayer Mahan ini adalah penggalakkan
pembangunan Angkatan Laut Amerika Serikat sejak akhir abad ke-19.

Teori Mahan ini oleh J.C. van Leur dibawa ke dalam uraiannya tentang kepulauan
Indonesia. Tokoh ini membawa wawasan maritim Mahan dalam kaitannya dengan sejarah
VOC di Indonesia. Ia menunjuk peranan VOC sebagai kekuatan maritim yang besar, pihak
lainnya, F.R.J Verhoeven menguraikan peranan VOC dalam masa permulaannya sebagai alat
perang yang bergerak di laut dan berhasil mengalahkan musuh Republik Belanda, khususnya
armada Spanyol dan Portugis, dan mematahkan persaingan dengan Inggris di perairan
Indonesia. Pada masa sebelum VOC didirikan, pemimpin Belanda telah memikirkan
pembentukan kekuatan perang untuk mematahkan kekuatan Spanyol dan Portugis di
seberang laut. Verhoeven menyimpulkan bahwa VOC didirikan semata untuk kepentingan
perniagaan merupakan pendapat yang kurang tepat.

Perbincangan tentang Teori Mahan ini memunculkan dua istilah penting dalam
sejarah maritim, yakni sea power dan naval power. Kapan disebut sea power jika mengacu
kepada kontrol menyeluruh atas lautan, sedang yang kedua cenderung kepada penguasaan
angkatan bersenjata yang terorganisasi di lautan. Naval power digunakan dengan maksud
yang lebih dari hanya sebagai sebutan suatu negara, suatu Kompeni (seperti VOC maupun
EIC) diberi konsensi yang memiliki armada yang dikirim berperang melawan musuh atau
yang digunakan untuk melindungi perniagaan. Pemakaian istilah naval power berarti
penilaian kembali seluruh hubungan sejarah dengan mengutamakan segi pengaruh laut. VOC
lahir dari perang dan selama hayatnya merupakan badan perdagangan dan alat perang
sekaligus. Dalam dasawarsadasawarsa pertama, VOC dapat dikatakan lebih banyak
berperang daripada berdagang. Pada dasarnya, VOC merupakan sebuah institusi yang
bertujuan ganda, yaitu berdagang dan berperang.
Istilah naval power bukan hanya inventarisasi sederhana bagi suatu negara yang
menyediakan kapal-kapal perang untuk merugikan musuhnya, namun istilah ini lebih dari
efek majemuk yang dapat dicapai oleh organisasi politik dan maritim dalam pengaruh timbal
balik dengan struktur social ekonomi zaman itu untuk melaksanakan tujuan-tujuan
peperangan. Dengan makna seperti itu, naval power terjalin dalam
1) organisasi negara-negara Eropa modern,
2) organisasi angkatan laut yang berdiri sendiri, dan
3) perkembangan kapitalisme awal.
Perencanaan dan manajemen dari VOC merupakan suatu bentuk yang sangat
modern bagi zamannya. Dalam paruh kedua abad ke-17, arti pelayaran seberang lautan
dengan persyaratannya yang khusus tentang pengangkutan dan persenjataan kapal terlihat
dari nilai kapal pelayaran Hindia untuk perang di laut. Kedudukan monopoli VOC pada abad
ke-17 telah menghambat pelayaran dan perniagaan bebas bangsa Indonesia, dan VOC
menciptakan penanaman-penanaman kolonial tersendiri.

Posisi Asia Tenggara tidak kalah pentingnya dalam sejarah maritim. Telah berabad-
abad kawasan ini menempati posisi strategis dalam jalur pelayaran dan perdagangan antar
bangsa, antar negara dan antar pulau. Peran strategis kawasan ini dapat dilihat jika melihat
penting dan posisi sejarah Sriwijaya, Ayutthaya dan kerajaan-kerajaan Melayu di sepanjang
Semenanjung Melayu.

Negeri-negeri ini turut berperan aktif dalam membangun suatu peradaban dan
perdagangan di kawasan itu. Studi mendalam terhadap Ayutthaya misalnya telah
memperlihatkan bagaimana negeri ini berperan penting bagi perkembangan sejarah dan
peradaban di kawasan Asia tenggara sejak abad ke-14 hingga ke-18. Negeri ini merupakan
pusat utama politik, budaya dan perdagangan Thailand masa silam. Kedudukannya bukan
hanya penting bagi negeri sekitarnya, namun meluas hingga ke luar kawasan Asia Tenggara:
Eropa, India, Cina, dan Jepang (Breazeale, 1999: 1-54).

Hubungan antara Ayutthaya dan penguasa di Indonesia meliputi hubungan


diplomatik dan perdagangan seperti dengan Aceh, Jambi, Banten, Palembang, Riau, selain
dengan penguasa di kawasan Asia Selatan seperti dengan Bengala, Golkonda, Kesultanan
Mughal, dan Persia. Sejak awal Ayutthaya telah membuka negerinya untuk perdagangan dan
pedagang asing masuk ke negeri ini. Salah satu alasan penting Ayutthaya dalam dunia
maritim karena letaknya strategis menghadap ke arah timur Laut Cina Selatan. Jaringan
perdagangan dan I diplomatik Ayutthaya sudah cukup luas, yang tampaknya diurus dengan
baik melalui kementerian yang bertanggung jawab atas perdagangan dan hubungan luar
negeri.

Ayutthaya sendri merupakan pemasok sejmlah barang dagangan penting untuk


pasar Asia karena jaringan perdagangan yang dimiliki, harga barang yang bersaing dan
lingkungan perdagangan bebas di pelabuhan. Orientasi internasional sepanjang sejarah Asia
Tenggara juga ditentukan oleh konfigurasi maritim wilayah ini dan peran penting yang
dimainkan sebagai perantara perniagaan antara Barat dan Asia Timur, dan antara Barat dan
Cina. Terkait Ayutthaya, hubungan dengan Cina dan Jepang telah dilakukan sejak awal,
bahkan kapal-kapal dagang dari Ayuttaya mendapat perlakuan baik dari penguasa Cina di
pelabuhan bebas Guangzhou (Breazeale, 1999: 23-26).

Pemukiman juga menjadi tempat penting bagi pertumbuhan perdagangan di


kawasan Asia Tenggara. Pemusatan antara pelabuhan dan pemerintahan (port and politics)
menjadi gejala umum dalam dunia maritim Asia Tenggara, meskipun lokasinya terpisah
keduanya memiliki mata rantai seperti halnya Kerajaan Funan dan Oc-eo, Majapahit dan
pelabuhan sungai Canggu, dan pada abad ke-17 antara Pegu dan Syriam, dan Ayutthaya
dengan pantai Bangkok.Hubungan antara pelabuhan dan pemerintahan dan kedudukannya
yang strategis menjadikannya sebagai pintu gerbang utama negeri-negeri di kawasan Asia
Tenggara. Hal ini diperlihatkan oleh Funan, penguasa tertingginya memiliki akses di bidang
perdagangan, sehingga dengan cepat dapat mengontrol politik dengan cara ikut serta dalam
organisasi dan ekspansi perdagangan di pelabuhan besar Hubungan antara port dan polity ,
mengakibatkan suatu wilayah berfungsi sebagai pusat pemerintahan, perniagaan dan
budaya. Buktibukti arkeologis menyatakan bahwa aktivitas niaga telah berlangsung sejak
lama dikawasan Asia Tenggara dan sekitarnya (Wells and Villiers, 1990).
Studi maritim tentang Asia Tenggara juga memunculkan dua tipe negara, yaitu
1) negara-negara sungai di kepulauan Indonesia, Semenanjung Melayu, dan Filipina;
2) negara-negara subur di dataran rendah yaitu Burma, Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam
dan Jawa.

Sementara itu pendekatan-pendekatan terhadap sumber-sumber klasik Asia


Tenggara juga dilakukan melalui perangkat sejarah ekonomi modern dan peran penting yang
dimainkan Asia Tenggara dalam perdagangan internasional. Pola pertukaran dilakukan antara
mereka yang berada di dataran tinggi dan rendah, antara ereka yang tinggal di pantai dan
pedalaman, dan para pedagang asing yang membangun basisnya di sekitar pantai, dan dari
sini pula diatur perniagaan daam hal produk-produk local dari pedalaman.

Geohistori Asia Tenggara memunculkan dua pola dominan (Hall, 1985: 1-14).
Pertama, sistem sungai (riverine system) yang mengalir dari pedalaman hingga ke samudera.
Pada pola ini penduduk berkonsentrasi di delta atau mulut sungai. Kekuatan politik dan
ekonomi yang muncul di daerah semacam ini berusaha melakukan perluasan wilayah ke
daerah-daerah pinggir sungai lain untuk tunduk di bawah hegemoninya. Sebagai kekuatan
yang berlandas pada ekoomi perdagangan, mereka mengadakan kontrol dengan
menggunakan jaringan komunikasi perairan untuk mengawasi daerah hulu sungai maupun
daerah pantai di sekitarnya, contoh sistem ini adalah Palembang, ibukota Sriwijaya yang
mengontrol dari hulu sungai hingga pantai.

Kontrol ini tidak hanya melewati jalur sepanjang sungai hingga ke pedalaman,
namun juga terhadap pelabuhan-pelabuhan yang menjadi kekuasaannya dalam hal ini
Sriwijaya bertindak sebagai pelindung dari penguasa lokal (para datu) dan beraliansi dengan
mereka. Dengan cara ini Sriwijaya dapat menguasai jalur Sungai Musi, Batanghari dan
Semenanjung Malaya selain Selat Malaka ( Hall, 1985: 14), selain Funan yang menguasai
Sungai Mekhong dan Samudra Pasai yang memiliki hegemoni di Sungai Pasangan.

Pola yang kedua adalah system pertanian padi (Wet Rice Plain System). Pada
sistem ini terjadi adanya konsentras penduduk di daerah-daerah subur yang digunakan untuk
menanam padi, yang meliputi Asia Tenggara daratan dan kepulauan, yang biasanya juga
berada di daerah lembah sungai, contohnya Pagan di daerah Sungai Irawadi (Birma), Angkor
dan Chen-la di lembah Mekhong, sedang Pulau Jawa di lembah Sungai Brantas dan
Bengawan Solo. Antara dua model ini tidak banyak perbedaan kecuali sistem sungai lebih
berorientasi ke perdagangan, sedang system pertanian orientasinya cenderung ke agraris.
Antara dua sistem kadang saling berbaur, sulit dipisahkan sebagai suatu bentuk system
tertentu, misalnya negara bersistem pertanian namun juga memiliki jaringan perdagangan
laut yang bagus, misalnya Majapahit, dan Sriwijaya, sebagai negara sungai namun mampu
menguasai sektor pedalaman untuk memperkuat basis ekonominya.

Zona perdagangan dan pertukaran barang di kawasan Asia Tenggara memiliki lima
kawasan yang penting, 1) Semenanjung Melayu bagian utara dan pantai Vietnam bagian
selatan pada milenium akhir SM, 2) sekitar Laut Jawa pada abad kedua dan ketiga Masehi, 3)
Selat Malaka pada awal kelima Masehi yang juga menarik pusat lain seperti pantai tenggara
Sumatra untuk menjadi penghubung Kalimantan bagian Barat, Jawa, dan pulau-pulau lain di
bagian timur maupun semenanjung Melayu dan pedalamannya, Chao Phraya dan jaringan
perniagaan Sungai Irawadi. Sumatra bagian selatan sebagai pantai yang istimewa karena
membantu memperlancar perniagaan, pemasar hasil hutan Sumatra dan Laut Jawa, juga
memanfaatkan kapal dan anak buah kapal Melayu untuk menghubungkan jaringan
perniagaan pribumi maupun internasional. Sriwijaya memiliki kedudukan penting di wilayah
ini. Runtuhnya kerajaan ini seiring meningkatnya perniagaan dengan Cina selama dinasti
Sung dan berkembangnya Laut Jawa sebagai pusat perniagaan selama abad ke-11 dan ke-12.

Zona perdagangan laut Sulu sebagai zona keempat yang dilakukan pelaut Cina
untuk membawa rempah-rempah dari kepulauan Indonesia bagian Timur sehingga
Kalimantan Utara dan Filipina berkembang dalam perdagangan ini. Para pedagang Cina
membangun pusat perdagangan di Filipina selama masa ini. Tumbuhnya kekuatankekuatan
di darat seperti Angkor dan Pagan dalam perdagangan internasional membuat Teluk Bengala
menjadi penting sebagai zona kelima perdagangan di kawasan ini pasca Sriwijaya. Teluk
Bengala strategis kedudukannya karena mempertemukan semenanjung Melayu dan Sumatra
bagian utara serta barat dengan India bagian selatan dan Sri Lanka. Kelima zona ini menjadi
jaringan ekonomi independen dan makmur di kawasan Asia Tenggara.

Era baru perniagaan di Asia tenggara muncul setelah Portugis masuk ke wilayah
Selat Malaka tahun 1511. Bukan hanya portugis yang menguasai Malaka, namun kekuatan-
kekuatan Eropa lainnya juga masuk lebih dalam lagi hingga ke Jawa dam kepulauan
Indonesia bagian Timur untuk menguasai rempah-rempah hingga empat abad kemudian.
Datangnya Portugis di perairan Indonesia ini membawa dampak besar, terutama dalam hal
teknologi perkapalan, jadi ada hubngan timbal balik dalam pengetahuan navigasi orang
pribumi dan Portugis, demikian pula dalam pembuatan kapal ( Lapian, 2008).

Kapal milik pribumi di dapat dengan jalan membeli dan membuat sendiri. Hal ini
nampak di Malaka yang membeli kapal dari Pegu, namun Jawa pada abad ke-16, di lingkup
asia Tenggara dikenal sebagai pembuat galangan kapal yang terkenal, misalnya di Lasem.
Untuk wilayah Indonesia Timur, Pulau Kei menghasilkan galangan kapal yang dijual di
Maluku pada abad ke-19. Inovasi sebagai dampak dari pengaruh luar terhadap teknik
pelayaran dan perkapalan tidak dapat dihindarkan, misalkan pengaruh Arab, Persia, dan
India, selain dari Eropa, yaitu dari Inggris dan Belanda, misalnya penggunaan kata pinisi
yang berhubungan dengn pinas (bhs Belanda) atau pinnace (bhs Inggris).

Rempah-rempah menjadi salah satu barang dagangan penting dalam perdagangan di


wilayah Asia Tenggara. Hasil pertanian bumi ini penting ketika tuntutan ketersediaan
barang dagangan ini mulai mengalir dari Indonesia bagian Timur masuk ke kawasan Laut
Jawa untuk kemudian menuju pasar internasional. Kesempatan bagi pasar baru mensyaratkan
pula adanya suatu hubungan politik dan ekonomi antara pedalaman dan penduduk pesisir dan
kontak perniagaan internasional juga memiliki andil mendorong perkembangan wilayah ini.
Pasar untuk barang yang dikapalkan sepanjang jalur pesisir, pertama kali terbatas
karena adanya fragmentasi politik di Barat. Perniagaan seringkali menunggu pasar Barat
stabil lebih dahulu. Kestabilan politik didapat setelah terjadi konsolidasi politik di Roma.
Kemajuan teknik juga diikuti penemuan konstruksi perkapalan yang memungkinkan kapal
memuat barang dalam jumlah besar dan mampu melintasi lautan pada jarak yang lebih
jauh.

Penemuan situs Arikamedu, di pantai India Tenggara pada akhir tahun 1940-an dan
awal tahun 1950-an membuktikan adanya hubungan dagang yang luas antara jaringan yang
menghubungkan Timur dan Barat. Arikamedu adalah suatu emporium atau entreport
lengkap dengan pelabuhan, gudang, tempat tinggal dan menjadi pusat pertukaran barang dari
kawasan Asia Timur dan Barat. Arikamedu juga menjadi tempat tinggal tetap para pedagang
barat. Bukti arkeologis yang ditemukan di lokasi ini antara lain lada, mutiara, kain, kulit
kerang, gading, dan sutera. Adapun barang import dari Bart terdiri dari karang, timah,
tembaga, kaca, pot bunga, lampu, anggur dan uang logam. Arikamedu menjadi bukti tentang
perdagangan pada abad pertama. Sumber lain tentang perdagangan awal ini juga datang dari
Roma yang menunjukkan adanya hubungan Asia dan Eropa. Ketertarikan pedagang Eropa
terfokus pada barang yang berasal dari India, seperti lada Malabar dan tekstil yang berasal
dari India dan Cina.

Sepanjang abad ke-9 dan sepuluh ketika kerajaan Tang mulai runtuh, dan Cina
terpecah menjadi sejumlah kesatuan regional dan politik, perdagangan internasional tidak
ikut jatuh karena upaya yang dilakukan oleh pemerintah Han dan Ming di bagian selatan,
masing-masing eksis di Canton dan Fuchou. Tekanan-tekanan baru mulai dibangun
sepanjang jalur maritim di Asia Tenggara dan Asia Selatan, yang sebelumnya sedikit sekali
terjadi konflik politik. Abad kesepuluh kemudian dilihat sebagai awal konflik, khususnya
karena bangkitnya kekuatan maritim di Jawa Timur dan Tamil di pantai timur India.
Peningkatan dalam volume perniagaan menambah persaingan antar kawasan yang diikuti
reunifikasi Cina di bawah dinasti Sung (960-1279) dan usaha- usaha membuka komunikasi
laut bagian selatan (Nanyang).

Tempat dan jenis komoditi dalam perdagangan maritim era dinasti Sung
menunjukkan apa yang orang Cina ketahui dan yang tidak mereka kenal. Chao Ju-kua,
pengawas perdagangan maritim di pelabuhan pantai timur Cina, Chuan chou, me-
rekonstruksi pola perdagangan pada 1225 melalui informasi orang laut dan para
pedagang. Ia membagi Asia Tenggara menjadi Shang An (Upper Shore/ Tepi Laut Atas),
dan Cina telah memiliki kontak berabad-abad sebelumnya, termasuk dengan Semenanjung
Melayu, dan Hsia An (Lower Shore/Tepi Laut Bawah) yang meliputi Sumatra dan Laut Jawa,
yang jaringan perdagangan sebelumnya dikontrol oleh Sriwijaya. Melemahnya sistem
perdagangan internasional menyebabkan para pedagang asing langsung menuju Asia
Tenggara. Munculnya pelabuhan-pelauhan baru di bagian selatan Cina melengkapi
pelabuhan lama yang berada di bagian selatan India. Para pedagan ini selain berniaga di
sepanjang pantai Filipina, Kalimantan Utara, Sumatra Utara dan Barat, juga masuk ke
wilayah kerajaan yang berada di pedalaman.

Pada abad ke-10, karena keunggulan teknologi perkapalan dan organisasi, para
pedagang Arab telah mencapai tempat-tempat penting di Asia Tenggara, namun memasuki
abad ke-12 dan ke-13 peran pedagang Arab ini makin berkurang, karena masuknya para
pedagang Cina ke pasar-pasar di Asia Tenggara masa itu. Selama masa Sung, bagian
selatan Cina makin penting nilainya sekaligus menutup jalur karavan yang melintasi Asia
Tengah. Pemerintah Sung bukan hanya melihat laut sebagai sumber pendapatan penting,
namun sekaligus mengintegrasikannya ke dalam strategi pertahanan Cinaii. Angkatan laut
Cina kemudian dibangun sebagai fondasi bagi ekspedisi Mongol dan Ming.

Sebelum kedatangan bangsa Baral, kegiatan perdagangan di wilayah kepulauan


Nusantara telah berkembang menjadi wilayah perdagangan internasional. Jalur perniagaan
melalui darat dimulai dari Cina (Tiongkok) melalui Asia Tengah, Turkestan sampai ke Laut
Tengah. Jalur ini juga berhubungan dengan [alan-jalan kafilah dari India. Jalur ini terkenal
dengan sebutan "[alur Sutera" (silk road). Sejauh ini, jalur perdagangan lewat darat inilah
yang merupakan jalur paling tua, yang menghubungkan Cina dengan Eropa.

Adapun jalan perniagaan melalui jalur laut juga dimulai dari Cina melalui Laut
Cina, melalui Selat Malaka, Calicut (India), lalu ke Teluk Persia, melalui Syam (Suriah)
sampai ke Laut Tengah; atau melalui Laut Merah sampai ke Mesir lalu menuju Laut
Tengah (Van Leur 1967). Pada waktu itu komoditas ekspor dari wilayah Nusantara yang
sampai di pasaran India dan kekaisaran Romawi (Byzantium) antara lain rernpah rempah,
kayu wangi, kapur barns, dan kemenyan.

Kelompok dagang Asia dapat digolongkan ke dalam dua kelompok, yaitu:


kelompok finansir, yaitu orang-orang kaya, hartawan yang memasukkan uangnya ke
dalam dunia perdagangan secara insidental. Kelompok berikutnya adalah para saudagar
kelontong atau pedagang keliling. Mereka ini biasanya merupakan pemilik modal yang ikut
langsung dalam dunia perdagangan dengan cara ikut berlayar berkeliling menjajakan
barang-barang dagangannya.

Perjalanan dari satu pelabuhan tempat pemberangkatan ke pelabuhan lain sebagai


tujuan perdagangan itu umumnya memakan waktu yang relatif lama. Burger
menggambarkan pelayaran dari Tonkin ke India memakan waktu sekitar 12 sampai 15
bulan. Dari Kanton ke Palembang ditempuh sekitar 20 hari sampai dengan satu bulan.
Adapun dari Aceh ke Cina memakan waktu sekitar 20 sampai dengan 30 hari. Dengan
sendirinya biaya angkut barang itu menjadi cukup tinggi sehingga harga jual barang
dagangan itu pun menjadi tinggi pula alias mahal. Ternyata dari harga yang relatif mahal
itu para pedagang memperoleh keuntungan yang cukup tinggi pula.

Menurut Van Leur (1967), pada masa kerajaan lama, baik pada masa kejayaan
Hindu, Buddha, maupun Islam, pengaruh raja a tau sultan sebagai kepala negara dalam
dunia perdagangan cukup besar. Mereka bertindak tidak hanya sebagai pengontrol
keamanan a tau penarik pajak, tetapi sering jug a bertindak sebagai "pemegang saham".
Oleh karena itu, pad a dasarnya dunia perdagangan di wilayah Nusantara pada waktu itu
telah mempunyai sifat kapitalistis, atau tepatnya sifat kapitalis politik.

Perkembangan dunia perniagaan atau perdagangan di wilayah Nusantara sampai


dengan abad ke-16 pada dasarnya tidak kalah majunya jika dibandingkan dengan
perkembangan di Eropa. Bahkan, menurut Ricklefs, waktu itu Eropa bukan merupakan
wilayah termaju di dunia. Wilayah yang sedang berkembang waktu itu justru dunia Islam
yang mencakup sebagian Timur Tengah sampai dengan wilayah Nusantara. Kemudian,
apabila kita telusuri lebih jauh ke belakang, ke masa pra-Islarn, ternyata dunia perniagaan di
wilayah Nusantara juga telah berkembang, terutama pada masa Kejayaan Sriwijaya dan
Majapahit. Tulisan ini memperlihatkan keadaan wilayah Nusantara dilihat dari sudut
ekonorni atau perniagaan sebelum abad ke-19.
Pengontrolan Jawa terhadap per- dagangan rempah-rempah yang menjadi kekuatan
perniagaan yang dominan pada abad ke-13 hingga abad ke-17 tetap dominan, meskipun
pergolakan politik membawa kepada konfigurasi yang berbeda di setiap negara. Pengaruh
kekuasaan Jawa mulai dari Sumatra Selatan hingga Selat Malaka. Pada abad-abad itu pula,
Ayutthaya berada di puncak kejayaannya (Breazeale, 1999).

3.1 Perbedaan Perdagangan Dalam Negeri Dan Internasional Serta Dampaknya

Perdagangan adalah suatu aktivitas jual beli yang bertujuan untuk memperoleh
keuntungan. Usaha perdagangan dapat dimulai dari unit terkecil hingga antar negara.
Perdagangan dalam unit terkecil contohnya adalah warung kelontong atau bisa juga
pedagang asongan ditepi jalan. Sedangkan perdagangan dalam tingkat antar negara berkaitan
dengan eksport-import antar negara yang melibatkan berbagai kebijakan antar negara yang
tidak dapat diubah secara specifik. Perdagangan antar negara melibatkan birokrasi yang
berbeda antar negara. Peraturan dan kebijakan eksport import antar negara yang berbeda.
Hal ini berkaitan erat juga dengan kultur antar negara yang berbeda. Perdagangan beda
negara memiliki peranan yang penting dalam kemajuan suatu negara. Pendapatan suatu
negara juga akan bertambah banyak ketika perdagangan antar negara ini ditingkatkan secara
signifikan.

Perdagangan terbagi atas dua yakni perdagangan nasional dan perdagangan


internasional. Seperti tema diatas kali ini kita akan membahas perbedaan antara perdagangan
dalam negeri (nasional) dan perdagangan Internasional. Dalam membedakannya kita dapat
mengacuh kepada ciri-ciri. Seperti ciri-ciri perdagangan dalam negeri (nasional) dan ciri-ciri
perdagangan internasional. Sebelumnya seputar perdagangan internasional telah dibahas
manfaat perdagangan internasional dan kali ini kami akan melengkapi pembahasan tentang
perdagangan internasional dengan membahas Perbedaan Perdagangan Dalam Negeri dan
Internasional seperti yang ada dibawah ini.
Perbedaan Perdagangan Dalam Negeri dan Internasional. Perdagangan dalam negeri
kegiatannya dalam negeri kegiatannya berlangsung di dalam negeri sendiri, sehingga
memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

Alat bayarnya menggunakan uang yang berlaku di negeri sendiri dan tidak
memerlukan valuta asing. Misalnya di Indonesia alat bayarnya cukup dengan mata
uang rupiah.

Tidak perlu pengurusan surat-surat atau prosedur yang berbelit-belit.


Cara pembayarannya relatif mudah, bisa dengan tunai atau cara kredit dan bisa
melalui bantuan bank dalam negeri.
Biaya transportasi antardaerah relatif mudah.
Tidak terlalu terikat atau ketat dengan aturan berbagai standar mutu.
Kegiatannya berlangsung di daerah atau antardaerah dalam negeri.
Pembeli dan penjual dapat bertatap muka atau melakukan interaksi secara langsung

Perdagangan Internasional dari sisi berlangsungnya kegiatan antara eksportir dengan


importir memiliki ciri-ciri sebagai berikut..

Alat bayar yang digunakan adalah valuta asing.

Memerlukan penyelesaian surat-surat dan prosedur tertentu.


Eksportir dalam negeri tidak perlu harus bertatap muka dengan importir luar negeri,
demikian pula importir dalam negeri tidak perlu harus bertatap muka dengan
eksportir luar negeri.
Memerlukan bantuan bank devisa yang punya hubungan dengan bank di negara
importir maupun eksportir luar negeri tersebut, dalam melaksanakan kegiatan
maupun pembayarannya.
Mutu barang harus memenuhi standar internasional
Biaya angkutnya tinggi, karena sudah melewati batas negara.
Untuk barang impor dikenakan pajak impor/bea masuk

Berdasarkan uraian di atas dapat dibedakan antara perdagangan internasional


(internasional trade) dengan perdagangan dalam negeri (interrefional trade) sebagai
berikut...

Perdagangan internasional merupakan perdagangan antaranegera sedangkan


perdagangan regional merupakan perdagangan yang terbatas dalam negeri sendiri
(disatu negara).

Perdagangan Internasional melibatkan berbagai macam mata uang sedangkan


pedagangan regional hanya menggunakan satu macam mata uang.
Jika terjadi perselisihan dalam perdagangan internasional diselesaikan dengan
hukum internasional, sedangkan untuk perdagangan regional dengan hukum
nasional masing-masing
Barang-barang yang diperdagangkan dalam perdagangan internasional biasanya
dikemas khusus agar tidak mengalami kerusakan tetapi tidak demikian untuk
perdagangan regional
Barang-barang yang diperdagangkan dalam perdagangan internasional biasanya
disesuaikan dengan selera ataupun kondisi dan situasi negara yang bersangkutan,
baik negara pengekspor maupun negara pengimpor.

Dampak Negatif Perdagangan Internasional bagi Perekonomian Indonesia


Dalam setiap kerja sama perdagangan internasional baik bilateral, regional, maupun
multilateral tentu saja selain mempunyai dampak positif juga menimbulkan dampak negatif.
Adapun dampak negatif perdagangan internasional bagi perekonomian Indonesia adalah
sebagai berikut :

a. Kelangsungan Hidup Produk Dalam Negeri Teracam Kelangsungan


hidup produksi dalam negeri dapat terancam karena perdagangan
internasional dapat membuka peluang dan kesempatan masuknya
produk luar negeri ke dalam negeri sehingga bagi produk dalam negeri
yang kualitasnya rendah tentu akan kalah bersaing dan tidak laku di
pasaran. Sedangkan produk luar negeri yang proses pembuatannya lebih
maju dan modern tentu saja kualitasnya lebih baik akan laku dan
menguasai pasaran.
b. Menyempitnya Pasar Produk Dalam Negeri Dengan masuknya produk
luar negeri ke dalam negeri tentu akan mengurangi pasar di dalam
negeri. Sehingga pasar dalam negeri yang semula dikuasai oleh produk
dalam negeri, perlahan-lahan akan dapat digeser dan dikuasai oleh
produk luar negeri.
c. Hancurnya Industri Dalam Negeri Bagi industri kecil yang kemampuan
modalnya kecil dan daya saingnya rendah sudah pasti akan kalah
bersaing dengan pengusaha asing. Akibatnya banyak pengusaha dalam
negeri yang bangkrut atau menutup usahanya. Maka untuk mencegah
hal ini pemerintah melakukan proteksi guna melindungi produksi dalam
negeri dari serbuan produk-produk luar negeri.
d. Meningkatnya Pengangguran Banyaknya perusahaan yang bangkrut
atau gulung tikar karena kalah bersaing dengan perusahaan asing yang
menjual produknya di Indonesia, mengakibatkan banyaknya tenaga
kerja yang di-PHK sehingga menyebabkan pengangguran meningkat
dan daya beli masyarakat menurun.
e. Terjadinya Utang Luar Negeri Dalam perdagangan internasional apabila
ekspor negara kita lebih kecil daripada impor, maka hal ini akan
menyebabkan terjadinya hutang luar negeri. Padahal untuk membayar
hutang tersebut Indonesia harus membayar dengan devisa, akibatnya
devisa Indonesia berkurang dan perekonomian dalam negeri akan
terganggu. Dampak Positif Perdagangan Internasional bagi
Perekonomian Indonesia Dalam setiap kerja sama perdagangan
internasional yang dilakukan Indonesia dengan negara lain harus
mengandung prinsip saling menguntungkan. Beberapa dampak positif
perdagangan internasional bagi perekonomian Indonesia, di antaranya
sebagai berikut.
f. Mendorong dan Mempercepat Pertumbuhan Ekonomi
Dengan adanya perdagangan internasional yang dilakukan oleh
Indonesia akan dapat mendorong tumbuhnya industri-industri dalam
negeri untuk mengembangkan usahanya sehingga akan mempercepat
pertumbuhan perekonomian dalam negeri. Perdagangan internasional
akan dapat meningkatkan permintaan dan penawaran akan suatu produk.
Hal inilah yang mendorong bertumbuhnya industri-industri dalam
negeri. Sebagai contoh, berkembangnya industri batik, kerajinan, dan
industri tekstil.
g. Meningkatkan Pendapatan Negara Melalui perdagangan internasional
akan diperoleh devisa yang merupakan salah satu sumber penerimaan
negara. Semakin besar ekspor kita maka semakin besar pula devisa yang
diperoleh. Dengan meningkatnya pendapatan negara maka
pembangunan dapat terlaksana dengan baik dan kebutuhan negara akan
dapat terpenuhi.
h. Memperluas Lapangan Pekerjaan Adanya perdagangan internasional
dapat meningkatkan permintaan akan suatu produk. Hal inilah yang
mendorong tumbuh dan berkembangnya industri-industri dalam negeri
sehingga terciptalah lapangan kerja, yang pada akhirnya dapat
mengurangi pengangguran di dalam negeri.
i. Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat Adanya perdagangan internasional
akan dapat memperluas lapangan kerja dalam negeri, dan banyak
masyarakat yang dulunya sulit mencari pekerjaan/menjadi
pengangguran sekarang dapat bekerja dan mempunyai penghasilan.
Dengan berpenghasilan, masyarakat akan dapat memenuhi kebutuhan
hidupnya, yang berarti kesejahteraan hidupnya meningkat.
j. Meningkatkan Kualitas Produksi Mengingat banyaknya persaingan dari
negara-negara lain dalam perdagangan internasional maka hal itu
mendorong setiap negara untuk meningkatkan kualitas produk
ekspornya agar bisa laku di pasar internasional dan menang dalam
persaingan. Demikian juga dengan negara kita, agar dapat bersaing
dengan negara lain maka Indonesia mau tidak mau juga dituntut selalu
berusaha untuk meningkatkan kualitas produknya agar sesuai dengan
standar mutu internasional dengan cara menerapkan ilmu pengetahuan
dan tehnologi dalam proses produksinya sehingga dapat bersaing dan
laku di pasar internasional. Misalnya dengan mengganti peralatan/mesin
industri dengan yang lebih modern dan berteknologi.
k. Memajukan Dunia Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
Dampak positif lain dengan adanya perdagangan internasional adalah
semakin majunya lembaga keuangan, baik bank maupun nonbank,
karena bagaimanapun dalam perdagangan internasional akan melibatkan
lembaga keuangan untuk membantu memperlancar dan mempermudah
transaksi dalam pembayaran dalam negara lain. Misalnya, mengatasi
perbedaan alat pembayaran antarnegara.

Pembahasan yang cukup detail tentang perdagangan Internasional dan dalam negeri
serta dampaknya memiliki nilai tersendiri. Berbicara mengenai perdagangan maritime, tidak
jauh pembahasan dengan kapal sebagai satu-satunya transportasi yang digunakan untuk
perdagangan jalur laut.

3.2 Kinerja Pembangunan Ekonomi Kelautan Indonesia


Semberdaya kelautan dan perikanan Indonesia mempunyai peranan penting bagi
pembangunan nasional baik secara aspek ekonomi, sosial, keamanan dan ekologi. Dengan
total luas laut Indonesia sekitar 5,8 juta km 2, yang terdiri dari 2,3 juta km 2 perairan kelautan,
0,8 juta km2 perairan teritorial, dan 2,7 km2 perairan Zona Ekonomi Eklusif Indonesia, maka
posisi dan letak kepulauan Indonesia yang bersifat archipelagic, yang terdiri dari 17.504
pulau, menjadi sangat penting dalam sistem perdangan dan penyedia bahan baku bagi
masyarakat nasional dan internasional. Selain itu juga letak wilayah kepulauan sangat
memungkinkan bagi bangsa Indonesia untuk membangun perekonomian yang didasarkan
pada basis sumberdaya kelautan dan perikanan.

Namun demikian secara umum kinerja pembangunan kelautan dan perikanan


sampai saat ini belum menunjukkan adanya terobosan baru dalam melakukan langkah
optimalisasi sumberdaya kelautan dan perikanan untuk kinerja ekonomi nasional, melindungi
kelestarian sumberdaya ikan dan kesejahteraan nelayan serta pembudidaya ikan. Selain itu
juga banyak program dan kegiatan pembangunan kelautan dan perikanan yang tidak
memiliki managemen yang baik, terkesan hanya sekedar pelaksanaan proyek saja sehingga
banyak yang tidak terpakai dan terbengkalai.

3.3 Kondisi Sumberdaya Ikan


Publikasi Food Agriculture Organization (FAO, Maret 2007 dan 2008) menunjukan
bahwa sekitar 52 persen stok ikan laut dunia telah mengalami full exploited. Artinya bahwa
sekitar 52 persen stok ikan laut dunia sudah tertutup untuk dieksploitasi lebih lanjut.

Dalam publikasi FAO (2008) tersebut juga digambarkan bahwa kondisi sumberdaya
ikan di sekitar perairan Indonesia, terutama di sekitar perairan Samudera India dan Samudera
Pasifik sudah menunjukan kondisi full exploited. Bahkan di perairan Samudera Hindia
kondisinya cenderung mengarah kepada overexploited. Artinya bahwa perairan tersebut saat
ini tidak memungkinkan lagi untuk dilakukan ekspansi penangkapan ikan secara besar-
besaran.

3.4 Produksi Nasional Ikan dan Kejahatan Perikanan


Berdasarkan data Food Outlook (FAO 2007) produksi perikanan tangkap Indonesia
mengalami penurunan sebesar 4,55 persen. Penurunan tersebut lebih besar dari rata-rata
penurunan produksi perikanan dari sepuluh Negara produser perikanan dunia, yaitu
sebesar2,37 persen. Hal ini memperkuat dugaan para ahli bahwa kondisi sumberdaya ikan di
beberapa wilayah perairan sudah mengalami degradasi. Berdasarkan hal tersebut maka
pemerintah perlu secara cepat melakukan berbagai upaya guna menyelamatkan sumberdaya
perikanan di wilayah perairan Indonesia.

Penurunan jumlah tangkapan dan peningkatan produksi budidaya ternyata sejalan


dengan menurunnya jumlah nelayan dan meningkatnya jumlah pembudidaya ikan. Hal ini
menunjukkan bahwa aktivitas ekonomi nelayan sudah mengalami over fishing. Sehingga
biaya operasional para nelayan tidak sebanding lagi dengan pendapatan yang diperoleh dari
hasil tangkapan. Hal ini pun menunjukkan kuatnya dugaan bahwa kondisi sumberdaya
perikanan Indonesia sudah berada dititik kritis.

Selain itu juga permasalahan perikanan di Indonesia diperparah lagi dengan belum
optimalnya pemerintah dalam menindak praktek illegal fishing. Kebijakan re-alokasi
anggaran saat ini menimbulkan masalah serius bagi keberlangsungan ekonomi dan
sumberdaya perikanan nasional kedepan.

3.5 Reinkarnasi Kebijakan Ekonomi Kelautan dan Perikanan


Kebijakan ekonomi pembangunan kelautan dan perikanan yang berkembangan
sejak awal reformasi sampai saat ini hanyalah kebijakan-kebijakan yang terus berulang,
padahal sudah terbukti kebijakan tersebut telah mengalami kegagalan. Kebijakan-kebijakan
tersebut hanya berganti nama setiap periode pemerintahan. Atau dengan kata lain kebijakan
kelautan dan perikanan tersebut merupakan kebijakan reinkarnasi dari kebijakan periode
pemerintahan sebelumnya.

Pada periode pemerintahan Gus Dur, Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan
mencanangkan program peningkatan produksi ikan atau yang dikenal dengan istilah
Protekan 2003. Target dari Protekan 2003 tersebut adalah meningkatkan produksi ikan pada
tahun 2003 menjadi 9 juta ton dengan nilai ekspor yang diharapkan mencapai 10 milyar $
US. Namun demikian, sampai akhir tahun 2003 terget tersebut tidak dapat tercapai. Data
FAO (2009) menunjukan bahwa produksi ikan nasional pada tahun 2003 hanya mencapai
sekitar 5,8 juta ton dengan nilai ekspor dibawah 1,6 milyar $ US.

Memasuki periode pemerintahan Megawati, pada tanggal 11 oktober 2003 kembali


dicanangkan Program Gerbang Mina Bahari di Teluk Tomini Provinsi Gorontalo. Target dari
program tersebut meningkatkan produksi ikan nasional sebesar 9,5 juta ton pada tahun 2006
dengan target nilai devisa ekspor sebesar 10 milyar $ US. Target program Gerbang Mina
Bahari tersebut sama dengan target Program Protekan 2003, namun berbeda nama program
saja. Kegagalan yang sama terjadi juga pada program Gerbang Mina Bahari. Data FAO
(2009) menunjukan bahwa produksi ikan nasional pada tahun 2006 hanya mencapai sekitar
6,2 juta ton dengan nilai ekspor produk perikanan hanya mampu mencapai 1,7 miliar $ US.

Periode pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid 1, pemerintah kembali


mencanangkan program serupa dengan nama Revitalisasi Kelautan dan Perikanan. Target
dari program Revitalisasi Kelautan dan Perikanan tersebut adalah peningkatan produksi ikan
pada tahun 2009 sebesar 9,7 juta ton dengan nilai ekspor sebesar 5 milyar $ US. Namun
demikian, sampai akhir periode KIB jilid I target revitalisasi kelautan dan perikanan tersebut
kembali tidak tercapai. Data FAO (2009) memprediksi perikanan nasional tidak akan
melebihi 7 juta ton dan nilai ekspor diperkirakan hanya mencapai 2,1 milyar $ US.

Kegagalan demi kegagalan program peningkatan produksi perikanan pada tiga


periode pemerintahan sebelumnya ternyata tidak membuat KKP untuk berfikir ekstra guna
menyusun terobosan baru.

3.6 Kinerja Ekonomi Kelautan dan Perikanan


Data BKPM (2009) menunjukan pertumbuhan nilai realisasi investasi sektor
perikanan dalam kurun waktu 2006 februari 2009 mengalami penurunan sebesar 5,39
persen per tahun. Nilai investasi sektor perikanan tahun 2006 mencapai Rp. 33.000.000.000
dengan 99,39 persen bersumber dari penanaman Modal Asing (PMA). Sementara tahun 2008
nilai investasi sektor perikanan hanya mencapai Rp. 2.400.000.000 dengan 100 persen
bersumber dari PMA. Sepanjang Januari-Februari 2009 nilai investasi sektor perikanan
masih belumada. Hal ini menunjukan bahwa sektor perikanan ternyata tidak mendapatkan
perhatian yang baik dari para pemodal dalam negeri. Pemerintah terlihat belum dapat
menyakinkan para pemodal dalam negeri untuk menanamkan investasinya di sektor
perikanan.

Penurunan investasi tersebut sangat berpengaruh terhadap penurunan kegitan usaha


sektor perikanan. Buruknya iklim investasi dan usaha sektor perikanan tersebut telah
berdampak terhadap penyerapan tenaga kerja di sektor perikanan. Selain itu juga, dampak
menurunnya iklim investasi dan kinerja usaha sektor perikanan telah menurunkan kinerja
ekspor produk perikanan Indonesia.

Memasuki tahun 2010, kinerja ekonomi kelautan dan perikanan Indonesia belum
menunjukan adanya suatu perbaikan yang signifikan, hal ini ditunjukkan dengan lima
indicator;
1. Neraca pertumbuhan perdagangan produk ikan nasional pada triwulan 1 tahun 2010
mengalami deficit 16,10 %
2. Periode Januari-Juni 2010 aktivitas pencurian ikan oleh kapal asing semakin semarak
3. Rencana kementerian kelautan dan perikanan untuk meningkatkan produksi ikan budidaya
sampai 353% semakin suram untuk tercapai
4. Investasi sektor perikanan pada triwulan 1 tahun 2010 dikuasai asing
5. Kesejahteraan nelayan dan pembudidaya ikan cenderung menurun.
Penurunan tersebut lebih disebabkan oleh terus meningkatnya kebutuhan rumah
tangga dan biaya produksi perikanan yang semakin tinggi, baik nelayan maupun di para
pembudidaya ikan.

3.7 Dampak FTA ASEAN- China Bagi Perikanan Indonesia


Indonesia sebagai bagian ASEAN memberlakukan perdagangan bebas dengan
China melalui (Free-Trade Area/FTA ASEAN-China) mulai tahun 2010, walaupun
penandatanganan FTA tersebut sudah dilakukan sejak tahun 2002. FTA ASEAN-CHINA
tidak hanya akan mengancam konsumsi masyarakat, melainkan sektor riil perikanan.

Menghapus sistem tariff (pajak ekspor dan impor) dan memberlakukan non-tarif
jadi instrument pokok perdagangan bebas (free trade area). Di sektor perikanan Cina akan
menggilas Indonesia akibat tidak kalah bersaing. Indikatornya pertama, Laporan FAO 2008
menempatkan Cina sebagai Negara produksi perikanan terbesar yang bersumber dari laut dan
perairan umum 17,1 juta ton. Kedua, Cina juga sebagai produsen perikanan budidaya
(aquaculture) terbesar dunia. Capaiannya tahun 2004 sebesar 30.614.968 ton meningkat
34.429.122 tahun 2006 (naik 6,05%). Superioritas Cina dalam perikanan dunia amat
ekspansif. Cina membidik bekerjasama dengan ASEAN utamanya Indonesia karena
penduduknya berjumlah sekitar 230 juta sebagai pasar potensial perikanan dan produknya.

Dampak :
Pertama, usaha perikanan rakyat (penangkapan dan budidaya) pasti akan kolaps
karena tidak mampu menyaingi serbuan ikan dan produk ikan dari Cina
Kedua, berlakunya FTA ASEAN-China 2010, otomatis investasi skala besar
perikanan akan masuk Indonesia.
Ketiga, liberalisasi perikanan dalam skala bisnis besar berpotensi meningkatkan
emisi karbon.
Mencermati fakta dan dampaknya, kebijakan pemerintah menekan perjanjian FTA
ASEAN-China dikhawatirkan akan memperpuruk industry perikanan nasional, perikanan
rakyat (nelayan dan pembudidaya ikan) dan memproduksi kemiskinan hingga pengangguran
baru.

3.8 Redesain Kebijakan Ekonomi Kelautan dan Perikanan


Berdasarkan kondisi tersebut diatas hendaknya menjadi perhatian serius bagi para
pemangku kepentingan kelautan dan perikanan. Kegagalan pendekatan produksi dalam
pembangunan ekonomi kelautan dan perikanan selama ini disebabkan oleh:
Pertama, kondisi sumberdaya ikan tangkap yang terus mengalami degradasi.
Kedua, perikanan budidaya sampai saat ini belum dapat diandalkan dalam
meningkatkan produksi ikan nasional sampai 353%.

Berdasarkan kedua hal tersebut, pemerintah hendaknya dapat mengkaji ulang arah
dan kebijakan berdasarkan pendekatan peningkatan produksi ikan tersebut. Pemerintah
Indonesia hendaknya dapat belajar dari Negara-negara tetangga seperti Vietnam dan
Thailand dalam meningkatkan nilai ekspor produk perikanannya walaupun ikannya jauh
dibawah Indonesia. Hal ini menunjukkan daya saing produk perikanan Indonesia masih jauh
di bawah produk perikanan kedua Negara tersebut. Selain itu juga, dukungan pembangunan
dari berbagai pihak harus diberikan kepada sektor ini. Dukungan berupa keputusan politik
serta pemihakan yang nyata dari seluruh instansi terkait, akan bias menjauhkan dan menjaga
Indonesia dari keterpurukan ekonomi kelautan da perikanan. Ekonomi kelautan dan
perikanan seharusnya menjadi pilar keunggulan kompetitif bangsa dalam pembangunan
ekonomi dan peningkatan kemakmuran rakyat.

Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian guna mengoptimalkan sumberdaya


kelautan dan perikanan nasional, yaitu:
1. Menindak secara tegas praktek-praktek illegal fishing
2. Mengkaji ulang strategi pemberdayaan ekonomi nelayan
3. Memperkuat peran kementerian kelanjutan dan perikanan sebagai institusi yang
bertanggung jawab terhadap masa depan pembangunan kelautan dan perikanan Indonesia.
4. Redesain minapolitan. Minapolitan saat ini hanya menekankan kepada peningkatan
produksi ikan saja.
5. Upaya menjaga kelestarian sumberdaya ikan laut, khususnya ikan pelagis kecil (small
pelagic) dan nilai ekonomis karena harga pakan tinggi, pemerintah perlu mengembangkan
perikanan budidaya untuk ikan-ikan jenis herbivore seperti ikan nila (Tilapia), ikan detrivora,
seperti bandeng dan gurami serta rumput laut.

Sementara itu, untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan dan pembudidaya ikan,


pemerintah hendaknya memperhatikan beberapa hal, yaitu;
1. Penurunan biaya rumah tangga nelayan dan pembudidaya ikan
2. Penurunan biaya produksi perikanan

selain itu juga pemerintah perlu mendorong terwujudnya rumah-rumah pakan ikan yang
dikelola oleh setiap kelompok pembudidaya ikan dengan bahan baku local. Sehingga mereka
tidak tergantung lagi dengan pakan pabrik yang harganya jauh dari jangkauan mereka.

3.9 Permasalahan Ekonomi Kelautan di Indonesia

1. Illegal Fishing

Samudera Pasifik merupakan daerah yang tingkat pelanggarannya cukup tinggi dibanding
dengan wilayah lainnya. Pelanggaran-pelanggaran tersebut terutama dilakukan oleh KIA
yang berasal dari berbagai negara diantaranya Thailand, Vietnam, China, dan Filipina.

Pengertian Illegal Fishing merujuk kepada pengertian yang dikeluarkan oleh


International Plan of Action (IPOA) Illegal, Unreported, Unregulated (IUU) Fishing yang
diprakarsai oleh FAO dalam konteks implementasi Code of Conduct for Responsible
Fisheries (CCRF). Pengertian Illegal Fishing dijelaskan sebagai berikut.
Illegal Fishing, adalah :
1. Kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh suatu negara tertentu atau kapal asing di
perairan yang bukan merupakan yuridiksinya tanpa izin dari negara yang memiliki yuridiksi
atau kegiatan penangkapan ikan tersebut bertentangan dengan hukum dan peraturan negara
itu (Activities conducted by national or foreign vessels in waters under the jurisdiction of a
state, without permission of that state, or in contravention of its laws and regulation).
2. Kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh kapal perikanan berbendera salah satu
negara yang tergabung sebagai anggota organisasi pengelolaan perikanan regional, Regional
Fisheries Management Organization (RFMO) tetapi pengoperasian kapal-kapalnya
bertentangan dengan tindakan-tindakan konservasidan pengelolaan perikanan yang telah
diadopsi oleh RFMO. Negara RFMO wajib mengikuti aturan yang ditetapkan itu atau aturan
lain yang berkaitan dengan hukum internasional (Activities conducted by vessels flying the
flag of states that are parties to a relevant regional fisheries management organization
(RFMO) but operate in contravention of the conservation and management measures adopted
by the organization and by which states are bound, or relevant provisions of the applicable
international law).
3. Kegiatan penangkapan ikan yang bertentangan dengan perundang-undangan suatu negara
atau ketentuan internasional, termasuk aturan-aturan yang ditetapkan negara anggota RFMO
(Activities in violation of national laws or international obligations, including those
undertaken by cooperating stares to a relevant regioanl fisheries management organization
(RFMO).
Walaupun IPOA-IUU Fishing telah memberikan batasan terhadap pengertian IUU fishing,
dalam pengertian yang lebih sederhana dan bersifat operasional
Illegal fishing dapat diartikan sebagai kegiatan perikanan yang melanggar hukum.

Illegal Fishing di Indonesia


Kegiatan Illegal Fishing yang paling sering terjadi di wilayah pengelolaan perikanan
Indonesia adalah pencurian ikan oleh kapal-kapal ikan asing (KIA) yang berasal dari
beberapa negara tetangga (neighboring countries). Walaupun sulit untuk memetakan dan
mengestimasi tingkat illegal fishing yang terjadi di WPP-RI, namun dari hasil pengawasan
yang dilakukan selama ini, (2005-2010) dapat disimpulkan bahwa illegal fishing oleh KIA
sebagian besar terjadi di ZEE (Exlusive Economic Zone) dan juga cukup banyak terjadi di
perairan kepulauan (archipelagic state). Pada umumnya, Jenis alat tangkap yang digunakan
oleh KIA atau kapal eks Asing illegal di perairan Indonesia adalah alat-alat tangkap produktif
seperti purse seine dan trawl.Kegiatan illegal fishing juga dilakukan oleh kapal ikan
Indonesia (KII).

Beberapa modus/jenis kegiatan illegal yang sering dilakukan KII, antara lain:
penangkapan ikan tanpa izin (Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) dan Surat Izin
Penangkapan Ikan (SIPI) maupun Surat Izin Kapal Pengangkutan Ikan (SIKPI)), memiliki
izin tapi melanggar ketentuan sebagaimana ditetapkan (pelanggaran daerah penangkapan
ikan, pelanggaran alat tangkap, pelanggaran ketaatan berpangkalan), pemalsuan/manipulasi
dokumen (dokumen pengadaan, registrasi, dan perizinan kapal), transshipment di laut, tidak
mengaktifkan transmitter (khusus bagi kapal-kapal yang diwajibkan memasang transmitter),
dan penangkapan ikan yang merusak (destructive fishing) dengan menggunakan bahan
kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang
membahayakan melestarikan sumberdaya ikan.
.
Faktor -faktor yang menyebabkan terjadinya Illegal fishing di perairan Indonesia tidak
terlepas dari lingkungan strategis global terutama kondisi perikanan di negara lain yang
memiliki perbatasan laut, dan sistem pengelolaan perikanan di Indonesia itu sendiri. Secara
garis besar faktor penyebab tersebut dapat dikategorikan menjadi 7 (tujuh) faktor,
sebagaimana diuraikan di bawah ini.

Pertama, Kebutuhan ikan dunia (demand) meningkat, disisi lain pasokan ikan dunia
menurun, terjadi overdemand terutama jenis ikan dari laut seperti Tuna. Hal ini mendorong
armada perikanan dunia berburu ikan di manapun dengan cara legal atau illegal.
Kedua, Disparitas (perbedaan) harga ikan segar utuh (whole fish) di negara lain
dibandingkan di Indonesia cukup tinggi sehingga membuat masih adanya surplus
pendapatan.
Ketiga, Fishing ground di negara-negara lain sudah mulai habis, sementara di Indonesia
masih menjanjikan, padahal mereka harus mempertahankan pasokan ikan untuk konsumsi
mereka dan harus mempertahankan produksi pengolahan di negara tersebut tetap bertahan.

Keempat, Laut Indonesia sangat luas dan terbuka, di sisi lain kemampuan pengawasan
khususnya armada pengawasan nasional (kapal pengawas) masih sangat terbatas
dibandingkan kebutuhan untuk mengawasai daerah rawan. Luasnya wilayah laut yang
menjadi yurisdiksi Indonesia dan kenyataan masih sangat terbukanya ZEE Indonesia yang
berbatasan dengan laut lepas (High Seas) telah menjadi magnet penarik masuknya kapal-
kapal ikan asing maupun lokal untuk melakukan illegal fishing.

Kelima, Sistem pengelolaan perikanan dalam bentuk sistem perizinan saat ini bersifat
terbuka (open acces), pembatasannya hanya terbatas pada alat tangkap (input restriction). Hal
ini kurang cocok jika dihadapkan pada kondisi faktual geografi Indonesia, khususnya ZEE
Indonesia yang berbatasan dengan laut lepas.

Keenam, Masih terbatasnya sarana dan prasarana pengawasan serta SDM pengawasan
khususnya dari sisi kuantitas. Sebagai gambaran, sampai dengan tahun 2008, baru terdapat
578 Penyidik Perikanan (PPNS Perikanan) dan 340 ABK (Anak Buah Kapal) Kapal
Pengawas Perikanan. Jumlah tersebut, tentunya sangat belum sebanding dengan cakupan
luas wilayah laut yang harus diawasi. Hal ini, lebih diperparah dengan keterbatasan sarana
dan prasarana pengawasan.

Ketujuh, Persepsi dan langkah kerjasama aparat penegak hukum masih dalam
penanganan perkara tindak pidana perikanan masih belum solid, terutama dalam hal
pemahaman tindakan hukum, dan komitmen operasi kapal pengawas di ZEE.

Kegiatan Illegal Fishing di WPP-RI telah mengakibatkan kerugian yang besar bagi
Indonesia. Overfising, overcapacity, ancaman terhadap kelestarian sumberdaya ikan, iklim
usaha perikanan yang tidak kondusif, melemahnya daya saing perusahaan dan
termarjinalkannya nelayan merupakan dampak nyata dari kegiatan IUU fishing. Kerugian
lain yang tidak dapat di nilai secara materil namun sangat terkait dengan harga diri bangsa,
adalah rusaknya citra Indonesia pada kancah International karena dianggap tidak mampu
untuk mengelola perikanannya dengan baik.
Untuk dapat mengetahui, kerugian materil yang diakibatkan oleh Illegal fishing perlu
ditetapkan angka asumsi dasar antara lain: diperkirakan jumlah kapal asing dan eks asing
yang melakukan IUU fishing sekitar 1000 kapal, ikan yang dicuri dari kegiatan IUU fishing
dan dibuang (discarded) sebesar 25% dari stok (estimasi FAO, 2001). Dengan asumsi
tersebut, jika MSY(maximum sustainable yield = tangkapan lestari maksimum) ikan = 6,4
juta ton/th, maka yang hilang di
curi dan dibuang sekitar 1,6 juta ton/th. Jika harga jual ikan di luar negeri rata-rata 2
USD/Kg, maka kerugian per tahun bisa mencapai Rp 30 trilyun.
3.10 Degradasi Ekosistem Sumberdaya Pesisir dan Beberapa Pulau Kecil

Pembangunan pesisr dan laut Indonesia, secara historis sudah dimulai sejak tahun
90-an. Dalamkurun waktu 10 tahun, lingkungan pesisir dan laut Indonesia telah mengalami
perubahan signifikan, baik dari aspek sumberdaya maupun dampak yang mmenyertainya.
Tentunya meningkatnya kerusakan tidak dapat dapat dihindarkan.
1. Mangrove
Hutan mangrove merupakan satu ekosistem pesisir yang amat penting di Indonesia.
Berdasarkan data Direktorat Jendral Rehabilitas Lahan dan Perhutanan Sosial
(2001) dalam Gunarto (2004) luas hutan Mangrove di Indonesia pada tahun 1999
diperkirakan mencapai 8.60 juta hektar akan tetapi sekitar 5.30 juta hektar dalam keadaan
rusak. Sedangkan data FAO (2007) luas hutan Mangrove di Indonesia pada tahun 2005
hanya mencapai 3,062,300 ha atau 19% dari luas hutan Mangrove di dunia dan yang terbesar
di dunia melebihi Australia (10%) dan Brazil (7%).
Data hasil pemetaan Pusat Survey Sumber Daya Alam Laut (PSSDAL)-
Bakosurtanal dengan menganalisis data citra Landsat ETM (akumulasi data citra tahun 2006-
2009, 190 scenes), mengestimasi luas mangrove di Indonesia adalah 3.244.018,46 ha
(Hartini et al., 2010). Kementerian kehutanan tahun 2007 juga mengeluarkan data luas hutan
mangrove Indonesia, adapun luas hutan mangrove Indonesia berdasarkan kementerian
kehutanan adalah 7.758.410,595 ha (Direktur Bina Rehabilitasi Hutan dan Lahan
Kementerian Kehutanan, 2009 dalam Hartini et al., 2010), tetapi hampir 70%nya rusak
(belum tau kategori rusaknya seperti apa). kedua instansi tersebut juga mengeluarkan data
luas Mangrove per propinsi di 33 Provinsi di Indonesia. luas-luas mangrove di 33 Provinsi
dapat dilihat pada tabel berikut:
Fungsi hutan mangrove adalah:
Sebagai tempat hidup dan mencari makan berbagai jenis ikan, kepiting, udang dan
tempat ikan-ikan melakukan proses reproduksi
Menyuplai bahan makanan bagi spesies-spesies didaerah estuari yang hidup dibawahnya
karena mangrove menghasilkan bahan organik
sebagai pelindung lingkungan dengan melindungi erosi pantai dan ekosistemnya dari
tsunami, gelombang, arus laut dan angin topan
sebagai penghasil biomas organik dan penyerap polutan disekitar pantai dengan
penyerapan dan penjerapan
sebagai tempat rekreasi khususnya untuk pemandangan kehidupan burung dan satwa liar
lainnya
sebagai sumber bahan kayu untuk perumahan, kayu bakar, arang dan kayu perangkap
ikan
tempat penagkaran dan penangkapan bibit ikan
sebagai bahan obat-obatan dan alkohol
Dengan melihat fungsi tersebut diharapkan kita bisa menjaga hutan mangrove kita sehingga
dapat dinikmati oleh generasi setelah selanjutnya.

2. Terumbu Karang
Data 2011 yang dihimpun dari 1.076 stasiun pengamatan oleh Pusat Penelitian
Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menunjukkan, hanya 5,58 persen
terumbu karang dalam kondisi sangat baik dan 26,95 persen baik. Sisanya sebanyak 36,90
persen berkondisi cukup dan 30,76 persen kurang baik. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan
dan perlu solusi tepat. Pada 1998, pemerintah mendirikan Coral Reef Rehabilitation and
Management Program (COREMAP) untuk menyelamatkan terumbu karang Indonesia.

Sumber penyebab kerusakan terumbu karang ini akibat dari ulah para nelayan yang
masih menggunakan teknik-teknik penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan, seperti
bubu, lampara dasar, kelong, gillnet, racun, dan bom.
Kini daerah yang terumbu karangnya menjadi objek wisata hingga penelitian yaitu Bunaken,
kepulauan Taka Bonate, kepulauan Seribu, Kepulauan Togian, kepulauan Wakatobi, pulau
Banda, pulau Lucipara, pulau Pombo.

3. Penambangan Pasir Laut


Penambangan pasir laut di Indonesia masih terus dilakukan dan dijual secara illegal.
Penambangan pasir ini banyak dilakukan di kepulauan Riau. Hal ini terus dilakukan karena
harga pasir laut yang begitu tinggi. Dapat dibayangkan berapa keuntungan yang didapat
penambang jika harga pasir laut mencapai S$ 20 / m3( Djajal, 2002) .
Hal itu pastinya hanya menguntungkan pihak penambang, sedangkan para nelayan merasa
dirugikan, karena air laut yang semula jernih setelah ada penambangan pasir berubah
menjadi keruh. Hal itu akan menyulitkan para nelayan untuk menangkap ikan.

4. Reklamasi Pantai
Reklamasi pantai di Jakarta menjadi konflik antara pemerintah DKI Jakarta dan Kantor
Menteri Negara Lingkungan Hidup. Dampak dari reklamasi Teluk Jakarta dapat berimplikasi
dari berbagai aspek baik ekonomi, ekologis, hidro-oceanografi, sosial-budaya, demografi,
ketersediaan energi listrik yang akhirnya berdampak terhadap pembangunan wilayah pantai
utara Jawa secara menyeluruh.

5. Pencemaran Minyak di Laut


Masalah pencemaran minyak di laut seringkali terjadi di perairan Indonesia, karena
perairan Indonesia merupakan jalur pelayaran internasional dan Indonesia merupakan salah
satu negara pengekspor minyak mentah.
Diperkirakan perhari sebanyak 7 juta barel minyak mentah melewati selat Malaka, 0,3 juta
barel perhari melalui perairan pulau Sumatera dan 5-6 kapal tanker raksasa bermuatan
250.000 ton melewati selat Lombok dan Makassar. Ramainya transportasi minyak diperairan
tersebut setidaknya telah menimbulkan beberapa kasus yang diakibatkan oleh kandasnya
kapal tersebut, tabrakan dengan kapal lain dan kebocoran.

6. Abrasi dan Sedimentasi


Kasus sedimentasi sepanjang Oktober 2009-2010:
a. Abrasi pantai di Bali sepanjang 181,70 kmdari total 437,70 km.
b. Abrasi pantai di Jawa Tengah 4000 ha.
c. Abrasi pantai Jepara 610,527 m2.
d. Menyempitnya luas laguna segara anakan tinggal 700 hektar akibat sedimentasi sungai
Citandui 750.000 kubik ditambah sungai Cimeneng 250.000 kubik per tahun.
Setiap 1cm kenaikan muka laut rata rata berdampak mengurangi garis pantai 1,23 hingga
4,48 m.

Utang Luar Negeri dalam Membangun Kelautan dan Perikanan Indonesia


Hingga tahun 2010 Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) masih mengutang dari
lembaga lembaga keuangan internasional. KKP mengutang pada Islamic Development
Bank (IDM) untuk membiayai infrastruktur dan mengutang dari Asia Development Bank
(ADB)untuk merehabilitasi terumbu karang.

Perubahan Iklim Global dan Dampaknya bagi Sumberdaya Kelautan


Pemanasan global akan mendorong migrasi ikan dari perairan tropis ke sub-tropis yang
memosisikan negara lain karena surplus tangkapan ikan.
Hasil penelitian Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan dan Pusat Kajian Pembangunan
Kelautan dan Peradaban Maritim di pulau Tarakan menunjukan adanya dampak perubahan
iklim:
- Musim penangkapan ikan di wilayah Tarakan sudah sulit diprediksi setiap tahunnya.
- Angin kencang dan badai yang melanda wilayah pesisir Tarakan.
- Dalam periode waktu antara tahun 1980-1990 terjadi kekeruhan air laut secara alamiah.
- Telah terjadi perubahan lokasi fishing ground ikan dan hasil tangkapan menurun sejak 5
tahun terakhir.

Kemiskinan Masyarakat Pesisir


Hasil penelitian membuktikan bahwa di kabupaten Sukabumi dan Karawang kawasan pesisir
lebih tertinggal ketimbang non pesisir.
Penyebab kemiskinan di wilayah pesisir antara lain:
- Kuatnya tekanan tekanan struktural yang bersumber dari kebijakan pemerintah
Indonesia dalam membangun sub-sektor perikanan.
- Ketergantungan yang berbentuk patron client antara pemilik faktor produksi dan buruh
nelayan.
- Terjadinya over eksploitasi terhadap sumberdaya perikanan terhadap akibat modernisasi
yang tak terkendali.
- Terjadinya penyerobotan wilayah perikanan tradisional yang dilakukan oleh perusahaan
perikanan modern yang sejatinya menjadi daerah beroprasinya nelayan trasisional.
- Adanya fenomena kompradorisme meminjam pemikiran neomarxis dalam kasus
penangkapan ikan.

Buruh Nelayan
Nelayan buruh dalam sistem kelas sosial masyarakat pesisir tergolong marjinal dan
tertidas secara ekonomi. Struktur sosial nelayan khususnya nelayan tradisional dan nelayan
buruh, biasanya amat lemah di depan juragan. mereka bahkan menganggap juragan
mendekatai mesianis akibat keberadaanya dapat menjadi juru selamat saat mereka tidak
memiliki uang.
Nelayan buruh bukanlahorang miskin, mereka hanya sebagian warga bangsa yang tidak
berdaya akibat kebijakan ekonomi politik negara yang menganut mahzab produktif dan
eksploitatif atas sumber daya kelautan dan perikanan yang berlangsung hingga kini.
Sebagai negara yang menghormati hak asasi manusia, Buruh nelayan dan nelayan
semestinya mendapatkan:
- Asuransi berupa suransi kematian, kecelakaan kerja, kesehatan, dan pendidikan anak
anak.
- Jaminan perlindungan hukum bagi nelayan buruh/tradisional yang menangkap ikan di
perbatasan wilayah maritim.
Kusnadi Menyatakan bahwa alasan kuat pentingnya asuransi buat nelayan karena:
- Kegiatan melaut bersifat spekulatif tinggi sehingga amat sulit bagi nelayan
memprediksi hasil dan pendapatan yang diperolehnya.
- Investasi di sektor perikanan membutuhkan biaya yang besar untuk operasional,
rekruitmen nelayan buruh dan pemeliharaan alat tangkap.
- Melaut beresiko tinggi atas keselamatan jiwa dan kesehatan badan.
- Kawasan pesisir umumnya rawan penyakit menular dan endemik hingga kualitas SDM
nelayan rata rata berpendidikan rendah.

3.11 Potensi Ekonomi Kelautan dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia

3.11.1 Potensi Fisik

Potensi wilayah pesisir dan lautan Indonesia dipandang dari segi fisik, terdiri dari
Perairan Nusantara seluas 2.8 juta km2, Laut Teritorial seluas 0.3 juta km2. Perairan
Nasional seluas 3,1 juta km2, Luas Daratan sekitar 1,9 juta km2, Luas Wilayah Nasional 5,0
juta km2, luas ZEE (Exlusive Economic Zone) sekitar 3,0 juta km2, Panjang garis pantai
lebih dari 81.000 km dan jumlah pulau lebih dari 18.000 pulau.

3.11.2 Potensi Pembangunan

Potensi Wilayah pesisir dan laut Indonesia dipandang dari segi Pembangunan adalah sebagai
berikut:
1. Sumberdaya yang dapat diperbaharui seperti; Perikanan (Tangkap, Budidaya, dan
Pascapanen), Hutan mangrove, Terumbu karang, Industri Bioteknologi Kelautan dan Pulau-
pulau kecil.
2. Sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui seperti; Minyak bumi dan Gas, Bahan
tambang dan mineral lainnya serta Harta Karun.
3. Energi Kelautan seperti; Pasang-surut, Gelombang, Angin, OTEC (Ocean Thermal
Energy Conversion).
4. Jasa-jasa Lingkungan seperti; Pariwisata, Perhubungan dan Kepelabuhanan serta
Penampung (Penetralisir) limbah.
3.11.3 Potensi Sumberdaya Pulih (Renewable Resource)

Potensi wilayah pesisir dan lautan lndonesia dipandang dari segi Perikanan meliputi;
Perikanan Laut (Tuna/Cakalang, Udang, Demersal, Pelagis Kecil, dan lainnya) sekitar
4.948.824 ton/tahun, dengan taksiran nilai US$ 15.105.011.400, Mariculture (rumput laut,
ikan, dan kerang-kerangan serta Mutiara sebanyak 528.403 ton/tahun, dengan taksiran nilai
US$ 567.080.000, Perairan Umum 356.020 ton/tahun, dengan taksiran nilai US$
1.068.060.000, Budidaya Tambak 1.000.000 ton/tahun, dengan taksiran nilai US$
10.000.000.000, Budidaya Air Tawar 1.039,100 ton/tahun, dengan taksiran nilai US$
5.195.500.000, dan Potensi Bioteknologi Kelautan tiap tahun sebesar US$ 40.000.000.000,
secara total potensi Sumberdaya Perikanan Indonesia senilai US$ 71.935.651.400 dan yang
baru sempat digali sekitar US$ 17.620.302.800 atau 24,5 %. Potensi tersebut belum termasuk
hutan mangrove, terumbu karang serta energi terbarukan serta jasa seperti transportasi,
pariwisata bahari yang memiliki peluang besar untuk dikembangkan.

3.11.4 Potensi Sumberdaya Tidak Pulih (Non Renewable Resource)

Pesisir dari Laut Indonesia memiliki cadangan minyak dan gas, mineral dan bahan
tambang yang besar. Dari hasil penelitian BPPT (1998) dari 60 cekungan minyak yang
terkandung dalam alam Indonesia, sekitar 70 persen atau sekitar 40 cekungan terdapat di
laut. Dari 40 cekungan itu 10 cekungan telah diteliti secara intensif, 11 baru diteliti sebagian,
sedangkan 29 belum terjamah. Diperkirakan ke-40 cekungan itu berpotensi menghasilkan
106,2 miliar barel setara minyak, namun baru 16,7 miliar barel yang diketahui dengan pasti,
7,5 miliar barel di antaranya sudah dieksploitasi. Sedangkan sisanya sebesar 89,5 miliar barel
berupa kekayaan yang belum terjamah. Cadangan minyak yang belum terjamah itu
diperkirakan 57,3 miliar barel terkandung di lepas pantai, yang lebih dari separuhnya atau
sekitar 32,8 miliar barel terdapat di laut dalam.
Sementara itu untuk sumberdaya gas bumi, cadangan yangdimiliki Indonesia sampai dengan
tahun 1998 mencapai 136,5 Triliun Kaki Kubik (TKK). Cadangan ini mengalami kenaikan
bila dibandingkan tahun 1955 yang hanya sebesar 123,6 Triliun Kaki Kubik. Sedangkan
Potensi kekayaan tambang dasar laut seperti aluminium, mangan, tembaga, zirconium, nikel,
kobalt, biji besi non titanium, vanadium, dan lain sebagainya yang sampai sekarang belum
teridentifikasi dengan baik sehingga diperlukan teknologi yang maju untuk mengembangkan
potensi tersebut.

3.11.5 Potensi Geopolitis

Indonesia memiliki posisi strategis, antar benua yang menghubungkan negaranegara


ekonomi maju, posisi geopolitis strategis tersebut memberikan peluang Indonesia sebagai
jalur ekonomi, misalnya beberapa selat strategis jalur perekonomian dunia berada di wilayah
NKRI yakni Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok, Selat Makasar dan Selat Ombai-
Wetar. Potensi geopolitis ini dapat digunakan Indonesia sebagai kekuatan Indonesia dalam
percaturan politik dan ekonomi antar bangsa.

3.11.6 Potensi Sumberdaya Manusia

Potensi wilayah pesisir dan lautan Indonesia dipandang dari segi SDM adalah sekitar 60
% penduduk Indonesia bermukim di wilayah pesisir, sehingga pusat kegiatan perekonomian
seperti: Perdagangan, Perikanan tangkap, Perikanan Budidaya, Pertambangan, Transportasi
laut, dan Pariwisata bahari. Potensi penduduk yang berada menyebar di pulau-pulau
merupakan aset yang strategis untuk peningkatan aktivitas ekonomi antar pulau sekaligus
pertahanan keamanan negara.

Begitu banyak potensi kelautan di Indonesia yang dapat mendorong berjalannya


pembangunan ekonomi. Potensi-potensi tersebut harus di kembangkan dan dimanfaatkan se-
optimal mungkin untuk pembangunan ekonomi serta kesejahteraan rakyat Indonesia. Potensi
tersebut akan terbuang sia-sia apabila tidak dimanfaatkan sebaik mungkin.

4 Kondisi Pelayaran dan Pelabuhan Nasional


Pelabuhan adalah sebuah fasilitas di ujung samudera, sungai, atau danau untuk
menerima kapal dan memindahkan barang kargo maupun penumpang ke dalamnya.
Pelabuhan biasanya memiliki alat-alat yang dirancang khusus untuk memuat dan
membongkar muatan kapal-kapal yang berlabuh. Terkadang crane dan gudang berpendingin
disediakan oleh pihak pengelola maupun pihak swasta yang berkepentingan, sesuai jenis
pelabuhannya juga. Sering pula disekitarnya dibangun fasilitas penunjang seperti
pengalengan dan pemrosesan barang. Peraturan Pemerintah RI No.69 Tahun 2001 mengatur
tentang pelabuhan dan fungsi serta penyelengaraannya.

Dalam kesehariannya, pelabuhan juga mempunyai hubungan erat dengan warga sekitar
yang mendiami kawasan pelabuhan. Sebagian besar warganya bermata pencaharian sebagai
kuli angkut dan bongkar muat di pelabuhan. Namun setiap pekerjaan mempunyai kendala,
terlebih jika air laut sedang dalam keadaan tinggi. Tentu saja kegiatan bongkar muat akan
dikurangi dan itu akan berdampak langsung pada masyarakat sekitar. Namun banyak juga
warga yang menjadi nelayan jika air laut sedang tinggi. Keadaan seperti ini tentu saja
menjadi masalah serius bagi masyarakat pelabuhan dan juga berdampak langsung pada status
ekonomi dan sosial di daerah pelabuhan.
Competitiveness Index sebesar 21 peringkat (BAPPENAS, Konsep Tol Laut dan
Implementasi 2015-2019, 2015. Meskipun peringkat Indonesia naik, namun masih jauh di
bawahj negera ASEAN lainnya, seperti Singapura yang berada di peringkat 2 dan Malaysia
di peringkat 20 (BAPPENAS, Public-Private Partnership Infrastructure Projects Plan in
Indonesia, Mei 2015)
Peningkatan peringkat indeks kompetensi Indonesia di sektor transportasi khususnya
transportasi laut juga terus meningkat ke peringkat 77 di tahun 2015 dari peringkat 104 di
tahun 2012 menunjukkan pembangunan di Indonesia berada pada arah yang benar. Namun
hal tersebut belum cukup untuk dapat bersaing dengan negara tentangga, dalam hal ini
dibandingkan Thailand dan Malaysia.

Praktisi perdagangan di Indonesia turut menilai kualitas dan jumlah infrastruktur di


Indonesia masih rendah. Menurut Kamar Dagang dan Industri Indonesia, biaya logistik yang
ditanggung oleh industri saat ini masih tinggi, yaitu sebesar 17% dari biaya produksi. Hal
tersebut menyebabkan iklim investasi di Indonesia masih kurang kompetitif dan menarik.
Layanan angkutan laut dalam negeri yang saat ini telah didominasi oleh armada laut
berbendera Indonesia yang menunjukkan keberhasilan implementasi asas Cabotage. Namun
untuk layanan angkutan laut luar negeri (internasional), saat ini masih didominasi oleh
armada asing, sehingga menyebabkan defisit transaksi jasa dalam Neraca Pembayaran
Indonesia (NPI). Di Tahun 2012 untuk pangsa muatan 9,8% defisit sekitar USD. 10 milyar.
Peningkatan pangsa muatan angkutan luar negeri menggunakan armada nasional atau
implementasi asas Beyond Cabotage perlu segera direalisasikan, diantaranya melalui
perubahan term of trade dan pengembangan pelabuhan Hub International.

Saat ini total jumlah pelabuhan di Indonesia baik komersial maupun non-komersial
yaitu berjumlah 1.241 pelabuhan, atau equivalen satu pelabuhan melayani 14 pulau (14,1
pulau/pelabuhan) dengan luas rata-rata 1548 km2/pelabuhan. Keadaan infrastruktur tersebut
masih belum berimbang jika dibandingkan negara kepulauan lainnya di Asia, misalnya:
Jepang 3,6 pulau/pelabuhan dan 340 km2/pelabuhan; serta Filipina 10,1 pulau/pelabuhan dan
460 km2/pelabuhan.

Berdasarkan dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional


(RPJMN) 2015-2019, dalam rangka pembangunan konektivitas nasional untuk mencapai
keseimbangan pembangunan ditetapkan sasaran peningkatan 24 pelabuhan strategis untuk
mendukung program tol laut, yang terdiri dari 5 pelabuhan hub (2 hub international dan 3
hub nasional) serta 19 pelabuhan feeder(Program Tol Laut dalam Mendukung Indonesia
sebagai Poros Maritim Dunia, Sustaining Partnership , Transportasi Laut 2015).

Pelayaran adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan angkutan diperaiaran,


kepelabuhan, serta keamanan dan keselamatannya. Secara garis besar pelayaran dibagi
menjadi dua yaitu pelayaran niaga (yang terkait dengan kegiatan komersial) dan pelayaran
Non Niaga (yang terkait dengan kegiatan non komersil seperti pemerintahan dan bela
Negara).
Angkutan diperairan (dalam makalah ini disepadankan dengan transportasi maritim)
adalah kegiata pengangkutan penumpang, dan atau barang, dan atau hewan, melalui suatu
wilayah perairan (laut, sungai, dan danau penyeberangan) dan teritori tertentu (dalam negeri
atau luar negeri), dengan menggunakan kapal, untuk layanan khusus dan umum. Wilayah
perairan terbagi menjadi :

1. Perairan laut : wilayah perairan laut.

2. Perairan sungai dan danau : wilayah perairan pedalaman, yaitu : sungai, danau, waduk,
rawa, banjir, kanal dan terusan.

3. Perairan penyeberangan : wilayah perairan yang memutuskan jaringan jalan atau jalur
kereta api. Angkutan penyeberangan berfungsi sebagai jembatan penggerak, penghubung
jalur.

Teoriti Pelayaran terbagi menjadi :

1. Dalam negeri : untuk angkutan domestik, dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain di wilayah
Indonesia.

2. Luar negeri : untuk angkutan internasional (ekspor/import), dari pelabuhan Indonesia


(yang terbuka untuk perdagangan luar negeri ) ke pelabuhan luar negeri, dan sebaliknya.

Angkutan Dalam Negeri diselenggarakan dengan kapal berbendera Indonesia,


dalam bentuk :

1. Angkutan Khusus, yang diselenggarakan hanya untuk melayani kepentingan sendiri


sebagai penunjang usaha pokok dan tidak melayani kepentingan umum, di wilayah perairan
laut, dan sungan dan danau, oleh perusahaan yang memperoleh ijin operasi untuk hal
tersebut.

2. Angkutan Umum, yang diselenggarakan untuk melayani kepentingan umum, melalui :


pelayaran rakyat, oleh perorangan atau badan hukum yang didirikan khusus untuk usaha
pelayaran, dan memiliki minimal satu kapal berbendera Indonesia jenis tradisional (kapal
layar, atau kapal layar motor tradisional atau kapal motor berukuran minimal 7GT),
beroperasi di wilayah perairan laut, dan sungai dan danau di dalam negeri.

Pelayaran Nasional, oleh badan hukum yang didirikan khusus untuk usaha
pelayaran, dan yang memiliki minimal satu kapal berbendera Indonesia jenis non tradisional,
beroperasi di semua jenis wilayah perairan (laut, sungai dan danau, penyeberangan) dan
teritori (dalam negeri dan luar negeri). Pelayaran perintis yang diselenggarakan oleh
pemerintah di semua wilayah perairan (laut, sungai dan danau, penyeberangan) dalam negeri
untuk melayani daerah terpencil (yang belum dilayani oleh jasa pelayaran yang beroperasi
tetap dan teratur atau yang moda transportasi lainnya belum memadai) atau daerah belum
berkembang (tingkat pendapatan sangat rendah), atau yang secara komersial belum
menguntungkan bagi angkutan laut.

Angkutan luar negeri diselenggarakan dengan kapal berbendera Indonesia dan


asing, oleh : perusahaan pelayaran nasional yang memiliki minimal satu kapal berbendera
Indonesia, berukuran 175GT; perusahaan pelayaran patungan, antara perusahaan asing
dengan perusahaan nasional yang memiliki minimal satu kapal berbendera Indonesia,
berukuran 5,000GT; dan perusahaan pelayaran asing, yang harus diageni oleh perusahaan
nasional dengan kepemilikan minimal satu kapal berbendera Indonesia, berukuran 5,000GT
untuk pelayaran internasional atau minimal satu kapal berbendera Indonesia, berukuran
175GT untuk pelayaran lintas batas.

Usaha jasa angkutan memiliki beberapa bidang usaha menunjang, yaitu kegiatan
usaha yang menunjang kelancaran proses kegiatan angkutan, seperti di uraikan di bawah ini:

1. Usaha bongkar muat barang, yaitu kegiatan usaha pembongkaran dan barang dan
atau hewan dari dan ke kapal.

2. Usaha jasa pengurusa transportasi (freight forwarding), yaitu kegiatan usaha


untuk pengiriman dan penerimaan barang dan hewan melalui angkutan darat, laut, dan udara.

3. Usaha ekspedisi muatan kapal laut, yaitu kegiatan usaha pengurusan dokumen
dan pekerjaan yang berkaitan dengan penerimaan dan penyerahan muatan yang diangkut
melalui laut.

4. Usaha angkutan di perairan pelabuha, yaitu kegiatan usaha pemindahan


penumpang dan atau barang atau hewan dari dermaga ke kapal atau sebaliknya dan dari
kapal ke kapal, di perairan pelabuhan.

5. Usaha penyewaan peralatan angkutan laut atau alat apung, yaitu kegiatan usaha
menyediakan dan penyewaan peralatan penunjang angkutan laut dan atau alat apung untuk
pelayanan kapal.
6. Usaha tally, yaitu kegiatan usaha perhitungan, pengukuran, penimbangan, dan
pencatatan muatan kepentingan pemilik muatan atau pengangkut.

7. Usaha depo peti kemas, yaitu kegiatan usaha penyimpanan, penumpukan,


pembersihan, perbaikan, dan kegiatan lain yang terkait dengan pengurusan peti kemas.

Pada tahun 1985 diterbitkan Instruksi Presiden nomor 4 yang bertujuan


meningkatkan ekspor nonmigas menekan biaya pelayaran dan pelabuhan. Pelabuhan yang
melayani perdagangan luar negeri ditingkatkan jumlahnya secara drastis, dari hanya 4
menjadi 127. Untuk pertamakalinya pengusaha pelayaran Indonesia harus berhadapan
dengan pesaing seperti feeder operator yang mampu menyewakan biaya lebih rendah.
Liberasi berlanjut pada tahun 1988 ketika pemerintah melongarkan proteksi pasar domestic.
Sejak itu, pendirian perusahaan pelayaran tidak lagi disyaratkan memiliki kapal berbendera
Indonesia. Jenis ijin pelayaran dipangkas, dari lima hanya menjadi dua. Perusahaan
pelayaran memiliki fleksibilitas lebih besar dalam rute pelayaran dan penggunaan kapal
(bahka penggunaan kapal berbendera asing untuk pelayaran domestic). Secara de facto ,
prinsip cabotage tidak lagi diberlakukan.

Pada tahun ini pula diberlakukan keharusan men-scrap kapal tua dan pengadaan
kapal dari galangan dalam negeri. Undang-undang pelayaran nomor 21 tahun 1992, semakin
memperkuat pelonggaran perlindungan tersebut. Berdasarkan UU 21/92 perusahaan asing
dapat melakukan usaha patungan dengan perusahaan pelayaran nasional untuk pelayaran
domestic. Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 1999, pemerintah berupaya
mengubah kebijakan yang terlalu longgar, dengan menetapkan kebijakan sebagai berikut:

1. Perusahanaan pelayaran nasional Indonesia harus memiliki minimal satu kapal


berbendera Indonesia, berukuran 175 GT.

2. Kapal berbendera asing diperbolehkan beroperasi pada pelayaran domestic


hanya dalam jangka waktu terbatas (3 bulan).

3. Agen perusahaan pelayaran asing kapal harus memiliki satu kapal berbendera
Indonesia, berukuran 5,000 GT.

4. Di dalam perusahaan patungan, perusahaan nasional harus memiliki minimal


satu kapal berbendera Indonesia, berukuran 5,000 GT (berlipat dua dari syarat deregulasi
1988 yang 2,500). Pengusaha agen kapal asing memprotes keras, sehingga pemberlakuan
ketentuan ini diundur hingga Oktober 2003.

5. Jaringan pelayaran domestic dibagi menjadi 3 jenis trayek, yaitu utama (main
route), pengumpan (feeder route) dan perintis (pioneer route). Jenis ijin operasi pelayaran
dibagi menurut jenis trayek tersebut dan jenis muatan (penumpang, kargo umum, dan
kontener).

Rangkaian regulasi dan deregulasi tersebut di atas menjadi salah satu faktor
terhadap kondisi dan masalah yang dihadapi sector transportasi maritim Indonesia, dari
waktu ke waktu. Dari sisi besaran DWT, kapasitas kapal konvesional dan tanker
mendominasi armada pelayaran yang uzur (umur rata-rata kapal di Indonesia 21 tahun, 2001,
dibandingkan dengan Malaysia yang 16 tahun, 2000, atau singapura yang 11 tahun, 2000).
Meskipun demikian, justru pada kapasitas muatan dry-bulk dan liquid bulk pangsa pasar
domestic armada nasional paling kecil. Pada umunya, kapal Indonesia mengankut kargo
umum, tapi sekitar setengah muatan dry-bulk dan liquid-bulk diangkut oleh kapal asing atau
kapal sewa berbendera asing. Secara keseluruhan armada nasional meraup 50% pangsa pasar
domestic. Sekitar 80% liquid-bulk berasal dari PT Pertamina. Penumpang angkutan laut
bukan feri terutama dilayani oleh PT Pelni yang mengoperasikan 29 kapal (dalam lima tahun
terakhir, PT Pelni menambah 10 kapal). Perusahaan swasta juga membesarkan armada dari
430 (1997) menjadi 521 unit (2001).

Armada Pelayaran Rakyat, yang terdiri dari kapal kayu (misalnya jenis Pinisi, seperti
yang banyak berlabuh dipelabuhan Sunda Kelapa) membentuk mekanisme industry
transportasi laut yang unik. Kapal-kapal yang berukuran relatif kecil (tapi sangat banyak)
melayani pasar yang tidak diakses oleh kapal berukuran besar, baik karena alasa financial
(kurang menguntungkan) atau fisik (pelabuhan dangkal). Industri Pelayaran Rakyat berperan
sangat penting dalam distribusi barang dan dari pelosok Indonesia. Armada pelayaan rakyat
mengangkut 1.6 juta penumpang(sekitar 8% penumpang bukan feri) dan 7.3 juta Metric Ton
barang (sekitar 16% kargo umum). Tapi kekuatan armada ini cenderung melemah, terlihat
dari kapasitas 397,000 GRT pada tahun 1997 menjadi 306,000 GRT pada tahun 2001.
(sumber data: Stramindo, berdasarkan statistic DitJen HubLa).

Dalam periode 5 tahun (1996-2000) jumlah perusahaan pelayaran di Indonesia


meningkat, dari 1,156 menjadi 1,724 buah, atau bertambah perusahaan (peningkatan rata-rata
10.5% p.a). Sementara kekuatan armada pelayaran nasional membesar, dari 6,156 menjadi
9,195 unit (peningkatan rata-rata 11.3% p.a). Tapi dari segi kapasitas daya angkut hanya naik
sedikit, yaitu dari 6,654,753 menjadi 7,715,438 DWT. Berarti kapasitas rata-rata perusahaan
pelayaran nasional menurun. Sepanjang periode tersebut, volume perdagangan laut tumbuh
3% p.a. Volume angkutan naik dari 379,776,945 ton (1996) menjadi 417,287,411 ton (2000),
atau meningkat sebesar 51,653,131 ton dalam waktu lima tahun, tapi tak semua pertumbuhan
itu dapat dipenuhi oleh kapasitas perusahaan pelayaran nasional (kapal berbendera
Indonesia), bahkan untuk pelayaran domestic (antar pelabuhan Inonesia). Pada tahun 2000,
jumlah kapal asing yang mencapai 1,777 unit dengan kapasitas 5,122,307 DWT meraup
muatan domestic sebesar 17 juta ton atau sekitar 31%.

Walhasil, saat ini industri pelayaran Indonesia sangat buruk. Perusahaan pelayaran
nasional kalah bersaing di pasar pelayaran nasional dan internasional, karena kelemahan di
semua aspek, seperti ukuran, umur, teknologi, dan kecepatan kapal. Di bidang muatan
internasional (ekspor/import) pangsa perusahaan pelayaran nasional hanya sekitar 3% to 5%,
dengan kecenderungan menurun. Proporsi ini sangat tidak seimbang dan tidak sehat bagi
pertumbuhan kekuatan armada pelayaran nasional.

Data tahun 2002 menunjukan bahwa pelayaran armada nasional Indonesia semakin
terpuruk dipasar muatan domestic. Penguasaan pangsanya menciut 19% menjadi hanya 50%
(2000:69%). Sementara untuk muatan internasional tetap dikisaran 5%. Dari sisi financial,
Indonesia kehilangan kesempatan meraih devisa sebesar US$10.4 Milyar, hanya dari
transportasi laut untuk muatan ekspor/ import saja. Alih-alih memperoleh manfaat dari
penerapan prinsip cabotage (yang tidak ketat) industri pelayaran Indonesia malah sangat
bergantung pada kapal sewa asing. Armada nasional pelayaran Indonesia menghadapi
banyak masalah, seperti : banyak kapal, terutama jenis konvensional, menganggur Karena
waktu tunggu kargo yang berkepanjangan; terjadi kelebihan kapasitas, yang kadang-kadang
memicu perang harga yang tidak sehat; terdapat cukup banyak kapal, tetapi hanya sedikit
yang mampu memberikan pelayanan memuaskan; tingkat produktivitas armada dry cargo
sangat rendah, hanya 7,649 ton-miles/ DWT atau sekitar 39.7% dibandingkan armada sejenis
di Jepang yang 19,230 ton-miles / DWT.

Situasi pelayaran sangat pelik, karena ketergantungan pada kapal sewa asing terjadi
bersamaan dengan kelebihan kapasitas armada domestic. Situasi bagai lingkaran tak
berujung itu disebabkan lingkungan investasi perkapalan yang tidak kondusif. Banyak
perusahaan pelayaran ingin meremajakan armadanya, tapi sulit memperoleh pinjaman di
pasar uang domestic. Dan disisi lain lebih mudah memperoleh pinjaman dari sumber-sumber
luar negeri. Beberapa perusahaan besar cenderung mendaftarkan kapalnya di luar negeri
(flagged-out). Tapi perusahaan kecil dan menengah tidak mampu melakukannya, sehingga
tak ada alternative kecuali menggunakan kapal berharga murah, tapi tua dan scrappy.
Akibatnya terjadi ketergantungan yang semakin besar pada kapal sewa asing dan pemrosotan
produktivitas armada.

Di Indonesia terdapat dua kelompok besar penyelenggara transportasi maritim,


yaitu oleh pemerintah (termasuk BUMN) dan swasta. Masing-masing kelompok terbagi dua.
Di pihak pemerintah terbagi menjadi BUMN pelayaran yang menyelenggarakan transportasi
umum dan BUMN non pelayaran yang hanya menyelenggarakan pelayaran khusus untuk
melayani kepentingan sendiri. Pihak swasta terbagi menjadi perusahaan besar dan
perusahaan kecil (termasuk pelayaran rakyat). Ragam mekanisme penyaluran dana investasi
pengadaan kapal ternyata sejalan dengan pembagian tersebut. Masing-masing pihak di tiap-
tiap kelompok memiliki mekanisme pembiayaan tersendiri.

Dunia pelayaran Indonesia menghadapi banyak hambatan structural dan sistematis


di bidang financial, seperti di paparka di bawah ini:

1. Keterbatasan lingkup dan skala sumber dana : Official Development Assistance


(ODA), terkonsentrasi untuk investasi public di berbagai sector pembangunan, kecuali
pelayaran. Other Official Finance (OOF), kredit ekspor dari Jepang sedang terjadwal ulang.
Foreign Direct Investment (FDI), sejauh ini tidak ada anggaran pemerintah hanya
dialokasikan untuk pengadaan kapal pelayaran perintis. Pinjaman Bank asing tersedia hanya
untuk perusahaan pelayaran besar (credit worthby) pinjaman Bank swasta nasional hanya
disediakan dalam jumlah sangat kecil.

2. Tingkat suku bunga pinjaman domestic 15-17% p.a untuk jangka waktu
pinjaman 5 tahun.

3. Jangka waktu pinjaman yang hanya 5 tahun terlalu singkat untuk industri
pelayaran.

4. Saat ini kapal yang dibeli tidak bisa dijadikan sebagai kolateral.

5. Tidak ada program kredit untuk kapal feeder termasuk pelayaran rakyat, kecuali
pinjaman jangka pendek berjumlah sangat kecil dari bank nasional.

6. Tidak ada kebijakan pendukung.

7. Prosedur peminjaman (appraisal, penyaluran, angsuran) kurang ringkas.


Stramindo memprediksi bahwa dalam 20 tahun ke depan (2004-2024), volume dry
cargo akan berlipat 2.8 kali, volume liquid cargo berlipat 1.4 kali, dan secara keseluruhan
volume angkutan domesik akan berlipat 2 kali. Jenis muatan yang paling pesat
pertumbuhannya adalah kargo container. Volumenya akan berlipat 5.2 kali, dari 11 juta ton
(2004)menjadi 59 juta ton (2024). Pertumbuhan dry cargo sejalan dengan kecenderungan
pertumbuhan ekonomi , dan tidak tergantung pada ketersediaan sumber daya alam. Tingkat
produksi minyak saat ini akan terhenti pada tahun 2006, seperti yang akan diperkirakan
pemerintah. Di masa 20 tahun kedepan, volume angkutan minyak akan menurun, sekalipun
konsumsi bertambah. Struktur logistic minyak akan berubah, sebagian volume domestic
minyak mentah akan diganti dengan impor minyak.

Sebagai akibatnya pertumbuhan volume angkutan liquid kargo (yang didominasi


minyak) tidak sepesat dry cargo. Pertumbuhan volume penumpang (transportasi maritime
maupun udara) akan sejalan dengan pertumbuhan GDP. Tapi GDP yang semakin tinggi
hanya berpengaruh positif pada transportasi udara, dan berpengaruh negative pada
transportasi laut. Karena itu diprediksi proporsi laut-udara akan berubah 60-40 (2001)
menjadi 51-49 (2024) dengan tingkat pertumbuhan rendah 1.5 kali lipat. Proyeksi
pertumbuhan volume muatan barang dan penumpang domestic yang menggunakan
transportasi maritim.

Industri pelayaran, bahkan transportasi maritim yang merupakan salah satu bagiannya
memiliki banyak aspek yang saling terkait. Karena itu, upaya peningkatan daya saing pada
aspek yang relevan perlu dilakukan secara simultan. Aspek relevan tersebut meliputi :
Pembenahan administrasi dan manajemen pemerintahan di laut, termasuk keselamatan dan
keamanan maritim serta perlindungan laut.

Industri transportasi laut menghadapai situasi pelik, yaitu timbulnya masalah


ketergantungan pada kapal sewa asing dan kelebihan kapasitas armada secara bersamaan.
Pangkal pelik situasi tersebut berasala dari lingkungan investasi perkapalan yang tidak
kondusif. Perusahaan pelayaran yang ingin meremajakan armadanya , sulit memperoleh
dukungan dana. Jika dibiarkan, kepelikan tersebut akan seperti spiral yang menyeret
perusahaan pelayaran kearah keterpurukan yang semakin dalam.

Hanya ada satu persyaratan yang dibutuhkan, agar perusahaan pelayaran nasional
dapat keluar dari keterpurukan tersebut, yaitu iklim investasi yang kondusif. Kondusivitas
tersebut diperlukan untuk memberdayakan perusahaan pelayaran, sehingga perusahaan
pelayaran tersebut memiliki beberapa karakteristik kemampuan dalam hal: mengakses
sumber dana keuangan untuk pengadaan kapal yang dibutuhkan menikmati laba bisnis yang
stabil menghindari kemrosotan asset kapal dalam jangka menengah dan panjang melakukan
reinvestasi pada armada yang lebih berdaya saing.

Luas lautan dibandingkan luas daratan di dunia mencapai kurang lebih 70


berbanding 30, sehingga menjadi tantangan tersendiri bagi negara-negara di dunia yang
memiliki kepentingan laut untuk memajukan maritimnya. Seiring perkembangan lingkungan
strategis, peran laut menjadi signifikan serta dominan dalam mengantar kemajuan suatu
negara.

Alfred Thayer Mahan, seorang Perwira Tinggi Angkatan Laut Amerika Serikat,
dalam bukunya The Influence of Sea Power upon History mengemukakan teori bahwa sea
power merupakan unsur terpenting bagi kemajuan dan kejayaan suatu negara, yang mana
jika kekuatan-kekuatan laut tersebut diberdayakan, maka akan meningkatkan kesejahteraan
dan keamanan suatu negara. Sebaliknya, jika kekuatan-kekuatan laut tersebut diabaikan akan
berakibat kerugian bagi suatu negara atau bahkan meruntuhkan negara tersebut.

Indonesia secara geografis merupakan sebuah negara kepulauan dengan dua pertiga
luas lautan lebih besar daripada daratan. Hal ini bisa terlihat dengan adanya garis pantai di
hampir setiap pulau di Indonesia ( 81.000 km) yang menjadikan Indonesia menempati
urutan kedua setelah Kanada sebagai negara yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia.
Kekuatan inilah yang merupakan potensi besar untuk memajukan perekonomian Indonesia.

Data Food and Agriculture Organization tahun 2012, Indonesia pada saat ini
menempati peringkat ketiga terbesar dunia dalam produksi perikanan di bawah China dan
India. Selain itu, perairan Indonesia menyimpan 70% potensi minyak karena terdapat kurang
lebih 40 cekungan minyak yang berada di perairan Indonesia. Dari angka ini hanya sekitar
10% yang saat ini telah dieksplor dan dimanfaatkan. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat
Indonesia belum merasakan peran signifikan dari potensi maritim yang dimiliki yang
ditandai dengan belum dikelolanya potensi maritim Indonesia secara maksimal. Dengan
beragamnya potensi maritim Indonesia, antara lain industri bioteknologi kelautan, perairan
dalam (deep ocean water), wisata bahari, energy kelautan, mineral laut, pelayaran,
pertahanan, serta industri maritim, sebenarnya dapat memberikan kontribusi besar bagi
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia. Dalam UUD 1945 pasal 33 ayat (3)
disebutkan, bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. Meskipun begitu tidak dapat
dipungkiri juga bahwa kekayaan alam khususnya laut di Indonesia masih banyak yang
dikuasai oleh pihak asing, dan tidak sedikit yang sifatnya ilegal dan mementingkan
kepentingan sendiri.

Dalam hal ini, peran Pemerintah (government will) dibutuhkan untuk bisa menjaga
dan mempertahankan serta mengolah kekayaan dan potensi maritim di Indonesia. Untuk
mengolah Sumber daya alam laut ini, diperlukan perbaikan infrastruktur, peningkatan SDM,
modernisasi teknologi dan pendanaan yang berkesinambungan dalam APBN negara agar bisa
memberi keuntungan ekonomi bagi negara dan juga bagi masyarakat. Sebagaimana halnya
teori lain yang dikemukakan oleh Alfred Thayer Mahan mengenai persyaratan yang harus
dipenuhi untuk membangun kekuatan maritim, yaitu posisi dan kondisi geografi, luas
wilayah, jumlah dan karakter penduduk, serta yang paling penting adalah karakter
pemerintahannya.

Selain perbaikan dan perhatian khusus yang diberikan dalam bidang teknologi
untuk mengelola sumber daya alam di laut Indonesia, diperlukan juga sebuah pengembangan
pelabuhan dan transportasi laut untuk mendorong kegiatan maritim Indonesia menjadi lebih
modern dan mudah digunakan oleh masyarakat. Diharapkan juga peran swasta untuk
mendukung jalannya pemberdayaan laut ini, supaya program-program ini tidak hanya
bergantung pada dana APBN saja.

Dari sisi pertahanan, penguasaan laut berarti mampu menjamin penggunaan laut
untuk kepentingan nasional dan mencegah lawan menggunakan potensi laut yang kita miliki.
Pemerintah perlu segera menyelesaikan percepatan batas wilayah laut agar dapat
memberikan memberikan kepastian atas batas wilayah negara dan dapat mempererat
hubungan bilateral antara negara yang berbatasan, serta mendorong kerja sama kedua negara
yang berbatasan di berbagai bidang termasuk dalam pengelolaan kawasan perbatasan, misal
terkait pelayaran, kelautan dan perikanan.

Selain itu dengan adanya kepastian batas wilayah laut dapat terpelihara kedaulatan
suatu negara dan penegakkan hukum di wilayah perairan. Seperti yang diketahui, Indonesia
memiliki perbatasan maritim dengan 10 (sepuluh) negara yaitu dengan India (Landas
Kontinen, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)), Thailand (Landas Kontinen, ZEE), Malaysia
(Laut Wilayah, ZEE, Landas Kontinen), Singapura (Laut Wilayah), Vietnam (Landas
Kontinen, ZEE), Filipina (ZEE, Landas Kontinen), Palau (ZEE, Landas Kontinen), Papua
Nugini (ZEE , Landas Kontinen), Timor Leste (Laut Wilayah, Landas Kontinen, ZEE) dan
Australia (ZEE, Landas Kontinen). Dari sejumlah perbatasan itu, Indonesia telah
menyelesaikan sebagian penetapan batas maritim dengan India (Landas Kontinen), Thailand
(Landas Kontinen), Malaysia (sebagian Laut Wilayah, Landas Kontinen), Singapura
(sebagian Laut Wilayah), Vietnam (Landas Kontinen), Filipina (ZEE), Papua Nugini (ZEE,
Landas Kontinen) dan Australia (ZEE, Landas Kontinen).

Berbagai upaya lainnya perlu dilaksanakan untuk menuju Indonesia sebagai poros
maritim dunia, antara lain penyempurnaan RUU Komponen Cadangan dan Komponen
Pendukung, penyelarasan sistem pendidikan dan pelatihan kemaritiman, penguasaan
kapasitas industri pertahanan khususnya industri maritim, modernisasi armada perikanan,
penguatan armada pelayaran rakyat dan pelayaran nasional, pemantapan pengelolaan
pemanfaatan laut melalui penataan ruang wilayah laut, peningkatan litbang kemaritiman, dan
diversifikasi sumber energi terbarukan di laut.

Urgensi Pembentukan Kementerian Maritim. Pada pada Sidang Paripurna DPR RI


tanggal 29 September 2014 lalu, RUU Kelautan telah disahkan menjadi UU Kelautan. Hal
tersebut merupakan langkah maju bangsa Indonesia sekaligus menandai dimulainya
kebangkitan Indonesia sebagai bangsa bahari yang kini tengah bercita-cita menjadi Negara
Maritim. UU Kelautan akan menjadi payung hukum untuk mengatur pemanfaatan laut
Indonesia secara komprehensif dan terintegrasi.

Seiring dengan hal tersebut, Presiden terpilih Joko Widodo, yang baru saja dilantik
secara resmi sebagai Presiden Republik Indonesia, memfokuskan pada pentingnya peran
Maritim Indonesia dengan visi menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Hal ini
merupakan kebijakan strategis, mengingat memang Indonesia merupakan negara bahari yang
dikelilingi oleh lautan. Seluruh alur pelayaran dunia akan melalui lautan Indonesia sebagai
jalur strategis sehingga harusnya dapat dimanfaatkan oleh Indonesia sebagai pendekatan
diplomasi dalam menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Untuk mewujudkan
Indonesia sebagai poros maritim dunia, terdapat ide untuk membentuk sebuah kementerian
maritim yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo.

Terdapat dua jenis wacana yang muncul terkait dengan ide pembentukkan
kementerian maritim, yaitu pembentukkan Kementerian Maritim sebagai salah satu
Kementerian di bawah Kabinet Presiden Terpilih Jokowi, dan pembentukkan Kementerian
Koordinator Maritim yang membawahi kementerian-kementerian terkait dengan hal maritim
guna memfokuskan kabinet pada pembangunan Indonesia sebagai poros maritim dunia.

Kompleksitas permasalahan serta banyaknya segi yang harus ditangani dalam


pembangunan berbasis maritim menuntut kebijakan lintas sektoral yang efektif. Saat ini
pengelolaan laut Indonesia melibatkan banyak lembaga, yaitu Kementerian Pertahanan,
Kementerian Perhubungan, Kementerian ESDM, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi
Kreatif, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Kehutanan,
Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Keuangan, Kementerian Lingkungan Hidup,
TNI AL, dan Polri. Dengan begitu banyak lembaga yang berkecimpung di laut sebenarnya
dapat menjadi peluang maupun hambatan dalam pembangunan maritim. Menjadi peluang
apabila semua stakeholder maritim bisa bersinergi dan menjadi hambatan apabila yang
terjadi sebaliknya.

Menanggapi hal tersebut, ide membentuk Kementerian Maritim sebanarnya dapat


menjadi angin segar untuk mewujudkan cita-cita sebagai poros maritim dunia mengingat saat
ini yang terjadi adalah K/L yang berkecimpung di dunia maritim Indonesia kurang bersinergi
dan terkesan bekerja sendiri-sendiri sehingga tidak efektif dalam mengoptimalisasi potensi
maritim Indonesia. Sebagai contoh, sekarang ini Indonesia memiliki Kementerian Kelautan
dan Perikanan, namun tidak memiliki hak untuk melakukan penjagaan wilayah laut karena
ada instansi lain yang mengklaim berhak menjaga wilayah laut. Namun yang terjadi
kenyataannya adalah puluhan ribu nelayan asing masuk dan mencuri ikan di laut Indonesia.

Pentingnya eksistensi Kementerian Maritim ini lebih ditunjukkan pada beban-beban


tugasnya di daerah pesisir. Kementerian Maritim mempunyai tugas untuk bisa
mengintegrasikan persoalan-persoalan maritim serta solusinya dan mensosialisasikan kepada
masyarakat di wilayah pesisir Indonesia sebagai pelaksana pertama terhadap hal-hal yang
terjadi di lautan Indonesia.

Perlu dicermati juga kelemahan dari ide pembentukan Kementerian Maritim, yaitu
dari sisi tugas dan fungsi yang dikhawatirkan akan tumpang tindih dengan tugas dan fungsi
kementerian dan/atau lembaga terkait maritim lainnya. Dengan demikian, wacana
pembentukan Kementerian Koordinator Bidang Maritim mulai marak muncul untuk
menghindari terjadinya tumpang tindih tugas dan fungsi ini. Kementerian Koordinator
Maritim itu sangat vital membawahi 18 kementerian yang saling terkait dengan dunia laut,
keamanan, teritorial, serta ekonomi.

Secara umum, Kementerian Koordinator Bidang Maritim tidak hanya akan


menangani persoalan perikanan dan sumber daya maritim, namun juga keamanan, batas
wilayah laut, bea cukai, dan banyak hal lain yang selama ini menjadi tanggung jawab
sejumlah kementerian lain. Namun, dari sisi keuangan negara, pembentukan Kementerian
Koordinator Maritim tentu saja akan menambah beban keuangan negara, mulai dari
infrastruktur dan belanja rutin.

Pilihan apapun yang akan diambil nantinya oleh pemerintahan yang baru, baik itu
membentuk Kementerian Maritim, Kementerian Koordinator Maritim, atau hanya dengan
penguatan dan efisiensi Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta peningkatan sinergi
dengan kementerian terkait maritim lainnya, dibutuhkan komitmen penuh dan kuat dari
Pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk melaksanakan kebijakan pembangunan berbasis
kelautan sehingga dapat menjadikan Indonesia sebagai negara maritim yang kuat di dunia.

Transportasi di era globalisasi merupakan suatu kebutuhan yang sangat penting bagi
masyarakat dalam menunjang segala aktivitas maupun rutinitasnya sehari-hari. Transportasi
publik umumnya meliputi kereta dan bis, namun juga termasuk pelayanan maskapai
penerbangan, pelabuhan penyeberangan, taksi, dan lain-lain. Keberadaan transportasi
publik yang baik sangat mempengaruhi roda perekonomian suatu wilayah atau daerah.
Keberhasilan pertumbuhan perekonomian di suatu Negara tidak akan lepas dari campur
tangan pemerintah dalam upaya menciptakan transportasi publik yang nyaman, aman, bersih,
dan tertata dengan baik.

Setiap moda transportasi memiliki peran dan kapasitasnya dalam melayani


penumpang. Transportasi publik yang sangat menunjang tugas pemerintah dalam usaha
pembangunan sejatinya adalah moda transportasi laut. Transportasi laut sangat berperan
penting untuk menghubungkan satu pulau dengan pulau lainnya sehingga pendistribusian
barang maupun penumpang dari satu pulau ke pulau lain dapat berjalan lancar, sehingga
pemerataan pembangunan dapat terlaksana dan tidak hanya terpusat di satu wilayah atau satu
pulau saja. Untuk menciptakan suatu industri transportasi laut nasional yang kuat, yang
dapat berperan sebagai penggerak pembangunan nasional, menjangkau seluruh wilayah
perairan nasional dan internasional sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat dan
mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa, maka kebijakan pemerintah di bidang
transportasi laut tidak hanya terbatas pada kegiatan angkutan laut saja, namun juga meliputi
aspek kepelabuhanan, serta keselamatan pelayaran.

Di dalam sistem transportasi nasional terdapat kepelabuhanan yang merupakan


bagian strategis dari sistem transportasi nasional dan merupakan faktor penting dalam
menunjang aktifitas perdagangan. Sektor pelabuhan memerlukan suatu kesatuan yang
terintegrasi dalam melayani kebutuhan dari sarana transportasi. Ujung tombak dari
kepelabuhanan tersebut adalah sektor jasa dalam melayani jasa kepelabuhanan. Pelabuhan
Merak dan Bakauheni merupakan pelabuhan yang dikelola oleh PT. Angkutan Sungai dan
Perairan (PT. ASDP) Indonesia Ferry Persero.. Di dalam area pelabuhan cabang Merak
terjadi kegiatan bongkar-muat barang dan penumpang untuk tujuan Jawa-Sumatera.
Terkadang pengelola jasa kepelabuhanan tidak mampu mengelola kegiatan operasional
akibat ketidakseimbangan sarana fasilitas dan prasarana, terutama di saat-saat liburan
sekolah dan Hari Raya sehingga mempengaruhi proses kelancaran barang yang masuk
maupun keluar.

Penyebab utama kecelakaan laut pada umumnya adalah karena faktor kelebihan
angkutan dari daya angkut yang ditetapkan, baik itu angkutan barang maupun orang.
Bahkan tidak jarang pemakai jasa pelayaran memaksakan diri naik kapal meskipun kapal
sudah penuh dengan tekad asal dapat tempat di atas kapal. Sistem transportasi dirancang
guna memfasilitasi pergerakan manusia dan barang. Pelayanan transportasi sangat terkait
erat dengan aspek keselamatan (safety,) baik orang maupun barangnya. Seseorang yang
melakukan perjalanan wajib mendapatkan jaminan keselamatan, bahkan jika mungkin
memperoleh kenyamanan, sedangkan barang yang diangkut harus tetap dalam keadaan utuh
dan tidak berkurang kualitasnya ketika sampai di tujuan.

Usaha dalam penyelamatan jiwa di laut merupakan suatu kegiatan yang dipergunakan
untuk mengendalikan terjadinya kecelakaan di laut yang dapat mengurangi sekecil mungkin
akibat yang timbul terhadap manusia, kapal dan muatannya. Untuk memperkecil terjadinya
kecelakaan di laut diperlukan suatu usaha untuk penyelamatan jiwa tersebut dengan cara
memenuhi semua peraturan- peraturan yang dikeluarkan oleh IMO (International Maritime
Organization), ILO (International Labour Organization) dan ITU (International
Telecomunication Union) maupun oleh pemerintah.

1. Sumber Daya Awak Kapal


Sekalipun kondisi kapal prima, namun bila tidak dioperasikan oleh personal yang cakap
dalam melayarkan kapal, dan memiliki pengetahuan yang memadai tentang peraturan dan
kode serta petunjuk yang terkait dengan pelayaran maka kinerjanya pun tidak akan optimal.
Bagaimanapun modernnya suatu kapal yang dilengkapi dengan peralatan-peralatan otomatis,
namun bila tidak didukung dengan sumber daya awak kapal pastilah akan sia-sia. Selain para
awak kapal harus memiliki kemampuan untuk menyiapkan kapalnya, mereka juga harus
mampu melayarkan kapal secara aman sampai di tempat tujuan. Awak kapal, terutama
Nakhoda dan para perwiranya harus memenuhi kriteria untuk dapat diwenangkan memangku
jabatan tertentu di atas kapal. Karenanya, mereka harus mengikuti pendidikan formal lebih
dahulu sebelum diberi ijazah kepelautan yang memungkinkan mereka bertugas di kapal.
Awak kapal yang tahu dan sadar akan tugas-tugasnya akan sangat menguntungkan bagi
perusahaan. Jika mesin kapal terawat, maka umur kapal dapat lebih panjang, ini berarti nilai
depresiasi/susutan dapat diperkecil.

2. Keselamatan dan Kelaikan Kapal

Indonesia merupakan Benua Maritim yang memiliki keunikan tersendiri dalam system
transportasi laut, namun demikian dari aspek teknik dan ekonomi, perlu dikaji lebih
mendalam, karena umur armada kapal saat ini banyak yang sudah tua, sehingga dapat
menimbulkan kerusakan-kerusakan yang tidak terduga, dan dapat mempengaruhi
keselamatan kapal. Kondisi kapal harus memenuhi persyaratan material, konstruksi
bangunan, permesinan, dan pelistrikan, stabilitas, tata susunan serta perlengkapan
radio/elektronika kapal dan dibuktikan dengan sertifikat, tentunya hal ini setelah dilakukan
pemeriksaan dan pengujian.

Kapal yang kondisinya prima, dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, serta
dinyatakan laik laut, akan lebih aman menyeberangkan orang dan barang, sebaliknya kapal
yang diragukan kondisinya cenderung menemui hambatan saat dalam pelayaran. Jika kapal
mengalami kerusakan saat di perjalanan akan memerlukan biaya tambahan seperti biaya
eksploitasi yang disebabkan terjadinya delay.

Tentu bukan hal yang mudah untuk mempertahankan kondisi kapal yang
memenuhi persyaratan dan keselamatan, pencegahan pencemaran laut, pengawasan
pemuatan, kesehatan, dan kesejahteraan ABK, karena ini semua memerlukan modal yang
cukup besar. Disamping itu, usaha-usaha bisnis pelayaran ini juga memerlukan kerjasama
dan bantuan penuh dari pihak galangan kapal, sedangkan kondisi galangan kapal saat ini juga
dihadapkan pada kelesuan. Oleh karena itu, sentuhan tangan pemerintah beserta perangkat
kebijakannya sangat diharapkan, terutama aspek permodalan dan penciptaan iklim usaha
yang kondusif, sehingga para pengusaha pelayaran dan perkapalan dapat melaksanakan
rahabilitasi, replacement maupun perluasan armada kapal.

3. Sarana Penunjang Pelayaran

Selain faktor teknis kapal dan sumber daya awak kapal, Sarana Bantu Navigasi
Pelayaran (SBNP) juga unsur yang sangat penting dalam keselamatan pelayaran. Sarana ini
terdiri dari rambu-rambu laut yang berfungsi sebagai sarana penuntun bagi kapal-kapal yang
sedang berlayar, agar terhindar dari bahaya-bahaya navigasi. Station Radio Pantai juga
berguna sebagai sarana bantu navigasi pelayaran untuk memungkinkan kapal-kapal
melakukan pelayaran ekonomis, sebab tanpa instrument ini kapal harus melakukan pelayaran
memutar guna menghindari bahaya navigasi.
Dalam kajian ekonomi politik internasional, negara dituntut membuat kebijakan-
kebijakan yang sinergis antara kebijakan luar negeri dan kebijakan publik. Konstelasi
ekonomi politik internasional akan memengaruhi kebijakan ekonomi domestik. Konsep
tersebut mengemukakan bahwa setiap pemerintah harus membuat pilihan-pilihan mengenai
bagaimana ekonomi dalam negeri saling berhubungan dengan ekonomi global.(Oatley,
2004) rasionalitas dalam pemilihan kebijakan yang tepat menggunakan metodologi yang
digunakan untuk membandingkan biaya dan manfaat dari kebijakan pemerintah atau dari
tindakan perspektif dari masyarakat secara keseluruhan. Analisis menggunakan teknik ini
memahami bahwa para pembuat keputusan mungkin memilih untuk mengabaikan hasil, tapi
sebuah keuntungan memungkinkan pembuat keputusan untuk menimbang lebih jelas
tentang biaya peluang(Brilian Nurani, 2012).

Namun, terdapat pesimistis terhadap daya saing industri pelayaran Indonesia pada
ASEAN Economic Community. Tantangan tersebut merupakan faktor-faktor yang menjadi
pertimbangan untuk pemerintah membuat kebijakan. Kebijakan tersebut akan
memerlukan lebih banyak anggaran sebagai biaya untuk meningkatkan daya saing.

1. Progres industri pelayaran di negara-negara ASEAN

Dalam menghadapi ASEAN Economic Community, terdapat perbedaan


perkembangan pada setiap negara di ASEAN dalam bidang pelayaran. Daya saing industri
pelayaran tersebut dapat ditinjau dari perkembangan lalu lintas pelayaran pada masing-
masing negara ASEAN sebagai berikut.

Dari data di atas, dapat dilihat bahwa volume pelayaran baik pelayaran
penumpang maupun peti kemas yang masih sangat minim. Dalam hal pelayaran penumpang
internasional pun dapat dilihat adanya fluktuasi jumlah penumpang. Panjang garis pantai
Kamboja adalah 443, dan saat ini menduduki peringkat ke 100 dalam hal garis pantai
(DB City, 2015). Meskipun memiliki kondisi geografis yang kurang mendukung,
pemerintah Kamboja membangun dua pelabuhan di provinsi Kandal, Kamboja (Kunmakara
2015). Kebijakan tersebut dilakukan untuk menambah volume kontainer yang akan singgah
di Kamboja. Menurut data Otonomi Pelabuhan Kamboja, julmlah kapal kargo yang
mendarat di Kamboja trus meningkat mencapai rata-rata 10%. Peningkatan volume
komoditas ekspor berupa hasil pertanian, terutama beras, menjadikan jasa industri pelayaran
di Kamboja sebagai peran yang strategis (Renzenbrink 2013).

Pada penggunaan jasa container dan kargo rute internasional mengalami


peningkatan yang cukup stabil. Namun pada prospek pasar di sektor kapal penumpang
menunjukkan penurunan pada permintaan pasar. Malaysia sebagai Negara dengan panjang
garis pantai 4675km (DB City, 2015). Dalam lima tahun terakhir, Malaysia mengalami
penurunan jumlah penumpang. Sedangkan sektor petikemas Malaysia menunjukan
peningkatan yang stabil. Institusi kemaritiman Malaysia memperkirakan sekitar 95% dari
keseluruhan perdagangan internasional Malaysia akan dilakukan lewat laut.. Hal tersebut
kemudian membuat pemerintah Malaysia memutuskan sektor pelayaran sebagai salah satu
dari tiga industri yang masuk pada masterplan 2005-2020 (Jose Tongzhon dan Sang-Yoon
Lee, 2015). Di Malaysia terdapat lebih dari 100 perusahaan pelayaran domestik. Salah satu
dari ratusan perusahaan tersebut adalah Malaysian International Shipping Corporation
(MISC) yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah Malaysia. Namun demikian, MISC
masih bergantung pada jalur pelayaran asing.

Arus jasa penumpang kelas internasional mengalami peningkatan yang


signisikan, terutama pada tahun 2014. Selain itu, peningkatan yang stabil pada sektor
penumpang dan kapal kargo internasional. Hal tersebut tentu merupakan hasil upaya
pemerintah Myanmar dalam menyiapkan industri pelayarannya menghadapi komunitas
ASEAN. Selama ini pengiriman internasional Myanmar didominasi oleh armada kapal asing
(Jose Tongzhon dan Sang-Yoon Lee, 2015). Kapal domestik hanya memberikan sumbangsih
sebanyak 10-15% dari keseluruhan pelayaran internasional yang dikelola oleh tiga
perusahaan pelayaran. Pemilik kapal yang dominan adalah perusahaan pelayaran semi
pemerintah yang saat ini memiliki 22 kapal.

Filipina merupakan salah satu Negara kepulauan di ASEAN yang merupakan


peluang bagi Filipina untuk dapat mengembangkan sektor maritim dalam menghadapi
ASEAN Community. Lima tahun terakhir, jasa petikemas internasional Filipina terus
mengalami peningkatan. Namun, dalam pelayaran penumpang Filipina masih terkesan
belum siap, melihat data yang fluktuatif. Industri pelayaran nasional hanya
dikonsentrasikan pada lima perusahaan pelayaran Filipina (e.g., Eastern Shipping Lines Inc.

Loadstar Shipping Co. Inc., Montenegro Shipping Lines Inc., PNOC Shippingand
Transport Corporation), secara umum perusahaan pelayaran tersebut mengangkut batu bara.
Meski demikian, pemarintah mendukung perusahaan pelayaran Filipina agar dapar
bergabung dalam jalur pelayaran internasional melaluai program penyewaan kapal kosong,
investasi secara insentif, dan pembebasan pajak. Pemerintah Filipina menerapkan kebijakan
fiscal yang ketat terhadap perusahaan pelayaran asing (Jose Tongzhon dan Sang-Yoon Lee,
2015). Selain itu, Filipina memiliki sumber daya manusia yang sangat kompeten dan
mempunyai sertifikasi internasional sehinga Filipina menjadi pemasok tenaga ahli di bidang
maritime terbesar di dunia. Lebih dari 300,000 tenaga kerja Filipina bekerja di seluruh dunia,
yang telah menyumbangkan remitansi sebesar 2 juta dollar setiap tahunnya (Jose Tongzhon
dan Sang-Yoon Lee, 2015).
Kondisi geografis Singapura yang sangat strategis merupakan faktor utama
sebagai pendukung daya saing industri pelayaran Singapura. Singapura merupakan
kompetitor utama dalam perdangan jasa pelayaran di ASEAN, dengan volume arus kargo
terbesar apabila dibandingkan dengan volume arus kargo di negara-negara ASEAN yang
lain. Pada sektor lain, jasa kontainer Singapura menunjukkan adanya permintaan pasar yang
terus meningkat pada lima tahun terakhir. Sebagai sebuah Negara yang dengan luas wilayah
yang terkecil di ASEAN, Singapura telah menerapkan orientasi terhadap industry
perdagangan dan juga mempromosikan dirinya sebagai Negara yang melayani jasa
pelayaran di regional Asia dengan mengedepankan lokasinya yang strategis (Jose
Tongzhon dan Sang-Yoon Lee, 2015). Sumbangan perekonomian di bidang maritime rata-
rata mencapai 7% setiap tahunnya, hal ini yang menjadikan sektor maritime merupakan pilar
perekonomian yang penting. Salah satu kebijakan pemerintah yang berperan pentinga adalah
pemeberian insentif fiscal sesuai dengan kebijakan pelayaran internasional dan memeberi
subsidi untuk memperkuat industri pelayaran nasional.

Terdapat perkembangan yang pesat dari data yang ditunjukkan oleh industri
pelayaran di Thailand. Baik dari segi penumpang, hingga jasa kargo dan kontainer. Jasa
pelayaran merupakan peran yang strategis dalam perekonomian Thailand. Pada tahun 2014,
terdapat 89% dari total volume perdagangan internasional Thailand menggunakan jasa di
bidang maritime (Jose Tongzhon dan Sang-Yoon Lee, 2015). Sumber daya manusia di
bidang maritim masih belum memenuhi tuntutan pemerintah yang mulai konsentrasi ke
bidang maritim. Oleh karena itu, pemerintah Thailand membuat kebijakan untuk menetapkan
pajak penghasilan juga pada tenaga kerja asing mencapai 30% (Jose Tongzhon dan Sang-
Yoon Lee, 2015). Untuk sektor bisnis, pemerintah Thailand membuat kebijakan dengan
mengalokasikan anggaran subsidi untuk pembelian kapal baru kepada para pengusaha kapal
Thailand (Jose Tongzhon dan Sang-Yoon Lee, 2015).

Industri pelayaran Vietnam didominasi oleh Vietnam National Shipping


Lines (VINALINES), yang merupakan industri milik negara. Industri tersebut tidak hanya
melayani jasa pelayaran, juga termasuk manajemen dan operasional pelabuhan, serta
keuangannya. Meskipun VINALINES merupakan industri yang dominan di Vietnam yang
dikelola oleh pemerintah, 80% saham perusahaan ialah milik asing. Perusahaan tersebut
memiliki 14 perusahaan kapal pelayaran, 17 pelabuhan, serta 46 perusahaan jasa layanan
maritim yang berafiliasi dengan investor asing (Jose Tongzhon dan Sang- Yoon Lee,
2015).

Pada perkembangannya, masing-masing negara mempunyai modal dan upaya


untuk meningkatkan daya saing untuk menghadapi ASEAN. Integrasi ekonomi dalam
ASEAN Economic Community membutuhkan peran negara untuk melakukan regulasi-
regulasi yang memudahkan perdagangan jasa industri pelayaran, tidak terkecuali untuk
mengurangi hambatan, tariff, atau regulasi pelabuhan yang dapat merugikan. Adanya
peningkatan dalam lalu lintas pelayaran beberapa negara menunjukkan bahwa pemerintah
negara setempat sedang berusaha untuk menaikkan daya kompetisi industri pelayarannya,
baik perusahaan milik negara maupun swasta. Liberalisasi perdagangan pada sektor jasa
tersebut yang menimbulkan kekhawatiran akan pasar yang akan dikuasai oleh satu
kompetitor yang kompeten. Prospek pasar yang besar membuat negara-negara ASEAN
memacu daya saing industri pelayarannya menjadi kompetitor yang kompeten.
2. Cost and Benefit Indonesia Menghadapi Tantangan di Era ASEAN
Economic Community

Logistik merupakan salah satu faktor kunci dalam perdagangan internasional.


Industri pelayaran suatu negara juga merupakan aspek yang penting dalam logistik. Pada era
perdagangan bebas, pasar membutuhkan proses logistic yang semakin cepat dan efisien.
Berdasarkan Logistics Perfomance Index (LPI), Indonesia memiliki nilai skor sebanyak 2,76
pada tahun 2010, kemudian nilai skor 2,94 pada tahun 2012, dan meningkat lagi menjadi
3,08 pada tahun 2014. Namun, pada pengangkutan kapal internasional, Indonesia berada
pada ranking 74 dengan nilai skor 2,87(Worldbank 2014).

Berdasarkan komparasi pada LPI, Singapura dan Malaysia mempunyai daya saing
yang tinggi karena menempati posisi ranking teratas sedunia menurut Logistics Perfomance
Index. Singapura menempati posisi ke-2, Malaysia ke-10, Thailand ke-39, Vietnam ke-42,
Filipina ke-35, Kamboja ke- 78, dan Laos ke-120. Indonesia menempati urutan ke-7 diantara
8 negara- negara ASEAN yang mempunyai industri pelayaran. Data tersebut menunjukkan
bahwa terdapat tantangan yang akan dihadapi Indonesia dalam perdagangan jasa
pelayaran di ASEAN. Namun, Indonesia masih mempunyai peluang yang menjadi benefit
yang didefinisikan oleh Oatley sebagai salah satu target yang akan dicapai ketika pemerintah
sudah mengeluarkan biaya berupa kebijakan-kebijakan baru. Indonesia memiliki modal jika
ditinjau dari segi demografis dan geografis. Populasi penduduk Indonesia yang mencapai
kurang lebih 17 juta orang merupakan salah satu prospek pasar bagi industri pelayaran dalam
wilayah domestik.

Jumlah penumpang domestic mengalami kenaikan yang stabil selama 5 tahun


terakhir, hal ini menunjukkan adanya permintaan pasar yang semakin besar pada jasa
industry pelayaran. Sedangkan jumlah penumpang kelas internasional mengalami sedikit
fluktuasi. Hanya ada 12 perusahaan pelayaran yang beroperasi pada tingkat Asia, angka yang
sangat sedikit mengingat Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar kedua di dunia
(Jose Tongzhon dan Sang-Yoon Lee, 2015).

Dari segi geografis, Indonesia mempunyai modal untuk membangun infrastruktur


pendudukung jasa pelayaran baik rute domestik maupun rute internasional. Hal tersebut
dapat dilihat dari data lalu lintas kapal kargo domestic dan internasional mengalami
peningkatan yang cukup signifikan. Industri pelayaran merupakan hal yang sangat
penting bagi Indonesia sebagai Negara kepulauan, namun selama ini hanya 9% dari
keseluruhan kargo yang dibawa oleh jalur pelayaran Indonesia. Berdasarkan The Global
Competitiveness Report tahun 2014/2015, peringkat infrastruktur dan konekstivitas
Indonesia menempati peringkat 56. Sedangkan Negara lain seperti Singapura menempati
peringkat ke-2, Malaysia ke-25, Thailand ke-48, Brunei Darussalam ke-58, Myanmar ke-
116, dan Kamboja ke-107.

Diperlukan peran pemerintah untuk membuat beberapa kebijakan sebagai biaya


untuk mendukung peluang dan daya kompetisi yang dimiliki oleh industri pelayaran
Indonesia. Dari segi infrastruktur, menurut World Economic Forum (WEF) 2014, kualitas
pelabuhan Indonesia menempati urutan ke-6 dari 9 negara ASEAN. Arus impor dan
ekspor internasional masih didominasi oleh Pelabuhan Tanjung Priok, yang menunjukkan
bahwa belum meratanya standar pelabuhan internasional di wilayah lain Indonesia (SINDO
2015). Selain itu, waktu bongkar muat pelabuhan Indonesia rata-rata lebih lama, yaitu
delapan hari. Apabila dikomparasikan dengan Negara ASEAN yang lain hanya
membutuhkan waktu lima hari di Thailand, sedangkan di Singapura membutuhkan
waktu satu sampai dua hari.Adanya tantangan pada ranah domestik seperti pajak, aturan
teknis pelabuhan, serta beberapa regulasi lain yang perlu dibenah oleh pemerintah
Indonesia (Neraca 2015).

Adanya azas cabotage yang diterapkan pada tahun 2005, menambah unit kapal laut
nasional sebanyak 6041 unit. Pada tahun 2015 bertambah menjadi 14,000 lebih unit,
meningkat sebanyak 134% (Perkasa 2015)). Dari data di atas, pelayaran rute internasional
membutuhkan kapal dengan TEUs yang besar yang didukung dengan jumlah pelabuhan
internasional yang lebih banyak. Faktor lain menyebutkan bahwa meskipun terdapat
penambahan armada kapal setiap tahun, harus ada efisiensi biaya logistic transportasi laut
yang lebih mahal daripada negara-negara ASEAN lainnya (Hilman 2015). Menurut
Indonesia National Ship Owner Association (INSA), biaya logistik tetap tinggi
dikarenakan tarif pelabuhan yang masih tinggi (Wicaksono 2015). Selain itu, biaya
logistik darat pasca di pelabuhan juga memerlukan pengaturan atau anggaran untuk subsidi
sehingga biaya produksi lebih dapat ditekan (Yasinta 2015). Tantangan yang menjadi faktor
lain adalah peningkatan sumber daya manusia baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Dari
332 pelabuhan dan 1052 tenaga struktural di Indonesia, hampir 50 persen bukan
merupakan tenaga yang kompeten di bidang kelautan (beritasatu.com 2015). Selain itu,
masih minimnya pendidikan formal dalam bidang maritim. Kompetensi tenaga kerja di
bidang maritim signifikan terhadap perkembangan industri pelayaran Indonesia. Selain itu,
ekspor tenaga kerja maritim dapat memberikan remitansi kepada pendapatan ekonomi
nasional seperti yang Filipina lakukan. Terdapat 20 persen dari 1,2 juta tenaga kerja maritim
di dunia merupakan warga Filipina (ILO Publications, 2014).

Untuk menghadapi konstelasi persaingan dalam perdagangan bebas ASEAN,


Indonesia harus mempunyai serangkaian kebijakan untuk meningkatkan daya saing, terutama
pada industri pelayaran.Visi Poros Maritim Indonesia yang dicanangkan oleh Presiden Joko
Widodo telah diimplementasikan ke dalam kebijakan Tol Laut. Oatley (2004) merumuskan
bahwa kebijakan yang diputuskan pemerintah merupakan hasil dari pertimbangan-
pertimbangan sebagai biaya untuk mencapai target yang menutupi kelemahan atau bahkan
lebih.Menurut Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2015-2019, Tol Laut
merupakan konektivitas laut yang efektif berupa adanya kapal yang melayari secara rutin dan
terjadwal dari barat sampai ke timur Indonesia.

Dalam implementasinya, kebijakan Tol Laut mempunyai kebijakan yang menjadi


corak utama, yaitu revitalisasi dan pembangunan infrastruktur, Pelayaran Rakyat (PELRA),
Short Shipping Sea, serta pengembangan industri pelayaran. Kebijakan Tol Laut tersebut
membutuhkan biaya sebesar hamper 700 milliar Rupiah, dengan rincian seperti 6,048
kapal patroli untuk pengamanan laut (Bambang Prihartono, 2015). Selain itu, pemerintah
juga memberikan insenstif fiskal yang berupa Penanaman Modal Negara(PMN) kepada
BUMN. Beberapa diantaranya yaitu untuk pengadaan kapal sebesar 1,5 milliar Rupiah, pada
sektor pengembangan galangan kapal sebesar 1,3 milliar Rupiah, dan untuk pengembangan
pelabuhan sebesar 2 triliun Rupiah. Biaya untuk revitalisasi dan pembangunan pelabuhan
dapat mendukung ekspansi industri pelayaran Indonesia. Kompetisi industri pelayaran
Indonesia dapat didukung dengan kebijakan ASEAN Highway Network yang melibatkan 14
pelabuhan Indonesia dari 42 pelabuhan di seluruh ASEAN yang diprioritaskan untuk
dikembangkan (Asean 2015).

Menyadari akan potensi pelayaran domestik, pemerintah memberikan subsidi di


135 lalu lintas penyeberangan perintis sebesar 315 miliar Rupiah serta membangun kapal
perintis dengan total investasi sebesar 208,1 miliar Rupiah. Pemberian insentif tersebut
dicanangkan untuk menstimulus perkembangan industri pelayaran Indonesia. Peluang
tersebut dapat diidentifikasi oleh 2,866 perusahaan pelayaran, 51 perusahaan peralatan
operasional maritim, 1,894 perusahaan jasa maritim, dan 250 perusahaan galangan kapal.
Adanya insentif tersebut memacu indutsri pelayaran meningkatkan target pendapatan. PT
PELNI optimis menetapkan target pendapatan sebesar 5,096 pada triliun Rupiah pada 2015,
dengan perolehan laba bersih sebesar 200 miliar Rupiah.

Untuk memaksimalkan sumber daya manusia bidang maritim, pemerintah akan


membangun 10 perguruan tinggi dan 100 sekolah maritim (Radar Pena 2015). Sementara
utnuk pengembangan kapabilitasnya, terdapat pusat pengembangan dan pelatihan
professionalisme di bidang maritim, yaitu Indonesia Port Corporation (IPC) Corporate
University (Ipc- corporateuniversity.com 2015).

Adanya Tol Laut dicanangkan untuk pengaturan sistem distribusi yang lebih
efisien dan dapat menekan biaya logistik. Dalam implementasinya, pemerintah
menganggarkan 500 miliar Rupiah untuk operasional transportasi multimoda. Sedangkan
regulasinya masih bernaung pada Peraturan Presiden No. 106 tahun 2015 tentang Angkutan
Barang di Laut. Titik tekan untuk memangkas biaya logistic maritim yang mahal yaitu pada
birokrasi, sehingga efisiensi juga tidak hanya pada sistem (Supply Chain Indonesia, 2015).

Menjelang pada era liberalisasi perdagangan pada ASEAN Economic Community,


setiap negara berusaha membenahi kapabilitas industri pelayarannya. Tidak semua negara-
negara ASEAN mempunyai industri pelayaran dengan daya saing yang tinggi seperti
Singapura dan Malaysia. Namun, beberapa negara menunjukkan progresivitas yang
menonjol seperti Thailand dan Filipina. Sedangkan beberapa negara ASEAN yang lain masih
mengalami stagnansi pada industri pelayarannya. Melihat kondisi tersebut, integrasi ekonomi
yang dilakukan oleh ASEAN harus lebih dari sekedar harmonisasi standar professional
yang akan diadopsi pada industri pelayaran di ASEAN.

Untuk menghadapi beberapa tantangan, pemerintah Indonesia mulai memperhatikan


prospek pasar maritim di baik di wilayah perdagangan intra- ASEAN maupun perdagangan
domestik. Salah satu kebijakan strategis adalah Tol Laut. Implementasi dari kebijakan Tol
Laut memang lebih besar dialokasikan untuk perdagangan jasa pelayaran domestik, mulai
dari infrastruktur, pengaturan birokrasi, evaluasi konsep rute pelayaran, dan pengadaan
insentif untuk peralatan dan pengadaan kapal. Namun pada sisi operasional, Indonesia
membutuhkan alokasi kebijakan yang intens pada tenaga kerja maupun tenaga ahli di bidang
maritim. Sumber daya manusia merupakan peran yang vital untuk pemasokan
pendapatan nasional di bidang maritim. Dengan membandingkan tantangan dan peluang,
Indonesia masih dapat bersaing dengan negara-negara ASEAN lainnya. Hal tersebut dapat
ditinjau dari peluang yang dimaksimalkan oleh pemerintah Indonesia melalui beberapa
kebijakan, salah satunya adalah Tol Laut. Kebijakan tersebut memang membutuhkan
alokasi anggaran dan pengawalan yang besar. Jika ditinjau dari prospek pasar intra-ASEAN
dan domestik yang meningkat setiap tahunnya, hal tersebut akan menjadi keuntungan bagi
Indonesia apabila dapat mencapai target dari kebijakan-kebijakan yang telah diupayakan.

Pulau-pulau di Indonesia hanya bisa tersambung melalui laut-laut di antara pulau-


pulaunya. Laut bukan pemisah, tetapi pemersatu berbagai pulau, daerah dan kawasan
Indonesia. Hanya melalui perhubungan antar pulau , antar pantai, kesatuan Indonesia dapat
terwujud. Pelayaran yang menghubungkan pulau-pulau, adalah urat nadi kehidupan
sekaligus pemersatu bangsa dan Negara Indonesia. Sejarah kebesaran Sriwijaya atau
Majapahit menjadi bukti nyata bahwa kejayaan suatu Negara di nusantara hanya bisa dicapai
melalui keunggulan maritim. Karenanya, pembangunan industry pelayaran nasional sebagai
sektor strategis, perlu diprioritaskan agar dapat meningkatkan daya saing Indonesia di pasar
global. Karena nyaris seluruh komoditi untuk perdagangan internasional diangkut dengan
menggunakan sarana dan prasarana transportasi maritim, dan menyeimbangkan
pembangunan kawasan (antara kawasan timur Indonesia dan barat) demi kesatuan Indonesia,
karena daerah terpencil dan kurang berkembang (yang mayoritas berada dikawasan
Indonesia timur yang kaya sumber daya alam) membutuhkan akses ke pasar dan mendapat
layanan, yang seringkali hanya bisa dilakukan dengan transportasi maritim.

4.1 Pengertian Pelabuhan

Pelabuhan adalah sebuah fasilitas di ujung samudera, sungai, atau danau untuk
menerima kapal dan memindahkan barang kargo maupun penumpang ke dalamnya. Menurut
peraturan pemerintah RI no. 69 tahun 2001 tentang kepelabuhanan, yang dimaksud
pelabuhan adalah tempat yang terdiri dari daratan dan peraitan disekitarnya dengan batas
batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan ekonomi dipergunakan
sebagai tempat kapal bersandar, berlabuh , naik turun penumpang dan atau bongkar m uat
barang yang di lengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang
pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra dan antar moda transportasi.

Pelabuhan juga dapat di definisikan sebagai daerah perairan yang terlindung dari gelombang
laut dan di lengkapi dengan fasilitas terminal meliputi:
1. Dermaga, tempat di mana kapal dapat bertambat untuk bongkar muat barang.
2. Crane, untuk melaksanakan kegiatan bongkar muat barang.
3. Gudang Laut (transito), tempat untuk menyimpan muatan dari kapal atau yang akan di
pindah ke kapal.
2.2 Jenis Pelabuhan
Berdasarkan PP No 69 Tahun 2001, pelabuhan dibagi menjadi beberapa jenis sesuai dengan
kategorinya, berikut jenis-jenis pelabuhan
1. Menurut alamnya
a) Pelabuhan terbuka, kapal dapat merapat langsung tanpa bantuan pintu air,umumnya
berupa pelabuhan yang bersifat tradisional.
b) Pelabuhan tertutup, kapal masuk harus melalui pintu air seperti dapat kita temui
di Liverpool, Inggris dan terusan Panama.
2. Menurut pelayanannya
a) Pelabuhan Umum, diselenggarakan untuk kepentingan masyarakat yang secara teknis
dikelola oleh Badan Usaha Pelabuhan (BUP).
b) Pelabuhan Khusus, dikelola untuk kepentingan sendiri guna menunjang kegiatan tertentu,
baik instansi pemerintah, seperti TNI AL dan Pemda Dati I/Dati II, maupun badan usaha
swasta seperti, pelabuhan khusus PT BOGASARI yang digunakan untuk bongkar muat
tepung terigu.
3. Menurut Lingkup Pelayaran
a) Pelabuhan Internasional Hub, utama primer yang melayani nasional dan internasional
dalan jumlah besar. dan merupakan simpul dalam jaringan laut internasional.
b) Pelabuhan International, utama sekunder yang melayani nasional maupun internasional
dalam jumlah besar yang juga menjadi simpul jaringan transportasi laut internasional.
c) Pelabuhan Nasional, utama tersier yang melayani nasional dan internasional dalam jumlah
menengah.
d) Pelabuhan Regional,pelabuhan pengumpan primer ke pelabuhan utama yang melayani
secara nasional.
e) Pelabuhan Lokal, pelabuhan pengumpan sekunder yang melayani lokal dalam jumlah
kecil.
4. Menurut Perdagangan Luar Negeri
a) Pelabuhan Ekspor.
b) Pelabuhan Impor.
5. Menurut Kapal yang Diperbolehkan Singgah
a) Pelabuhan Laut, Pelabuhan yang boleh dikunjungi kapal negara-negara sahabat.
b) Pelabuhan Pantai, pelabuhan yang hanya boleh dikunjungi kapal nasional.
6. Menurut Wilayah Pengawasan Bea Cukai
a) Custom port, adalah wilayah dalam pengawasan bea cukai.
b) Free port. adalah wilayah pelabuhan yang bebas diluar pengawasan bea cukai.
7. Menurut Kegiatan Pelayaran
a) Pelabuhan Samudra, contoh: Pelabuhan Tanjung Priok.
b) Pelabuhan Nusantara, contoh: Pelabuhan Banjarmasin.
c) Pelabuhan Pelayaran Rakyat, contoh: Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta.
8. Menurut Peranannya
a) Transito, pelabuhan yang mengerjakan kegiatan transhipment cargo, seperti
Pelabuhan Singapura.
b) Ferry, pelabuhan yang mengerjakan kegiatan penyebrangan, seperti Pelabuhan Merak.

4.2 Kondisi Kekinian Pelabuhan di Indonesia


Saat ini total jumlah pelabuhan di Indonesia baik komersial maupun non-komersial
yaitu berjumlah 1.241 pelabuhan, atau satu pelabuhan melayani 14 pulau (14,1
pulau/pelabuhan) dengan luas rerata 1548 km 2/pelabuhan. Keadaan infrastruktur tersebut
masih belum berimbang jika dibandingkan negara kepulauan lainnya di Asia, misalnya:
Jepang 3,6 pulau/pelabuhan dan 340 km2/pelabuhan; serta Filipina 10,1 pulau/pelabuhan dan
460 km2/pelabuhan. Keadaan tersebut, disertai tingginya jumlah armada laut di Indonesia
seperti telah dijelaskan, menyebabkan tingginya antrian sandar kapal di Indonesia.

Gambar . Sebaran Pelabuhan di Indonesia

Jumlah terminal khusus (Tersus) dan terminal untuk kepentingan sendiri (TUKS) yang
banyak menunjukkan tingginya kebutuhan dan potensi pengembangan infrastruktur
transportasi laut. Saat ini jumlah pelabuhan yang terbukabagi perdagangan internasional
cukup banyak (141 pelabuhan) yang umumnyadigunakan untuk kegiatan eksport. Kegiatan
import saat ini telah terkonsentrasidi pelabuhan Belawan, Tanjung Priok, Tanjung Perak, dan
Makassar. Sedangkan RIPN telah menetapkan dua pelabuhan sebagai Hub Internasional
yaitu pelabuhan Bitung dan Kuala Tanjung, dimana terletak di wilayah luar Indonesia.

Pelabuhan-pelabuhan di Indonesia saat ini diatur dalam UU Pelayaran tahun 1992


dan peraturan-peraturan pendukung lainnya. Di Indonesia terdapat sekitar 1000 pelabuhan
khusus atau pelabuhan swasta yang melayani berbagai kebutuhan suatu perusahaan saja (baik
swasta maupun milik negara dalam sejumlah industri meliputi pertambangan, minyak dan
gas, perikanan, kehutanan, dan lain sebagainya. Beberapa dari pelabuhan tersebut hanya
memiliki fasilitas yang sesuai untuk satu atau sekelompok komoditas dan memiliki kapasitas
terbatas untuk mengakomodasi kargo pihak ketiga. Saat ini, Pelindo menikmati monopoli
pada pelabuhan komersial utama yang dilegislasikan serta otoritas pengaturan terhadap
pelabuhan-pelabuhan sektor swasta. Pada sebagian besar pelabuhan utama, Pelindo bertindak
sebagai operator sekaligus otoritas pelabuhan tunggal, mendominasi penyediaan pelayanan
pelabuhan utama seperti perairan pelabuhan untuk pergerakan lalu lintas kapal, pelayaran
dan penarikan kapal (kapal tunda), fasilitas-fasilitas pelabuhan untuk kegiatan bongkar muat,
listrik, persediaan air bersih, pembuangan sampah, layanan telepon untuk kapal, ruang lahan
untuk kantor dan kawasan industri serta pusat pelatihan dan medis pelabuhan. Legislasi saat
ini menjauhkan sektor swasta dari persaingan secara langsung dengan Perum Pelabuhan
Indonesia yang berwenang. Di dalam Perum Pelabuhan Indonesia, pelabuhan-pelabuhan
yang menguntungkan diwajibkan memberikan subsidi kepada pelabuhan-pelabuhan yang
merugi sehingga semakin mengurangi insentif kerja. Selain itu tarif-tarif yang berlaku di
pelabuhan dikenakan secara standar dengan pemberlakuan yang sama oleh pemerintah pusat
sehingga mengurangi persaingan. Hal ini sangat signifikan apabila dua Perum Pelabuhan
Indonesia berbagi daerah yang bersaing seperti Tanjung Emas di Semarang dan Tanjung
Perak di Surabaya, yang keduanya dijalankan oleh Perum Pelabuhan Indonesia III.

Pengelolaan pelabuhan di Indonesia bisa dikatakan masih belum terorganisir dengan


baik. Masih banyak pengelelolaan yang kurang professional dari para pengelola pelabuhan,
dalam hal ini adalah pemerintah. Masih banyak kekurangan yang bisa diidentifikasi oleh
para stakeholders di bidang pelabuhan ini. Di samping itu ada masalah yang tak baru lagi
dalam pengelolaan pelabuhan dari tahun ke tahun, masalah itu antara lain
1. Lamanya proses bongkar muat di pelabuhan pelabuhan di Indonesia;
2. Lamanya pengurusan kepabeanan di Indonesia;
3. Fasilitas pelabuhan yang berkualitas buruk;
4. Lamanya waktu tunggu di pelabuhan pelabuhan di Indonesia;
5. Kedalaman pelabuhan di Indonesia yang tidak memenuhi syarat.

Faktanya masih banyak masalah yang dapat diidentifikasi dari pengelolaan


pelabuhan. Tetapi 5 masalah masalah yang ada di atas merupakan masalah masalah
umum yang sering terjadi dalam hal pengelolaan pelabuhan di Indonesia. Para pengusaha
selaku pihak yang paling sering memanfaatkan jasa pelabuhan ini pun kerap kali mengeluh
mengenai buruknya sarana dan prasarana dari pelabuhan pelabuhan di Indonesia. Fasilitas
fasilitas pelabuhan di Indonesia banyak yang sudah tua dan juga kurang berfungsi dengan
baik karena tidak di maintain dengan baik. Hal ini tentu saja sangat mempengaruhi
operasional dan citra pelabuhan di Indonesia.
Salah fasilitas pelabuhan Indonesia yang kurang memadai adalah kedalaman pelabuhan
atau deep see port yang ada di Indonesia. Sebagian besar pelabuhan di Indonesia tidak bisa
menjaga tingkat kedalaman lautnya sampai 14 meter atau lebih sehingga tidak dapat
memenuhi kriteria deep sea port. Akibatnya, pelabuhan-pelabuhan di Indonesia hanya
menjadi pengumpan bagi pelabuhan milik beberapa negara tetangga.

Masalah lain yang kerap muncul dalam hal pengelolaan pelabuhan di Indonesia
adalah lamanya waktu kepngerusan kepabeanan di Indonesia. Hal ini menyebabkan
rendahnya minat para investor yang sebagian besar aktivitasnya berhubungan dengan
pelabuhan untuk masuk ke Indonesia. Mereka enggan untuk berurusan dengan birokrasi
Indonesia yang sangat berbelit belit. Alas an lainnya ialah karena mereka sadar, dengan
birokrasi yang semakin berbelit belit, hal itu akan mempengaruhi stabilitas dari produk
mereka. Karena mereka mau tidak mau mereka pasti akan memperhitungkan biaya biaya
birokrasi Indonesia kedalam produk mereka, yang sudah pasti merupakan sebuah
pemborosan dan tidak menambah nilai apa apa kepada produk yang mereka jual.
Masalah masalah diatas menyebabkan pengelolaan pelabuhan menjadi tidak
efektif. Hal ini berujung pada lamanya waktu tunggu bagi kapal kapal untuk bersandar di
pelabuhan pelabuhan yang ada di Indonesia. Pemerintah saat ini dituntut untuk segera
memperbaiki masalah ini. Karena pelabuhan mempunyai peran dan fungsi yang sangat
penting dalam pergerakan dan pertumbuhan perekonomian suatu negara.

Selain pengelolaan pelabuhan yang masih carut marut, adanya pembangunan


pelabuhan ini membawa dampak bagi kehidupan di sekitarnya. Dalam penulisan selanjutnya
akan dipaparkan mengenai dampak pembangunan pelabuhan terhadap kehidupan di sekitar
pelabuhan terkait aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi.

4.3 Dampak Pembangunan Pelabuhan secara Mikro terhadap Kehidupan Sekitar


Pelabuhan

Kegiatan pembangunan senantiasa melahirkan dampak positif dan negatif secara


sekaligus bagi kehidupan masyarakat. Ada beberapa dampak positif dari pembangunan
pelabuhan, yaitu pelabuhan laut dapat mempengaruhi pembangunan ekonomi dan sebaliknya
pembangunan ekonomi dapat pula mempengaruhi peningkatan aktivitas pelabuhan
(UNCTAD dan Ditjen Perhubungan Laut, 2000). Ada dua hal yang disumbangkan pelabuhan
untuk meningkatkan perekonomian yang bersifat terukur dan tidak terukur. Hal-hal yang
terukur seperti pajak-pajak, deviden dan retribusi. Sedangkan yang tidak terukur adalah
kesempatan kerja dan tumbuhnya usaha-usaha di sekitar pelabuhan, sebagai efek ganda
kegiatan ke pelabuhan yang akan memberikan nilai tambah ekonomi pada daerah sekitar
pelabuhan. Pelabuhan laut berperan penting terhadap pembangunan ekonomi. Terdapat
dampak positif lainnya mengenai pembangunan dan aktivitas pelabuhan, yaitu aspek sosial.
Dalam aspek sosial ini, pelabuhan dapat dijadikan sebagai transportasi perairan dan juga
dapat dijadikan sebagai pusat kegiatan masyarakat sekitar pelabuhan, misal dalam
memberikan penyuluhan-penyuluhan mengenai hal yang berhubungan dengan kegiatan
masyarakat yang akan mereka lakukan di lingkup pelabuhan tersebut. Namun disisi lain
terdapat dampak negatif dari pembangunan pelabuhan, berupa:

1. Perubahan Fungsi dan Tata Guna Lahan


Kawasan pesisir berupa kawasan lahan basah berhutan mangrove, pantai berpasir,
atau pantai berbatu. Pembangunan pelabuhan dikawasan tersebut, akan menimbulkan
perubahan fungsi dan tata guna lahan yang mengakibatkan perubahan bentang alam. Pada
awalnya, kawasan tersebut berfungsi sebagai cathmen area baik untuk air hujan maupun air
pasang, namun setelah ada pembangunan pelabuhan, seperti kegiatan pembukaan lahan,
pemotongan dan pengurugan tanah pada tahap konstruksi, serta pemadatan tanah, akan
mengubah lahan fungsi tersebut. Sehingga air hujan tidak dapat meresap ke dalam tanah,
sehingga meningkatkan volume air limpasan (run off) dan meningkatkan terjadinya potensi
genangan dan mengubah pola genangan. Selain itu, pelabuhan mengambil air bawah tanah
secara besar-besaran dan tidak terkontrol untuk dijual ke kapal-kapal yang bersandar.
Kegiatan tersebut menyebabkan terjadinya penurunan tanah, yang akhirnya menyebabkan
banjir rob di wilayah sekitar pelabuhan dan juga timbulnya keresahan dan pandangan negatif
masyarakat sekitar. Contohnya seperti yang terjadi di Kota Semarang.

Dampak lain yang terjadi dari perubahan fungsi dan tata guna lahan adalah
terjadinya perubahan mata pencaharian dan pendapatan penduduk. Semisal, pada awalnya
wilayah tersebut merupakan wilayah pertanian garam. Setelah adanya pelabuhan, para
penduduk beralih menjadi pekerja di pelabuhan. Otomatis, pendapatan mereka juga berubah.
gangguan terhadap aktivitas nelayan, peningkatan kepadatan lalu lintas pelayaran maupun
lalu lintas di sekitar wilayah pelabuhan.

2. Penurunan Kualitas Udara dan Peningkatan Kebisingan


Penurunan kualitas udara dapat disebabkan oleh peningkatan debu akibat kegiatan
konstruksi dan kegiatan operasional loading off loading di pelabuhan. Udara pelabuhan
menjadi kotor dan berimbas pada kesehatan masyarakat pelabuhan. Peningkatan kebisingan
pada kegiatan pelabuhan terutama berasal dari kegiatan alat konstruksi, pengangkutan
material, pemancangan dan pembangunan terminal dan loading offloading di pelabuhan,
yang mengganggu ketenangan di permukiman sekitar pelabuhan.

3. Penurunan Kualitas Air Laut dan Kualitas Air Permukaan


Penurunan kualitas air laut dikarenakan adanya peningkatan kekeruhan dan
penigkatan pencemaran air laut. Hal tersebut disebabkan oleh kegiatan konstruksi pada
pembangunan pelabuhan, terutama pada tahap pengerukan (capital dredging) dan
pembuangan material keruk. Kegiatan tersebut akan memengaruhi kualitas air laut dan
kualitas air permukaan (jika pembangunan pelabuhan terletak di sekitar sungai) dengan
adanya peningkatan pencemaran terutama yang dihasilkan dari discharge air limbah
domestik dan non domestik (air balast, tank cleaning dan bahan kimia yang digunakan untuk
perawatan kapal), kegiatan operasional loading-offloading di pelabuhan serta korosi pada
kapal. Hal ini juga berdampak pada kesehatan masyarakat yang mengkonsumsi air yang
tercemar maupun mengkonsumsi ikan yang hidup di perairan pelabuhan.

4. Perubahan Pola Arus Laut, Gelombang dan Garis Pantai


Kegiatan pembangunan pelabuhan beserta fasilitasnya akan memengaruhi terjadinya
perubahan kedalaman laut, pola arus laut dan gelombang mengakibatkan dampak turunan
yaitu adanya perubahan pola sedimentasi yang dapat mengakibatkan abrasi dan akresi
(perubahan garis pantai). Jika bagian struktur pelabuhan menonjol ke arah laut, maka
mungkin terjadi erosi pada garis pantai disekitarnya akibat transpor sediment sejajar pantai
yang terganggu. Dampak ini merupakan isu yang paling penting dalam setiap pembangunan
di wilayah pesisir, sehingga dalam rencana pengelolaan dan rencana pemantauan harus
dilakukan secara berkesinambungan.

5. Gangguan Terhadap Biota Perairan


Kegiatan pembukaan lahan, pemancangan tiang pondasi dan pembangunan struktur
fisik fasilitas pelabuhan dapat mengganggu biota yang ada di lahan basah seperti mangrove,
jenis crustacea, larva-larva ikan dan biota perairan lainnya seperti terumbu karang dan
padang lamun. Gangguan terhadap biota perairan dapat terjadi secara langsung maupun tidak
langsung. Secara langsung disebabkan oleh kegiatan pengerukan dan pembangunan,
sedangkan secara tidak langsung merupakan dampak lanjutan dari penurunan kualitas air laut
akibat operasional pelabuhan.
Salah satu penyebab dampak-dampak di atas adalah karena belum kuatnya
kebijakan yang berorientasi pada kemaritiman sebagai pilar utama pembangunan nasional.
(kusnadi, 2006:15-20). Laut Indonesia yang luas seharusnya menjadi sumber pembangunan
nasional tetapi malah menjadi kelemahan Indonesia, sehingga fungsi pelabuhan di dalamnya
tidak optimal. Menurut Fadjroel (dalam IMM, 2012) mengatakan, prinsip negara maritim
harus segera dikembalikan, baik dalam bentuk regulasi, kebijakan maupun peraturan. Ini
berlaku mulai dari tingkat nasional sampai dengan daerah yang ada di perbatasan.
Seharusnya dengan adanya pelabuhan diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup di
sekitarnya dengan tetap mengedepankan keselamatan lingkungan dengan pengelolaan yang
bijak. Selanjutnya, pada bagian setelah penulisan ini akan dibahas mengenai strategi
peningkatan kinerja pelabuhan di Indonesia

4.4 Kedalaman Draft


Draft kapal atau dikatakan juga sebagai sarat air kapal adalah jarak vertikal antara garis
air sampai dengan lunas kapal, semakin banyak muatan kapal semakin dalam kapal masuk
kedalam air. Draft digunakan untuk menetapkan kedalaman alur pelayaran yang dilewati
kapal serta kolam pelabuhan termasuk kedalaman air di dermaga.
Kedalaman draft untuk pelabuhan komersial di Indonesia masih berkisar antara 4-10
meter dengan ukuran kapal peti kemas yang dapat dilayani maksimum antara 700-1.600
TEUS (kecuali Sorong dengan draft hingga 11 meter dengan ukuran kapal maksimum
mencapai 2600 TEUS). Disamping itu saat ini Masih sebagian kecil pelabuhan yang telah
menyediakan peralatan bongkar muat modern (container crane, luffing crane, JIB Crane,
dsb). Terkait soft structure, hingga saat ini baru lima pelabuhan utama yang telah
menerapkan Indonesia National Single Window (INSW), yaitu pelabuhan Belawan, Merak,
Tanjung Priok, Tanjung Emas, dan Tanjung Perak yang menyebabkan waktu pre-clearance
masih tinggi. Disamping itu tarif pelabuhan sekitar 52-60% dari total tarif angkutan peti
kemas dalam negeri menyebabkan angkutan laut saat ini belum mampu berkompetisi dengan
negara asia lainnya dan belum mampu mendukung pemerataan wilayah di Indonesia.

Dan berikut merupakan beberapa pelabuhan besar yang dimiliki pemerintah, kondisinya
sekarang sebagai berikut:
3. Pelabuhan Belawan
Pelabuhan ini, sekarang memiliki panjang dermaga 950m, dan Draft -10mLWS.
4. Pelabuhan Kuala Tanjung
Pelabuhan ini, sekarang memiliki panjang 670m, dan Draft -14mLWS
5. Pelabuhan Tanjung Perak
Pelabuhan ini, sekarang memiliki panjang dermaga 2 berth serta draft -7mLWS (untuk
Dermaga Mirah), 500m, serta draft -9mLWS (untuk Djamrud Utara), dan 200m, serta
draft -7mLWS (untuk Djamrud Selatan).
6. Pelabuhan Tanjung Priok
Pelabuhan ini, sekarang memiliki panjang dermaga 900m, serta draft -20mLWS(Untuk
CT1), dan panjang dermaga 1600m, serta draft -20mLWS (untuk CT2 dan CT3).
7. Pelabuhan Batu Ampar Batam
Pelabuhan ini, sekarang memiliki panjang dermaga 670m, dan draft -14mLWS

Selain pelabuhan besar tersebut, pemerintah juga sudah memiliki beberapa


pelabuhan kecil. Untuk draft dari pelabuhan kecil ini memiliki rata-rata 4 - 10mLWS.
Dimana fasilitasnya pun masih belum merata. Yaitu antara lain sebagai berikut: Malahayati,
Teluk Bayur, Jambi, Palembang, Panjang, Tanjung Emas, Pontianak, Sampit, Banjarmasin,
Balikpapan, Samarinda, Pantoloan, Kendari, Kupang, Ternate, Jayapura, Ambon, dan
Sorong.
Pemerintah dan Pelindo telah berkoordinasi dalam pengembangan ke-24 pelabuhan
strategis sebagai program implementasi konsep tol laut. Sebagian besar pelabuhan
mempunyai draft dangkal sehingga membatasi ukuran kapal yang akan berlabuh di
pelabuhan tersebut. Kedepan dibutuhkan 19 pelabuhan yang mampu mengakomodasi kapal
berkapasitas 5.000 TEUs dan 10.000 TEUs dalam jangka panjang. Kebutuhan investasi
pelabuhan sampai dengan 2030 diperkirakan sebesar USD 47,1 miliar. Diperkirakan
kebutuhan volume pelabuhan sampai dengan 2030 tertinggi untuk container. Dari data
Laporan Implementasi Konsep Tol Laut 2015-2019 yang dirilis oleh Bappenas,
pengembangan fasilitas laut pelabuhan antara lain peningkatan draft kedalaman pelabuhan
pelabuhan Hub minimum 12 meter, peningkatan draft kedalaman pelabuhan feeder minimum
7 meter.
Peningkatan draft kedalaman pelabuhan dapat dilakukan dengan cara pengerukan
kedalaman kolam, pengerukan membutuhkan biaya yang besar, biaya yang besar tersebut
dilihat dari surat keputusan menteri perhubungan, selama ini minat swasta dalam berinvestasi
di bidang industri maritim sangat kecil. Hal Ini disebabkan karena regulasi, masa investasi,
serta suku bunga yang tinggi. Pemerintahan Presiden Joko Widodo telah memangkas
berbagai regulasi untuk merangsang investasi. Ini memacu investasi di berbagai industri lain
tanpa terkecuali maritim. Perkembangan industri maritim serta galangan kapal belum terasa
signifikan.
Gambar . Fasilitas/insentif Investasi

Untuk itu, pemerintah dapat ikut andil dalam pembangunan pelabuhan dengan
menghimpun pengusaha pengusaha daerah dan memberikan stimulus untuk berinvestasi di
industri galangan kapal.

4.5 Kinerja Pelabuhan Komersil di Indonesia


Perbandingan dengan kinerja pelabuhan strategis di ASEAN tahun 2013 menunjukkan:
1. Crane Intensity (CI) di sejumlah pelabuhan strategis di Indonesia relatif masih rendah
sekitar 1-2 (CI tertinggi di ASEAN mencapai 1,8-3,6).
2. Domestic Dwilling Time di sejumlah pelabuhan strategis di Indonesia relatif masih tinggi
sekitar 5 hari (terendah di ASEAN mencapai 1 hari).

Dwelling time pelabuhan dapat diartikan sebagai waktu yang dibutuhkan bagi
kontainer (barang impor) untuk ditimbun di Tempat Penimbunan Sementara (TPS)/ container
yard di wilayah/ area pelabuhan, dihitung sejak barang impor dibongkar dari kapal sampai
dikeluarkan dari TPS. Oleh karena itu, setiap masalah yang terjadi pada komponen dwelling
time berpotensi untuk meningkatkan dwelling time di pelabuhan.
Dalam Dwelling Time ini Crane Intensity sangat berpengaruh pada waktu lamanya
pengangukutan container maupun saat peletakan container dari kapal. Adapun proses
dwelling time di pelabuhan:
1. Pre-clearance adalah proses peletakan petikemas di tempat penimbunan sementara (TPS)
di pelabuhan dan penyiapan dokumen pemberitahuan impor barang (PIB)
2. Customs clearance adalah proses pemeriksaan fisik petikemas (khusus untuk jalur merah),
lalu verifikasi dokumen-dokumen oleh Bea Cukai dan pengeluaran surat persetujuan
pengeluaran barang (SPPB)
3. Kegiatan post clearance adalah saat petikemas diangkut ke luar kawasan pelabuhan dan
pihak pemilik petikemas melakukan pembayaran ke operator pelabuhan.
Pelindo I dan menyatakan sudah 4,1 hari (dwelling time), kemudian Pelindo II
sudah 3,2 hari, Pelindo III saya 3 hari dan Pelindo IV sudah 2,4 hari.

Gambar . Kinerja Pelabuhan Komersil Indonesia

Tahun 2013, jumlah pelabuhan yang memenuhi standar kinerja waiting time (WT)/
approach time (AT)/ effective time (ET) hanya sekitar 37/36/26 pelabu Beberapa
sumber permasalahan yang telah diidentifikasi adalah:
1. Kurangnya penyediaan infrastruktur pelabuhan, khususnya dermaga dan
lapangan penumpukan, terutama pada pelabuhan-pelabuhan utama.
2. Kondisi fisik pelabuhan, khususnya kedalaman pelabuhan, dimana sebagian besar
pelabuhan berada di muara sungai sehingga memiliki tingkat sedimentasi tinggi.
3. Waktu operasional pelabuhan dan keterbatasan kinerja SDM, khususnya
tenaga bongkar muat.
Kasus dwelling time di pelabuhan memanas sejak Presiden Jokowi melakukan
kunjungan pertama ke Pelabuhan Tanjung Priok. Beliau menargetkan lama dwelling time
bisa dipercepat dari yang semula 6 hari lebih menjadi 4,7 hari dengan rincian: pre-custom
clearance selama 2,7 hari, custom clearance selama 0,5 hari, dan post-custom clearance
selama 1,5 hari. Namun ternyata target tersebut gagal dipenuhi pada saat beliau
melaksanakan kunjungan kedua ke Pelabuhan Tanjung Priok. Kegagalan tersebut disebabkan
karena adanya banyak faktor dan kepentingan yang berpengaruh terhadap komponen
dwelling time. (sumber: bisnis.liputan6.com)
Penyelesaian dwelling time tidak bisa dilepaskan dari faktor teknis di lapangan.
Salah satunya adalah pengaruh kegiatan bongkar muat barang. Kegiatan bongkar muat
merupakan salah satu komponen dari dwelling time di pelabuhan. Setiap permasalahan yang
timbul dalam kegiatan bongkar muat berpotensi untuk meningkatkan dwelling time sehingga
menimbulkan kerugian terutama bagi pemilik kapal maupun pemilik barang. Seluruh risiko
yang timbul mengakibatkan kerugian waktu dan biaya. Dengan menggunakan metode
statistik dan probabilitas dapat diketahui risiko mana yang paling berpengaruh besar terhadap
operasional bongkar muat di pelabuhan, yaitu dengan menghitung selisih waktu sesuai
standar operasional dengan waktu sebenarnya saat operasional dari keseluruhan kegiatan
bongkar muat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat risiko terjadinya lost time saat
kegiatan Truck Losing Out dan Truck Losing In adalah sangat tinggi, sedangkan cetak job
slip dan stack in adalah tinggi dan stack out adalah rendah. Adapun total lost time yang
disumbangkan oleh kegiatan bongkar terhadap dwelling time berasal dari Truck Losing Out
mencapai 11.9 jam jika dibandingkan dengan standar waktu normalnya. Sedangkan total lost
time yang disumbangkan oleh kegiatan muat terhadap dwelling time berasal dari Cetak Job
Slip ditambah dengan Stack In sebesar 12.5 jam. Hal ini membuktikan bahwa kegiatan
bongkar muat merupakan komponen penyumbang dwelling time.
Umumnya, apabila dalam kegiatan bongkar muat di pelabuhan timbul permasalahan
yang mengakibatkan tersendatnya arus distribusi barang maka hal ini akan menyebabkan
kerugian waktu dan biaya bagi pemilik kapal maupun pemilik barang. Permasalahan tersebut
akan menimbulkan pembengkakan biaya yang harus ditanggung oleh pemilik kapal, yakni
beban jasa kepelabuhan dan beban operasional kapal selama berada di pelabuhan. Beban jasa
kepelabuhan meliputi tarif labuh kapal, tarif tambat kapal, tarif penyewaan alat bongkar muat
beserta armada, dan tarif penyewaan lapangan penumpukan, sedangkan beban operasional
kapal antara lain adalah biaya gaji, biaya ABK, biaya bahan bakar dan lain-lain. Oleh karena
itu, semakin lama kapal di pelabuhan, maka biaya pengeluaran kapal semakin besar sehingga
berpotensi menimbulkan kerugian bagi perusahaan angkutan laut.
Pembengkakan ongkos pengiriman barang, umumnya tidak ditanggung oleh pemilik
barang kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengangkutannya. Akan tetapi,
keterlambatan distribusi barang dapat menyebabkan kerugian bagi pemilik barang, terutama
karena nilai manfaat barang bisa berubah sesuai fungsi waktu. Kerugian tersebut antara lain
adalah barang tidak bisa segera dimanfaatkan dalam proyek, barang tidak bisa segera
dipasarkan, arus perputaran uang terlambat, utang bunga bank meningkat dan lain
sebagainya. (Ningrum, 2007)
Lamanya dwelling time disebabkan beberapa hal. Pertama, produktivitas tenaga
kerja bongkar muat (TKBM) yang masih rendah. Produktivitas TKBM di
pelabuhanpelabuhan di Indonesia tergolong masih rendah karena pengelolaan TKBM yang
masih belum optimal dan profesional. Saat ini pengelolaan TKBM dimonopoli koperasi
TKBM di bawah pengawasan pemerintah. Hal itu pula yang membuat TKBM tidak
kompetitif. Seharusnya di setiap pelabuhan terdapat minimal dua pengelola TKBM sehingga
dapat memacu kompetisi yang sehat.
Kedua, pengurusan dokumen terkait dengan kapal dan barang yang lama. Pengurusan
dokumen-dokumen di pelabuhan di Indonesia terbilang lama karena di pelabuhan terdapat
banyak instansi, di antaranya BUP (badan usaha pelabuhan), bea dan cukai, kantor karantina,
kantor kesehatan pelabuhan, kantor kesyahbandaran, serta otoritas pelabuhan. Karena itu,
dalam rangka pengurusan dokumen, pengguna jasa atau konsumen harus mendatangi
instansi-instansi tersebut. Ironisnya, rata-rata pengurusan dokumen itu dilakukan setelah
kapal tiba di pelabuhan. Hal tersebut yang mengakibatkan lamanya proses pengurusan
dokumen.
Di beberapa negara di dunia, di Singapura misalnya, pengurusan dokumen yang
terkait dengan kapal dan barang dilakukan sebelum kapal tiba di pelabuhan melalui sistem
dalam jaringan (daring) teknologi informasi (TI). Sistem TI itu terintegrasi dengan sistem TI
dari berbagai instansi seperti Port of Singapore Authority (PSA) selaku operator dan The
Maritime and Port Authority of Singapore (MPA) selaku regulator. Hal tersebut lebih efektif
dan efisien karena memotong birokrasi serta menghemat waktu, tenaga, dan biaya. Selain itu,
daring meminimalkan pertemuan para pengguna jasa dengan para petugas saat melakukan
pengurusan dokumen sehingga potensi terjadinya tindak pidana korupsi, kolusi, dan
nepotisme dapat dihindari.
Ketiga, integrasi di antara moda transportasi angkutan barang yang kurang. Integrasi
antarmoda dapat mengurangi kepadatan di pelabuhan dan di jalan raya. Misalnya integrasi
antara moda transportasi laut dan kereta api. Hal itu dapat dilakukan dengan membangun
jalur rel di pelabuhan sehingga barang yang hendak dibongkar atau dimuat dari dan ke kapal
dapat langsung dengan kereta api.
Dengan demikian, dari penjelasan di atas, dapat diketahui, dwelling time dapat
dipengaruhi banyak faktor. Antara lain ketersediaan infrastruktur dan fasilitas di pelabuhan,
tenaga kerja bongkar muat, kecepatan pengurusan dokumen kapal dan barang, serta integrasi
antarmoda transportasi. Karena itu, diperlukan penyelesaian yang serius dan komprehensif
dalam rangka mengurangi dwelling time.
Pemerintah sudah mengupayakan beberapa solusi mengenai permasalahan Dwelling
Time di Indonesia diantaranya adalah pemberian sanksi jika pengambilan maupun mengurus
barang yang lambat, pengadaan teknologi terbaru. Dan pengadaan pelabuhan alternatif
sebagai pendukung pelabuhan utama.

4.6 Rendahnya Daya Saing Kemaritiman, Khususnya Pelabuhan

Sektor maritim memiliki peranan penting dalam perekonomian nasional, namun


kondisi sektor maritim di Indonesia relatif belum baik. Indonesia merupakan negara
kepulauan terbesar dengan dua per tiga dari luas wilayahnya merupakan lautan atau sebesar
5,8 juta km2. Jumlah pulau di Indonesia merupakan terbanyak di dunia yakni sebesar 18.110
pulau. Selain itu, posisi Indonesia di posisi silang dunia yang terletak di dua samudera dan
dua benua. Sektor maritim juga berperan penting dalam perdagangan dunia. Sekitar 80%
perdagangan dunia menggunakan moda transportasi laut. Namun demikian, kondisi sektor
maritim di Indonesia relatif belum baik. Kondisi sektor maritim yang meliputi pelabuhan,
angkutan laut (shipping), galangan kapal (shipyard) dan jasa penunjang lainnya relatif belum
baik dibandingkan negara ASEAN lainnya.
Gambar 6. Data Peringkat Kualitas Pelabuhan se-ASEAN

Dari sisi pelabuhan, daya saing infrastruktur pelabuhan masih relatif rendah. Meski
peringkat kualitas pelabuhan Indonesia meningkat dari peringkat 89 menjadi 77 dalam
Global Competitiveness Index 2014-2015, kualitas infrastruktur pelabuhan Indonesia masih
lebih rendah dari Thailand (54), Malaysia (19), dan Singapura (2). Tingkat utilitas pelabuhan
di Indonesia sudah lebih dari 100%. Lebih jauh, utilitas pelabuhan di Kawasan Timur
Indonesia (KTI) masih rendah. Pelabuhan Bitung yang rencananya akan menjadi hub
internasional, tingkat utilitasnya masih lebih rendah dibandingkan pelabuhan di Sumatera
dan Jawa. Sebagian besar pelabuhan mempunyai draft dangkal sehingga membatasi ukuran
kapal yang akan berlabuh di pelabuhan tersebut. Kedepan dibutuhkan 19 pelabuhan yang
mampu mengakomodasi kapal berkapasitas 5.000 TEUs dan 10.000 TEUs dalam jangka
panjang. Kebutuhan investasi pelabuhan sampai dengan 2030 diperkirakan sebesar USD 47,1
miliar. Diperkirakan kebutuhan volume pelabuhan sampai dengan 2030 tertinggi untuk
container.
Begitu pula dari sisi angkutan laut (shipping), kapasitas kapal di Indonesia masih
relatif rendah. Mayoritas kapasitas kapal domestik sebesar 350-800 TEUs. Sementara di
negara lain seperti Malaysia, India dan China, rata-rata kapalnya berukuran 1.000 TEUs.
Selain itu, menurut data Bappenas, lebih dari 50% umur armada kapal nasional diatas 10
tahun. Kedepan diperlukan jumlah kapal berkapasitas besar dengan perkiraan kebutuhan
investasi sebesar USD 6,7 miliar sampai dengan 2030. Akibat asas cabotage, angkutan laut
nasional telah menguasai 99% pangsa muatan domestik sementara pada muatan ekspor-
impor baru menguasai 10%. Secara global, kondisi industri pelayaran mulai membaik di
tahun 2016 ini seiring dengan berkurangnya oversupply. Hal ini juga ditunjukkan dengan
meningkatnya harga sewa kapal.
Selain itu, besarnya biaya logistik nasional terutama pengiriman ke Kawasan Timur
Indonesia (KTI). Beberapa barang tertentu di KTI harganya lebih mahal daripada di daerah
Indonesia bagian barat.

Gambar 7. Grafik biaya pengiriman barang dari Jakarta ke berbagai tempat

Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa ongkos kirim barang dari Jakarta menuju
Hamburg yang berjarak 11.000 km ternyata lebih murah daripada menuju Padang yang
berjarak hanya 1.000 km. Dari beberapa kondisi maritim Indonesia tersebut, maka konsep
Tol Laut sangat dibutuhkan untuk segera diimplementasikan, khususnya pengembangan
infrastruktur pelabuhan.

4.7 Kondisi-kondisi Pelabuhan di Indonesia


Pelabuhan-pelabuhan di Indonesia saat ini diatur dalam UU Pelayaran tahun 1992 dan
peraturan-peraturan pendukung lainnya. Di Indonesia terdapat sekitar 1000 pelabuhan
khusus atau pelabuhan swasta yang melayani berbagai kebutuhan suatu perusahaan saja (baik
swasta maupun milik negara dalam sejumlah industri meliputi pertambangan, minyak dan
gas, perikanan, kehutanan, dan lain sebagainya.
Beberapa dari pelabuhan tersebut hanya memiliki fasilitas yang sesuai untuk satu atau
sekelompok komoditas dan memiliki kapasitas terbatas untuk mengakomodasi kargo pihak
ketiga. Saat ini, Pelindo menikmati monopoli pada pelabuhan komersial utama yang
dilegislasikan serta otoritas pengaturan terhadap pelabuhan-pelabuhan sektor swasta. Pada
sebagian besar pelabuhan utama, Pelindo bertindak sebagai operator sekaligus otoritas
pelabuhan tunggal, mendominasi penyediaan pelayanan pelabuhan utama seperti perairan
pelabuhan untuk pergerakan lalu lintas kapal, pelayaran dan penarikan kapal (kapal tunda),
fasilitas-fasilitas pelabuhan untuk kegiatan bongkar muat, listrik, persediaan air bersih,
pembuangan sampah, layanan telepon untuk kapal, ruang lahan untuk kantor dan kawasan
industri serta pusat pelatihan dan medis pelabuhan.
Legislasi saat ini menjauhkan sektor swasta dari persaingan secara langsung dengan
Perum Pelabuhan Indonesia yang berwenang. Di dalam Perum Pelabuhan Indonesia,
pelabuhan-pelabuhan yang menguntungkan diwajibkan memberikan subsidi kepada
pelabuhan-pelabuhan yang merugi sehingga semakin mengurangi insentif kerja. Selain itu
tarif-tarif yang berlaku di pelabuhan dikenakan secara standar dengan pemberlakuan yang
sama oleh pemerintah pusat sehingga mengurangi persaingan. Hal ini sangat signifikan
apabila dua Perum Pelabuhan Indonesia berbagi daerah yang bersaing seperti Tanjung Emas
di Semarang dan Tanjung Perak di Surabaya, yang keduanya dijalankan oleh Perum
Pelabuhan Indonesia III.
4.6 Kinerja Pengelolaan Pelabuhan
Pengelolaan pelabuhan di Indonesia bisa dikatakan masih belum terorganisir dengan
baik. Masih banyak pengelelolaan yang kurang professional dari para pengelola pelabuhan,
dalam hal ini adalah pemerintah. Masih banyak kekurangan yang bisa diidentifikasi oleh para
stakeholders di bidang pelabuhan ini. Di samping itu ada masalah yang tak baru lagi dalam
pengelolaan pelabuhan dari tahun ke tahun, masalah itu antara lain
1. Lamanya proses bongkar muat di pelabuhan pelabuhan di Indonesia;
2. Lamanya pengurusan kepabeanan di Indonesia;
3. Fasilitas pelabuhan yang berkualitas buruk;
4. Lamanya waktu tunggu di pelabuhan pelabuhan di Indonesia;
5. Kedalaman pelabuhan di Indonesia yang tidak memenuhi syarat.
Faktanya masih banyak masalah yang dapat diidentifikasi dari pengelolaan
pelabuhan. Tetapi 5 masalah masalah yang ada di atas merupakan masalah masalah
umum yang sering terjadi dalam hal pengelolaan pelabuhan di Indonesia. Para pengusaha
selaku pihak yang paling sering memanfaatkan jasa pelabuhan ini pun kerap kali mengeluh
mengenai buruknya sarana dan prasarana dari pelabuhan pelabuhan di Indonesia. Fasilitas
fasilitas pelabuhan di Indonesia banyak yang sudah tua dan juga kurang berfungsi dengan
baik karena tidak di maintain dengan baik. Hal ini tentu saja sangat mempengaruhi
operasional dan citra pelabuhan di Indonesia.
Salah fasilitas pelabuhan Indonesia yang kurang memadai adalah kedalaman
pelabuhan atau deep see port yang ada di Indonesia. Sebagian besar pelabuhan di Indonesia
tidak bisa menjaga tingkat kedalaman lautnya sampai 14 meter atau lebih sehingga tidak
dapat memenuhi kriteria deep sea port. Akibatnya, pelabuhan-pelabuhan di Indonesia hanya
menjadi pengumpan bagi pelabuhan milik beberapa negara tetangga.
Masalah lain yang kerap muncul dalam hal pengelolaan pelabuhan di Indonesia
adalah lamanya waktu kepngerusan kepabeanan di Indonesia. Hal ini menyebabkan
rendahnya minat para investor yang sebagian besar aktivitasnya berhubungan dengan
pelabuhan untuk masuk ke Indonesia. Mereka enggan untuk berurusan dengan birokrasi
Indonesia yang sangat berbelit belit. Alas an lainnya ialah karena mereka sadar, dengan
birokrasi yang semakin berbelit belit, hal itu akan mempengaruhi stabilitas dari produk
mereka. Karena mereka mau tidak mau mereka pasti akan memperhitungkan biaya biaya
birokrasi Indonesia kedalam produk mereka, yang sudah pasti merupakan sebuah
pemborosan dan tidak menambah nilai apa apa kepada produk yang mereka jual.
Masalah masalah diatas menyebabkan pengelolaan pelabuhan menjadi tidak
efektif. Hal ini berujung pada lamanya waktu tunggu bagi kapal kapal untuk bersandar di
pelabuhan pelabuhan yang ada di Indonesia. Pemerintah saat ini dituntut untuk segera
memperbaiki masalah ini. Karena pelabuhan mempunyai peran dan fungsi yang sangat
penting dalam pergerakan dan pertumbuhan perekonomian suatu negara.
Selain pengelolaan pelabuhan yang masih carut marut, adanya pembangunan
pelabuhan ini membawa dampak bagi kehidupan di sekitarnya. Dalam penulisan selanjutnya
akan dipaparkan mengenai dampak pembangunan pelabuhan terhadap kehidupan di sekitar
pelabuhan terkait aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi.

4.7 Pengembangan Pelabuhan dalam Kerangka Tol Laut


Tol laut merupakan layanan angkutan laut dengan jumlah dan tipe kapal besar
sesuai demand, melalui jalur utama koridor tengah perairan Indonesia yang menghubungkan
pelabuhan-pelabuhan utama (hub), disertai dengan jalur penerus (feeder) yang
menghubungkan pelabuhan-pelabuhan pengumpan (spoke). Pelabuhan yang akan menjadi
international hub-port adalah Pelabuhaan Bitung dan Pelabuhan Kuala Tanjung. Perkiraan
investasi yang dibutuhkan untuk membangun konsep Tol Laut sebesar IDR 699,9 triliun.
Adapunn investasi tersebut digunakan untuk membangun dan mengembangkan 24 pelabuhan
utama beserta infrastruktur penunjangnya, pengembangan pelabuhan kecil dan pengadaan
kapal, pengadaan fasilitas kargo, pembangunan 1.481 pelabuhan rakyat, pembangunan 80
pelabuhan khusus (seperti batubara dan CPO), pengembangan akses kawasan, industri
galangan kapal, membeli kapal barang perintis, tanker, cargo, kapal rakyat dan pengamanan
laut.
24 pelabuhan utama itu adalah Pelabuhan Banda Aceh, Pelabuhan Belawan,
Pelabuhan Pangkal Pinang, Pelabuhan Kuala Tanjung, Pelabuhan Dumai, Pelabuhan
Panjang, Pelabuhan Batam, dan Pelabuhan Padang. Kemudian Pelabuhan Tanjung Priok,
Pelabuhan Cilacap, Pelabuhan Tanjung Perak, Pelabuhan Lombok, Pelabuhan Kupang,
Pelabuhan Banjarmasin, Pelabuhan Pontianak, Pelabuhan Palangka Raya, Pelabuhan Maloy,
dan Pelabuhan Bitung. Selanjutnya adalah Pelabuhan Makassar, Pelabuhan Ambon,
Pelabuhan Halmahera, Pelabuhan Sorong, Pelabuhan Jayapura dan Pelabuhan Merauke.

Gambar 3. Infrastruktur yang harus dibangun 2015-2019


Sumber: Presentasi Deputi Sarana dan Prasarana Bappenas, 2015

Dari data Laporan Implementasi Konsep Tol Laut 2015-2019 yang dirilis oleh
Bappenas, pengembangan fasilitas laut pelabuhan antara lain peningkatan draft kedalaman
pelabuhan pelabuhan Hub minimum 12 meter, peningkatan draft kedalaman pelabuhan
feeder minimum 7 meter, peningkatan fasilitas darat pelabuhan, penyediaan peralatan dan
revitalisasi pelabuhan pelayaran rakyat Indonesia.
Konsep Tol Laut tidak saja memerlukan draft kedalaman dermaga (infrastruktur)
tetapi juga memerlukan perangkat alat bongkar muat CC (Container Crane), Top Loader,
Reach Taker, dan rasio kebutuhan space Quay Yard untuk menampung container dari
proyeksi kegiatan bongkar maut kapal pendulum yang besar. Selanjutnya selain infrastruktur
maka diperlukan suprastruktur pendukung seperti manajerial pelabuhan membuat CSL
(Crane Sequence List) karena misal 2 alat CC untuk satu kapal agar cepat selesai kegiatan
bongkar muat di setiap pelabuhan yang disinggahinya.
Terdapat beberapa kendala dalam implementasi konsep Tol Laut dalam kaitannya
terhadap kondisi pelabuhan yang ada. Pertama, kapal besar berkapasitas 3.000-10.000 TEUs
hanya masuk pada pelabuhan tertentu dan tidak setiap pelabuhan memiliki kapasitas ini. Hal
ini terkait syarat yang dibutuhkan yaitu Jetty atau tempat sandar pelabuhan harus muat dan
ditambah dengan kapasitas yang harus mencukupi, sehingga mutlak dibutuhkan
pembangunan dan pebaikan infrastruktur pelayaran diantaranya pembangunan skala besar
dan pengadaan kapal-kapal dengan kapasitas 3.000-10.000 TEUs. Ditambah lagi pemerintah
tetap harus mengawal proses investasi pembangunan program Tol Laut apabila melibatkan
pihak asing dalam skema investasinya.
Menurut R.J. Lino, biaya pembangunan infrastruktur kelautan sebesar 5-6 miliar
dollar AS atau setara 78 triliyun rupiah (dengan asumsi 1 USD = Rp. 13.000), biaya yang
cukup besar namun ternyata ide ini didukung oleh semua komponen usaha terkait termasuk
Kementrian Perhubungan. Maka, pembangunan pelabuhan akan semakin dilakukan,
khususnya periode 2015-2019.
Pelayaran Indonesia merupakan satu aspek penting dalam kemajuan Indonesia menjadi
Poros Maritim Dunia. Kondisi pelayaran Indonesia saat ini menjadi satu tonggak pendorong
utama bagi kemajuan industri dan pemerataan kebutuhan Indonesia.

Tujuan Pemerintah menerapkan Asas Cabotage ini adalah untuk menjadikan kapal-
kapal berbendera Indonesia menjadi raja diperairan lautnya sendiri. Selain itu, dengan
lahirnya Asas Cabotage ini, diharapkan pelayaran di Indonesia menjadi semakin baik dan
kondusif. Sehingga tidak ada lagi pihak asing yang ikut berperan dalam industri pelayaran
Indonesia.

Namun, keberadaan Asas Cabotage seakan percuma untuk industri pelayaran di


Indonesia apabila tidak diimbangi dengan implementasi yang maksimal. Implementasi
merupakan salah satu bagian yang terpenting dalam sebuah kebijakan sehingga perlu adanya
peranan yang optimal baik dari pemerintah maupun stakeholders. Apabila tidak diimbangi
dengan implementasi yang baik, maka kebijakan yang telah dirumuskan tidak akan dapat
berjalan dengan baik. Oleh sebab itu, penulis akan membahas lebih mendalam bagaimana
penerapan Asas Cabotage dalam kebijakan pelayaran pada sub selanjutnya sehingga pada
akhirnya akan memberikan dampak yang signifikan pada pertumbuhan dan perkembangan
jumlah kapal nasional di Indonesia

1. Administrasi Publik

Pada awal lahirnya administrasi publik, banyak ilmuwan dan praktisi memiliki
pendapat yang berbeda mengenai arti dari administrasi publik. Menurut Waldo dalam
Zauhar (1996, h.31) mengungkapkan dua jenis definisi administrasi publik yaitu:

(1) Public Administration is the organization and management of men and


materials to achieve the purposes of government.

(2) Public Administration is the art and science of management as applied to affairs
of state.

Secara lebih spesifik, menurut Prajudi Atmosudirjo dalam Indradi (2004, h.117)
mengatakan bahwa administrasi publik adalah administrasi daripada negara sebagai
organisasi dan administrasi yang mengejar tercapainya tujuan-tujuan yang bersifat
kenegaraan. Administrasi publik sebagai sebuah organisasi baik itu pemerintah maupun
non pemerintah, pada pelaksanaannya akan menghasilkan sebuah regulasi dalam bentuk
kebijakan publik. Didalam kebijakan publik terdapat 3 proses utama yaitu formulasi,
implementasi dan evaluasi. Pada sub bab selanjutnya akan dibahas mengenai implementasi
kebijakan publik.

2. Implementasi Kebijakan Publik

Implementasi kebijakan merupakan salah satu bagian yang sangat penting dari
kebijakan publik. Menurut Abdul-Wahab (2012, h.133) dalam arti seluas-luasnya
implementasi juga sering dianggap sebagai bentuk peng- operasionalisasian atau
penyelenggaraan aktivitas yang telah ditetapkan berdasarkan Undang-Undang dan
menjadi kesepakatan bersama diatara beragam pemangku kepentingan, aktor, organisasi,
prosedur dan teknik secara sinergistis yang digerakkan untuk bekerjasama guna
menerapkan kebijakan ke arah tertentu yang dikehendaki.

Terdapat tiga tahap proses implementasi suatu kebijakan publik yang mencakup
tahap interpretasi (interpretation), tahap peng- organisasian (to organized) dan tahap
aplikasi (application) menurut Widodo (2010, h.90-94), yaitu:

a. Tahap Interpretasi (Interpretation)

Tahap interpretasi merupakan tahapan penjabaran sebuah kebijakan yang masih


bersifat abstrak ke dalam kebijakan yang lebih bersifat teknis operasional.

b. Tahap Pengorganisasian (to Organized)

Tahap pengorganisasian ini lebih mengarah pada proses kegiatan pengaturan dan
penetapan siapa yang menjadi pelaksana kebijakan, penetapan anggaran, penetapan
prasarana dan sarana apa yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan, penetapan tata
kerja, dan penetapan manajemen pelaksanaan kebijakan termasuk penetapan pola
kepemimpinan dan koordinasi pelaksanaan kebijakan.

c. Tahap Aplikasi (Application)

Tahap aplikasi merupakan tahap penerapan Asas Cabotage secara konsekuen dan
me- rumuskan kebijakan serta mengambil langkah- langkah yang diperlukan sesuai dengan
tugas, fungsi dan kewenangan masing-masing guna memberdayakan industri pelayaran
nasional.

Rencana proses implementasi kebijakan ke dalam realitas nyata. Tahap


aplikasi merupakan perwujudan dari pelaksanaan masing-masing kegiatan dalam tahapan
yang telah disebutkan sebelumnya. Muatan Inpres Nomor 5 tahun 2005, terdiri atas 6 (enam)
bidang yang menjadi aspek pengaturan, yaitu:

1) Perdagangan;

2) Keuangan;

3) Perhubungan;
4) Perindustrian;

5) Energi dan Sumberdaya Mineral; dan

. 6) Pendidikan dan Pelatihan.

3. Lahirnya Asas Cabotage

Lahirnya Asas Cabotage didasari oleh terbitnya Instruksi Presiden Nomor 5


tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional dan Undang-Undang Nomor
17 tahun 2008 tentang Pelayaran. Instruksi Presiden Nomor 5 tahun 2005 menekankan
untuk menerapkan Asas Cabotage secara konsekuen dan merumuskan kebijakan serta
mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai dengan kewenangan masing-masing
guna memberdayakan industri pelayaran nasional. Dijelaskan pada sosialisasi yang
diselenggarakan di Balikpapan pada tahun 2013, Asas Cabotage terdiri dari beberapa poin,
yaitu:

a. Kegiatan angkut dalam negeri dilakukan oleh:

1) Perusahaan angkutan laut nasional

2) Menggunakan kapal berbendera Indonesia

3) Diawaki awak kapal berkewarganegaraan Indonesia

b. Kapal asing dilarang mengangkut penumpang dan/atau barang ke setiap pulau


atau setiap pelabuhan di wilayah perairan Indonesia.

c. Kapal asing yang saat ini masih melayani kegiatan angkutan laut dalam negeri
tetap dapat melakukan kegiatannya paling lama tiga tahun sejak Undang-Undang ini
berlaku.

d. Setiap orang yang mengoperasikan kapal asing untuk mengangkut penumpang


dan/atau barang ke setiap pulau atau setiap pelabuhan di wilayah perairan Indonesia
dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak
Rp 600.000.000 (enam ratus juta rupiah).

4. Pemberdayaan Industri Pelayaran menurut Inpres Nomor 5 tahun 2005

Kebijakan ini dikeluarkan dalam rangka mengoptimalkan pelaksanaan kebijakan


pem- berdayaan industri pelayaran nasional dengan menginstruksikan menteri terkait seperti
Menteri Keuangan dan Perindustrian untuk menerapkan

Menurut Usman (2009, h.129) kata deskriptif berasal dari bahasa Inggris,
descriptive yang berarti bersifat menggambarkan dan melukiskan, dalam hal ini
sebenarnya (harafiah), yaitu berupa gambar-gambar atau foto-foto yang diperoleh dari data
lapangan atau penelitian menjelaskan hasil penelitian dengan gambar-gambar dan dapat
pula berarti men- jelaskannya dengan kata-kata, gejala, fakta-fakta, atau kejadian-kejadian
secara sistematis dan akurat mengenai sifat-sifat populasi atau daerah tertentu. Sedangkan
dengan menggunakan pendekatan kualitatif peneliti dapat menerangkan fenomena yang
sedang terjadi menurut perspektif peneliti sendiri. Adapun fokus penelitian ini adalah sebagai
berikut:

1.Implementas Asas Cabotage dalam kebijakan pelayaran di Indonesia.

2.Faktor pendukung dan faktor penghambat implementasi Asas Cabotage.

3.Dampak dari implementasi Asas Cabotage.

Lokasi penelitian dilaksanakan di DKI Jakarta dengan situs penelitian di Direktorat


Jendral Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan dan Indonesian National Ship Owners
Association. Alat analisis yang peneliti gunakan adalah anlisis kualitatif model Miles dan
Huberman. Sugiyono (2012, h.247) menyebutkan dalam analisis data model penelitian
kualitatif versi Miles dan Huberman terdiri dari empat alur kegiatan yang secara bersamaan,
yaitu pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, serta penarikan kesimpulan atau
verifikasi.

1. Implementasi Asas Cabotage dalam Kebijakan Pelayaran di Indonesia

a. Keberlangsungan Asas Cabotage

Pada awal pelaksanaanya asas ini banyak ditentang oleh pihak perusahaan
pelayaran dalam negeri sendiri. Dari hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti,
penentangan itu di- karenakan hampir dari seluruh perusahaan pelayaran dalam negeri telah
memiliki kontrak dengan pemilik kapal asing. Sehingga dengan munculnya asas ini membuat
perusahaan pelayaran dalam negeri melakukan renegosiasi kontrak.

Selain itu, perusahaan pelayaran dalam negeri lebih tertarik untuk menyewa
kapal asing dari pada harus memiliki kapal sendiri di- karenakan beban biaya investasi untuk
membeli sebuah kapal sangatlah besar. Untuk membeli kapal yang kualitasnya bagus,
perusahaan pelayaran dalam negeri harus menyediakan dana investasi puluhan miliyar. Hal
itu dinilai sangat memberatkan perusahaan pelayaran dalam negeri.

Kondisi lain yang membuat pelaksanaan Asas Cabotage dinilai berat saat itu
adalah masih sedikitnya jumlah kapal berbendera Indonesia yang dimiliki sehingga tidak
dapat memenuhi kebutuhan pelayaran dalam negeri. Kondisi kapal yang dimiliki saat itu pun
cenderung tidak baik karena hampir dari seluruh kapal berbendera Indonesia paa saat itu
merupakan kapal bekas dan sudah tua.

Seiring dengan pengawasan dari pihak Pemerintah yang semakin kuat dan prinsip
Asas Cabotage yang memaksa. Pertumbuhan industri pelayaran dalam negeri semakin
bergairah. Hal itu dibuktikan dengan semakin bertambahnya jumlah perusahaan pelayaran
dalam negeri dan jumlah kapal berbendera Indonesia yang dimiliki oleh perusahaan
pelayaran dalam negeri. Peningkatan tersebut dapat terwujud dikarenakan perusahaan
pelayaran dalam negeri pada saat ini harus memiliki surat izin dari Pemerintah untuk dapat
beroperasi. Didalam surat izin tersebut terdapat beberapa ketentuan yang harus dapat
dipenuhi oleh perusahaan pelayaran dalam negeri apabila perusahaannya ingin beroperasi,
salah satunya adalah dengan memiliki kapal sendiri.
Seiring dengan pertumbuhan jumlah kapal yang semakin meningkat, kapal-
kapal milik asing mulai tersisihkan dari perairan laut Indonesia. Kebergantungan
perusahaan pelayaran dalam negeri terhadap pihak asing mulai berkurang. Namun, belum
seluruhnya perusahaan pelayaran dalam negeri lepas dari campur tangan asing khususnya
pada perusahaan pelayaran yang bergerak pada bidang lepas pantai. Pada kegiatan lepas
pantai, perusahaan pelayaran dalam negeri masih menggunakan kapal asing untuk
melakukan kegiatan tersebut. hal itu dikarenakan harga kapal yang sangat mahal jika
dibandingkan dengan kapal jenis lain dan memerlukan teknologi yang sangat canggih.

Dengan masih adanya perusahaan pelayaran dalam negeri yang menggunakan kapal
asing membuat pelaksanaan Asas Cabotage menjadi terhambat. Keinginan pemerintah untuk
men- jadikan kapal Indonesia sebagai raja di- perairannya sendiri menjadi tertunda.
Sehingga, Pemerintah memperbolehkan perusahaan pelayaran dalam negeri untuk
menggunakan kapal asing untuk kegiatan lepas pantai hingga awal tahun 2016.

b. Perkembangan Jumlah Kapal

Selama sembilan tahun diterapkannya Asas Cabotage, pertumbuhan jumlah


angkutan kapal berbendera Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang
cukup signifikan. Dari data yang peneliti peroleh, hingga 31 Desember 2013 total kapal
berbendera Indonesia sebanyak 13.120 unit kapal, apabila di- bandingkan dengan bulan
Maret 2005 dimana jumlah kapalnya 6.041 unit, ini berarti terjadi peningkatan jumlah
kapal sebanyak 7.079 unit atau mencapai 117%. Penigkatan yang signifikan ini disebabkan
kemampuan perusahaan dalam daya beli kapal yang semakin membaik.

Namun pertumbuhan jumlah kapal tersebut tidak diikuti dengan pertumbuhan kapal
untuk kegiatan lepas pantai. Untuk jenis kapal yang berfungsi untuk kegiatan lepas pantai
masih sangat kurang. Dari data yang peneliti peroleh, hingga 2015 untuk kapal khusus
kegiatan lepas pantai membutuhkan 253 armada.Sehingga dengan masih kurangnya kapal
untuk kegiatan ini menjadikan Pemerintah harus menunda tujuannya untuk menjadikan
kapal-kapal Indonesia sebagai raja diperairannya sendiri.

c. Persaingan Perusahaan

Dari hasil wawancara yang peneliti lakukan, dengan semakin


berkembangnya industri pelayaran di Indonesia menjadikan semakin bertambahnya jumlah
perusahaan pelayaran di Indonesia. Sehingga, menjadikan daya persaingan perusahaan yang
semakin besar. Hal itu membuat persaingan antara sesama perusahaan pelayaran dalam
negeri pun akan semakin kompetitif.Persaingan yang paling dominan antara tiap-tiap
perusahaan pelayaran adalah persaingan untuk mendapatkan kontrak jangka panjang dari
pemilik barang.

Kontrak jangka panjang sangatlah penting bagi perusahaan pelayaran dalam negeri,
karena tanpa adanya kontrak tersebut, kapal-kapal mereka tidak dapat beroperasi. Kontrak
jangka panjang merupakan sebuah kepastian bagi perusahaan pelayaran dalam negeri agar
dapat mengangkut barang-barang/muatan pemilik barang untuk diangkut menggunakan
kapalnya.

2. FaktorPendukung dan Faktor Peng- hambat Implementasi Asas Cabotage


a. Faktor Pendukung

1) Asas Cabotage merupakan kebutuhan perusahaan nasional.Asas Cabotage


merupakan kebutuhan bagi perusahaan pelayaran dalam negeri untuk berkembang sehingga
perusahaan pelayaran dalam negeri tidak terus menerus ber- gantung kepada pihak asing.

2) Pembentukan tim pengawas untuk mengidentifikasi kapal Dalam


menjalankan sebuah kebijakan dibutuhkan tim pengawas agar kebijakan tersebut dapat
berjalan secara efektif dan efisien. Dengan adanya tim pengawas, kapal-kapal yang
beroperasi diperairan laut Indonesia menjadi semakin terkontrol dan terawasi.

3) Memfasilitasi proses penyediaan kapal Pemerintah memberikan dukungan


kepada perusahaan pelayaran dalam negeri pada proses pemberian izin serta
memberikan informasi untuk memperoleh kapal yang mereka butuhkan.

4) Mendapatkan pinjaman dari perbankan dan lembaga keuangan Dukungan


lainnya yaitu dari pihak perbankan dan lembaga keuangan lainnya. Dukungan dari
pihak perbankan sangat dibutuhkan untuk pendanaan pengadaan kapal yang membutuhkan
dana investasi yang sangat besar.

b. Faktor Penghambat

1) Perusahaan pelayaran dalam negeri belum mampu menyediakan kapal-kapal


jenis tertentu untuk menunjang kegiatan eksplorasi dan ekploitasi lepas pantai. Kendala
yang saat ini di hadapi adalah belum mampunya perusahaan pelayaran dalam negeri
menyediakan kapal-kapal yang berfungsi untuk mengeksplorasi dan eksploitasi lepas
pantai karena mahalnya biaya untuk penyediaan kapal-kapal yang berfungsi untuk
kegiatan tersebut. Selain itu, sumber daya teknologi yang dimiliki oleh Indonesia masih
sangatlah kurang.

2) Biaya investasi pengadaan kapal tersebut sangat besar. Untuk melakukan


pengadaan kapal dibutuhkan biaya yang sangat besar. Untuk membeli kapal dengan
kualitas yang baik harganya diperkirakan mencapai 20 Miliyar. Dengan besarnya biaya
investasi yang dibutuhkan, cukup sulit untuk perusahaan pelayaran dalam negeri untuk
melakukan pengadaan kapal bagi perusahaan pelayarannya sendiri.

3) Belum adanya kontrak jangka panjang antara pemilik barang dan pemilik
kapal. Kontrak jangka panjang sangat dibutuhkan oleh perusahaan pelayaran agar kapal-
kapal perusahaan pelayaran dalam negeri dapat beroperasi. Namun hingga saat ini dari
proses kerjasama tersebut belum terwujud dalam jangka waktu lama. Sehingga menimbulkan
masalah bagi perusahaan pelayaran dalam negeri yang telah memiliki kapal sendiri karena
dikhawatirkan akan mengalami kerugian jika tidak ada yang ingin menggunakan kapal
mereka.

4) Rendahnya kualitas dan kuantitas sumber daya manusia. Kualitas dan


kuantitas anak buah kapal Indonesia masih yang masih rendah menjadi penghambat
dalam implementasi Asas Cabotage. Dengan semakin meningkatnya jumlah kapal
berbendera Indonesia maka semakin dibutuhkan anak buah kapal Indonesia yang
berkualitas untuk mengoperasikan kapal-kapal tersebut.
3. Dampak dari Implementasi Asas Cabotage

a. Dampak Terhadap Negara/Pemerintah

1) Dampak Positif

a) Penerapan Asas Cabotage meng- uatkan kedaulatan Negara. Dengan


semakin tersisihnya kapal-kapal asing yang berlayar di perairan laut Indonesia maka
kedaulatan Negara akan semakin terjaga. Hal itu dikarenakan menguatnya posisi Pemerintah
dalam mengatur dan mengontrol kapal-kapal asing yang masuk ke perairan laut Indonesia.

b) Terserapnya ABK domestic Dengan diharuskannya kapal berbendera Indonesia


diawaki oleh awak ber- kebangsaan Indonesia dan semakin banyaknya armada kapal yang
dimiliki maka tenaga kerja Indonesia semakin terserap di sektor pelayaran Indonesia.

c) Terciptanya keamanan nasional karena keberadaan kapal nasional Kapal-


kapal berbendera Indonesia yang beroperasi, dapat ikut berpartisipasi dalam menjaga
keamanan perairannya dari kapal-kapal asing yang melanggar batas perairan laut Indonesia.

2) Dampak Negatif

a) Belum tersedianya kapal bendera nasional untuk kegiatan eksplorasi dan


eksploitasi lepas pantai.Belum terpenuhinya jenis kapal untukkegiatan lepas pantai
mengharuskan Pemerintah memperpanjang jangka waktu penggunaan kapal-kapal asing
hingga awal tahun 2016. Dengan di- perpanjangnya izin tersebut meng-akibatkan
pelaksanaan Asas Cabotage sedikit terhambat karena masih adanya kapal-kapal asing yang
melakukan kegiatannya di perairan laut Indonesia.

b) Masih rendahnya kemauan taat Asas Cabotage. Tidak sedikitdari perusahaan


pelayaran dalam negeri yang masih menentang penerpan Asas Cabotage dikarenakan banyak
dari perusahaan dalam negeri yang merasa dengan lahirnya Asas Cabotage malah semakin
mempersulit perusahaannya.

b. Dampak Terhadap Perusahaan Pelaya- ran

1) Dampak Positif

a) Besarnya pangsa pasar muatan domestik yang hanya diangkut oleh kapal
nasional. Kapal-kapal berbendera Indonesia tidak perlu lagi bersaing dengan kapal-kapal
asing dalam melakukan bongkar muat di pelabuhan nasional. Sehingga seluruh muatan
domestik hanya diangkut oleh kapal berbendera Indonesia.

b) Tingginya pertumbuhan per- ekonomian nasional dan per-


tumbuhan muatan domestik Pertumbuhan perekonomian serta per- tumbuhan muatan
domestik dirasakan langsung oleh perusahaan pelayaran dalam negeri karena dengan
banyaknya muatan domestik yang diangkut maka akan semakin besar pemasukan yang
didapat perusahaan tersebut.

c) Murahnya biaya ABK domestik


Upah anak buah kapal domestik di Indonesia masih tergolong rendah jika
dibandingkan dengan upah anak buah kapal asing. Hal itu dikarenakan masih rendahnya
kualitas anak buah kapal domestik jika harus dibandingkan dengan kualitas anak buah
kapal asing.

2) Dampak Negatif

a) Kurangnya ketersediaan kapal bendera nasional Kebutuhan terhadap


armada kapal sangatlah tinggi, karena masih banyak terdapat tumpukkan peti kemas di
pelabuhan. Selain itu, kurangnya armada kapal dikarenakan jauhnya rute pelayaran yang
ditempuh mengharuskan kapal berlayar berhari hari sedangkan permintaan terhadap jasa
angkut kapal sangatlah banyak setiap harinya.

b) Terbatasnya ketersediaan dana bank dan non bank Ketersediaan dana dari
pihak ketiga yaitu bank dan non bank sangatlah terbatas. Biaya yang diperlukan untuk
melakukan pengadaan kapal sangatlah besar sehingga terkadang pihak ketiga tidak dapat
menyanggupinya bahkan harus menunggu dalam waktu yang lama agar dana yang
dibutuhkan oleh perusahaan pelayaran tersedia.

c) Dampak Terhadap Indonesian National

Ship Owners Association

1) Dampak Positif

a) Jumlah anggota INSA bertambah Dengan adanya asas ini semakin


mendorong tumbuhnya perusahaan pelayaran dalam negeri. Semakin banyaknya
perusahaan yang bergabung dengan INSA, sebagai asosiasi INSA mendapat pemasukan
operasional yang dibayarkan oleh perusahaan-perusahaan pelayaran tersbut yang
dananya digunakan pula untuk kemajuan asosiasi dan industri pelayaran nasional.

b) Perusahaan pelayaran dalam negeri mudah diawasi Dengan bergabungnya


perusahaan pelayaran dalam satu asosiasi maka pengawasan yang dilakukan oleh INSA akan
semakin mudah untuk me- laksanakan INPRES Nomor 5 tahun 2005.

2) Dampak Negatif

a) INSA belum diikut sertakan dalam proses perumusan kebijakan pelayaran

INSA tidak pernah diikut sertakan dalam proses kebijakan. Padahal INSA
bersama anggotanya merupakan pihak yang paling terkena dampak kebijakan tersebut.

b) Belum adanya kesepahaman antara INSA dan Pemerintah ketidaksepahaman


disebabkan karena sebagai sebuah asosiasi, INSA lebih mementingkan anggotanya. Jika
INSA merasa anggotanya belum mampu dalam menjalankan kebijakan dari
Pemerintah, INSA akan menolak kebijakan tersebut. Hal itulah yang men- dasari
timbulnya ketidak sepemahaman antara INSA dan Pemerintah.

Pelayaran adalah kegiatan pengangkutan melalui laut dari suatu pelabuhan ke


pelabuhan lainnya (Ragnarsson, 2013), yang jaraknya dapat lebih dari 3.000 KM.
Pelayaran memainkan peran utama dalam perdagangan dunia, bahkan itu adalah salah
satu industri yang paling mendunia dan memiliki dampak pada pemenuhan kebutuhan
masyarakat setiap hari, karena industri pelayaran menghubungkan dunia industri dan
konsumen (Lorange and Fjeldstad, 2012). Secara historis, perdagangan dunia melalui
laut umumnya berhubungan erat dengan pertumbuhan ekonomi global (Gordon, 2013).
Industri pelayaran adalah sebagai darah- kehidupan ekonomi global, lebih dari 80 % dari
barang di dunia diangkut dengan kapal (Mason and Nair, 2013), dan di Amerika lebih dari 90
% perdagangan terbesar nasionalnya diekspor melalui angkutan laut (Agarwal and Ergun,
2008; Ragnarsson, 2013). Fenomena tersebut mengindikasikan betapa pentingnya industri
pelayaran dalam perdagangan di dunia.

Sebagai negeri kepulauan, subsektor transportasi laut di Indonesia mempunyai


peran penting dan strategis dalam mobilisasi orang maupun barang (logistik), yang
merupakan unsur penggerak perekonomian nasional. Pada tahun 2015, nilai Produk
Domestik Bruto (PDB) subsektor transportasi laut diproyeksikan sebesar 129,963.0
milyar rupiah atau 17, 24 % dari total PDB (Lembaga Manajemen FEUI, 2014). Posisi
geografis Indonesia juga sangat strategis ditinjau dari sudut pandang perdagangan
internasional.

Sistem pengangkutan laut yang efisien dan terkelola dengan baik merupakan
faktor sangat penting dalam persaingan ekonomi serta integritas nasional. Biaya
pengangkutan laut cukup tinggi dan hal ini mengurangi insentif untuk perdagangan baik
domestik maupun internasional. Pelabuhan-pelabuhan di Indonesia, yang dianggap kurang
efisien dan tidak diperlengkapi/dikelola dengan baik, adalah faktor signifikan yang
menaikkan biaya pelayaran. Kapal-kapal yang dilibatkan dalam perdagangan domestik
menghabiskan sebagian besar dari waktu kerjanya hanya untuk disandarkan atau menunggu
di dalam atau di luar pelabuhan, sementara dwelling time barang sampai kini juga masih
tinggi, 8 hari lebih (Jurnal Maritim, 2014). Penyebabnya antara lain adalah terus
berlangsungnya dominasi negara atas penyediaan layanan pelabuhan (melalui-kegiatan yang
dilakukan oleh berbagai badan usaha milik negara), serta lingkungan hukum dan pengaturan
yang ada yang secara efektif membatasi persaingan baik di dalam maupun antar pelabuhan
(Ray, 2008).

Permasalahan negeri bahari yang sudah tua, Indonesia seharusnya mempunyai


kinerja yang unggul dalam industri pelayaran, namun realita masih jauh dari yang semestinya
dapat dicapai berdasarkan potensi-potensi yang dimiliki. Salah satu kinerja industri
pelayaran dapat dilihat dari kinerja pelabuhannya, karena pelabuhan merupakan bagian
dominan dalam pelayanan jasa terhadap kapal dan kinerja pelabuhan merupakan bagian dari
indeks logistik nasional.

Pada tahun 2014, Bank Dunia melaporkan bahwa dari 160 negara yang diukur,
logistics performance index Indonesia hanya menempati posisi ke posisi 53, masih jauh jika
dibanding dengan posisi beberapa negara tetangga, misalnya Singapura di peringkat 5,
Malaysia peringkat 25, dan Thailand peringkat 35, serta Vietnam di peringkat 48 (The World
Bank,2014). Logistik nasional merupakan rantai distribusi barang, meliputi kegiatan di
pelabuhan dan di luar pelabuhan sebagai daerah penyangga. Demikian juga, dilihat dari
muatan petikemas yang ditangani, dari 20 negara top performance, Indonesia belum
pernah masuk. Negara tetangga yang masuk adalah Singapura dengan ranking 2, dan Port
Klang Malaysia dengan ranking 12 (Institutute of Shipping Economics and Logistics, 2012).
Mengapa sebagai negeri maritim namun tak pernah unggul dalam industri pelayaran
? Ini pertanyaan mendasar yang tidak mudah dijawab dan siapa yang harus
menjawabnya.Tata-kelola angkutan laut yang crowdit ditengarai menjadi salah satu
penyebab ekonomi biaya tinggi. (09.pdf, diunduh 1 Juli 2013). Beberapa dasawarsa terakhir,
angkutan laut berkembang cukup pesat namun belum terencana dengan baik sehingga
menjadi kurang optimal, terjadi biaya tinggi dan mengganggu kelancaran arus barang.
Angkutan garam misalnya, biaya dari Madura ke Jakarta lebih mahal daripada dari Australia
ke Jakarta, itulah mengapa Indonesia masih impor garam (Jurnal Maritim, 2014).

Dari perspektif pemasaran, nilai angkutan laut Indonesia bagi penggunanya belum
seperti yang diharapkan, mengingat nilai merupakan keseimbangan antara produk / jasa yang
ditawarkan dengan kualitas, reliabilitas, ketepatan waktu penghantaran, responsivitas, serta
harga yang dibayarkan (Mariotti, 1997). Selanjutnya Mariotti mengindikasikan, bahwa pada
era tahun 1960-an sampai 1970-an merupakan era efisiensi dan output, dan pada era 1980-an
dan 1990-an merupakan era kualitas dan pelayanan. Namun ternyata sampai era 2000-an
sekarang ini Indonesia belum dapat meraih nilai-nilai tersebut. Ini mengindikasikan
lemahnya orientasi pemasaran industri pelayaran Indonesia.

Tujuan penulisan paper ini adalah untuk memberikan masukan pada industri
pelayaran nasional yang tidak pernah mempunyai keunggulan sebagai negeri maritim
dengan strategi pemasaran yang sustainable competitive advantage / keunggulan bersaing
berkelanjutan.Pendekatan atau analisis paper ini menggunakan literature review terutama
konsep strategi pemasaran pemikiran Kotler et al (2008), dengan meta analisis terhadap
literatur lain yang sudah mapan.

4.8 Strategi Peningkatan Kinerja Pelabuhan di Indonesia


Ada beberapa cara yang dapat dijadikan sebagai alternatif untuk menyelesaikan
permasalahan ini. Namun sebelumnya kita harus menentukan terlebih dahulu prioritas
pengembangan peabuhan yang ada sekarang ini. Dari semua masalah yang telah disebutkan
diatas, masalah yang paling penting untuk diselesaikan terlebih dahulu adalah perbaikan
fasilitas yang ada pada pelabuhan. Langkah pertama ialah merevitalisasi pelabuhan
pelabuhan utama di Indonesia. Sedikitnya, pemerintah harus serius mengembangkan 10
pelabuhan utama seperti Belawan, Tanjung Priok, Tanjung Mas, Tanjung Perak, Bitung,
Pontianak, Pangkalan Bun, Panjang, dan beberapa pelabuhan yang memiliki posisi strategis.
Dengan kedalaman kolam hanya sekitar 13,5 meter, Pelabuhan Tanjung Priok hanya mampu
disandari kapal-kapal kecil-menengah. Kapal-kapal itu umumnya merupakan kapal feeder
dari pelabuhan di Singapura, Malaysia, dan Hong Kong. Selama ini, 80-90% kegiatan
ekspor-impor Indonesia harus melalui pelabuhan di negara lain.

Tentu hal ini perlu didukung dengan modal yang besar. Untuk mengembangkan
pelabuhan Tanjung Priok, sebagai pengelola, PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II mengaku
membutuhkan investasi sekitar Rp 22 triliun. Dana sebesar itu dibutuhkan untuk
memperlebar terminal yang akan dilakukan dalam tiga tahap. Namun nilai investasi itu
terbilang kecil dibanding manfaat yang bakal diperoleh ke depan. Angka ini jauh lebih kecil
ketimbang defisit neraca pembayaran Indonesia dari sektor pelayaran yang mencapai US$ 13
miliar per tahun.

Dalam hal perbaikan fasilitas pelabuhan, dal hal ini kolam pelabuhan, para
pengusaha pelayaran mengusulkan kepada pemerintah agar memperdalam kolam pelabuhan
di Indonesia hingga 16 meter. Dengan demikian, pelabuhan ini mampu menampung kapal-
kapal bermuatan 6.000 TEUs. Dengan adanya perbaikan kolam pelabuhan tersebut, para
pengusaha yakin jika pengelola pelabuhan dapat meningkatkan produktivitas bongkar muat
menjadi 20-25 boks container per jam per crane.

Jika perbaikan (kolam pelabuhan) dapat dilaksankan merata setidaknya pada 10


pelabuhan utama di Indonesia, dapat dipastikan produktivitas pelabuhan Indonesia juga akan
meningkat. Indonesia memang identik dengan birokrasinya yang berbelit belit, yang
membuka peluang untuk praktek praktek yang tidak etis seperti korupsi. Hal hal ini
sungguh telah mengurangi nilai tambah bagi pelabuhan pelabuhan di Indonesia. Dengan
adanya hal ini, para pengusaha (terutama investor asing) lebih memilih untuk menjadikan
pelabuhan di Indonesia sebagai tempat untuk kapal kapal feeder mereka. Mereka lebih
memilih untuk menempatkan kapal utamanya di pelabuhan pelabuhan di negara negara
seperti Singapura dan Malysia karena kepengurusan administrasi disana jauh lebih efisien
dan efektif. Sudah saatnya Indonesia memanfaatkan potensi ekonomi yang seharusnya
menjadi miliknya tersebut.

Langkah yang perlu diambil untuk menyelesaikan permasalahan ini adalah dengan
merubah sistem administrasi pada pelabuhan di Indonesia. Pelabuhan pelabuhan di
Indonesia memiliki kinerja yang lambat dari segi administrasi karena terlalu banyak berkas
berkas dan juga birokrat yang harus dilewati sebelum sistem dijalankan.

Permasalahan ini dapat diatasi dengan melengkapi pelabuhan pelabuhan di


Indonesia dengan sistem informasi yang memadai. Kemudian perlu dilakukan evaluasi
terhadap proporsionalitas dari managamen di pelabuhan. Jika kita ingin mempercepat
jalannya suatu sistem, salah satu caranya ialah menyederhanakan proses dari sitem tersebut
tanpa mengesampingkan esensinya. Oleh karena itu praktek praktek birokratif harus segera
dihilangkan guna meningkatkan kinerja pelabuhan dari segi pengelolaan waktu. Tetapi hal
yang paling penting untuk diperhatikan adalah pengembangan sumber daya manusia di
pelabuhan pelabuhan di Indonesia. Hal ini penting karena, jangan sampai perampingan
angkatan kerja pada pelabuhan justru menurunkan tingkat produktivitas dari pelabuhan itu
sendiri. Maka dari itu diperlukan tenaga tenaga kerja yang terampil, dalam jumlah yang
pas, untuk melaksanakan fungsi dan tugas dari pengelolaan pelabuhan. Tentu saja
pengembangan keterampilan dalam hal penggunaan teknologi berbasis informasi dan juga
yang sifatnya teknikal merupakan prioritas. Karena hal inilah yang mampu mendorong
produktivitas.

Namun masalah pelabuhan di Indonesia adalah suatu hal yang kompleks.


Diperlukan kesungguhan dari tiap tiap stakeholders yang ada untuk memperbaiki kinerja
pelabuhan. Selain itu diperlukan pengukuran yang presisi terhadap tiap strategi yang di
terapkan. Agar modal yang besar yang digunakan untuk membangun pelabuhan dapat
dipertanggungjawabkan nantinya.

Permerintah tentu saja memegang peran penting untuk hal ini. Pemerintah harus
berperan sebagai penyelia yang secara berkala memantau penerapan dari semua strategi yang
telah disepakati dan diterapkan. Karena pada umumnya meskipun telah dirumuskan dengan
sangat baik, tiap strategi yang ada menjadi kacau saat diimplementasikan. Hal ini tentu saja
karena kurangnya koordinasi. Diharapkan pemerintah dapat menjalankan peran ini dengan
baik, bukan malah semakin memperburuknya.Upaya mengembangkan pelabuhan-
pelabuhan strategis di Indonesia masih terhambat dengan belum memadainya
peningkatan infrastruktur pendukung di daerah. "Seperti di Sampit ini kendalanya di
antaranya tidak mencukupinya pasokan listrik. Jalan menuju pelabuhan juga rusak.
Bagaimana peti kemas dan truk CPO (crude palm oil) itu bisa melintas dengan
nyaman. Ini kewajiban pemerintah daerah. Kalau ini bisa menunjang maka kemajuan
kepelabuhanan makin cepat. Pendangkalan alur Sungai Mentaya juga sangat
mengganggu karena kapal harus menunggu air pasang," kata Direktur Sumber Daya
Manusia dan Umum PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo III), Toto Heliyanto di Sampit,
Kalimantan Tengah, Jumat malam (10/6/2016).

Sesuai program tol laut yang dijalankan Presiden Joko Widodo, ada 24
pelabuhan strategis yang akan dikembangkan. Lima pelabuhan di antaranya di bawah
pengelolaan PT Pelindo III, yakni Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, Tanjung Mas
Semarang, Trisakti Banjarmasin, Bagendang Sampit dan Kupang. Pelabuhan
Atapupu akan Dirancang Jadi Pelabuhan Transit Ekspor . Di Kabupaten
Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah terdapat dua terminal atau pelabuhan yakni
Pelabuhan Bagendang untuk bongkar muat barang dan Pelabuhan Sampit yang
diprioritaskan untuk penumpang. Saat ini sebagian jalan menuju Pelabuhan
Bagendang masih rusak sehingga cukup mengganggu kelancaran angkutan menuju
dan keluar dari pelabuhan ini. Padahal kelancaran angkutan darat juga berpengaruh
terhadap aktivitas bongkar muat di pelabuhan. Alur Sungai Mentaya yang dangkal di
beberapa titik juga menjadi kendala pengembangan kepelabuhanan. Saat ini kapal-
kapal besar hanya bisa masuk saat sungai sedang pasang, sehingga berdampak pada
efisiensi waktu dan biaya. Rencana pengerukan alur yang seharusnya dilakukan
tahun ini ternyata dibatalkan dengan alasan penghematan anggaran. "Idealnya di
Sungai Mentaya ini seperti di Sungai Barito (Kalimantan Selatan), ada tolnya
sehingga bisa 24 jam. Kalau dermaga dan fasilitas sea way (lapangan penumpukan
peti kemas) ditambah tapi alur masih dangkal dan harus mengandalkan pasang surut,
ya tetap ada kendala untuk pengembangan, padahal ini sangat potensial," kata Toto.

Toto menilai pelabuhan di Sampit maju dengan pesat dan memiliki prospek
yang bagus. Dia membandingkan kondisi dua tahun lalu saat dia berkunjung ke
Sampit dengan kondisi sekarang, jauh berbeda. Perkembangan di sekitar pelabuhan
sangat cepat, menandakan ekonomi tumbuh dan membawa dampak positif bagi
masyarakat dan daerah.Secara internal, Toto meminta seluruh jajarannya, khususnya
di PT Pelindo III Cabang Sampit untuk terus meningkatkan kinerja. Terobosan-
terobosan harua terus dilakukan untuk pelayanan kepelabuhanan dan pengembangan
perusahaan. "Kinerja jangan berkurang karena puasa. Kita harus tetap bersemangat
memberikan pelayanan. Upayakan biaya kepelabuhan murah. Jangan cuma duduk
meski kapal pasti datang. Kita harus berusaha. Marketing harus jalan. Komunikasi
pimpinan cabang dengan pusat harus jalan. Hubungan pimpinan cabang dengan
bupati, KSOP dan lainnya juga harus ditingkatkan," ujar Toto. Pelindo III mengelola
43 pelabuhan yang tersebar di tujuh provinsi yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah,
Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa
Tenggara Timur. Di Kalimantan Tengah, fokus pengelolaan dilakukan pada
pelabuhan di Sampit Kabupaten Kotawaringin Timur dan Pelabuhan Panglima Utar,
Kumai Kabupaten Kotawaringim Barat.

Dia yakin pelabuhan di Sampit akan mampu berkembang. Apalagi Presiden


Joko Widodo sudah menunjukkan keseriusan dalam mendukung peningkatan
kepelabuhanan.
Demi menyukseskan Tol Laut, sepanjang 2015 pemerintah telah membangun 27
pelabuhan baru diseluruh wilayah Indonesia. Selain itu, Indonesia juga sedang
membangun 68 pelabuhan lagi, yang tersebar di Maluku, Papua, NTT dan Sulawesi.
Presiden Joko Widodo juga menyatakan bahwa Indonesia sedang menambah 200
kapal patroli, penumpang, ternak, navigasi dan barang.

Sekedar informasi, program pembangunan tol laut bertujuan untuk


menghubungkan transportasi laut yang efektif secara rutin dari barat Indonesia
sampai timur wilayah Indonesia melibatkan 24 pelabuhan. Ke 24 pelabuhan tersebut
meliputi lima pelabuhan sebagai hub (pengumpul) yaitu Pelabuhan Belawan/Kuala
Tanjung, Pelabuhan Tanjung Priok/Kalibaru, Pelabuhan Tanjung Perak,Pelabuhan
Makassar, dan Pelabuhan Bitung. Sedangkan 19 pelabuhan sebagai feeder
(pengumpan) bagi pelabuhan hub.
Ke 19 pelabuhan feeder tersebut adalah Pelabuhan Malahayati, Batam, Jambi
(Talang Duku), Palembang, Panjang, Teluk Bayur, Tanjung Emas, Pontianak,
Banjarmasin, Sampit, Balikpapan/Kanangau, Samarinda/Palaran, Tanau/Kupang,
Pantoloan, Ternate, Kendari, Sorong, Ambon dan Jayapura Sebagai negara kepulauan,
peranan pelabuhan sangat vital dalam perekonomian Indonesia.
Kehadiran pelabuhan yang memadai berperan besar dalam menunjang mobilitas barang dan
manusia di negeri ini. Pelabuhan menjadi sarana paling penting untuk menghubungkan antar
pulau maupun antar negara.

Perkembangan ekonomi dunia yang semakin cepat dan akan diterapkannya skema
kerja sama ASEAN pada 2015, menuntut peran pelabuhan yang semakin besar. Bukan saja
dibutuhkan lahan pelabuhan yang luas, dermaga yang panjang dan alur yang cukup dalam,
namun tantangan kedepan bagaimana mengefektifkan dan mengefisienkan pelabuhan
Indonesia sehingga memiliki daya saing.

Dua pertiga wilayah Indonesia adalah lautan. Ribuan pulau berjajar dari Sabang
sampai Merauke. Keuntungan yang lain, yaitu letak geografis Indonesia yang berada di
persilangan rute perdagangan dunia. Potensi ini apabila dioptimalkan, akan menjadi sumber
devisa negara yang sangat besar.

Dengan posisi Indonesia yang dekat dengan persilangan rute perdagangan dunia,
dilalui jalur pelayaran international timur-barat dan utara-selatan serta menganut konsep
negara kepulauan, Indonesia harus mampu memainkan peranan penting dalam mendorong
pertumbuhan ekonomi nasional dan regional.

Kapal-kapal yang datang dari Samudera Hindia dengan tujuan Asia Timur Jauh
akan melintasi wilayah perairan Indonesia melalui Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok,
dan Selat Timor. Sebagian besar kapal akan melalui Selat Sunda dan Malaka karena jaraknya
yang paling dekat. Kondisi ini jelas sangat menguntungkan bagi Indonesia, jika memiliki
pelabuhan yang baik. Namun, pada kenyataannya pelabuhan Indonesia masih jauh tertinggal.

Data World Economic Forum dalam laporan The Global Competitiveness Report
2011-2012 menyebutkan, kualitas infrastruktur pelabuhan Indonesia buruk. Berada di
peringkat ke-103. Dibanding negara anggota ASEAN lainnya, Indonesia jauh tertinggal.
Malaysia saja menempati urutan ke-15, Singapura peringkat pertama, dan Thailand ke-47.
Rendahnya rating pelabuhan Indonesia tidak terlepas akibat pelayanan bongkar muat barang
yang tidak efektif dan efisien. Padahal, pelabuhan sebagai image perekonomian negara di
mata dunia internasional.

Indonesia juga kalah dalam produktivitas bongkar muat, kondisi kongesti yang
parah, dan pengurusan dokumen kepabeanan yang lama. Global
Competitiveness Report 2010-2011 menyebutkan, kualitas pelabuhan di Indonesia hanya
bernilai 3,6, jauh di bawah Singapura yang nilainya 6,8 dan Malaysia 5,6. Para pengusaha
pun sudah lama mengeluhkan buruknya fasilitas kepelabuhanan di Indonesia. Untuk
bersandar dan bongkar muat, sebuah kapal harus antre berhari-hari menunggu giliran.
Seringkali, waktu tunggu untuk berlabuh jauh lebih lama ketimbang waktu untuk berlayar.
Melihat buruknya kondisi pelabuhan itu, tak heran bila investor enggan berinvestasi di
bidang perkapalan. Akibatnya, distribusi barang antar pulau pun tersendat. Dampak
lanjutannya, harga barang melonjak dan pembangunan ekonomi tersendat.

Untuk saat ini pelabuhan utama dari barang hasil ekspor bertumpu hanya pada
Tanjung Priok saja. Namun, kualitas pelabuhan Tanjung Priok jika dibandingkan
dengan Port of Singapore Authority, masih berada cukup jauh di bawah. Kekurangan ini
ditunjukkan dari mahalnya biaya yang dikenakan kepada instansi atau individu yang
menggunakan sarana. Di samping itu, tingkat pelayanan, lingkungan, serta kapasitas yang
disediakan juga menunjukkan bahwa kualitas Tanjung Priok masih berada jauh di bawah
Pelabuhan Singapura. Di samping itu, tingkat pelayanan, lingkungan, serta kapasitas yang
disediakan juga menunjukkan bahwa kualitas Tanjung Priok masih berada jauh di bawah
Pelabuhan Singapura. Pelabuhan peti kemas JICT Tanjung Priok dikenal paling mahal dan
tidak efisien dibandingkan negara-negara tetangga.

Pelabuhan Tanjung Priok rata-rata hanya mampu mengangkat 40 peti kemas per jam
dengan biaya US$ 137. Sebaliknya Port Of Singapore Authority yang rata-rata mampu
mengangkat lebih banyak yaitu sekitar 80 peti kemas dengan biaya yang dikenakan lebih
murah yaitu sekitar US$ 120. Untuk itu, menurut Kepala Asosiasi Pengusaha Indonesia
(Apindo), Sofyan Wanandi, paling sedikit Indonesia harus membangun tujuh pelabuhan baru
dengan standar internasional. Hal itu bertujuan untuk mengurai arus lalu lintas barang yang
masuk ke Indonesia.

Di area pelabuhan akan mendorong terbentuknya unit-unit usaha maupun dalam


bentuk industri, yang nantinya akan memberikan dampak positif kepada masyarakat sekitar.
Dengan adanya fasilitas yang memadai dan beroperasinya industri, maka akan ada
penyerapan tenaga kerja didalamnya. Namun agar pengembangan Pelabuhan tidak
menganggu kondisi perairan sekitar, maka wajib dilengkapi dengan AMDAL.

Mengubah sistem kepelabuhanan Indonesia menjadi jaringan yang modern dan


efisien merupakan tantangan yang luar biasa kompleks. Pemerintah Indonesia tidak bisa
memusatkan perhatian hanya pada perbaikan di satu bidang tertentu saja, karena
memberdayakan kembali kepelabuhanan merupakan rencana multidimensi yang menuntut
penanganan sejumlah masalah kebijakan yang fundamental dan saling terkait.

Indonesia merupakan negara kepulauan yang terluas di dunia. Luas wilayah daratan
1,9 juta kilometer persegi sementara luas daerah maritimnya (termasuk Zona Ekonomi
Eksklusif) adalah 7,9 juta kilometer persegi (Library of Congress; 2004). Wilayah
maritimnya terdiri dari kurang lebih 17.000 pulau dan garis pantai yang membentang sejauh
81.000 kilometer. Dengan kondisi geografi seperti itu maka luas wilayah maritime Indonesia
adalah 80% dari total wilayah yang dimiliki .Sehingga tidak heran Indonesia mendapat
julukan sebagai negara maritim. Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki sejarah yang
panjang terkait interaksi masyarakatnya dengan laut. Kondisi geografisnya yang terdiri dari
ribuan pulau menjadikan laut sebagai wilayah yang tidak terpisahkan dari kehidupan mereka.
Untuk menghubungkan antar wilayah yang dipisahkan oleh laut tersebut maka mereka biasa
menggunakan kapal bercadik. Mereka menggunakannya untuk berdagang atau mengurus
kebutuhan lainnya.

Indonesia dianugrahi wilayah laut yang stategis. Hampir semua pelayaran dunia dari
Cina yang menuju Eropa maupun sebaliknya melewati perairan Indonesia. Hal tersebut telah
berlangsung bahkan semenjak 4000 tahun sebelum masehi (Library of Congress; hal 2). Dan
selanjutnya berdiri kerajaan-kerajaan maritim yang kuat dengan memanfaatkan wilayah
strategis yang dimilikinya di sekitar wilayah Indonesia.

Diantara kerajaan maritim kuat yang muncul di Indonesia adalah Kerajaan


Sriwijiaya. Mereka mampu memanfaatkan posisi startegisnya yang terletak di jalur pelayaran
Selat Malaka untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyatnya. Menurut Wardaya (2009: 13)
wilayah Kerajaan Sriwijaya mencakup tepian sungai Musi, Selat Malaka, Selat Sunda, Selat
Bangka, Jambi dan Semenanjung Malaka. Hal Tersebut ditunjang oleh keberhasilan mereka
menciptakan angkatan laut yang kuat untuk melindungi armada dagang serta untuk memaksa
kapal-kapal dagang yang lain untuk bersandar di pelabuhan-pelabuhan Kerajaan Sriwijaya
yang kemudian menghasilkan pemasukan bagi Kerajaan tersebut. Selain itu mereka juga
dapat menguasai ilmu pelayaran serta transportasi laut yang canggih pada masa tersebut.

Namun keadaan sekarang telah berbalik. Keadaan transportasi laut nasional semakin
terpuruk. Menurut Wirabrata (2013; 13), beban biaya logistik terhadap PDB (Produk
Domestik Bruto) mencapai 27%. Sebagai perbandingan, di Korea 16,3% dan di Amerika
Serikat sebesar 9,9%. Dalam kasus lain, perbandingan biaya logistic dilihat dari jarak
tempuhnya, terdapat perbedaan yang cukup signifikan. Biaya pengiriman barang dari
Cikarang menuju Tajung Priok dengan jarak 55,5 kilometer sebesar US$750. Sementara di
Malaysia, jarak dari Pasir Gudang ke tanjung Lepas dengan jarak hamper sama, sekitar 56, 4
kilometer memakan biaya logistic sebesar US$450.

Contoh diatas merupakan sekelumit masalah yang dihadapi Indonesia dalam mewujudkan
visi Indonesia Incorporated. Untuk itu makalah ini dibuat untuk mencoba meng-ekstraksi
masalah masalah yang dihadapi Indonesia dalam mengembangkan transportasi lautnya serta
berusaha untuk memberikan pendapat yang membangun serta berdampak positif bagi
pengembangan transportasi laut Indonesia.

4.9 Pembahasan
1.Definisi revitalisasi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI edisi III) memberikan pengertian bahwa
revitalisasi (revitalisasi)adalah proses, cara, perbuatan menghidupkan atau menggiatkan
kembali.

2.Definisi Indonesia incorporated


Frasa Indonesia incorporated merupakan istilah ayang akhir-akhir ini sering didengungkan.
Incorporated sendiri adalah sebuah konsep tentang nasionalisme: tentang persatuan dan
kesatuan dari seluruh watga suatu bangsa, baik individual citizens, baik yang bergerak di
sector public, bisnis, maupun nirlaba (Energia; 2013).
Butuh tiga syarat mutlak agar Indonesia incorporated bisa terlaksana dengan baik. pertama,
butuh optimism sebagai prasyarat dasar. Kedua, prinsip kesetaraan dan berkeadilan menjadi
pilar kedua prasyarat Indonesia incorporated. Artinya semangat Indonesia incorporated
membutuhkan asas keterbuakaan, akuntabilitas, aksesabilitas dan, ekuitas. Ketiga, semangat
Indonesia incorporated membutuhkan kesadaran bersama bukan kesadaran protokoler saja
(Firmanzah; 2013).

3.Permasalahan dalam pengelolaan transportasi laut nasional


Indonesia merupakan negara kepulauan yang luas. Terdiri dari 17.000 pulau yang
membentang dari Sabang sampai Merauke atau sepanjang jarak antara London menuju
Siberia. Untuk menghubungkan pulau-pulau tersebut tentunya dibutuhkan sarana transportasi
laut yang handal untuk melayani berbagai aktivitas masyarakat di seluruh pulau di Indonesia.

Namun, berdasarkan data yang diungkapkan oleh Sekertariat DPR RI (Wirabrata;


2013) mengatakan bahwa masih terdapat banyak kekurangan di dalam sector transportasi
laut di Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat dari fakta bahwa masih rendahnya dukungan
infrastruktur. Infrastruktur di Indonesia masih belum memadai, baik dari segi kualitas
maupun kuantitas, diantaranya masih belum tersedianya hub port, serta kurangnya kualitas
serta kuantitas sumber daya manusia dalam sector ini.

Selain itu, banyak pelabuhan di Indonesia juga belum mendukung tercapainya


kondisi transportasi laut yang ideal. Pelabuhan memiliki andil besar dalam mendukung
kelancaran transportasi laut. Pelabuhan digunakan sebagai tempat bersandar sekaligus
bongkar-muat muatan kapal.

Di Indonesia terdapat beberapa permasalahan pada bidang pelabuhan yang belum


diselesaikan dengan baik. Terminal pelabuhan utama di Indonesia, The Jakarta International
Container Terminal, telah diketahui sebagai salahsatu terminal utama yang paling tidak
efisien di Asia Tenggara, dalam hal produktivitas dan biaya unit. Namun demikian JICT
masih merupakan salah satu pelabuhan Indonesia yang berkinerja baik. Indikator kinerja
untuk semua pelabuhan komersial utama menunjukkan keseluruhan system pelabuhan sangat
tidak efisien dan sangat memerlukan peningkatan mutu. Data mengenai tikat okupansi
tambatan kapal, rata-rata waktu perjalanan pulang (turn around) dan waktu kerja sebagai
presentase waktu turn around berada di bawah standar internasional dan mengindikasikan
bahwa kapal-kapal terlalu banyak menghabiskan waktu di tempat tambatan kapal atau untuk
mengantri di luar pelabuhan (Ray; 2008).

Sebagai contoh adalah pada tahun 2002, waktu yang dibutuhkan untuk
memmindahkan peti kemas di Pelabuhan Jakarta adalah sekitar 30-40 peti kemas/jam.
Peningkatan dalam hal teknis dan operasional menunjukkan peningkatan produktivitas, pada
pertengahan tahun 2007 pemindahan peti kemas per jam mencapai sekitar 60 peti kemas.
Akan tetapi, meningkatnya lalu lintas peti kemas dan kemacetan di pelabuhan disertai
permasalahan yang berkaitan dengan ketenagakerjaan serta keterlambatan kepabeanan
menyebabkan turunnya produktivitas menjadi sekitar 40-45 peti kemas/jam di paruh pertama
tahun 2008.

Selain permasalahan di atas, terdapat faktor-faktor geografis seperti kurangnya


pilihan pelabuhan air dalam dan banyaknya pelabuhan pedalaman yang berlokasi di sungai-
sungai dan memerlukan pengerukan terus-menerus merupakan halangan utama terhadap
kinerja pelabuhan (Ray; 2008).
Permasalahan transportasi laut di Indonesia juga disumbangkan dari sisi armada
pelayaran itu sendiri. Menurut Prof. Daniel M. Rosyid PhD, M.RINA (2012; 18) dari Institut
Sepuluh Nopember (ITS) sampai saat ini sector perbankan belum berpihak pada industry
perkapalan. Hal ini ditunjukan dengan tingginya bunga modal, apalagi dibandingkan dengan
Singapura dan Malaysia. Akibatnya perusahaan pelayaran pesan ke luar negeri karena biaya
modalnya murah, kata pakar teknik kelautan yang masih langka di Indonesia ini .

Permasalahan lain dari Industri perkapalan nasional adalah bahan baku pembuatan
kapal yang masih di dominasi produk impor. Daniel (2012; 19) mengusulkan supaya
Pemerintah mau member insentif fiskal untuk komponen-komponen pembuatan kapal yang
masih diimpor sembari menguatkan industri penunjang. Dengan masih bergantungnya
industry dalam negeri kepada komponen yang sebagian besar masih di impor maka
Indonesia kurang memiliki kedaulatan terhadap pengelolaan transportasi lautnya serta resiko
tersedotnya devisa keluar untuk membayar komponen impor tersebut.

5. Indonesia Poros Maritim Dunia


Kondisi Maritim Indonesia saat ini bisa dibilang sedang naik daun. Sejak Presiden
Indonesia yang ke-7 terpilih yaitu Bapak Jokowi, beliau mendeklarasikan tujuan dan mimpi
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Mendengar deklarasi
ini sudah jelas menjadi salah satu starting awal yang sangat bagus karena kondisi negara
Indonesia sebagai negara kepulauan dan negara maritime. Dalam pidatonya pada Konferensi
Tingkat Tinggi (KTT) ke-9 East Asia Summit (EAS) tanggal 13 November 2014 di Nay Pyi
Taw, Myanmar, Presiden Jokowi menegaskan konsep Indonesia sebagai Poros Maritim
Dunia sehingga agenda pembangunan akan difokuskan pada 5 (lima) pilar utama, yaitu:
1. Membangun kembali budaya maritim Indonesia.
2. Menjaga sumber daya laut dan menciptakan kedaulatan pangan laut dengan
menempatkan nelayan pada pilar utama.
3. Memberi prioritas pada pembangunan infrastruktur dan konektivitas maritim
dengan membangun tol laut, deep seaport, logistik, industri perkapalan, dan pariwisata
maritim.
4. Menerapkan diplomasi maritim, melalui usulan peningkatan kerja sama di bidang
maritim dan upaya menangani sumber konflik, seperti pencurian ikan, pelanggaran
kedaulatan, sengketa wilayah, perompakan, dan pencemaran laut dengan penekanan
bahwa laut harus menyatukan berbagai bangsa dan negara dan bukan memisahkan.
5. Membangun kekuatan maritim sebagai bentuk tanggung jawab menjaga
keselamatan pelayaran dan keamanan maritim.

Presiden Jokowi menghadiri KTT tersebut bersama seluruh Kepala Negara/Pemerintahan


negara anggota ASEAN, Republik Korea Selatan, Republik Rakyat Tiongkok, Jepang,
Australia, Selandia Baru, India, Amerika Serikat, Rusia, dan Sekretaris-Jendeal ASEAN.
Sekretaris-Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa dan Presiden Asian Development Bank juga
hadir sebagai guest of the Chair. Presiden Jokowi juga menyerukan untuk meningkatkan
kerja sama maritim menjadi lebih erat secara damai dan bukan sebagai ajang perebutan
sumber daya alam maupun supremasi maritim. Terkait Laut Tiongkok Selatan, Presiden
Jokowi menyambut baik komitmen untuk mengimplementasikan secara penuh dan efektif
Declaration of Conduct (DoC) in the South China Sea dan mendorong penyelesaian Code of
Conduct (CoC) in the South China Sea secepat mungkin melalui konsultasi. EAS merupakan
suatu forum regional yang dibentuk pada 14 Desember 2005 di Kuala Lumpur. Negara
peserta EAS berjumlah 18 negara, yaitu 10 negara anggota ASEAN dan 8 negara Mitra
Wicara ASEAN, yakni Australia, India, Jepang, Korea Selatan, RRT, Selandia Baru, Amerika
Serikat dan Rusia. EAS merupakan platform dimana para Pemimpin negara peserta EAS
bertemu dan melakukan tukar pikiran mengenai berbagai isu politis dan strategis di kawasan.
Penyampaian pidato deklarasi ini akan menjadi dorongan tersendiri bagi pemuda terdidik dan
terlatih guna memajukan kondisi maritim Indonesia.

Tidak hanya dalam KTT, Bapak Jokowi juga menyampaikan dalam Deklarasi
Maluku. Sejumlah pemuda yang tergabung dalam Organisasi Masyarakat (Ormas) dan
Organisasi Kepemudaan (OKP), para tokoh adat dan Pemerintah Provinsi Maluku
mendeklarasikan Maluku sebagai Poros Maritim Indonesia. Deklarasi ini dilakukan di
tengah-tengah acara pembukaan Rapimnas II Pemuda Katolik di Gedung Siwalima, Karapan,
Ambon, pada Jumat (28/11) malam. Inilah isi lengkap naskah deklarasinya:

Naskah Deklarasi Maluku sebagai Poros Maritim Indonesia

Atas Berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, hari ini Jumat 28 November 2014, kami putra
dan putri Indonesia di Tanah Maluku menyatakan tekad bulat dengan segenap jiwa dan raga
berjuang untuk menjadikan Maluku sebagai Poros Maritim Indonesia serta mengawal
perjuangan untuk mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia.

Dan sebagai wujud konkret dari sikap ini, kami sepenuhnya mendukung perjuangan
Pemerintah Provinsi Maluku dan seluruh rakyat Maluku dalam memperjuangkan:

1. Maluku sebagai lumbung ikan nasional.

2. Undang-undang Provinsi Kepulauan yang menjadi perjuangan bersama Pemerintah


Provinsi Maluku dan enam provinsi kepulauan lainnya.

Dan juga secara resmi dalam Rapat Pimpinan Nasional II Pemuda Katolik ini, kami usulkan
kepada pemerintah pusat di bawah kepemimpinan Joko Widodo dan Jusuf Kalla agar dapat
menetapkan filosofi pembangunan Membangun dari Laut ke Darat dengan Memuliakan
Lautnya dan Berdiri Teguh di Antaranya sebagai filosofi pembangunan nasional dalam
rangka mempertegas Indonesia sebagai negara bahari atau kepulauan maritim.

Dalam hal ini tidak jauh keterkaitan antara kebijakan pemerintah dengan
stakeholder maupun pemegang peran maritime nasional. Dalam pemanfaatan kekayaan laut
Indonesia, kebijakan public memberikan peran yang sangat riskan. Indonesia sebagai negara
kepulauan dengan jumlah pulau sebanyak 7.204 pulau yang tersebar dari Sabang sampai
Merauke serta memiliki rasio perbandingan wilayah laut 70% lebih banyak daripada daratan,
menjadikan negara Indonesia menjadi negara kepulauan terbesar di dunia. Indonesia dapat
memanfaatkan kekayaan alam di laut untuk meningkatkan perekonomian dan juga untuk
kesejahteraan masyarakat Indonesia. Karena wilayah laut pasti memiliki beragam sumber
daya alam yang sangat potensial dan dapat memberikan hasil yang sangat luar biasa.

Sumber daya alam yang dapat diperbarui seperti ikan yang merupakan sebagai
sumber protein penting bagi masyarakat Indonesia dan diperkirakan terdapat lebih dari 2.500
jenis, 76 persen terumbu karang dunia terdapat di Indonesia, bintang laut, rumput laut, hutan
mangrove yang menyimpan 6,5 juta ton ikan, dan lain-lain. Selain itu, terdapat sumber daya
alam yang tidak dapat diperbarui seperti gas bumi, minyak bumi, mineral, serta tambang.
Dengan melihat potensi sumber daya alam di lautan Indonesia, Jokowi menegaskan bahwa ia
akan bertekad menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Pernyataan Jokowi
tersebut tidaklah main-main, Jokowi sangat serius menjadikan Indonesia sebagai Poros
Maritim. Dalam mewujudkan mimpinya itu Jokowi langsung membentuk Kementerian baru
dalam kabinetnya yaitu Kementerian Koordinator Bidang Maritim yang dulu dijabat oleh
Rizal Ramli dan kemudian digantikan oleh Luhut Binsar Panjaitan yang akan bekerja sama
dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang dijabat oleh Susi Pudjiastuti.

Dengan adanya Kementerian Bidang Maritim yang bekerja sama dengan


Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jokowi akan merencanakan agenda pembangunan
yang difokuskan pada 5 Pilar Poros Maritim, yaitu: membangun kembali budaya maritim
Indonesia; menjaga sumberdaya laut dan menciptakan kedaulatan pangan laut dengan
menempatkan nelayan pada pilar utamanya. Yang ketiga adalah memberi prioritas pada
infrastruktur dan konektivitas maritim dengan membangun tol laut, industri perkapalan,
pariwisata maritim, dan lain-lainnya; menerapkan diplomasi maritim dengan cara
peningkatan kerja sama di bidang maritim dan upaya menangani konflik di laut seperti
pelanggaran kedaulatan, sengketa wilayah, pencurian ikan, perompakan, dan pencemaran
laut. Dan yang terakhir adalah membangun kekuatan kemaritiman sebagai bentuk tanggung
jawab menjaga keselamatan pelayaran maupun keamanan maritim di laut Indonesia.

Pada saat menghadiri KTT Asia Timur di Myanmar, Jokowi juga berkomitmen akan
menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Saya memilih forum ini untuk
menyampaikan gagasan saya tentang Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia, dan harapan
saya tentang peran KTT Asia Timur kedepan, ujar Jokowi dalam pidatonya di KTT Asia
Timur, di Nay Pyi Taw, Myanmar, Kamis (13/11/2015). Pak Jokowi juga mendorong
peningkatan kerja sama antara ASEAN-India di bidang kemaritiman. Hal tersebut untuk
menjaga keamanan, stabilitas, dan kesejahteraan di kedua kawasan tersebut. Menurut Deputi
Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian PPN/Bappenas Endah
Murniningtyas ada 2 aspek penting yang harus dibangun oleh Pemerintahan Jokowi agar
dapat mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia, yaitu aspek ekonomi kelautan
dan kemaritiman yang akan menjadi aset andalan pengembangan dan pembangunan Poros
Maritim. Sedangkan aspek yang kedua yaitu aspek tata kelola yang akan menentukan
bagaimana komponen pertama tersebut dapat dikelola dan dikembangkan untuk mewujudkan
Poros Maritim Dunia.

Dua hal diatas yang kemudian secara integratif penting untuk dikelola sebagai
domain Indonesia untuk menjadi Poros Maritim Dunia, ujar Endah. Kini, setelah
berjalannya waktu sejak Jokowi memimpin Indonesia dari tahun 2014 sampai sekarang,
beberapa kebijakannya untuk mewujudkan 5 Pilar Poros Maritim mulai membuahkan hasil,
seperti Tol Laut yang dibangun untuk sebagai sarana mewujudkan konektivitas antar daerah
atau wilayah dan juga dapat bermanfaat untuk menurunkan harga bahan pokok yang selama
ini meresahkan masyarakat Indonesia.

Kemudian menyadarkan para nelayan maupun masyarakat pesisir walaupun hanya


sebagian masyarakat pesisir yang sadar untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya
alam di laut dengan benar. Mengantisipasi ancaman dari para perompak yang menyerang
kapal nelayan dan kapal asing yang mencuri ikan di laut Indonesia dengan meningkatkan
pertahanan di daerah perbatasan laut Indonesia dan membangun pangkalan militer yang
dilengkapi persenjataan. Selain itu, sudah diterapkannya diplomasi maritim yang melibatkan
TNI AL Indonesia. Kenapa harus melibatkan TNI AL dalam kemaritiman Indonesia ? Ya
karena supaya TNI AL dapat ikut terlibat dalam menjaga kedaulatan NKRI dan juga dapat
menanggulangi pencurian ikan (illegal fishing) yang selama ini didiamkan dan
mengakibatkan kerugian sangat besar bagi Indonesia yang kekayaan alamnya dicuri senilai
Rp 45 Triliun / tahun.

Kita berantas illegal fishing yang rugikan Indonesia, ini angkanya kita tidak pernah
tahu. Tapi di Papua itu ikan 3,5 juta ton per tahun dicuri, kalau dikalikan USD 1 per kg sudah
USD 3,5 miliar atau Rp 45,7 triliun, ujar Susi Pudjiastuti. Mengingat banyaknya Negara
yang tidak terima saat kapal nelayannya ditenggelamkan, maka TNI AL bersama
Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Kementerian Luar Negeri harus bisa menjelaskan
kepada dunia Internasional mengenai landasan penenggelaman tersebut yang sesuai pula
dengan tugas dan peran universal Angkatan Laut. Paling tidak dunia Internasional harus
mampu menghargai kedaulatan maritim Indonesia. Hal tersebut supaya tidak terjadi lagi
pencurian ikan yang pernah terjadi seperti dilakukan oleh kapal nelayan China di laut
Natuna, Indonesia berbatasan dengan Laut China Selatan pada tahun 2016. Kejadian itu
membuat Presiden Jokowi marah dan membuat sebuah nota protes ke China yang sudah
menangkap ikan dan melanggar wilayah Zona Ekonomi Eklusif Indonesia sehingga
membuat hubungan Indonesia dengan China sempat memburuk dan memanas. Kemudian
juga telah membuat banyak keuntungan bagi perekonomian Indonesia yang terus membaik di
sektor perikanan.

Hal tersebut dibuktikan dengan data Badan Pusat Statistik Republik Indonesia tahun
2017, bahwa kontribusi sektor perikanan terhadap nilai Produk Domestik Bruto (PDB)
nasional dalam periode 2015-2016 terus mengalami peningkatan dari nilai 2,51 (2015)
menjadi nilai 2,56 (2016). Dan terakhir, telah membuat Negara lainnya segan dan tidak
berani lagi melanggar kedaulatan Indonesia yang pertahanan kemaritimannya sudah
ditingkatkan. Dengan melihat hasil dari kebijakan Jokowi yang telah membuat dampak baik
bagi perekonomian dan kesejahteraan masyarakat Indonesia, saya yakin bahwa Jokowi bisa
membuat Indonesia menjadi salah satu kekuatan maritim dunia dan membuat Indonesia
maju.

Mengutip dari jurnal yang ditulis oleh caroline paskalina mengenai wacana negara
maritime dan reimajinasi nasionalisme Indonesia menggambarkann tentang bagaimana ilmu
politik berperan dalam mengkaji secara global bagaimana symbiosis dan interaksi yang
terjadi dari masing-masing pemegang peran negara Indonesia menjadi poros maritime dunia.
Kendati Indonesia merupakan negara kepulauan, tapi wacana tentang negara maritim bukan
wacana utama dalam konstruksi kebangsaan dan kenegaraan Indonesia. Wacana ini baru
muncul kembali ketika Presiden Joko Widodo menjadikannya sebagai salahsatu agenda
strategis dalam pemerintahannya. Kemunculan kembali wacana negara maritim ini menarik
untuk dikaji dari sisi nasionalisme, sebagai sebuah upaya untuk membentuk kembali
imajinasi identitas kebangsaan Indonesia.Dengan melacak dinamika argumentasi yang
mewarnai perjalanan wacana negara maritim dalam politik Indonesia, tulisan ini ingin
mengungkap mengapa wacana negara maritim muncul dan kepentingan di balik reimajinasi
nasionalisme Indonesia tersebut.

Janji yang diucapkan Presiden Joko Widodo untuk menjadikan Indonesia sebagai
negara maritim memicu kembalinya wacana ini dalam agenda politik Negara Indonesia.
Perdebatan yang kemudian menyertainya segera muncul, seperti apakah janji itu realistik,
mengingat telah sekian lama negara ini bergantung pada sistem transportasi darat. Kalaupun
secara geografis Indonesia adalah negara kepulauan, tetapi keberadaan laut lebih banyak
dianggap sebagai penghambat mobilitas, sehingga kebi-jakan yang dibuat cenderung
berpihak pada transportasi berbasis daratan, antara lain dengan membangun jembatan yang
menghubungkan antarpulau. Bayangan tentang negara maritim mungkin hanya akan menjadi
ingatan sejarah yang dipelajari ketika masa sekolah, di mana kerajaan-kerajaan besar di
Nusantara dituliskan dalam buku sejarah sebagai kerajaan maritim yang gagah perkasa.
Kejayaan nenek moyang bangsa Indonesia sebagai bangsa pelaut pun diceritakan turun-
temurun melalui buku-buku sejarah, peninggalan sejarah, bahkan lagu anak-anak. Tetapi,
seperti apa sebenarnya negara maritim tidak berkembang menjadi perdebatan, apalagi agenda
kebijakan. Imajinasi negara maritim tampaknya terhenti sebagai bagian dari kejayaan masa
lampau Indonesia. Cerita tentang kejayaan negara maritim yang sarat dengan romantisme ini
tidak pelak menjadi instrumen yang ampuh untuk membentuk rasa kebangsaan dan
kebanggaan sebagai bangsa yang mewarisi sejarah peradaban.

Kembalinya wacana negara maritim yang diinisiasi oleh Presiden Joko Widodo menarik
untuk dikaji dari sisi nasionalisme, sebagai sebuah upaya untuk membentuk kembali
imajinasi identitas kebangsaan Indonesia. Dengan melacak dinamika argumentasi yang
mewarnai perjalanan wacana negara maritim dalam politik Indonesia, mengapa wacana
negara maritim muncul dan kepentingan di balik reimajinasi nasionalisme Indonesia tersebut.

Pembicaraan tentang nasionalisme di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari heroisme


sejarah perlawanan untuk meraih kemerdekaan. Dalam konteks tersebut, nasionalisme
diartikan sebagai paham yang mempersatukan berbagai suku bangsa di Indonesia untuk
bersama-sama melawan kolonialisme. Kesamaan tujuan untuk menjadi bangsa yang merdeka
inilah yang kemudian mendasari pergerakan rakyat saat itu untuk melawan penjajahan.
Makna heroik ini yang kemudian dipakai untuk membangun rasa kebersamaan yang bersifat
lintas etnis dan melampaui ikatan-ikatan primordial. Bahkan setelah Indonesia merdeka,
pemahaman tentang nasionalisme selalu dikaitkan dengan entitas ke-nasional-an, yang
merupakan penggabungan dari ragam identitas lokal atas nama persatuan dan kesatuan.
Nasionalisme untuk kepentingan melawan penjajahan, dibentuk sebagai instrumen pemersatu
bangsa. Sentimen nasionalisme, karena itu, senantiasa dihasilkan dari mobilisasi perasaan
atau imajinasi masyarakat sebagai entitas yang berbeda dengan entitas lain yang dibentuk
sebagai musuh bersama yang harus dilawan. Rasa persatuan dibentuk dengan dasar argumen
kesamaan latar belakang historis dan kebersamaan dalam menjalani perjalanan historis
tersebut. Seperti halnya dalam perjuangan melawan pen-jajah, nasionalisme dilekatkan
dengan jargon senasib sepenanggungan, demikian pula setelah kemerdekaan, nasionalisme
adalah persatuan dan kesatuan.
Dengan demikian, nasionalisme merupa-kan konstruksi sosial yang dilakukan untuk
kepentingan tertentu. Ketika pembangunan nasionalisme tersebut dilakukan oleh negara,
maka nasionalisme menjadi basis legitimasi untuk membangun loyalitas terhadap negara.
Pada masa perjuangan melawan penjajah, nasio-nalisme dibangun di atas tujuan bersama
untuk meraih kemerdekaan, sehingga kendati ada beragam ideologi yang berkembang saat
itu tapi loyalitasnya tetap pada tujuan bersama tersebut. Demikian pula, pada masa setelah
kemerdekaan, nasionalisme direkonstruksi dengan makna baru yang tujuannya tetap
memberikan legitimasi terhadap kepentingan negara. Masa Orde Lama di bawah
kepemimpinan Soekarno mengemas nasionalisme sebagai dasar bagi revolusi mela-wan
kekuatan-kekuatan neokolonialisme dan neoimperialisme, sedangkan masa Orde Baru di
bawah kepemimpinan Suharto mengaitkan nasionalisme dengan pembangunan.
Nasionalisme pada masa Orde Baru adalah ketika bangsa Indo-nesia patuh pada ideologi
pembangunan dan berpartisipasi dalam pembangunan. Pemaknaan ini direproduksi oleh
negara melalui institusi-institusi pendidikan, organisasi kemasyarakatan, dan partai politik,
serta organisasi komunitas di level grass root seperti RT, RW, Karang Taruna, Dharma
Wanita, yang semuanya mengarahkan pembentukan identitas nasionalisme sebagai identitas
dari orang-orang yang berpartisipasi dalam pembangunan.

Transisi dari masa Orde Baru memuncul-kan konstruksi nasionalisme yang berbeda
lagi. Sentralisasi yang demikian kuat pada masa Orde Baru memunculkan perasaan-perasaan
ketertindasan dari daerah-daerah dan etnisitas yang berada di luar Jawa, sehingga ketika
Orde Baru berakhir, seolah-olah memberi peluang menguatnya identitas lokal yang sempat
ter-marginalkan. Nasionalisme pada masa ini justru menghadapi perlawanan dari daerah-
daerah yang menginginkan identitasnya diakui. Pasang-surut nasionalisme pada masa
reformasi ini tidak dapat secara otomatis diartikan sebagai disintegrasi, tapi lebih sebagai
cerminan dari ketidakpuasan dan delegitimasi negara. Seperti juga nasionalisme dipakai
sebagai instrumen oleh negara untuk membangun loyalitas dan legitimasi, demikian pula
kegagalan dalam mengurus negara akan menjadi penyebab mele-mahnya nasionalisme
(Santoso, 2001).

Kondisi ini berubah ketika pemerintahan Jokowi membangkitkan kembali ide tentang
nasionalisme yang dibangun dari kedaulatan di laut. Pada masa kejayaan kerajaan-kerajaan
di Nusantara, kedaulatan laut menjadi salahsatu kebanggaan bahkan identitas dari banyak
kerajaan besar Nusantara, seperti Sriwijaya dan Majapahit. Tapi identitas sebagai bangsa
bahari ini seolah-olah lenyap karena selama rentang panjang masa awal kemerdekaan hingga
sekarang, nasionalisme yang dibangun adalah nasionalisme yang berbasis daratan. Kendati
Indonesia adalah negara kepulauan, tapi sentralisasi sumber daya menyebabkan
pembangunan hanya berlangsung di pulau-pulau besar yang tidak saling terkoneksi dengan
baik, seolah-olah masing-masing pulau mengejar pertumbuhan ekonominya sendiri. Pusat-
pusat pertumbuhan ekonomi tetap berbasis pada pengembangan potensi daratan bukan
pergerakan sumber daya melalui laut di antara pulau-pulau tersebut. Ini adalah konsekuensi
dari ideologi pembangunan yang orientasinya pertumbuhan ekonomi. Pertum-buhan
ekonomi hanya bisa dicapai dengan cepat melalui akumulasi kapital. Kapital akan berputar
dengan cepat jika ada produktivitas dan industrialisasi menjadi strategi utama untuk
menciptakan produktivitas ini. Industrialisasi untuk menciptakan produktivitas yang tinggi
akan bisa dicapai melalui transportasi darat dan udara. Karena itu tidak ada kepentingan
untuk mengembangkan nasionalisme berbasis maritim. Laut bahkan kemudian dipandang
sebagai penghalang, sehingga strategi pembang-unan infrastruktur yang marak diterapkan
saat itu adalah membangun sebanyak mungkin jembatan, bukan mendayagunakan
pelabuhan-pelabuhan yang tersedia.
Pemerintahan Jokowi menawarkan per-ubahan cara pandang dari nasionalisme daratan
menjadi nasionalisme maritim. Indonesia jelas adalah negara kepulauan, laut seharusnya
men-jadi sumber kekuatan yang sangat strategis. Tidak hanya untuk perputaran sumber daya,
juga untuk pertahanan. Simbol kedaulatan terbesar yang seharusnya dimiliki Indonesia
adalah kedaulatan di laut karena Indonesia adalah negara kepulauan. Cara pandang inilah
yang kemudian dipakai Jokowi untuk membangkitkan kembali nasionalisme maritim.
Langkah pertama yang dilakukan adalah mengembalikan kepercayaan publik bahwa
Indonesia punya kedaulatan di laut. Upaya ini misalnya, dilakukan oleh Menteri Kelautan
dan Perikanan untuk menunjukkan bahwa Indonesia punya keberanian untuk melawan para
pelaku illegal fishing. Tapi, ini tidak cukup untuk menguatkan nasionalisme maritim.
Nasionalisme adalah rekayasa politik, sehingga reimajinasi tentang identitas bangsa perlu
dibangun melalui perubahan sistematis dalam mengelola laut, diawali dari membentuk
kembali cara pandang masyarakat terhadap laut hingga merumuskan desain kebijakan yang
jelas mengenai pengelolaan laut.

Pada tanggal 20 Oktober 2014 Presiden JokoWidodo secara resmi menjadi Presiden
Republik Indonesia dan di situ salah satunya membawa konsep Tol Laut. Apa itu Tol Laut?
Tol Laut adalah membangun transportasi laut dengan kapal atau sistem logistik kelautan
yang melayani tanpa henti dari ujung Sabang hingga Merauke. Tujuan nya yaitu
menggerakkan roda perekonomian secara merata dan nantinya akan ada kapal-kapal besar
yang bolak balik di lautan Indonesia, sehingga biaya logistik menjadi murah. Itulah
sebabnya Tol Laut menjadi salah satu program prioritas Presiden Jokowi untuk
mengembangkan sektor kemaritiman dan salah satu faktor penunjangnya adala kebutuhan
akan pelabuhan laut dalam untuk memberikan jalan bagi kapal kapal besar yang melintasi.
Dan sebagai negara kepulauan Tol Laut memang menjadi andalan masyarakat di daerah
terpencil ,meskipun mempunyai komoditas yang berpotensi namun karena tak ada kapal
yang melayani. Salah satu contoh kapal yang melayani masyarakat adalah kapal roro yang
selalu ber operasi 3 hari sekali untuk mengurangi beban di jalan raya. Dan disini gagasan tol
laut adalah untuk mewujudkan sebagai negara maritim yaitu membangun Indonesia dari
pinggir dengan memperkuat daerah daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.
Selain itu tol laut juga menjadi penegasan bahwa negara memang benar hadi ke seluruh
daerah lewat kapal kapal yang menyambangi di wilayah tersebut. Ada beberapa hal yang
perlu dilakukan Indonesia untuk menjadi pemenang di persaingan dunia kemaritiman dunia.
Hal yang pertama adalah data. Indonesia harus memiliki pusat data yang aktual,
komprehensif, dan accountable sebagai sumber penelitian. Yang kedua adalah pendidikan,
pendidikan diperlukan untuk melahirkan para ahli dari berbagai bidang untuk mendukung
kesuksesan bidang kemaritiman Indonesia.

Karena kemaritiman adalah bidang yang sangat multi disiplin sehingga kita tidak bisa
berpangkuh pada satu ahli saja, kita membutuhkan para ahli untuk saling bekerja sama satu
sama lain dan diharapkan dapat menghasilkan produk yang sustainable. Dan faktor yang
paling penting adalah dukungan seluruh warga Indonesia, khususnya para pemuda yang
dimana memiliki tanggung jawab untuk membawa masa depan Indonesia di persaingan
global dunia kemaritiman

Menurut data terakhir dari FAO menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat
kedua setelah China sebagai negara penghasil ikan terbesar di dunia. Namun,
produktivitasnya tidak selaras dengan jumlah kapal yang kita miliki. Kalau dari segi per unit
kapal, produktivitas kapal-kapal di Indonesia hanya mencapai 2,3 ton/tahun. Nilai ini jauh di
bawah kapal-kapal yang dimiliki oleh negara-negara di Eropa dan Amerika Utara yang
mencapai 20 ton per kapal per tahun.

Permasalahan utamanya adalah persentase terbesar armada penangkapan ikan di


Indonesia adalah kapal-kapal kecil dengan teknologi yang relatif sederhana. Sebagai
gambaran, data tahun 2014 menyebutkan bahwa di Indonesia sebanyak 643 ribu kapal
penangkapan ikan, 90% dari jumlah tersebut adalah kapal kecil yang berkapasitas kurang
atau sama dengan 3 gross kubik.

Dari keseluruhan kapal-kapal di Indonesia, 70%nya sudah menggunakan motor


penggerak, namun karena kapasitasnya yang kecil, daya jelajahnya juga sangat terbatas.
Selain itu, mesin yang digunakan adalah mesin darat yang dimodifikasi menjadi mesin laut,
yang tentu saja performanya berbeda. Sementara itu dari sisi alat tangkap, banyak kapal yang
masih menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, sebagai contoh alat tangkap
yang tidak selektif, merusak ekosistem laut, serta menggunakan bahan peledak.

Kemudian dari sisu pengawetan dan penyimpanan hasil penangkapan sebagian


besar masih tergantung pada es balok dan garam, bahkan masih banyak yang tidak
mengaplikasikan sistem pendingin sama sekali. Dengan kondisi seperti itu, kesegaran dan
kualitas ikan tentu saja tidak terjamin, apalagi kapal beroperasi dalam jangka waktu yang
lama.
Dengan sumber daya perikanan yang kita miliki saat ini, potensi untuk memanfaatkan
sebesar-besarnya laut kita masih terbuka luas. Hanya saja, diperlukan beberapa langkah. Di
antaranya adalah:

1. Pengelolaan perikanan tangkap yang bertanggungjawab.

2. Peningkatan teknologi penangkapan ikan, termasuk kualitas dan kapasitas armada


penangkapan ikan
3. Peningkatan SDM, termasuk pelaku usaha perikanan.

Beberapa usaha pemerintah yang telah dilakukan untuk mengembangkan industri perikanan
tangkap di Indonesia adalah:

1. Pemberantasan ilegal fishing, seperti yang kita lihat bagaimana keseriusan


Kementerian Kelautan dan Perikanan mengatasi hal ini.

2. Pengadaan armada penangkapan ikan yang lebih modern.

Sejak 2010 pemerintah telah membangun dan menghibahkan kapal-kapal berukuran 5-30 PT
kepada kelompok-kelompok nelayan di seluruh Indonesia.
Beberapa teknologi telah dikenalkan melalui program ini. Di antaranya:

1. Penggunaan fiber glass sebagai pengganti kayu untuk bahan kapal.

2. Penggunaan alat pendeteksi ikan dan GPS.


3. Penggunaan solar panel untuk kelistrikan di kapal.
4. Penggunaan marine engine yang memang khusus untuk penggunaan di kapal.
5. Serta yang masih dalam pengupayaan pengembangan saat ini adalah mengkonversi
penggunaan solar atau bensin ke penggunaan LPG.
Semua langkah-langkah tersebut diharapkan dapat meningkatkan produktivitas perikanan
tangkap di Indonesia.

Keterlibatan SDM khususnya pelaku usaha perikanan, termasuk nelayan, dalam hal
ini adalah sangat penting. Kesadaran mereka untuk menjaga keberlanjutan perikanan dan
kemampuan mereka dalam mengadopsi teknologi yang dikenalkan, akan memuluskan
langkah menuju perikanan tangkap yang berdaulat.

Momentum Hari Maritim Nasional ini hendaknya kita jadikan sebagai alat
pengingat dan penyemangat kita sebagai bangsa maritim. Bahwa Tuhan telah
menganugerahkan begitu besar kekayaan laut kepada kita,termasuk perikanan. Sekarang
semuanya kembali kepada kita, bagaimana kita dapat memanfaatkan kekayaan tersebut
sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat Indonesia demi kemajuan industri perikanan
sebagai salah satu pilar maritim Indonesia.

Wakil Menteri Perindustrian Alex S.W Retraubun mengatakan dulu presiden RI


pertama, Soekarno, mulai merambah potensi laut, kemudian berganti ke Era Orde Baru di
bawah kepemimpinan Soeharto lebih fokus pada pembangunan darat yang mana mengejar
program swasembada pangan. Pada era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mulai
berdiri Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sudah mulai ada arah optimalisasi
potensi kelautan. Kemudian pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), mulai
tenggelam lagi. Kini isu tentang maritim mulai muncul didengungkan oleh presiden terpilih
Joko Widodo (Jokowi).

"Selama ini arah kebijakan pemerintah terhadap menggali potensi laut tidak
konsisten, kalau memang ingin membangun industri maritim yang kuat kebijakannya harus
konsisten dan berkelanjutan siapa pun presidennya," katanya kepada wartawan saat
konferensi. pers Marintec Indonesia, di Surabaya Jawa Timur, Rabu (10/9). Karena apa,
menurut dia, lantaran isu maritim sangat luas cakupannya. Kalau pun pemerintah memang
serius ingin menggali industri maritim kebijakannya harus kuat. Seperti pembangunan
infrastruktur pendukung. Selama ini arahnya masih terfokus pada pembangunan di darat.
Kondisi ini jelas mengindikasikan selama ini pemerintah belum melihat secara gamblang
akan optimalisasi potensi ekonomi laut. Contoh sederhananya saja industri maritim, selama
ini jalur transportasi lebih banyak digarap darat dan udara, sedangkan transportasi laut sedikit
terbengkalai. "Industri maritim belum berjalan bagus karena tidak menjadi fokus utama,"
ujarnya.

Jika memang pemerintah baru benar-benar ingin menggarap potensi maritim salah
satu jalan adalah kebijakannya harus konsisten dan nanti saat menjabat lagi atau digantikan
programnya bisa berlanjut. "Demokrasi di Indonesia masa kepemimpinannya hanya 5 hingga
10 tahun saja, jika ingin menggarap industri maritim atau yang lain waktu itu tidaklah cukup,
makanya pemerintah berikutnya harus bisa mengcover program selanjutnya. Yang biasanya
terjadi sebaliknya, ganti kepemimpinan ganti kebijakan. Itulah kelemahannya kenapa
maritim nasional belum bisa berjalan," tegasnya.

Padahal isu kemaritiman dunia ada di Indonesia, tapi industri kemaritiman belum
terlalu bagus karena tidak ada dukungan dari pemerintah mulai dari kebijakan fiskal tidak
mendukung terhadap industri maritim, teknologi, komponen, dan Sumber Daya Manusia
(SDM) yang belum mendukung. "Padahal Indonesia bisa menjadi negara poros maritim
dunia," ucapnya. Pada kesempatan yang sama, Christopher Eve, Presiden Direktur PT UBM
Pameran Niaga Indonesia membenarkan hal itu. Bahwa menurutnya Indonesia sangat
berpotensi menjadi negara poros maritim dunia. Hanya saja industri maritimnya belum
dikembangkan. Padahal jika pemerintah mau mengembangkannya potensi ekonomi maritim
Indonesia sangat luar biasa. "Jika pemerintah mendatang mau mengembangkan maritim,
tidak mustahil ekonomi Indonesia bisa lebih baik dari sekarang. Dan Indonesia harus
menjadi negara ekonomi berbasis maritim," katanya. Untuk bisa mencapai ke arah sana,
lanjut Eve, caranya tidak sulit memang awalnya. harus ada dukungan dari pemerintah,
kemudian baru sinergitas terhadap swasta yang memang mau berinvetasi di industri maritim,
dan satu lagi yang terpenting adalah Indonesia harus bisa lebih mandiri mulai dari
pembangunan komponen sampai dengan pembuatan kapal ada di dalam negeri jangan
ketergantungan dari negara lain. Jika itu semua dilakukan industri maritim Indonesia akan
lebih kuat. "Kalau ada kemauan, pasti Indonesia bisa," tegasnya. Masih Lemah Sebelumnya,
Ketua Umum Indonesian National Shipowners Association (INSA) Carmelita Hartoto
menyayangkan potensi industri perkapalan nasional belum dimaksimalkan oleh industri. la
melihatnya dikarenakan terbatasnya Sumber Daya Manusia (SDM) dan minimnya industri
komponen pendukungnya. "Potensi di sektor perhubungan laut Indonesia kurang mendapat
dukungan dari industri galangan kapal nasional. Selama ini, perusahaan galangan kapal di
Indonesia sulit berproduksi karena minimnya industri komponen," katanya.

Pasalnya, kata Carmelita, Indonesia terdiri dari perairan teritorial seluas 300.000
kilometer persegi, perairan pedalaman dan kepulauan seluas 2,8 juta kilometer persegi, ZEE
seluas 2,7 juta kilometer persegi, serta lebih dari 17.500 pulau menyimpan kekayaan yang
luar biasa. "Sejumlah perusahaan pelayaran asing diharapkan bermitra dengan perusahaan
lokal," tukasnya. Kementerian Perhubungan kini sedang mencari pejabat baru untuk mengisi
posisi Dirjen Perhubungan Laut (Hubla). Kemarin (20/9), sebanyak 15 nama dinyatakan
lulus tahap seleksi administrasi. Komposisinya, 8 nama dari kalangan Kemenhub termasuk 5
orang merupakan pejabat di lingkungan Ditjen Hubla. Sebanyak 7 nama sisanya berasal dari
luar Kemenhub. Dilihat dari aspek tanggungjawab, rentang kendali, dan tentu saja anggaran,
Ditjen Hubla terbilang istimewa. Dengan alokasi sebesar 11,56 triliun rupiah pada APBN
2017 ini, anggaran Ditjen Hubla bahkan mengungguli anggaran dari 19 Kementerian lainnya.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) saja hanya sebesar 10,1 triliun rupiah. Adapun
alokasi sebesar tersebut terbagi atas: Lalu lintas dan Angkutan Laut (Rp 3,96 triliun),
Pelabuhan dan Pengerukan (Rp 2,3 triliun), Kenavigasian (Rp 1,48 triliun), Penjagaan Laut
dan Pantai (Rp. 111,4 Miliar), Perkapalan dan Kepelautan (Rp 68,9 Miliar), dan Dukungan
manajemen dan teknis lainnya (Rp 3,6 triliun). Selain aspek anggaran, Ditjen ini juga
mewakili kedaulatan negara di atas 24.046 kapal niaga berbendera Merah Putih (Data INSA
2016), berikut memastikan keselamatan atas kapal, awak, muatan, dan penumpang. Dengan
tanggung jawab sebesar itu, sosok seperti apa yang ideal menduduki jabatan Dirjen Hubla?
Berikut komentar dari praktisi dan pemgamat Maritim. James Talakua dari Forum
Komunikasi Maritim Indonesia (Forkami) menyebut Ali Sadikin adalah contoh sosok ideal.
Untuk diketahui, Ali Sadikin pernah menjabat Menteri Perhubungan Laut di Kabinet
Dwikora (1964-1966), dengan tugas dan tanggung jawab yang kurang lebih sama dengan
Ditjen Hubla di masa sekarang ini.Peristiwa OTT terhadap Dirjen Hubla kemarin sangat
disayangkan, padahal yang bersangkutan baru mendapat penghargaan dari Presiden. Kita
butuh sosok seperti Bang Ali (Sadikin) untuk posisi tersebut, atau setidaknya harus
mencontoh beliau. Ujar James kepada Redaksi.Untuk sosok baru Dirjen Hubla, Forkami
berharap akan hadir sosok yang memiliki niat tulus berbakti kepada bangsa, mengerti
persoalan pelaut, memahami aturan nasional dan internasional, serta bisnis
kemaritiman.Dengan dua tahun waktu tersisa, tentu perlu kerja keras dan memahami
birokrasi. Kami juga berharap dipilih orang yang bersedia berdiskusi dan berkomunikasi
dalam mencari solusi, tambah James.Ketua Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI) Capt
Hasudungan Tambunan, M.Mar., memberikan komentar senada namun lebih menekankan
pada kalangan internal.Idealnya berasal dari lingkungan perhubungan laut sendiri, yang
pernah memimpin unit di lingkungan ditjen hubla, atau setidaknya di Kemenhub. Sehingga
benar-benar mengerti dan berpengalaman karena harus melanjutkan program kerja yang
ada, Kata Hasudungan.

Sebagai ketua KPI, Hasudungan juga menyoroti program di bidang Perkapalan dan
Kepelautan.KPI berharap program dan anggaran di bidang Perkapalan dan Kepelautan
diperkuat, terutama untuk kepelautan demi tercipta SDM maritim yang unggul. Di samping
pembangunan infrastruktur maritim, ada ratusan ribu pelaut Indonesia yang perlu mendapat
perhatian, tutup Hasudungan.Sementara Direktur NAMARIN (The National Maritime
Institute), Siswanto Rusdi berpendapat yang berbeda. Rusdi pesimis terhadap kalangan
internal Hubla dan mengingatkan ada persoalan mendasar yang perlu segera diperbaiki di
Kemenhub.Korupsi di Hubla tergolong akut karena melibatkan PNS dari kelas bawah
hingga pejabat tinggi. Sebelum Dirjen Tonny, Captain Bobby Mamahit juga tersandung
kasus korupsi, ungkap Rusdi.Menurut Rusdi, kondisi tata kelola di Kemenhub adalah
persoalan yang mendasar. Kemenhub menjadi regulator dan pada saat yang sama bertindak
menjadi operator sekaligus auditor. Tidak ada pihak eksternal yang dilibatkan sehingga tidak
terjadi check and balance. Jika kondisi yang sudah menahun tersebut tidak diperbaiki, Rusdi
khawatir pajabat baru dirjen akan menghadapi persoalan yang sama.Dan baru - baru ini
Indonesia membangun kapal selam KRI Nagapasa-403 resmi memperkuat pertahanan laut
Indonesia ini kata Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu meresmikan kapal
selam yang diberi nama KRI Nagapasa-403 di dermaga galangan kapal DSME, Okpo,
Busan, Korea Selatan, pada Rabu 2-8-2017. Kapal selam ini resmi masuk dalam kapal
perang di jajaran angkatan laut Indonesia.

Dalam peresmian dan pemberian nama (shipnaming), Ryamizard didampingi


Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Ade Supandi, Duta Besar Indonesia
untuk Korea Selatan Umar Hadi dan CEO DSME (Daewoo Shipbuilding & Marine
Engineering) Jung Sung-lip.Dengan diresmikannya KRI Nagapasa ini maka kekuatan TNI
AL akan semakin bertambah dan meningkatkan kemampuan pertahanan nasional. Ini
menjadi momentum kekuatan pertahanan negara di laut, ujar Ryamizard.KRI Nagapasa-403
merupakan satu dari tiga kapal selam yang dipesan Indonesia dari Korea Selatan. Kapal
tersebut dibangun pada 2013 lalu dengan menggunakan Transfer of Technology (ToT). Kapal
selam ini merupakan produksi ekspor pemerintah Korea Selatan yang pertama kali.KRI
Nagapasa-403 merupakan pengembangan dari kapal selam tipe Chang Bogo Class milik
Republic of Korean Navy (ROK Navy) dan Kapal Selam tipe Cakra yang dimiliki oleh TNI
Angkatan Laut. Memiliki panjang 61,3 meter, bobot di permukaan 1.442 ton dan bobot
menyelam 1.572 ton. Mampu melaju kecepatan 21 knot di bawah air, dengan ketahanan
menyelam lebih dari 50 hari serta mampu menampung 40 kru. KRI Nagapasa-403
dipersenjatai torpedo dengan delapan buah tabung peluncur. Kapal selam ini dirancang untuk
mampu mengatasi ranjau laut, meluncurkan rudal anti kapal permukaan, serta melepaskan
Torpedo Counter Measure.Dikabarkan, TNI AL sudah menyiapkan base untuk kapal selam
terbaru ini di Teluk Palu, Sulawesi Tengah. Selain KRI Nagapasa-430, dua kapal selam
lainnya sedang dipersiapkan di galangan DSME untuk memperkuat pasukan TNI AL.
Rencananya kedua kapal itu dinamai dengan KRI Trisula 404 dan KRI Nagarangsang 405.

Indonesia menandatangani kontrak pengadaan tiga kapal selam dengan DSME pada
Desember 2011. Keseluruhan kapal akan diselesaikan pada tahun 2019. Sebanyak 2 kapal
selam dibuat di Korea Selatan, sedangkan satu kapal selam dibuat di galangan kapal PT PAL
Surabaya. Proses pembangunan ketiga kapal selam berada di bawah kendali pengawasan
Satuan Tugas Proyek Pengadaan Kapal Selam (Satgas Yekda KDSE DSME209) yang
dipimpin Laksma TNI Iwan Isnurwanto. Dan tak hanya itu Indonesia pun menerapkan sistem
ISPS (International Ship and Port Security Code. International Ship and Port Security Code
(ISPS Code) adalah regulasi yang IMO (International Maritime Organization) yang secara
khusus mengatur tentang kegiatan-kegiatan dan langkah-langkah yang harus diambil oleh
setiap negara dalam menanggulangi ancaman Terorisme di laut.

Setelah melalui penandatangan secara resmi oleh negara-negara anggota IMO, ISPS
CODE akhirnya berlaku efektif sejak 1 Juli 2004. Penyusunan ISPS CODE dimulai sejak
tahun 2001, dalam hal ini oleh Maritime Safety Committee (MSC) bekerja sama dengan
Maritime Security Working Group (MSWG). Kedua badan tersebut dalam suatu sidang
Majelis pada November tahun 2001, mengadopsi resolusi A.924(22). Isi dari resolusi
tersebut adalah melakukan tinjauan ulang terhadap segala tindakan dan prosedur dalam
mencegah kemungkinan aksi teroris yang mengancam keamanan maritim, khususnya
terhadap penumpang kapal dan awak kapal, serta keselamatan kapal pada umumnya.
Kemudian dalam Konferensi Negara Anggota di London pada 9-13 Desember 2002
(kemudian dikenal dengan nama Konferensi Diplomatik masalah Keamanan Maritim),
disepakati secara bulat untuk memasukkan ISPS Code ke dalam Konvensi Internasional
Untuk Keselamatan Di laut 1974 (SOLAS 1974). Konferensi juga menyetujui amandemen
terhadap Bab V dan Bab XI dari SOLAS, agar sesuai dengan adopsi ISPS Code. Bab V dari
SOLAS yang semula hanya memuat tentang Keselamatan Navigasi Pelayaran/Kapal,
ditambahkan sistim baru yaitu mempercepat pelaksanaan AIS (Automatic Identification
System). Sedangkan Bab XI dipecah menjadi dua bagian. Bab XI-1 berisi ketentuan yang
pada dasarnya mencakup upaya-upaya khusus (yang sebenarnya merupakan praktek selama
ini) untuk meningkatkan Keselamatan Maritim seperti; meningkatkan kegiatan Survei dan
pemberlakuan Nomor Identifikasi Kapal, serta Dokumen Riwayat Kapal. Bab XI-2 berisi
ketentuan yang sama sekali baru yaitu; Upaya-upaya Khusus untuk meningkatkan Keamanan
Maritim (Special Measures to Enhance Maritime Security). Satu hal yang perlu dicatat,
bahwa perluasan SOLAS 74 juga mencakup pada Pelabuhan dan Fasilitasnya. Sesuatu yang
sebelumnya belum pernah ada, walaupun hanya terbatas pada pelabuhan yang memiliki
interface dengan kapal laut. Pada dasarnya ISPS Code ini terdiri dari 2 (dua) bagian besar,
yang disebut Bagian A (Part A) dan Bagian B (Part B). Bagian A berisi segala ketentuan yang
Wajib dilaksanakan (mandatory) oleh Pemerintah negara anggota, kapal/ perusahaan dan
fasilitas pelabuhan, menyangkut aturanaturan yang tercantum dalam Bab XI-2 SOLAS
1974 hasil amandemen. Sedangkan bagian B berisikan petunjuk-petunjuk / pedoman
(guidance) tentang pelaksanaan dari Bab XI-2 dari apa yang tercantum dalam Bagian A.
5.1 Sikap Negara Terhadap Maritim Indonesia
Menyadari betapa pentingnya bidang maritim untuk memperkuat integrasi nasional,
pemerintah berusaha untuk mewujudkan kesatuan wilayah secara utuh. Pada tahun 1957,
pemerintah mengeluarkan Deklarasi Djuanda dengan menawarkan konsep Negara
Kepulauan (Archipelagic State) dengan batas laut teritorial sejauh 12 mil. Meskipun tuntutan
ini ditolak oleh PBB(Perserikatan Bangsa-Bangsa), pemerintah Indonesia terus berupaya di
berbagai forum internasional. Pada tahun 1982, International Conference on Sea Law yang
diselenggarakaan di Caracas meratifikasi konsep Indonesia mengenai Zone Ekonomi
Eksklusif (ZEE) inilah wilayah teritorial Indonesia menjadi utuh, baik meliputi wilayah darat
maupun laut. Dengan deklarasi ini wilayah teritorial Indonesia membentang dari barat ke
timur sejauh 6.400 km dan dari utara ke selatan 2.500 km. Garis pantai terluar yang
melingkari wilayaah teritorial Indonesia memiliki panjang sekitar 81,000km dan kawasan
laut ini terdiri dari 80%. Dengan prestasi untuk mencapai kesatuan wilayah ini diharapkan
bahwa integrasi nasional sebagai negara maritim akan dapat segera dicapai.
Upaya Indonesia untuk kembali membangkitkan kejayaan Indonesia sebagai negara
kepulauan melalui tiga pilar utama yakni Sumpah Pemuda 28 Oktober, Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan Deklarasi Djoeanda 1957 tidak mudah untuk dilakukan.
Di masa pemerintahan Sukarno, Indonesia telah mendeklarasikan Wawasan Nusantara.
Wawasan Nusantara memandang wilayah laut merupakan satu keutuhan dengan wilayah
darat, udara, dasar laut dan tanah yang ada di bawahnya, serta seluruh kekayaan yang
terkandung di dalamnya yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Di era Pemerintahan Presiden
Soeharto, Indonesia berupaya memperoleh pengakuan internasional tentang Negara
Nusantara, yang kemudian berhasil mendapat pengakuan internasional dalam forum
konvensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1982 (UNCLOS 82) serta berlaku efektif sebagai
hukum internasional positif sejak 16 November 1984. Di masa Pemerintahan B.J Habibie
kembali Indonesia mendeklarasikan visi pembangunan kelautan dalam Deklarasi Bunaken.
Inti deklarasi tersebut adalah pemahaman bahwa laut merupakan peluang, tantangan dan
harapan untuk masa depan persatuan bangsa Indonesia. Dilanjutkan oleh Pemerintahan
Presiden Abdurrahman Wahid melalui komitmen Pembangunan Kelautan dengan
dibentuknya Departemen Kelautan dan Perikanan dan dikembangkannya Dewan Maritim
Indonesia yang kemudian menjadi Dewan Kelautan Indonesia.
Di era Reformasi saat ini, dalam PJPN 2005-2025 Pemerintah telah membuat
kebijakan untuk mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat
dan berbasis kepentingan nasional. Diantaranya dengan kembali memantapkan budaya
bahari dalam RPJMN 2004-2009.
Namun telah tumbuh kerancuan identitas, sebab meski mempunyai persepsi
kewilayahan maritim namun kultur yang kemudian terbangun adalah sebagai bangsa agraris.
Paradigma masyarakat Indonesia tentang laut cenderung berbeda dengan realitas, sehingga
arah kebijakan pembangunan selanjutnya menjadi kurang tepat karena lebih condong ke
pembangunan berbasis daratan, sektor kelautan menjadi sektor pinggiran.
Menurut Mahan, ada enam syarat sebuah negara menjadi negara maritim yaitu: lokasi
geografis, karakteristik dari tanah dan pantai, luas wilayah, jumlah penduduk, karakter
penduduk, dan pemerintahan. Dari keenam unsur inilah seharusnya karakter penduduk dan
pemerintahan yang masih perlu ditingkatkan sifat kemartimannya melalui sosialisasi sejarah
dan nilai-nilai budaya bahari kepada segenap lapisan masyrakat dan sikap pemerintah yang
mampu memanfaatkan laut dan unsur-unsur maritim guna kemakmuran dan kejayaan bangsa
Indonesia sendiri. Unsur-unsur kekuatan maritim antara lain terdiri dari transportasi,
pemanfaatan sumber hayati dan nabati laut, pertambangan dasar laut, pemanfaatan energi
laut, wisata, unsur pengamanan laut, dan sebagainya.
Wacana pentingnya membangun negara maritim juga pernah muncul di tengah-tengah
krisis moneter yang terjadi pada akhir tahun 1997, yang segera dibarengi oleh krisis-krisis di
bidang yang lainnya seperti krisis politik, krisis sosial budaya dan sebagainya. Rupanya
dengan adanya bencana yang timbul ini menyadarkan para pembuat kebijakan sadar bahwa
dengan mengeksplorasi kekayaan alam darat saja menimbulkan beban ekonomi yang sangat
besar dan membebani bangsa. Di tengah-tengah krisis ini muncul suatu inisiatif untuk
membangun Indonesia baru sebagai negara bahari yang memaksimalkan laut sebagai
potensinya untuk dasar kehidupan bangsa Indonesia. Pendayagunaan laut dan potensinya
akan menjadi tindakan eksploratif belaka tanpa adanya landasan pemahaman budaya bahari.
Negara bahari tidak akan terbentuk tanpa landasan budaya bahari. Dalam hubungan inilaah
sejarah bahari atau sejarah maritim menjadi bagian yang utama dalam menumbuhkan budaya
bahari untuk selanjutnya menjadi landasan bagi terbangunnya negara bahari.
Pengembangan negara maritim. Gagasan Negara Maritim Indonesia sebagai
aktualisasi wawasan nusantara untuk memberi gerak pada pola pikir, pola sikap dan pola
tindak bangsa Indonesia secara bulat dalam aktualisasi wawasan nusantara. Pengembangan
konsepsi negara maritim indonesia sejalan dengan upaya peningkatan kemampuan bangsa
kita menjadi bangsa yang modern dan mandiri dalam tekhnologi kelautan dan kedirgantaraan
bagi kesejahteraan bangsa dan negara. Bumi maritim Indonesia adalah bagian dari sistem
yang merupakan satu-kesatuan alami antara darat dan laut di atasnya tertata secara rapi dan
unik menampilkan ciri-ciri negara dengan karakteristik sendiri yang menjadi wilayah
yuridksi Negara Republik Indonesia.
Pengembangan negara maritim Indonesia berlandaskan Pancasila dan UUD 1945
karena dalam prikehidupan kebangsaan Indonesia Pancasila pada hakekatnya disusun secara
serasi dan seimbang untuk mewadahi seluruh aspirasi bangsa Indonesia. Landasan
konsepsionalnya adalah wawasan nusantara dan ketahanan nasonal. Dengan wawasan
nusantara bangsa Indonesia memandang wilayah nusantara sebagai satu kesatuan politik,
ekonomi, social budaya dan keamanan. Pada hakekatnya negara maritim Indonesia
merupakan pengembangan dari konsepsi ketahahan nasional, maka konsepsi negara
maritim Indonesia perlu dijadikan pedoman dan rangsangan serta dorongan bagi bangsa kita
dan upaya pemanfaatan dan pendayagunaan secara terpadu, terintegrasi dan
berkelanjutan. Benua Maritim Indonesia adalah hasil perjuangan bangsa Indonesia melawan
segala pihak yang tidak mau melihat bangsa Indonesia yang merdeka dan bersatu di
Kepulauan Nusantara yang merupakan satu keutuhan geografis. Ketika rakyat Indonesia,
terutama para pemudanya, melancarkan gerakan kemerdekaan bangsa Indonesia yang
dimulai dengan menyatakan Sumpah Pemuda pada tahun 1928, banyak pihak yang
mengatakan bahwa kebangsaan Indonesia adalah satu illusi belaka. Di antara mereka tidak
hanya terdapat kaum politik kolonialis yang tidak sudi melihat Indonesia merdeka, tetapi
juga pakar ilmu sosial yang melihat persoalannya dari segi ilmiah. Malahan ada pula orang
Indonesia yang terpengaruh oleh sikap dan pandangan kolonial itu dan turut berpikir serta
berbicara seperti pihak penjajah.
Memang Indonesia adalah satu kenyataan dan diteguhkan oleh ridho Illahi dalam
wujud kehidupan bangsa merdeka yang pada tahun 1945 telah berlangsung 50 tahun.
Kenyataan itu semua menolak segala kesangsian, baik yang bersifat ilmiah maupun politik,
bahwa Indonesia hanya mungkin ada karena dan kalau dijajah. Dalam 50 tahun bangsa
Indonesia berhasil mengatasi segala usaha pihak lain yang hendak merontohkan Indonesia,
dari luar maupun dari dalam. Bangsa Indonesia pun berhasil memperoleh pengakuan
eksistensinya dari semua bangsa di dunia, termasuk dari bekas penjajahnya. Selain itu bangsa
Indonesia berhasil memperoleh pengakuan bahwa wilayah Republik Indonesia yang meliputi
Kepulauan Nusantara merupakan satu kesatuan geografi. Dunia internasional mengakui
eksistensi satu Benua Maritim Indonesia.
Namun demikian bangsa Indonesia sepenuhnya pula sadar bahwa bangsa Indonesia
terdiri dari sekian banyak suku dan golongan, masing-masing dengan kebudayaannya
sendiri. Demikian pula adanya kemungkinan bahwa rakyatnya melihat perairan yang ada
antara pulau-pulau bukan sebagai penghubung melainkan sebagai pemisah pulau satu dengan
yang lain. Sebab itu bangsa Indonesia mengambil sebagai semboyan nasionalnya Bhinneka
Tunggal Eka atau Kesatuan dalam Perbedaan. Timbul pula kesadaran bahwa dapat timbul
kerawanan nasional kalau tidak ada pendekatan secara tepat. Pihak lain yang tidak mau
melihat bangsa Indonesia maju pasti akan memanfaatkan kerawanan demikian.
Maka untuk menjamin agar kesatuan Indonesia selalu terpelihara, bangsa Indonesia
melahirkan Wawasan Nusantara. Pandangan itu adalah satu konsepsi geopolitik dan
geostrategi yang menyatakan bahwa Kepulauan Nusantara yang meliputi seluruh wilayah
daratan, lautan dan ruang angkasa di atasnya beserta seluruh penduduknya adalah satu
kesatuan politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan-keamanan. Agar bangsa Indonesia
mencapai tujuan perjuangannya, yaitu terwujudnya masyarakat yang maju, adil dan makmur
berdasarkan Pancasila, Wawasan Nusantara harus diaktualisasikan dan tidak tinggal sebagai
semboyan atau potensi belaka.
Untuk memperoleh aktualisasi Wawasan Nusantara ada tiga kendala utama, yaitu :
Satu, Indonesia belum menjalankan manajemen nasional yang memungkinkan
perkembangan seluruh bagian dari Benua Maritim itu. Meskipun pada tahun 1945 para
Pendiri Negara telah mewanti-wanti agar Republik Indonesia sebagai negara kesatuan
memberikan otonomi luas kepada daerah agar dapat berkembang sesuai dengan sifatnya,
namun dalam kenyataan selama 50 tahun merdeka Indonesia menjalankan pemerintahan
sentralisme yang ketat. Akibatnya adalah bahwa pulau Jawa dan lebih-lebih lagi Jakarta
sebagai pusat pemerintahan Indonesia, mengalami kemajuan jauh lebih banyak dan pesat
ketimbang bagian lain Indonesia, khususnya Kawasan Timur Indonesia. Kalau sikap
demikian tidak segera berubah maka tidak mustahil kerawanan nasional seperti yang sudah
disebutkan sebelumnya, dapat menjadi kenyataan yang menyedihkan. Rakyat yang tinggal di
luar Jawa kurang berkembang maju dan merasa tidak puas dengan statusnya. Apalagi melihat
kondisi dunia yang sedang bergulat dalam persaingan ekonomi dan menggunakan segala cara
untuk unggul dan memenangkan persaingan itu.
Dua, meskipun segala perairan yang ada di Benua Maritim Indonesia merupakan
bagian tak terpisahkan dari kehidupan bangsa Indonesia, namun dalam kenyataan mayoritas
bangsa Indonesia lebih berorientasi kepada daratan saja dan kurang dekat kepada lautan. Itu
dapat dilihat pada rakyat di pulau Jawa yang merupakan lebih dari 70 persen penduduk
Indonesia. Tidak ada titik di pulau Jawa yang melebihi 100 kilometer dari lautan. Dalam
zaman dulu sampai masa kerajaan Majapahit dan Demak mayoritas rakyat Jawa adalah
pelaut. Akan tetapi sejak sirnanya kerajaan Majapahit dan Demak rakyat Jawa telah menjadi
manusia daratan belaka yang mengabaikan lautan yang ada di sekitar pulaunya. Titik berat
kehidupan adalah sebagai petani tanpa ada perimbangan sebagai pelaut. Juga dalam
konsumsi makanannya ikan dan hasil laut lainnya tidak mempunyai peran penting.
Gambaran rakyat Jawa itu juga terlihat pada keseluruhan rakyat Indonesia, yaitu orientasi ke
daratan jauh lebih besar ketimbang ke lautan. Untung sekali masih ada perkecualian, yaitu
rakyat Bugis, Buton dan Madura dan beberapa yang lain, yang dapat memberikan perhatian
sama besar kepada daratan dan lautan. Menghasilkan tidak saja petani tetapi juga pelaut yang
tangguh. Gambaran keadaan umum rakyat Indonesia amat bertentangan dengan kenyataan
bahwa luas daratan nasional adalah sekitar 1,9 juta kilometer persegi, sedangkan wilayah
perairan adalah sekitar 3 juta kilometer persegi. Apalagi kalau ditambah dengan zone
ekonomi eksklusif yang masuk wewenang Indonesia. Selama pandangan mayoritas rakyat
Indonesia terhadap lautan belum berubah, bagian amat besar dari potensi nasional tidak
terjamah dan karena itu kurang sekali berperan untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa.
Malahan yang lebih banyak memanfaatkan adalah bangsa lain yang memasuki wilayah
lautan Indonesia untuk mengambil kekayaannya.
Tiga, kurangnya pemanfaatan ruang angkasa di atas wilayah Nusantara untuk
kepentingan nasional, khususnya pemantapan kebudayaan nasional. Mayoritas rakyat
Indonesia belum cukup menyadari perubahan besar yang terjadi dalam umat manusia sebagai
akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan besar itu terutama
menyangkut teknologi angkutan dan komunikasi. Khususnya komunikasi elektronika
sekarang memungkinkan manusia berhubungan dengan cepat dan tepat melalui telpon,
televisi, komputer yang menghasilkan E-Mail dan Internet. Letak kepulauan Nusantara
sepanjang khatulistiwa amat menguntungkan untuk penempatan satelit yang memungkinkan
komunikasi yang makin canggih dengan memanfaatkan ruang angkasa yang terbentang di
atas wilayah Nusantara.. Ini sangat penting untuk pembangunan dan pemantapan kebudayaan
nasional, khususnya melalui televisi. Namun untuk itu diperlukan biaya yang memadai.
Jelas sekali bahwa masa depan Benua Maritim Indonesia berada pada sikap dan
tindakan rakyat Indonesia sendiri, baik yang duduk dalam pemerintahan, dalam dunia
akademis dan ilmu pengetahuan maupun dalam dunia swasta untuk mengadakan perubahan
terhadap dua kendala ini. Selama pemerintahan yang dilakukan kurang mewujudkan
desentralisasi dan otonomi daerah yang memungkinkan setiap daerah berkembang maju dan
rakyat pada umumnya belum dapat diubah pandangannya terhadap kelautan, maka Benua
Maritim Indonesia hanya akan menunjukkan kemajuan yang terbatas dan tidak sesuai dengan
potensinya. Juga aktualisasi Wawasan Nusantara sangat dipengaruhi kemampuan kita
memanfaatkan komunikasi dan angkutan secara lebih luas untuk mengembangkan budaya
nasional Indonesia atau budaya Nusantara.
Kesatuan sistem politik nampaknya terjamin melalui sentralisme, tetapi dalam
kenyataan menimbulkan kerawanan yang berbahaya sebagaimana telah dibuktikan dalam
pemberontakan PRRI/Permesta.
Kesatuan sistem ekonomi jelas kurang terjamin oleh karena terjadi kesenjangan
yang lebar antara golongan kecil yang menguasai sekitar 70 persen produksi nasional dengan
mayoritas rakyat yang masih miskin, diperberat lagi oleh kesenjangan kemajuan ekonomi
antara Jawa dan luar Jawa.
Kesatuan dalam sosial budaya juga belum terwujud dengan memuaskan, meskipun
UUD 1945 telah menyatakan bahwa kebudayaan nasional Indonesia adalah buah usaha
budidaya rakyat Indonesia seluruhnya. Puncak-puncak kebudayaan daerah merupakan bagian
kebudayaan Indonesia. Dan perlu ada pengambilan dari kebudayaan asing yang dapat
memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan Indonesia. Dalam kenyataan masih
belum cukup berkembang kebudayaan nasional Indonesia.
Kesatuan dalam pertahanan-keamanan secara relatif lebih terwujud ketimbang
faktor lainnya, hal mana dibuktikan oleh keberhasilan bangsa Indonesia mengatasi semua
persoalan hankamnya sejak tahun 1945 hingga sekarang. Akan tetapi dilihat dari kondisi
geografi Indonesia belum pula ada pertahanan-keamanan yang sesuai dengan tuntutan Benua
Maritim Indonesia. Titik berat hankam masih pada daratan belaka dan itupun baru pada
aspek territorial. Kemampuan di lautan dan di udara masih sangat terbatas. Itu berakibat
kurang baik, ketika ABRI kurang mampu mencegah masuknya pihak asing yang mengambil
kekayaan laut Indonesia secara tidak sah. Memang membangun kekuatan hankam yang
seimbang untuk daratan, lautan dan udara tidak murah. Sebab itu perlu lebih dulu ada
kemajuan besar dalam pembangunan ekonomi nasional. Itu tidak mungkin tercapai secara
optimal kalau kendala di atas masih belum dapat diatasi.
Melihat kondisi dan sifat rakyat Indonesia masa kini nampaknya usaha untuk
mengatasi kendala itu harus terutama bersumber pada pemerintah dan dunia swasta.
Pemerintah harus mengambil langkah-langkah yang memungkinkan terwujudnya
desentralisasi dan otonomi daerah secara sukses. Pemerintah pula harus menjalankan
berbagai usaha untuk menarik lebih banyak perhatian rakyat kepada lautan dan perairan pada
umumnya. Kalau pemerintah dapat merekayasa sehingga sebagai permulaan sekitar 5 persen
penduduk Indonesia berusaha di laut atau dalam pekerjaan yang bersangkutan dengan usaha
laut, pasti keadaan kesejahteraan Indonesia akan berubah. Lambat laun lebih banyak lagi
rakyat yang tertarik ke faktor lautan. Selain itu Pemerintah perlu menyelenggarakan siaran
radio dan televisi yang menunjang perkembangan budaya nasional Indonesia. Dan
mendorong pihak swasta untuk melakukan hal serupa melalui radio dan televisi swasta. Di
samping itu pemerintah harus memperhatikan penyelenggaraan pendidikan umum yang
bermutu, terutama di luar Jawa, agar semuanya dapat menjalankan desentralisasi dengan
efektif dan bermanfaat. Pendidikan itu juga membuka pandangan rakyat terhadap faktor
perairan Indonesia yang demikian luasnya.
Pemerintah juga harus mendorong dan memberikan peluang timbulnya usaha
swasta yang bersangkutan dengan laut. Mengingat kondisi Kawasan Indonesia Timur, maka
perlu diberikan prioritas kepada perkembangan itu di wilayah tersebut. Apalagi di wilayah
tersebut luas laut dan kekayaan yang terkandung di dalamnya cukup besar.
Usaha di perairan, khususnya di lautan, beraneka ragam bentuknya. Banyak negara
di dunia telah menjadi kaya dan maju karena faktor kelautan. Malahan semua imperium yang
pernah menguasai dunia mendasarkan kekuasaannya atas kekuatannya di laut. Itu dimulai
oleh Spanyol yang pada abad ke 17 dapat mengatakan bahwa di wilayah kekuasaannya
matahari tidak pernah terbenam. Kemudian digantikan oleh Inggeris yang bahkan
mempunyai semboyan : Rule Brittania, Rule the Waves ! Setelah Inggeris mundur pada
tahun 1940-an, maka digantikan oleh AS yang juga merupakan kekuatan maritim besar.
Usaha di lautan menjadikan bangsa-bangsa itu pedagang besar yang memiliki armada
angkutan yang besar pula. Demikian pula armada perikanan mereka besar dan turut
menambah kekayaan bansganya. Malahan bangsa yang sebenarnya di daratan tidak terlalu
besar artinya, seperti Belanda dan Norwegia, telah menjadi kaya dan cukup berkuasa karena
mempunyai usaha yang luas di laut.
Adalah aneh sekali bahwa perairan berupa sungai besar, selat dan lautan yang luas
dan penuh kekayaan tidak kita manfaatkan dengan baik. Selain menghasilkan makanan
berupa ikan dan hasil laut lainnya, perairan kita sangat berguna sebagai sarana untuk
angkutan dan gerakan. Hingga kini kita lebih memperhatikan jalan di darat yang tidak murah
pembuatan dan pemeliharaannya. Sedangkan perairan sebagai jalan tidak perlu dibuat dan
pemeliharaannya relatif sedikit. Banyak bangsa lain sudah memberikan contoh tentang
pemakaian perairan sebagai sarana angkutan dan gerakan. Juga lautan kita banyak
mengandung bahan tambang yang sekarang baru kita manfaatkan dalam aspek minyak dan
gas bumi saja. Dengan teknologi yang maju kita nanti juga dapat memperoleh energi dari
laut, apalagi kalau teknologi nuklir sudah mencapai tingkat kemajuan besar dalam teknologi
zat air. Yang tidak kalah pentingnya adalah peran kelautan untuk parawisata, terutama di
Kawasan Timur Indonesia. Diperlukan usaha swasta yang jauh lebih aktif untuk
memanfaatkan perairan Indonesia, termasuk swasta di daerah.
Pemerintah dan swasta harus memberikan perhatian kepada penelitian terhadap
berbagai kemungkinan yang dapat diolah dari wilayah Indonesia yang luas, baik daratan
maupun perairannya. Apabila kita kurang giat menjalankan itu, kita jangan heran kalau justru
bangsa lain lebih banyak mengetahui tentang kondisi wilayah kita. Dan atas dasar
pengetahuan itu mengambil kekayaan kita.
Mengenai pemanfaatan ruang angkasa kita untuk kepentingan nasional juga amat
penting. Sebab kalau tidak kita sendiri yang memanfaatkan, pasti digunakan pihak lain.
Sekarang saja kita sudah mengalami kesulitan besar karena masuknya siaran televisi asing ke
setiap rumah tangga melalui pemakaian parabola. Pengaruh dari masuknya budaya asing
memang tidak perlu negatif asalkan kita pandai menyaring mana yang bermanfaat bagi kita.
Namun kita juga harus sadar bahwa dalam dunia yang penuh persaingan dewasa ini setiap
pihak berusaha mempengaruhi bangsa lain. Dengan demikian boleh dikatakan bahwa
benteng pertahanan bangsa ada dalam tiap-tiap individu warga negara. Sebab itu kita harus
membantu setiap warga negara dengan menyajikan siaran televisi yang mampu bersaing
dengan siaran televisi asing. Dengan begitu kewajibannya untuk menyaring pengaruh dari
luar akan jauh lebih ringan. Sebab tak mungkin kita memblokir siaran televisi asing, karena
teknologi dapat mengatasi setiap hambatan yang artifisial itu. Jalan paling utama adalah
penyajian siaran televisi sendiri yang banyak dan tidak kalah menarik serta bermutu. Dalam
hal ini peran swasta amat besar dengan makin banyaknya televisi dan radio swasta.
Pemanfaatan ruang angkasa untuk komunikasi juga menjadi kepentingan hankam. Sekarang
teknologi elektronika sangat besar perannya terhadap pelaksanaan hankam. Tidak saja untuk
kepentingan penyebaran informasi, tetapi juga untuk langsung menjadi sarana pengantar
(guidance system) sistem senjata. Memang hal itu mengharuskan kita mendalami ilmu
pengetahuan dan teknologi dengan lebih intensif.
Apabila hal-hal di atas dapat kita laksanakan maka aktualisasi Wawasan Nusantara
sungguh-sungguh berjalan. Terbentuknya kesatuan politik, kesatuan ekonomi, kesatuan
sosial-budaya dan kesatuan pertahanan-keamanan menjadi kenyataan. Maka boleh dikatakan
bahwa terwujudnya Benua Maritim Indonesia yang kokoh kuat, maju dan sejahtera serta
aman sentosa sangat tergantung pada perkembangan pikiran dan perasaan rakyat Indonesia.
Sebagaimana pada permulaan terwujudnya sikap kebangsaan adalah hasil perjuangan
pemuda Indonesia, maka hendaknya juga dalam membentuk kesadaran akan makna Benua
Maritim Indonesia bagi masa depan bangsa pemuda Indonesia memegang peran utama.
Namun kalau dulu pemuda Indonesia bangkit sendiri, sekarang di samping kebangkitan
pemuda atas prakarsa sendiri, sebaiknya diadakan pendidikan dan pembinaan pemuda
Indonesia menuju ke kondisi yang paling baik buat bangsa Indonesia. Sebab makin banyak
terjadi pengaruh terhadap pemuda Indonesia, seperti meluasnya materialisme, yang menarik
perhatian pemuda ke arah yang berbeda dari kepentingan negara dan bangsa.

5.2 PASANG SURUT IDENTITAS BAHARI

Nasionalisme bukanlah sesuatu yang alamiah dan statis, melainkan dibentuk dan
dinamis. Dalam perjalanan sejarah, nasio-nalisme Indonesia adalah nilai-nilai yang dibentuk
untuk melawan dominasi kolonialisme oleh sekelompok masyarakat yang sebelumnya
memiliki identitas masing-masing yang terpisah. Sebagai sebuah identitas kebangsaan,
Indonesia baru terbentuk pada awal abad ke-20, ketika ada kesepakatan untuk
mendeklarasikan identitas baru yang melampaui identitas berbasis etnis yang sebelumnya
digunakan. Identitas sebagai bangsa Indonesia ini kemudian mencapai puncaknya ketika
Indonesia diproklamasikan sebagai negara yang merdeka. Kahin (1952) menggunakan
beragam perspektif untuk menjelaskan bangkitnya nasionalisme Indonesia, antara lain
ekonomi politik runtuhnya (kekuasaan) kolonial; perubahan-perubahan sosio-psikologis dan
distorsi hubungan sosial yang ditimbulkan oleh kolonialisme; tumbuhnya kesadaran politik
nasional akibat kebijakan pendidikan kolonial Belanda yang ditujukan kepada golongan
penduduk pribumi tertentu Hindia Belanda. Akan tetapi, dalam mencari asal usul
nasionalisme Indonesia, Kahin juga mengajukan adanya faktor lain dari timbulnya
nasionalisme tersebut, yakni batas-batas teritorial Hindia Timur Belanda yang secara kasar
bersesuaian dengan teritori dua kerajaan besar Indonesia dari abad ke-9 dan ke-15, yakni
Sriwijaya dan Majapahit (dalam Philpott, 2001).

Asumsi Kahin tersebut memberikan nilai penting pada aspek ruang dalam
perkembangan kesadaran nasional Indonesia. Sriwijaya dan Majapahit muncul sebagai hasil
penaklukan oleh para penduduk Jawa, sementara Hindia Belanda muncul sebagai hasil
penaklukan Jawa dan bagian-bagian Indonesia lainnya oleh Belanda (Philpott, 2001).
Perbedaan ini menunjukkan bahwa penentu identitas kebangsaan bukanlah pengaturan
persoalan sosial, melainkan ruang atau wilayah yang menjadi batas-batas Hindia Belanda,
Sriwijaya, dan Majapahit. Deskripsi tentang Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit yang
kemudian seringkali dipakai untuk membangun kebanggaan sebagai pewaris dari kejayaan
kerajaan-kerajaan tersebut lebih merupakan upaya untuk menunjukkan bahwa negara
Indonesia memiliki hubungan yang linier dan kontinyu dengan masyarakat-masyarakat sebe-
lumnya dan bangsa Indonesiaadalah identitas yang inheren dalam sejarah, yang dibawa ke
permukaan oleh kemunculan sebuah negara baru (Kahin dalam Philpott, 2001).

Merujuk pada pendapat Kahin di atas, dimensi ruang memang berperan penting dalam
pembentukan identitas kebangsaan tapi ternyata kejayaan Sriwijaya dan Majapahit tidak
serta merta membentuk identitas bangsa Indonesia sebagai bangsa bahari. Keterputusan ini
diaki-batkan oleh pertarungan ekonomi politik antara Timur dan Barat yang berlangsung
dalam abad ke-15 sampai ke-17 di wilayah laut Asia Tenggara (Reid, 2004). Posisi strategis
wilayah laut di Asia Tenggara membuat interaksi Timur dan Barat berlangsung sangat
dinamis di kawasan ini. Kenneth R. Hall (1985) bahkan menyatakan bahwa sudah terbentuk
pusat-pusat kekuasaan dalam bentuk negara-negara dengan dua karakteristik utama di
wilayah ini, yakni negara-negara persungaian atau pesisir, seperti Kepulauan Indonesia,
Semenanjung Malaya, dan Filipina serta negara-negara persawahan di dataran rendah di
daratan Asia Tenggara, seperti Burma, Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam, dan Jawa.
Kegagalan Asia Tenggara menghadapi hegemoni kapitalisme dalam abad ke-9 menyebabkan
pusat-pusat kekuasaan ini berubah posisi dari pusat menjadi pinggiran (Zuhdi, 2014).
Wilayah Asia Tenggara menjadi penyedia sumber daya bagi negara-negara kolonial,
sementara kemakmuran lebih banyak dinikmati oleh negara-negara kolonial itu.
Keberlanjutan jaringan pelayaran di Asia Teng-gara juga mengalami keterputusan, sehingga
dunia bahari yang identik dengan dunia Melayu pun perlahan memudar.

Pada abad ke-19, laut menjadi wilayah persaingan antara kapitalisme Belanda dan
Inggris, yang berakibat pada permasalahan batas-batas wilayah kolonial keduanya.
Pemerintah Kolonial Belanda lebih khawatir tentang daerah perbatasannya dibandingkan
Inggris karena kebijakan perdagangan Belanda yang cenderung monopolistik dan juga
karena Belanda meng-hadapi perlawanan dari kaum pribumi di sepanjang perbatasan (Zuhdi,
2014). Persaingan ini kemudian melahirkan pembagian wilayah baru yang tegas mengenai
wilayah perbatasan, tidak hanya sebagai wilayah perdagangan tapi juga wilayah budaya.
Penguasaan Belanda dan Inggris atas wilayah Asia Tenggara telah berdampak pada
memudarnya tradisi maritim yang menjadi ciri dari budaya Melayu.

Keruntuhan Majapahit dan munculnya Mataram (abad ke-16 sampai 19) makin mene-
gaskan struktur kekuasaan yang memusat di keraton dan berorientasi ke pedalaman dengan
didukung pertanian agraris (Zuhdi, 2014). Perubahan ini turut menggeser identitas
kebaharian menjadi identitas agraris. Dikotomi ini tidak lagi sekedar menyangkut dimensi
ruang, tapi juga budaya, sosial, dan politik, ter-masuk dalam pola pengelolaan sumber daya
yang semakin mengarah pada pola konsentrik sehingga laut justru menjadi bagian luar dari
wilayah kekuasaan.Sampai awal abad ke-20, peran laut semakin lemah ketika kota dan
industrialisasi perkebunan menjadi potensi eksploitasi yang menjanjikan bagi pemerintah
kolonial. Kota-kota baru tumbuh dengan membelakangi air. Sungai dan laut menjadi tempat
limbah atau pembuangan perkebunan. Permukiman penduduk di bantaran sungai dan tepi
laut identik dengankondisi yang kumuh dan kotor. Masa kolonial merupakan mimpi buruk
bagi maritim nusantara dan proses ter-sebut dilanjutkan setelah kemerdekaan, dengan strategi
pembangunan yang justru makin meminggirkan potensi kelautan.

Dalam konsepsi nasionalisme sebagai konstruksi sosial, ada persoalan besar untuk
membentuk nasionalisme dari identitas maritim karena keterputusan identitas tersebut.
Meskipun demikian, ingatan tentang kejayaan kerajaan-kerajaan maritim masih tetap
menghidupkan mimpi untuk mengembalikan identitas tersebut. Deklarasi Juanda pada 13
Desember 1957 yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara kepulauan yang
terintegrasi menjadi salahsatu tonggak penting yang menunjukkan bahwa wacana negara
maritim tidak pernah padam.

5.3 Reimajinasi Indonesia Sebagai Negara Maritim

Wacana negara maritim yang kembali muncul di masa reformasi merupakan reaksi
terhadap pelanggaran kedaulatan yang terjadi di wilayah laut Indonesia. Kasus-kasus
penang-kapan ikan secara ilegal, sengketa pulau-pulau terdepan, dan konflik perbatasan
dengan negara tetangga menjadi pemicu kebangkitan nasio-nalisme demi mempertahankan
harga diri bangsa dan negara. Di sisi lain, masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir dan
perbatasan laut juga menghadapi persoalan kemiskinan. Semua permasalahan ini sangat
berbeda dengan ingatan kolektif tentang kejayaan laut dan budaya bahari yang pernah
menjadi pusat kebudayaan di masa lampau.

Keterputusan identitas bahari menyebab-kan laut dan pulau-pulau kecil dimarginalkan,


antara lain tampak dari penyebutan pulau terluar yang mengandung makna seolah-olah
pulau-pulau tersebut berada di luar wilayah Indonesia. Pandangan ini bertentangan dengan
prinsip laut sebagai sistem yang mengintegrasikan pulau-pulau. Tidak dapat dipungkiri
bahwa secara geografis, ada kesulitan untuk dapat menjangkau semua pulau yang ada di
wilayah terdepan dari batas teritorial Indonesia, tapi ketiadaan sarana transportasi yang
menghubungkannya menjadi indikasi bagaimana persoalan ini ditangani. Alih-alih menjadi
penghubung, laut kemudian menjadi pemisah dan penghambat kesejahteraan.
Kondisi laut di masa sekarang sangat berbeda dengan pada masa kejayaan kerajaan-
kerajaan maritim di nusantara. Karena itu, bangkitnya kembali wacana negara maritim
menjadi hal menarik karena kemunculannya didasari oleh penyebab yang berbeda dengan
identitas di masa lampau. Jika di masa lampau identitas negara maritim muncul karena
kejayaan di laut, seperti terungkap dalam semboyan Jalesveva Jayamahe, sekarang wacana
negara maritim bangkit justru karena keterpurukan. Di masa lampau, identitas kejayaan ini
menjadi simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme, sebaliknya di masa
sekarang, kemiskinan dan keterpurukan menjadi simbol perlawanan terhadap kemiskinan.

Reimajinasi negara maritim Indonesia di masa kini dibangun di atas semangat per-
lawanan terhadap mode pengaturan lama yang memarginalkan laut. Pada ranah global,
terjadi pergeseran konteks kekuasaan dalam hal hubungan perdagangan antarnegara yang
kembali menempatkan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik sebagai dua jalur pelayaran
penting. Negara-negara kawasan Asia tumbuh sangat cepat, sementara perekonomian negara-
negara Eropa dan Amerika Serikat sedang mengalami kejenuhan. Situasi ini mampu semakin
menggeser arus perdagangan dari dan menuju Asia, yang sebagian besar melalui wilayah laut
di Indonesia. Seiring potensi peningkatan volume perdagangan yang pesat dengan
diberlakukannya pasar bebas dan potensi semakin meningkatnya produktivitas perekonomian
Cina, maka hal ini menjadi sebagai sebuah tantangan pengembangan wilayah laut Indonesia
sebagai Poros Maritim Dunia.

Dalam Focus Group Discussion APEC yang diselenggarakan April 2013, konektivitas
maritim menjadi agenda penting yang dibahas. Demikian pula ASEAN telah
mengembangkan rencana sistem transportasi laut untuk meng-hubungkan rute-rute pelayaran
di perairan Asia Tenggara sebagai bagian dari rencana induk ASEAN Connectivity. Tidak
hanya terkait dengan kepentingan ekonomi, isu keamanan juga menjadi hal penting yang
turut menguatkan kembalinya wacana negara maritim. Apalagi jika dikaitkan dengan
perubahan global yang kembali memandang penting jalur perdagangan melalui wilayah
perairan, maka isu keamanan menjadi penting bagi Indonesia untuk mempertahankan
kedaulatannya di laut. Meningkatnya aktivitas militer di perairan Samudera Hindia dan
Samu-dera Pasifik serta konflik di Laut Cina Selatan terkait dengan klaim Cina atas
Kepulauan Natuna menjadi isu-isu penting bagi keamanan maritim Indonesia. Tidak hanya
menegaskan tentang lemahnya infrastruktur pertahanan maritim Indonesia, isu-isu tersebut
juga mem-bangkitkan kesadaran bahwa ada anomali dalam kebijakan pertahanan Indonesia
yang selama ini terlampau berorientasi pada daratan, padahal bentukwilayah Indonesia
adalah negara kepulauan.

Perubahan yang terjadi di ranah global ini memberi peluang bagi reimajinasi nasio-
nalisme maritim, yang dikonstruksi dari kepentingan ekonomi dan keamanan untuk melawan
kemiskinan dan marginalisasi laut. Imajinasi yang muncul dari kesadaran bahwa Indonesia
memerlukan armada yang kuat untuk melawan ancaman-ancaman eksternal dan
mengamankan wilayah pesisir, pulau-pulau, kawasan strategis, pusat-pusat perdagangan
antarpulau, dan Zona Ekonomi Eksklusif yang merupakan aset Indonesia. Mempertahankan
aset-aset ini tidak bisa sekedar dengan pendekatan keamanan, tapi juga dengan
menghadirkan negara di sana. Nasionalisme, dengan begitu, dibuktikan melalui kehadiran
negara untuk menjamin keamanan wilayah perairan sekaligus men-sejahterakan warga
masyarakat yang ada di sana.

5.4 Gagasan Poros Maritim Dunia : Memadukan Kesejahteraan Dan Keamanan


Salah satu kebijakan negara maritim yang dirumuskan pemerintahan Jokowi adalah
men-jadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia yang menghubungkan jalur transportasi
antarpulau dan meningkatkan daya dukung dari pelabuhan-pelabuhan yang ada di wilayah-
wilayah pesisir Indonesia. Gagasan poros maritim dunia ingin menjadikan Indonesia sebagai
kekuatan maritim yang diperhitungkan di antara dua benua (Asia dan Australia) serta antara
dua samudra (Hindia dan Pasifik). Samudra Hindia akan berada pada posisi geostrategis
yang penting, sehingga harus dijamin agar tidak menjadi arena pertarungan di antara negara-
negara di sekitarnya. Indonesia memiliki wilayah perbatasan maritim sepanjang hampir 1300
km di Samudra Hindia, berbatasan dengan Australia, India, Malaysia, dan Thailand. Selain
itu, Indonesia juga memiliki Zone Ekonomi Eksklusif sejauh 1,5 juta km2 di bagian timur
Samudra Hindia. Dengan kondisi ini, Samudra Hindia telah menjadi kawasan yang penting
bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia, sekaligus juga menjadi sumber kerentanan dalam hal
keamanan bagi Indonesia. Tapi, di sisi lain juga berpeluang untuk mengembangkan
kerjasama regional yang saling menguntungkan.

Gagasan poros maritim dunia merupakan respon Indonesia terhadap perubahan


ekonomi dan konstelasi kekuasaan yang terjadi di ranah global. Pergeseran pusat
perekonomian dunia ke kawasan Asia Pasifik yang mayoritas negara-negara di dalamnya
adalah negara kepu-lauan, telah menghasilkan peta pertarungan kepentingan baru di antara
negara-negara di kawasan tersebut. Pertarungan ini bukan lagi terjadi di daratan (continent),
tetapi berpindah ke persaingan dalam penguasaan laut atau samudera. Fenomena sengketa
maritim di Laut China Selatan merupakan bukti dari pertarungan kepentingan tersebut.

Di sisi lain, hadirnya kepentingan-kepen-tingan negara besar di kawasan Asia Pasifik


juga mencerminkan pertarungan ideologis untuk memperebutkan sumber daya alam di
negara-negara sekitar kawasan Asia Pasifik, termasuk Indonesia. Secara eksplisit berarti
pertarungan ideologis antara kekuatan neo-liberal AS, dengan Kapitalisme Cina dan Rusia
dalam berebut pengaruh untuk menguasai sumber daya alam. Dengan demikian konflik Laut
China Selatan juga menjadi cerminan per-tarungan kepentingan antara Cina dan AS yang
berpeluang melebar ke kawasan dan negara-negara sekitarnya. Dinamika politik dan
ekonomi inter-nasional di kawasan Asia Pasifik ini merupakan momentum yang jika
dimanfaatkan dengan cermat dan tepat dapat memberikan peluang yang baik bagi Indonesia.
Berbasis pada potensi dan tantangan yang dimiliki Indonesia sebagai konsekuensi dari
perubahan yang terjadi di ranah global, kebijakan pembangunan diarahkan menuju
pengembangan perekonomian maritim yang terintegrasi dengan pembangunan wilayah darat.
Melalui integrasi ini, pembangunan maritim pada akhirnya akan membantu pening-katan
efisiensi dan efektivitas pada aktivitas perekonomian yang berkembang di wilayah darat.

Melalui gagasan poros maritim dunia, imajinasi baru Indonesia sebagai negara mari-
tim ini dipadukan juga dengan kepentingan ekonomi, memunculkan konstruksi makna baru
tentang nasionalisme sebagai jatidiri bangsa yang dikaitkan dengan kesejahteraan. Sebagai
negara yang terdiri atas 17 ribu pulau, bangsa Indonesia harus menyadari bahwa identitas,
kemakmuran, dan masa depannya sangat ditentu-kan oleh pengelolaan sumber daya kelautan
yang dimilikinya. Hal ini dilakukan melalui strategi, yakni membangun kedaulatan pangan
melalui pengembangan industri perikanan, mempri-oritaskan pengembangan infrastruktur
dan konektivitas maritim, dengan membangun jalan tol laut, pelabuhan laut dalam (deep
seaport), logistik, industri perkapalan, dan pariwisata maritim, serta strategi keamanan-
pertahanan yang dilakukan dengan melaksanakan diplomasi maritim untuk menghilangkan
sumber konflik di laut, seperti pencurian ikan, pelanggaran kedau-latan, sengketa wilayah,
perompakan, dan pencemaran laut serta membangun kekuatan pertahanan maritim untuk
menjaga keselamatan pelayaran dan keamanan maritim.

Tujuan utama dari realisasi Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia adalah kesejah-
teraan rakyat melalui pembangunan infrastruktur maritim seperti pelabuhan, menghidupkan
lalu lintas laut sehingga distribusi barang dapat sampai ke pelosok dengan harga yang
seimbang, memperoleh sebesar-besarnya manfaat dari laut tidak hanya bagi nelayan tetapi
juga bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan mempertimbangkan bahwa 90% transaksi
perekonomian dunia terjadi di atas laut, yang mana 40% dari angka tersebut melalui
Indonesia, tapi hanya 40% transportasi laut domestik dilakukan oleh orang Indonesia, dengan
sekitar 5% dari ekspor dilakukan oleh kapal domestik, sedangkan sisanya yaitu 95% oleh
kapal asing (Pratama, 2015). Dengan kondisi seperti ini, menjadikan Indonesia sebagai
negara maritim perlu diimbangi dengan kebijakan-kebijakan pendukung terkait dengan
pengelolaan wilayah laut dan perbatasan Indonesia. Reimajinasi sebagai negara maritim
mengharuskan perubahan cara pandang untuk menjadikan laut sebagai beranda depan,
sehingga kebanggaan sebagai negara maritim tidak lagi didasarkan pada romantisme
kejayaan masa lampau, tapi oleh kesejahteraan yang dinikmati oleh warga negara yang
bermukim di pulau-pulau terdepan dan perbatasan Indonesia.

Nasionalisme adalah konstruksi yang dinamis sebagai respon terhadap tantangan zaman.
Demikian pula dengan bangkitnya identitas negara maritim, sesungguhnya merupakan
konstruksi nasionalisme baru yang memadukan antara mimpi kedaulatan teritorial dan
kesejahteraan. Ketertinggalan pembangunan daerah-daerah di wilayah perairan justru
menjadi pemicu bangkitnya nasionalisme maritim ketika ber-hadapan dengan ancaman
perdagangan bebas dan perebutan penguasaan sumber daya alam di perairan lepas Indonesia.
Perwujudan nasionalisme maritim melalui gagasan poros maritim dunia, di tengah dinamika
kawasan Asia Pasifik saat ini, menjanjikan peluang bagi Indonesia untuk dapat bangkit
sebagai bangsa yang maju, kuat, dan memiliki posisi tawar di kawasan sebagai bangsa
maritim. Di sisi lain, jika pemerintah tidak mewujudkan gagasan ini dengan kebijakan yang
komprehensif, maka momentum ini akan menjadi ancaman karena wilayah laut Indonesia
akan menjadi ajang perebutan penguasaan sumber daya alam oleh negara-negara besar.
Lebih jauh lagi dalam ranah identitas dan ideologis, identitas bangsa Indonesia juga turut
menghadapi tantangan.

Identitas sebagai negara maritim memerlukan perubahan mendasar, yang mencakup


modern-isasi armada laut, alokasi anggaran, peningkatan kapasitas teknis dalam hal
pengelolaan laut, dan seterusnya. Hal ini diperlukan untuk menjamin bahwa kedaulatan
bahari sungguh-sungguh dapat diwujudkan melalui kehadiran negara di wilayah terdepan ini.
Demikian pula, dalam hal perwujudan kesejahteraan, mimpi negara maritim perlu diimbangi
dengan pembangunan infrastruktur lokal dan teknologi yang dapat memaksimalkan potensi
sumber daya yang tersedia, khususnya untuk menarik minat investasi di wilayah perairan
Indonesia. Untuk mewujudkan ini semua, diperlukan dukungan politik dari semua pihak,
sehingga identitas sebagai negara maritim tidak sekedar menjadi wacana tapi mimpi kolektif
bangsa Indonesia.

Sesuai arahan Presiden, sudah saatnya kita kembali ke laut, kembali menjadikan laut
sebagai kekuatan bangsa dan negara Indonesia, sehingga Indonesia dapat menjadi Poros
Maritim Dunia. Tonggak baru pembangunan negara maritim dicanangkan oleh Presiden
Indonesia ke-7. Cuplikan pidato pelantikan Joko Widodo sebagai Presiden RI di MPR pada
tanggal 20 Oktober 2014, merupakan orientasi baru dan tonggak kebangkitan bangsa
Indonesia menjadi negara kepulauan yang segala aktivitasnya haruslah mencirikan
kemaritiman.

Kita harus bekerja dengan sekeras-kerasnya untuk mengembalikan Indonesia sebagai


negara maritim. Samudra, laut, selat dan teluk adalah masa depan peradaban kita. Kita telah
terlalu lama memunggungi laut, memunggungi samudra, memunggungi selat dan teluk. Kini
saatnya kita mengembalikan semuanya sehingga Jalesveva Jayamahe, di Laut justru kita
jaya, sebagai semboyan nenek moyang kita di masa lalu, bisa kembali membahana.
Presiden Joko Widodo.

Landasan dan Modal menjadi Poros Maritim Dunia menjadi pertimbangan dalam salah
satu kajian pertimbangan tulisan ini. Perwujudan Indonesia sebagai Poros Maritim memiliki
landasan kuat dari berbagai segi, baik landasan hukum, tinjauan sejarah, mapupun kekuatan
sosial ekonomi yang dapat dijadikan domain dan peluang baru yang timbul dengan adanya
dinamika geoekonomi dan geopolitik dunia dan kawasan/regional.

Pertama, berdasarkan kerangka hukum yang ada, pengertian negara maritim perlu
mengacu pada Pasal 25 Amandemen ke-2 UUD 1945 sebagai basis, yang menyatakan:
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri
Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hakhaknya ditetapkan dengan undang-
undang Artinya esensi NKRI sebagai negara kepulauan tetap menjadi ciri khas, namun perlu
didukung juga dengan kemampuan kemaritiman yang kuat.

Kedua. Berbagai aspek pembangunan negara kepulauan, sebagaimana diuraikan dalam


misi ke 7 RPJP 2005-2015, merupakan aset kuat untuk disinergikan dan didayagunakan
untuk menjadikan posisi geostrategis Indonesia bisa diolah menjadi kekuatan geoekonomi
dan geopolitik dan sebagai domain menuju Poros Maritim Dunia. Pemilihan domain
sebagai andalan ini penting sekali, mengingat beberapa negara lain yang lebih dahulu
menguasai aspek kemaritiman dunia telah memiliki domain yang dijadikan sebagai
andalan. Domain khusus untuk menjadi poros Maritim Dunia :

1. Inggris (menguasai aspek keuangan dan regulasi)

2. Amerika Serikat (menguasai secara militer hampir seluruh Sea Lines of


Communications/SLOCs)

3. Korea Selatan (raksasa galangan kapal dunia)

4. Denmark (mengontrol 15% kapasitas kapal kontainer global melalui Maersk Group)

5. Singapura dengan Port of Singapore Authority (sebagai operator pelabuhan terbesar


dunia).

Ketiga, apabila aset yang berpotensi menjadi domain tidak mampu kita manfaatkan
secara baik, maka akan timbul beban (liability) yang harus kita tanggung ke depan, yang
berupa: (i) Aset sumberdaya kelautan akan dieksploitasi bangsa lain; (ii) Posisi geografis
akan dimanfaatkan negara lain menjadi hub; (iii) Indonesia akan menjadi negara penonton,
penjaga lalu lintas ALKI tanpa mendapat manfaat; malahan bisa mendapatkan polusi yang
ditimbulkan dari berbagai kegiatan tersebut.
Keempat, Dari sejarah masa kerajaan nusantara dan masa kolonial, nampak bahwa untuk
menjadi Poros Maritim bukan hanya berperan secara pasif memanfaatkan posisi geografis,
namun bagaimana mampu penggunaan seluruh kekuatan bangsa dan negara Indonesia untuk
(i) berkontribusi dalam peradaban maritim dunia; (ii) berperan dalam global supply chain
system (memiliki pangsa /share yang cukup dominan, menjadi hub dalam suatu rantai; dan
(iii) berperan dalam jaringan dan diplomasi dunia di bidang kelautan dan kemaritiman.

Kelima, Berkembangnya Geo-Ekonomi dan Geopolitik Dunia. Pusat ekonomi dunia ke


depan diperkirakan akan bergeser terutama dari kawasan Eropa-Amerika ke kawasan Asia
Pasifik. Kontribusi Pendapatan Domestik Bruto (PDB) negara berkembang terhadap PDB
Dunia pada tahun 2019 diperkirakan akan mencapai 43,8 persen; dimana pada tahun 2010
hanya sebesar 34,1 persen. Akibatnya, aliran modal asing ke negara berkembang
diperkirakan akan terus meningkat, terutama ke negara berkembang di kawasan Asia dan
Amerika Latin.

Sumber pertumbuhan akan bertumpu di negara berkembang, sehingga aliran


perdagangan di kawasan ini akan meningkat; tidak saja perdagangan barang namun juga
perdagangan jasa, seperti: jasa logistik dan distribusi, jasa transportasi, jasa keuangan, dan
lain-lain. Selain itu, berkembangnya regionalisasi perdagangan di dunia, seperti adanya
Regional Comprehensive Economic Partnership dan Trans-Pacific Partnership dapat menjadi
peluang baru, apabila Indonesia memperkuat diri dan meningkatkan peran sebagai negara
yang berada di titik persimpangan dua samudera dan dua benua dan menjadi poros di tengah-
tengah perputaran/dinamika dunia.

Aspek penting untuk dibangun agar dapat mewujudkan Poros Maritim Dunia. Berbagai
aspek yang merupakan unsur-unsur pembangunan kelautan dan kemaritiman dapat
dikelompokkan menjadi dua bagian besar. Kelompok pertama adalah aspek ekonomi
kelautan dan kemaritiman yang menjadi aset andalan pengembangan dan pembangunan
Poros Maritim; Kelompok kedua, adalah aspek-aspek yang merupakan komponen tata
kelola, yang akan menentukan bagaimana aspek pertama tersebut dapat dikelola dan
dikembangkan arahnya untuk mewujudkan Poros Martim Dunia. Kedua kelompok aspek
tersebut, secara integratif penting untuk dikelola sebagai domain Indonesia untuk menjadi
Poros Maritim Dunia. Berikut sedikit pembahasan mengenai aspek yang dapat dikelola
secara integratif dalam mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia.

Perikanan. Sumberdaya perikanan dan kelautan perlu dikelola agar tetap menjadi
kekayaan alam yang berlimpah di perairan Indonesia. Kekuatan armada perikanan nasional,
baik skala besar-menengah-kecil, perlu diperkuat setelah keberhasilan penanganan illegal
fishing. Perikanan budidaya memiliki potensi besar, terutama budidaya laut dan payau yang
perlu dimanfaatkan secara optimal, dimana kontribusinya akan terus meningkat, sejalan
dengan peningkatan konsumsi ikan di dunia. Selanjutnya, terkait perbaikan pengelolaan
perikanan tangkap, dibutuhkan manajemen WPP yang lebih tapat, karena walaupun sudah
lama ada penetapan 11 WPP, namun belum dimanfaatkan sebagai alat untuk pembangunan
perwilayahan perikanan secara strategis. Dengan semakin tingginya permintaan konsumsi
ikan dunia maupun kebutuhan domestik, maka peningkatan produktifitas dan produksi
perikanan budidaya dan perikanan tangkap menjadi penting.

Migas dan Mineral Laut. Pemanfaatan migas lepas pantai (offshore) dan mineral dasar
laut sebagai sumber energi merupakan potensi baru jasa kelautan yang harus dikembangkan.
Penguasaan bangsa Indonesia atas aset tersebut masih rendah dan belum meratanya akses
energi di seluruh wilayah Indonesia. Eksplorasi dan eksploitasi mineral lepas pantai dan
dasar laut perlu dilakukan secara bertahap. Pengembangan kapasitas dalam negeri dalam
menguasai usaha Migas dan Mineral offshore (laut lepas) perlu ditingkatkan baik dari sisi
penguasaan teknologi, pengembangan SDM kemampuan permodalannya.

Transportasi laut dan industri maritim. Transportasi laut (tol laut) merupakan aspek
penting dalam poros maritim. Selama ini, dengan paradigma pembangunan yang beorientasi
daratan, maka laut diperlakukan sebagai pemisah daratan NKRI. Sebagai akibatnya sistem
transportasi laut banyak ketinggalan dibanding pengembangan transportasi udara apalagi
darat. Pembangunan kemaritiman memberikan mandat bahwa laut menjadi penghubung
pulau-pulau, sehingga transportasi laut merupakan perekat dan unsur terpenting untuk
pembangunan Poros Maritim. Transportasi laut harus mampu menghubungkan antar pulau
secara efektif, sehingga pusat-pusat pertumbuhan baru di luar pulau Jawa akan berkembang,
sehingga mengurangi kesenjangan Jawa-luar Jawa. Pengembangan transportasi laut ini perlu
didukung dengan pembangunan industri maritim yang mencakup pembangunan galangan
kapal dan industri komponen kapal, pembangunan pelabuhan dan industri pelayaran, yang
harus dijalankan secara simultan untuk terwujudnya konektivitas maritime.

Potensi Baru: Wisata Bahari, Biodiversity Laut dan Potensi Intangible lainnya. Pantai
dan pesisir Indonesia yang sangat panjang, banyak mengandung kekayaan biodiversity
pesisir dan laut yang belum dimanfaatkan secara optimal. Kekayaan bidodiversitas laut yang
berada di daerah konervasi laut, sangat potensial untuk wisata bahari. Pengembangan potensi
wisata pulau-pulau kecil dengan terumbu karangnya, sangat bermanfaat untuk kesejahteraan
masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. Kekayaan bidodiversity laut juga berpotensi untuk
menjadi bahan pangan baru, bahan pemelihara kebugaran dan kosmetika, bahan obat, dan
bahan bioteknologi, serta menjadi pendapatan hijau. Potensi laut lain untuk energi
misalnya juga masih perlu terus dieksplorasi sehingga laut benar-benar membawa manfaat
kesejahteraan dan sumber pertumbuhan perekonomian masyarakat dan negara.
Pulau Kecil terluar/terdepan. Indonesia memiliki 92 pulau kecil terluar/terdepan, yang
selain penting untuk pengembangan potensi baru, juga merupakan titik-titik terluar strategis
untuk titik luar pertahanan dan keamanan nasional. Berbagai negara di dunia saling
memperebutkan pulau-pulau kecil yang berlokasi di titik strategis di berbagai samudera.
Untuk itu, pulau kecil terluar di Indonesia perlu dijadikan titik strategis untuk persebaran
kekuatan pertahanan dan keamanan maritim, menegakan kedaulatan negara sekaligus untuk
mendukung dan memperkuat pembangunan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia.

Penataan Ruang Laut. Ruang laut yang terdiri dari permukaan laut, kolom laut dan
dasar laut, membutuhkan pengaturan yang tepat. Pemanfaatan ruang laut ke depan akan
semakin berkembang untuk berbagai kepentingan, diantaranya untuk transportasi
laut/pelayaran, perikanan tangkap, pembangunan sarana prasarana/bangunan laut, peletakan
kabel/pipa laut, dan alat navigasi laut. Pengelolaan tata ruang dan zonasi pesisir diperlukan
untuk sinergitas pembangunan lintas sektor sekaligus mewujudkan pengelolaan yang
mensejahterakan masyarakat di daerah pesisir. Pemanfaatan ruang laut untuk aktifitas dunia
usaha perlu memperhatikan rentang kendali pengelolaan, dengan memperhatikan adanya
desentralisasi pembangunan, dengan tetap mengutamakan dan menjaga kesatuan laut yang
menjadi penyatu dan ciri Negara Kepulauan Indonesia.

Pengaturan Alur Laut Kepulauan. Sebagai negara kepulauan, Indonesia dilintasi 3 alur
ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) yang berfungsi sebagai alur pelayaran laut dunia
untuk transportasi logistik dan perdagangan, yaitu: (1) ALKI I melintasi Laut Cina Selatan-
Selat Karimata-Laut DKI-Selat Sunda; (2) ALKI II melintasi Laut Sulawesi-Selat Makassar-
Luatan Flores-Selat Lombok; dan (3) ALKI III Melintasi Sumadera Pasifik-Selat Maluku,
Laut Seram-Laut Banda. Untuk menuju poros maritim, maka perkembangan ekonomi laut
dan maritim perlu ditingkatkan dan dilaksanakan dengan pemanfaatan ALKI pelayaran
internasional dan menjadikan Indonesia sebagai hub perekonomian dunia. Selain itu, kota-
kota perlintasan ALKI dapat dibangun menjadi kota bandar internasional yang selaras
dengan peran Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia.

Pengawasan Laut. Pengawasan kegiatan pemanfaatan jasa kelautan, termasuk lalu


lintas di laut dilakukan oleh banyak lembaga (Diantaranya Kepolisian, TNI Angkatan Laut,
Kementerian Perikanan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Keuangan/Bea Cukai).
Dalam Bagan 1 memang sudah dibentuk lembaga Bakamla untuk koordinasi berbagai
lembaga yang ada tersebut. Akan tetapi, belum memiliki hubungan yang dominan untuk
menyelesaikan masalah di laut dengan cepat, ketiadaan single authorities selama ini
menimbulkan ekses adanya pemeriksaan oleh bebagai lembaga sehingga memperlambat
kelancaran pelaku usaha dan membuka peluang penyimpangan di laut. Dalam Bagan 1 juga
nampak bahwa masih adanya grey area antara pengawasan militer untuk keperluan
pertahanan keamanan, dengan pengawasan pelayaran sipil. Untuk saat ini, koordinasi
berbagai lembaga nampak mencukupi. Akan tetapi, dengan semakin pentingnya kesatuan
dan keterpaduan upaya pertahanan dan keamanan NKRI untuk mendukung Poros Maritim;
dan akan semakin berkembangnya pelayaran sipil dan komersial di perairan Indonesia, maka
perlu ada pemisahan jelas antara fungsi pengawasan untuk pertahanan keamanan dan
menegakkan kedaulatan NKRI, dengan fungsi pengawasan untuk keamanan pelayaran sipil.

Pertahanan dan Keamanan untuk Kedaulatan NKRI. Perkembangan ekonomi kelautan


dan kemaritiman, perlu didukung dengan sistem pertahanan dan keamanan yang kuat dan
tangguh sehingga dapat menopang pemanfaatan domain yang dibangun menjadi kekuatan
strategis geoekonomi dan geopolitik. Sistem pertahanan dan keamanan integratif darat-
udaralaut perlu dibangun sesuai dengan transformasi paradigma yang berkonsentrasi.
keseimbangan darat-laut-udara yang tepat, perlu dikembangkan baik personil, maupun
peralatan pertahanan keamanan, untuk menjaga kedulatan dan mempertahankan negara pada
saat Indonesia nantinya menjalankan perannya sebagai Poros Maritim Dunia.
Budaya Bahari, SDM dan Iptek Kelautan yang meliputi cara pandang/paradigma dan
budaya yang tercermin pada wujud konkrit seperti perilaku dan kebiasaan/budaya bahari,
penguasaan imu pengetahuan dan teknologi, serta kapasitas sumberdaya manusia. Cara
pandang merupakan unsur terpenting dan perlu diinternalisasikan ke dalam semua aspek
pembangunan kelautan dan kemaritiman. Pemahaman dan aplikasi budaya bahari perlu
ditingkatkan. Hal ini mencakup pemahaman yang mendalam akan peran laut sebagai sumber
kesejahteraan bangsa sekaligus bagaimana peran bangsa dalam memanfaatkan laut, hal ini
disebut dengan ocean literacy, yang mencakup aspek knowhow, know the facts and skill
yang perlu dibangun kembali, karena selama ini pembangunan sudah sangat berorientasi
darat, sehingga kebiasaan masyarakat, kemampuan sumberdaya manusia kelautan dan
kemaritiman juga relatif tertinggal. Untuk itu: (i) Kapasitas sumberdaya manusia di berbagai
bidang di atas perlu dikembangkan secara lengkap dan sinergi; (ii) Generasi muda perlu
diarahkan pandangannya, sehingga dapat menempatkan laut sebagai titik sentral paradigma,
perilaku dan langkah mereka; (iii) Kearifan lokal perlu dihidupkan kembali, terutama yang
mendukung dan menjadi aset budaya maritim Indonesia, yang mungkin sangat berbeda
dengan budaya maritim di negara dan wilayah dunia lainnya. Ilmu pengetahuan dan
teknologi kelautan dan kemaritiman perlu diperkuat dan dikembangkan sejalan dengan
pengembangan aspek-aspek ekonomi dan tata kelola. Pusat keunggulan iptek (center of
excellence) perlu disusun sesuai kondisi kelautan dan kemaritiman dan ditempatkan pada
posisi-posisi geografis yang strategis sesuai kondisi wilayah NKRI. Penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi oleh bangsa Indonesia perlu ditingkatkan agar daya saingnya
dapat digunakan untuk mengembangkan inovasi teknologi kelautan dan kemaritiman
mendukung wujud Indonesia sebagai Poros Maritim. Penguasaan SDM dan Iptek tidak
hanya untuk kepentingan sebatas wilayah geografis negara kepulauan Indonesia, namun juga
ZEE dan bahkan wilayah laut internasional, dimana semua negara memiliki hak kepentingan,
untuk eksistensi di masa depan. Kolaborasi seluruh komponen bangsa untuk menghasilkan
SDM unggul dan iptek yang maju sangat penting dilakukan dan dikelola agar dapat
menghasilkan penguasaan inovasi teknologi yang tangguh dan sejalan dengan kebutuhan
eksplorasi dan eksploitasi kekayaan kelautan dan kamaritiman Indonesia.

Kualitas dan Daya Dukung Lingkungan Laut. Seluruh aspek ekonomi kelautan dan
kemaritiman dan unsur-unsur tata kelola sebagaimana diuraikan di atas, berada dalam satu
wadah laut dan daratan Indonesia sebagai satu kesatuan. Untuk itu kelestarian fungsi pesisir
dan laut akan menjadi penentu pula eksistensi dan keberlanjutan siklus ekosistem laut dan
kemampuannya untuk menopang ekonomi laut-darat yang akan dikembangkan menjadi
domain Indonesia sebagai poros Maritim. Tanpa pemeliharaan kualitas ekosistem di darat,
perairan, pesisir dan laut maka tidak akan ada keberlanjutan ekonomi kelautan dan
kemaritiman sebagai kekuatan menuju Poros Maritim dunia. Pada saat ini, kualitas dan daya
dukung laut masih menjadi prioritas rendah, dan bahkan Indonesia masih memiliki laut yang
memiliki sampah plastik yang tinggi di dunia. Selanjutnya, beberapa lokasi perairan
Indonesia juga memiliki tingkat polusi tinggi, dan pesisir Indonesia mengalami kerusakan
yang disebabkan abrasi yang tinggi karena hilangnya hutan mangrove, namun juga tercemar
sebagai akibat dari masih banyaknya sungai yang menjadi tempat buangan berbagai macam
sampah dan polusi dari industri kecil dan besar di Indonesia.

Transformasi yang perlu dilakukan dengan dasar laut adalah unsur pengikat sehingga
konektivitas laut agar dihidupkan; laut dan air (sungai, danau) adalah aset penting yang harus
dijaga keberlanjutannya, ditempatkan di depan, dimanfaatkan secara seimbang dari aspek
ekonomi dan ekologisnya, sehingga tetap terjaga sampai generasi mendatang; pertahanan dan
keamanan baik darat, laut dan udara perlu bersatu menjaga kepentingan nasional dan
kedaulatan bangsa di wilayah NKRI. Cara memandang nilai laut ini perlu diinternalkan
kesemua aspek pembangunan kelautan dan kemaritiman, agar aspek-aspek penting yang
diuraikan di atas, dapat dibangun menjadi domain pembangunan menuju Poros Maritim
Dunia. Internalisasi paradigma ini berpengaruh pada perlunya transformasi ekonomi,
transformasi tata kelola yang di dalamnya termasuk penguasaan teknologi dan transformasi
kelembagaan yang meliputi lembaga dan pengaturan di bidang hankam, hukum dan politik.
Transformasi sistem pertahanan termasuk pentingnya sistem pertahanan darat-laut-udara
yang dapat mendukung mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim.
Rancang bangun dan pentingnya 3 (tiga) transformasi di atas memerlukan waktu untuk
melaksanakan dan mewujudkannya, sehingga diperlukan dukungan politik tidak hanya
Kepala Negara pada saat ini, namun juga Kepala Negara periode berikutnya. Pembangunan
Poros Maritim adalah visi perjuangan jangka panjang. Dengan demikian, pentahapan yang
jelas menjadi sangat perlu agar setiap tahap pemerintahan dapat melaksanakannya secara
konsisten dan berkesinambungan.

Mengkaji mengenai roadmap pembangunan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia


merupakan salah satu langkah yang dapat menjadi dasar evaluasi. Untuk dapat menyusun
roadmap (peta jalan) diperlukan adanya visi pangka panjang yang kuat, memiliki indikator
yang jelas dan terukur, menguraikan target konkrit yang ingin dicapai pada tahapan tertentu
sebagai milestone (Gambar 4). Tahapan ini akan menjadi koridor untuk memandu dan
menjabarkan ke dalam langkah-langkah konkrit guna mewujudkan target-target tersebut.
Berikut ini beberapa tahap kondisi pada tahun-tahun tertentu yang dikumpulkan dari analisis
berbagai masukan yang diterima dan dipertimbangkan pula masukan dari beberapa kajian
lain (referensi) yang terkait.
Ukuran target pada tahun 2020 adalah PDB dari sektor kelautan dan perikanan dapat
mencapai sebesar 20% dari total PDB. Pada saat ini porsi PDB dari sektor kelautan dan
kemaritiman mencapai sebesar 11,8%1. Dengan pertimbangan bahwa pada tahun 2020
semua 24 pelabuhan umum akan diselesaikan dibangun/diupgrade di penghujung tahun
2019 (RPJMN 2015-2019), sehingga akan terjadi peningkatan angkutan diantara wilayah
Indonesia maupun antar pulau yang meningkat. Peningkatan produktifitas diarahkan terjadi
di Indonesia Bagian Timur, baik karena didorong oleh adanya pelayaran laut yang akan
mendorong pertumbuhan di luar Jawa dan sebaliknya pelayaran dari Timur ke Barat akan
meningkatkan pula pemasaran dan pertumbuhan di luar pulau Jawa.

Perhitungan oleh Tim PKSPL IPB (2013) dengan data kegiatan ekonomi sektor kelautan
dan perikanan yang masih sangat terbatas di BPS, yang meliputi 12 sektor (perikanan
tangkap laut, perikanan budidaya laut dan payau, pertambangan minyak, gas dan panas bumi
di pesisir dan laut atau lepas pantai, bijih timah bijih pasir besi dan garam kasar dari laut,
pengilangan minyak bumi offshore, industri pengolahan hasil perikanan laut dan payau,
industri alat angkut laut dan sungai, bangunan kelautan, angkutan air laut dan sungai, hotel
dan restoran di pesisir, jasa wisata bahari, dan jasa kelautan lainnya).

Ukuran target untuk tahun 2030, selain meningkatnya pelayaran laut yang mendorong
pertumbuhan di seluruh wilayah pulau Jawa, pengembangan ekonomi baru baik dari wisata
bahari maupun ekonomi biodiversity yang semakin bertumbuh, bioteknologi laut yang mulai
berkembang serta industri maritim (industri kapal, jasa pelayaran dan jasa maritim lainnya),
maupun dari pertumbuhan ekonomi daerah yang juga semakin meningkat. Terkait dengan
ini, sudah akan berkembang Kota Bandar Dunia di Indonesia yang memanfaatkan jalur
ALKI. Dengan berkembangnya pelayaran nasional, maka pemisahan pengawasan untuk
pelayaran sipil sudah dipisahkan dari pengawasan untuk pertahanan dan keamanan yang
dilaksanakan oleh TNI ABRI. Dalam kaitan dengan penguasaan teknologi kelautan dan
kemaritiman juga semakin berkembang, khususnya yang mendukung daya saing produk
ekonomi kelautan dan kemaritiman yang semakin produktif dan kompetitif. Sehubungan
dengan itu, untuk memulai penguasaan teknologi anak bangsa terhadap samudra/laut
internasinal, maka kolaborasi riset peneliti nasional perlu dilakukan secara reguler (1
kali/tahun) bekerjasama dengan konsorsium peneliti asing. Tujuan adalah untuk menjajagi
bagaimana Indonesia akan mengembangkan hak kepentingan atas samudera /laut lepas/
internasional. Langkah ini penting, untuk memperluas eksplorasi wilayah laut untuk
kepentingan di masa mendatang. Ekspedisi laut lepas dan eksplorasi sumberdaya mineral di
dasar samudera akan menjadi salah satu pertarungan antar negara-negara besar dalam
kontek pemenuhan untuk kebutuhan industrinya ataupun kebutuhan sumber pangan. Batam
dan Lombok Utara dapat digarap untuk dikembangkan sehingga berfungsi sebagai Kota
Bandar Dunia (perkiraan pada saat ini). Kutub Utara (Arktik) sebagai wilayah internasional
sudah banyak dimiliki terutama oleh Amerika, Kanada, Rusia dan Cina. Negara-negara
tersebut dan Negara Skandinavia sudah memiliki teritori pula di Kutub Selatan dengan
menggunakan hak kepentingan. Indonesia sudah saatnya menjajagi untuk eksplorasi hak ini
pada tahun 2030.

Ukuran target pada tahun 2045, PDB sektor kelautan dan perikanan akan mencapai 35-
40%. Pelayaran nasional sudah semakin efisien yang ditunjukkan oleh biaya logistik dari
Jakarta ke weluruh wilayah Indonesia secara rata-rata sudah menyamai dengan Jakarta-
Singapura. Selain itu, pelayaran nasional sudah 100 persen berasal dari dalam negeri, yang
merupakan penerapan azas cabotage sepenuhnya, yaitu pelayaran nasional dilakukan oleh
bangsa Indonesia, perusahaan pelayaran nasional dan kapal buatan Indonesia. Selain itu,
pada peringatan Kemerdekaan RI ke-100 (Satu Abad Kemerdekaan Indonesia) maka perlu
untuk menunjukkan kemampuan bangsa didalam eksplorasi kawasan-kawasan tertentu yang
penting bagi umat manusia, seperti daerah kutub misalnya. Untuk itu perlu dilakukan
eksplorasi laut lepas/samudra dan ekspedisi kutub selatan (Antartika), untuk keperluan
scientific, lingkungan laut dunia, eksplorasi mineral strategis dan lainnya. Upaya ini
sekaligus implementasi exercise hak kepentingan bangsa Indonesia dan menunjukkan
kesejajaran kemampuan dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

5.5 Perubahan Lingkungan Industri Pelayaran Di Dunia

Kini lingkungan industri pelayaran di dunia telah banyak berubah, telah terjadi
pergeseran paradigma dari marketing product to cultivating customers (Rust et al, 2010),
pasarnya tidak stabil dan persaingan semakin ketat (Tongzon et al, 2009), profit margin
mengalami penurunan, kualitas pelayanan yang lebih baik semakin diharapkan, serta
permintaan semakin tidak menentu (Payanides and Wiedmar, 2011; Robinson, 2005). Karena
industri pelayaran adalah padat modal, volatilitas arus kargo secara global berdampak pada
dinamika pasar dan tingginya resiko (Lorange and Fjeldstad, 2012).

Industri pelayaran yang pasarnya bersifat oligopoli, kini menghadapi masalah yang
menekankan pada aliansi, merger dan ko-operasi melalui konferensi pelayaran agar
kinerjanya meningkat (Gadhia et al, 2011).

Bahwa kinerja perusahaan pelayaran pengawasannya semakin intensif, yang


didorong oleh pemerintah, pelabuhan dan operator kapal, fokusnya pada cara
mempertahankan life-cycle perusahaan. Inisiatif pada keberlanjutan tersebut terkait dengan
pemenuhan standar terhadap lingkungan maritim yang semakin menjadi tuntutan (Pike at al,
2011).
Berdasarkan pengamatan Peteraf and Bergen (2003), bisnis kini menghadapi
heterogenitas di antara pesaing pesaingnya, yang masing masing mereka mempunyai
keunikan tersendiri atas kompetansinya. Penulis tersebut berasumsi bahwa terori
keunggulan sumberdaya sebagai satu teori keunggulan kompetitif, bahkan kompetensi
pesaing pesaing pada sumberdayanya merupakan dasar dari resource based value- RBV
(Barney, 1991; Amit and Schumaker, 1993; Collis and Montgomery, 1997). Menurut
Presiden Asia Marketing Federation (AMF), Kamalgoda, bisnis di Asia kini menghadapi tiga
persaingan yang mengancam, yaitu dari dalam sendiri, dari negara tetangga dan dari
invasi persaingan internasional (Kotler et al, 2008). Demikian juga industri pelayaran juga
menghadapi persaingan ketat seperti itu, bahkan lebih keras lagi mengingat industri
pelayaran adalah padat modal namun beresiko tinggi.

Menurut Shinohara (2011), industri pelayaran syarat dengan kontrol oleh otoritas
mengingat pelayaran adalah kegiatan high risk. Namun tidak berarti bahwa perilaku ekonomi
tidak dapat dikembangkan. Negara Cina misalnya, merupakan contoh yang baik, ia mampu
beradaptasi dengan pelbagai perubahan yang mengikuti proses liberalisasi, dipengaruhi
sekaligus mempengaruhi dinamika di dalamnya. Kemampuan negara dalam mengelola
perubahan dan mentransformasikan dirinya inilah yang menjadi salah satu kunci
keberhasilan industrialisasi Cina (Akbar, 2013).

Angkutan laut di Indoseia jika dilihat dari konstelasi penyedia- pengguna,


nampak bahwa penyedia masih mendominasi perannya. Perilaku monopolistik demikian jauh
dari nilai pemasaran yang berorintasi pada pengguna (kebutuhan dan keinginan konsumen).
Perusahaan yang demikian menurut Levitt (1960), mengalami marketing myopia, yang
di depannya telah mengancam kebangkrutannya. Aktivitas perusahaan pelayaran di dunia
selama ini masih berkutat pada aktivitas produksi- efisiensi atau scale of economic
(Sinohara, 2009), belum melihat bagaimana kegiatan pemasaran merupakan kegiatan yang
harus berjalan bersama kegiatan yang lain (McKenna, 1991).

Trend CakupanTerminologi Pemasaran. Terminologi pemasaran bervariasai dan


selalu berkembang. Terminologi yang sudah sangat tua diawali oleh Drucker (1954),
yang menyatakan bahwa :

marketing is the unique fuction of business it is the whole business seen from
the customers point of view. Concern and responsibility for marketing must permeate all
areas of the enterprice.

Kemudian The American Marketing Association (AMA) mendefinisikan pemasaran


sebagai proses perencanaan dan pelaksanaan konsepsi, penetapan harga, promosi dan
distribusi ide, barang / jasa untuk menciptakan pertukaran yang memuaskan tujuan individu
dan organisasi. Sebagai aktivitas bisnis, pemasaran menyertai arus barang/jasa dari produsen
ke konsumen (Commitee on Terms, 1960).

Masyarakat dan organisasi, baik formal maupun informal membutuhkan aktivitas


pemasaran (Kotler and Keller, 2012), maka industri pelayaran tentu juga butuh pemasaran
yang baik, agar dapat menemukan konsumen secara efektif. Di samping untuk mengorganisir
profit melalui kinerja, kegiatan pemasaran ternyata juga berdampak positif terhadap ekonomi
makro dan manfaat sosial melalui pengalaman konsumen dan negara, hal ini karena agregat
sistem pemasaran terdiri dari banyak pelaku (Deshpande; 1999, Kotler and Levy; 1969).
Kotler and Levy (1969), menggunakan marketing tool, sebagai kontrol perusahaan
yang dapat mempengaruhi penerimaan produk/ jasa yang dihasilkan, yaitu terdiri dari
product improvement, pricing, distribution and communication. Alat pemasaran tersebut
dioperasikan pada tingkat taktis terkait pada keputusan mengenai: product, price,
promotion and distribution/place, ini disebut dengan istilah familier sebagai marketing mix
(Webster Jr;1992, McCarthy and Perreault; 2002). Marketing mix adalah suatu alat
pemasaran yang digunakan perusahaan untuk mencapai tujuan pemasaran dalam target pasar.

Di sisi lain, kegiatan pemasaran juga memerlukan nilai kepuasan terhadap


pelanggannya, sebagaimana ditunjukkan oleh Joshi (2012), bahwa marketing is human
activity to satisfy needs and wants, through an exchange process (Joshi, 2012). Oleh
karenanya konsep pemasaran orientasinya kini adalah kepuasan konsumen atas uang yang
dibelanjakannya, termasuk pembelian jasa. Pandangan baru dalam pemahaman pemasaran
kini semakin terintegrasi ke dalam pendekatan strategi bisnis secara total (McKenna; 1991,
Kotler et al; 2008).

The Services Triangle. Pemasaran jasa sebetulnya adalah tentang janji, janji yang
dibuat oleh produsen kepada konsumen untuk dipenuhi (Bitner; 1995, Zeithaml et al; 2006).
Kerangka kerja strategis pemasarannya dapat dijelaskan dengan the services triangle, (dalam
hal ini pengirim atau penerima barang yang diangkut dengan kapal). Dari ketiga pelaku
pemasaran jasa tersebut ada tipe pemasaran yang harus berhasil dalam menghantarkan
jasa, yaitu internal marketing, external marketing, dan interactive marketing.

Di antara perusahaan pelayaran dengan pegawai perusahaan ada kegiatan internal


marketing yang memungkinkan janji tersebut dapat dihantarkan ke konsumen, artinya
sebelum janji tersebut dihantarkan ke konsumen pegawai perusahaan lebih dahulu yakin
terhadap janji yang ditawarkan perusahaan pelayaran kepada konsumen (dalam kegiatan
external marketing), atau singkatnya pegawai perusahaan berfungsi sebagai perantara.
Oleh karenanya di antara pegawai perusahaan dengan konsumen ada kegiatan interactive
marketing, yaitu komunikasi langsung dengan konsumen. Di sini ada kegiatan penghantaran
janji, maka di sini juga yang akan menentukan apakah janji tersebut akan dipenuhi atau
gagal dipenuhi. Dalam industri pelayaran, janji dipenuhi ketika barang dapat dikapalkan
dengan selamat sampai penerima tanpa adanya tuntutan kerusakan, kehilangan, atau
keterlambatan dengan tarif freight yang telah disepakati. Demikaian akan berlaku sebaliknya
kalau gagal.

Industri Pelayaran yang Berorientasi pada Konsep Pemasaran. Menganut pemikiran


McKenna (1991), bahwa marketing is everything, semua kegiatan bisnis seharusnya
mempunyai orientasi pada konsep pemasaran. Demikian juga industri pelayaran di
Indonesia, walaupun pemangku kepeningan di dalamnya ada unsur pemerintah (regulator),
namun tetap saja memerlukan konsep pemasaran dalam setiap sepak terjangnya. Konsep
pemasaran sendiri telah bergeser dari nilai-nilai lama (konsep produk dan penjualan) ke
konsep kepuasan konsumen yang mempunyai tuntutan lebih tinggi terhadap uang yang
dikeluarkannya.

Fungsi pemasaran dapat diselenggarakan oleh bagian secara terpisah dalam


perusahaan (fungsi pemasaran konvensional), atau dapat dintegrasikan secara melebur yang
ada pada setiap bagian / fungsi dalam perusahaan (Hill and Rifkin, 1999). Sedangkan Kotler
and Keller (2012), mengusulkan holistic marketing untuk menekankan betapa pentingnya
setiap kegiatan harus terintegrasi dengan pemasaran. Buktinya, perusahaan terkenal di
Amerika Serikat-Providian Financial, mengintegrasikan pemasaran ke dalam semua
disiplin daripada memperlakukannya sebagai satu departemen yang berdiri sendiri, lalu
Boston Beer tidak mau mempunyai departemen pemasaran sama sekali selama sepuluh
tahun pertama memasuki bisnis (Hill and Rifkin, 1999). Gagasan para ahli tersebut
membuktikan betapa pentingnya kegiatan institusi keseluruhan yang harus berwawasan
marketing.

Merujuk pada pemkiran Kotler et al (2008), maka industri pelayaran di Indonesia


agar mempunyai sustainable competitive advantege seharusnya penyelenggaraannya
berdasarkan konsep strategi bisnis yang bertujuan memuaskan tiga pemangku kepentingan
utama, yaitu pelanggan, internal organisasi, dan pemilik perusahaan. Model pendekatan ini
disebut diagram roket, sebagaimana gambar di bawah. secara menyeluruh merupakan pilar
utama dalam model tersebut, maka ditempatkan di tengah badan roket, hal ini juga sesuai
dengan pemikiran McKenna (1991).

Pilar keberlanjutan merupakan bagian yang menempati pada sayap kanan, artinya
bagaimana industri pelayaran harus membangun sustainabilitasnya dalam merespon
perubahan lingkungan yang terus terjadi, terkait dengan perubahan politik, teknis, serta
budaya. Perlu diketahui bahwa industri pelayaran sangat terikat ketat oleh regulasi dari
International Maritime Organization (IMO), yang perubahannya sangat cepat. Jika industri
pelayaran Indonesia tidak mampu merespon perubahan ini maka kebangkrutan di depan
mata, yang oleh Levitt (1960), disebut marketing myopia.Ingat, bahwa pionir perusahaan
pelayaran nasional PT. Djakarta Llloyd bubar karena menderita marketing myopia. Oleh
karenanya maka strategi pemasaran kini merupakan roh manajemen perusahaan pelayaran
agar mempunyai kemampuan bersaing berkelanjutan.

Pilar kepentingan perusahaan (enterprise), terdiri atas tiga unsur, yaitu inspirasi,
budaya, dan institusi. Inspirasi adalah tentang mimpi: perusahaan pelayaran harus
mempunyai impian yang menjadi inspirasi, membimbing dan memacu semua oarang yang
ada dalam perusahaan, baik orang yang ada di kantor (darat) maupun orang yang ada di
kapal (awak kapal). Jika unsur ini telah terpatri di dalam setiap personal maka dapat
dikatakan bahwa mereka bekerja mempunyai motivasi positif.

Budaya adalah tentang personaliotas: setiap perusahaan pelayaran harus mempunyai


personalitas kuat, ini memberikan perekat organisasi bersama untuk berkembang,
menganekaragamkan bisnis (di luar jasa pelayaran) atau memperluas pasarnya. Kemudian
institusi adalah tentang aktivitas: perusahaan pelayaran harus mampu mengelola
aktivitasnya secara efektif-efisien, yang mana ini merupakan filosofi kerangkakerja scientific
management (George, 1972).

Pilar utama strategi SME adalah market-ing, yaitu hal-ihwal tentang pasar,
penulisan ini sengaja dibedakan dengan marketing yang umum diketahui bersama. Ini
artinya pasar bisnis pelayaran lebih penting daripada pemasaran itu sendiri, artinya jasa
pelayaran memang ada pasar efektifnya (commercial market), ada pasar kompetensinya, dan
ada pasar kapitalnya (Kotler et al, 2008).

Pilar market-ing terdiri atas tiga sub model, yaitu outlook, architecture,
dan scorecard. Pandangan, adalah tentang analisis bisnis ke depan berdasarkan faktor internal
dan eksternal (Minzberg, 1994), dengan mempertimbangkan perubahan-perubahan:
teknologi kondisi ekonomi, politis, sosial-budaya, serta pergeseran pasar.Jika dikelompokkan
perubahan-perubahan tersebut menyangkut 4 C: change, competitor, customer, company
(Kotler et al, 2008). Ini merupakan gambaran bisnis ke depan yang mencerminkan siapa
yang akan menjadi pesaing, bagaimana konsumen agar bergeser prioritasnya, atau
kemungkinan kesempatan yang akan muncul.

Arsitektur strategi menggambarkan bentuk strategi yang harus dibangun, di mana


harus paralel dengan taktik dan nilai. Strategi merujuk pada segmentation, targeting, dan
positioning (STP) pasar pelayaran. Tentu suatu perusahaan pelayaran tidak dapat membidik
semua pasar pelayaran yang ada. Taktik, merujuk pada diferensiasi freight yang
ditawarkan dengan berbagai fasilitas yang berbeda namun tetap mengedepankan keselamatan
pelayaran, kemudian marketing mix: jenis jasa, tarif angkut, promosi, serta tempat di mana
shipper atau consignee dapat mengaksesnya, dan penjualan yang harus positif. Berikutnya
nilai, merujuk pada merk (citra positif) yang membedakan dengan merk perusahaan
pelayaran lainnya, pelayanan-bagaimana konsumen diperhatikan tidak sebagai mass service,
serta proses penyampaian jasa pelayaran-yang meunjukkan bagaimana standar pelayanan
yang diterapkan dengan mempertimbangkan kemudahan dan terukur. Kalau disarikan,
arsitektur strategi berisi tentang: strategi, yaitu bagaimana memenangkan mindset, taktik,
yaitu bagaimana memenagkan market share, dan nilai-yaitu bagaimana memenangkan hati
(Kotler et al, 2008).

Terakhir, scorecard atau ukuran kinerja, manajemen harus kontinyu


menyeimbangkan tiga pemangku kepentingan utama, yaitu people customer
shareholder (PCS). Tentang kinerja ini, Kaplan dan Norton (1998, 2004), mengusulkan
konsep ukuran kompetitif perusahaan dengan balanced scorecard (BSC), yang diukur
dari : kinerja keuangan, kepuasan konsumen, proses bisnis internal, dan kemampuan inovasi.

Sekali manajemen telah mendisain arsitektur strategi pemasaran tertentu maka


target pemasaran yang harus diperoleh adalah ketiga pemangku kepentingan utama tersebut.
Artinya strategi pemasaran yang telah dibangun harus berdampak pada kinerja (positif)
ketiga pemangku kepentingan utama itu.

Globalisasi telah membawa permasalahan besar di sektor maritim Indonesia,


terutama terhadap keberadaan pelaut-pelaut Indonesia. Menghadapai hal tersebut pelaut
Indonesia terancam akan tersingkir dari kompetisi dengan pelaut-pelaut asing. Hal ini
disebabkan kualitas SDM pelaut Indonesia rendah dalam hal etos kerja, lemahnya
penguasaan bahasa asing, dan kurangnya disiplin kerja. Isu-isu yang dihadapi pelaut
Indonesia di mata masyarakat internasional juga menunjukkan hal-hal yang negatif seperti
adanya Isu Black List, High-Risk Area, dan Penerapan Seafarers Identity Document. Isu-isu
ini telah menyulitkan posisi pelaut Indonesia di kancah perdaganngan internasional.
Pemerintah Indonesia sangat berkepentingan untuk melindungi pelaut Indonesia terkait
dengan peluang ketersediaan lapangan kerja di kapal, sebagai sumber devisa negara,
pekerjaan pelaut yang penuh risiko, dan kebijakan penerapan asas cabotage secara utuh
dalam posisi Indonesia sebagai negara maritim.

Di era global seperti sekarang ini, sektor maritim memainkan peranan yang
sangat penting dan strategis dalam berbagai macam aktivitas, baik politik, ekonomi, sosial,
pertahanan dan keamanan serta aktivitas yang berkaitan dengan hubungan antar pulau dan
antar negara, khususnya dalam bidang perdagangan nasional maupun internasional.
Pertumbuhan volume perdagangan internasional dalam beberapa tahun terakhir sebagai
akibat proses globalisasi telah menuntut perlunya pengembangan sektor kemaritiman
agar dapat beroperasi secara efektif dan efisien sehingga dapat bersaing dengan negara-
negara lain

Sebagai dampak dari globalisasi dan perdagangan dunia (bebas) telah membawa
perubahan besar bagi sektor maritim Indonesia. Dampak tersebut mengakibatkan pula
perkembangan yang pesat di bidang teknologi industri maritim. Keadaan tersebut membawa
kecenderungan dalam hal penggunaan sarana transportasi, jenis kemasan dan kapasitas
angkut yang semakin besar. Hal ini juga akan berpengaruh terhadap keberadaan
Sumber Daya Manusia (SDM) pelaut dengan kualitas dan kuantitas pekerjaan yang
semakin besar. Dengan demikian diperlukan tenaga profesional yang mampu melaksanakan
fungsi dan jenis pekerjaan yang melebihi kondisi di era sebelumnya.

Beberapa permasalahan dan isu-isu strategis yang diperkirakan akan mempengaruhi


aktivitas pelaut Indonesia di era globalisasi mencakup antara lain :

1. Persaingan global.

Globalisasi telah membuat batas antar negara semakin kabur. Perlindungan terhadap
produk dalam negeri melalui proses monopoli kini semakin ditentang oleh dunia
internasional. Perjanjian perdagangan bebas seperti Asean Free Trade Area (AFTA),
kesepakatan pasar bebas dunia melalui General Agreemenet on Tariffs and Trade (GATT)
menentang proteksi yang diberlakukan oleh suatu negara atas intervensi pasarnegara lain.
Setelah diberlakukannya perjanjian tersebut maka suatu unit pemerintahan di suatu negara
akan mendapat tekanan yang semakin keras dari negara lain.

2. Lingkungan sosial.

Perubahan masyarakat akibat globalisasi telah menyebabkan karyawan atau


pegawai suatu unit pemerintahan atau perusahaan menuntut perlakuan yang lebih baik. Hak-
hak asasi manusia yang sebelumnya kurang diperhatikan oleh pihak organisasi kini
semakin dituntut, (karyawan golongan paling rendah, penghasilannya seringkali berada
di bawah upah minimum regional). Demikian pula dengan kesadaran masyarakat akan
pelayanan pada masyarakat telah membuat organisasi harus lebih berhati-hati dalam
memberikan pelayanan.

3. Lingkungan politik.

Kondisi politik suatu negara sangat mempengaruhi pertumbuhan bisnis. Suatu


negara yang situasi politiknya agak kacau menyebabkan para investor asing takut
menanamkan modalnya. Kekacauan politik yang menimbulkan kerusuhan sosial akan
mematikan usaha bisnis. Pengalaman kerusuhan politik di Indonesia telah menyebabkan
banyak pemodal melarikan modalnya mereka ke luar negeri. Selain itu, perusakan pabrik dan
alat-alat kerja telah menyebabkan banyak pabrik tutup.

4. Perubahan undang-undang.

Banyak sekali peraturan-peraturan baru yang muncul dalam berbagai aspek operasi
organisasi. Misalnya kehadiran UU No.25 tahun 1998 tentang Serikat Pekerja menyebabkan
organisasi semakin sulit untuk mengelola karyawan. Kalau semula organisasi perusahaan
hanya memiliki satu organisasi karyawan (SPSI), kini karyawan memiliki peluang untuk
bergabung pada banyak serikat pekerja seperti itu, atau mungkin membuat organisasi baru.

5. Lingkungan teknologi.

Kemajuan teknologi, khususnya teknologi informasi, telah merubah secara


mendasar cara pengelolaan organisasi. Kehadiran komputer dengan tingkat kecanggihan
yang semakin meningkat menyebabkan semakin banyak pekerjaan diganti oleh komputer.
Selain itu, kegiatan organisasi semakin diwarnai oleh persaingan kecepatan waktu (real-
time), Penggunaan internet, web-site, lokal area network (LAN) semakin marak dalam dunia
organisasi. Organisasi harus berpacu untuk mengikuti perkembangan teknologi. Kalau
tidak, bisa dipastikan akan ketinggalan

Menurut HRP Poernomo Soedewo6, di tengah kompetisi ketat dengan perusahaan


pelayaran dan ekspedisi asing, pengusaha bidang jasa pelayaran dan ekspedisi laut pada
umumnya menghadapi kendala keterbatasan sumber daya manusia (SDM), terutama
menghadapi kemungkinan maraknya usaha jasa forwader dan ekspedisi asing setelah
datangnya era perdagangan bebas di kawasan Asia Tenggara (AFTA). Dari segi SDM sektor
usaha ini masih memprihatinkan.

Menurut Arifin Hamzah, pendidikan dan pelatihan diperlukan untuk meningkatkan


SDM jasa pelayaran dan ekspedisi laut. Kompetitor yang patut diwaspadai menjelang
datangnya AFTA adalah perusahaan pelayaran dan ekspedisi dari Singapura. Pasalnya,
selama ini Singapura telah membuktikan diri sebagai negara yang dapat berkembang
sebagai pelabuhan transit bagi jasa pelayaran dan ekspedisi laut. Dari semua negara,
Singapura adalah negara yang perlu diwaspai. Kalau negara lain tidak begitu masalah.
Tetapi, jangan karena ketakutan itu justru kita tidak berbuat apa pun. Kita harus melawan
mereka dengan strategi training khusus dan perang pelayanan.5 Djamaludin Ancok, 2004.
Psikologi Terapan. Yogyakarta : Darussalam offset. Hlm.206 Ketua Dewan Pengurus
Wilayah (DPW) Gabungan Forwader dan Ekspedisi Indonesia (Gafeksi) Jatim. Dalam
Kompas 19 Agustus 2002.7 Direktur PT Bandar Kusuma Jaya, Dalam Kompas 19 Agustus
2002.

Menurut Rudhy Wisaksono8, dalam era perdagangan bebas kualitas pelayanan


menjadi hal utama yang mendasari konsumen untuk memilih menggunakan jasa pelayaran
dan ekspedisi asing atau lokal. Namun sayangnya, pengusaha jasa lokal belum begitu
mengutamakan pelayanan untuk memuaskan konsumen. Padahal, pelayanan seputar
ekspor-impor itu justru memberikan kontribusi yang lebih besar dibandingkan pemasukan
dari jasa ekspedisi itu sendiri.

Untuk mengatasi persaingan yang semakin ketat, maka pemerintah Indonesia perlu
melakukan peningkatan pembinaan disiplin, dan kualitas, khususnya bagi para pelaut.
Selain itu pemerintah dan instansi lainnya termasuk Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI) perlu
segera merumuskan law of seamen seperti di Filipina. Untuk menunjang kelancaran lalu
lintas kapal di laut, maka diperlukan adanya awak kapal yang berkeahlian, berkemampuan
dan terampil. Dengan demikian setiap kapal yang akan berlayar harus diawaki dengan awak
kapal yang cukup dan cakap untuk melakukan tugas di atas kapal sesuai dengan jabatannya
dengan mempertimbangkan besaran kapal, tata susunan kapal dan daerah pelayaran. Atas
dasar hal tersebut, maka diperlukan institusi-institusi pendidikan kepelautan yang
kompeten untuk menciptakan pelaut Indonesia yang profesional, yaitu cakap dan terampil,
berwatak serta memiliki sikap mandiri, serta diarahkan untuk dapat memenuhi kebutuhan
pelayaran nasional atau asing.

Menghadapi era global ke depan, pembangunan di sektor kelautan perlu diupayakan


agar dapat diselenggarakan secara efisien dan efektif, handal, dan berkualitas
melalui serangkaian kebijaksanaan dan program yang dilakukan secara menyeluruh, terarah,
terpadu dan berkesinambungan termasuk di dalamnya kebijaksanaan mengenai
pengembangan SDM yang mampu bersaing secara nasional maupun internasional. Berkaitan
dengan hal tersebut perlu dikaji kebutuhan-kebutuhan

Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Indonesia National Shipowners


Association (INSA) Surabaya. Dalam Kompas 19 Agustus 2002 .SDM pelaut Indonesia
dalam rangka mengantisipasi perkembangan kebutuhan pasar tenaga kerja dalam dan luar
negeri khususnya bagi para pelaut Indonesia.

Perkembangan pesat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya


dalam bidang teknologi informasi (Information Technology) juga harus mendapat porsi
pendidikan dan perhatian yang besar dalam rangka pengembangan SDM pelaut
tersebut, sehingga tenaga-tenaga yang berprofesi di bidang tersebut memiliki
penguasaan teknologi informasi, berwawasan global, kosmopolitan yang pada akhirnya akan
memberikan kinerja yang baik dan dapat bersaing di dunia internasional.

Pada masa global ini pelaut Indonesia banyak dihadapkan pada berbagai tantangan
dan permasalahan. Kemampuan yang dimiliki tenaga pelaut Indonesia untuk menembus
pasar global terancam bakal tersingkir. Hal ini disebabkan karena etos kerja pelaut Indonesia
di luar negeri dinilai telah menurun. Padahal, sebelumnya hampir semua kapal asing
mempekerjakan pelaut dari Indonesia. Pelaut Indonesia dikenal memiliki etos kerja yang
tinggi, taat perintah, penyabar dan pekerja keras. Tetapi penilaian tersebut, kini telah
berubah karena berbagai tindakan tidak disiplin, di antaranya sering berbuat onar dan tidak
ada penegakan hukum dari pemerintah maupun oleh asosiasi pelaut di Indonesia.

Di samping tidak disiplin dalam bekerja, kualitas pelaut Indonesia saat ini juga
dianggap menurun, terbukti ketika Hanjin Container Lines perusahaan pelayaran terbesar di
Korea Selatan membutuhkan 90 orang pelaut, setelah dilakukan tes, hanya 45 orang yang
mampu mencapai nilai 70 dan dianggap layak untuk mengisi lowongan yang tersedia,
sedangkan yang lainnya tidak mampu mencapai skor yang lebih tinggi, penyebabnya
adalah kebanyakan pelaut Indonesia tidak menguasai pengetahuan maritim, terutama dalam
penguasaan Bahasa Inggris. Banyak pelaut Indonesia yang gagal tes untuk bekerja di kapal
asing karena lemahnya penguasaan bahasa asing, rendahnya tingkat disiplin dan factor
Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Perhubungan RI, 2005. Op.Cit. Hlm.76.
keluarga. Ini juga sebagai indikator masih lemahnya pendidikan pelaut di Indonesia jika
diukur dari terserapnya pelaut Indonesia di pasar luar negeri atau internasional.10

Di samping rendahnya kualitas, pelaut Indonesia selama beberapa tahun terakhir ini
harus bersaing dengan pelaut Filipina yang gencar mengekspor pelaut-pelautnya yang lebih
berkualitas dan dapat berkomunikasi dengan mudah karena menguasai bahasa Inggris. Di
samping itu mereka telah memiliki The Law of Seamen yang dikeluarkan oleh Philippine
Overseas Employment Agency yang antara lain memuat tentang tata tertib bekerja sebagai
pelaut, sehingga para pelaut yang terbukti berbuat onar akan dicabut ijin kerjanya.
Kualitas pendidikan pelaut di Indonesia juga masih menunjukkan banyak
kelemahan, meskipun pemerintah pernah mendapatkan bantuan dari luar negeri untuk
membeli peralatan sekitar US$520 juta. Jika dibandingkan dengan Pilipina, pelaut
Indonesia yang bekerja di luar negeri sangat ketinggalan. Pada tahun 2004, pelaut
Indonesia hanya kurang lebih 20.000 (duapuluh ribu) orang sedangkan Pilipina sebanyak
400.000 (empat ratus ribu) orang (Maritim, 2004). Pada tahun 1994 jumlahnya sekitar
15.000 orang, di mana sekitar 10.179 orang bekerja di luar PKL (Pejanjian Kerja Laut) yang
sah. Namun keberangkatan mereka ke luar negeri resmi karena menggunakan paspor RI.12
Berbagai isu-isu yang juga menghantui pelaut Indonesia di mata masyarakat internasional
dapat ditunjukkan sebagai berikut :

1) Adanya Isu Black List.

Isu black list pelaut Indonesia oleh Amerika Serikat pada dasarnya berawal dari
surat edaran International Transport Worker Federation (ITF) yang bermarkas di London
pada tanggal 31 Maret 2005. Isi surat edaran itu adalah bahwa Information on the Coast
Guard - CBP (Customs and Border Protection) Memorandum of Agreement and
Standard Operating Procedures (SOP) regarding the Detention of Certain High-Risk
Crewmembers yang diterbitkan oleh Pemerintah USA dan didistribusi oleh the Steamship
Association of Lousiana. Belum diketahui kapan SOP ini akan mulai diberlakukan, namun
dapat dipastikan bahwa biaya penjagaan high-risk crewmember adalah US$ 36/jam untuk
minimal 2 orang security guards, dan komponen biaya ini bisa membuat daya saing pelaut
Indonesia merosot. Contoh : Salah satu perusahaan Belanda (Nedlloyd) mendapat kesulitan
karena mempekerjakan pelaut Indonesia pada kapal niaganya yang melayari trayek Eropa-
Amerika. Annex VI dari SOP tersebut berisi daftar negara dari Federal Register tanggal 16
Januari 2003, sebagai berikut: Afghanistan, Algeria, Bahrain, Bangladesh, Egypt, Eritrea,
Indonesia Iran, Iraq, Jordan, Kuwait, Lebanon, Libya, Morocco, North Korea, Oman,
Pakistan, Qatar, Saudi Arabia, Somalia, Sudan, Syria, Tunisia, United Arab Emirates, Yemen.
Padahal untuk proyek Modernization of Seafarers Training Centre, Indonesia memakai
kontraktor Amerika Serikat (Ship Analytic) yang dibiayai dengan pinjaman luar negeri dari
US Exim Bank sebesar US$ 53,8 juta.

2) Adanya Isu High-Risk Area.

Sebagai bahan pertimbangan, perlu diketahui bahwa di tempat lain, pada tanggal 24
April 2003, Lloyd's Register menerbitkan modul Company Security Officer Course dengan
salah satu pokok bahasan berjudul "Marine Security", dengan sub pokok bahasan "Marine
Hot Spots" yang antara lain mengemukakan bahwa "High risk areas" adalah: Cuba and West
Indies, Dominican Republic, Peru, Brazil, Columbia, Senegal, Togo, Bangladesh, Somalia,
Tazmania, Persian Gulf, Indonesia, Philippines, dan Vietnam. Kriteria yang dipakai oleh
Lloyds Register antara lain increased piracy attack, physical force, dan high state of alert.
Merupakan kenyataan, statistik menunjukkan bahwa angka piracy attack di perairan kita
pada paska krisis ekonomi dan moneter relatif meningkat dan membahayakan jiwa pelaut.
Selain itu, physical force dipakai dalam kasus Aceh, Sampit, Poso, Ambon, Papua, dan
sejarah menunjukkan bahwa pada periode sebelum 2003, pergantian kepala negara
selalu disertai pergolakan. Contoh : Soekarno, Soeharto, Habibie, dan Gus Dur. Kemudian
high state of alert menunjukkan bahwa Bom Bali menewaskan lebih dari 190 orang.
3) Adanya Isu Penerapan Seafarers Identity Document

The Seafarers Identity Document (SID) atau Kartu Identitas Pelaut adalah semacam
kartu identitas khusus pelaut yang dibuat memakai biometric finger scan standard yang
tujuannya untuk melindungi pelaut dari tindakan diskriminasi karena adanya isu ancaman
keamanan (security threat). Kartu ini tidak bisa dijadikan pengganti passport atau Buku
Pelaut, namun dapat dijadikan pegangan yang menunjukkan bahwa pemiliknya adalah benar-
benar pelaut yang tak terkait dengan terorisme. Pada tanggal 10 Desember 2004, Pemerintah
RI telah mengirim surat No. B.1079/SJ/KLN-XII/04 tentang Submission to Competent
Authorities of the ILO Convention No. 185 concerning Seafarers Identity Document
kepada Sekretariat ILO di Jenewa, yang intinya menyampaikan keinginan RI untuk
meratifikasi Konvensi tersebut. Pada tanggal 4 April 2005, pihak USTDA (US Trade and
Development Agency) menyatakan kesediaan memberi bantuan hibah (grant aid) untuk
keperluan pelaksanaan feasibility study penerapan SID di Indonesia yang akan dilakukan
oleh konsultan Amerika Serikat (AS), dengan syarat bahwa kontraktor AS harus diizinkan
untuk mengikuti pelelangan infra-struktur SID. AS tidak berminat meratifikasi Konvensi ILO
No. 185 tentang SID karena standar keamanan SID di bawah standar US Homeland Security.

Dari isu-isu di atas, dapat diketahui bahwa terdapat anggapan bahwa Indonesia
adalah high risk area dengan high risk crew member. Istilah high risk bisa dipersepsikan
identikal dengan black list tetapi bukan merupakan larangan bagi pelaut Indonesia untuk
memasuki perairan AS, walaupun pada kenyataannya pelaut Indonesia tidak diperbolehkan
turun dari kapal ke darat di semua pelabuhan di AS. Penerapan SID belum merupakan
jaminan bahwa pelaut Indonesia terbebas dari kategori high risk crewmember. Namun tanpa
menerapkan SID, daya saing pelaut Indonesia semakin merosot. 13 Di era global seperti
sekarang ini, sektor maritim memainkan peranan yang sangat penting dan strategis dalam
berbagai macam aktivitas, baik politik, ekonomi, sosial, pertahanan dan keamanan serta
aktivitas yang berkaitan dengan hubungan antar pulau dan antar negara, khususnya dalam
bidang perdagangan nasional maupun internasional. Pertumbuhan volume perdagangan
internasional dalam beberapa tahun terakhir sebagai akibat proses globalisasi telah
menuntut perlunya pengembangan sektor kemaritiman agar dapat beroperasi secara
efektif dan efisien sehingga dapat bersaing dengan negara-negara lain.3

Sebagai dampak dari globalisasi dan perdagangan dunia (bebas) telah membawa
perubahan besar bagi sektor maritim Indonesia. Dampak tersebut mengakibatkan pula
perkembangan yang pesat di bidang teknologi industri maritim. Keadaan tersebut membawa
kecenderungan dalam hal penggunaan sarana transportasi, jenis kemasan dan kapasitas
angkut yang semakin besar. Hal ini juga akan berpengaruh terhadap keberadaan
Sumber Daya Manusia (SDM) pelaut dengan kualitas dan kuantitas pekerjaan yang
semakin besar. Dengan demikian diperlukan tenaga profesional yang mampu melaksanakan
fungsi dan jenis pekerjaan yang melebihi kondisi di era sebelumnya.

Berbagai jenis usaha pelayaran yang ada di Indonesia saat ini, kapal pelayaran rakyat
(Pelra) adalah sebagai salah satu sub sistem angkutan laut yang dikelola oleh masyarakat
secara sederhana yang digunakan untuk mengangkut muatan baik barang maupun
penumpang dari pedalaman yang tidak terjangkau oleh kapal besar, menggunakan perahu
tradisional yang memakai layar, yang saat ini telah diIengkapi dengan tambahan motor
(Jinca, 202). Peran pelayaran rakyat adalah sebagai angkutan rakyat yang dapat memberikan
kontribusi bagi penyeberangan barang konsumsi khususnya ke pulau- pulau terpencil dan
terisolasi dari jangkauan infrastruktur pembangunan pada umumnya perusahaan pelayaran
rakyat pada umumnya identik dengan kapal kayu tradisional yang dioperasikan oleh pelaut
alami dengan manajemen sederhana. Berdasarkan Undang-Undang nomor 17 tahun 2008
tentang pelayaran (pasal 15 ayat 1 dan 2), kegiatan angkutan laut pelayaran rakyat sebagai
usaha masyarakat yang bersifat tradisional dan merupakan bagian dari usaha angkutan
diperairan mempunyai karasteristik tersendiri (Sembiring, 2009).

Seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan ilmu pengetahuan dan


teknologi di bidang transportasi perkapalan, serta meningkatnya kebutuhan dan tuntutan
masyarakat, baik kualitas maupun kuantitas, keberadaan kapal pelayaran rakyat semakin
tersingkirkan dan menghadapi tantangan pasar yang semakin besar, bahkan jumlahnya
cenderung semakin berkurang (Jinca, 2011). Selanjutanya dapat dilihat dari perkembangan
jumlah kapal pelayaran rakyat pada tahun 1997 tercatat sebanyak 2.973 unit, tetapi pada
tahun 2001-2005 jumIah kapal pelayaran rakyat menurun menjadi 2.530 unit, selain itu
jumlah perusahaan pelayaran dari tahun 2001-2005 jumlahnya tetap atau tidak ada
penambahan sama sekali yaitu sebanyak 760 perusahaan (Dirjen Hubla 2005). Walaupun
pada tahun 2006 sampai dengan 2010 perusahaan pelayaran rakyat dan jumlah armada
pelayaran rakyat mengalami pertumbuhan akan tetapi relatif kecil yaitu; pertumbuhan
angkutan laut perusahaan pelayaran rakyat sebesar 507 (2006) menjadi 632 (2010) atau
rata-rata pertumbuhan 5,71 persen pertahun (Dirjen Hubla, 2010).

Selain kondisi tersebut tentu sangat mencemaskan, karena selama ini kapal-kapal
pelayaran rakyat telah memberikan banyak manfaat khususnya dalam menjangkau daerah
dan pulau-pulau terpencil, bahkan mampu masuk ke pedalaman melalui sungai-sungai yang
tidak dapat dilakukan oleh angkutan laut lainnya. Salah seorang anggota Dewan Maritim
Indonesia, (Soloestomo, 2006), dalam (Manurung, 2006) menyatakan bahwa pemberdayaan
kapal pelayaran rakyat sudah sangat mendesak, khususnya dalam mengamankan distribusi
kebutuhan pokok ke seluruh pulau terpencil di Indonesia. Selain itu dampak buruk akibat
dari berkurangnya kapal pelayaran rakyat adalah hilangnya penghasilan dan kesempatan
kerja bagi ABK (anak buah kapal), buruh bongkar muat dan pengusaha. Menurut Sekretanis
Jenderal DPP Perla (Gani, 2003), dalam (pasong, 2009), bahwa dari 200 unit kapal pelayaran
rakyat yang ditahan oleh aparat kepolisian dan bea cukai yang tersebar di seluruh Indonesia,
telah berdampak paling sedikit menghilangkan 3.600 ABK (anak buah kapal), 500 sopir,
serta 5.000 buruh pelabuhan.

Dalam rangka penguatan kapal pelayaran rakyat pemerintah telah mengeluarkan


Keputusan Presiden No.118/2000 tentang Daftar bidang usaha yang tertutup untuk
penanaman modal oleh kepemilikan warga asing dan atau badan hukum asing, salah satu
bidang usaha tersebut adalah pelayaran rakyat. Dasar kepentingan tersebut adalah untuk
memproteksi terhadap investasi asing di sektor angkutan pelayaran rakyat yaitu melindungi
usaha rakyat dari tersingkirnya kapal pelayaran rakyat dari arus persaingan yang kuat
dibidang perkapalan (DPP Perla, 2010). Selanjutnya pada tanggal 28 Maret 2005 Presiden
telah mengeluarkan instruksi nomor 5 tahun 2005 tentang pemberdayaan industri pelayaran
nasional. Kebijakan tersebut memberikan dukungan untuk pengembangan pelayaran rakyat
antara lain fasilitas pendanaan, peningkatan kualitas kapal, sumber daya manusia,
manajemen usaha serta pembangunan prasarana dan sarana pelabuhan pelayaran rakyat
(Nikijuluw, 2007).

Pengakuan pemerintah terhadap peranan pentingnya pelayaran rakyat untuk


melancarkan logistik nasional serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat perlu ditindak
lanjuti dengan tindakan kongrit membuka peluang kepada pelayaran rakyat agar bisa
membangun armada dengan konstruksi modern selaras dengan kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi sehinggga mampu meningkatkan daya saingnya sejajar dengan unsur
pelayaran dalam negeri lainnya (Dirjen Hubla, 2011) Upaya pemerintah tersebut dapat
memberikan nuansa baru terhadap pelayaran rakyat.

Kenyataan selama ini telah ditemukan beberapa kelemahan meliputi terbatasnya


permodalan sehingga sulit bersaing dengan jenis pelyaran lainnya, sistem pengelolaan
pelayaran rakyat masih bertumpu pada sistem tradisional dengan struktur organisasi terkesan
sangat sederhana dengan tidak adanya pembagian tugas dan wewenang secara formal dan
tertulis, dan sistem pelayaran dengan model tramper yang mengandalkan atau
menyesuaikan sumber dan tujuan muatan (Jinca, 2011).

Untuk meningkatkan peranan pelayaran rakyat perlu dilakukan kajian dalam


pengelolaan model manajemen yang baik dengan perencanaan bisnis yang terarah dan
sistematis, perhitungan pembiayaan bisnis yang akurat, pemilihan strategi pemasaran bisnis
yang tepat, serta pengawasan dan pembinaan bisnis yang kontinuitas. Dengan begitu
diharapkan transportasi pelayaran rakyat dapat memberikan peranan yang besar tidak hanya
terhadap pertumbuhan perekonomian tetapi juga terhadap ketahanan nasional negara ini
(Manurung, 2006).

Sehubungan dengan berbagai permasalahan yang dialami oleh perusahaan


pelayaran rakyat maka pada kajian ini masalah dapat dirumuskan bahwa Bagaimana
comparative/perdagangan manajemen pengelolaan usaha pelayaran rakyat Sunda Kelapa dan
perusahaan pelayaran rakyat Paotere?. Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji kinerja
perusahaan pelayaran rakyat meliputi; Sistim operasional pengelolaan perusahaan
pelayaran rakyat, mengetahui organisasi, tugas dan tanggung jawab serta kewenangan
Sumber Daya Manusia (SDM) pada perusahaan pelayaran rakyat, Sistim pemasaran dan
pembiayaan operasional pada perusahaan pelayaran rakyat.

Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki puluhan ribu pulau dan
perairan laut yang sangat luas. Luas wilayah daratan Indonesia sepanjang 1,9 juta km2
sedangkan luas wilayah lautannya sepanjang 5,9 juta km2 (Direktorat Jendral
Perhubungan Laut, 2011, h.1). Dari data tersebut menunjukkan bahwa luas perairan laut
Indonesia tiga kali lebih besar jika dibandingkan dengan luas daratan Indonesia. Oleh
sebab itu, Indonesia membutuhkan alat transportasi laut khususnya kapal untuk
menghubungkan satu pulau ke pulau lainnya melalui jalur laut.

Transportasi laut khususnya kapal sangat dibutuhkan bagi Negara kepulauan seperti
Indonesia. Transportasi laut dibutuhkan sebagai alat untuk mengangkut barang, mengangkut
penumpang maupun kegiatan lepas pantai di perairan laut Indonesia. Namun sangat
disayangkan, beberapa tahun belakangan ini kapal-kapal yang digunakan untuk kegiatan
tersebut merupakan kapal yang dimilikioleh pihak asing.

Hal tersebut dikarenakan perusahaan pelayaran dalam negeri belum mampu untuk
membeli kapal sendiri untuk kegiatan pelayarannya. Perusahaan pelayaran dalam negeri
lebih memilih untuk menyewa kapal asing daripada harus membeli kapal sendiri. Sehingga,
Negara mengalami kerugian yang cukup besar pada saat itu.
Dikarenakan kondisi pelayaran yang sangat memprihatinkan pada saat itu, maka
Pemerintah melahirkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang pelayaran.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 merupakan hasil dari proses perumusan kebijakan
dalam administrasi publik. Oleh karena itu, menurut Kasim dalam Waluyo (2007, h.34)
administrasi publik sangatlah berpengaruh tidak hanya terhadap tingkat perumusan
kebijakan melainkan pula pada tingkat implementasi kebijakan, karena memang
administrasi publik berfungsi untuk mencapai program yang telah ditentukan oleh pembuat
kebijakan politik. Lahirnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 merupakan awal dari
lahirnya prinsip Asas Cabotage di Indonesia. Lahirnya prinsip Asas Cabotage tertuang
didalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 pasal 8, yaitu:

(1) Kegiatan angkutan laut dalam negeri dilakukan oleh perusahaan angkutan laut
nasional dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia serta diawaki oleh Awak
Kapal berkewarganegaraan Indonesia.

(2) Kapal asing dilarang mengangkut penumpang dan/atau barang antarpulau atau antar
pelabuhan di wilayah perairan Indonesia.

Dengan lahirnya prinsip ini, Pemerintah mengharuskan kepada perusahaan


pelayaran dalam negeri untuk memiliki kapal berbendera Indonesia/memiliki kapal sendiri
dan menggunakan jasa anak buah kapal dalam negeri.

Beberapa permasalahan dan isu-isu strategis yang diperkirakan akan mempengaruhi


aktivitas pelaut Indonesia di era globalisasi mencakup antara lain :

1. Persaingan global.

Globalisasi telah membuat batas antar negara semakin kabur. Perlindungan terhadap
produk dalam negeri melalui proses monopoli kini semakin ditentang oleh dunia
internasional. Perjanjian perdagangan bebas seperti Asean Free Trade Area (AFTA),
kesepakatan pasar bebas dunia melalui General Agreemenet on Tariffs and Trade (GATT)
menentang proteksi yang diberlakukan oleh suatu negara atas intervensi pasar Badan
Penelitian dan Pengembangan Departemen Perhubungan RI, 2005. Studi Kebutuhan SDM
Transportasi Laut. Laporan Akhir Penelitian. Jakarta. Hlm.1 oleh negara lain. Setelah
diberlakukannya perjanjian tersebut maka suatu unit pemerintahan di suatu negara akan
mendapat tekanan yang semakin keras dari negara lain.

2. Lingkungan sosial.

Perubahan masyarakat akibat globalisasi telah menyebabkan karyawan atau


pegawai suatu unit pemerintahan atau perusahaan menuntut perlakuan yang lebih baik. Hak-
hak asasi manusia yang sebelumnya kurang diperhatikan oleh pihak organisasi kini
semakin dituntut, (karyawan golongan paling rendah, penghasilannya seringkali berada
di bawah upah minimum regional). Demikian pula dengan kesadaran masyarakat akan
pelayanan pada masyarakat telah membuat organisasi harus lebih berhati-hati dalam
memberikan pelayanan.
3. Lingkungan politik.

Kondisi politik suatu negara sangat mempengaruhi pertumbuhan bisnis. Suatu


negara yang situasi politiknya agak kacau menyebabkan para investor asing takut
menanamkan modalnya. Kekacauan politik yang menimbulkan kerusuhan sosial akan
mematikan usaha bisnis. Pengalaman kerusuhan politik di Indonesia telah menyebabkan
banyak pemodal melarikan modalnya mereka ke luar negeri. Selain itu, perusakan pabrik dan
alat-alat kerja telah menyebabkan banyak pabrik tutup.

4. Perubahan undang-undang.

Banyak sekali peraturan-peraturan baru yang muncul dalam berbagai aspek operasi
organisasi. Misalnya kehadiran UU No.25 tahun 1998 tentang Serikat Pekerja menyebabkan
organisasi semakin sulit untuk mengelola karyawan. Kalau semula organisasi perusahaan
hanya memiliki satu organisasi karyawan (SPSI), kini karyawan memiliki peluang untuk
bergabung pada banyak serikat pekerja seperti itu, atau mungkin membuat organisasi baru.

5. Lingkungan teknologi.

Kemajuan teknologi, khususnya teknologi informasi, telah merubah secara


mendasar cara pengelolaan organisasi. Kehadiran komputer dengan tingkat kecanggihan
yang semakin meningkat menyebabkan semakin banyak pekerjaan diganti oleh komputer.
Selain itu, kegiatan organisasi semakin diwarnai oleh persaingan kecepatan waktu (real-
time), Penggunaan internet, web-site, lokal area network (LAN) semakin marak dalam dunia
organisasi. Organisasi harus berpacu untuk mengikuti perkembangan teknologi. Kalau
tidak, bisa dipastikan akan ketinggalan.

Menurut HRP Poernomo Soedewo6, di tengah kompetisi ketat dengan perusahaan


pelayaran dan ekspedisi asing, pengusaha bidang jasa pelayaran dan ekspedisi laut pada
umumnya menghadapi kendala keterbatasan sumber daya manusia (SDM), terutama
menghadapi kemungkinan maraknya usaha jasa forwader dan ekspedisi asing setelah
datangnya era perdagangan bebas di kawasan Asia Tenggara (AFTA). Dari segi SDM sektor
usaha ini masih memprihatinkan.

Menurut Arifin Hamzah7, pendidikan dan pelatihan diperlukan untuk meningkatkan


SDM jasa pelayaran dan ekspedisi laut. Kompetitor yang patut diwaspadai menjelang
datangnya AFTA adalah perusahaan pelayaran dan ekspedisi dari Singapura. Pasalnya,
selama ini Singapura telah membuktikan diri sebagai negara yang dapat berkembang
sebagai pelabuhan transit bagi jasa pelayaran dan ekspedisi laut. Dari semua negara,
Singapura adalah negara yang perlu diwaspai. Kalau negara lain tidak begitu masalah.
Tetapi, jangan karena ketakutan itu justru kita tidak berbuat apa pun. Kita harus melawan
mereka dengan strategi training khusus dan perang pelayanan.

Menurut Rudhy Wisaksono8, dalam era perdagangan bebas kualitas pelayanan


menjadi hal utama yang mendasari konsumen untuk memilih menggunakan jasa pelayaran
dan ekspedisi asing atau lokal. Namun sayangnya, pengusaha jasa lokal belum begitu
mengutamakan pelayanan untuk memuaskan konsumen. Padahal, pelayanan seputar
ekspor-impor itu justru memberikan kontribusi yang lebih besar dibandingkan pemasukan
dari jasa ekspedisi itu sendiri.

Untuk mengatasi persaingan yang semakin ketat, maka pemerintah Indonesia perlu
melakukan peningkatan pembinaan disiplin, dan kualitas, khususnya bagi para pelaut.
Selain itu pemerintah dan instansi lainnya termasuk Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI) perlu
segera merumuskan law of seamen seperti di Filipina. Untuk menunjang kelancaran lalu
lintas kapal di laut, maka diperlukan adanya awak kapal yang berkeahlian, berkemampuan
dan terampil. Dengan demikian setiap kapal yang akan berlayar harus diawaki dengan awak
kapal yang cukup dan cakap untuk melakukan tugas di atas kapal sesuai dengan jabatannya
dengan mempertimbangkan besaran kapal, tata susunan kapal dan daerah pelayaran. Atas
dasar hal tersebut, maka diperlukan institusi-institusi pendidikan kepelautan yang
kompeten untuk menciptakan pelaut Indonesia yang profesional, yaitu cakap dan terampil,
berwatak serta memiliki sikap mandiri, serta diarahkan untuk dapat memenuhi kebutuhan
pelayaran nasional atau asing.

Menghadapai era global ke depan, pembangunan di sektor kelautan perlu


diupayakan agar dapat diselenggarakan secara efisien dan efektif, handal, dan
berkualitas melalui serangkaian kebijaksanaan dan program yang dilakukan secara
menyeluruh, terarah, terpadu dan berkesinambungan termasuk di dalamnya kebijaksanaan
mengenai pengembangan SDM yang mampu bersaing secara nasional maupun internasional.
Berkaitan dengan hal tersebut perlu dikaji kebutuhan-kebutuhan SDM pelaut Indonesia
dalam rangka mengantisipasi perkembangan kebutuhan pasar tenaga kerja dalam dan luar
negeri khususnya bagi para pelaut Indonesia.

Perkembangan pesat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya


dalam bidang teknologi informasi (Information Technology) juga harus mendapat porsi
pendidikan dan perhatian yang besar dalam rangka pengembangan SDM pelaut
tersebut, sehingga tenaga-tenaga yang berprofesi di bidang tersebut memiliki
penguasaan teknologi informasi, berwawasan global, kosmopolitan yang pada akhirnya akan
memberikan kinerja yang baik dan dapat bersaing di dunia internasional.

Pada masa global ini pelaut Indonesia banyak dihadapkan pada berbagai tantangan
dan permasalahan. Kemampuan yang dimiliki tenaga pelaut Indonesia untuk menembus
pasar global terancam bakal tersingkir. Hal ini disebabkan karena etos kerja pelaut Indonesia
di luar negeri dinilai telah menurun. Padahal, sebelumnya hampir semua kapal asing
mempekerjakan pelaut dari Indonesia. Pelaut Indonesia dikenal memiliki etos kerja yang
tinggi, taat perintah, penyabar dan pekerja keras. Tetapi penilaian tersebut, kini telah
berubah karena berbagai tindakan tidak disiplin, di antaranya sering berbuat onar dan tidak
ada penegakan hukum dari pemerintah maupun oleh asosiasi pelaut di Indonesia.

Di samping tidak disiplin dalam bekerja, kualitas pelaut Indonesia saat ini juga
dianggap menurun, terbukti ketika Hanjin Container Lines perusahaan pelayaran terbesar di
Korea Selatan membutuhkan 90 orang pelaut, setelah dilakukan tes, hanya 45 orang yang
mampu mencapai nilai 70 dan dianggap layak untuk mengisi lowongan yang tersedia,
sedangkan yang lainnya tidak mampu mencapai skor yang lebih tinggi, penyebabnya
adalah kebanyakan pelaut Indonesia tidak menguasai pengetahuan maritim, terutama dalam
penguasaan Bahasa Inggris. Banyak pelaut Indonesia yang gagal tes untuk bekerja di kapal
asing karena lemahnya penguasaan bahasa asing, rendahnya tingkat disiplin dan factor
Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Perhubungan RI, 2005. Op.Cit.
Hlm.76.keluarga. Ini juga sebagai indikator masih lemahnya pendidikan pelaut di Indonesia
jika diukur dari terserapnya pelaut Indonesia di pasar luar negeri atau internasional.10

Di samping rendahnya kualitas, pelaut Indonesia selama beberapa tahun terakhir ini
harus bersaing dengan pelaut Filipina yang gencar mengekspor pelaut-pelautnya yang lebih
berkualitas dan dapat berkomunikasi dengan mudah karena menguasai bahasa Inggris. Di
samping itu mereka telah memiliki The Law of Seamen yang dikeluarkan oleh Philippine
Overseas Employment Agency yang antara lain memuat tentang tata tertib bekerja sebagai
pelaut, sehingga para pelaut yang terbukti berbuat onar akan dicabut ijin kerjanya.

Kualitas pendidikan pelaut di Indonesia juga masih menunjukkan banyak


kelemahan, meskipun pemerintah pernah mendapatkan bantuan dari luar negeri untuk
membeli peralatan sekitar US$520 juta. Jika dibandingkan dengan Pilipina, pelaut
Indonesia yang bekerja di luar negeri sangat ketinggalan. Pada tahun 2004, pelaut
Indonesia hanya kurang lebih 20.000 (duapuluh ribu) orang sedangkan Pilipina sebanyak
400.000 (empat ratus ribu) orang (Maritim, 2004). Pada tahun 1994 jumlahnya sekitar
15.000 orang, di mana sekitar 10.179 orang bekerja di luar PKL (Pejanjian Kerja Laut) yang
sah. Namun keberangkatan mereka ke luar negeri resmi karena menggunakan paspor RI.12
Berbagai isu-isu yang juga menghantui pelaut Indonesia di mata masyarakat internasional
dapat ditunjukkan sebagai berikut :

1) Adanya Isu Black List

Isu black list pelaut Indonesia oleh Amerika Serikat pada dasarnya berawal dari
surat edaran International Transport Worker Federation (ITF) yang bermarkas di London
pada tanggal 31 Maret 2005. Isi surat edaran itu adalah bahwa Information on the Coast
Guard - CBP (Customs and Border Protection) Memorandum of Agreement and
Standard Operating Procedures (SOP) regarding the Detention of Certain High-Risk

Crewmembers yang diterbitkan oleh Pemerintah USA dan didistribusi oleh the
Steamship Association of Lousiana. Belum diketahui kapan SOP ini akan mulai
diberlakukan, namun dapat dipastikan bahwa biaya penjagaan high-risk crewmember adalah
US$ 36/jam untuk minimal 2 orang security guards, dan komponen biaya ini bisa membuat
daya saing pelaut Indonesia merosot. Contoh : Salah satu perusahaan Belanda (Nedlloyd)
mendapat kesulitan karena mempekerjakan pelaut Indonesia pada 11 kapal niaganya yang
melayari trayek Eropa-Amerika. Annex VI dari SOP tersebut berisi daftar negara dari Federal
Register tanggal 16 Januari 2003, sebagai berikut:

Afghanistan, Algeria, Bahrain, Bangladesh, Egypt, Eritrea, Indonesia Iran,


Iraq,Jordan, Kuwait, Lebanon, Libya, Morocco, North Korea, Oman, Pakistan, Qatar, Saudi
Arabia, Somalia, Sudan, Syria, Tunisia, United Arab Emirates, Yemen. Padahal untuk proyek
Modernization of Seafarers Training Centre, Indonesia memakai kontraktor Amerika Serikat
(Ship Analytic) yang dibiayai dengan pinjaman luar negeri dari US Exim Bank sebesar US$
53,8 juta.

2) Adanya Isu High-Risk Area.

Sebagai bahan pertimbangan, perlu diketahui bahwa di tempat lain, pada tanggal 24
April 2003, Lloyd's Register menerbitkan modul Company Security Officer Course dengan
salah satu pokok bahasan berjudul "Marine Security", dengan sub pokok bahasan "Marine
Hot Spots" yang antara lain mengemukakan bahwa "High risk areas" adalah: Cuba and West
Indies, Dominican Republic, Peru, Brazil, Columbia, Senegal, Togo, Bangladesh, Somalia,
Tazmania, Persian Gulf, Indonesia, Philippines, dan Vietnam. Kriteria yang dipakai oleh
Lloyds Register antara lain increased piracy attack, physical force, dan high state of alert.
Merupakan kenyataan, statistik menunjukkan bahwa angka piracy attack di perairan kita
pada paska krisis ekonomi dan moneter relatif meningkat dan membahayakan jiwa pelaut.
Selain itu, physical force dipakai dalam kasus Aceh, Sampit, Poso, Ambon, Papua, dan
sejarah menunjukkan bahwa pada periode sebelum 2003, pergantian kepala negara
selalu disertai pergolakan. Contoh : Soekarno, Soeharto, Habibie, dan Gus Dur. Kemudian
high state of alert menunjukkan bahwa Bom Bali menewaskan lebih dari 190 orang.

3) Adanya Isu Penerapan Seafarers Identity Document

The Seafarers Identity Document (SID) atau Kartu Identitas Pelaut adalah semacam
kartu identitas khusus pelaut yang dibuat memakai biometric finger scan standard yang
tujuannya untuk melindungi pelaut dari tindakan diskriminasi karena adanya isu ancaman
keamanan (security threat). Kartu ini tidak bisa dijadikan pengganti passport atau Buku
Pelaut, namun dapat dijadikan pegangan yang menunjukkan bahwa pemiliknya adalah benar-
benar pelaut yang tak terkait dengan terorisme. Pada tanggal 10 Desember 2004, Pemerintah
RI telah mengirim surat No. B.1079/SJ/KLN-XII/04 tentang Submission to Competent
Authorities of the ILO Convention No. 185 concerning Seafarers Identity Document
kepada Sekretariat ILO di Jenewa, yang intinya menyampaikan keinginan RI untuk
meratifikasi Konvensi tersebut. Pada tanggal 4 April 2005, pihak USTDA (US Trade and
Development Agency) menyatakan kesediaan memberi bantuan hibah (grant aid) untuk
keperluan pelaksanaan feasibility study penerapan SID di Indonesia yang akan dilakukan
oleh konsultan Amerika Serikat (AS), dengan syarat bahwa kontraktor AS harus diizinkan
untuk mengikuti pelelangan infra-struktur SID. AS tidak berminat meratifikasi Konvensi ILO
No. 185 tentang SID karena standar keamanan SID di bawah standar US Homeland Security.

Proses integrasi ekonomi menjelang ASEAN Economic Community (AEC)


melibatkan liberalisasi perdagangan sektor jasa di bidang maritim. Liberalisasi perdagangan
yang menjadi landasan kerjasama, menghasilkan kompetisi antar industri pelayaran
negara-negara ASEAN. Peningkatan jumlah konsumen pada jasa pelayaran domestik
maupun intra-ASEAN, merupakan stimulus untuk negara-negara ASEAN dalam
meningkatkan daya saing industri pelayarannya. Progres industri pelayaran negara-
negara ASEAN menunjukkan kesiapannya untuk memenuhi kebutuhan pasar yang
meningkat tersebut. Indonesia sebagai negara maritim mempunyai peluang untuk menjadi
kompetitor yang kompeten dalam perdagangan intra-ASEAN. Makalah ini akan membahas
mengenai tantangan dan peluang Indonesia untuk meningkatkan daya saing industri
pelayarannya. Penulis menggunakan konsep competitive liberalization dan konsep cost and
benefit dalam pembahasannya

Laut merupakan media yang sangat penting untuk kelancaran perdagangan antar
negara karena laut juga merupakan wilayah kedaulatan suatu negara. Wilayah laut di Asia
Tenggara mempunyai beberapa wilayah yang sangat strategis untuk menjadi jalur
perdagangan dunia, beberapa diantaranya adalah Laut Natuna, Selat Malaka, dan Laut Cina
Selatan. Selain itu, wilayah laut di Asia Tenggara juga termasuk ke dalam jalur Sea Line of
Communications (SLOC), yang merupakan kunci jalur maritim yang memfasilitasi lalu lintas
pelayaran yang pada dan menyelenggarakan transportasi sebagai kunci dari perdagangan
maritim.(Khalid, 2012) ASEAN Economic Community 2015 menggunakan liberalisasi
perdagangan sebagai landasan kerjasamanya. ASEAN Economic Community mempunyai
4 karakteristik, yaitu: (a) a single market and production base, (b) a highly competitive
economic region, (c) a region of equitable economic development, and (d) a region fully
integrated into the global economy.

Arus jasa yang bebas bergerak merupakan faktor utama dalam pembangunan AEC
(Luhulima, 2011). Kerjasama perdagangan baik intra maupun ekstra ASEAN membutuhkan
logistik yang mendukung kelancaran arus perdagangan tersebut. ASEAN mempunyai
cakupan wilayah laut, udara, dan darat sebagai media untuk logistik komoditas perdagangan.
ASEAN Community telah melakukan harmonisasi regulasi mengenai logistik sebagai faktor
pendukung kelancaran perdagangan tersebut. Salah satu upaya ASEAN dalam melakukan
harmonisasi tersebut adalah melalui ASEAN Transport Ministers Meeting yang dibentuk
pada tahun 1996. Pembentukan forum ini merupakan kesadaran ASEAN untuk melihat
potensi arus jasa yang dibagi dalam tiga cakupan, yaitu Air Transport, Land Transport, dan
Maritime Transport. Kondisi geografis ASEAN yang diapit diantara dua samudera dan dua
benua membuat wilayah maritim ASEAN mempunyai jalur transportasi air yang sibuk. Hal
tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:

Dari data yang disajikan, industri pelayaran mempunyai prospek yang besar
terhadap pasar dalam industri jasa dalam bidang perairan. Penumpang transportasi air pada
wilayah domestik ASEAN lebih besar daripada penumpang internasional. Sementara
pada volume penggunaan kargo dengan rute internasional lebih besar daripada di wilayah
domestik ASEAN. Prospek pasar tersebut bisa dijangkau pada negara-negara ASEAN yang
mempunyai garis pantai sebagai pendukung infrastuktur perdagangan jasa pada industri
pelayaran.

Sebagai contoh konkrit dalam bidang maritime adalah dibentuknya ASEAN Single
Shipping Market pada tahun 2014. Pada implementasinya hanya pada harmonisasi dang
pengkajian ulang regulasi mengenai hambatan yang terjadi pada industri pelayaran menuju
integrasi masyarakat ekonomi ASEAN 2015(MIMA, 2012). Dalam Roadmap Towards An
Integrative and Competitive Maritime Transport in ASEAN, harmonisasi yang dilakukan
bertujuan untuk membuat atmosfir pelayaran yang professional melalui mekanisme dan
fasilitas yang mendukung. Aturan-aturan yang harus diratifikasi dan diterapkan bertujuan
untuk meningkatkan daya saing industri pelayaran negara-negara ASEAN. Kesenjangan
pada kemampuan perekonomian antar negara di ASEAN yang menimbulkan hasrat untuk
berkontestasi pada kebutuhan pasar yang semakin meningkat. Oleh karena itu, negara-negara
anggota ASEAN memerlukan persiapan untuk melakukan liberalisasi sektor jasa pada
industri pelayaran domestik masing-masing. Indonesia sebagai negara maritim, mempunyai
peluang dan tantangan untuk meningkatkan daya saing terhadap perkembangan
industri pelayaran negara-negara ASEAN yang lain.

. Konsep Competitive Liberalization, Jiro Okamoto. Konsep competition liberalization


yang menganggap bahwa Free Trade Agreement (FTA) akan menstimulasi liberalisasi
salalu berisiko menjadi competitive enclosure yang dapat membagi dunia ekonomi
dalam berbagai bagian. Konsep tersebut merupakan derivasi dari konsep Findlay mengenai
vested interests merupakan konsekuensi mutlak adanya FTA( C. Findlay, 2002). Negara
dengan daya saing yang tinggi akan selalu berkompetisi dalam perdagangan bebas untuk
mempertahankan posisinya sebagai negara pengekspor utama.

Landasan yang digunakan oleh ASEAN dalam mewujudkan integrasi ekonominya


adalah melalui liberalisasi perdagangan. ASEAN Economic Community merupakan salah
satu bentuk nota kesepahaman yang mengurangi hambatan-hambatan kerjasama
perdagangan sehingga kompetisi industri pelayaran antar negara ASEAN semakin ketat.
Kompetisi dalam rangka liberalisasi perdagangan tersebut melibatkan negara-negara yang
mempunyai industri dengan daya saing yang masih rendah. Bagaimanapun, tidak ada
jaminan bahwa jaringan yang rumit dari perjanjian perdagangan bebas tentu mempromosikan
transaksi ekonomi yang lancar antar negara-negara yang terlibat, karena pada dasarnya
perjanjian perdagangan bebas itu diskriminatif (Jiro O,2004). Mengacu pada sajian data pada
tabel, prospek pasar dalam industri pelayaran terlihat potensial baik dalam domestik
ASEAN maupun luar ASEAN. Prospek tersebut juga akan menjadi target yang strategis
oleh negara-negara yang memiliki industri pelayaran dengan daya saing yang tinggi. Industri
pelayaran di ASEAN akan menghadapi konstelasi persaingan yang ketat dalam integrasi
ekonomi pada ASEAN Economic Community 2015.

5.6 Kecelakaan Transportasi Laut

Terjadi kecenderung penurunan kejadian kecelakaan, di mana laporan KNKT menyatakan


Rate of Accident (RoA) pelayaran telah turun dari 0,302 pada tahun 2007 menjadi 0,037
pada tahun 2013. Data Tahun 2013 menunjukkan sebagian besar kecelakaan laut terjadi pada
kapal berbendera Indonesia (94%) dengan ukuran kapal 35 500 GT (34%) dan kapal > 500
GT (44%). Berdasarkan jenis kecelakaan yang terjadi, kejadian kapal tenggelam dan kandas
masih cukup dominan (lebih dari 60% di 2013) sedangkan penyebab utamanya adalah faktor
alam dan teknis (85%).

Distribusi logistik di wilayah depan (pelabuhan hub internasional) akan dihubungkan ke


wilayah dalam melalui pelabuhan-pelabuhan hub nasional (pelabuhan pengumpul) yang
kemudian diteruskan ke pelabuhan feeder (pelabuhan pengumpan) dan diteruskan ke sub-
feeder dan atau pelabuhan rakyat. Sesuai dengan konsep wilayah depan dan wilayah dalam
tersebut maka armada kapal yang melayani pergerakan kargo/logistik internasional akan
berbeda dengan armada kapal yang melayani pergerakan kargo domestik.

Mendukung hal tersebut, kemudian juga dikembangkan rute armada kapal/pelayaran yang
menghubungkan kedua pelabuhan hub internasional serta melalui pelabuhan hub nasional
dari wilayah timur hingga wilayah barat Indonesia. Kemudian kargo/logistik dari pelabuhan
hub nasional akan didistribusikan ke pelabuhan feeder menggunakan kapal yang berbeda
pula. Konsep konektivitas laut diatas kemudian dilayani oleh armada kapal secara rutin dan
terjadwal dari barat sampai timur Indonesia kemudian disebut sebagai konsep Tol Laut.

Berdasarkan kajian diatas serta kajian-kajian sebelumnya, kemudian pemerintah (Bappenas


serta Kementerian Perhubungan) bersama Pelindo menetapkan 24 pelabuhan strategis untuk
merealisasikan konsep Tol Laut yang terdiri dari 5 pelabuhan hub (2 hub internasional dan 3
hub nasional) serta 19 pelabuhan feeder. Pelabuhan Sorong direncanakan sebagai hub masa
depan bersama pengembangan potensi wilayah hinterlandnya untuk meningkatkan potensi
muatannya. Disamping kajian-kajian terdahulu, pertimbangan lain yang turut diperhitungkan
dalam penentuan pelabuhan strategis tersebut adalah sebaran wilayah, kondisi dan kapasitas
pelabuhan eksisting, potensi pengembangan maksimum pelabuhan dan hinterlandnya, arus
barang dan liners yang telah melayani, serta kemampuan pemerintah dan BUMN dalam
merealisasikannya.
Untuk merealisasikan rute/jaringan pelayaran tersebut, diperlukan kebijakan strategis yaitu:
1. Penataan jaringan trayek angkutan laut (revisi SK Trayek).
2. Perluasan jaringan trayek, peningkatan frekuensi layanan, serta peningkatan
keandalan kapal untuk angkutan laut dan keperintisan.
3. Optimalisasi penyelenggaraan PSO angkutan laut penumpang maupun barang,
mengingat jumlah muatan barang dari wilayah Indonesia Timur yang masih rendah.

Dengan memperhatikan perkembangan ukuran armada kapal yang digunakan pada jalur
perdagangan internasional, maka juga perlu kesiapan pelabuhan dan alurnya untuk
mendukung kapal-kapal yang mampu melayani muatan yang lebih besar (kelas Panamax)
dengan kecepatan layanan yang lebih tinggi, khususnya pada rute pendulum Tol Laut.
Oleh sebab itu, ke-24 pelabuhan strategis direncanakan dikembangkan dengan konsep
sebagai berikut:
1. Pembangunan pelabuhan bertaraf Internasional yang berkapasitas besar dan modern
untuk ekspor berbagai komoditas dan berfungsi juga sebagai International Seaport-
Hub.
2. Pengerukan kolam dan alur pelabuhan Hub min -12,5m untuk mendukung
penggunaan kapal Panamax 4.000 TEUS yang bergerak dengan rute pendulum.
3. Peningkatan draft pelabuhan feeder min -7m, untuk mendukung penggunaan kapal
3 in 1 dan atau kapal 2 in 1 yang mulai dikembangkan PT. PELNI.
4. Modernisasi fasilitas dan peralatan bongkar muat pelabuhan strategis tol laut untuk
meningkatkan produktifitas pelabuhan.
5. Perluasan penerapan INSW dalam rangka persiapan implementasi ASEAN Single
Windows.
6. Restrukturisasi dan rasionalisasi tarif jasa kepelabuhanan dalam rangka
meningkatkan daya saing.

Sedangkan beberapa hal yang perlu ditindaklanjuti agar pelabuhan-pelabuhan lainnya (non-
komersil) sehingga dapat bersinergi dengan konsep tol laut adalah:
1. Optimalisasi pelabuhan hub internasional (Pelabuhan Kuala Tanjung dan Bitung),
termasuk melalui peningkatan pangsa muatan angkutan luar negeri (perubahan
term-of-trade).
2. Evaluasi optimalisasi pemanfaatan pelabuhan yang telah dibangun (khususnya
pelabuhan umum Pemerintah).
3. Kajian efektivitas penyediaan terminal khusus (TERSUS)/terminal untuk
kepentingan sendiri (TUKS), termasuk dampaknya terhadap operasional dan
pengembangan terminal/pelabuhan umum.
4. Evaluasi efektivitas kebijakan pelabuhan yang terbuka untuk perdagangan
internasional untuk mendukung konsep wilayah depan dan wilayah dalam.
5. Penguatan landasan hukum dan kelembagaan dalam koordinasi penyelenggaraan
pelabuhan perikanan dan pelabuhan penyeberangan.
6. Revitalisasi pelabuhan pelayaran rakyat di Indonesia.

Kondisi pelabuhan di indonesia

Tata Kelola dan Struktur Pelabuhan


Pelabuhan-pelabuhan di Indonesia saat ini diatur berdasarkan UU Pelayaran tahun
1992 dan peraturanperaturan pendukung lainnya. Rezim pengaturan yang baru, di bawah
payung UU Pelayaran tahun 2008, tidak akan dilaksanakan sepenuhnya hingga tahun 2011.
Sistem pelabuhan Indonesia disusun menjadi sebuah sistem hierarkis yang terdiri atas sekitar
1700 pelabuhan. Terdapat 111 pelabuhan, termasuk 25 pelabuhan strategis utama, yang
dianggap sebagai pelabuhan komersial dan dikelola oleh empat BUMN, Perum Pelabuhan
Indonesia I, II, III and IV dengan cakupan geografis sebagaimana diuraikan dalam tabel 1 di
bawah ini.

Selain itu, terdapat juga 614 pelabuhan diantaranya berupa Unit Pelaksana Teknis
(UPT) atau pelabuhan non-komersial yang cenderung tidak menguntungkan dan hanya
sedikit bernilai strategis. Di samping itu, terdapat pula sekitas 1000 pelabuhan khusus atau
pelabuhan swasta yang melayani berbagai kebutuhan suatu perusahaan saja (baik swasta
maupun milik negara) dalam sejumlah industri meliputi pertambangan, minyak dan gas,
perikanan, kehutanan, dsb. Beberapa dari pelabuhan tersebut memiliki fasilitas yang hanya
sesuai untuk satu atau sekelompok komoditas (mis. Bahan kimia) dan memiliki kapasitas
terbatas untuk mengakomodasi kargo pihak ketiga. Namun demikian, pelabuhan yang lain
memiliki fasilitas yang sesuai untuk beragam komoditas, termasuk, dalam beberapa hal,
kargo peti kemas.

Saat ini, Pelindo menikmati monopoli pada pelabuhan komersial utama yang
dilegislasikan serta otoritas pengaturam terhadap pelabuhan-pelabuhan sektor swasta. Pada
hampir semua pelabuhan utama, Pelindo bertindak baik sebagai operator maupun otoritas
pelabuhan tunggal, mendominasi penyediaan layanan pelabuhan utama sebagaimana
tercantum di bawah ini:
- Perairan pelabuhan (termasuk urukan saluran dan basin) untuk pergerakan
lalu lintas kapal, penjangkaran, dan penambatan.
- Pelayaran dan penarikan kapal (kapal tunda).
- Fasilitas-fasilitas pelabuhan untuk kegiatan bongkar muat, pengurusan
hewan, gudang, dan lapangan penumpukan peti kemas; terminal
konvensional, peti kemas dan curah; terminal penumpang.
- Listrik, persediaan air bersih, pembuangan sampah, dan layanan telepon
untuk kapal.
- Ruang lahan untuk kantor dan kawasan industri.
- Pusat pelatihan dan medis pelabuhan.
Meskipun legislasi saat ini menjauhkan sektor swasta dari persaingan secara langsung
dengan Perum Pelabuhan Indonesia yang berwenang, elemen-elemen lain dari struktur tata
kelola menjamin tidak adanya persaingan baik di dalam maupun di antara Perum Pelabuhan
Indonesia. Sebagaimana yang dicatat oleh Patunru dkk (2007), UU mewajibkan Perum
Pelabuhan Indonesia untuk memberikan subsidi satu sama lain untuk menjamin
keberlanjutan keuangan secara menyeluruh dan memenuhi kewajiban layanan umum
mereka.

Di dalam Perum Pelabuhan Indonesia, pelabuhan-pelabuhan yang menguntungkan


diwajibkan memberikan subsidi pada pelabuhan-pelabuhan yang merugi sehingga semakin
mengurangi insentif kinerja. Selain itu, tarif-tarif yang berlaku di pelabuhan, yang sangat
ditentukan oleh Pemerintah Pusat, dikenakan secara standar terhadap pelabuhan-pelabuhan
sehingga mengurangi peluang persaingan. Hal ini sangat signifikan apabila dua perum
pelabuhan Indonesia berbagi daerah yang saling bersaing, seperti misalnya Pelabuhan
Tanjung Emas di Semarang dan Tanjung Perak di Surabaya, yang keduanya dijalankan oleh
Perum Pelabuhan Indonesia Sekitar 90% perdagangan luar negeri Indonesia diangkut
melalui laut, dan hampir semua perdagangan noncurah (seperti peti kemas) dipindahmuatkan
melalui Singapura, dan semakin banyak yang melalui pelabuhan Tanjung Pelepas, Malaysia.
Indonesia tidak memiliki pelabuhan pindah muat (trans-shipment) yang mampu
mengakomodasi kebutuhan kapal-kapal besar antar benua (large trans-oceanic vessels),
meski pemerintah telah lama merencanakan pembangunan fasilitas tersebut di Bojonegara
(di sebelah barat Jakarta) dan di Bitung (di Sulawesi Utara) dan berbagai tempat lain di
Indonesia. Bahkan, sebagian besar perdagangan antar Asia di Indonesia harus
dipindahmuatkan melalui pelabuhan penghubung di tingkat daerah.

Di Indonesia, pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya dijadikan sebagai pelabuhan


penghubung utama untuk kawasan timur Indonesia (dari Kalimantan ke Papua). Data dari
Departemen Perhubungan (Dephub) menunjukkan bahwa total tonase yang ditangani di
pelabuhan-pelabuhan Indonesia meningkat dari 582 juta ton pada tahun 2002 menjadi 736
juta ton pada tahun 2006, dengan rata-rata peningkatan tahunan sekitar 6 persen (Gambar 1).
Selama jangka waktu tersebut, jumlah barang yang diangkut untuk tujuan dalam negeri
meningkat sekitar 11,5% per tahun, lebih dari dua kali lipat dari peningkatan jumlah barang
yang diangkut dengan tujuan ke luar negeri yang hanya sebesar 4,1 persen. Dalam tahun-
tahun belakangan, peningkatan jumlah barang yang diangkut untuk tujuan dalam negeri
sangat besar di Indonesia bagian timur.

Secara nyata, jumlah barang yang diangkut untuk tujuan dalam negeri dan luar
negeri mengalami peningkatan sekitar 77 juta ton dalam kurun waktu empat tahun tersebut.
Di 11 terminal peti kemas utama (yang memiliki mesin derek peti kemas dan dinyatakan oleh
Departemen Perhubungan sebagai Terminal Peti Kemas), total volume peti kemas
meningkat sebesar satu juta TEU 9 (satuan ukuran setara dua puluh kaki) selama kurun
waktu 2005-2007 dengan rata-rata pertumbuhan tahunan sekitar 12 persen (Tabel 2).
Pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta mewakili hampir setengah jumlah peti kemas dalam
sistem pelabuhan Indonesia. Pada tahun 2007, total volume peti kemas pada empat terminal
di pelabuhan hanya di bawah 3 juta TEU dan diharapkan mencapai 3,7 juta TEU.2

5.6 Total Lalulintas Pelabuhan Yang Ditangani Di Pelabuhan-Pelabuhan Di Indonesia


(Dalam Jutaan Ton)
5.7 Konteks Internasional

Terdapat sejumlah kecenderungan pada pengangkutan laut global yang berdampak


terhadap sektor pelayaran dan pelabuhan Indonesia. 1. Kecenderungan pertama adalah yang
dimaksud Penfold (2007) sebagai revolusi ukuran kapal peti kemas ukuran yang sedang
berlangsung dan menggambarkan penggunaan kapal yang lebih besar untuk mendapatkan
biaya pengangkutan per unit yang lebih rendah. Data mutakhir menunjukkan bahwa kapal
berkapasitas 12.000 TEU dengan rute Eropa-Asia Timur akan menghasilkan penghematan
biaya sebesar 11 persen per peti kemas dibandingkan dengan kapal berukuran 8000 TEU dan
penghematan sebesar 23 persen apabila dibandingkan dengan kapal berukuran 4000 TEU
(ESCAP 2007).

Rute-rute utama lintas benua semakin didominasi oleh kapal-kapal besar dengan
kapasitas 12.000+ TEU. Kapal yang berukuran lebih kecil yakni 5000-8000 TEU yang
sebelumnya digunakan pada rute-rute utama dipindahkan ke rute-rute layanan bongkar muat
daerah. Ada dua implikasi penting bagi Indonesia:
- Kapal-kapal yang lebih besar akan membutuhkan draf (Kedalaman air (minimun) yang
diperlukan agar kapal dapat mengapung (tidak menyentuh dasar)) jalur yang lebih dalam
dan basin yang dalam, mesin derek yang lebih besar dan lebih cepat dan penanganan
kargo yang semakin baik di pelabuhan daerah yang lebih kecil (yang mencakup
pelabuhan komersial utama di Indonesia).
- Keberadaan kapal-kapal yang lebih besar ini pada rute layanan bongkar muat daerah,
akan semakin mendesak perusahaan pelayaran daerah untuk meningkatkan armada kapal
mereka yang relatif kecil dan tua.

Kecenderungan utama kedua terkait dengan pertumbuhan pesat lalu lintas


pengangkutan laut internasional dan dampak yang dihasilkannya terhadap pelabuhan-
pelabuhan daerah. Pada dua dekade terakhir, perdagangan internasional telah berkembang
1,5-2 kali tingkat pertumbuhan ekonomi global. Dikarenakan meningkatnya tingkat
pemuatan peti kemas pengangkutan, perdagangan peti kemas meningkat dua kali lipat dari
tingkat pertumbuhan tahunan rata-rata 11 3 Dari tiga puluh enam kapal peti kemas yang
terdaftar di Indonesia pada tahun 2005, tiga puluh empat di antaranya memiliki kapasitas
kurang dari 1500 TEU dan lebih dari setengahnya berumur lebih dari 20 tahun. (PDP 2005)
perdagangan maritim lainnya pada periode yang sama (ESCAP 2007).
Pertumbuhan volume peti kemas yang paling cepat adalah di Asia Timur yang sekarang
ini menguasai sebagian lalu lintas peti kemas di dunia. Sebagaimana dikemukakan oleh Kruk
(2008) dan yang lainnya, kapasitas terminal peti kemas daerah sekarang sudah mencapai
tingkat kritis.4 3. Kecenderungan penting ketiga adalah meningkatnya peranan sektor swasta
dalam mengembangkan dan mengoperasikan terminal peti kemas. Khususnya pada negara-
negara berkembang di mana sektor publik tidak dapat lagi membiayai investasi untuk
kapasitas yang baru dan yang sedang dikembangkan. (Bank Dunia Tahun 2001). Sejak awal
90-an, hampir AS $ 33 milyar telah diinvestasikan oleh sektor swasta dalam
mengembangkan pelabuhan laut negara, 44 persen diantaranya diinvestasikan di wilayah
Asia Timur-Pasifik. Dengan peningkatan volume kargo yang melebihi peningkatan kapasitas
terminal, pelabuhan saat ini dilihat sebagai pilihan yang menarik dan investor-investor asing
membayar 2-3 kali lipat perolehan (yakni harga) dari yang telah dibayarkan pada akhir 90-
an. (Kruk 2008).

Meskipun ada beberapa privatisasi, yang dikatakan tidak dikelola dengan baik, di akhir
tahun 1990-an/awal tahun 2000-an, sebagian besar aliran investasi Internasional ke
pelabuhan laut belakangan ini tidak melalui Indonesia. 2.4 INDIKATOR KINERJA
PELABUHAN Data terbaru yang dapat diandalkan tentang kinerja pelabuhan sulit
didapatkan. Data terakhir yang tersedia yang dapat digunakan untuk membandingkan kinerja
pelabuhan-pelabuhan di Indonesia secara internasional merupakan data tahun 2002, dan itu
pun terbatas pada gerbang perdagangan utama, yaitu Jakarta, sebagaimana ditunjukkan oleh
Gambar 2 di bawah ini. Meskipun data tersebut tertinggal beberapa tahun, data tersebut
menunjukkan (kurangnya) daya saing relatif yang dimiliki oleh pelabuhan utama Indonesia
yang ada di Jakarta.

Berdasarkan wawancara dengan beberapa perusahaan pengangkutan laut internasional,


keadaan ini tampaknya belum berubah. Pelabuhan Jakarta masih tetap mahal dan tidak
efisien. Keterlambatan waktu di Pelabuhan Jakarta merupakan sebuah masalah besar bagi
para pengusaha angkutan laut. Pada tahun 2002, waktu yang dibutuhkan untuk memindahkan
peti kemas di Pelabuhan Jakarta adalah sekitar 30-40 peti kemas/jam. Peningkatan dalam hal
teknis dan operasional menunjukkan peningkatan produktivitas, pada pertengahan tahun
2007 pemindahan peti kemas per jam mencapai sekitar 60 peti kemas. Akan tetapi,
meningkatnya lalu lintas peti kemas dan kemacetan di pelabuhan disertai permasalahan yang
berkaitan dengan berbagai masalah ketenagakerjaan serta keterlambatan pabean
menyebabkan turunnya produktivitas menjadi sekitar 40-45 peti kemas per jam di paruh
pertama tahun 2008. Angka tersebut hanya setengah tingkat produktivitas pelabuhan di
Singapura dan pelabuhan-pelabuhan pemindahmuatan (trans-shipment) utama di Malaysia,
yang memiliki produktivitas sekitar 100 110 peti kemas per jam. Akibat dari keterlambatan
dalam penanganan kargo, perusahaan-perusahaan angkutan laut besar melaporkan bahwa
seringkali mereka harus meninggalkan Pelabuhan Jakarta sebelum kapal selesai dimuati
karena harus menepati jadwal yang telah dibuat.

Hal ini melibatkan berbagai biaya pemulihan di 12 4 Kruk (2008) merujuk pada data
yang dibuat oleh Drewry (2005) Annual Review of Global Container Terminal Operations
yang menghitung penggunaan kapasitas daerah berdasarkan pada a) rencana yang telah
ditetapkan b) perluasan yang tidak dipastikan. Masing-masing angka untuk Asia Timur laut
dan Asia Tenggara adalah 109%/105% dan 108%/91% yang mencerminkan kapasitas
berlebihan dari fasilitas peti kemas daerah.
Hal ini merupakan pendapat yang diperdebatkan tentang apakah sesuai
membandingkan terminal-terminal peti kemas di Jakarta, yang mana maksimal menyediakan
2-3 mesin derek per kapal, dengan Singapura dan Tanjung Pelepas dimana kapal-kapal dapat
dilayani dengan 3-5 mesin derek. Dengan basis per-derek, terminal peti kemas utama di
Indonesia mencapai 18-22 mph, sedangkan Singapura/Tanjung Pelepas mencapai sekurang-
kurangnya 30-35 mph. samping biaya untuk memperoleh tempat pada feeder pihak ketiga
serta kerugian karena tempat yang tidak dimanfaatkan pada feeder mereka sendiri. Sebagai
akibatnya, para pengusaha angkutan laut tersebut mengurangi kapasitas yang direncanakan
untuk Pelabuhan Jakarta.

5.8 Indikator Kinerja Pelabuhan

Data terbaru yang dapat diandalkan tentang kinerja pelabuhan sulit didapatkan. Data
terakhir yang tersedia yang dapat digunakan untuk membandingkan kinerja pelabuhan-
pelabuhan di Indonesia secara internasional merupakan data tahun 2002, dan itu pun terbatas
pada gerbang perdagangan utama, yaitu Jakarta, sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 2 di
bawah ini. Meskipun data tersebut tertinggal beberapa tahun, data tersebut menunjukkan
(kurangnya) daya saing relatif yang dimiliki oleh pelabuhan utama Indonesia yang ada di
Jakarta. Berdasarkan wawancara dengan beberapa perusahaan pengangkutan laut
internasional, keadaan ini tampaknya belum berubah. Pelabuhan Jakarta masih tetap mahal
dan tidak efisien.

Keterlambatan waktu di Pelabuhan Jakarta merupakan sebuah masalah besar bagi


para pengusaha angkutan laut. Pada tahun 2002, waktu yang dibutuhkan untuk memindahkan
peti kemas di Pelabuhan Jakarta adalah sekitar 30-40 peti kemas/jam. Peningkatan dalam hal
teknis dan operasional menunjukkan peningkatan produktivitas, pada pertengahan tahun
2007 pemindahan peti kemas per jam mencapai sekitar 60 peti kemas. Akan tetapi,
meningkatnya lalu lintas peti kemas dan kemacetan di pelabuhan disertai permasalahan yang
berkaitan dengan berbagai masalah ketenagakerjaan serta keterlambatan pabean
menyebabkan turunnya produktivitas menjadi sekitar 40-45 peti kemas per jam di paruh
pertama tahun 2008.

Angka tersebut hanya setengah tingkat produktivitas pelabuhan di Singapura dan


pelabuhan-pelabuhan pemindahmuatan (trans-shipment) utama di Malaysia, yang memiliki
produktivitas sekitar 100 110 peti kemas per jam. Akibat dari keterlambatan dalam
penanganan kargo, perusahaan-perusahaan angkutan laut besar melaporkan bahwa seringkali
mereka harus meninggalkan Pelabuhan Jakarta sebelum kapal selesai dimuati karena harus
menepati jadwal yang telah dibuat. Hal ini melibatkan berbagai biaya pemulihan di 12 4
Kruk (2008) merujuk pada data yang dibuat oleh Drewry (2005) Annual Review of Global
Container Terminal Operations yang menghitung penggunaan kapasitas daerah berdasarkan
pada a) rencana yang telah ditetapkan b) perluasan yang tidak dipastikan.

Masing-masing angka untuk Asia Timur laut dan Asia Tenggara adalah 109%/105%
dan 108%/91% yang mencerminkan kapasitas berlebihan dari fasilitas peti kemas daerah. 5
Hal ini merupakan pendapat yang diperdebatkan tentang apakah sesuai membandingkan
terminal-terminal peti kemas di Jakarta, yang mana maksimal menyediakan 2-3 mesin derek
per kapal, dengan Singapura dan Tanjung Pelepas dimana kapal-kapal dapat dilayani dengan
3-5 mesin derek. Dengan basis per-derek, terminal peti kemas utama di Indonesia mencapai
18-22 mph, sedangkan Singapura/Tanjung Pelepas mencapai sekurang-kurangnya 30-35
mph. samping biaya untuk memperoleh tempat pada feeder pihak ketiga serta kerugian
karena tempat yang tidak dimanfaatkan pada feeder mereka sendiri. Sebagai akibatnya, para
pengusaha angkutan laut tersebut mengurangi kapasitas yang direncanakan untuk Pelabuhan
Jakarta.

Para pengusaha jasa angkutan laut interansional Indonesia menikmati pelayanan


pemindahmuatan (transshipment) yang sangat bersaing di Singapura dan Malaysia, tetapi
harus membayar biaya jasa bongkar muat yang tinggi terutama karena tingginya biaya
pelabuhan di Indonesia. Sebuah kajian tentang rantai pasokan (supply-chain) menunjukkan
bahwa upaya untuk mengakses pelabuhan-pelabuhan penghubung di tingkat regional
merupakan persentase biaya yang tidak proporsional dari jumlah total biaya angkutan
internasional. Carana (2004) memperkirakan sekitar 20-50 persen dari biaya angkutan
internasional untuk tujuan ekspor dikeluarkan pada 1000 mil pertama saat melewati
pelabuhan-pelabuhan penghubung di tingkat regional. Salah satu contohnya, 600 mil dari
Pelabuhan Semarang (jawa Tengah) ke Singapura hanya 10 persen dari total jarak yang harus
ditempuh, tetapi biaya yang dikeluarkan untuk menempuh jarak 600 mil tersebut lebih dari
45 persen dari keseluruhan biaya pengangkutan untuk ekspor mebel tersebut ke pasar tujuan
akhir di Valensia, Spanyol.
Meskipun mengakses data kinerja pelabuhan gerbang utama Indonesia tetap sulit,
beberapa data kinerja tersedia untuk sebagian besar dari 25 pelabuhan strategis lainnya.
Dari 19 pelabuhan pada daftar 25 pelabuhan ini yang data lengkapnya tersedia (kecuali
pelabuhan-pelabuhan yang dikelola oleh Pelindo II), dapat dilihat bahwa pemberian jasa
pelabuhan pada pengguna selama ini memprihatinkan, dan hanya ada sedikit perbaikan sejak
akhir tahun 1990an. Hal ini tercermin dalam beberapa indikator kinerja utama seperti rasio-
rasio tingkat okupansi tambatan kapal atau berth occupancy rate (BOR), waktu persiapan
perjalanan pulang kapal atau vessel turn-around time (TRT) dan waktu kerja atau working
time (WT).
Secara keseluruhan, rata-rata sederhana tingkat okupansi tambatan kapal untuk
pelabuhan-pelabuhan ini pada tahun 2006 adalah 57,6 persen, yang turun dari 65 persen pada
tahun 1999, tetapi bagaimanapun juga masih jauh melampaui angka yang dianggap Nathan
Associates (2001) dan lainnya sebagai standar maksimum yang dapat diterima secara
internasional, yaitu 40 persen. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa pertumbuhan
dalam volume peti kemas, tanpa peningkatan mutu yang memadai dalam kapasitas, akan
menyebabkan keterlambatan dan waktu tunggu kapal yang semakin bertambah.
Rata-rata waktu pulang-pergi kapal (suatu ukuran yang menjumlahkan seluruh waktu
yang dibutuhkan di pelabuhan termasuk waktu tunggu, waktu pelayanan panduan, waktu
tidak efektif, waktu kerja dll) juga menandakan kinerja pelabuhan yang buruk dengan kapal-
kapal memerlukan rata-rata 82 jam di pelabuhan (kira-kira 3,5 hari), lebih lama dari rata-rata
79 hari pada tahun 1999. Untuk daftar lengkap 25 pelabuhan strategis (termasuk pelabuhan
Pelindo II), waktu persiapan perjalanan pulang pada tahun 2006 untuk pelayaran dalam
negeri adalah 74 jam (3,1 hari), lebih lama dari 65 jam (2,7 hari) pada tahun 2007. Waktu
kerja sebagai persentasi waktu pulang-pergi memiliki rata-rata sekitar 44,5 persen pada tahun
2005/6, yang berarti bahwa untuk waktu kapal berada di pelabuhan, kapal tersebut hanya
dilayani (yakni bongkar/muat) kurang dari separuh waktu tersebut (Tabel 4). Angka yang
sama untuk tahun 1999 sedikit lebih tinggi yaitu 44,7 persen, menandakan bahwa hanya
sedikit atau sama sekali tidak ada perbaikan dalam indikator penting ini di tahun-tahun
terakhir

Kesimpulan sederhana yang ditarik dari analisa di atas adalah bahwa armada kargo
Indonesia menghabiskan terlalu banyak waktu untuk tidak beroperasi atau menunggu di
pelabuhan. Waktu berlayar rata-rata antara ke-19 pelabuhan yang terdaftar pada tabel dan
pelabuhan-pelabuhan pengumpan (feeder) utama Jakarta dan Surabaya berkisar pada rata-
rata 1-2 hari (Lembaran Negara Pelayaran Indonesia, 3 Maret 2008). Informasi ini,
dipadukan dengan data TRT yang didapati di tabel, menunjukkan bahwa banyak kapal kargo
domestik Indonesia akan menghabiskan paling sedikit separuh, mungkin tiga-perempat,
waktu mereka di pelabuhan.

5.9 Berbagai Faktor Utama Penyebab Buruknya Kinerja Pelabuhan

Ada beberapa faktor yang bersama-sama menghambat kinerja sistem pelabuhan


komersial Indonesia:
- Batasan-batasan geografis. Kedalaman pelabuhan tampaknya menjadi
masalah besar di hampir setiap pelabuhan di Indonesia. Indonesia memiliki
pelabuhan-pelabuhan perairan dalam alami yang sangat sedikit dan sistem
sungai yang rentan terhadap pendangkalan parah yang membatasi
kedalaman pelabuhan. Apabila pengerukan tidak dapat dilakukan, seperti
yang terjadi dengan pelabuhan sungai Samarinda, kapal seringkali harus
menunggu sampai air pasang sebelum memasuki pelabuhan, yang
menyebabkan lebih banyak waktu non-aktif bagi kapal. Geografi fisik
terutama membatasi bagi pelabuhan-pelabuhan Indonesia di pantai utara
Jawa, yang melayani wilayah paling padat penduduk dan wilayah dengan
tingkat industri tertinggi di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh tanah
pesisir/dasar laut yang sangat aluvial dan tidak stabil, ditambah dengan 15
8 Beberapa pelabuhan dalam daftar ini adalah pelabuhan sungai dengan
waktu pelayanan pandu (AT) yang lebih lama seperti Samarinda,
Palembang dan Pekan Baru. Namun menghilangkan AT dari denominator
TRT tidak terlalu berdampak pada rasio waktu kerja (Tabel 4). perairan-
perairan pantai yang dangkal. Pelabuhan Semarang, pelabuhan utama
untuk Jawa Tengah, terutama bermasalah dalam hal ini karena tenggelam
dengan kecepatan 7-12 cm per tahun dan sebagian besar pelabuhan berada
di bawah air hampir setiap hari dalam sebulan. Setiap 7-10 tahun,
kegiatankegiatan yang mahal dan memakan waktu harus dilakukan di
terminal peti kemas untuk meninggikan dermaga utama dan area
penyimpanan.
- Masalah Tenaga Kerja. Waktu non-aktif yang dibahas di atas sebagian
disebabkan oleh cara pemanfaatan tenaga kerja di pelabuhan yang secara
efektif melembagakan penggunaan fasilitas pelabuhan secara tidak efisien
dan membatasi kemungkinan-kemungkinan peningkatan efisiensi. Di
banyak pelabuhan, hanya tersedia satu giliran tenaga kerja dan peluang
untuk lembur dibatasi. Untuk pelabuhan-pelabuhan yang dimaksudkan
untuk beroperasi selama 24 jam, enam jam dari setiap 24 jam terbuang
karena waktu-waktu istirahat yang kaku dan tidak digilir untuk
memastikan pelayanan kapal secara berkesinambungan (Nathan Associates
2001).
- Kurangnya keamanan. Pengiriman kargo dari Indonesia biasanya menarik
premi asuransi 30-40 persen lebih tinggi dari kargo yang berasal dari
Singapura. Hal ini disebabkan tidak hanya oleh perampokan di laut, tetapi
juga oleh kegiatan di pelabuhan yang dilakukan kelompok-kelompok
kejahatan terorganisir, pencurian umum dan pencurian kecil (pilferage)
sekaligus pemogokan dan penghentian kerja (Carana 2004). Seperti
disebutkan selanjutnya, pelabuhan-pelabuhan utama yang terlibat dalam
ekspor-impor sekarang harus memperbaiki keamanannya untuk memenuhi
persyaratan keamanan internasional baru, yang dikenal sebagai ISPS.
- Korupsi. Sebab lain waktu non-aktif adalah penundaan karena
ketidakadilan dan korupsi dalam alokasi tambatan/berth (Nathan
Associates 2001). LPEM-FEUI (2005) mencatat bahwa penggunaan
pungutan liar untuk mengurangi waktu antri yang disebabkan kurangnya
sarana infrastruktur utama seperti derek jembatan dan ruang penyimpanan
juga merupakan hal yang umum. Biaya-biaya semacam itu masih ditambah
lagi dengan banyak sekali pungutan liar yang diminta di pelabuhan untuk
prosedur ekspor dan impor yang terus disorot di laporan-laporan media.

- Kurangnya prasarana pelabuhan. Banyak pelabuhan regional kekurangan


sarana peti kemas, yang mengharuskan perusahaan-perusahaan pelayaran
untuk menggunakan peralatan sendiri, baik yang berada di kapal maupun
yang disimpan di pelabuhan. Hanya 16 dari 111 pelabuhan komersial yang
mempunyai penanganan peti kemas jenis tertentu. Akhir-akhir ini terdapat
keterlambatan pelayaran yang lama di pelabuhan-pelabuhan tertentu,
terutama Panjang di Lampung dan Belawan di Sumatra Utara, yang
disebabkan oleh rusaknya peralatan sisi-pelabuhan utama (seperti derek
jembatan) dan keterlambatan dalam mendapatkan suku cadang pengganti.
Kekurangan tempat untuk penyimpanan dan pengisian peti kemas adalah
masalah lain yang dihadapi sebagian besar pelabuhan Indonesia. Hal ini
seringkali mengharuskan pemakaian armada truk putar untuk mengantar
kargo langsung kepada pelanggan atau pos pengangkutan peti kemas
(CFS) langsung dari kapal yang menyebabkan lebih banyak keterlambatan,
kemacetan pelabuhan yang lebih parah (baik di sisi darat maupun laut) dan
biaya penanganan yang lebih meningkat (Carana 2004). Di Panjang
misalnya, dilaporkan bahwa derek-derek yang rusak mengakibatkan
keterlambatan sampai satu setengah hari pada bulan Mei 2008 (Indonesia
Shipping Times, Juli 2008) Hampir semua pelabuhan besar Indonesia
berlokasi dekat dengan daerah-daerah perkotaan besar yang aksesnya
melalui jalan-jalan raya kota yang padat. Masalah kemacetan demikian
seringkali diperparah oleh kedatangan kapal penumpang, karena hanya
beberapa pelabuhan regional yang memiliki sarana terpisah untuk kapal
barang dan penumpang. Di pelabuhan-pelabuhan dengan tingkat okupansi
tambatan kapal yang tinggi, kehadiran kapal penumpang dan barang yang
bersamaan menyebabkan lebih banyak keterlambatan, dan memperlama
waktu persiapan perjalanan pulang kapal barang.

5.10 Keadaan dan Masalah Maritim Indonesia

Pembangunan maritim Indonesia harus menggali potensi maritim untuk membulatkan


akselerasi Pembangunan Nasional yang diselenggarakan. Kenyataannya selama ini potensi
maritim belum mendapatkan prioritas penanganan secara proporsional sehingga berbagai
kendala tak pernah dapat diatasi secara tuntas, terutama menyangkut upaya memelihara
langkah dan keterpaduan pembangunan. Pembangunan maritim memerlukan sistem
pengelolaan terpadu wilayah pesisir dan lautan. Dalam pengelolaan ini berbagai masalah
akan muncul, berbagai konflik akan terjadi yang disebabkan oleh adanya degradasi mutu dan
fungsi lingkungan hidup yang antara lain disebabkan karena musnahnya hutan bakau,
rusaknya terumbu karang, abrasi pantai, intrusi air lautm pencemaran lingkungan pesisir dan
laut serta perubahan iklim global. Berbagai masalah berakar dari:
1. Masing masing pelaku pembangunan dalam menyusun perencanaan sangat terikat
pada sektornya sendiri tanpa adanya sistem koordinasi baku lintas sektor.
2. Belum adanya lembaga yang berwenang penuh baik di pusat maupun di daerah
yang mempunyai wewenang penentu dalam pembangunan maritim secara utuh
3. Belum lengkapnya peraturan perundang-undangan yang mengatur kewenangan
pengelolaan sumberdaya maritim.
4. Belum lengkapnya tataruang yang mencakup wilayah pesisir dan laut nasional yang
dapat dijadikan sebagai induk perencanaan bagi daerah.
Untuk dapat menjamin efektifitas pembangunan maritim, berbagai masalah tersebut harus
dapat diatasi secara tuntas, paling tidak yang terkait dengan:
1. Penataaan peraturan perundang-undangan dalam pengelolaan pembangunan maritim
yang bersifat lintas sektoral
2. Pembentukan wadah untuk penyusunan dan penerapan mekanisme perencanaan
dan pengawasan terpadu, pengelolaan yang dikoordinasikan serta pengendalian yang sinkron
3. Penciptaan dan peningkatan sumberdaya maritim handal dan profesional.
4. Penataan peraturan perundang- undangan disertai upaya penegakan peraturan
hukum yang konsisten
5. Penetapan tata ruang maritim disertai pola pengelolaan, pemanfaatan dan pendaya
gunaannya
6. Sistem pengumpulan dan pengelolaan informasi maritim yang dapat diakses secara
luas.
7. Memperbesar kemampuan pengadaan sumber dana yang dapat diserap dalam upaya
pembangunan maritim dengan kemudahannya
8. Pembentukan wadah untuk menyuburkan upaya penelitian dan pengembangan
maritim untuk dapat mempermudah penerapan ilmu dan teknologi kelautan, utamanya bagi
nelayan tradisional

5.11 Kendala Umum dalam Pemanfaatan Wilayah Nusantara


Adapun berbagai kendala umum yang muncul dalam rangka pemanfaatan laut wilayah
nusantara untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, terkait dengan fungsi dan kedudukan
laut berikut :
1. Lautan sebagai sumber pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Pemanfaatan laut
terutama sebagai sumber pangan belum optimal. Pemanfaatan perikanan baru sekitar 35 %
dari potensi yang ada. Masalah yang dihadapi adalah : kualitas tenaga kerja dalam eksploitasi
dan budidaya laut masih kurang. Jumlah dan tingkat teknologi sarana penangkapan dan
pengelolaan masih perlu ditingkatkan
2. Lautan dan dasar lau sebagai sumber bahan dasar dan sumber energy. Berbagai
mineral dan bahan baku industri letaknya pada laut yang kedalamannya lebih dari 200 m.
masalah yang dihadapi dalam pemanfaatan laut sebagi sumber bahan baku dan sumber
energy adalah kurangnya tenaga ahli dan terampil yang mampu mengeksploitasi dan
mengeksplorasi sumber- sumber tersebut di dalam , disamping masalah permodalannya
3. Lautan sebagai medan kegiatan industri. Pemanfaatan laut sebagai medan kegiatan
industri belum efektif dan efesien. Masalahnya antara lain adalah belum meratanya kegiatan
industri
4. Laut sebagai tempat bermukim dan bermain. Pemanfaatan laut sebagai tempat
bermukim bagi sebagian suku laut seperti suku Badjo, suku anak lau, belumlah diatut dan
dikelola dengan baik. Demikian halnya laut sebagai tempat bermain/ olahraga seperti
selancar, diving, dsb.
5. Laut sebagai medan hamkamnas. Bidang hamkamnas sangan dominan pada laut
sebagai media penting dalam kegiatan hamkamnas. Permasalahan yang dihadapi adalah
terbatasnya sarana untuk pertahanan dan keamanan di laut.
Laut sebagai zona ekonomi ekslusif Indonesia. Dengan diberlakukannya konvensi PBB
tentang hukum laut tahun 1982 (UNCLOS 82) maka Indonesia sebagai salah satu Negara
yang diuntungkan, masalahnya adalah semua potensi sumberdaya yang terdapat di ZEEI
yang hak pengelolaannya diberikan kepada Indonesia belum bisa diketahui secara pasti,
apalagi dimanfaatkan sebagai sumber pambangunan

5.12 Pembangunan Maritim Indonesia Jangka Panjang

Saat ini dapat diidentifikasikan bahwa sedikitnya terdapat 12 unsur pembangunan maritim
yang terdiri atas : perikanan, perhubungan laut, industri maritim, pertambangan dan energy,
pariwisata bahari , tenaga kerja kelautan, pendidikan kelautan, masyarakat bahari dan desa
pantai, hukum tata kelautan, penerangan bahari, survey pemetaan dan iptek kelautan, dan
sumber daya alam dan lingkungan hidup laut dan pantai. Namun didasarkan pada asa
maksimal, lestari, daya saing, prioritas, bertahap, berlanjut dan konsisten, maka hanya
terdapat lima elemen utama yang dijadikan sebagai focus pembangunan maritim, yaitu:
perikanan, perhubungan laut, industri maritim, pertambangan dan energy, serta pariwisata
bahari. Untuk mewujudkan hal tersebut maka disusunlah pembangunan maritim Indonesia
jangka panjang, dalam Pembangunan jangka panjang II Maritim Indonesia dilakukan secara
bertahap, dengan waktu yang masih tersisa 4 pelita (20 tahun) pentahapannya dilakukan
sebagai berikut
1. Pelita VII penekanan dilakukan pada perikanan dan pariwisata bahari dengan tanpa
mengesampingkan pengembangan sumberdaya manusia dan iptek maritim yang sesuai
2. Pelita VIII penekanan diletakkan pada perikanan, perhubungan laut dan pariwisata
bahari seiring dengan pengembangan iptek dan SDM yang diperlukan
3. Pelita IX penenkannya diletakkan pada perhubungan laut, pariwisata bahari seiring
dengan peningkatan iptek dan SDM
4. Pelita X penekanan diletakkan pada pertambangan dan energy seiring dengan
pengembangan SDM dan iptek yang diperlukan
Khusus pada pelita VII kelima elemen pembangunan maritim Indonesia diarahkan pada
sektor perikanan, daya saing dalam globalisasi, perhubungan laut, industri maritim,
pertambangan dan energy, pariwisata bahari yang diproyeksikan dengan kebutuhan SDM dan
IPTEK yang sesuai.
Secara teoritis ekonomi kelautan belum jadi sebuah kajian khusus di Indonesia. Kajian
ekonomi kelautan masih bersifat mikro dan parsial. Kini kajian ekonomi kelautan di
Indonesia lebih dominan menyangkut ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan.
Dalam laporan National Ocean Economic Program yang diterbitkan di Amerika Serikat,
Kildow et al (2009) mendefenisikan ekonomi kelautan dan pesisir berbeda. Dinyatakan
bahwa ekonomi pesisir sebagai segala aktivitas ekonomi yang berlangsung di sepanjang
wilayah pesisir. Suatu analisis ekonomi pesisir mengungkapkan tiga tema yaitu :
1. Ukuran (Size)
Ekonomi pesisir di Amerika Serikat memiliki porsi besar dalam aktivitas ekonomi hingga
mampu berkontribusi bagi ekonomi negaranya. Ironis dibandingkan dengan Indonesia
sebagai Negara kepulauan akan tetapi ekonomi pesisirnya tak berdampak dalam
perekonomian Negara.
2. Kedudukan (Sprawl)
Ekonomi pesisir adalah sebagai ekonomi utama kaum urban (perkotaan) dan penyebaran
aktivitasnya sepanjang wilayah pesisir secara signifikan berdampak pada kekuatan daerah
urban khususnya penyebaran penduduk dan aktivitas ekonomi yang jauh dari pusat-pusat
kota.
3. Pelayanan (Services)
Ekonomi pesisir menjadi penggerak utama industri manufaktur di Amerika Serikat, tapi saat
ini berubah jadi produsen utama sektor jasa. Berbeda halnya dengan Indonesia, ekonomi
pesisir jangankan jadi penggerak utama sektor jasa, sektor manufaktur saja mau jauh
panggang dari api.
Sementara ekonomi kelautan (ocean economic) yaitu sebagai aktivitas ekonomi yang
bergantung pada laut dan produk-produknya. Ditambahkan juga bahwa ekonomi kelautan
berasal dari lautan (atau danau besar) yang sumberdayanya menjadi input barang dan jasa
secara langsung maupun tak langsung dalam aktivitas ekonomi utamanya berupa;
a) Industry yang secara iksplisit berkaitan dengan aktivitas kelautan atau
b) Secara parsial berkaitan dengan kelautan yang berlokasi pada sutau perbatasan yang
ditandai oleh garis pantai (a shore-adjacent zip code)
Ekonomi kelautan belum mendapatkan tempat dalam kebijakan pembangunan nasional di
Indonesia karena:
1) Meminjam pemikiran Gus Dur, mindset pembangunan ekonomi Indonesia lebih
didominasi cara berfikir continental ketimbang kelautan maupun maritime.
2) Pelbagai kalangan berpendapat bahwa memosisikan ekonomi kelautan sebagai basis
pembangunan ekonomi nasional berimplikasi luas karena akan mengubah secara radikal
pelbagai nomenklatur, kebijakan politik anggaran, dan peraturan perundangan di Indonesia.
3) Kalangan intelektual ekonom Indonesia, parlemen dan birokrat relative kurang melek
soal-soal kelautan dan perikanan hingga kerap berfikir mengikuti aliran pemikiran ekonomi
arus utama idiologi neo-liberalismenya ketimbang menyempal dan membangun gagasan-
gagasan baru bersifat kontruktivisme.

Indonesia adalah negara kepulauan dengan luas lautan melebihi daratan. Secara
geografis, Indonesia terletak di antara dua benua dan dua samudera, dan memiliki kekayaan
sumberdaya alam yang besar. Sebagai negara kepulauan, harusnya Indonesia juga disebut
sebagai negara maritim. Namun sayangnya, julukan Indonesia sebagai negara maritim
dipandang belum tepat. Alasan mendasar mengenai hal ini dikarenakan paradigma
pembangunan di Indonesia selama beberapa dekade ini bias daratan.
Akibatnya ketimpangan pembangunan antara daratan dan lautan begitu terlihat. Negara
maritim adalah negara yang memanfaatkan secara optimal wilayah lautnya dalam konteks
pelayaran secara umum. Contoh negara- negara maritim diantaranya: Inggeris, Amerika
Serikat, Singapura, Cina, dan Panama. Negara-negara tersebut dikategorikan sebagai negara
maritim, karena melakukan manajemen pembangunan wilayah perairan lautnya secara
sungguh-sungguh, komprehensif, terencana dan berkesinambungan. Berdasarkan latar
belakang dan fakta sejarah, bangsa Indonesia pernah berjaya dalam kemaritiman.

Tercatat beberapa kerajaan yang pernah ada di Indonesia dikenal sebagai penguasa
maritim, seperti Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, Demak, Bone dan lain-lain. Jejak fakta
sejarahnya bahkan ditemui di Madagaskar.2 Kata maritim berasal dari bahasa Inggris yaitu
maritime, yang berarti navigasi, maritime atau bahari. Dari kata ini kemudian lahir istilah
maritime power yaitu negara maritim atau negara samudera. Maritim, dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia diartikan sebagai berkenaan dengan laut berhubungan dengan pelayaran
dan perdagangan di laut. Dalam bahasa Inggeris, kata maritime untuk menunjukkan sifat atau
kualitas yang menyatakan penguasaan terhadap laut. Dilihat dari sisi tata bahasa, kelautan
adalah kata benda, maritim adalah kata sifat.

Dengan demikian, kalau ingin menyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang
memanfaatkan laut, rasanya kata maritim lebih tepat. Indonesia harus menjadi negara
maritim, bukan hanya negara kelautan. Argumentasinya adalah, negara maritim adalah
negara yang mempunyai sifat memanfaatkan laut untuk kejayaan negaranya, sedangkan
negara kelautan lebih menunjukkan kondisi fisiknya, yaitu negara yang berhubungan, dekat
dengan atau terdiri dari laut. Dilihat dari arti kata secara luas, kata kelautan mungkin lebih
cenderung mengartikan laut sebagai wadah, yaitu sebagai hamparan air asin yang sangat luas
yang menutupi permukaan bumi, hanya melihat fisik laut dengan segala kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya.

Dengan demikian, istilah maritim sesungguhnya lebih komprehensif, yaitu tidak hanya
melihat laut secara fisik, wadah dan isi, tetapi juga melihat laut dalam konteks geopolitik,
terutama posisi Indonesia dalam persilangan antara dua benua dan dua samudera serta
merupakan wilayah laut yang sangat penting bagi perdagangan dunia. Pemahaman maritim
merupakan segala aktivitas pelayaran dan perniagaan, perdagangan yang berhubungan
dengan kelautan atau disebut pelayaran niaga, sehingga dapat disimpulkan bahwa maritim
adalah terminologi kelautan dan maritim berkenaan dengan laut, yang berhubungan dengan
pelayaran, dan perdagangan di laut.

Pengertian kemaritiman yang selama ini diketahui oleh masyarakat umum adalah
menunjukkan kegiatan di laut yang berhubungan dengan pelayaran dan perdagangan,
sehingga kegiatan di laut yang menyangkut eksplorasi, eksploitasi seperti penangkapan ikan
bukan merupakan kemaritiman.3 Dalam arti lain, kemaritiman berarti sempit ruang
lingkupnya, karena berkenaan dengan pelayaran dan perdagangan laut. Pengertian lain dari
kemaritiman yang berdasarkan pada terminologi adalah mencakup ruang dan wilayah
permukaan laut, pelagik dan mesopelagik yang merupakan daerah subur di mana pada daerah
ini terdapat berbagai kegiatan seperti pariwisata, lalulintas, pelayaran dan jasa-jasa kelautan.

Sedangkan menurut pendekatan konsep ini, Indonesia saat ini lebih tepat disebut
sebagai negara kelautan, bukannya negara maritim, karena selama ini Indonesia belum
mampu sepenuhnya memanfaatkan laut secara maksimal. Selain itu, arah pengembangan dan
pembangunan yang dilakukan bukan cerminan sebagai negara yang mempunyai jiwa dan
pemikiran yang pandai untuk memanfaatkan laut secara keseluruhan dan tidak hanya
memanfaatkan fisiknya saja.4 Fakta paradigma pembangunan dengan adanya ketimpangan
pembangunan di sektor laut dan daratan serta keterpurukan ekonomi, di era Presiden Joko
Widodo, tercerahkan kembali untuk kembali menata laut demi kemakmuran bangsa. Presiden
Joko Widodo mengusung tema kemaritiman dengan Poros Maritim Dunia dan Tol Laut.

Memang sudah seharusnya, bangsa Indonesia untuk menata dan membangun laut
khususnya kemaritiman menjadi modal pembangunan menuju kemakmuran bangsa.Namun
sepertinya, jalan untuk mewujudkan hal tersebut masih akan menemui berbagai persoalan.
Mulai dari persoalan ego sektoral dalam upaya penegakan hukum kemaritiman hingga
persoalan sarana dan prasarana yang merupakan pemenuhan infrstruktur yang memadai di
Indonesia.

Sengkarut Penegakan Hukum Kemaritiman di Indonesia Pemerintahan Indonesia di


bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo melalui Peraturan Presiden Nomor178 Tahun
2014, mendirikan Badan Keamanan Laut (Bakamla) yang sebelumnya bernama Badan
Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla). Hal ini menarik untuk dibahas, karena selama ini
di Indonesia menganut sistem multi-agen yang merupakan sistem kelembagaan dimana
terdapat lebih dari 1(satu) institusi/lembaga yang berinteraksi secara bersama-sama untuk
mencapai atau untuk menyelesaikan masalah yang sama. Ferber dan Gutknecht berpendapat
bahwa agen-agen penegakan hukum di laut tersebut merupakan suatu entitas otonom yang
berperilaku individual. Sifat interaksi multi-agen tersebut timbul karena: pertama, sistem
organisasi yang heterogen. Masing-masing institusi mempunyai struktur organisasi
tersendiri.

Kedua, perbedaan budaya dan sistem kerja antar organisasi. Meski berada dalam satu
platform atau satu cakupan bidang, masing-masing organisasi dikembangkan dengan gaya
yang berbeda sesuai dengan visi masing-masing organisasi.5 Ego dan kompetisi kepentingan
sektoral juga nampak dalam koordinasi peningkatan kemampuan pengawasan keamanan di
wilayah laut, terutama antara TNI dan Polri. Salah satu contoh adalah inistiaf TNI AL untuk
meminjamkan sejumlah senjata dan amunisinya terhadap Kementerian Kelautan Dan
Perikanan (KKP), petugas Bea Cukai dan Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai melalui Nota
Kesepakatan antara KSAL TNI Laksamana TNI dengan ketiga perwakilan instansi tersebut.
Padahal, izin penggunaan senjata dan bahan peledak oleh pihak sipil merupakan kewenangan
Kepolisian RI seperti diatur dalam UU Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian RI dan Surat
Keputusan Kapolri No. SKEP/82/II/2004 pada tanggal 16 Februari 2004. Persoalan
koordinasi dan fungsi integratif semakin menajam dengan proses transisi sistem pengawasan
maritim sejak berlakunya UU Nomor 43 tahun 2008 tentang Wilayah Negara dan UU Nomor
17 tahun 2008 tentang Pelayaran.

Secara teroritis, aktor utama yang memiliki kewenangan dalam kemaritiman untuk
melakukan kontrol atas arus lintas maritim adalah Polisi Perairan (Polair), Petugas Imigrasi,
dan Petugas Bea Cukai. Polair, tugas utamanya adalah pencegahan dan penindakan terhadap
aktifitas arus lintas barang dan orang yang bersifat illegal, pendeteksian ancaman keamanan,
serta pengontrolan terhadap orang dan barang di titik awal hingga tujuan, penyelidikan dan
penyidikan tindak kejahatan atau pun peristiwa kecelakaan/insiden. Petugas Imigrasi
bertanggung jawab untuk melakukan kontrol persyaratan dan pelarangan masuk barang dan
orang, menjamin legalitas dari dokumen perjalanan, mengidentifikasi dan menginvestigasi
tindak kejahatan, dan membantu orang-orang yang membutuhkan pertolongan. Petugas bea
cukai pada dasarnya bertugas untuk mengatur arus barang dan jasa.

Fungsinya adalah memfasilitasi perdagangan sesuai persyaratan yang ditentukan


tentang keluar masuk barang, memastikan pelaksanaan bea dan pajak masuk, serta
melindungi kesehatan arus lintas manusia, hewan dan binatang. Namun, pada kenyataannya
di Indonesia terdapat 12 (dua belas) instansi yang melakukan penegakan hukum dan
peraturan tentang laut secara bersama-sama. Lembaga-lembaga tersebut mempunyai
landasan hukum masing-masing yang isinya hampir bersinggungan. Meski bersinggungan,
dalam menjalankan fungsinya sebagai penegak hukum di wilayah laut Indonesia, sehingga
pengamanan dan penegakan hukum belum berjalan maksimal.

Masing-masing instansi/kementerian terkait mempunyai kebijakan, sarana dan


prasarana, serta sumber daya manusia yang berbeda-beda, berdasarkan tugas pokok dan
fungsinya yang telah ditentukan. Dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo, mencoba
merubah sistem kelembagaan multi agent menjadi single agent untuk penegakan hukum di
laut Indonesia. Bakorkamla, yang awalnya hanya sebagai koordinator direvitalisasi pada
tanggal 8 Desember 2014 menjadi Badan Keamanan Laut Indonesia (Bakamla) dengan
wewenang yang lebih luas sampai dengan kewenangan untuk menindak segala bentuk
kejahatan di laut. Hal ini menimbulkan pro dan kontra, karena persoalan utama yang terjadi
adalah kurangnya koordinasi antar lembaga, bukan membuat lembaga baru. Lembaga yang
sudah ada memang dijalankan sesuai tupoksi masing-masing dan ini mengindikasikan peran
spesifik dari masing-masing lembaga (spesialisasi). Peran spesialiasi inilah yang harus
diperkuat melalui fungsi koordinasi. Misalnya Kementerian Perhubungan, khususnya Ditjen
Perhubungan Laut (dulunya Jawatan Pelayaran).

Tugasnya adalah memelihara keamanan, keselamatan navigasi dan menjaga marine


pollution. Armada KPLP (Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai) Direktorat Jenderal
Perhubungan Laut bertugas sebagai penjaga pantai dan penegakan hukum di laut. Ada dasar
hukumnya dan diakui oleh hukum internasional. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (P2)
bertugas mengawasi lalu lintas barang masuk dan keluar NKRI umumnya, pelanggaran
khususnya, lebih khusus lagi adalah tugas mendeteksi dan menangkap penyelundupan di
wilayah perairan Indonesia. Kementerian Perhubungan dibantu Kementerian Kelautan dan
Perikanan (KKP) bertugas meningkatkan efektivitas dan efisiensi perhubungan antar pulau,
hubungan laut dan udara, terutama pengangkutan hasil laut ke pasar luar/antar pulau dengan
landasan dan pesawat kecil. Kementerian bertugas membongkar berbagai hambatan tol
laut dalam sebuah rangkaian dari pulau Sumatera sampai Papua.

KKP bertugas mengamankan kekayaan laut dan perikanan melalui moratorium


(larangan sementara, izin masuk zona tangkap bersyarat khusus) penangkapan ikan pada
wilayah over fishing, seleksi ulang izin usaha, pengetatan persyaratan dan perizinan usaha
penangkapan ikan, aturan bongkar muat di tengah laut, mengembangkan angkutan hasil laut
lewat udara, sistem satelit penginderaan jauh VMS dan MCS, sosialisasi pertahanan sipil,
pembinaan masyarakat nelayan, dan pemeriksaan kapal di pelabuhan sebelum dan setelah
melaut. Kementerian ESDM bertugas mengawasi pekerjaan usaha pertambangan dan
pengawasan hasil pertambahan di perairan Indonesia. Kementerian Kebudayaan dan
Pariwisata bertugas mengawasi dan melindungi cagar budaya, keselamatan wisatawan,
kelestarian kualitas lingkungan di perairan Indonesia.
Kementerian Hukum, HAM, dan Perundangan bertugas melakukan pengawasan,
penyelenggaraan keimigrasian, dan penyidikan tindak pidana keimigrasian. Kementerian
Pertanian bertugas melakukan karantina hewan, ikan dan tumbuh-tumbuhan. Kementerian
Kehutanan dan Lingkungan Hidup bertugas melakukan pengawasan terhadap ilegal logging,
abrasi daratan akibat penggundulan hutan, serta di bidang lingkungan hidup pada wilayah
perairan Indonesia umumnya, kualitas air, hutan bakau, dan taman karang khususnya.
Kementerian Kesehatan bertugas melakukan pengawasan atau pemeriksaan kapal, awak
kapal, penumpang, hewan, barang, dan jenis muatan kapal yang lain.

Kementerian Dalam Negeri bertugas melaksanakan otonomi daerah bidang perairan


tiap Pemda di Indonesia. Sedangkan Polair yang merupakan bagian dari Polri, jelas
merupakan institusi berdasarkan undang-undang menjalankan fungsi penyelidikan dan
penyidikan tindak pidana kejahatan dengan dukungan forensik, dan diakui oleh hukum
internasional. Fungsi kontrol dalam kemaritiman memang perlu dilaksanakan melalui
pendekatan integratif antar aktor yang berwenang. Hal ini dengan mempertimbangkan
bentang laut seharusnya terdapat mekanisme koordinatif pembagian kerja antara patroli laut,
pengamanan keluar masuk arus manusia dan barang di sejumlah pelabuhan melalui kontrol
dokumen perjalanan dan kebijakan bea serta dukungan sistem pengawasan (surveillance).
Namun, sentimen sektoral dan minimnya dukungan anggaran seringkali menjadi hambatan
untuk pengembangan fungsi koordinatif seperti sudah disebutkan di atas.

Sehingga aktor yang seharusnya bertanggung jawab melakukan fungsi kontrol melalui
kerja koordinatif, akhirnya berjalan sendiri-sendiri dengan semangat ego sektoral. Masing-
masing lembaga memiliki spesialisasi tertentu dalam ranah tupoksinya. Pembentukan
Bakamla jelas menjadikan kerancuan dalam upaya mewujudkan penegakan hukum di laut.
Karena akan terlalu banyak aturan dan perundangan yang harus diubah dan akan memakan
waktu serta biaya yang tidak sedikit. Tidak semudah memindahkan sarana dan prasarana
kerja dengan hanya surat pemberitahuan. Karena ranah kerja institusi/lembaga hukum
tersebut terikat dalam kaidah hukum internasional yang berlaku. Mantan Kepala Staf
Teritorial TNI Letnan Jenderal Purnawirawan Agus Widjojo dalam bukunya yang berjudul,
Transformasi TNI dari Pejuang Kemerdekaan menuju Tentara Profesional dalam Demokrasi:
Pergulatan TNI Mengukuhkan Kepribadian dan Jati Diri, mengatakan, Tentara Nasional
Indonesia perlu memusatkan perhatian pada tugas pokoknya menjaga pertahanan nasional,
sehingga sebagai implikasinya mesti melepaskan tanggung jawab di sektor keamanan dalam
negeri.
Agus Widjojo menginventarisir tahap-tahap kemajuan reformasi TNI yang perlu
diimplementasikan. Salah satu poin yang menjadi perhatiannya adalah penentuan batas
antara urusan pertahanan dan keamanan. Masih ada salah pengertian bahwa keamanan laut
dan keamanan maritim berada di tangan TNI Angkatan Laut. Perlu ditanamkan pengertian,
fungsi keamanan maritim merupakan fungsi penegakan hukum di wilayah perairan nasional
yang dilaksanakan oleh lembaga penegak hukum sipil. Saat ini penegakan hukum dan
keamanan di lautan Indonesia memang masih tumpang-tindih (overlapping). Hingga saat ini
setidaknya ada 24 peraturan perundang-undangan yang memberikan kewenangan kepada
berbagai instansi pemerintah untuk menegakkan hukum di laut. Beberapa contoh,
diantaranya, UU Nomor 11 tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan
memberikan kewenangan penegakan hukum di laut kepada Kementerian Energi dan
Sumberdaya Mineral. Kewenangan penegakan hukum di laut diberikan lagi kepada lembaga
ini oleh UU Nomor 22 tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi sehingga kewenangannya
menjadi cukup luas.

Kemudian, contoh lain, UU Nomor 9 tahun 1992 Tentang Keimigrasian memberikan


kewenangan kepada Kementerian Hukum dan HAM (dalam hal ini Ditjen Imigrasi) untuk
juga menegakkan hukum di laut. Ada juga UU Nomor 2 tahun 2002 Tentang Kepolisian
Negara RI yang memberikan kewenangan kepada Polri untuk menegakkan hukum di laut.
Dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, Pasal 9 disebutkan Angkatan Laut bertugas:
a. melaksanakan tugas TNI matra laut di bidang pertahanan.
b. menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut yurisdiksi nasional
sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah
diratifikasi.
c. melaksanakan tugas diplomasi Angkatan Laut dalam rangka mendukung kebijakan
politik luar negeri yang ditetapkan oleh pemerintah.
d. melaksanakan tugas TNI dalam pembangunan dan pengembangan kekuatan matra
laut
e. melaksanakan pemberdayaan wilayah pertahanan laut.

Dalam penjelasan atas UU Nomor 34 tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia,
Pasal 9 Huruf a cukup jelas. Huruf b, yang dimaksud dengan menegakkan hukum dan
menjaga keamanan adalah segala bentuk kegiatan yang berhubungan dengan penegakan
hukum di laut sesuai dengan kewenangan TNI AL (constabulary function) yang berlaku
secara universal dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku untuk
mengatasi ancaman tindakan kekerasan, ancaman navigasi, serta pelanggaran hukum di
wilayah laut yurisdiksi nasional. Menegakkan hukum yang dilaksanakan oleh TNI AL di
laut, terbatas dalam lingkup pengejaran, penangkapan, penyelidikan, dan penyidikan perkara
yang selanjutnya diserahkan kepada Kejaksaan, karena TNI AL tidak menyelenggarakan
pengadilan.
Memang perlu ada kejelasan peraturan yang saling tumpang tindih, maklum, banyak
undang-undang disusun secara cepat. Tapi yang pasti akibatnya, TNI AL punya wewenang
penegakan hukum (polisionil) disamping sebagai alat pertahanan. Situasi tersebut telah
menimbulkan kebingungan bagi obyek penegakan hukum di laut seperti kapal niaga, kapal
penangkap ikan, nelayan, pelaut dan mereka yang karena sifat pekerjaannya harus
bersinggungan dengan laut. Mereka mengungkapkan, instansi tertentu sering
memberhentikan dan naik ke kapal di tengah lautan untuk memeriksa berbagai persyaratan
yang harus ada di atas kapal atau dokumen/surat yang harus dimiliki oleh ABK, bagi aparat
penegak hukum, ini sah-sah saja.
Di sisi lain, sesuai dengan Hukum Maritim Internasional yang sudah disepakati
Indonesia sejak tahun 1974 (SOLAS 1974) yang tertuang dalam:
a. Bab V Peraturan 15 Konvensi Internasional tentang Keselamatan Jiwa di Laut
(SOLAS 1974) mengenai kewajiban negara penandatangan untuk membentuk
organisasi Pengawal Pantai (Coast Guard) atau Pengawal Laut dan Pantai (Sea and
Coast Guard).
b. Ketentuan Internasional tentang Keamanan Kapal dan Fasilitas PelabuhanTahun
2002 atau International Ships and Port Facilities Security Code 2002 (ISPS Code
2002) mengenai kewajiban negara peserta untuk menetapkan otoritas nasional dan
otoritas lokal yang bertanggungjawab atas keselamatan dan keamanan maritim.
c. Pasal 217, pasal 218 dan pasal 220 Konvensi Perserikatan Bangsabangsa tentang
Hukum Laut (UNCLOS III, 1982) mengenai penegakan hukum oleh Negara
Bendera (Flag State), oleh Negara Pelabuhan (Port State), dan oleh Negara Pantai
(Coastal State).

Berdasarkan aturan ini, organisasi militer dilarang untuk menegakan hukum maritim
internasional di kapal-kapal berbendera asing kecuali jika negara tersebut dalam kondisi
perang. Hanya organisasi sipil saja yang diperbolehkan memeriksa kapal-kapal lintas damai.
Memang dalam hukum nasional, TNI AL berhak memeriksa kapal-kapal lintas damai di
wilayah perairan Indonesia. Tetapi hal ini sangat bertentangan dengan hukum maritim
internasional (UNCLOS, 1982) yang sudah disepakati oleh 168 negara termasuk Indonesia.
Hal ini pula yang menyebabkan setiap kapal-kapal asing yang mau masuk ke perairan
Indonesia selalu dikenakan biaya asuransi yang lebih tinggi dibanding dengan masuk ke
perairan negara lainnya, yang menyebabkan lalulintas ekspor dan impor menjadi sangat
mahal (karena biaya asuransi) jika masuk perairan Indonesia.

Yang menjadi persoalan, manakala instansi itu selesai menjalankan tugasnya dan kapal
akan bergerak kembali, ada instansi lain lagi yang menghentikan dan naik ke kapal tak lama
kemudian. Persoalan akan menjadi rumit, manakala kapal yang dihentikan dan diperiksa itu
adalah kapal berbendera asing. Menurut praktek yang lazim di dunia pelayaran, kapal adalah
the mobile state (negara yang berjalan) sehingga hanya tunduk kepada aturan hukum yang
berlaku di negara berdasarkan benderanya.

Jika ingin diproses dengan hukum negara lain, ada sejumlah aturan main yang juga
berlaku internasional yang harus dipenuhi. Salah satunya melalui admiralty court/
pengadilan. Mungkin inilah salah satu sebab, mengapa main line operator/ MLO (pelayaran
besar kelas dunia) enggan sandar di pelabuhan Indonesia. Hukum maritim internasional
berlaku di wilayah perairan ZEE maupun di wilayah perairan litoral bagi kapal-kapal lintas
damai berbendera asing. Untuk kapal-kapal berbendera lokal tetap diserahkan kepada
undang-undang yang sudah ada di negara setempat. Jika seorang pelaut tidak memenuhi
persyaratan yang telah ditentukan jelas melanggar hukum maritim nasional maupun
internasional.

Dimana ketentuanketentuan KUHP juga berlaku bagi kapal dan awaknya. Sebuah
kapal berbendera Indonesia yang berada di perairan wilayah negara asing, apabila terjadi
pelanggaran bea dan cukai serta peraturan kepelabuhan, dalam hal-hal dimana tersangkut
orang-orang dalam pelayaran tersebut, juga berlaku ketentuan KUHP terhadapnya. Jelas
dalam hal ini akan selalu menjurus pada lembaga penegak hukum seperti kepolisian, sebagai
pelaksananya. Menuju Poros Maritim Dunia Secara geo-politik dan geo-strategis, Indonesia
terletak di antara dua benua, Asia dan Australia dan dua samudera, Hindia dan Pasifik yang
merupakan kawasan paling dinamis dalam percaturan dunia baik secara ekonomi dan politik.

Posisi strategis tersebut menempatkan Indonesia memiliki keunggulan sekaligus


ketergantungan yang tinggi terhadap bidang kelautan, dan sangat logis jika ekonomi kelautan
(kemaritiman) dijadikan tumpuan bagi pembangunan ekonomi nasional. Potensi perikanan
laut Indonesia yang cukup besar perlu dimanfaatkan secara efisien untuk dapat meningkatkan
devisa dari sektor kelautan. Akan tetapi dengan menurunnya jumlah populasi ikan di laut
akibat terganggunya ekosistem laut seperti pencemaran, peningkatan keasaman air laut, dan
eksploitasi berlebihan serta diikuti dengan meningkatnya harga bahan bakar minyak (BBM)
menjadikan hasil tangkapan ikan dan pendapatan nelayan Indonesia menurun belakangan ini.

Selain kapal-kapal nelayan, perairan Indonesia juga ramai dengan kapal-kapal


pengangkut hasil tambang. Kapal-kapal ini mengangkut hasil tambang dari pelabuhan lokasi
penambangan menuju pelabuhanpelabuhan lain di Indonesia bahkan ke luar negeri. Tidak
sedikit upaya pengawasannya terhadap kapal-kapal pengangkut ini, meskipun hal ini telah
diatur oleh Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral RI. Ditambah lagi dengan kapal-
kapal pengangkut kontainer baik antar pulau maupun antar negara, serta kapal pelayaran
domestik.

Pada tataran lain, pengakuan internasional terhadap keberadaan wilayah perairan


Indonesia meliputi 4 hal yaitu perairan nusantara, laut teritorial, batas Landas Kontinen, dan
batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Dengan menyadari betapa luasnya wilayah laut yang
dimiliki oleh Indonesia ditambah dengan posisi silangnya yang sangat strategis, hal ini
seharusnya dapat memberikan dampak yang positif bagi Indonesia. Namun, dalam konteks
ekonomi, Indonesia belum mampu memanfaatkan selat strategis seperti Selat Malaka dan 3
Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) sebagai sumber pendapatan negara, melalui
pengembangan berbagai aktivitas ekonomi.

Dalam pengembangan negara maritim, Indonesia harus memiliki visi outward


looking didasarkan pada peraturan internasional yang dimungkinkan untuk mendapatkan
sumberdaya alam laut secara global maupun mengembangkan kekuatan armada laut nasional
untuk dapat menguasai pelayaran internasional dengan menciptakan daya saing sehingga
kapal-kapal berbendera Indonesia menguasai pelayaran internasional dan memiliki kekuatan
laut (sea power) yang unggul.6 Pemerintah Indonesia belum mampu melakukan
pengembangan pelabuhan-pelabuhan yang kompetitif, efisien dan maju di segenap wilayah
Indonesia.

Akibatnya, peningkatan perdagangan dunia melalui aktivitas ekonomi di seluruh


kepulauan maupun jalur ALKI belum dapat dimanfaatkan secara optimalbagi pertumbuhan
kemakmuran. Padahal wilayah laut Indonesia memiliki peranan penting dalam lalu lintas
laut, selain memiliki sumber daya alam yang sangat melimpah. Diantaranya dapat
dimanfaatkan sebagai obyek pariwisata dengan potensi-potensi laut seperti ikan, terumbu
karang, dan biota-biota laut lainnya, atau bahkan harta karun bekas kapal yang tengelam
beratus tahun lalu. Namun, selama beberapa dekade, Indonesia belum dapat melihat kembali
pentingnya potensi laut, seperti pada jaman kejayaan di masa lalu. Banyak potensi-potensi
kelautan Indonesia yang belum termanfaatkan secara optimal, bahkan yang lebih tragis
malah membiarkan bangsa asing untuk menguasai dan memanfaatkannya.
Padahal di masa lalu, bangsa Indonesia pernah jaya dalam kemaritiman. Indonesia
adalah salah satu negara yang memiliki wilayah laut yang cukup luas, namun dalam hal
penjagaannya cukup menyedihkan, ditambah dengan terlalu banyak instansi yang berwenang
dan memiliki tugas yang sama di wilayah perairan Indonesia. Salah satu bentuk keseriusan
suaru negara untuk menjaga wilayah perairannya yaitu dengan menata rapi dan kokoh dalam
menjaga perairannya. Hingga saat ini Indonesia memiliki 12 instansi (ditambah BAKAMLA
menjadi 13), bertugas di wilayah perairan dengan tugas yang sama, serta berbagai macam
aspek pendukung seperti kapal dan alat navigasinya yang tidak saling mendukung.

TNI AL, tugas utamanya adalah pertahanan, penegakan hukum di perairan pantai dan
pelabuhan merupakan wewenang Polisi (Polair) dan Syahbandar sebagai otoritas tertinggi di
pelabuhan. Berbagai instansi yang berkepentingan di bidang maritim antara lain, KPLP,
Polisi Perairan, Quarantine, Custom, Imigrasi dan sebagainya. Akibatnya terjadi tumpang
tindih penegakan hukum di bidang maritim. Di dalam undang-undang pelayaran Nomor 17
tahun 2009, tertera jelas bahwa otoritas tertinggi di pelabuhan adalah Syahbandar. TNI AL
berhak melakukan penegakan hukum di daerah ZEE, sementara 12 mil dari garis pantai
merupakan wewenang Polisi Perairan dan KPLP. Pengaturan keselamatan dan keamanan
transportasi di laut dilaksanakan oleh Kementerian Perhubungan melalui UU Nomor 17
Tahun 2009 tentang Pelayaran. Ini juga dilakukan sebagai implementasi amanat Konvensi
Hukum Laut 1982 dan Konvensi Internasional di Bidang Maritim.

Oleh sebab itu, kapal perikanan yang termasuk dalam kriteria kapal niaga harus tunduk
kepada hukum yang mengatur tentang kapal niaga, termasuk pula yang menyangkut masalah
keselamatan dan keamanan pelayaran yang pembinaannya merupakan tanggung jawab
Kementerian Perhubungan. Posisi Indonesia secara geo-politik dan geo-strategis harus
didukung dengan kedaulatan penuh terhadap wilayah NKRI secara nyata, sehingga batas-
batas wilayah dengan negara tetangga dapat secara nyata dikuasai oleh Indonesia melalui
penguasaan yang efektif dan sea power yang unggul. Keadaan tersebut juga harus
diperkuat kemampuan mempertahankan diri dari segenap ancaman baik dari dalam maupun
dari luar melalui kemampuan maritime security yang disegani secara global.7 Geo-strategis
Indonesia diperkuat dengan geo-politik, geo-fisik, geoekosistem, geo-ideologi, geo-ekonomi
serta keunggulan kewilayahan yang dimiliki maupun wilayah laut lainnya yang dapat
dikuasai sesuai hukum nasional maupun internasional yang berlaku, harus menjadi kekuatan
bangsa Indonesia menjamin tercapainya keberlangsungan kehidupan, kemajuan, kemandirian
dan kemakmuran bangsa, dan negaraIndonesia.

Posisi strategis wilayah Indonesia seharusnya dapat memberikan keunggulan secara


geo-ekonomi melalui kemampuan mengelola dan memanfaatkan secara berkelanjutan
sehingga menghasilkan kesejahteraan bagi masyarakat. Hingga kini, penguasaan,
pengelolaan dan pemanfaatan yang dilakukan tidak secara terpadu antara kawasan darat dan
laut dalam wilayah NKRI serta kemampuan memanfaatkan aktivitas global yakni pelayaran
dan perdagangan global ditambah dengan eksploitasi sumberdaya tidak dilakukan secara
optimal. Wilayah perairan Indonesia ramai dengan aktivitas pelayaran, baik domestik
maupun internasional. Tercatat, jumlah kunjungan kapal di seluruh pelabuhan mengalami
fluktuasi, meskipun secara umum mengalami trend positif. Dalam kurun waktu 20 tahun
terakhir (1995- 2015) di beberapa pelabuhan strategis telah mengalami peningkatan jumlah
kunjungan kapal lebih dari 45 persen. Tidak hanya itu, penambahan jumlah gross ton kapal
juga mengalami peningkatan lebih dari 50 persen.
Hal ini menunjukkan bahwa ukuran kapal yang berlayar di perairan Indonesia semakin
bertambah besar dan nilai perdagangan melalui jasa perhubungan laut semakin meningkat.9
Namun secara garis besar, prestasi ekonomi di sektor maritim Indonesia hanya mencapai tiga
persen. Hal ini menandakan bahwa pembangunan sektor maritim di Indonesia masih sarat
dengan kelemahan. Misalnya persoalan infrastruktur yang berdampak pada kerugian di
berbagai sisi sehingga menimbulkan multiplier effect yang besar. Kerugian yang langsung
terlihat adalah besarnya biaya produksi yang berasal dari ongkos logistik. Padahal ongkos
logistik memiliki kontribusi sekitar 20 hingga 30 persen dari total biaya produksi. Sebagai
contoh, biaya pengangkutan kontainer barang impor dari Singapura, China, atau Hong Kong
ke Indonesia masih lebih murah daripada biaya pengangkutan kontainer barang dari Jawa ke
Sumatera, Kalimantan, atau Sulawesi.

Selisihnya bisa mencapai US$ 300 per kontainer.10 Ini yang membuat banjirnya
barang impor di Indonesia menjadi lebih murah ketimbang produk lokal. Pemerintah
Inonesia harus segera mengubah paradigma pembangunan, sebab ekonomi maritim
menyimpan potensi besar dalam menggerakkan perekonomian nasional. Mulai dari sektor
perikanan, pertambangan dan energi, pariwisata bahari, perhubungan laut, sumber daya
pulau-pulau kecil, sumber daya non-konvensional, industri sampai dengan jasa maritim.
Apalagi ke depan ekonomi maritim semakin strategis seiring dengan pergeseran pusat
ekonomi dunia dari bagian Atlantik ke Asia-Pasifik. Hal ini sudah terlihat, bahwa aktivitas 70
persen perdagangan dunia berlangsung di kawasan Asia-Pasifik. Secara detail 75 persen
produk dan komoditas yang diperdagangkan dikirim melalui laut Indonesia dengan nilai
sekitar 1.300 triliun dolar AS per tahun.11 Perlahan namun tampak pasti, pada era
pemerintahan Presiden Joko Widodo, mulai terbuka implementasi mengenai gagasan tol laut
dan poros maritim.

Dimana, tol laut dan poros maritim diwujudkan dengan menyiapkan infrastruktur
pelabuhan dan penyeberangan. Karena dengan infrastruktur pelabuhan dan penyeberangan
yang memadai dan terkelola dengan manajemen yang efisien, maka nantinya arus barang dan
jasa serta orang akan lebih baik. Langkah-langkah yang akan ditempuh untuk mewujudkan
gagasan tersebut mulai disampaikan dan publik mulai terbuka pemahamannya. Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas telah mendesain konsep tol laut yang
dicetuskan Presiden Joko Widodo, dengan 24 pelabuhan.

Pelabuhan sebanyak itu terbagi atas pelabuhan yang menjadi hubungan internasional,
pelabuhan utama dan pelabuhan pengumpul.12 Dari 24 pelabuhan itu terbagi dua hubungan
internasional, yaitu Kuala Tanjung dan Bitung yang akan menjadi ruang tamu bagi
kapalkapal asing dari berbagai negara. Selanjutnya pemerintah menyiapkan enam pelabuhan
utama yang dapat dilalui kapal-kapal besar berbobot 3.000 hingga 10 ribu. Enam pelabuhan
itu adalah Pelabuhan Belawan, Tanjung Priok, Tanjung Perak, Makassar dan
Sorong.Nantinya, pelabuhan utama akan menjadi jalur utama atau tol laut. Sedangkan 24
pelabuhan dari Belawan sampai Jayapura disebut pelabuhan pengumpul.Sebanyak 24
pelabuhan tersebut merupakan bagian dari 110 pelabuhan milik PT Pelabuhan Indonesia
(Pelindo). Sementara total pelabuhan di Indonesia sekitar 1.230 pelabuhan, sebanyak 110
pelabuhan dikelola oleh Satuan Kerja Perhubungan, Provinsi dan lainnya.

Untuk itu, Presiden Joko Widodo memproyeksikan dana sebesar Rp 700 triliun lebih,
belum termasuk pengadaan kapal. Menurut kalkulasi Bappenas, pengadaan kapal untuk tol
laut tersebut sekitar Rp100 sampai Rp150 triliun. Sedangkan biaya investasi untuk
membangun pelabuhan terintegrasi lengkap dengan pembangkit listrik dan sebagainya
sekitar Rp 70 triliun. Berbagai pembenahan dan pengembangan tersebut juga harus diikuti
dengan pembangunan sarana prasarana keamanan di dalamnya.

Berbagai upaya lainnya perlu dilaksanakan untuk menuju Indonesia sebagai poros
maritim dunia, antara lain penyempurnaan RUU Komponen Cadangan dan Komponen
Pendukung, penyelarasan sistem pendidikan dan pelatihan kemaritiman, penguasaan
kapasitas industri pertahanan khususnya industri maritim, modernisasi armada perikanan,
penguatan armada pelayaran rakyat dan pelayaran nasional, pemantapan pengelolaan
pemanfaatan laut melalui penataan ruang wilayah laut, peningkatan litbang kemaritiman, dan
diversifikasi sumber energi terbarukan di laut.

Indonesia merupakan negara kepulauan, dimana antara pulau yang satu dengan
pulau yang lainnya dipisahkan oleh laut, tapi dalam hal ini laut bukan menjadi penghalang
bagi tiap suku bangsa di Indonesia untuk saling berhubungan dengan suku-suku di pulau
lainnya. Sejarah mencatat bahwa kehidupan bahari bangsa Indonesia sudah lahir jauh
sebelumnya, hal ini dibuktikan dengan adanya temuan-temuan situs prasejarah maupun
sejarah. Pelayaran dan perdagangan antar pulau telah berkembang dengan menggunakan
berbagai macam tipe perahu tradisional, nenek moyang kita menjadi pelaut-pelaut handal
yang menjelajah untuk mengadakan kontak dan interaksi dengan pihak luar. Bahkan, yang
lebih mengejutkan lagi, pelayaran yang dilakukan oleh orang-orang Indonesia (Nusantara)
pada zaman bahari telah sampai ke Madagaskar. Bukti dari berita itu sendiri
adalah ditemukannya bekas kerajaan Marina yang didirikan perantau dari Nusantara dan
berdasarkan penelitian tipe jukung yang digunakan memiliki kesamaan dengan tipe jukung
pada masyarakat Kalimantan yang digunakan untuk berlayar. Dan dari berbagai belahan
penjuru Nusantara, juga tersebar banyak bandar atau pelabuhan besar.

Dari penuturan lisan dan relief yang tergambar pada candi-candi baik candi Hindu
maupun Budha yang banyak dibangun setelah tahun 500 Masehi, seperti candi Prambanan,
candi Borobudur dan lain-lain, juga telahmembukti bahwa Nusantara pernah terkenal dengan
teknologi perkapalannya, yaitu seperti kapal layar bercadik ganda yang diabadikan pada
relief Candi Borobudur dan Kapal Phinisi yang juga membuktikan diri dengan pelayaran
keliling dunianya.

Selain itu, sejarah juga telah mencatatkan dengan tinta emas bahwasannya
Sriwijaya, Singasari dan Majapahit pernah menjadi kiblat di bidang maritim, kebudayaan,
dan agama di seluruh wilayah Asia. Pada zaman kerajaan Sriwijaya telah dibangun angkatan Laut
Kerajaan yang terdiri dari para pelaut Nomaden yang lebih kuat dari pada wilayah-wilayah
tetangganya. Kemudian pada akhir abad ke-7, angkatan laut tersebut telah mendominasi jalur perniagaan
laut melalui Asia Tenggara). Tidak hanya itu, ketangguhan maritim kita juga ditunjukkan oleh
Singasari di bawah pemerintahan Kertanegara pada abad ke-13. Dengan kekuatan armada
laut yang tidak ada tandingannya, pada tahun 1275 Kertanegara mengirimkan ekspedisi
bahari ke Kerajaan Melayu dan Campa untuk menjalin persahabatan agar bersama-sama
dapat menghambat gerak maju Kerajaan Mongol ke Asia Tenggara. Tahun 1284, ia
menaklukkan Bali dalam ekspedisi laut ke timur. Kemudian, puncak kejayaan maritim
nusantara terjadi pada masa Kerajaan Majapahit (1293-1478). Di bawah Raden Wijaya,
Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada, Majapahit berhasil menguasai dan mempersatukan
nusantara. Pengaruhnya bahkan sampai ke negara-negara asing seperti Siam, Ayuthia, Lagor,
Campa (Kamboja), Anam, India, Filipina, China.
Demikian sejarah Indonesia, telah membuktikan bahwa betapa tangguhnya nenek
moyang kita dalam kemaritiman. Namun, setelah masuknya pelaut-pelaut Portugis, Spanyol,
Inggris, dan Belanda, yang kemudian secara resmi mulai menduduki wilayah
Indonesia secara perlahan mulai menghilangkan semangat mereka dalam mengarungi
samudra, sehingga hal ini menyebabkan kejayaan maritim Indonesia lama-kelamaan mulai
pupus secara perlahan.

Indonesia sebagai Negara yang besar, yang hampir 70% wilayah Indonesia terdiri
atas lautan, mempunyai perbatasan darat dengan tiga negara tetangga, yaitu Malaysia, Papua
Nugini dan Timor Leste. Sementara perbatasan laut dengan sepuluh negara tetangga,
diantaranya Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Papua Nugini, Timor Leste, India,
Thailand, Australia, dan Palau. . Luas kepulauan Indoneia adalah 9,8 juta km (seluruh
wilayah Indonesia), dan luas wilayah lautnya 7,9 juta km.

Secara internasional telah diakui bahwa keberadaan wilayah perairan Indonesia


meliputi 4 hal yaitu perairan nusantara, laut teritorial, batas Landas Kontinen, dan batas Zona
Ekonomi Eksklusif (ZEE). Pada perairan nusantara,wilayah laut terletak pada sisi dalam dari
garis pangkal laut, teluk, dan selat yang menghubungkan antara pulau yang satu dengan
pulau yang lain di Indonesia, termasuk di dalamnya danau, sungai, maupun rawa yang
terdapat di daratan. Di wilayah laut teritorial laut, kelautan dibatasi 12 mil dari titik ujung
terluar pulau-pulau di Indonesia pada saat pasang surut ke arah laut. Batas landas kontinen
adalah kelanjutan garis batas dari daratan suatu benua yang terendam sampai kedalaman 200
m di bawah permukaan air laut, dimana sumber kekayaan alam yang berada dalam wilayah
batas landas kontinen merupakan milik pemerintah Indonesia, jadi pemerintah Indonesia
berhak melakukan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam yang berada di wilayah batas
landas kontinen. Dan kemudian pada batas Zona Ekonomi Eksklusif, wilayah laut Indonesia
selebar 200 mil yang diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia. Apabila ZEE suatu
negara berhimpitan dengan ZEE negara lain maka penetapannya didasarkan kesepakatan
antara kedua negara tersebut. Dengan adanya perundingan maka pembagian luas wilayah
laut akan adil. Sebab dalam batas ZEE suatu negara berhak melakukan eksploitasi,
eksplorasi, pengolahan, dan pelestarian sumber kekayaan alam yang berada didalamnya baik
di dasar laut maupun air laut diatasnya. Oleh karena itu, Indonesia bertanggung jawab untuk
melestarikan dan melindungi sumber daya alam dari kerusakan.
Dengan menyadari betapa luasnya wilayah laut yang dimiliki oleh Indonesia
ditambah dengan posisi silangnya yang sangat strategis, yang terletak di antara dua benua
dan dua samudra, hal ini tentu memberikan dampak yang positif bagi Indonesia. Indonesia
menjadi memiliki peranan penting dalam lalu lintas laut, selain itu Indonesia juga memiliki
sumber daya alam yang sangat melimpah dari potensi laut yang dimilikinya. Yang
diantaranya dapat dimanfaatkan sebagai obyek pariwisata yang begitu menggiurkan, dan
potensi-potensi laut seperti ikan, terumbu karang, dan biota-biota laut lainnya, atau bahkan
hartun karun dari kapal laut yang telah tengelam beratus tahun yang lalu, juga memberikan
kekayaan tersendiri bagi negara Indonesia, selama pemanfaatannya itu tidak mengakibatkan
berbagai kerusakan-kerusakan alam. Dengan demikian, tentunya kita sebagai masyarakat
Indonesia memiliki rasa bangga terhadap negara Indonesia yang kita cintai ini.

Tetapi, entah mengapauntuk beberapa dekade ini, negeri ini belum dapat melihat
kembali pentingnya potensi laut, seperti pada zaman kejayaan maritime dulu. Banyak
potensi-potensi laut yang belum termanfaatkan secara optimal, bahkan yang lebih tragis
negeri ini hanya membiarkan bangsa asing untuk lebih cenderung menguasainya. Hal ini
tentu memberikan rasa prihatin, karena sesungguhnya laut tidak hanya memberikan
kehidupan dengan sumber daya alam yang luar biasa, tetapi laut juga menjadi jaminan dari
kegemilangan suatu bangsa.Tetapi tetap saja pembangunan kelautan cenderung dianaktirikan
dan dipinggirkan, sehingga berbagai perangkat management sumberdaya kelautan,
termasuk untuk pengawasan dan pengendalian sumberdaya kelautan tidak dapat dikatakan
memadai apalagi dikategorikan optimal.

Telah dibuktikan bahwa negara Indonesia pernah berjaya dimasa lalu karena
kemaritimannya. Dan pada masa yang sekarang ini potensi laut itu juga masih dimiliki dan
belum termanfaatkan secara optimal. Jika suatu saat nanti Indonesia bisa melangkah menuju
revolusi biru yang merupakan usaha dalam meningkatkan produksi pangan atau makanan
dengan jalan meningkatkan produksi pangan yang berasal dari laut (sumber daya laut).
Dengan demikian secara tidak langsung Indonesia telah memberikan kesejahteraan dan
ketentraman bagi seluruh masyarakatnya, dan negara Indonesia juga dapat menjadi salah
satu negara maju didunia ini.
Dalam perjalanan budaya bangsa Indonesia, para pakar sejarah maritim menduga
perahu telah lama memainkan peranan penting di wilayah nusantara, jauh sebelum bukti
tertulis menyebutkannya (prasasti dan naskah-naskah kuno).Dugaan ini didasarkan atas
sebaran artefak perunggu, seperti nekara, kapak, dan bejana perunggu di berbagai tempat di
Sumatera, Sulawesi Utara, Papua hingga Rote.Berdasarkan bukti-bukti tersebut, pada masa
akhir prasejarah telah dikenal adanya jaringan perdagangan antara Nusantara dan Asia
daratan.

Pada sekitar awal abad pertama Masehi diduga telah ada jaringan peradaban antara
nusantara dan India.Bukti-bukti tersebut berupa barang-barang tembikar dari India
(Arikamedu, Karaikadu dan Anuradha-pura) yang ditemukan di Jawa Barat (Patenggeng) dan
Bali (Sembiran).Keberadaan barang-barang tersebut diangkut menggunakan perahu atau
kapal yang mampu mengarungi samudera.

Bukti tertulis paling tua mengenai pemakaian perahu sebagai sarana transportasi
laut tercetak dalam Prasasti Kedukan Bukit (16 Juni 682 Masehi).Pada prasasti tersebut
diberitakan; Dapunta Hiya? bertolak dari Minana sambil membawa pasukan sebanyak dua
laksa dengan perbekalan sebanyak 200 peti naik perahu
.
Pada masa yang sama, dalam relief Candi Borobudur (abad ke-7-8 Masehi)
dipahatkan beberapa macam bentuk kapal dan perahu. Dari relief ini dapat direkonstruksi
dugaan bentuk-bentuk perahu atau kapal yang sisanya banyak ditemukan di beberapa tempat
nusantara, misalnya Sumatera.

Selain itu, bukti-bukti arkeologis transportasi laut banyak ditemukan di berbagai


wilayah Indonesia, seperti papan-papan kayu yang merupakan bagian dari sebuah perahu dan
daun kemudi, yang ukurannya cukup besar. Pertama, Situs Samirejo secara administratif
terletak di Desa Samirejo, Kecamatan Mariana, Kabupaten Musi Banyuasin (Sumatra
Selatan).Situs ini berada di suatu tempat lahan gambut.Sebagian besar arealnya merupakan
rawa-rawa.Beberapa batang sungai yang berasal dari daerah rawa bermuara di Sungai Musi.

Dari lahan rawa basah ini pada Agustus 1987 ditemukan sisa-sisa perahu kayu.Sisa
perahu yang ditemukan terdiri dari sembilan bilah papan dan sebuah kemudi. Dari sembilan
bilah papan tersebut, dua bilah di antaranya berasal dari sebuah perahu, dan tujuh bilah
lainnya berasal dari perahu lain.

Sisa perahu yang ditemukan tersebut dibangun secara tradisional di daerah Asia
Tenggara dengan teknik yang disebut papan ikat dan kupingan pengikat (sewn-plank and
lashed-lug technique), dan diperkuat dengan pasak kayu atau bambu. Papan kayu yang
terpanjang berukuran panjang 9,95 meter dan terpendek 4,02 meter; lebar 0,23 meter; dan
tebal sekitar 3,5 cm.Pada jarak-jarak tertentu (sekitar 0,5 meter), di bilah-bilah papan kayu
terdapat bagian yang menonjol berdenah empat persegi panjang, disebut tambuko. Di bagian
itu terdapat lubang yang bergaris tengah sekitar 1 cm. Lubang-lubang itu tembus ke bagian
sisi papan.Tambuko disediakan untuk memasukkan tali pengikat ke gading-gading. Papan
kayu setebal 3,5 cm kemudian dihubungkan bagian lunas perahu dengan cara mengikatnya
satu sama lain. Tali ijuk (Arenga pinnata) mengikat bilah-bilah papan yang dilubangihingga
tersusun seperti bentuk perahu.Selanjutnya, dihubungkan dengan bagian lunas perahu hingga
menjadi dinding lambung.Sebagai penguat ikatan, pada jarak tertentu (sekitar 18 cm) dari
tepian papan dibuat pasak-pasak dari kayu atau bambu.
Dari hasil rekonstruksi dapat diketahui bahwa perahu yang ditemukan di desa
Sambirejo berukuran panjang 20-22 meter.Berdasarkan analisis laboratorium terhadap
Karbon (C-14) dari sisa perahu Samirejo adalah 1350 50 BP, atau sekitar tahun 610-775
Masehi.

Adapun, kemudi perahu yang ditemukan mempunyai ukuran panjang 6 meter.


Bagian bilah kemudinya berukuran lebar 50 cm. Kemudi ini dibuat dari sepotong kayu,
kecuali bagian bilahnya ditambah kayu lain untuk memperlebar. Di bagian atas dari sumbu
tangkai kemudi terdapat lubang segi empat untuk memasukkan palang.

Di bagian tengah kemudi terdapat dua buah lubang yang ukurannya lebih kecil
untuk memasukkan tali pengikat kemudi pada kedudukannya.Bentuk kemudi semacam ini
banyak ditemukan pada perahu-perahu besar yang berlayar di perairan Nusantara, misalnya
perahu pinisi.

Kedua, situs Kolam Pinisi. Situs ini terletak di kaki sebelah barat Bukit Siguntang,
sekitar 5 km ke arah barat dari kota Palembang. Ekskavasi yang dilakukan pada 1989
ditemukan lebih dari 60 bilah papan sisa sebuah perahu kuno. Meskipun ditemukan dalam
jumlah banyak, namun keadaannya sudah rusak akibat aktivitas penduduk di masa lampau
untuk mencari harta karun. Papan-papan kayu tersebut pada ujungnya dilancipkan kemudian
ditancapkan ke dalam tanah untuk memperkuat lubang galian.

Papan-papan kayu yang ditemukan berukuran tebal sekitar 5 cm dan lebar antara
20-30 cm. Seluruh papan ini mempunyai kesamaan dengan papan yang ditemukan di Situs
Samirejo, yaitu tembuko yang terdapat di salah satu permukaannya, dan lubang-lubang yang
ditatah pada tembuko-tembuko tersebut seperti halnya pada tepian papan untuk memasukkan
tali ijuk yang menyatukan papan perahu dengan gading-gading, serta menyatukan papan satu
dengan lain. Pada bagian tepi terdapat lubang-lubang yang digunakan untuk menempatkan
pasak kayu atau bambu untuk memperkuat badan perahu.Pertanggalan karbon C-14
menghasilkan pertanggalan kalibrasi antara 434 dan 631 Masehi.

Berdasarkan tinjauan sejarah di atas, bahwa bangsa Indonesia sebenarnya memiliki


darah, watak dan budaya maritim yang kuat.Namunsemua itumemudar seiring peralihan
zaman.Agar kembalipada hakikatnyasebagai bangsa yang besar, masyarakatIndonesia harus
kembali memilikiwawasan maritim.

Permasalahannya apakah masih bisa membangkitkan kembali kejayaan masa lalu di


tengah krisis multi dimensi yang menerpa bangsa ini. Mengembalikan visi kemaritiman
bukan sesuatu hal mudah.Selain dibutuhkan kemauan tinggi untuk merombak sistem yang
ada, masalah penyediaan infrastruktur menjadi permasalahan.

Diperlukan analisis dengan pendekatan konstruksi skenario guna mengetahui apa


saja kemungkinan yang bisa ditempuh untuk mewujudkan visi negara maritim. Bagaimana
pula strategi yang bisa ditempuh di tengah derasnya globalisasi yang membuat arus
perdagangan laut kian tinggi.

Bercermin dari kearifan lokal masyarakat pesisir, bangsa bahari memiliki budaya
demokrasi yang teramat tinggi di mana kebijakan yang dikeluarkan adalah keputusan dari
masyarakat bawah yang dipoles kearifan seorang pemimpin.Sudah saatnya masyarakat
pesisir sebagai wajah dari bangsa bahari diberdayakan melalui program-program pemerintah
yang disusun melalui pendekatan sosial budaya kebaharian, yaitu pendekatan hubungan
manusia dengan lingkungan dan sumberdaya laut.

Ini dapat dilihat, dari aspek kehidupan sosial dan budaya, sejarah menunjukkan
bangsa Indonesia pada masa lalu memiliki pengaruh besar di wilayah Asia
Tenggara.Terutama melalui kekuatan maritim di bawah Kerajaan Sriwijaya dan
Majapahit.Tak heran, wilayah laut Indonesia dengan luas dua pertiga nusantara diwarnai
banyak pergumulan kehidupan di perairan.

Jauh sebelum era kerajaan, banyak bukti pra sejarah beradaban maritim Indonesia,
antara lain di Pulau Muna, Seram dan Arguni,terdapat situs yang diperkirakan budaya
manusia sekitar 10.000 tahun sebelum masehi. Bukti sejarah tersebut berupa gua yang
dipenuhi lukisan perahu layar.Ada pula peninggalan sejarah sebelum masehi berupa bekas
kerajaan Marina yang didirikan perantau dari nusantara di wilayah Madagaskar.Pengaruh dan
kekuasaan tersebut diperoleh bangsa Indonesia karena kemampuannya membangun kapal
dan armada yang berlayar lebih dari 4.000 mil.

Dalam strategi besar Majapahit mempersatukan wilayah Indonesia melalui Sumpah


Amukti Palapa dari Mahapatih Gajah Mada.Kerajaan Majapahit telah banyak mengilhami
pengembangan dan perkembangan nilai-nilai luhur kebudayaan bangsa Indonesia sebagai
manifestasi sebuah bangsa bahari yang besar.Sayang, setelah mencapai kejayaan, Indonesia
terus mengalami kemunduran.Terutama setelah masuknya VOC dan kekuasaan kolonial
Belanda ke Indonesia. Perjanjian Giyanti pada 1755 antara Belanda dengan Raja Surakarta
dan Yogyakarta mengakibatkan kedua raja tersebut harus menyerahkan perdagangan hasil
wilayahnya kepada Belanda.Sejak itu, terjadi penurunan semangat jiwa bahari bangsa
Indonesia, dan pergeseran nilai budaya, dari budaya bahari ke budaya daratan.Namun,
budaya bahari Indonesia tidak boleh hilang karena alamiah Indonesia sebagai negara
kepulauan terus menginduksi, dan membentuk budaya maritim bangsa Indonesia.

Catatan penting sejarah maritim ini menunjukkan, dibandingkan negara-negara


tetangga di kawasan Asia Tenggara, Indonesia memiliki keunggulan budaya bahari secara
alamiah.Berkurangnya budaya bahari lebih disebabkan kurang perhatian pemerintah terhadap
pembangunan maritim.Padahal, kebudayaan maritimmerupakan kunci dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI).

Politik kebijakan penataan ruang di Indonesia belum mempertimbangkan aspek


kebudayaan bahari atau maritim.Hal tersebut berdampak pada meluasnya banjir, kerusakan
lingkungan, dan kemiskinan di kota-kota pantai Indonesia.Salah satunya adalah DKI Jakarta.

Ketua Yayasan Suluh Nuswantara Bakti, Iman Sunario menilai DKI yang memiliki
13 sungai bermuara diTeluk Jakarta, seharusnya menjadi potensi yang dapat menjadi solusi
perkembangan transportasi air dan pariwisata. Minimnya wawasan kelautan telah
menjadikan potensi itu berbalik menjadi ancaman berupa banjir, kemacetan, dan kemiskinan
yang urung teratasi, kata Iman.
Berdasarkan data pemantauan 13 sungai oleh BPLHD DKI Jakarta pada September
2012, diketahui ada 82,6 persen dari 67 titik pemantauan berstatus tercemar berat, 10,1
persen tercemar sedang, 7,2 persen tercemar ringan, dan 0 persen kondisi baik.

Pada kondisi demikian, pesisir Teluk Jakarta ditandai pula dengan kemiskinan dan
kerusakan lingkungan yang parah. Sebagai kota pantai, Jakarta barometer pembangunan
Indonesia. Jika kondisi sosial dan lingkungan di Teluk Jakarta, yang jaraknya hanya
beberapa kilometer dari Istana Negara, sudah rusak parah, bagaimana kita dapat berharap
banyak dengan pembangunan kota-kota pantai di timur Indonesia? Atau bahkan di pulau-
pulau terdepan, ujar Iman.

Dalam budaya luhur kebaharian Indonesia, sungai dan sumber daya alam adalah
milik komunal, bukan individual. Karena itu, membiarkan sungai kotor, hutan gundul, dan
laut dikavling-kavling bukanlah adab pembangunan yang mencerminkan kebudayaan
Indonesia, jelas Iman, yang juga ahli tata kota.

Daud Aris Tanudirjo, dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada
(UGM) mencatat budaya bahari paling tua di dunia muncul di kepulauan Nusantara. Hal ini
dapat dibuktikan setelah tim arkeologi berhasil menemukan jejak-jejak kehidupan manusia
Tertua Homo Erectus di Flores pada sekitar 800.000 tahun lalu.

Sebagian penduduk Nusantara yang telah menguasai teknologi canggih lalu


berlayar ke berbagai penjuru dunia.Para pelaut itulah yang kemudian membantu komunitas
di berbagai tempat untuk mengembangkan budaya mereka menjadi peradaban besar, seperti
Mesopotamia, Mesir, China, dan India, jelasnya.

Sementara itu, sejarahwan Universitas Indonesia (UI) JJ Rizal mengatakan,


peradaban maritim Indonesia sudah dibangun para pendiri bangsa.Lagu tanah air
menunjukkan bahwa Indonesia masih dianggap sebagai negara daratan karena mendahulukan
tanah daripada air, harusnya di balik, ujarnya saat memaparkan di diskusi bulanan Indonesia
Maritim Institute (IMI), beberapa waktu lalu.
Menurut Rizal, saat ini yang terjadipemerintah Indonesia cenderung melupakan air
(laut). Pada masa dulu saat semua orang konsen di laut, muncul istilah kata lupa
daratan.Saat ini harus dibalik lupa lautan karena bangsa Indonesia terlalu mencintai
daratan.Melupakan unsur air (laut) bukan hanya mengkhianati realitas bangsa, tapi melukai
semangat para leluhur kita, katanya.

Irawan D Nugraha, pengarang buku Majapahit: Peradaban Maritimberpendapat,


bahwa kejayaan maritim Indonesia diawaliera kerajaan-kerajaan, sepertiMajapahit dan
Sriwijaya. Bahkan sejarah mencatat bahwa kemampuan teknologi perkapalan Majapahit jauh
lebih dahsyat dari bangsa lain. Bahkan ukuran kapal Majapahit saat itu bisa memuat 600
penumpang, sementara kapal bangsa lain hanya 50 orang.

Namun, kami melihat bahwa dari penyebutan pulau-pulau saja selalu disebutkan
pulau terluar, kenapa tidak dijadikan pulau-pulau terdepan.Yang bisa diartikan sebagai
halaman muka dari bangsa ini, katanya.

Hal senada diungkapkan Indra J Piliang,pengurus Balitbang Partai Golkar.Dia


menilai peradaban maritim di Indonesia telah luntur.Sebagai contoh orang-orang Pariaman di
Padang, Sumbar yang notabene adalah orang laut atau pulau, tapi ketika naik kapal
muntah.Bahkan yang lebih menyedihkan, saat hendak melihat laut harus ke gunung lalu
memandang laut dari ketinggian.

Lihat laut masa lari ke gunung dengan waktu tempuh sekitar 2 jam.Sementara jika
ke pantai hanya memakan waktu 30 menit.Jarang sekali orang Pariaman melihat laut
langsung ke pantai.Inilah pudarnya budaya maritim kita, tuturnya.

Berbicara budaya, tidak lepas dari pembentukan watak dan peningkatan kualitas
generasi muda.Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mendorong para lulusan perguruan
tinggi lebih mengenal jati diri dan budaya bangsa.Sebagai bangsa maritim yang hidup di
kepulauan sudah seharusnya generasi muda Indonesia menjadi bangsa yang mandiri.

Kewirausahaan mendorong budaya di Indonesia saling berbaur karena bertujuan


mencapai kemajuan ekonomi.Budaya lokal di Indonesia saat ini saling berbaur karena
didorong oleh kebutuhan yang sama yakni memajukan setiap usaha, katanya.

Dia mencontohkan budaya lokal yang berbaur adalah budaya yang tumbuh dan
berkembang di sektor maritim dan agraris.Pada awalnya budaya maritim mendorong orang
untuk menjadi pengusaha karena orang yang tinggal di kawasan maritim cenderung agresif
dan berani mengambil risiko saat menjalankan usaha, ungkapnya.

Sebaliknya masyarakat yang tumbuh dan berkembang di lingkungan agraris, seperti


petani cenderung tidak berani menanggung risiko. Karena itu, menurut JK, dalam
perkembangannya kedua masyarakat ini harus hidup dalam budaya saling berbaur karena
memiliki tujuan sama, yakni meningkatkan kemajuan bangsa.

Di sini budaya maritim menjadi sarana dalam membangun kembali perdaban bangsa
Indonesia yang maju.Etos kerja masyarakat maritim yang dibangun nenek moyang dulu
diharapkan bisa memperkuat NKRI, dengan menjadikan tanah dan air sebagai satu
kekuatan,yaitu negara maritim.
"Usahakanlah agar kita menjadi bangsa pelaut kembali. Ya, bangsa pelaut dalam arti seluas-
luasnya. Bukan sekedar menjadi jongos-jongos di kapal, bukan. Tetapi bangsa pelaut dalam
arti kata cakrawala samudera. Bangsa pelaut yang mempunyai armada niaga, bangsa pelaut
yang mempunyai armada militer, bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi irama
gelombang lautan itu sendiri."

Itulah penggalan pidato Presiden Pertama RI Soekarno pada tahun 1953. Pidato tersebut
tampaknya sangat relevan untuk diwujudkan pada pemerintahan Joko Widodo - Jusuf Kalla
(2014-2019). Mengapa demikian? Hingga kini kita masih memiliki sejumlah masalah besar
yang perlu segera diatasi sebelum kita mampu mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim
dunia. Restorasi maritim Indonesia tak dapat ditunda lagi.

Bayangkan, kejahatan illegal fishing yang dilakukan oleh ribuan kapal asing terus saja marak
terjadi. Data Badan Pemeriksa Keuangan (2013) menunjukkan, potensi pendapatan sektor
perikanan laut kita jika tanpa illegal fishing mencapai Rp. 365 triliun per tahun. Namun,
akibat illegal fishing, menurut hitungan Kementerian Kelautan dan Perikanan (2011),
pendapatan tersebut hanya berkisar Rp. 65 triliun per tahun. Jadi ratusan triliun rupiah devisa
negara hilang setiap tahun.

Di samping itu, kita juga belum pandai memanfaatkan letak geografis Indonesia. Padahal,
Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) 1982, telah menetapkan tiga Alur Laut
Kepulauan Indonesia (ALKI) sebagai alur pelayaran dan penerbangan oleh kapal atau
pesawat udara internasional. Ketiga ALKI tersebut dilalui 45% dari total nilai perdagangan
dunia atau mencapai sekitar 1.500 dolar AS. Sayangnya, posisi geografis yang penting itu
belum kita manfaatkan dengan baik. Terbukti, kita belum punya pelabuhan-pelabuhan transit
bagi kapal niaga internasional yang berlalu lalang di 3 ALKI tadi.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada masa kepemimpinannya sebenarnya telah


meletakkan dasar-dasar pembangunan ekonomi kelautan, namun masih perlu peningkatan
dalam tataran implementasinya. Momentum suksesi kepemimpinan nasional, dari Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono kepada Presiden Terpilih Joko Widodo, merupakan saat yang
tepat untuk merumuskkan kembali kebijakan implementasi pembangunan Benua Maritim
Indonesia secara menyuluruh dan terpadu.

Dengan mengacu kepada segala permasalahan di atas, maka diadakan Sarasehan


yang bertemakan "Membangun Indonesia sebagai Negara Maritim yang Maju dan Mandiri"
bertempat di Gedung II BPPT, Jakarta. Sarasehan ini, yang menghadirkan Deputi Tim
Transisi Pemerintahan Jokowi-JK, Hasto Kristiyanto selaku pembicara kunci, bertujuan
untuk menyusun rekomendasi langkah-langkah strategis dan implementatif untuk
pembangunan Indonesia yang berorientasi kelautan dan berbasis Iptek dalam rangka
mewujudkan poros maritim dunia yang maju dan mandiri. Selain itu menampilkan juga para
pakar yang kompeten di bidangnya, antara lain Sjarief Widjaja Sekjen Kementerian Kelautan
dan Perikanan, Indroyono Soesilo Direktur Sumberdaya Perikanan dan Akuakultur FAO dan
Agus Suhartono, Mantan Panglima TNI dan dipandu oleh Moderator Sarwono
Kusumaatmadja Mantan Menteri Eksplorasi Laut. Sarasehan ini diharapkan dapat
merumuskan daya saing bangsa sebagai negara maritim yang kompetitif berbasis sumber
daya alam, budaya, ilmu pengetahuan, dan geografi. (ADP/TR)
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Puji Astuti secara tegas menyampaikan pesan kepada
para akademisi bahwa mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia bukanlah cita-
cita ambisius, tapi juga memerlukan sikap dan cara berpikir realistis.

Sebagai negara maritim, Republik Indonesia juga harus dapat menjaga laut yang juga
merupakan masa depan bangsa. Indonesia juga harus mampu memprioritaskan pembangunan
kelautan dan perikanan nasional.

Dalam kaitan ini, para akademisi dituntut peran sertanya didalam menyumbangkan
pemikiran tentang kebijakan pengelolaan sumberdaya kelautan, sekaligus melakukan kajian
dan penelitian pemberdayaan potensi laut dan agen perubahan sebagai masyarakat maritim.
Secara khusus bahkan Menteri yang sangat kontroversial didalam ketegasannya
mempertahankan laut Indonesia dari illegal fishing ini, meminta agar kebijakan perikanan
dan kelautan yang diatur dalam adalah Perpres Nomor 44 Tahun 2016 tentang Perikanan
Tangkap, harus dijaga oleh semua ilmuan, tokoh nasional jangan sampai perikanan dikelola
pihak asing. Tentunya bukan tanpa alasan Menteri Susi sampai berulang mengajak para
akademisi didalam ikut serta memikirkan dan menjaga perikanan dan kelautan Indonesia.

Setelah berkurangnya masalah illegal fishing, Indonesia sebagai Negara maritim masih
dihadapkan pada masalah sampah plastik di laut, disamping pembangunan 15 Kawasan
Konservasi Laut , meningkatkan produktivitas perikanan, keamanan pangan dan gizi, serta
menjadikan laut mata pencaharian berkelanjutan di 13 kabupaten di Maluku, Maluku Utara,
dan Papua Barat.

Semua itu membutuhkan keterlibatan para akademisi, terutama masalah penanganan sampah
plastik dilaut. Bayangkan saja, kerja bakti bersih pantai terbesar di Indonesia yang
melibatkan 12 ribu orang dari 55 titik di Bali saja mengumpulkan 4 ton sampah.

Data United Nations for Environment Program menyatakan, setiap tahunnya sebanyak 0,5
hingga 1,3 juta ton sampah plastik masuk ke perairan Indonesia, tidak hanya berasal dari
sungai di Indonesia , namun juga dari negara lain, seperti Asia Timur, atau negara-negara
yang memiliki koneksi jalur laut dengan Indonesia.

Sekitar 1.000 Lembaga Swadaya Masyarakat tercatat telah berperan aktif dalam
upaya penyadartahuan kepada masyarakat akan pentingnya mengelola sampah. Sebuah
tantangan bagi para akademisi untuk berperan serta dalam mengatasi permasalahan kelautan
dan perikanan yang masih terbentang, dari kebijakan menjaga dan pengelolaan laut sampai
pada penanganan sampah, baik di laut maupun didarat, guna muwujudkan Indonesia sebagai
poros maritim dunia.

P erdagangan internasional adalah perdagangan yang dilakukan antar negara. Negara


memproduksi kebutuhannya sendiri dan mengekspor kelebihannya, untuk kemudian
mengimpor apa yang tidak diproduksinya sendiri. Hal ini disebabkan beberapa poin,
diantaranya adalah diversitas sumber daya alam, perbedaan selera (preferensi), dan
perbedaan biaya yang berkaitan dengan biaya produksi.
Melalui teori keunggulan komparatifnya, David Ricardo mengemukakan bahwa setiap
negara akan memperoleh keuntungan jika ia menspesialisasikan pada produksi dan ekspor
yang dapat diproduksinya pada biaya yang relatif lebih murah, dan mengimpor apa yang
dapat diprosukdinya pada biaya yang relatif lebih mahal. Ini menjelaskan bahwa mengapa
suatu negara yang memiliki sumber daya sangat lengkap, negara tersebut memilih
mengimpor atau mengekspor daripada memproduksi untuk digunakan sendiri.

Dengan demikian, meskipun suatu negara mengalami kerugian absolut (absolute


disadvantage) atau tidak mempunyai keunggulan absolut dalam memproduksi kedua jenis
barang (komoditi) bila dibandingkan dengan negara lain, perdagangan internasional yang
saling menguntungkan kedua belah pihak masih dapat dilakukan, asal negara tersebut
melakukan spesialisasi produksi terhadap barang yang memiliki harga relatif yang lebih
rendah dari negara lain.

Asumsi-asumsi Teori Keunggulan Komparatif yang dibangun David Ricardo ini adalah
berlakunya labor theory of value, yaitu bahwa nilai suatu barang ditentukan oleh jumlah
tenaga kerja yang dipergunakan untuk menghasilkan barang tersebut, dimana nilai barang
yang ditukar seimbang dengan jumlah tenaga kerja yang dipergunakan untuk
memproduksinya (1) ; perdagangan internasional dilihat sebagai pertukaran barang dengan
barang di antara dua negara (2) ; tidak memperhitungkan biaya pengangkutan dan lain-lain
dalam pemasaran (3) ; produksi dijalankan dengan biaya tetap, sedangkan skala produksi
bersifat contant return to scale (4) ; dan faktor produksi tidak bersifat mobile antar negara
(5).
Kelemahan-kelemahan dari teori keunggulan komparatif adalah timbulnya
ketergantungan dari Dunia Ketiga terhadap negara-negara maju karena keterbelakangan
teknologi. Fakta lain, saat ini negara-negara maju pun bisa membuat sendiri apa yang
menjadi spesialisasi negara berkembang (ex: pertanian) dan melakukan proteksionisme.

Alih teknologi-produksi yang terjadi, misal barang-barang spesialisasi dari Indonesia


yang dijual ke Jepang akan dijual lagi ke Indonesia dengan harga dan bentuk yang lebih
bagus, seperti karet jadi ban, juga membuat negara-negara berkembang sulit bersaing
keuntungan. perusahaan macam Honda membuat bahan motor di negara-negara spesialisasi,
Dengan adanya kelemahan-kelemahan tersebut, teori ini sebenarnya hanya cocok untuk
perdagangan internasional antar negara maju. Sebenarnya melalui konteks sejarah kita bisa
mengetahui hal tersebut karena Ricardo hanya melihat Inggris dan negara-negara maju plus
Amerika Latin dalam penyusunan teorinya tersebut.

Pada masa Ricardo, belum ada pengamatan serius dan mendalam yang mengarah pada
negara-negara di Dunia Ketiga. Wajar jika ketika negara-negaradi Dunia Ketiga mulai masuk
dalam struktur ekonomi-politik internasional ada beberapa hal dari teori perbandingan
komparatif Ricardo yang menimbulkan berbagai kerugian di pihak negara-negara Dunia
Ketiga.
Tol laut merupakan konektivitas laut yang efektif berupa adanya kapal yang melayari secara
rutin dan terjadwal dari barat sampai ke timur Indonesia (Bappenas, 2015). Isu tol laut
sebenarnya bukan suatu hal yang baru. Beberapa tahun lalu, Indonesia Port Company (IPC)
pernah mencanangkan konsep yang hampir mirip dengan tol laut dengan nama berbeda,
yakni Pendulum Nusantara. Kemudian barulah di era pemerintahan Presiden Jokowi konsep
tersebut dicanangkan kembali dengan nama Tol Laut2.
Ide dari konsep tol laut tersebut akan membuka akses regional dengan cara membuat dua
pelabuhan besar berskala hub internasional yang dapat melayani kapal-kapal niaga besar di
atas 3.000 TEU hingga 5000 TEU melewati sebuah jalur laut utama dari ujung barat hingga
ujung timur Indonesia dan sebaliknya secara rutin (Bappenas, 2015).

Dalam perencanaannya terdapat tujuh pelabuhan utama yang akan disinggahi oleh kapal-
kapal berukuran besar, yaitu Belawan (Medan), Batam, Tanjung Priok (Jakarta), Tanjung
Perak (Surabaya), Makassar, Bitung dan Sorong (Papua). Tujuh pelabuhan ini juga berfungsi
sebagai pelabuhan utama (hub) yang kemudian meneruskan barang ke pelabuhan di
sekitarnya dengan menggunakan kapal berukuran lebih kecil. Skema jalur tol laut dapat
dilihat pada Gambar 2.1.

Teori keunggulan komparatif (theory of comparative advantage) merupakan teoriyang


dikemukakan oleh David Ricardo. Menurutnya, perdagangan internasionalterjadi bila ada
perbedaan keunggulan komparatif antarnegara. Ia berpendapat bahwa keunggulan komparatif
akan tercapai jika suatu negara mampu memproduksi barang dan jasa lebih banyak dengan
biaa ang lebi murah di bandingan dari negara lain Sebagai
contoh, Indonesia dan Malaysia sama-sama memproduksi kopi dan timah. Indonesia mampu
memproduksi kopi secara efisien dan dengan biaya yang murah, tetapi tidak mampu
memproduksi timah secara efisien dan murah. Sebaliknya, Malaysia mampu dalam
memproduksi timah secara efisien dan dengan biaya yang murah, tetapi tidak mampu
memproduksi kopi secara efisien dan murah. Dengan demikian, Indonesia memiliki
keunggulan komparatif dalam memproduksi kopi dan Malaysia memiliki keunggulan
komparatif dalam memproduksi timah. Perdagangan akan saling menguntungkan jika kedua
negara bersedia bertukar kopi dan timah.

Menurut Keunggulan komparatif dari Ricardo menyatakan bahwa sekalipun suatu


Negara tidak memiliki keunggulan absolute dalam memproduksi 2 jenis komoditas jika
dibandingkan Negara lain, namun perdagangan yang saling menguntungkan masih bisa
berelangsung, selama rasio harga antar Negara masih berbeda jika dibandingkan tidak ada
perdagangan. Ricardo menganggap keabsahan teori nilai berdasar tenaga kerja yang
menyatakan hanya satu factor produksi yang penting menentukan nilai suatu komoditas, yait
factor tenaga kerja. nilai suatu komoditas adalah proporsional (secara langsung) dengan
jumlah tenaga kerja yang diperlukan untuk menghasilkannya.

Teori Keunggulan komperatif Ricardo disempurnakan oleh teori biaya imbangan.


argumentasi dasarnya bahwa harga relative dari komoditas yang berbeda ditentukan oleh
perbedaan biaya. biaya disini menunjukan produksi komoditas alternative yang harus
dikorbankan untuk menghasilkan komoditas yang bersangkutan. selanjutnya menurut
Simatupang (1991) maupun Sudaryanto dan simatupang (1993), konsep keunggulan
komparatif merupakan ukuran daya saing (keunggulan) potensial dalam arti daya saing yang
akan dicapai pada perekonomian tidak mengalami distorsi sama sekali. aspek yang terkait
dengan konsep keunggulan komparatif adalah kelayakan ekonomi.

Teori keunggulan komparatif yang dikemukakan oleh David Ricardo ini bertujuan untuk
melengkapi teori Adam Smith yang tidak mempersoalkan kemungkinan adanya negara-
negara yang sama sekali tidak mempunyai keuntungan mutlak dalam memproduksi suatu
barang terhadap negara lain misalnya negara yang sedang berkembang terhadap negara yang
sudah maju. Untuk melengkapi kelemahan-kelemahan dari teori Adam Smith, Ricardo
membedakan perdagangan menjadi dua keadaan yaitu:
1. Perdagangan dalam negeri.
2. Perdagangan luar negeri.

Menurut Ricardo keuntungan mutlak yang dikemukakan oleh Adam Smith dapat berlaku
di dalam perdagangan dalam negeri yang dijalankan atas dasar ongkos tenaga kerja, karena
adanya persaingan bebas dan kebebasan bergerak dari faktor-faktor produksi tenaga kerja
dan modal.

Karena itu masing-masing tempat akan melakukan spesialisasi dalam memproduksi


barang-barang tertentu apabila memiliki ongkos tenaga kerja yang paling kecil. Sedangkan
untuk perdagangan luar negeri tidak dapat didasarkan pada keuntungan atau ongkos mutlak.
Karena faktor-faktor produksi di dalam perdagangan luar negeri tidak dapat bergerak bebas
sehingga barang-barang yang dihasilkan oleh suatu negara mungkin akan ditukarkan dengan
barang-barang dari negara lain meskipun ongkos tenaga kerja yang dibutuhkan untuk
membuat barang tersebut berlainan.
Dengan demikian inti Keuntungan komparatif dapat dikemukakan sebagai berikut:
Bahwa suatu negara akan menspesialisasi dalam memproduksi barang yang lebih efisien di
mana negara tersebut memiliki keunggulan komparatif.( Budiono, 1990:35)
Atau dengan kata lain dapat dikemukakan sebagai berikut: Kemampuan untuk
menemukan barang-barang yang dapat di produksi pada tingkat biaya relatif yang lebih
rendah daripada barang lainnya. ( Charles P.Kidlleberger dan Peter H. Lindert, Ekonomi
Internasional (terjemahan Burhanuddin Abdullah,1991:30). Untuk itu bagi negara yang tidak
memiliki faktor-faktor produksi yang menguntungkan, dapat melakukan perdagangan
internasional, asalkan negara tersebut mampu menghasilkan satu atau beberapa jenis barang
yang paling produktif dibandingkan negara lainnya.

Dalam teori keunggulan komparatif ini suatu bangsa dapat meningkatkan standar
kehidupan dan pendapatannya jika negara tersebut melakukan spesialisasi produksi barang
atau jasa yang memiliki produktivitas dan efisiensi tinggi. Berikut adalah ringkasan dari
asumsi Teori David Ricardo :
1. Hanya ada dua negara yang melakukan perdagangan Internasional
2. Hanya ada 2 barang (komoditi) yang diperdagangkan
3. Masing-masing negara hanya mempunyai 2 unit faktor produksi
4. skala produksi bersifat contant return to scale artinya harga relatif barang-barang tersebut
adaah sama pada berbagai kondisi produksi
5. Berlaku labour theory of value (teori nilai tenaga kerja) yang menyatakan bahwa nilai atau
harga dari suatu barang (komoditi) adalah sama dengan atau dapat dihitung dari jumlah
waktu jam kerja yang dipakai dalam memproduksi barang komoditi tersebut.[2]

6. Konsep wilayah depan dan wilayah dalam merupakan suatu kebijakan ditetapkan oleh
pemerintah untuk mengatur sistem logistik. Ilustrasi dari konsep ini dapat dilihat pada
Gambar 2.2. Dapat dilihat bahwa saat ini pemerintah telah menetapkan dua pelabuhan yang
berada di wilayah depan sebagai hub-internasional, yaitu Pelabuhan Kuala Tanjung dan
Pelabuhan Bitung (Bappenas, 2015). Hal tersebut dilakukan agar kapal yang melakukan
ekspor atau impor logistik dengan Indonesia akan terlebih dahulu berlabuh di wilayah depan,
dan baru kemudian didistribusikan ke wilayah dalam dengan menggunakan kapal-kapal
berbendera Indonesia. Konsep ini diharapkan tidak hanya untuk meminimalisir pergerakan
kapal dagang internasional yang hingga saat ini masih didominasi kapal berbendera asing di
wilayah bagian dalam Indonesia, namun juga untuk meminimalisir penetrasi produk asing
yang masuk ke wilayah Indonesia.

2. Contoh Kasus dari keunggulan komparatif


Untuk dapat mengetahui secara jelas dalam penerapan keunggulan komparatif di suatu
Negara, maka dapat di ambil contoh kasus sebagai berikut :
Ada Dua Negara yaitu Indonesia dan Persia, dan ada dua barang yaitu Permadani dan
rempah-rempah. Untuk menghasilkan sehelai permadani di Persia seorang harus bekerja
selama 4 hari. sebaliknya untuk menghasilkan 1 kg rempah-rempah di Indonesia seorang
harus bekerja selama 2 hari, sedang di Persia 3 hari. kebutuhan hari kerja bagi kedua barang
di kedua Negara tersebut bisa diringkas sebagai berikut :

Persia Indonesia
Permadani 2 hari 4 hari
Rempah-Rempah 3 hari 2 hari
Contoh diatas
adalah kasus yang sangat sederhana dan memberikan kesimpulan yang jelas mengenai siapa-
siapa yang akan mengekspor dan mengimpor. namun keadaan nyata tidaklah selalu
sesederhana itu. untuk berbagai barang, tidak jarang dijumpai bahwa suatu Negara yang
efisien dalam memproduksikan suatu barang, juga efisien dalam memproduksikan barang-
barang lain. ini disebabkan, misalnya oleh penggunaan teknologi dan mesin-mesin yang
lebih efisien, atau ketrampilan kerja penduduk yang secara rata-rata memang menonjol.
dalam hal ini kita menghadapi kasus di mana suatu Negara mempunyai keunggulan mutlak
dalam memproduksi semua barang. lalu apakah ii berate bahwa Negara ini akan mengekspor
semua barang dan sama sekali tidak mengimpor ? teori keunggulan mutlak akan menjawab
ya tetapi ekonom klasik David Ricardo mengatakan tidak. dalam hal ini, menurut david
Ricardo yang berlaku adalah teori keunggulan komparatif. suatu Negara hanya akan
mengekspor barang yang mempunyai keunggulan komparatif tinggi dan mengimpor barang
yang mempunyai keunggulan komparatif rendah.
Jika seandainya contoh tersebut diubah menjadi sebagai berikut :

Persia Indonesia

Permadani 2 hari 4 hari


Rempah-Rempah 3 hari 4 hari

Disini Persia mempunyai keunggulan mutlak dalam kedua barang tersebut, karena
keduanya bisa diproduksikan lebih murah di Persia. Ricardo mengatakan bahwa dalam hal
ini tidak berarti bahwa Persia akan mengekspor baik permadani maupun rempah-remph ke
Indonesiaa. dalam keadaan inipun Indonesia masih akan mengekspor rempah-rempah ke
Persia dan Persia mengekspor Permadani ke Indonesia. Mengapa ? Inilah penjelasan Ricardo
:
Sebelum ada perdagangan, di Persia 2 helai permadani mempunyai nilai yang sama
dengan 2 kg rempah-rempah, sedangkan di indonesia sehelai permadani sama dengan 1 kg
rempah-rempah. dinyatakan dalam rempah-rempah, permadani di Persia relative lebih murah
daripada permadani di Indonesia. satu kg rempah-rempah di Persia bisa ditukar dengan satu
setengah helai permadani, sedang di Indonesia 1 kg rempah-rempah hanya bisa ditukar
dengan 1 helai permadani. kita katakana disini bahwa Persia mempunyai keunggulan
komparatif dalam produksi permadani dan Indonesia mempunyai keunggulan komparatif
dalam produksi rempah-rempah. oleh sebab itu akan menguntungkan kedua belah pihak
apabila Indonesia bisa menukarkan rempah-rempahnya dengan permadani Persia dan Persia
menukarkan permadaninya dengan rempah-rempah Indonesia. jadi, jelas bahwa adanya
keunggulan komparaitf bisa menimbulkan manfaat perdagangan bagi kedua belh pihak dan
selanjutnya akan mendorong timbulnya perdagangan antar Negara. keunggulan komparatif
mendorong Persia untuk mengekspor permadinya ke Indonesia dan mengimpor rempah-
rempah dari Indonesia . sebaliknya, Indonesia akan terdorong untuk mengekspor rempah-
rempahnya ke persia dan mengimpor permadani dari Persia. orongan pertukaran ini tetap ada
meskipun kita lihat bahwa Persia mempunyai keunggulan mutlak dalam kedua barang
tersebut.

Dasar pemikiran Ricardo mengenai penyebab terjadinya perdagangan antarnegara


pada prinsipnya sama dengan dasar pemikiran dari Adam Smith (Teori Keunggulan Mutlak),
namun berbeda pada cara pengukuran keunggulan suatu negara, yakni dilihat komparatif
biayanya, bukan perbedaan absolutnya.

Kelemahan-kelemahan dari teori keunggulan komparatif antara lain timbulnya


ketergantungan dari Dunia Ketiga terhadap negara-negara maju karena keterbelakangan
teknologi. Fakta lain, saat ini negara-negara maju pun bisa membuat sendiri apa yang
menjadi spesialisasi negara berkembang (misalnya pertanian) dan melakukan
proteksionisme.

Alih teknologi-produksi yang terjadi, misalnya barang-barang spesialisasi dari


Indonesia yang dijual ke Jepang akan dijual lagi ke Indonesia dengan harga dan bentuk yang
lebih bagus, seperti karet menjadi ban dan juga membuat negara-negara berkembang sulit
bersaing keuntungan. Perusahaan seperti Honda membuat bahan motor di negara-negara
spesialisasi. Dengan adanya kelemahan-kelemahan tersebut, teori ini sebenarnya hanya
cocok untuk perdagangan internasional antar negara maju. Sebenarnya melalui konteks
sejarah kita bisa mengetahui hal tersebut karena Ricardo hanya melihat Inggris dan negara-
negara maju plus Amerika Latin dalam penyusunan teorinya tersebut. Pada masa Ricardo,
belum ada pengamatan serius dan mendalam yangmengarah pada negara-negara di Dunia
Ketiga. Wajar jika ketika negara-negara di Dunia Ketiga mulai masuk dalam struktur
ekonomi-politik internasional, ada beberapa hal dari teori perbandingan komparatif Ricardo
yang menimbulkan berbagai kerugian di pihak negara-negara Dunia Ketiga.

Para Ekonom klasik, khususnya Adam Smith, David Richardo, dan John Stuart
Mill, memberikan kontribusi besar bagi justifikasi ekonomi teoritikal terhadap perdagangan
internasional. Setiap Negara mempunyai kekhasan dalam corak dan ragam, serta kualitas dan
kuantitas sumber dayanya, baik kekayaan alam, sumber daya manusia, penguasaan teknologi
dan sebagainya. Perbedaan sumber daya antar Negara mendorong mereka untuk melakaukan
spesialisasi. Kegiatan produksi barang dan kreasi jasa diarahkan untuk mengeksploitasi
kelebihan ayang dimiliki, sehigga dapat dihasilkan barang dan jasa yang lebih efisien dan
bermutu. Barang dan jasa ini akan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri
dan sebagian akan diekspor ke Negara lain. Sebagai gantinya, akan diimpor barang dana jasa
dari Negara lain yang memiliki keunggulan dalam memproduksi dan mencipta barang dan
jasa tersebut. Uraian singkat diatas merupakan benang merah dari konsep yang diajukan
mashab klasik, yang dikenal dengan teori keunggulan komparatif. Teori keunggulan
komparatif pada dasarnya merupakan perluasan dari teori keunggulan absolut yang
dikemukakan oleh Adam Smith, dimana keunggulan absolute merupakan kasus khusus dari
dari keunggulan komparatif. Menurut teori keunggulan absolute, setiap Negara mampu
memproduksi barang tertentu secara lebih efisien daripada Negara lain (dengan kata lain
memiliki keunggulan absolute untuk barang tersebut) melalui spesialisasi dan
pengelompokan kerja secara internasional (international division of labor). Perdagangan
diantara dua Negara, dimana masing-masing memilikii keunggulan absolute dalam produksi
barang yang berbeda, akan memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak. Keunggulan
absolute bias diperoleh karena adanya perbedaan dalam factor-faktor seperti ikllim, kualitas
tanah, anugerah sumber daya alam, tenaga kerja, modal, teknologi atau kewirausahaan
(entrepreneurship). Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya disadari bahwa
perdagangan yang saling menguntungkan tidak selalu menuntut setiap Negara harus
memiliki keunggulan absolute disbanding mitra dagangnya. Misalnya Negara A memiliki
keunggulan absolute pada produksi kalkulator dan TV disbanding Negara B. Bila semata-
mata diasarkan pada teori keunggulan absolute, maka tidak akan ada perdagangan antar
Negara A dan Negara B. karena jelas saja negar A tidak bersedia membeli barang apapun dari
negar B yang harganya jauh lebih mahal. Penjelasan alternatif atas kasus ini adalah teori
keunggulan komparatif yang dikembangkan oleh David Richardo. Menurut teori ini,
sekalipun sebuah negar memiliki keunggulan absolute dalam produksi sebuah barang, tetapi
selama nnegara yang lebih lemah memiliki keunggulan komparatif pada produksi salah satu
barang tersebut , maka perdagangan tetap bisa dilakukan. Cotoh kasus teori keunggulan
komparatif Jepang dan Amerika Serikat memiliki keunggulan komparatif dalam penguasaan
teknologi canggih disbanding Indonesia dan Vietnam. Sebaliknya Indonesia dan Vietnam
memiliki keunggulan komparatif dalam upah kerja yang relative jauh lebih murah
dibandingkan upah pekerja di Jepang dan Amerika serikat. Perusahaan-perusahaan Jepang
dan Amerika serikat , oleh karena itu akan lebih cocok jika bermain di industry pada modal
(misalnya industry otomotif, industry barang- barang elektronik, dan sebgainya). Sementara
itu, perusahaan-perusahaan di Indonesia dan Vietnam akan lebih tepat jika berusaha di
industry padat karya (misalnya industry sepatu, tekstil, garmen, dan sebagainya)

Keuntngan komparatif
Teori ini dikemukakan oleh David Ricardo untuk melengkapi teori Adam Smith yang tidak
mempersoalkan kemungkinan adanya negara-negara yang sama sekali tidak mempunyai
keuntungan mutlak dalam memproduksi suatu barang terhadap negara lain, misalnya negara
yang sedang berkembang terhadap negara yang sudah maju. Keunggulan komparatif
(Comparative Advantages) adalah keuntungan atau keunggulan yang diperoleh suatu negara
dari melakukan spesialisasi produksi terhadap suatu barang yang memiliki harga relatif
(relative price) yang lebih rendah dari produksi negara lain. Atau, dengan kata lain, suatu
negara hanya akan mengekspor barang yang mempunyai keunggulan komparatif tinggi dan
mengimpor barang yang mempunyai keunggulan komparatif rendah. Menurutnya,
perdagangan internasional terjadi bila ada perbedaan keunggulan komparatif antarnegara. Ia
berpendapat bahwa keunggulan komparatif akan tercapai jika suatu negara mampu
memproduksi barang dan jasa lebih banyak dengan biaya yang lebih murah daripada negara
lainnya. Untuk melengkapi kelemahan-kelemahan dari teori Adam Smith, Ricardo
membedakan perdagangan menjadi dua keadaan yaitu
1. . Perdagangan dalam negeri.
2. Perdagangan luar negeri.

Menurut Ricardo, keuntungan mutlak yang dikemukakan oleh Adam Smith dapat berlaku di
dalam perdagangan dalam negeri yang dijalankan atas dasar biaya tenaga kerja, karena
adanya persaingan bebas dan kebebasan bergerak dari faktor-faktor produksi tenaga kerja
dan modal. Karena itu masing-masing tempat akan melakukan spesialisasi dalam
memproduksi barang-barang tertentu apabila memiliki biaya tenaga kerja yang paling kecil.
Sedangkan untuk perdagangan luar negeri tidak dapat didasarkan pada keuntungan atau
biaya mutlak. Karena faktor-faktor produksi di dalam perdagangan luar negeri tidak dapat
bergerak bebas sehingga barang-barang yang dihasilkan oleh suatu negara mungkin akan
ditukarkan dengan barang-barang dari negara lain meskipun ongkos tenaga kerja yang
dibutuhkan untuk membuat barang tersebut berlainan.

Teori Keunggulan Komparatif ini berlandaskan pada asumsi:


1. Labor Theory of Value, yaitu bahwa nilai suatu barang ditentukan oleh jumlah tenaga kerja
yang dipergunakan untuk menghasilkan barang tersebut, dimana nilai barang yang ditukar
seimbang dengan jumlah tenaga kerja yang dipergunakan untuk memproduksinya.
2. Perdagangan internasional dilihat sebagai pertukaran barang dengan barang.
3. Tidak diperhitungkannya biaya dari pengangkutan dan lain-lain dalam hal pemasaran
4. Produksi dijalankan dengan biaya tetap, hal ini berarti skala produksi tidak berpengaruh.
5. Faktor produksi sama sekali tidak mobile antar negara. Oleh karena itu, suatu negara akan
melakukan spesialisasi dalam produksi barang-barang dan mengekspornya bilamana negara
tersebut mempunyai keuntungan dan akan mengimpor barang-barang yang dibutuhkan jika
mempunyai kerugian dalam memproduksi.

David Ricardo berpendapat bahwa meskipun suatu negara mengalami kerugian


mutlak (dalam artian tidak mempunyai keunggulan mutlak dalam memproduksi kedua jenis
barang bila dibandingkan dengan negara lain), namun perdagangan internasional yang saling
menguntungkan kedua belah pihak masih dapat dilakukan, asalkan negara tersebut
melakukan spesialisasi produksi terhadap barang yang memiliki biaya relatif terkecil dari
negara lain. Dengan kata lain, setiap negara akan memperoleh keuntungan jika masing-
masing melakukan spesialisasi pada produksi dan ekspor yang dapat diproduksinya pada
biaya yang relatif lebih murah, dan mengimpor apa yang dapat diprosukdinya pada biaya
yang relatif lebih mahal. Ini menjelaskan bahwa mengapa suatu negara yang memiliki
sumber daya sangat lengkap, negara tersebut memilih mengimpor atau mengekspor daripada
memproduksi untuk digunakan sendiri.

Menurut hukum keunggulan komparatif, meskipun sebuah negara kurang efisien


dibanding (atau memiliki kerugian absolut terhadap) negara lain dalam memproduksi kedua
jenis komoditi, namun masih tetap terdapat dasar untuk melakukan perdagangan yang
menguntungkan kedua belah pihak. Negara pertama harus melakukan spesialisasi dalam
memproduksi dan mengekspor barang yang memiliki kerugian absolut lebih kecil (ini
merupakan komoditi dengan keunggulan komparatif) dan mengimpor komoditi yang memiliki
kerugian absolut lebih besar (komoditi ini memiliki kerugian komparatif).
Teori yang dikemukakan oleh Kaum Klasik dalam teori perdagangan internasional,
berdasarkan atas asumsi berikut ini :
a. Memperdagangkan dua barang dan yang berdagang dua negara.
b. Tidak ada perubahan teknologi.
c. Teori nilai atas dasar tenaga kerja.
d. Ongkos produksi dianggap konstan.
e. Ongkos transportasi diabaikan (= nol).
f. Kebebasan bergerak faktor produksi di dalam negeri, tetapi tidak dapat berpindah melalui
batas negara.
g. Persaingan sempurna di pasar barang maupun pasar faktor produksi.
h. Distribusi pendapatan tidak berubah.
i. Perdagangan dilaksanakan atas dasar barter.

Untuk mempertegas teorinya, David Ricardo memberlakukan beberapa asumsi, yaitu :


1. Hanya ada 2 negara yang melakukan perdagangan internasional.
2. Hanya ada 2 barang (komoditi) yang diperdagangkan.
3. Masing-masing negara hanya mempunyai 1 faktor produksi (tenaga kerja)Skala produksi
bersifat constant return to scale, artinya harga relatif barang barang tersebut adalah sama
pada berbagai kondisi produksi.
4. Berlaku labor theory of value (teori nilai tenaga kerja) yang menyatakan bahwa nilai atau
harga dari suatu barang (komoditi) dapat dihitung dari jumlah waktu (jam kerja) tenaga kerja
yang dipakai dalam memproduksi barang tersebut.
5. Tidak memperhitungkan biaya pengangkutan dan lain-lain dalam pemasaran.

Selain itu, David Ricardo (1772-1823) juga menyatakan bahwa nilai penukaran ada jikalau
barang tersebut memiliki nilai kegunaan. Dengan demikian sesuatu barang dapat ditukarkan
bilamana barang tersebut dapat digunakan. Seseorang akan membuat sesuatu barang, karena
barang itu memiliki nilai guna yang dibutuhkan oleh orang. Selanjutnya David Ricardo juga
membuat perbedaan antara barang yang dapat dibuat dan atau diperbanyak sesuai dengan
kemauan orang, di lain pihak ada barang yang sifatnya terbatas ataupun barang monopoli
(misalnya lukisan dari pelukis ternama, barang kuno, hasil buah anggur yang hanya tumbuh
di lereng gunung tertentu dan sebagainya). Dalam hal ini untuk barang yang sifatnya terbatas
tersebut nilainya sangat subyektif dan relatif sesuai dengan kerelaan membayar dari para
calon pembeli. Sedangkan untuk barang yang dapat ditambah produksinya sesuai dengan
keinginan maka nilai penukarannya berdasarkan atas pengorbanan yang diperlukan.

CONTOH BENTUK KEGIATAN PERDAGANGAN BERDASARKAN TEORI


KEUNGGULAN KOMPARATIF (COMPARATIVE ADVANTAGE THEORY)

Berikut ini tabel berdasarkan keunggulan komparatif yang dikemukakan oleh David
Ricardo :

Tabel Hasil Kerja Satu Orang Per Hari.

Negara Produksi kain Produksi anggur


Inggris 40 yard 30 botol
Portugal 50 yard 75 botol
Dari tabel di atas dapat dilihat ternyata Inggris tidak memiliki keunggulan mutlak
baik dalam produksi kain maupun produksi anggur, tetapi menurut David Ricardo antara
Inggris dan Portugal tetap bisa melakukan perdagangan yang saling menguntungkan dengan
cara membandingkan biaya relatif masing-masing produk. Berdasarkan perhitungan efisiensi
biaya relatif, terbukti bahwa :
Inggris memiliki keunggulan komparatif pada produksi kain.
Portugal memiliki keunggulan komparatif pada produksi anggur.

Perhitungan tabel:
Di Inggris, 1 yard kain = 0,75 anggur (30 botol : 40 yard) yang ternyata lebih murah
dibandingkan dengan harga kain di Portugal yaitu 1 yard kain = 1,5 anggur (75 botol : 50
yard).
Di Portugal, 1 botol anggur = 0,67 yard kain (50 yard : 75 botol), yang ternyata lebih murah
dibandingkan dengan harga anggur di Inggris yaitu 1 botol anggur = 1,33 yard kain (40
yard : 30 botol).

Perhitungan Keuntungan:

1. Inggris Spesialisasi Produk Kain

Data Dasar Tukar Kain

Negara Produksi Kain Produksi Anggur DTDN


1 yard kain = 30/40 = 0,75 botol
Inggris 40 yard 30 botol
anggur
Portugal 50 yard 75 botol 1 yard kain = 75/50 = 1,5 botol
anggur

Keuntungan Inggris menjual kain ke Portugal :


DTLN (Portugal) : 1 yard kain = 1,5 botol anggur
DTDN (Inggris) : 1 yard kain = 0,75 botol anggur
Keuntungan Inggris menjual 1 yard kain adalah sebanyak 0,75 botol anggur.

2. Portugal Spesialisasi Produk Anggur

Data Dasar Tukar Anggur


Negara Produksi Kain Produksi Anggur DTDN
1 botol anggur = 40/30 = 1,33 yard
Inggris 40 yard 30 botol
kain
Portugal 50 yard 75 botol 1 botol anggur = 50/75 = 0,67 yard
kain

Keuntungan Portugal menjual anggur ke Inggris :


DTLN ( Inggris ) : 1 botol anggur = 1,33 yard kain
DTDN ( Portugal ) : 1 botol anggur = 0,67 yard kain
Keuntungan Portugal menjual 1 botol anggur adalah sebanyak 0,67 yard kain
Berdasarkan ilustrasi diatas, dapat dilihat bahwa spesialisasi kain di Inggris 1 yard kain =
0,75 anggur, sedangkan di Portugal 1 yard kain = 1,5 anggur. Jika Inggris menukarkan kain
dengaan anggur di Portugal, maka akan mendapatkan keuntungan sebesar 0,75 anggur yang
diperoleh dari (1,5 anggur - 0,75 anggur = 0,75 anggur ). Sementara untuk spesialisasi di
Portugal 1 botol anggur = 0,67 yard kain, sedangkan di Inggris 1 botol anggur = 1,33 yard
kain. Jika Portugal menukarkan anggur dengan kain, maka akan mendapatkan keuntungan
sebesar 0,67 yard yang diperoleh dari (1,33 yard - 0,67 yard = 0,67 yard)

Perbedaan Perbedaan perusahaan pelayaran

Teori keuntngan kompetitif

Teori keunggulan kompetitif dikemukakan oleh Michael Porter dalam bukunya The
Competitve Advantage of Nation (1990). Menurut Porter tidak ada korelasi langsung antara
dua faktor produksi (sumber daya alam yang melimpah dan sumber daya manusia yang
murah) yang dimiliki suatu negara, yang dimanfaatkan menjadi keunggulan daya saing
dalam perdagangan internasional. Banyak negara di dunia yang jumlah sumber daya alamnya
sangat besar yang proporsional dengan luas negerinya, tetapi terbelakang dalam daya saing
perdagangan internasional. Begitu juga dengan tingkat upah yang relatif murah daripada
negara lain, justru berkorelasi erat dengan rendahnya motivasi bekerja yang keras dan
berprestasi.

Porter mendefinisikan industri sebuah negara sebagai sukses secara internasional jika
memiliki keunggulan kompetitif relatif terhadap para pesaing terbaik di seluruh dunia.
Sebagai indikator ia memilih keberadaan ekspor yang besar dan bertahan lama dan/atau
investasi asing di luar wilayah yang signifikan berdasarkan pada keterampilan dan aktiva
yang diciptakan di negara asal.

Kemakmuran nasional diciptakan, bukan diwariskan. Kmakmuran negara tidak tumbuh dari
sumbangan alamiah sebuah negara, kumpulan tenaga kerjanya, tingkat bunganya atau nilai
kursnya, sebagaimana dikemukakan oleh ekonom klasik. Daya saing sebuah negara
tergantung pada kapasitas industrinya untuk berinovasi dan melakukan pembaharuan.
Perusahaan memperoleh keunggulan terhadap para pesaing dunia yang terbaik, karena
tekanan dan tantangan. Mereka mendapatkan manfaat dari memiliki pesaing domestik yang
kuat, pemasok yang berbasis daerah asal yang agresif, dan para pelanggan lokal.

Bagaimana perusahaan berhasil dalam pasar internasional menurut Porter

a. Di seluruh dunia, perusahaan yang telah mencapai kepemimpinan internasional


menggunakan strategi yang berbeda satu sama lain dalam segala hal.
b. Perusahaan mencapai keunggulan kompetitif melalui tindakan inovasi. Mereka mendekati
inovasi dalam pemahamannya yang paling luas, termasuk teknologi baru maupun cara yang
baru dalam melakukan berbagai hal. Inovasi dapat diwujudkan dalam suatu rancangan
produk baru, suatu proses produksi baru, suatu cara baru dalam melaksanakan pelatihan.
c. Beberapa inovasi menciptakan keunggulan kompetitif dengan kesempatan pasar baru secara
menyeluruh atau dengan melayani suatu segmen pasar yang telah diabaikan oleh orang lain.
Pada saat para pesaing lambat dalam memberikan respons, inovasi seperti ini menghasilkan
keunggulan kompetitif. Dalam pasar internasional, inovasi yang menghasilkan keunggulan
kompettif mengantisipasi kebutuhan domestik maupun asing.
d. .Informasi memainkan suatu peran yang besar dalam proses inovasi dan perbaikan, terutama
informasi yang tidak tersedia bagi para pesaing atau yang tidak mereka cari.
e. Dengan beberapa perkecualian, inovasi adalah hasil dari usaha yang tidak biasa. Untuk
berhasil, inovasi biasanya memerlukan tekanan, kebutuhan, dan bahkan kemalangan : rasa
takut akan kehilangan terbukti lebih kuat daripada harapan untuk peningkatan
f. Sekali sebuah perusahaan mencapai keunggulan kompetitif melalui suatu inovasi,
perusahaan tersebut dapat bertahan hanya melalui perbaikan yang tanpa lelah. Hampir setiap
keunggulan dapat ditiru.
g. Akhirnya, satu-satunya cara untuk mempertahankan keunggulan kompetitif adalah dengan
memperbaharuinya, untuk bergerak beralih ke tipe-tipe yang lebih canggih.

Porter menyatakan terdapat empat atribut utama yang menentukan mengapa industri tertentu
dalam suatu negara dapat mencapai sukses internasional, yaitu sebagai berikut.

1. )Kondisi faktor produksi. Posisi negara dalam faktor produksi, seperti tenaga kerja terampil
atau infrastruktur, perlu untuk bersaing dalam suatu industri tertentu.
2. Keadaan permintaan dan tuntutan mutu di dalam negeri untuk barang dan jasa industri.
3. Industri terkait dan industri pendukung. Keberadaan atau tidak adanya industri pemasok dan
industri terkait lainnya di negara tersebut yang secara internasional bersifat kompetitif.
4. Strategi perusahaan, struktur dan persaingan. Kondisi dalam negara yang mengatur
bagaimana perusahaan diciptakan, diatur, dan dikelola, sebagaimana juga sifat dari
persaingan domestik.

Selain keempat faktor tersebut, keunggulan kompetitif nasional juga masih dipengaruhi oleh
faktor kebetulan atau kesempatan untuk melakukan sesuatu (chance events), seperti
penemuan produk baru, melonjaknya harga, perubahan nilai tukar, konflik keamanan antar
negara dan lain-lain, dan tindakan-tindakan atau kebijakan pemerintah (government)

Teori Keunggulan Kompetitif Menurut Dong-Sung Cho (Daya Saing

Internasional Berdasarkan Model 9 Faktor)

Dong-Sung Cho, Presiden dari The Institute of Industrial Policy Studies, Korea Selatan,
dalam karyanya yang berjudul Determinant of International Competitiveness : How Can a
Developing Country Transform Itself to an Advance Economy, melengkapi hasil kajian
Porter.

Dong-Sung Cho menjelaskan bahwa Model Berlian dari Porter kurang menerangkan
mengapa beberapa jenis industri di Korea Selatan, seperti industri tekstil, baja, pembuatan
kapal, mobil, semi konduktor, peralatan elektronik rumah tangga, konstruksi dan lain-lain,
memiliki daya saing internasional. Dong-Sung Cho menjelaskan bahwa kita membutuhkan
model yang bisa mengatakan kepada kita semua, bukannya seberapa banyak tingkat sumber
daya yang sekarang dimiliki sebuah negara, tetapi siapa yang bisa menciptakan sumber daya,
dan kapan seharusnya setiap sumber daya itu diciptakan.

a. Model 9 Faktor
Dong-Sung Cho kemudian mengembangkan model yang dikenal sebagai Model 9 Faktor,
yang merupakan pengembangan dari model Porter, yang digambarkan pada Gambar 6.2.

Beberapa perbedaan antara Model Berlian yang dikembangkan oleh Porter dibanding
Model 9 Faktor dari Dong-Sung Cho terletak pada faktor yang ada di luar kotak berlian,
yaitu keberadaan empat faktor yang meliputi tenaga kerja (workers), birokrasi dan politisi
(politicians and bureaucrats), kewirausahaan (enterpreners), dan manajer, teknisi dan
perancang profesional (profesional, managers, designers and engineers). Juga faktor akses
dan kesempatan (chance events) dalam melakukan sesuatu bagi masyarakat, yang berada di
luar kotak segi empat tersebut, dimana akses dan kesempatan merupakan faktor yang tidak
kalah penting dalam mempertajam daya saing internasional.

Secara umum posisi faktor-faktor tersebut dapat tumbuh secara alamiah walaupun
sangat tergantung kepada keadaan masing-masing negara. Biasanya negara yang masih
terbelakang lebih melekat pada sumber daya alam, kemudian secara bertahap berkembang
melahirkan lingkungan kegiatan bisnis. Pada tahap setengah maju munculah industri terkait
dan pendukung. Sedangkan pada tahapan negara lebih maju, berkembanglah permintaan
domestik. Sementara faktor manusia tergantung pada tahapan perkembangan negara. Pada
negara berkembang, yang ada adalah kumpulan pekerja, kemudian tampil faktor politisi dan
birokrasi, selanjutnya lahirlah wirausahawan dan kehadiran tenaga manajer, teknisi dan
perancang profesional.

b. Siklus Hidup Daya Saing Nasional

Status perekonomian sebuah negara ditetntukan oleh daya saing internasionalnya dan
kesembilan faktor memiliki bobot yang bervariasi sejalan dengan sebuah negara beralih dari
tahapan keterbelakangan menuju tahapan sedang berkembang, selanjutnya menuju tahapan
semi maju dan akhirnya menuju pada tahapan maju.

(1) Tahapan Terbelakang

Negara-negara sebelum pembangunan ekonomi hanya memiliki sumber daya yang


dinaugerahkan dan tenaga kerja yang terbatas, dan mereka cenderung kekurangan know-how
manajemen dan teknologi yang dapat menempatkan aktiva ini ke dalam proses produksi
yang dapat menimbulkan nilai tambah.

(2) Tahapan Sedang Berkembang

Para politisi mulai mengisi ambisi politis melalui kebijakan pertumbuhan dan pembangunan.
Dalam proses tersebut, mereka memobilisasi para birokrat untuk melaksanakan kebijakan
industri, dan meningkatkan lingkungan bisnis melalui penciptaan pasar keuangan dan
infrastruktur sosial. Kadang-kadang sumber daya dan angkatan kerja yang tersedia
disalurkan ke dalam lembaga yang dijalankan oleh pemerintah, dan sebuah negara memiliki
kesempatan pertamanya untuk memperkuat daya saing internasionalnya.

(3) Tahap Semi Maju


Bersamaan dengan pembangunan perekonomian melewati periode awal, sistem kapitalis
mungkin memperbolehkan para wirausahawan untuk melakukan investasi besar terlepas dari
risiko tinggi yang terkait, dan mereka mulai mengurangi ketergantungan mereka pada
pemerintah. Para usahawan dipersiapkan untuk menyelidiki dan mencoba untuk mencapai
skala ekonomis.

(4) Tahap Maju

Menyusul inovasi proses manufaktur, produk dan organisasi bisnis dalam tahap semi maju,
hubungan industri terkait dan pendukung secara horisontal dan secara vertikal ditingkatkan
lebih lanjut. Barang dan jasa dari industri dapat memasuki pasar internasional kompetitif
dalam syarat yang sama dengan negara maju. Proses manufaktur menjadi lebih
berpengalaman, kualitas produk membaik dan suatu pembangunan yang seimbang antara
hulu dan hilir dicapai.

c. Siklus Hidup Daya Saing Industrial

Industri bergerak dari tahap awal menuju tahap pertumbuhan, menuju tahap kedewasaan, dan
akhirnya pada tahap penurunan. Faktor fisik dan faktor manusia dari daya saing internasional
memiliki pengaruh yang bervariasi bersamaan dengan setiap industri melewati dan melalui
fase yang berbeda.

(1) Tahap Awal

Pada umumnya, sebuah industri berada pada tahap awal jika sumber persaingannya terbatas
pada sumber daya yang dianugerahkan, seperti sumber daya mineral yang berlebihan, dan
lahan yang luas dan subur.

(2) Tahap Pertumbuhan

Untuk beralih dari tahap awal menuju suatu tahap pertumbuhan, industri memerlukan politisi
dan birokrat yang bersedia mendukung bisnis secara sistematis. Politisi dan birokrat
menciptakan suatu lingkungan bisnis yang mendukung investasi aktif, menyeleksi industri
tertentu untuk kemajuan, memberikan dukungan administratif dan keuangan, kredit pajak,
asuransi dan pelayanan informasi dan jaminan pembayaran kepada para wirausahawan
terpilih.

(3) Tahap Kedewasaan

Inovasi muncul dalam proses manufaktur, pengembangan produk, dan organisasi bisnis.
Hubungan di antara industri yang terkait secara horisontal dan vertikal menjadi lebih kuat
pada tahap ini, dan berkembangnya bisnis yang mengejar suatu pembangunan yang
seimbang baik dalam bidang hulu maupun hilir tetap kompetitif dalam pasar internasional.

(4) Tahap Penurunan

Industri yang melewati tahap kedewasaan dan gagal mempertahankan inovasi secara alamiah
akan memasuki tahap penurunan. Pasar menjadi jenuh pada titik ini dan pengharapan
konsumen untuk kualitas produk yang tinggi. Biaya produksi meningkat jika bisnis mencoba
untuk memenuhi permintaan konsumen yang berpengalaman, mengakibatkan suatu
penurunan yang cepat dalam daya saing internasionalnya.

Teori Keunggulan Kompetitif Michael Porter 1990

Perusahaan yang pertama menerobos pasar ,memiliki keuntungan ekonomis dan


strategis.biasanya akan segera mendominasi pasar. Kemampuan perusahaan mencapai skala
ekonomi lebih dahulu dibanding pesaing akan memberi keuntungan lebih banyak lagi.
Upaya reformasi yang saat ini sedang berjalan di sektor pelabuhan Indonesia sangat
diperlukan agar pelabuhan dapat memberikan kontribusi sebesar-besarnya pada pertumbuhan
ekonomi Indonesia. BUMN pelabuhan belum dapat beroperasi dengan efisiensi maksimal atau
berinisiatif untuk membangun pelabuhan hub internasional. Administrasi, pengelola dan calon
investor pelabuhan dihadapkan kepada tidak adanya kepastian usaha dan hukum. Oleh karena peran
pelabuhan dalam perekonomian dunia terus berkembang, upaya untuk mengatasi masalah tersebut
menjadi semakin mendesak. Semakin dramatisnya peningkatan aliran peti kemas dan kargo curah,
memerlukan pembangunan dan investasi baru.

Satu-satunya cara untuk maju adalah pemberdayaan kembali perubahan kebijakan secara
radikal, transformasi SDM, dan sinergi manajemen. Harus ada pemisahan yang tegas antara fungsi
regulasi (yang didelegasikan kepada otoritas pelabuhan) dan fungsi pengelola (yang dijalankan oleh
entitas bisnis pelabuhan).

Kunci utama untuk keberhasilan transisi adalah konsistensi, transparansi dan kesamaan
persepsi di antara para pemangku kepentingan. Selain itu, mengkaji masalah-masalah yang pernah
terjadi dimasa lalu sangat diperlukan, seperti misalnya kegagalan untuk mempertahankan KPS
dalam pembangunan pelabuhan di Batam, sehingga dapat dipetik pelajaran dari pengalaman
tersebut. Keberhasilan pelaksanaan proyek percontohan yang menggunakan KPS adalah hal yang
sangat penting.

Pengembangan SDM adalah komponen yang sangat penting dalam proses pemberdayaan
kembali. Pengelolaan pelabuhan memerlukan berbagai keahlian khusus untuk memastikan
perencanaan dan pelaksanaan yang tepat terkait aspek tata ruang, konstruksi teknis, keselamatan,
pembiayaan, kegiatan operasi, dan integrasi dengan sektor lain. Pengembangan SDM yang
kompeten akan memastikan bahwa perubahan dilaksanakan dengan cara yang aman dan sesuai
dengan peraturan. Sebagai perkembangan pembangunan pelabuhan, industri-industri baru dapat
tumbuh di sekitar DLKR pelabuhan, di lokasi tersebut pusat-pusat layanan menawarkan paket
komprehensif untuk industri tertentu seperti kelapa sawit atau batubara. Pemerintah pusat harus
memegang peran pengendali dalam penentuan pelabuhan mana yang perlu dikembangkan sebagai
kawasan industri. Kunci dari blue ocean strategy adalah pendekatan yang terfokus bukan pada
persaingan untuk memperebutkan pangsa pasar (dikenal sebagai red ocean approach) tetapi pada
penciptaan sebuah jaringan inovasi nilai (value in- novation network) yang membuat persaingan
menjadi tidak relevan. dikelola di tingkat pemerintah daerah, provinsi atau nasional. Keputusan
harus bersifat strategis, didasarkan pada potensi pelabuhan karena lokasi, kesesuaian untuk
melayani klaster industri, dan karakteristik yang serupa sehingga dapat memberikan kontribusi
terhadap pertumbuhan ekonomi.

Pendek kata, sistem pelabuhan perlu diberdayakan kembali. Pemberdayaan kembali yang
dimaksud disini adalah lebih dari sekadar memunculkan beberapa gagasan baru. Hal ini berarti
perumusan kembali visi strategis, struktur dan prosedur kelembagaan, serta penggunaan teknologi
informasi. Ini berarti mengubah budaya perusahaan dan mengembangkan SDM. Singkatnya,
pemberdayaan kembali terdiri atas tiga elemen: perubahan radikal atas kebijakan, transformasi
SDM, dan sinergi manajemen.

Perubahan kebijakan yang radikal memerlukan beberapa langkah, yaitu :


(a) penentuan posisi untuk berubah; (b) diagnosa terhadap proses-proses yang sedang berlaku; (c)
merancang kembali proses-proses baru yang lebih baik; dan (d) peralihan menuju kebijakan baru.
Dalam artikel singkat ini, penulis akan mengupas langkah- langkah tersebut, dengan fokus khusus
224 Bisnis Maritim

pada cara untuk memastikan keberhasilan proses peralihan dalam konteks pelabuhan Indonesia;
pentingnya pengembangan SDM; dan peran klaster industri.

Pertama, apa yang dimaksud dengan penentuan posisi terkait dengan sistem pelabuhan
nasional? Dalam hal ini berarti bahwa pemerintah harus menentukan kembali perannya. Pemerintah
harus fokus pada pembuatan kebijakan dan peraturan yang mendukung mekanisme pasar dan
persaingan yang sehat. Pemerintah harus menghindari intervensi langsung, serta menjadi regulator
dan wasit yang adil. Apabila mungkin, pemerintah harus melakukan deregulasi, menghapuskan
monopoli terselubung, dan menentukan secara jelas batas, fungsi dan kewenangan entitas
pelabuhan, sehingga meningkatkan kepastian usaha dan mendorong peran serta swasta dalam
investasi.

Langkah berikut dalam agenda pemberdayaan kembali adalah mendiagnosa ketertinggalan


industri layanan pelabuhan di Indonesia melalui perbandingan dengan negara lain dan memeriksa
seberapa baik manajemen pelabuhan diintegrasikan dengan bagian lain dari sistem manajemen
transportasi nasional, dibandingkan dengan negara lain.

Transisi Secara Hati-Hati Dengan melakukan kedua langkah seperti yang telah dijelaskan
diatas, kita dapat menyusun visi yang jelas tentang bagaimana semestinya bentuk sistem pelabuhan
yang telah diberdayakan kembali. Pertanyaannya adalah; bagaimana kita dapat mencapainya?
Prinsip kehati-hatian sangat diperlukan dalam mendisain ulang berbagaiproses yang lebih baik dan
selama berlangsungnya proses transisi menuju kebijakan baru. Perubahan harus dikomunikasikan
secara tepat untuk menghindari timbulnya resistensi dan persepsi bahwa sebuah birokrasi baru akan
menggantikan birokrasi yang lama.

Perubahan radikal dalam sistem pelabuhan yang telah diberdayakan kembali adalah
pemisahan yang jelas antara fungsi regulasi (yang didelegasikan kepada otoritas pelabuhan) dengan
fungsi pengelolaan (yang diberikan kepada institusi bisnis pelabuhan). Sampai saat ini, administrasi
pelabuhan yang masih dikelola oleh pemerintah melalui BUMN telah menciptakan monopoli serta
kebingungan dalam mengantisipasi aliran barang dan perencanaan ke depan. Perubahan radikal ini
harus ditangani secara hati-hati karena otoritas pelabuhan bertindak sebagai wakil pemerintah dan
memikul tanggung jawab yang sangat besar, antara lain dalam hal: memastikan kelancaran aliran
barang; menyediakan lahan dan kebutuhan air bersih serta menerbitkan perizinan; memberikan
jaminan keamanan dan ketertiban di pelabuhan; menyusun beberapa rencana induk pelabuhan; dan
menentukan DLKR (Daerah Lingkungan Kerja) dan DLKP (Daerah Lingkungan Kepentingan).

Kunci utama keberhasilan transisi menuju kebijakan baru adalah konsistensi, tansparansi
dan kesamaan persepsi para pemangku kepentingan. Selain itu, setiap dari kegagalan di masa lalu,
dan menerapkan proyek percontohan yang akan menghasilkan model yang berhasil untuk masa
depan. Konsistensi sangat penting selama persiapan pemberlakuan peraturan baru, dalam bentuk
Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri. Peraturan tersebut harus tertulis agar tidak
menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda. Perbedaan penafsiran yang berkepanjangan akan
menimbulkan ketidakpastian hukum dan memiliki konsekuensi hukum yang luas dalam hal
infrastruktur dan suprastruktur, SDM, penyelesaian utang piutang, dan hal-hal lain yang terkait
dengan kerjasama dalam usaha jasa pelabuhan. Peraturan tersebut tidak boleh ambigu sehingga
otoritas pelabuhan dapat menjamin hak dan kewajiban secara proporsional, adil dan bebas dari
monopoli, nepotisme, diskriminasi dan intervensi politik.
Kondisi Maritim Indonesia, Kondisi Perdagangan Nasional, Kondisi 225
Pelabuhan dan Pelayaran Nasional dan Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia

Setiap pelabuhan memiliki karakteristik teknis yang berbeda-beda yang akan


mempengaruhi sistem operasi pelabuhan, jumlah investasi yang dibutuhkan, dan biaya perawatan.
Setiap pelabuhan memiliki daerah datarannya masing-masing dan akses ke saluran distribusi serta
cakupan lintas provinsi. Namun, peraturan harus secara konsisten diterapkan pada semua pelabuhan
untuk memotivasi para operator pelabuhan dan menarik investasi. Transparansi juga sangat penting
bagi keberhasilan transisi. Ini merupakan ukuran bisnis yang strategis untuk menarik investor dan
kerjasama bisnis. Peran serta swasta dalam bisnis pelabuhan harus diarahkan kepada peningkatan
kualitas layanan serta efisiensi operasi, dan bukan hanya peningkatan pendanaan investasi
infrastruktur. Pemberdayaan kembali pelabuhan bertujuan untuk memastikan bahwa seluruh bangsa
menikmati manfaatnya. Hal ini menekankan pada perlunya kesamaan persepsi diantara para
pemangku kepentingan. Semua pihak harus menyepakati dan mengikuti roadmap yang dituangkan
dalam rencana tindak terpadu dalam Rancangan Akhir Rencana Induk Pelabuhan Nasional (RIPN)
2012 2030, yang saat ini sedang disebarkan ke seluruh Indonesia. Rencana Tindak dalam RIPN
mencakup strategi yang menyoroti, secara terukur, perbaikan atas proses hukum, operasional, SDM
dan penggunaan teknologi. Selain itu, Rencana Tindak tersebut juga menyoroti perencanaan dan
integrasi, menetapkan prioritas pengembangan, serta mengamankan investasi swasta dan Kerjasama
Pemerintah Swasta (Public Private Partnership [KPS]). Kesamaan persepsi tentang kriteria,
kepentingan ingin sukses dalam mengoptimalkan pelabuhan yang ada atau membangun pelabuhan
baru, membuat rencana induk untuk setiap pelabuhan, membangun jaringan jalan dari pelabuhan ke
kawasan industri dan mematuhi rencana tata ruang nasional.

Masalah-masalah yang terjadi di masa lalu perlu dikaji, seperti misalnya kegagalan untuk
mempertahankan KPS dalam pembangunan pelabuhan di Batam, sehingga dapat dipetik pelajaran
dari pengalaman tersebut.

Keberhasilan pelaksanaan proyek percontohan dengan menggunakan KPS sangat penting.


Pengembangan Terminal Peti Kemas Kalibaru Tanjung Priok telah diidentifikasi sebagai calon
percontohan pelaksanaan KPS, yang akan dilanjutkan di lokasi lain di kawasan timur dan barat
Indonesia. Baru-baru ini, Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa Kalibaru akan dikembangkan
oleh Pelindo II, karena adanya kebutuhan mendesak akan fasilitas tersebut. Meskipun demikian,
Ditjen Perhubungan Laut (DJPL) berkomitmen kuat untuk pengembangan PPP. Rancangan RINP
mencakup rencana tindak untuk pembangunan pelabuhan dengan menggunakan PPP, yang sekitar
70 persen nilai investasinya berasal dari sektor swasta.

Peran Penting SDM Satu-satunya cara untuk menanggalkan birokrasi lama adalah dengan
mengembangkan SDM. Manajemen pelabuhan memerlukan berbagai keahlian khusus untuk
memastikan perencanaan dan pelaksanaan yang tepat terkait aspek tata ruang, konstruksi teknis,
keselamatan, pembiayaan, kegiatan operasi, dan integrasi dengan sektor lain. Pengembangan SDM
yang kompeten akan menjamin bahwa perubahan dilaksanakan dengan baik, aman, dan sesuai
dengan peraturan.

Apabila para manajer dan tenaga kerja tidak memiliki komitmen terhadap perubahan,
upaya untuk mengubah sistem pelabuhan akan menghadapi risiko penolakan, atau disintegrasi
moral. Demonstrasi pekerja pelabuhan dapat dipahami terjadi jika mereka belum melihat manfaat
226 Bisnis Maritim

dari perubahan yang harus mereka lakukan. Penjelasan yang komprehensif tentang hal tersebut
dapat meredam konflik yang mungkin timbul selama proses transformasi.

Peran otoritas pelabuhan dan syahbandar adalah untuk mengkomunikasikan visi secara
efektif dan memimpin perubahan. Pelaku-pelaku utama tidak boleh terpaku pada cara-cara lama
dalam melakukan tugasnya. Mereka harus selalu bertindak secara profesional dan melakukan upaya
sosialisasi secara ekstensif. Operator pelabuhan harus berkonsentrasi untuk mempertahankan citra
dan tingkat layanan. Pola pikir harus berorientasi pada layanan, dan pentingnya kecepatan dan
efisiensi harus benar-benar dipahami.

Selama tahap transisi, selain fokus pada program pendidikan dan pelatihan, pakar SDM
harus mendengarkan para pemangku kepentingan dan melaksanakan prinsip-prinsip perbaikan yang
berkesinambungan (continuous improvement). Sebuah Tim Proses Perbaikan, yang melengkapi Tim
Reformasi Birokrasi di Kementerian PAN, dapat dibentuk di Kemenhub untuk membantu otoritas
pelabuhan dalam transisi tersebut.

Peran Klaster Industri Sebagai hasil pertumbuhan pembangunan pelabuhan, industri-


industri baru dapat tumbuh di sekitar DLKR, dengan penawaran paket komprehensif dari pusat
layanan pelabuhan kepada industri seperti kelapa sawit atau batubara. Sejumlah pelabuhan di
seluruh dunia menggambarkan efektivitas pembangunan klaster industri.

Contoh dalam industri pertambangan dan kimia antara lain terdapat di Rotterdam,
Antwerp, Hamburg, Marseilles, Houston, Yokohama. Rotterdam, khususnya, adalah pusat
perdagangan, distribusi dan pemasaran.

Pendekatan blue ocean merupakan cara yang inovatif untuk mempertimbangkan


pembangunan pelabuhan dengan terminal khusus yang dikelilingi kawasan industri. Kunci dari
strategi blue ocean adalah, pendekatan yang terfokus bukan pada persaingan untuk memperebutkan
pangsa pasar (pendekatan red ocean), tetapi lebih pada penciptaan sebuah jaringan inovasi nilai
(value innovation network) yang membuat persaingan menjadi tidak relevan.

Alih-alih bertanya bagaimana kita 8 dapat melakukan hal yang sama dengan yang
dilakukan dalam persaingan, namun lebih baik? ahli strategi blue ocean kemungkinan besar akan
bertanya, apa yang dapat kita lakukan tetapi tidak dilakukan di dalam persaingan? Di sektor
pelabuhan, salah satu jawabannya adalah mendorong pertumbuhan industri baru dengan
membangun pusat-pusat layanan yang dapat menawarkan paket komprehensif untuk produk-produk
yang memerlukan penanganan khusus.

Berdasarkan strategi blue ocean yang berfokus pada pengembangan klaster industri,
otoritas pelabuhan dan entitas bisnis pelabuhan akan berupaya untuk mencapai skala ekonomi
(economies of scale). Pembangunan terminal khusus bersamaan dengan klaster industri memerlukan
koordinasi di antara kementerian teknis, Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral, serta
pemerintah daerah. Perencanaan yang terpadu harus memperhitungkan karakteristik setiap daerah.
karakteristik setiap daerah. Pemerintah pusat harus memegang peran pengendali dalam penentuan
pelabuhan yang harus dikembangkan sebagai kawasan industri, karena alokasi aset nasional secara
optimal menjadi taruhannya.
Kondisi Maritim Indonesia, Kondisi Perdagangan Nasional, Kondisi 227
Pelabuhan dan Pelayaran Nasional dan Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia

Pemanfaatan kelebihan kapasitas di pelabuhan khusus dan pelabuhan yang mengemban


misi tertentu (dedicated port) harus dianggap sebagai pelengkap untuk layanan utama, bukan
sebagai pesaing. Hal ini menimbulkan tantangan khusus dan peluang bagi BUMN pelabuhan, yang
telah memiliki sarana produksi dan SDM. Terminal khusus yang memiliki keunggulan komparatif
dan kompetitif dapat dipertimbangkan untuk diubah menjadi pelabuhan utama, yang
memprioritaskan kapal-kapal yang terkait dengan spesialisasi industrinya. Hal ini akan mendorong
pembangunan klaster dan mendorong pelabuhan terdekat untuk meningkatkan daya saingnya.
Tulisan ini hanya menyinggung sebagian kecil komponen pemberdayaan kembali pelabuhan, namun
merupakan komponen yang sangat penting. Pendekatan yang bijaksana terhadap proses transisi,
fokus pada pengembangan SDM, dan upaya mendorong klaster industri semuanya bertujuan untuk
memenuhi visi keseluruhan pembangunan Indonesia yang dinyatakan dalam MP3EI. Bersama
dengan pembangunan pelabuhan internasional dan upaya mendapatkan investasi swasta, langkah ini
akan membawa kita kepada suatu sistem pelabuhan yang benar-benar diberdayakan kembali,
bukan hanya dalam struktur organisasi dan operasinya namun juga kemampuannya untuk
mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Mempercepat Pemindahan, Mengurangi Masalah:Mempersingkat Waktu Tunggu (Dwell


Time) Peti Kemas. Dalam lima sampai sepuluh tahun mendatang, keberadaan pelabuhan baru dan
pelabuhan yang diperluas dapat membantu mengurai kemacetan di pelabuhan. Namun sebelum
pembangunan baru dimulai, langkah-langkah pengurangan waktu keberadaan peti kemas di terminal
pelabuhan dapat memperbaiki situasi yang ada saat ini.

Perdagangan masuk dan keluar dari Indonesia sedang berkembang pesat. Perdagangan
antar pulau-pulau utama di Indonesia diramalkan juga akan marak. Tidak seperti negara lain seperti
China dan Vietnam, kapasitas pelabuhan Indonesia sangat tidak memadai untuk mengakomodasikan
pertumbuhan perdagangan curah (bulk) maupun dalam peti kemas. Untuk menanggulangi masalah
ini, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut telah menyusun Rencana Induk Pelabuhan Nasional
dengan bantuan Prakarsa Infrastruktur Indonesia (IndII), yang memaparkan kebutuhan investasi
untuk memperluas pelabuhan yang ada dan membangun yang baru.

Pengalaman mengindikasikan bahwa waktu yang dialokasikan mulai dari perancangan


pelabuhan hingga ke tahap pembangunan ditafsirkan terlalu pendek. Satu kendala adalah perlunya
menarik investasi swasta yang memainkan peran sangat penting indikasi bahwa badan usaha
pemerintah yang ada masih merupakan investor yang terpenting. Sementara pembangunan baru
masih menghadapi penundaan, arus peti kemas semakin deras (lihat ramalan pada Gambar 1).
Gabungan dua kondisi ini berarti, peningkatan produktivitas dan efisiensi pengoperasian pelabuhan
mutlak diperlukan.

Sementara pertumbuhan ekspor dan impor merupakan berita baik bagi perekonomian,
pintu masuk pelabuhan utama di Indonesia semakin membungkuk di bawah tekanannya. Menurut
perkiraan terakhir, pelabuhan Tanjung Priok tahun 2011 menangani hampir 6 juta TEU1. Para pakar
pelabuhan memperkirakan, dengan peralatan dan jalan akses yang ada, kapasitas idealnya adalah
sedikit di atas 5 juta TEU. Kementerian Perhubungan baru-baru ini mengumumkan bahwa kapal-
kapal sedang mengantre untuk berlabuh, dan sebagaimana telah diberitahukan kepada perusahaan -
pelabuhan tidak lagi dapat dijamin. Pelindo II, perusahaan pengelola pelabuhan milik negara,
memperkirakan bahwa arus peti kemas melalui Tanjung Priok akan meningkat paling sedikit 2 juta
TEU lagi sebelum akhir 2014. Pada saat itu, perluasan pelabuhan mungkin belum siap. Artinya,
228 Bisnis Maritim

kemacetan di pelabuhan akan semakin parah. Diperlukan lebih banyak waktu untuk memindahkan
peti kemas yang masuk agar keluar dari pelabuhan dan memindahkan peti kemas yang keluar agar
dimuat di atas kapal, dan diperkirakan, penanganan peti kemas masuk akan terkena dampak
terbesar.

Baru-baru ini Pemerintah Indonesia meminta agar Bank Dunia memperkirakan waktu
tunggu (dwell time) untuk barang- barang impor waktu mulai dari saat peti kemas diturunkan dari
kapal hingga keluar pintu gerbang terminal di Tanjung Priok dan memberikan rekomendasi jangka
pendek dan jangka panjang tentang cara mempersingkat masa tersebut.

Bertambahnya waktu tunggu di pelabuhan terpenting Indonesia memberi dampak negatif


pada perekonomian negara dalam dua cara. Pertama, industri yang berorientasi ekspor menghadapi
ketidakpastian akibat keterlambatan, sehingga mengurangi daya saing produk Indonesia di luar
negeri. Manufaktur just-in-time, sistem di mana perusahaan harus mengelola jadwal mengimpor
bahan mentah dan mengekspor barang jadi secara ketat, akan menderita lebih parah sehingga
menghalangi upaya Indonesia untuk menjadi bagian terpadu dari rantai pasokan yang efisien di
seantero dunia. Secara keseluruhan, sekitar 19 persen bahan baku perusahaan asing atau perusahaan
yang berorientasi ekspor di Indonesia masih diimpor. Kedua, waktu adalah uang: hambatan dan
kemacetan di pelabuhan mendongkrak biaya bagi usaha domestik dan pada akhirnya, harga yang
dibayar oleh konsumen.
Kondisi Maritim Indonesia, Kondisi Perdagangan Nasional, Kondisi 229
Pelabuhan dan Pelayaran Nasional dan Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia

Perkiraan waktu tunggu bagi peti kemas yang masuk di Jakarta International Container
Terminal (JICT) di Tanjung Priok pada bulan Juli dan Agustus 2011 adalah 6 hari. Ini merupakan
peningkatan 22 persen dari waktu tunggu yang diukur bulan Oktober 2010 (4,9 hari) dan cukup
mengkhawatirkan, mengingat Tanjung Priok menangani lebih dari dua-per-tiga seluruh perdagangan
internasional Indonesia, sedangkan jumlah lalu lintas peti kemas diramalkan bertumbuh 160 persen
pada tahun 2015.

Selain itu, dengan menggunakan ukuran internasional, yang mencakup waktu peti kemas
berada di pelabuhan tetapi di luar terminal, angka waktu tunggu Indonesia bertambah 1 sampai 7
hari. Kinerja ini jauh lebih buruk dibandingkan pelabuhan lainnya di kawasan Asia Tenggara seperti
Singapura (1,1 hari), Malaysia (4 hari), dan Thailand (5 hari) lihat Gambar 2. Kemungkinan besar
keadaan ini akan menjadi lebih parah di terminal-terminal lainnya di pelabuhan. Dalam upaya
mempertahankan arus lalu lintas peti kemas dan mengurangi penumpukan peti kemas di Tanjung
Priok, pemerintah telah mengambil beberapa langkah penting untuk mengurangi waktu tunggu dan
menjaganya tetap rendah. Sebagai contoh, penyelesaian prosedur pengeluaran barang sekarang
dilakukan selama 24 jam sehari, 7 hari seminggu (24/7), sambil mengembangkan sistem
dokumentasi dan informasi elektronik dengan tujuan menerapkan komunikasi tanpa kertas antara
pengusaha swasta dan instansi pemerintah. Upaya ini telah membantu menekan waktu tunggu
menjadi rata- rata 5 hari selama dua tahun terakhir. Tetapi efisiensi yang dapat semakin menghemat
waktu perlu ditemukan secepat mungkin untuk mencegah kemunduran waktu tunggu lebih lanjut
akibat peningkatan perdagangan, dan untuk mengimbangi kendala- kendala administrasi dan
infrastruktur. Penting untuk memahami alasan, mengapa terjadi penambahan waktu untuk
menyelesaikan urusan kepabeanan dan mengeluarkan peti kemas dari pelabuhan. Waktu tunggu
dapat diuraikan menjadi

Perdagangan masuk dan keluar dari Indonesia, serta antar pulau utama sedang berkembang
pesat saat ini. Untuk mengakomodasi pertumbuhan ini perlu dibangun pelabuhan baru dan
pelabuhan yang ada diperluas, tetapi diperlukan 5 hingga 10 tahun sebelum pembangunan tersebut
dapat dirampungkan. Sementara itu, fasilitas yang ada terbebani melampaui kapasitas idealnya.
Solusi yang segera dapat diterapkan adalah peningkatan efisiensi tata laksana melalui cara-cara
seperti mempersingkat waktu tunggu (dwell time).Waktu tunggu adalah waktu mulai dari saat peti
kemas turun dari kapal hingga akhirnya keluar dari pintu gerbang terminal. Bulan Juli dan Agustus
2011, waktu tunggu di Jakarta International Container Terminal (JICT) Tanjung Priok, yang
menangani lebih dari dua-per-tiga perdagangan internasional Indonesia, adalah 6 hari, jumlah ini
mengalami kenaikan 22 persen dari tahun sebelumnya. Pelabuhan lain di kawasan sekitar, seperti
Singapura, Malaysia, dan Thailand menunjukkan kinerja yang jauh lebih baik.

Industri yang berorientasi ekspor menghadapi ketidakpastian akibat keterlambatan, dan


dengan demikian daya saing produk Indonesia di luar negeri pun berkurang. Hambatan dan
kemacetan di pelabuhan mendongkrak naik biaya bagi usaha domestik dan pada akhirnya juga harga
yang dibayar oleh konsumen.
230 Bisnis Maritim

Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah-langkah untuk mempersingkat waktu tunggu,


seperti menyediakan layanan penyelesaian prosedur kepabeanan secara non-stop (24/7) serta
mengembangkan sistem dokumentasi dan informasi elektronik. Efisiensi yang semakin menghemat
waktu perlu ditemukan secepatnya untuk menghindari terjadinya kemunduran waktu tunggu lebih
lanjut. Sebagian besar keterlambatan terjadi selama tahap pra-penyelesaian prosedur kepabeanan
dan disebabkan oleh kendala dalam peraturan.Tidak seperti prosedur yang berlaku di sebagian besar
negara maju, Indonesia mensyaratkan agar para importir membayar pajak-pajak dan bea masuk di
muka (pra-bayar), sebelum mengajukan dokumen-dokumen impor yang tidak dapat mereka lakukan
sebelum kapal tiba. Selain itu, penyelesaian dokumen kepabeanan untuk barang pada saat akhir
pekan dan di luar jam kerja normal tidak dapat diandalkan. Mengupayakan agar semua pemangku
kepentingan menyediakan layanan non-stop yang fleksibel dan mempromosikan pengajuan
dokumen impor sebelum kapal tiba, merupakan langkah penting menuju sistem pengeluaran barang
yang lebih efisien. tiga komponen: pra-penyelesaian prosedur kepabeanan (waktu mulai saat kapal
tiba hingga dokumen impor diajukan kepada pihak Bea dan Cukai); penyelesaian prosedur
kepabeanan; dan paska- penyelesaian prosedur kepabeanan (waktu antara penyelesaian dokumen
kepabeanan dan pengeluaran barang melalui pintu gerbang JICT). Berlawanan dengan persepsi
umum tentang kinerja buruk Bea dan Cukai, kajian Bank Dunia baru-baru ini menunjukkan bahwa
penyebab utama keterlambatan adalah tahap pra- penyelesaian prosedur kepabeanan yang mencapai
58 persen dari waktu tunggu (lihat Gambar 3).

Penyebabnya terutama terkait hambatan akibat peraturan, termasuk metode pra-bayar yang
digunakan di Tanjung Priok. Sementara kebanyakan negara maju mengizinkan pengajuan dokumen
impor sebelum kapal tiba dan pada akhir proses menyediakan satu faktur yang mencakup biaya
pelabuhan, pajak-pajak dan bea masuk, sebagian besar importir dan produsen Indonesia wajib
menunggu hingga kapal tiba, dan harus membayar pajak-pajak dan bea masuk di muka (pra-bayar)
sebelum mengajukan dokumen-dokumen. Mengingat pada umumnya pembayaran memerlukan
waktu paling sedikit satu hari untuk mendapatkan konfirmasi dari Kas Negara, keterlambatan
semakin diperparah ketika kapal tiba hari Kamis atau pada akhir pekan pembayaran untuk kapal-
kapal yang tiba hari Kamis baru diselesaikan secara administratif paling cepat pada hari Senin.
Kondisi Maritim Indonesia, Kondisi Perdagangan Nasional, Kondisi 231
Pelabuhan dan Pelayaran Nasional dan Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia

Meskipun sistem layanan pelabuhan (kepabeanan dan terminal) non-stop (24/7) telah
diterapkan selama hampir dua tahun, penyelesaian prosedur kepabeanan untuk barang pada akhir
pekan dan di luar jam kerja normal tetap saja tidak dapat diandalkan. Sementara para petugas
pabean dan terminal mungkin bertugas, layanan lainnya seperti transaksi perbankan, informasi nilai
tukar mata uang terkini dari Bank Indonesia, layanan kasir dan administrasi perusahaan pelayaran,
bahkan depot peti kemas, biasanya sudah tutup jam 5 sore pada hari Jumat. Mengupayakan agar
semua pemangku kepentingan menyediakan layanan non- stop dan mempromosikan pengajuan
dokumen impor sebelum pengeluaran barang yang lebih efisien. Perubahan semacam itu tidak
menuntut investasi keuangan besar. Yang dibutuhkan adalah kemauan politik yang kuat untuk
mengubah peraturan yang menghambat.

Meskipun ekspansi pelabuhan Tanjung Priok berikut investasi besar-besaran untuk


membangun pelabuhan peti kemas baru sudah direncanakan, realisasi masing-masing memerlukan
paling sedikit 5 dan 10 tahun sebelum membuahkan hasil. Namun demikian, situasi sudah menjadi
kritis, mengingat pesatnya pertumbuhan perekonomian Indonesia dan kenyataan bahwa
perdagangan peti kemas mendasari sebagian besar pertumbuhan tersebut. Jika Indonesia ingin
memanfaatkan peluang yang muncul, akibat pertumbuhan ekonomi yang meroket, dan melanjutkan
manfaat tersebut kepada semua segmen masyarakat, maka efisiensi pelabuhan impor internasional
utama Indonesia mutlak harus dilakukan.

Tenaga Kerja di Pelabuhan Indonesia: Peran Koperasi. Koperasi tenaga kerja bongkar muat
di pelabuhan-pelabuhan Indonesia sudah mapan. Meski bermanfaat untuk melindungi kepentingan
para pekerja, koperasi dapat menyebabkan praktik monopoli. Di masa yang akan datang, diperlukan
sebuah pendekatan baru yang berfokus pada peningkatan keterampilan dan persaingan

UU no. 17/2008 tentang Pelayaran menetapkan bahwa potensi setiap unsur dari sistem
transportasi Indonesia harus dikembangkan semaksimal mungkin untuk menjamin bahwa Indonesia
memiliki sistem transportasi yang efektif dan efisien. Salah satu komponen yang terlihat jelas dari
sistem ini adalah pemindahan kargo, baik memindahkannya dari satu kapal ke kapal lain maupun ke
dermaga (stevedoring), memindahkannya dari dermaga ke gudang pelabuhan (cargodoring), atau
memindahkannya dari satu gudang ke gudang lainnya dan ke truk (receiving/delivery). Pekerjaan
tanpa keterampilan tersebut dilakukan oleh tenaga kerja bongkar muat (TKBM).

Meski barangkali terlihat sederhana, pekerjaan yang dilakukan TKBM ini dilaksanakan
dalam rangkaian rumit yang terdiri dari aturan, peraturan, dan visi yang terkadang bertentangan
dalam kaitannya dengan arti penting dari pergerakan muatan yang efisienserta perlindungan atas
kesejahteraanpara pekerja yang bekerja keras di pelabuhan. Para pekerja tersebut adalah anggota
dari Koperasi TKBM (KTKBM) setempat. IKTKBM beroperasi dalam kerangka kerja yang
menuntut peningkatan produktivitas paraekerja KTKBM, namun juga punya kekhawatiran apakah
monopoli KTKBM bisa efektif.

Secara historis, koperasi TKBM dibentuk sebagai upaya untuk menanggapi persoalan
kesejahteraan para pekerja. Karena satu-satunya syarat untuk bekerja sebagai TKBM mencari
pekerjaan sebagai TKBM, sehingga terjadi penurunan upah. Saat bertindak sebagai perorangan,
232 Bisnis Maritim

TKBM tidak berdaya atas upah, tugas, atau ketentuan kerja mereka. Mereka dapat bernegosiasi
dengan posisi yang lebih kuat sebagai sebuah kelompok yang terorganisasir.

Pembentukan KTKBM. Untuk memahami tujuan dan kegiatan operasional Koperasi TKBM,
peraturan perundang-undangan yang mendasari pembentukannya perlu dipahami.Cikal-bakal
koperasi ini lahir pada tahun1978, dengan dikeluarkannya SKB Menteri Tenaga Kerja,
Transmigrasi, dan Koperasi dengan Menteri Perhubungan tentang PembentukanYayasan Usaha
Karya (YUKA) untuk mengorganisasi TKBM.

SKB berikutnya dari kedua kemen- terian tersebut, serta sebuah Inpres, membubarkan
YUKA pada tahun1985. Secara bersamaan, sebuah badan sementara untuk mewakili TKBM
dibentuk di setiap pelabuhan laut, yang bertanggungjawab kepada administrator pelabuhan.
Strukturini ditegaskan melalui peraturan tambahan pada tahun 1989, khususnya SKB/1989.1
SKB/1989 menyatakan perlunya untuk segera mengembangkan koperasi TKBM di setiap pelabuhan
agar TKBM dapat mengelola diri mereka sendiri, meningkatkan kesejahteraan TKBM, dan
berpartisipasi dalam pengembangan kegiatan untuk menjamin kelancaran arus barang di pelabuhan
laut.

SKB/1989 menegaskan solidaritas

TKBM dan menyatakan bahwa Koperasi

TKBM memiliki dua kegiatan utama:

Administrasi operasional, termasuk pendaftaran TKBM, pengelompokan TKBM ke dalam


kelompok kerja, penyediaan jasa TKBM, dan pengaturan giliran kerja.

Pelayanan kesejahteraan, termasuk penyediaan makan pagi/siang/ malam, penyediaan transportasi,


pemeliharaan kesehatan, dll.

Tenaga kerja bongkar muat, atau TKBM, merupakan anggota koperasi setempat.
Kerangka hukum yang mengatur tentang koperasi telah menimbulkan tuntutan agar TKBM
meningkatkan produktivitasnya, serta kekhawatiran adanya monopoli yang secara efektif dipegang
koperasi.

Sebuah SKB pada tahun 1989 memandatkan adanya koperasi di setiap pelabuhan agar
TKBM dapat mengelola diri mereka sendiri, meningkatkan kesejahteraan TKBM, dan berpartisipasi
dalam kelancaran arus barang di pelabuhan laut. SKB tahun 2002 yang menggantikannya
mempertahankan konsep tersebut namun menambahkan sebuah pasal yang secara efektif
memberikan monopoli kepada KTKBM untuk pekerjaan bongkar muat.

Koperasi TKBM juga diharuskan mematuhi perundang-undangan Indonesia tentang


koperasi secara umum, yang menekankan peningkatan kesejahteraan anggotanya. Selain itu, UU no.
5/1999 dirancang untuk mencegah perilaku monopoli tetapi mengecualikan kegiatan usaha koperasi
yang dimaksudkan untuk melayani anggotanya. Ketentuan dalam SK Menhub no KM. 14/2002
telah ditafsirkan sehingga berarti bahwa semua kegiatan bongkar muat harus melibatkan koperasi
TKBM.
Kondisi Maritim Indonesia, Kondisi Perdagangan Nasional, Kondisi 233
Pelabuhan dan Pelayaran Nasional dan Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia

Sebagai akibat dari peraturan perundang-undangan tersebut, KTKBM belum menghadapi


tekanan persaingan, yang mengakibatkan rendahnya produktivitas dan kinerja yang buruk.
Persoalan lain adalah bahwa KTKBM mengenakan biaya meskipun kegiatannya dilakukan dengan
menggunakan sistem ban berjalan dan pipanisasi, dan tidak melibatkan TKBM.

Pada tanggal 29 Desember 2011, SKB/2011 dikeluarkan untuk menggantikan SKB yang
dikeluarkan pada tahun 2002. Berdasarkan SKB/2011, unit-unit usaha KTKBM dapat membentuk
sub-unit dan/atau kelompok kerja. Maksud ketentuan ini adalah untuk memungkinkan KTKBM dari
satu pelabuhan menawarkan jasanya di pelabuhan lain, sehingga meningkatkan persaingan dan
meminimalkan praktik monopoli. Namun, tindakan ini tidak akan mencapai hasil optimal jika sub-
unit tersebut secara bersama-sama mengendalikan pasar.

Ada kekhawatiran bahwa SKB/2011 dapat digunakan untuk membenarkan pengenaan


biaya TKBM, bahkan ketika kegiatannya telah dijalankan oleh mesin yang dioperasikan oleh tenaga
manusia dan tidak melibatkan TKBM. Selain itu, setiap kegiatan bongkar muat yang terjadi di luar
daerah lingkungan kerja) atau daerah lingkungan kepentingan pelabuhan harus dilakukan oleh
KTKBM di pelabuhan terdekat.

Peraturan tersebut tampaknya memberikan perlindungan yang berlebihan. KTKBM tidak


disiapkan untuk menghadapi persaingan terbuka.TKBM harus dibantu untuk meningkatkan tingkat
keterampilannya sehingga dapat berpartisipasi secara produktif dalam kegiatan bongkar muat yang
semakin sering melibatkan penggunaan peralatan mekanis. Untuk mencegah praktik monopoli yang
merugikan,TKBM harus dikelola oleh lebih dari satu koperasi penempatan pekerja, yang
independen di setiap pelabuhan laut.

KTKBM harus memiliki pola pikir baru dan memahami bahwa koperasi yang menawarkan
nilai terbaik kepada pelanggan yang akan menjadi koperasi yang berhasil. SKB/1989 digantikan
dengan SKB/20022 namun prinsip- prinsip di atas tetap berlaku. Meski demikian, beberapa
ketentuan dalam SKB/2002 memperkenalkan beberapa konsep yang baru atau berbeda. SKB/2002
mengatur tentang Unit Usaha Jasa Bongkar Muat (UUJBM) di bawah pengawasan KTKBM.
UUJBM dibentuk untuk mendukung kelancaran bongkar muat barang di pelabuhan laut. Dengan
demikian, usaha bongkar muat diturunkan tingkatnya menjadi salah satu unit dari KTKBM, bukan
sebagai usaha intinya, yang, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3, bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan para anggotanya. Selain itu, dan yang paling signifikan, Pasal 9 SKB/2002
menetapkan ketentuan yang secara efektif memberikan monopoli kepada koperasi atas pekerjaan
bongkar muat. Pasal ini menyatakan bahwa perusahaan bongkar muat yang melakukan kegiatan
bongkar muat barang di daerah lingkungan kerja dan daerah lingkungan kepentingan pelabuhan3
harus bekerjasama dengan Koperasi TKBM dengan menggunakan jasa TKBM.

Perundang-undangan tentang Koperasi. Selain peraturan yang secara khusus terkait dengan
TKBM, koperasi TKBM juga harus mematuhi perundang-undangan Indonesia tentang koperasi
secara umum. Sejak tahun 1989, kegiatan KTKBM pertama tunduk kepada UU no. 12/1967 tentang
Pendirian Koperasi, lalu tunduk kepada UU penggantinya, UU no. 25/1992.

UU no. 12/1967 mendefinisikan koperasi sebagai: organisasi ekonomi rakyat yang


berwatak sosial beranggotakan orang-orang atau badan-badan hukum koperasi yangmerupakan tata-
susunan ekonomi sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan. UU no. 25/1992
234 Bisnis Maritim

mendefinisikan koperasi sebagai: badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan
hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai
gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas azas kekeluargaan. UU no. 12/1967 dan UU no. 25/1992
memuat ketentuan yang serupa yang menyatakan bahwa tujuan koperasi adalah secara khusus untuk
meningkatkan kesejahteraan anggotanya dan secara umum meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Selain itu, kedua UU tersebut menyatakan bahwa anggota koperasi bergabung secara sukarela.

Berdasarkan susunan kalimat dalam UU tersebut, dapat disimpulkan bahwa koperasi


adalah sebuah badan usaha yang didirikan dengan cara bottom-up (didirikan oleh anggota).
Sebagaimana dinyatakan secara tegas dalam Pasal 17 UU no. 25/1992, para anggota koperasi adalah
pemilik dan sekaligus pengguna jasa Koperasi. Pasal ini memperjelas bahwa koperasi harus
digunakan sebagai sarana untuk saling meningkatkan kesejahteraan anggotanya. Terkait dengan
KTKBM, UU no. 25/1992 mengindikasikan bahwa ada dua jenis jasa yang diberikan oleh koperasi.
Yang pertama adalah jasa kesejahteraan untuk para anggota, yang harus didanai dengan iuran dari
para TKBM yang dikumpulkan dari perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan mereka. Jasa
yang kedua adalah produk usaha jasa bongkar muat dan pekerjaan terkait yang dijual oleh
koperasi kepada pihak-pihak yang bukan anggota koperasi. Menurut UU no. 25/1992, produk-
produk usaha reguler ini tunduk kepada aturan umum perilaku usaha.

UU no. 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
secara khusus mengatur koperasi. UU ini mendefinisikan monopoli dan menetapkan peraturan yang
dirancang untuk mencegah perilaku monopoli. Akan tetapi, Pasal 50 UU ini menyatakan bahwa
kegiatan usaha koperasi yang dimaksudkan secara khusus untuk melayani para anggotanya
dikecualikan dari ketentuan UU Anti Monopoli. UU Terkait Lainnya. UU lain yang tidak secara
khusus mengatur koperasi juga memiliki dampak penting terhadap peran dan fungsi KTKBM. SK
Menhub no KM. 14/2002 tentangPenyelenggaraan dan Pengusahaan Bongkar Muat dari dan ke
Kapal mendefinisikan Perusahaan Bongkar Muat (PBM) sebagai Badan Hukum Indonesia khusus
untuk melakukan bongkar muat barang dari dan ke kapal di pelabuhan dengan menggunakan
peralatan dan TKBM sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Ketentuan ini ditafsirkan bahwa semua
kegiatan bongkar muat harus melibatkan koperasi TKBM.

UU no. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan memiliki implikasi yang terkait dengan pelatihan
dan rekrutmen. Pasal 12 UU ini memandatkan bahwa para pemberi kerja bertanggung jawab atas
peningkatan dan/atau pengembangan kemampuan para pekerjanya melalui pelatihan. Unit-unit
usaha KTKBM dianggap sebagai pemberi kerja para TKBM.

UU ini juga menyatakan bahwa para pemberi kerja dapat merekrut sendiri para pekerja
yang mereka butuhkan atau menggunakan jasa dari agen penempatan. PBM dan operator terminal
yang menggunakan peralatan khususuntuk jenis barang tertentu dapat menggunakan ketentuan ini
sebagai dasar untuk merekrut sendiri pekerja yang terlatih untuk mengoperasikan peralatan khusus
tersebut.

Dampak Perundang-undangan Tersebut Sebagian dari peraturan perundang-undangan yang


dijelaskan di atas dirancang untuk melindungi kepentingan para pekerja yang rentan terhadap
Kondisi Maritim Indonesia, Kondisi Perdagangan Nasional, Kondisi 235
Pelabuhan dan Pelayaran Nasional dan Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia

eksploitasi tanpa adanya peraturan perundang-undangan tersebut. Sayangnya, perundang-undangan


tersebut memiliki beberapa dampak negatif yang tidak diinginkan. Karena koperasi TKBMbelum
menghadapi tekanan persaingan, KTKBM belum perlu mengoptimalkan kualitas jasa yang
diberikannya. Telah banyak keluhan mengenai produktivitas TKBM yang disediakan oleh koperasi.
Dari sudut pandang PBM, kinerja mereka semakin buruk dan tidak memenuhi harapan.
Sebagaimana dilaporkan dalam Bisnis Indonesia dalam sebuah artikel edisi 23 Juni 2010, persatuan
PBM mengajukan keberatan secara formal atas SK 2002 yang menetapkan bahwa koperasi TKBM
harus dilibatkan dalam semua kegiatan bongkar muat. Asosiasi Pemilik

Kapal Indonesia mengajukan gugatan ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU),


yang menyatakan bahwa ketentuan SK tersebut telah secara efektif menciptakan monopoli dan
bahwa tingkat produktivitas di beberapa pelabuhan terlalu rendah. Masalah lainnya adalah bahwa
koperasi mengenakanbiaya meski kegiatan operasional dilakukan dengan sistem ban berjalan dan
jaringan pipa, tanpa melibatkan TKBM. Pengenaan biaya tersebut bertentangan dengan Inpres
no.5/2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional. Menurut Inpres ini, biaya jasa
pelabuhan yang dikenakan tanpa pemberian jasa harus dihapuskan.

Perkembangan Baru. Pada tanggal 29 Desember, 2011 sebuah surat keputusan bersama baru,
SKB/20114 dikeluarkan untuk menggantikan SKB/2002. Berdasarkan SKB/2011, unit usaha
KTKBMdapat membentuk sub-unit dan/atau kelompok kerjasesuai dengan kondisi dan kebutuhan
di pelabuhan. Sebagaimana dijelaskan oleh seorang anggota tim yang terlibat dalam penyusunan
SKB/2011, tujuan pencantuman ketentuan tersebut adalah agar KTKBM dari satupelabuhan dapat
menawarkan jasa ke pelabuhan lainnya, sehingga meningkatkan persaingan dan meminimalkan
praktik monopoli. Meski demikian, langkah ini tidak akan membawa hasil yang optimal apabila
sub-unit tersebut menguasai pasar secara bersama-sama. SKB/2011 juga mengubah SKB/2002
sehingga menyatakan bahwa kegiatan bongkar muat yang membutuhkan banberjalan, pipanisasi,
derek terapung, atau peralatanserupa hanya dapat dilakukan oleh TKBM yang memiliki keahlian
dan kualifikasi yang diperlukan, dan jumlahTKBM yang diperlukan yang harus digunakan. SK ini
juga menyatakan bahwa kegiatan tersebut harus dilakukanberdasarkan permintaan dari pengguna
jasa, dan unitusaha tersebut hanya akan menerima upah TKBM sesuai dengan kualifikasi dan
jumlah TKBM yang melakukanpekerjaan. Ketentuan ini dapat ditafsirkan bahwa pekerja terampil
yang melakukan kegiatan bongkar muat dengan menggunakan ban berjalan, pipanisasi, derek
terapungatau peralatan mekanis serupa harus anggota KoperasiTKBM. Ada kekhawatiran bahwa
ketentuan tersebutdapat digunakan sebagai alasan untuk terus mengenakan biaya TKBM meskipun
kegiatannya tidak menggunakanTKBM. Pasal 9 SKB/2011 menentukan bahwa setiap kegiatan
bongkar muat yang terjadi di luar daerah kerja atau daerah kepentingan pelabuhan harus dilakukan
oleh KTKBMdi pelabuhan laut terdekat. Pasal ini juga menyatakan bahwa kegiatan bongkar muat di
terminal khusus harus menggunakan TKBM. Bersama dengan Pasal 4, yang mendefinisikan TKBM
sebagai anggota koperasi, ini berarti bahwa tidak ada kegiatan bongkar muat di mana pun yang
dapat dilakukan tanpa melibatkan KTKBM.

Untuk mencegah praktik monopoli yang merugikan, TKBM harus dikelola oleh lebih dari
satu koperasi penempatan TKBM yang independen di setiap pelabuhan laut. Agar kegiatan usaha
koperasi berhasil, KTKBM harus memiliki pola pikir baru. Mereka harus memahami bahwa
koperasi yang menawarkan nilai terbaik untuk pelanggan adalah koperasi yang akan paling berhasil
236 Bisnis Maritim

Mendidik Bangsa Bahari. Lebih dari negara lain mana pun juga, Indonesia adalah
negarayang digerakkan oleh kualitas sistem kepelabuhanannya.Agar kegiatan kepelabuhanan
Indonesia dapat memenuhi standar global, semua warganegara mulai dari anak sekolah sampai
buruh pelabuhanserta administrator dan pem- buat kebijakan harus diberipemahaman tentang
pentingnya pelabuhan, dan bagaimanamemfungsikannya.

Bagaimana sebuah negara kepulauan dengan posisi strategis seperti Indonesia


mempersiapkan diri untuk peningkatan lalu lintas pelabuhan selama dua dekade mendatang?
Dengan menjadikan pendidikan sebagai landasan dari kebijakan reformasi pelabuhan
nasionalnya,demikian pendapat para ahli.

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dan sangat bergantung pada lebih dari
1700 pelabuhan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi. Sejak tahun 2009 sampai dengan 2020,
PDB Indonesia diproyeksikan akan tumbuh rata-rata 6,5 persen. Pada tahun 2020, aliran peti kemas
akan mencapai lebih dari dua kali lipat dari volume tahun 2009 dan akan naik dua kali lipat lagi
pada tahun 2030. SK tentang RIPN yang dikeluarkansetelah UU no. 17/2008 tentangPelayaran
diberi mandat untukmelakukan reformasi denganmenciptakan sistem pelabuhan yangefisien,
kompetitif dan responsif untukIndonesia. UU tersebut mencakup integrasi, efisiensi pelabuhan,
keselamatan, persaingan dan penentuan kembali otoritas pelabuhan. Tujuannya adalah untuk
memastikan bahwa struktur manajemen pelabuhan Indonesia direvitalisasi dan efisien, untuk
mendorong investasi swasta, meningkatkan teknologi dan tenaga kerja. Singkatnya, untuk
menjadikan Indonesia negara pelabuhan kelas dunia yang berdaya saing. Sementara beberapa
bagian UUtersebut masih membutuhkanpenjelasan atau pengembangan,reformasi telah berjalan dan
UUtersebut secara jelas memandatkan perlunya pengembangan sektor sumber daya manusia di
bidang kepelabuhanan. Pengembangan Tenaga Kerja Pengembangan tenaga kerja sangat penting
untuk semua aspek reformasi kepelabuhanan. Pemberdayaan kembali manajemen kepelabuhanan
nasional merupakan proses transformasi yang mendasar oleh karena itu sangat penting untuk
memastikan bahwa sumberdaya manusianya kompeten,kata Prof Sudjanadi,
penasihatkepelabuhanan, peneliti dan dosen diLembaga Pengembangan ManajemenTransportasi.
(Informasi lebih lanjut tentang visi Prof Sudjanadi tentang pengembangan kepelabuhanan, lihat
Memberdayaan Kembali Manajemen Kepelabuhanan di Indonesia di halaman 4.)

Menurut para ahli, agar bisa dilaksanakan secara efektif aspek-aspek terkait organisasi,
hukum, administrasi dan kebijakan proses reformasi tersebut bergantung pada SDM yang tepat.
Para pembuat kebijakan dan administrator harus memahami benar hal-hal penting, antara lain
persaingan usaha, peraturan ekonomi dan operasional, analisistarif, perencanaan lingkungan, dan
pengembangan SDM.

Prof Sudjanadi, penganjur reformasi kurikulum dan pelatihan untuk tenaga kerja pelabuhan
Indonesia, saat ini sedang mengembangkan kurikulum pelatihan baru untuk personel manajemen
kepelabuhanan dan kelautan Indonesia bekerjasama dengan Pelabuhan Bremen di Jerman. Kursus
tersebut akan mencakup topik yangluas, mulai dari pemahaman tentangmanajemen kepelabuhanan
dan otoritas pelabuhan sampai penerapan praktik usaha yang baik dan masalah
kebijakan.Kurikulum tersebut akan diawali dengan penentuan peran, tugas dan tanggung jawab
otoritas pelabuhan Indonesiayang baru, serta pembekalan kepada personel untuk menangani
tantangan- tantangan dalam peningkatan volume kegiatan pelabuhan.
Kondisi Maritim Indonesia, Kondisi Perdagangan Nasional, Kondisi 237
Pelabuhan dan Pelayaran Nasional dan Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia

Manajemen (termasuk perencanaan strategis, manajemen anggaran,dan analisis keuangan),


pemasaran, perencanaan/perekayasaan (dari penyusunan rencana induk pelabuhan sampai
pengembangan proyek serta kegiatan operasional terminal dan pengelolaan perawatan), serta
kontrak dan peraturan adalah beberapa bidang yang membutuhkan pengembangan kurikulum.

Sarana pelatihan yang ada sekarang tidak memadai, kata Sudjanadi.Saat ini, di Indonesia
terdapatpendidikan setingkat universitas dalambidang industri kelautan serta beberapa lembaga
kelautan independen. Warga negara Indonesia juga memanfaatkan beasiswa yang ditawarkan
Australia dan negara lain untuk mengambil gelar PhD dan mengikuti program pasca sarjana dalam
bidang manajemen pelabuhan dan studi kelautan.

Belajar Dimulai Sejak Usia Muda Beberapa ahli yakin bahwa pendidikan dapat dilakukan
pada tingkat yang lebih rendah dari perguruan tinggi.Mengingat status Indonesia sebagai negara
yang paling bergantung pada pelabuhan di dunia, tampaknya belum terjalin hubungan yang erat
antara masyarakat dan pelabuhan Kelihatannya karier di pelabuhan belum banyak dipromosikan,
kata Dr Paul Kent, konsultan internasional yang bekerja di Indonesia Infrastructure Initiative
(IndII). (Artikel Kent, Persaingan Pelabuhan dan Kebutuhan untuk Mengatur Perilaku Anti-
Persaingan, dapat dilihat di hal. 20.)

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia sangat bergantung pada lebih dari
1700 pelabuhan untuk pertumbuhan ekonominya. UU no. 17/2008 tentang Pelayaran memandatkan
bahwa Indonesia harus mengembangkan sistem kepelabuhanan yang efisien, kompetitif dan
responsif . Pendidikan harus menjadi landasan reformasi ini. Para pembuat kebijakan dan
administrator harus memahami benar hal-hal penting, antara lain persaingan usaha, peraturan
ekonomi dan operasional, analisis tarif, perencanaan lingkungan, dan pengembangan SDM.
Penasihat pelabuhan, peneliti dan dosen, Prof Sudjanadi, adalah penganjur reformasi kurikulum dan
pelatihan, yang saat ini sedang mengembangkan kurikulum pelatihan baru untuk pelabuhan
Indonesia dan personel manajemen kelautan.

Sarana pendidikan lainnya antara lain adalah program setingkat universitas dalam bidang
industri kelautan serta sejumlah lembaga kelautan independen. Warga negara Indonesia juga
memanfaatkan beasiswa yang ditawarkan Australia dan negara lain untuk mengambil gelar PhD dan
program pasca sarjana di luar negeri. Pendidikan yang terkait dengan pelabuhan dapat dimulai sejak
dini, di mana anak sekolah belajar tentang arti penting dari masalah kelautan, dan mengetahui
peluang mereka untuk meniti karier di sektor pelabuhan Pengembangan keterampilan dalam bidang
komputer dan teknologi informasi adalah kunci untuk meningkatkan SDM. Sektor pelabuhan juga
harus dipromosikan sebagai lingkungan kerja dengan penghasilan yang menjanjikan dan peluang
pengembangan karier.

Strategi juga harus mencakup buruh pelabuhan. Kepada mereka dapat diberikan sertifikasi
untuk keahlian khusus seperti teknik penanganan, keselamatan pekerja, dan pengoperasian
peralatan. Sistem insentif yang berkualitas, pelatihan lintas bidang, dan sistem pengembangan karier
yang baku merupakan sarana untuk menanamkan rasa bangga dan meningkatkan kinerja pekerja.
238 Bisnis Maritim

Pertama-tama, harus ada apresiasipada pelabuhan pada usia dini. Anak-anak dapat
membina hubungan yangbaik dengan pelabuhan duduk dibangku SD.Sekalipun di AS, pada tingkat
nasional hanya ada sedikit program yang didedikasikan khusus untuk sektor pelabuhan, kata Kent,
beberapa negara bagian terkait maritim seperti Oregon membuat buku mewarnai khusus anak SD
untuk mengembangkan kesadaran tentang arti pelabuhan. Pesan sederhana seperti itu
menekankanpentingnya pelabuhan dalam kehidupan sehari-hari.

Tenaga kerja terlatih dan angkatankerja yang diberdayakan kembali sangatpenting agar
pelabuhan Indonesiadapat menyamai standar dunia. Sistempelabuhan yang kompetitif
bergantungpada keberhasilan menarik danmembina orang yang tepat ke dalamsemua bidang industri
kelautan.SDM di lembaga-lembaga yang baru bukan saja harus kompeten tetapi juga harus
menjadi agen perubahan, kata Prof. Sudjanadi. Mereka harus memiliki kesadaran akan situasi
yang mendesak untuk menghindari kemandekan dan berlakunya kembali pola-pola lama.

Teknologi InformasiSatu bidang penting adalah komputerdan teknologi informasi. Di


seluruh dunia, sistem yang menggunakan teknologi elektronik yang canggih digunakan untuk
mengelola produksi, pemasaran, transportasi dan distribusi. Agar kegatan pelabuhan
Indonesiaterintegrasi dengan sistem tersebut,personel pelabuhan dan yanglainnya di seluruh
bagian jaringantransportasi harus mengembangkandan mempertahankan keterampilanteknologi
yang diperlukan.

Perubahan dalam cara pengoperasian usaha memiliki implikasi yang besar bagi
transportasi, semakin meningkatnya tuntutan akan jumlah yang lebihbesar dan semakin efisiennya
sistem infrastruktur merupakan dukungan pada perdagangan skala besar, demikian diungkapkan
dalam naskah akademikuntuk mendukung dekrit Rencana IndukKepelabuhanan yang disusun oleh
IndII. Menarik Minat, Meningkatkan Daya Saing Tenaga Kerja Pengembangan SDM juga
memerlukan upaya dipromosikannya sektorpelabuhan sebagai lingkungan kerjayang aman dan
memberi imbalan yangbesar, serta memiliki peluang untukpengembangan karier. Saat ini bekerjadi
pelabuhan Indonesia jarang dianggapsebagai jalur karier yang layak.Kita harus menarik minat
lulusan terbaik di bidang bisnis, kata Dr Kent.Riset juga menunjukkan, perempuan belum berperan
penting dalam kepelabuhanan Indonesia, meskipun jumlah mereka yang terlibat dalam bidang
teknik dan kelautan cukup banyak. Untuk itu Kementerian Perhubungan telah ditugaskanuntuk
merekrut dan mempekerjakan perempuan di pelabuhan.

Buruh pelabuhan tetap menjadi perhatian. Saat ini, sektor pelabuhan Indonesia diwarnai
oleh praktik monopoli. (Lihat Tenaga Kerjadi Pelabuhan Indonesia: Peran Koperasi di halaman
12.) Peraturan yang mewajibkan pemanfaatan dan pembayaran tenaga buruh pelabuhan dikelola
oleh koperasi TKBM, ditambah dengan kurangnya peluang untuk maju, menurunkan motivasi
mereka.

Tidak ada insentif nyata untuk meninggalkan anggapan umum bahwa pemanfaatan buruh
pelabuhan semata- mata karena otot, bukan otak, kata Dr Kent.Koperasi TKBM mungkin menolak
mekanisasi karena khawatir akan mengarah pada berkurangnya kebutuhan akan buruh pelabuhan
yang akan berakibat pada mengurangi peluang untuk mendapatkan penghasilan, untuk itu
diperlukan sebuah pendekatan baru. Para buruh pelabuhan perlu diberikan kesempatan mendapat
pelatihan dan dibuat merasa sebagai bagian dari tenaga kerja yang kompetitif dan memenuhi standar
dunia. Kepada mereka dapat diberikan sertifikasi keahlian khusus seperti teknik penanganan,
keselamatan pekerja, dan pengoperasian peralatan.
Kondisi Maritim Indonesia, Kondisi Perdagangan Nasional, Kondisi 239
Pelabuhan dan Pelayaran Nasional dan Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia

Sistem insentif yang berkualitas, pelatihan lintas bidang, dan sistem pengembangan karier
yang baku merupakan sarana untuk menanamkan rasa bangga dan meningkatkan kinerja pekerja.

Buruh pelabuhan harus punya nilai tawar untuk mengembangkan insting bisnis lebih
lanjut, kata ahli hukum kelautan Hidayat Mao, konsultan hukum kelautan yang tinggal di Jakarta.
Mereka perlu memperoleh manfaat sepenuhnya dari peraturan baru yang berfokus pada
pengembangan. Melihat ke DepanKunci sukses lainnya adalah seberapabaik Indonesia dapat
berpikir jauhke depan dan bersikap proaktifmenghadapi tantangan masa depandan arah untuk
kepelabuhanan. UUPelayaran itu sendiri memerlukanpenegasan dan redefinisi yangberkelanjutan,
dan setiap evaluasikemajuan harus dilakukan olehpersonil yang memenuhi syarat danmemang
berhak melakukan evaluasisecara jernih. Pola pikir strategis harusdiwujudkan menjadi tindakan
yangefektif untuk pengembangan SDM.

Kecuali jika ada komitmen untuk berubah, upaya untuk mengubah sistem kepelabuhanan
akan gagal atau stagnan, kata Prof. Sudjanadi. Peran otoritas pelabuhan dan syahbandar adalah
mengomunikasikan visi ini secara efektif dan memimpin jalannya perubahan. Visi strategis tentang
kebutuhan pelabuhan [Indonesia] di masa depan tidak dapat dikembangkan tanpa
SDM.Persaingan Pelabuhan dan Kebutuhan untuk Mengatur Perilaku Anti-Persaingan. Indonesia
berhasrat menciptakan sektor pelabuhan yang kompetitif. Untuk mencapai tujuan ini perlu ada
upaya mengatasi beberapa hambatan dan menerapkan regulasi dengan intervensi minimal guna
meningkatkan persaingan.

Sebagai bagian dari strategi pembangunan ekonomi secara keseluruhan, Indonesia


menetapkan UU no. 17/2001 tentang Pelayaran, yang menghendaki adanya peralihan paradigma
dalam penatalaksanaan dan pengoperasian pelabuhan di Indonesia. UU tersebut menetapkan sistem
otoritas pelabuhan yang akan melaksanakan peran pengaturan,mengakhiri kendali monopoli BUMN
atas layanan pelabuhan, dan mengharuskan penyusunan rencana induk pelabuhan nasional dan
daerah. Secara bersama- sama, ketentuan-ketentuan tersebut mendukung terciptanya lingkungan
layanan pelabuhan yang kompetitif di Indonesia. Saat ini Indonesia tengah memasuki babak sistem
pelabuhan modern yang dicirikan oleh suatu sistem otoritas pelabuhan sebagai pemilik lahan, dan
penyedia layanan pelabuhan oleh swasta. Namun, agar dapat memperoleh keuntungan dari
paradigma baru ini, Indonesia harus memusatkan perhatian pada cara melindungi persaingan usaha
pelabuhan.

Tanpa persaingan, harga akan lebih tinggi dari yang didikte kondisi pasar. Selain itu,
produktivitas bisa menjadi lebih rendah. Harga yang lebih tinggi berarti importir dan eksportir akan
mengeluarkan biaya yang lebih tinggiuntuk menggunakan pelabuhan yang dimonopoli.
Produktivitas yang lebih rendah berarti kapal akan bersandar lebih lama di pelabuhan. Ini dianggap
sebagai waktu menganggur, ketika kapal tidak menghasilkan pendapatan. Jadi, semakin lama waktu
bersandar, semakin tinggi biaya operasional langsung dan juga biaya kesempatan. Dari sudut
pandang konsumen,dampak persaingan (atau tidakadanya persaingan) dirasakan di pasarritel.
Konsumen Indonesia mungkinmembayar lebih mahal untuk televisiyang diimpor dari Jepang
dibandingkandengan harga yang dibayar konsumen

Thailand untuk produk yang sama, gara-gara monopoli di pelabuhan Indonesia. Masalah ini juga
mempengaruhi ekspor tekstil yang diproduksi di Indonesia mungkin menjadi lebih mahal
dibandingkan dengan tekstil yang diproduksi di Pakistan (di mana operator terminal swasta bersaing
240 Bisnis Maritim

di pelabuhan- pelabuhan di Karachi dan Qasim) karena biaya pelabuhan dan tarif angkutan yang
lebih tinggi, sebagai akibat monopoli operator pelabuhan. Peningkatan persaingan memerlukan
koordinasi antara keinginan untuk meningkatkan persaingan, proses penyusunan rencana induk, dan
pengawasan pengaturan. Sementara permintaan akan layanan pelabuhan meningkat, dan karenanya
kapasitas harus ditingkatkan, rencana peningkatan harus dikaji ulang dalam konteks bagaimana
persaingan dapat terjadi. Sebuah skenario hipotesis dapat digunakan untuk menunjukkan hal ini.
Anggaplah sebuah pelabuhan memiliki dua terminal peti kemas yang menangani kargo
internasional. Keduanya dikendalikan oleh operator yang sama. Ketika penggunaanterminal-
terminal tersebut mendekati70 persen, tiba waktunya untukmeningkatkan sarana-saranany auntuk
mengakomodasi meningkatnya permintaan. Perluasan dapat dirancangsebagai sebuah terminal yang
terpisahdengan satu operator mengendalikanseluruh kegiatan dari dermaga hinggake gerbang. Suatu
konsesi dapat dibuatuntuk menarik minat operator baruuntuk berinvestasi di terminal
tambahantersebut. Maka timbullah persainganantara kedua operator.

Ketika penggunaan terminal yang baru mendekati 70 persen, peluang lain muncul untuk
memperluas persaingan dengan memberikan konsesi untuk terminal lain kepadaoperator ketiga.
Pendekatan seperti ini dapat dimasukkan ke dalam rencana induk, ketika para perencana pelabuhan
memikirkan bagaimana caranya pelabuhan akan memenuhi permintaan yang diperkirakan.
Selainitu, para perencana dapat menerapkan gerbang-gerbang yang terpisah dan menyediakan
tempat-tempat bersandar dan penyimpanan yang memadai untuk membuat satu atau lebih terminal
terpisah.

Akan tetapi, perencanaan pembangunan terminal yang memungkinkan adanya beberapa


operator tidak cukup untuk memastikan timbulnya lingkungan yang kompetitif. Untuk itu
diperlukan lebih banyak lagi perlindungan. Batasan-Batasanuntuk Peningkatan Persaingan
Meskipun UU Pelayaran yang baru secara jelas mengharuskan adanya peningkatan persaingan,
masih tersisa ganas dan menciptakan situasi yang peti kemas, kita katakan bahwa pasar
beberapa hambatan untuk mencapai empersulit pesaing untuk masuk emiliki CR3 dari 90 persen.)
Tentu hal tersebut. Misalnya, UU tersebutenciptakan kebingungan karenatampak seolah-olah
mempertahankanstatus quo untuk BUMN (Pelindo I sampai IV). Meskipun UU tersebut
membolehkan operator swasta untuk ikut terlibat, kepada Pelindo diberi kendali de facto atas lahan
yang mereka operasikan saat ini. Tidak ada batas waktu sampai kapan kendali tersebut berlangsung.
Selain itu, meskipun operator terminal swasta diizinkan menawarkan jasa penanganan kargo umum,
mereka hanya dapat pasar. Selain itu, dengan praktik penentuan harga monopolinya, Pelindo
memiliki sumber daya keuangan untuk mengalahkan perusahaan lain dalam tender untuk
mengoperasikan terminal di tempat lain. Jadi, meskipun UU tersebut secara tegas menunjukkan
keinginan untuk meningkatkan persaingan di sektor pelabuhan, arena bermain kompetitifnya
belum setara.

Kebijakan Persaingan Modern Regulator persaingan usaha dibentuk saja, ukuran konsentrasi itu
diterapkan pada operator terminal yang bersaing di pasar yang sama. Bisa saja pasar ini adalah
daerah pedalaman yang dilayani pelabuhan-pelabuhan tersebut. Atau, regulator dapat menggunakan
Herfindahl-Hirschman Index (HHI). Seperti uji CR, HHI berupaya mengukur konsentrasi pasar,
tetapi sekaligus mempertimbangkan pangsa pasar setiap pelaku terbesar untuk mendapatkan
gambaran yang lebih akurat entang dinamika persaingan di pasar tersebut. melakukannya dalam
keadaan luar untuk memastikan bahwa perusahaan- Pasar dengan CR4 dari 80 persen biasa: dalam
situasi darurat atau ketika fasilitas dan layanan pelabuhan tidak efektif/efisien. Jika operator swasta
diberi izin, jangka waktunya lima tahun (setelah itu mereka harus menyerahkan aset-aset penting
Kondisi Maritim Indonesia, Kondisi Perdagangan Nasional, Kondisi 241
Pelabuhan dan Pelayaran Nasional dan Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia

kepada negara) dan izin hanya dapat diperpanjang jika keadaan awal belum berubah. Pembatasan
ini membuat harapan menurunkan biaya tinggi terminal khusus peti kemas menjadi hampir tidak
mungkin. Daftar negatif kondisi investasi Indonesia membatasi investasi asing di sektor pelabuhan
hingga 49 persen. Hal ini dapat menurunkan niat operator global, yang ingin mengendalikan
terminal agar berkinerja baik, untuk memasuki pasar. Selain itu, Pelindo dikecualikan dari UU
persaingan usahaIndonesia sehingga dapat berperilaku anti persaingan usaha. Berbeda dengan
negara lain yang membatasi kepemilikan (seperti Chili membatasi persentase terminal lain yang
dapat dimiliki oleh operator terminal yang ada) atau jumlah konsesi (seperti Meksiko membatasi
jumlah konsesi yang dapat dimiliki oleh operator terminal di kedua pantai), Indonesia tidak
menerapkan pembatasan semacam itu kepada Pelindo. Dengan demikian, secara teoritis, adalah
mungkin bagi Pelindo perusahaan bertindak secara kompetitif.

Kebijakannya biasanya didasari oleh pemahaman tentang struktur pasar. Secara teoritis,
apabila suatu perusahaan (atau operator pelabuhan) melanggar ambang batas sehingga menjadi
perusahaan dominan, regulator langsung waspada, karena perusahaan itu berpotensi berperilaku
monopolistik. Bila pesaing tidak bertindak adil, pelaku pasar (atau pembeli jasa) dapat mengajukan
pengaduan. Sebelum bertindak, regulator terlebih dahulu akan menilai kebenaran pengaduan
tersebut. Seringkali, mereka terlebih dahulu melihat sejauh mana suatu pasar terkonsentrasi. Jika
pasar gat terkonsentrasi, pasar tersebut terdiri dari satu perusahaan dominan atau lebih. Pada
awalnya, regulator dapat berupaya mengukur pasar dengan menghitung rasio konsentrasi. Tes ini
ini menggabungkan informasi tentang jumlah perusahaan dan ukurannya, atau konsentrasinya.
Rasio konsentrasi (CR, concentration ratios) (CR) mengukur persentase total penjualan dalam suatu
industri yang dilakukan oleh beberapa perusahaan besar tertentu. Dalam konteks pelabuhan, ini
dapat berarti persentase peti kemas yang ditangani oleh operator terminal terbesar atau kelompok
operator terbesar. CR kemungkinan berperilaku dengan satu cara jika masing-masing dari keempat
anggota teratas memiliki pangsa pasar 20 persen, dan dengan cara yang sangat berbeda jika satu
anggota memiliki pangsa pasar 50 persen dan tiga perusahaan lainnya hanya memiliki 10 persen.
HHI ditentukan dengan menambahkan kwadrat dari pangsa pasar.

Negara yang berbeda menggunakan kriteria berbeda untuk menentukan apakah suatu pasar
sangat terkonsentrasi. AS menggunakan HHI dan melihat angka yang lebih dari 1800 sebagai
indikasi pasar yang sangat terkonsentrasi. Dalam proses penyaringan awal di Jerman, ada dugaan
tentang dominasi pasar jika suatu perusahaan memiliki sekurang-kurangnya sepertiga pangsa pasar.
Inggris menganggap perusahaan memegang monopoli atau posisi dominan jika mengendalikan
sekurangnya 25 persen pasar. Di Australia, otoritas anti-monopoli akan menyelidiki usulan
merger/akuisisi jika CR4 akan menghasilkan pangsa 75 persen atau lebih (ketika perusahaan yang
merger menguasai setidaknya 15 persen pasar), atau jika perusahaan yang merger akan memiliki
pangsa pasar 40 persen atau lebih. untuk menunjukkan dominasinya mengacu pada n operator
terminal dengan menetapkan harga yang terbesar di industri ini. (Jadi, jika tiga operator terbesar
menangani 90 persen Penerapan salah satu dari standar tersebut pada program Kemitraan. Tidak
adanya persaingan di sektor pelabuhan mengakibatkan meningkatnya harga dan menurunnya
produktivitas.Warga Indonesia membeli barang impor dengan harga lebih mahal, dan ekspor
Indonesia menjadi lebih mahal dari ekspor dari negara- negara yang pelabuhannya lebih efisien.

Peningkatan persaingan memerlukan koordinasi. Misalnya, ketika perluasan pelabuhan


perlu dilakukan, fasilitas dan konsesi dapat direncanakan sehingga menarik minat operator baru, dan
menimbulkan persaingan dengan operator yang ada. Meskipun UU Pelayaran mengharuskan adanya
242 Bisnis Maritim

peningkatan persaingan, masih ada beberapa hambatan. BUMN Pelabuhan (Pelindo) masih
menguasai lahan, dan operator terminal swasta hanya boleh menawarkan jasa penanganan kargo
umum dengan syarat-syarat yang sangat ketat. Pembatasan investasi asing di sektor pelabuhan di
Indonesia dapat mengurangi minat operator global untuk berinvestasi di terminal. Pelindo, di sisi
lain, dikecualikan dari UU Persaingan Usaha Indonesia. Regulator persaingan usaha dibentuk untuk
memastikan perusahaan berperilaku secara kompetitif. Jika ada pengaduan, regulator seringkali
memulai langkahnya dengan memeriksa sejauh mana pasar didominasi oleh hanya beberapa
perusahaan. Pasar di negara-negara yang memiliki program Kemitraan Pemerintah-Swasta dalam
sektor pelabuhan tersukses di dunia umumnya hanya memiliki satu atau sedikit perusahaan yang
dominan. Dengan demikian, meski Indonesia mengurangi hambatan erhadap persaingan,
kemungkinan hasilnya adalah pasar yang didominasi oleh segelintir perusahaan saja.

Jika regulator akhirnya menangani suatu kasus, fokus penyelidikan terutama tertuju ada
keadaan, apakah konsumen atau pengguna jasa ekspedisi memiliki pilihan. Lingkungan
oligopolistik yang akan muncul di Indonesia menunjukkan perlunya kerangka peraturan untuk
mengawasi persaingan di pelabuhan. Kebijakan pelabuhan Indonesia mendukung regulasi dengan
minimal intervensi. Alih-alih menentukan harga, peraturan dapat digunakan untuk memantau
kinerja operasional, tingkat tarif, kinerja keuangan, dan penentuan seberapa banyak pilihan yang
dimiliki para pengguna dan pengusaha jasa ekspedisi. Kemenhub dapat memegang tanggung jawab
untuk meningkatkan persaingan pelabuhan dan memantau perilaku yang sesuai dengan persaingan
usaha.

Indonesia merupakan negara kepulauan yang dua per tiga wilayahnya adalah perairan dan
terletak pada lokasi yang strategis karena berada di persilangan jalur perdagangan internasional
berbasis transportasi laut. Sehingga peran pelabuhan sebagai pintu perdagangan Ekonomi
Internasional sangatlah vital bagi kegiatan ekonomi Indonesia. Oleh karena itu, keberadaan
pelabuhan menjadi kunci utama pemerintah untuk menggerakkan aktivitas ekonomi dan
mengundang masuk investasi. Berikut rentang perjalanan Perusahaan Pelabuhan Indonesia 2.

TAHUN 1960-1970 : AWAL MULA DAN PERKEMBANGAN

Didirikannya Perusahaan Negara (PN) Pelabuhan Indonesia I sampai dengan VIII pada
tahun 1960 bertujuan untuk mengelola dan membangun pelabuhan di seluruh nusantara. Tidak lama
kemudian, pada tahun 1964 aspek operasional Pelabuhan dilakukan oleh lembaga pemerintah yang
disebut Badan Pengelolaan Pelabuhan. Sementara itu, untuk aspek komersial tetap dibawah kendali
PN Pelabuhan I sampai dengan VIII.

Pada tahun 1979, tingginya aktivitas di Pelabuhan Tanjung Priok dengan mulai padatnya
arus lalu lintas kargo membuat Pelindo 2 sebagai PN diberi mandat oleh pemerintah untuk
melakukan pembangunan kawasan Pelabuhan Tanjung Priok yang dibiayai oleh Bank Dunia,
dimana proses pengerjaannya dipimpin oleh staf ahli Direktorat Jenderal Perhubungan Laut RI
(yang kelak akan menjadi salah satu dirut Pelindo 2), yaitu Richard Joost Lino. Menariknya
pembangunan ini menjadikan Pelabuhan dengan lalu lintas tersibuk di Indonesia ini sebagai
Pelabuhan dengan infrastruktur dan fasilitas terbaik di Asia dan sejajar dengan Pelabuhan yang ada
di Singapura, Hong Kong dan Jepang.
Kondisi Maritim Indonesia, Kondisi Perdagangan Nasional, Kondisi 243
Pelabuhan dan Pelayaran Nasional dan Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia

TAHUN 1980-1990 : MASA EMAS

Selesainya pembangunan Terminal Peti Kemas 1 pada tahun 1980 dan Terminal Peti
Kemas 2 pada tahun 1982 menjadi bukti pesatnya perkembangan dan pembangunan yang dilakukan
oleh Perum Pelindo 2 untuk menjadikan Pelabuhan Tanjung Priok sebagai ikon dan tolak ukur
infrastruktur dan fasilitas serta, kegiatan kepelabuhanan di Indonesia. Hal ini terwujud dengan
menjadi benchmark (acuan) dan best practices (praktik terbaik) di Asia untuk kegiatan pengelolaan
dan pembangunan pelabuhan. Tercatat hingga saat ini, terdapat beberapa negara yang pernah
menjadikan Pelindo 2 cabang Tanjung Priok sebagai benchmarking pembangunan pelabuhan
dinegara mereka, dari Malaysia, Thailand dan Republik Rakyat Tiongkok serta Korea Selatan
hingga Uni Emirat Arab.

Namun, relevansi Pelindo 2 sebagai perusahaan logistik yang bergerak dibidang


pengelolaan dan pengembangan Pelabuhan dengan praktik terbaik di Asia tidak bertahan lama.
Meningkatnya jumlah peredaran kapal berukuran besar, pada tahun 1990an membuat banyak
perusahaan Ekspedisi Muatan Kapal Laut dari Luar Negeri untuk menutup rute pengangkutan kargo
menuju Pelabuhan Tanjung Priok. Hal ini tak lepas dari langkah direksi Perum saat itu yang hanya
berfokus untuk meningkatkan keuntungan tanpa diikuti dengan perputaran uang yang signifikan
bagi perusahaan, seperti pembangunan terminal baru yang tentunya akan meningkatkan keuntungan
perusahaan seiring dengan makin membesarnya kapasitas tampung arus lalu lintas kargo. Lebih jauh
lagi, para perusahaan EMKL membuka kartu dan menyatakan bahwa tingkat pengembalian
keuntungan dari rute menuju Pelabuhan Tanjung Priok kecil, karena Kapal yang melayani rute
kesulitan untuk bersandar, berlabuh dan melakukan bongkar muat karena ukurannya yang besar,
sehingga perusahaan yang melayani rute ke Pelabuhan Tanjung Priok terpaksa melayani rute
tersebut menggunakan kapal kecil yang tertinggal jaman. Hal ini tentunya membuka mata para
anggota direksi, dimana secara jelas, singkat dan eksplisit bahwa Pelabuhan Tanjung Priok tidaklah
sesuai, bahkan sejajar dengan pelabuhan yang ada kawasan sekitarnya. Pernyataan itu menjadi
pukulan telak bagi Perum Pelindo 2 saat itu, karena dulunya Pelindo 2 lah yang justru menjadikan
iklim usaha EMKL menjadi usaha yang menguntungkan, karena Pelabuhan Tanjung Priok menjadi
acuan standar bagi Pelabuhan di Asia untuk berkembang lebih berkualitas dan perkembangan ini
diikuti oleh perusahaan pengelola dan pengembang pelabuhan yang menjadi pemicu perubahan arah
permainan usaha EMKL kelas global, malahan yang ironis adalah Pelabuhan yang pernah menjadi
acuan di Asia tersebut malah menjadi kawasan yang kumuh, semrawut dan penuh kegiatan
pungutan liar. Belum lagi pengelolaannya, akrab dengan kelambanan, fasilitas kuno dan tata
kelolanya sangat tertinggal jaman.

TAHUN 1990-2000 : STAGNANSI DAN MENGEJAR KETERTINGGALAN

Ketertinggalan Pelindo 2 dalam kancah usaha logistik dengan bidang kepelabuhanan,


membuat Pemerintah pada tahun 1992 mengeluarkan keputusan untuk mengubah status usaha
Perum Pelindo I-VIII menjadi Perseroan Terbatas Pelindo I-IV agar BUMN pengelola dan
pengembang pelabuhan ini bisa bersaing, tanpa mendapatkan kekhususan dan mampu mengikuti
arus dan dinamika persaingan global. Dimulainya revitalisasi sejak diubahnya status usaha oleh
Pemerintah, Pelindo 2 mengambil langkah stategis dengan membangun Terminal Peti Kemas Koja
pada tahun 1995 dan membuka lelang terbuka untuk mengoperasikan Terminal Peti Kemas 1 dan 2.
Jatuhnya pertumbuhan ekonomi indonesia, hingga mencapai angka negatif akibat Krisis finansial
Asia 1997, membuat Terminal Peti Kemas Koja yang selesai pada tahun 1997, mengharuskan
244 Bisnis Maritim

Pelindo 2 sebagai BUMN untuk mencari rekanan baru sekaligus melepas kepemilikan aset
pelabuhan Tanjung Priok sebagai langkah untuk mengisi kekurangan kas perusahaan yang hampir
default, karena hampir semua transaksi dilakukan dengan menggunakan Dolar Amerika. Hal ini
bertepatan dengan kesepakatan paket normalisasi kegiatan ekonomi dari International Monetary
Fund yang di tandatangani oleh Presiden Indonesia (saat itu) Soeharto bersama Direktur IMF saat
itu, Michael Camdesus sebesar US$ 40 Miliar yang mendorong BUMN untuk mengurangi besaran
kepemilikan dan bekerjasama dengan investor asing sebagai langkah untuk berkompetisi secara
terbuka dan adaptabel. Menindaklanjuti kesepakatan itu, Pelindo 2 langsung menyusun program
pelelangan terbuka Pelindo 2 terhadap kedua Terminal Peti Kemas 1 dan 2 dengan skema KSO
(Kerja Sama Operasional) yang bertujuan untuk, pertama meningkatkan keuntungan perusahaan,
kedua mendorong kelayakan ekonomi perusahaan untuk mengembangkan Terminal Peti Kemas
baru dan ketiga menggali pengalaman dengan memanfaatkan jaringan global rekanan kerjasama
untuk membuat kegiatan kepelabuhanan di Tanjung priok secara ekonomi menjadi menguntungkan.
Pelelangan yang dilakukan pada tahun 1997 ini menjadikan Hutchison Ports (Perusahaan asal Hong
Kong yang dibentuk di Kepulauan Virgin Britania Raya yang mengoperasikan pelabuhan di 52
Negara dengan 26 Terminal Peti Kemas) keluar sebagai rekanan yang sesuai dengan kriteria dan
syarat yang ditentukan oleh Pelindo 2, kesepakatan diraih oleh kedua pihak pada tahun 1999 dengan
kepemilikan sebesar 51% milik Hutchison Ports, 48,9% milik Pelindo 2 dan sisanya milik Koperasi
pegawai Maritim dengan jangka waktu selama 20 tahun dengan nilai kontrak investasi sebesar US$
423 Juta dengan upfront payment sebesar US$ 243 Juta (sebelum pengembalian aset JICT 2)
dengan skema pengembangan dan pengelolaan pelabuhan bahwa, Pelindo 2 harus membeli aset
yang dikerjasamakan dengan harga pasar yang sesuai dan kesepakatan ini baru saja diamandemen
dengan perubahan kepemilikan sebesar 51% dimiliki oleh Pelindo 2 dan sisanya dimiliki oleh HPH
dan besaran kontrak yang telah diperbarui dengan nilai sebesar 486,5 Juta dengan upfront payment
sebesar US$ 215 Juta (setelah pengembalian aset JICT 2) dengan skema pengembangan dan
pengelolaan pelabuhan Built-Operate-Transfer yang dinilai lebih menguntungkan ketimbang
kesepakatan sebeumnya, meski nilai pembayaran dimuka lebih sedikit, karena dialokasikan ke
dalam belanja infrastruktur dan fasilitas baru yang nantinya akan dipindahtangankan
kepemilikannya kepada Pelindo kembali.

TAHUN 2000-2010: MENGHADAPI PERUBAHAN, BERUBAH DAN BERKEMBANG

Memasuki milenium baru, masuknya Richard "Manneke" Joost Lino kedalam jajaran
Pelindo 2 oleh Menteri BUMN saat itu, Sofyan Djalil pada Bulan Mei 2009, menjadi tonggak awal
perubahan di dalam Pelindo 2. Alumni Fakultas Teknik Sipil ITB Tahun 1977 yang pernah
membidani kelahiran Pelabuhan Tanjung Priok itu kembali, setelah Ia sukses mengembangkan
Pelabuhan Sungai Guigang, Provinsi Guangxi yang dikelola oleh Aneka Kimia Raya memimpin
Pelindo 2 dengan penuh ketegasan, keberanian dan kelugasan yang tinggi dengan cara yang cerdas
dan tidak kenal kompromi. Lino memutar balikkan situasi dan kondisi Pelabuhan Tanjung Priok
yang semula kumuh, tidak terawat dan ketinggalan jaman. Mula-mula, Lino melakukan revitalisasi
kompetensi SDM yang berkecimpung di perusahaan badan usaha milik negara (BUMN) itu, agar
mental untuk melayani tetap ada, bukan sebaliknya. Reformasi Sumber Daya Manusia terjadi
dengan perombakan standar pengisian jabatan berdasarkan kompetensi, bukan dengan melobi
direksi atau pejabat tinggi. Pelindo 2 (kini menjadi IPC) pun melakukan investasi besar-besaran di
human capital development. Tercatat lebih dari 500 pegawai dikirim ke berbagai Institusi berkelas
dunia, baik di dalam dan luar negeri untuk mengikuti pelatihan, kuliah pascasarjana, dan program
executive master of business administration (MBA).
Kondisi Maritim Indonesia, Kondisi Perdagangan Nasional, Kondisi 245
Pelabuhan dan Pelayaran Nasional dan Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia

Bahkan Ia tak gentar menghadapi para birokrat-birokrat mengobrak-abrik Pelindo 2,


sebagai pimpinan perusahaan Ia juga tak pernah gentar saat digertak atau dibatasi. Dari Dirjen
hingga Menteri, Ia memulai perubahan ini dengan serius dan memulai keseriusan untuk memimpin
perubahan. Hal ini bukan alasan, banyak sekali upaya keras dari berbagai pejabat untuk
menjatuhkan Lino. Hal itu bermula dari upaya Lino menata antrean panjang di pelabuhan pada
tahun 2009. Penyebabnya ternyata ada di loket Bea dan Cukai yang sering kali hanya membuka satu
loket. Melihat truk antre, ia menghubungi Bea dan Cukai setempat, tetapi tidak dilayani. Setelah itu,
ia pun mengirim SMS ke Menteri Keuangan, yang saat itu dijabat Sri Mulyani. Ternyata Sri
Mulyani menindaklanjuti dan para dirjen kalang kabut. Rupanya Lino telah mengusik ketentraman
dan kesejahteraan Dirjen Bea dan Cukai, Dirjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan, serta
mitra-mitranya dari pemerintah yang mengurus pelabuhan. Penataan yang dilakukan oleh R.J Lino
di Perseroan BUMN rupanya telah mempengaruhi kerja berbagai kementerian. Tentunya, mengerti
bukan, "bahwa kebanyakan regulasi yang diterbitkan oleh institusi pemerintah sendiri hanya
membuat segalanya berbelit-belit dan sulit", dimana artinya adalah regulasi sudah tidak bertindak
lagi sebagaimana regulasi bertindak mestinya, tetapi berubah menjadi sebuah formalitas yang hanya
membatasi tetapi tidak menyelesaikan permasalahan dan digunakan oleh merekayang mengerti
peraturan itu, untuk dijadikan rezeki bagi mereka dengan memperlambat proses di pelabuhan dan
hal ini berhasi diberantas oleh Pelindo 2.

Tidak hanya itu, Lino juga menata akses lalu lintas keluar-masuk pelabuhan yang selama
ini sering terkenal dengan antrean macet dan semrawut dan penataan kawasan pelabuhan dengan
melakukan pembenahan, termasuk fasilitas utama dan pendukungnya mendorong manajemen untuk
mengatur pembelian alat-alat baru untuk mengganti peralatan yang lama, usang dan lambat. Kini,
antrean tersebut telah terurai dan menghasilkan arus lalu lintas yang lancar dan akomodatif bagi
semua dan penataan kawasan pelabuhan berhasil melipatgandakan daya tampung kontainer dan arus
lalu lintas kargo dipelabuhan hingga mencapai 7,2 TEUs. Lebih dalam lagi, untuk arus lalu lintas
peti kemas sebelum dilakukan penataan kawasan, Dalam 10 tahun sejak 2000, volume container
traffic di Tanjung Priok hanya tumbuh di kisaran 100.000 hingga 200.000 TEUs dari 2,4 juta TEUs
per tahun ketika itu menjadi 3,8 juta TEUs pada 2009. Namun, sejak penataan dilakukan,
pertumbuhan arus lalu lintas kontainer melesat menjadi 4,7 juta TEUs pada 2010, 5,7 juta TEUs
pada 2011, dan 7,2 juta TEUs hingga kuartal III-2012. Selain itu, data juga menunjukkan bahwa,
sebelum penataan dilakukan, pelayaran langsung menuju Jakarta hanya mengambil pangsa sebesar
35% dari keseluruhan lalu lintas kapal kontainer di Asia Tenggara, selebihnya melalui tiga
pelabuhan tetangga, yaitu Pelabuhan Singapura, Tanjung Pelepas, dan Port Klang (dua terakhir di
Malaysia). Pada 2010, pelayaran langsung ke Tanjung Priok mencapai 71% dan setahun kemudian
menjadi 82%. Hal ini mendorong IPC (Pelindo 2) untuk menggulirkan berbagai proyek untuk
meningkatkan daya tampung pelabuhan, dari daya tampung kontainer hingga dermaga sandar dan
bongkar muat kapal, serta fasilitas terkait yang tentunya akan memberikan keuntungan bagi Pelindo
2, dari proyek pembangunan Terminal Pelabuhan Kalibaru, Tanjung Priok, Pelabuhan Tanjung
Sauh, Batam, untuk menjadi transhipment hub port; dan Pelabuhan Sorong, Papua, untuk menjadi
hub port ke kawasan Pasifik Barat. Menurut perhitungan yang sudah disusun, direncanakan bahwa,
laba Pelindo 2 akan mencapai diatas Rp 20 triliun pertahun dengan peningkatan nilai aset, dari Rp
11 triliun menjadi Rp 40 triliun.

Pencapaian-pencapaian prestasi inilah yang membuat hegemoni pelabuhan di Singapura


dan Malaysia menurun, seiring dengan digalakkannya pembangunan terminal peti kemas. Dulu
hanya kapal-kapal kecil yang bisa merapat, kini kapal-kapal bermuatan 5.000 kontainer pun mulai
246 Bisnis Maritim

berdatangan. Perusahaan EMKL kini justru ingin langsung melayani rute menuju Tanjung Priok
tanpa harus membongkar muat kontainer ke kapal-kapal kecil di Singapura atau Tanjung Pelepas.
Meski kualitas pelayanan birokrasi (Bea dan Cukai dll) dalam Logistic Performance Index menurun,
secara menyeluruh, malah jadi membaik. Padahal, ini belum termasuk dengan pengembangan
infrastruktur. Tidak hanya itu, berkat kegigihannya membangun sistem dan manajemen, oleh KPK
Ia juga diberi penghargaan sebagai instansi pemerintah yang melayani publik dengan baik dan
setelah itu, reputasinya diakui dunia. Perusahaan yang ia pimpin pun memperoleh pendapatan yang
bagus berkat negosiasinya dengan HPH yang mengelola pelabuhan lama. Meski ada yang
mengatakan bahwa prosesnya melanggar hukum. Namun, dari kajian hukum yang dilakukan
Fakultas Hukum UI, justru apa yang dilakukan telah sesuai dengan koridor hukum. Lino adalah
contoh pejabat yang tertib dan selalu mengkaji segala kebijakan yang akan diambil.

TAHUN 2010-SAAT INI

Pembangunan dan Pengembangan Infrastruktur Maritim. Sebagai perusahaan yang mengelola


operasional pelabuhan dan mengembangkan kegiatan disektor kepelabuhanan, Pelindo 2 sebagai
BUMN telah menangani berbagai proyek pembangunan pelabuhan baru dan pengembangan
pelabuhan yang ada. Disamping membangun infrastruktur utama, Pelindo juga membangun
infrastruktur pendukung yang dikerjasamakan oleh BUMN atau swasta, seperti pembangunan akses
jalan tol (bekerjasama dengan Jasa Marga, rel kereta (bekerjasama dengan Kereta Api Logistik) dan
kanal untuk mendorong diversifikasi penggunaan transportasi kargo dan mengoptimalkan moda
transportasi kargo. Berikut beberapa proyek pengembangan dan pembangunan yang ditangani oleh
Pelindo 2. ew Priok Container Terminal & Cikarang-Bekasi-Laut Inland Waterway

Terminal Petikemas Kalibaru atau sering disebut sebagai NPCT adalah proyek
pengembangan Pelabuhan Tanjung Priok yang dilaksanakan oleh Pelindo 2 yang bekerjasama
dengan investor asal Singapura dan Jepang, yaitu Mitsui & Co., NYK Line dan Port of Singapore
Authority. Proyek yang diinisiasi sejak tahun 2010 ini diteken kontraknya pada pertengahan tahun
2012 dan diresmikan pembangunannya pada tahun 2013 awal. Pembangunan NPCT ini tergolong
cepat, karena urgensinya yang besar dan proyek ini masuk kedalam program prioritas pemerintahan
saat itu, Masterplan Percepatan, Pembangunan dan Perluasan Ekonomi Indonesia 2011-2015. Di
dalam program tersebut, pengembangan pelabuhan ini ditujukan untuk menjadi gerbang
perdagangan utama Indonesia ke pasar global dengan memanfaatkan momentum pengembangan
dan pembangunan pelabuhan Tanjung Priok untuk bersaing secara global dalam sektor
kepelabuhanan. Pengembangan dan pembangunan pelabuhan ini terbagi atas 2 tahap sekaligus.
Tahap 1, pengembang bersama rekan investor akan membangun kompleks pelabuhan dan bongkar
muat dari tahun 2012-2019 dengan luas sebesar 180 Ha yang mampu menampung lalu lintas kargo
kontainer dan kargo produk hingga mencapai 4,5 Juta TEU's dan 10 Juta M3, area tambat kapal
sepanjang 4000 Meter dengan biaya mencapai sebesar US$ 2,5 Miliar. Pada tahap 2, pengembang
dan rekan investor akan melanjutkan pembangunan komplek pelabuhan pada tahun pembangunan
2019-2024 dengan luas sebesar 300 Ha yang mampu menampung lalu lintas sebesar 8 Juta TEU's,
area tambat kapal untuk bongkar muat sepanjang 4000 Meter dengan biaya mencapai sebesar US$
2,2 Miliar. Hal ini tentunya akan meningkatkan kapasitas maksimum pelabuhan dengan arus lalu
lintas pertahun hingga mencapai 20 Juta kontainer berukuran 20 kaki, diikuti dengan pendalaman
kolam berlabuh kapal hingga mencapai kedalaman -16 Meter Dpl akan mendorong perusahaan
pelayaran logistik untuk memperbesar kapasitas angkut kontainer kapal mereka dari rata-rata
bekapasitas 3.000 kontainer TEU's menjadi 10.000 kontainer TEU's, bahkan lebih yang nantinya
berdampak pada meningkatnya kapasitas muat kontainer kapal seiring dengan makin layaknya
Kondisi Maritim Indonesia, Kondisi Perdagangan Nasional, Kondisi 247
Pelabuhan dan Pelayaran Nasional dan Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia

infrastruktur pelabuhan untuk menampung kapal berukuran besar.[4] Tentunya akan menarik untuk
melihat langkah berbagai perusahaan pelayaran logistik berbasis maritim dari Maersk Lines
(Denmark), OOCL (Hong Kong), Evergreen (Taiwan), Hapag-Lloyd (Jerman) dan UASC (Uni
Emirat Arab) hingga Samudera Indonesia, Tanto Intim Line, Mentari Line hingga Temas Line
mendorong globalisasi perdagangan Indonesia ke pasar internasional dengan makin efektifnya
kegiatan dan efisien serta layak. Dimana Pelabuhan Tanjung Priok akan disandari kapal-kapal
berukuran besar seperti di pelabuhan negara tetangga seperti Keppel Port, Singapura; Port Klang,
Malaysia dan Pelabuhan Laem Chabang, Thailand.

Selain itu, sebagai rangka untuk mengembangkan kegiatan interkonektivitas logistik yang
efektif, efisien dan terintegrasi dikawasan hinterland, perlu adanya diversifikasi moda transportasi.
Saat ini, ruang interkonektivitas logistik dikawasan ini saat terbatas, oleh karena itu diusulkanlah
alternatif yang lebih efektif, modern dan rendah biaya dalam bentuk jaringan jalur air pedalaman
dengan menggunakan tongkang. CBL Inland Waterways akan menghubungkan Pelabuhan Tanjung
Priok dengan kawasan industri di sekitar Cibitung, Cikarang, dan Karawang dengan memanfaatkan
arus CBL Canal. Pengembangan kanal CBL Inland Waterway dengan total panjang 25 km ini,
terdiri dari proses pelebaran dan pengerukan kanal dan juga termasuk pembangunan sebuah
Waterway Terminal Inland di sekitar Cikarang Industrial Estate. Pembangunan ini diharapkan
menjadi solusi yang tepat untuk mengurangi kepadatan lalu lintas di jalan tol dikawasan industri dan
menjadikan biaya logistik semakin kompetitif. CBL Inland Waterway diharapkan dapat
meningkatkan arus peti kemas volume yang menuju Pelabuhan Tanjung Priok dari Cibitung,
Cikarang, dan daerah Karawang, dengan total kapasitas dalam fase operasional penuh 3 juta TEUs
per tahun.

Tanjung Carat Terminal & Musi-Lematang River Inland Waterway. Pembangunan


Pelabuhan Tanjung Carat adalah hasil kerjasama Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dan Pelindo
2. Untuk menunjang kegiatan ekonomi Sumatera Selatan yang terus bertumbuh, tentu membutuhkan
fasilitas kepelabuhanan yang mampu menampung sesuai kebutuhan yang ada. Pada tahun 2014 saja,
Sumatera Selatan menyumbang 30% dari total GDP Sumatera, dengan tingkat pembangunan
ekonomi tahunan yang melebihi rata-rata di kawasan ini. Sumatera Selatan memiliki sumber daya
alam yang kaya, khususnya di bidang pertanian (yaitu Kelapa Sawit), pertambangan (yaitu
batubara), dan energi (yaitu minyak dan gas) yang memberikan daya tarik yang kuat bagi masuknya
Foreign Direct Investment (FDI) dan juga investasi dalam negeri untuk meningkatkan
perekonomian provinsi. Selain itu, Sumatera Selatan yang strategis dan dekat dengan Selat Malaka,
Singapura dan Malaysia, menjadi beneficial effect dimana terdapat akses langsung ke simpul
transportasi dan perdagangan internasional. Kedua alasan itu yang mendasari urgensi pembangunan
Pelabuhan Tanjung Carat.

Pembangunan Pelabuhan Tanjung Carat menjadi penyelesaian dalam pengembangan dan


pembangunan Pelabuhan Boom Baru, Palembang yang dikelola oleh Pelindo 2 yang sudah terbatas
dalam pengembangan pelabuhan. Selain itu, Pelindo 2 telah menandatangani Memorandum of
Understanding (MoU) dengan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan untuk mengembangkan
Lematang dan Sungai Musi sebagai jaringan transportasi sungai yang nantinya akan memperluas
akomodasi kegiatan penambangan batu bara dikawasan Muara Enim, serta mengembangkan
pelabuhan baru laut dalam di Tanjung Api - Api yang berfungsi sebagai pengganti Pelabuhan Boom
Baru. Pengembangan jaringan transportasi Sungai Lematang dilakukan dari Muara Enim dengan
bifurkasi hingga Sungai Musi di Muara Lematang untuk jarak 190km, dan Sungai Musi dari Muara
248 Bisnis Maritim

Lematang hingga muara luar untuk jarak 200 km. Perkembangan ini juga meliputi kompleks
bongkar muat terminal batubara di Muara Enim dan transshipment terminal batubara di Muara
Lematang.Pembangunan terminal ini juga akan mendukung Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) baru
yang akan dikembangkan Tanjung Api - Api.

Kijing Deep Sea Water Port Terminal. Pembangunan Pelabuhan Laut Dalam Kijing
berawal dari urgensi yang mendesak, bahwa pelabuhan yang ada di Pontianak tidak mampu
menampung lalu lintas kargo yang meningkat. Hal ini tentunya diakibatkan oleh beberapa
permasalahan dilapangan, pertama dangkalnya kedalaman kolam labuh kapal untuk bersandar yang
diakibatkan oleh tingginya sedimentasi di muara sungai yang terus meningkat, otomatis pengerukan
bukan solusi yang layak. Terakhir, tingginya kapasitas muat kargo yang mulai melebihi kapasitas
rasio hunian kontainer diakibatkan oleh berbagai pembangunan infrastruktur kota dikawasan muara
sungai yang berdampak pada terbatasnya kapal besar untuk masuk dan berlabuh. Kebutuhan
pembangunan Pelabuhan Kijing ini berbanding lurus dengan pertumbuhan ekonomi provinsi
Kalimantan barat yang terus berkembang. Pelabuhan Kijing akan menjadi pelabuhan DSWP (Deep
Sea Water Port) pertama di Indonesia yang akan menangani lalu lintas pengangkutan berbasis
kontainer dan kargo curah yang nantinya akan menjadi gerbang perdagangan Kalimantan Barat. Hal
ini tentunya mendorong economical feasibility dalam pendirian dan pembentukkan kawasan industri
seiring dengan meningkatnya lalu lintas kargo. Selain itu, posisi strategis Pelabuhan Kijing yang
langsung berhadapan dengan jalur perdagangan laut Internasional tersibuk didunia menjadikan
beneficial effect bagi pembangunan Pelabuhan Kijing dimana setiap tahun arus lalu lintas yang
bergerak menuju Indonesia mencapai rata-rata 8% pertahun, otomatis pembangunan ini akan
memungkinkan Indonesia untuk meningkatkan pertumbuhan arus lalu lintas kapal kargo yang sesuai
dengan teknologi yang diterapkan diberbagai negara lain. Pembangunan Pelabuhan Laut Dalam
Kijing bagi Pelindo menjadi strategis untuk mengurai keterbatasan Pelabuhan Pontianak, dari
dangkalnya alur kolam labuh sandar kapal, tidak mencukupinya lapangan penapungan kontainer
yang terus meningkat. Memaksimalkan kesempatan ekonomi dari Kalimantan Barat melalui
Pembangunan Pelabuhan Laut Dalam Kijing sangatlah tepat, karena multiplier effect (efek
berganda) yang dihasilkan menjadi kunci utama untuk tetap menggerakkan pertumbuhan dan
aktivitas ekonomi dikawasan ini dan terdapat alasan utama Pelabuhan Kijing Pelabuhan.
Pembangunan Pelabuhan Laut Dalam Kijing sangat menarik bagi perusahaan pengiriman logistik
kargo. Karena selesainya pembangunan Pelabuhan ini akan mengundang datangnya kapal berukuran
besar seperti dinegara tetangga, dimana rata-rata kapal yang datang memiliki kemampuan angkut
dari ukuran 10.000 kontainer berukuran 20 kaki, bahkan lebih. Hal ini tentunya akan menekan biaya
pengiriman yang signifikan dan alokasi waktu yang digunakan akan berkurang drastis, karena kapal
kargo berbasis kontainer berukuran besar tidak perlu lagi transit di Singapura untuk memindahkan
kargo. Singkatnya, penggunaan biaya untuk pengiriman dan pemanfaatan waktu akan menciptakan
efek berganda bagi kegiatan ekonomi dikawasan Pelabuhan Laut Dalam Kijing yang nantinya
menjadi tonggak awal untuk memanfaatkan kesempatan dan mengembangkan kesempatan ekonomi
di Kalimantan Barat. Upaya memberdayakan kembali pelabuhan sangat penting untuk memastikan
bahwa pelabuhan dapat memberikan seluruh potensinya untuk berkontribusi dalam pembangunan
Indonesia. Agar berhasil, diperlukan proses transisi yang terencana dengan baik, dengan penekanan
pada pengem- bangan SDM dan klaster industry Upaya reformasi yang sedang berlangsung saat ini
di sektor pelabuhan Indonesia sangat diperlukan. Pada masa lalu, sistem pelabuhan nasional tidak
dikelola dengan baik. Akibatnya, pelabuhan belum dapat berkontribusi secara maksimal terhadap
pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pelabuhan di Indonesia hanya berfungsi sebagai pelabuhan
pengumpan (feeder port). Data tahun 2009 menunjukkan bahwa setiap tahun sekitar 90 persen kargo
yang masuk dan keluar Indonesia dialih-kapalkan melalui pelabuhan- pelabuhan hub internasional
Kondisi Maritim Indonesia, Kondisi Perdagangan Nasional, Kondisi 249
Pelabuhan dan Pelayaran Nasional dan Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia

yang berada di negara-negara tetangga. Sejak didirikan pada tahun 1991, perusahaan pelabuhan
milik Negara (Pelindo I sampai IV) belum dapat beroperasi dengan efisiensi maksimal atau
berinisiatif membangun pelabuhan hub internasional. Halini bukan sepenuhnya kesalahan
manajemen, karena setiap Pelindo tersebut harus melakukan subsidi silang untuk kegiatan
operasinya dan menghasilkan laba dalam jumlah yang ditentukan sebagai kontribusi pada
pendapatan negara.

Selain itu, Pelindo harus beroperasi dengan standar beragam yang ditetapkan oleh
Kementerian BUMN dan Kementerian Perhubungan. Akibatnya, timbul ketidakpastian usaha dan
ketidakpastian hukum bagi para petugas administrasi, manajer, dan pengelola, serta calon investor
pelabuhan. Penafsiran yang beragam terhadap peraturan yang ada menyebabkan munculnya
pembebanan biaya tanpa adanya pelayanan. Pertumbuhan Menimbulkan Kondisi Mendesak Kondisi
tersebut cukup menjadi alasan untuk melakukan tindakan meskipun dalam situasi yang statis,
apalagi peran pelabuhan dalam perekonomian terus berkembang. Karena aliran kargo dunia terus
meningkat selama dekade terakhir, upaya untuk mereformasi dan mengembangkan sektor pelabuhan
Indonesia m enjadi semakin mendesak. Berbagai kajian menunjukkan bahwa selama 20 tahun
mendatang aliran peti kemas di Indonesia akan meningkat secara dramatis, dari 8,8 juta TEU1 pada
tahun 2009 diperkirakan akan menjadi 30 juta TEU pada tahun 2020, dan 48 juta TEU pada tahun
2030. Kargo curah kering dan cair diperkirakan akan meningkat sebesar 50 persen sepanjang decade
mendatang dan 50 persen lagi mulai tahun 2020 sampai 2030.

Sekurang-kurangnya 17 pelabuhan strategis memerlukan pembangunan dan pengembangan


terminal peti kemas. Pelabuhan Tanjung Priok, Tanjung Perak, dan Belawan memerlukan fasilitas
baru dengan segera; pelabuhan lainnya, seperti yang ada di Cilamaya, Banjarmasin, Pontianak,
Batam, Palembang dan Panjang, memerlukan pembangunan baru dalam jangka waktu lima tahun
mendatang.Dengan adanya peningkatan aliran peti kemas, perlu dibangun pelabuhan hub baru di
kawasan timur dan barat Indonesia. Pelabuhan seperti Kuala Tanjung dan Bitung dapat dijadikan
pilihan lokasi untuk pembangunan pelabuhan hub tersebut, sepanjang kajian lebih lanjut
menunjukkan bahwa hal ini sesuai dengan permintaan pasar.

Pemberdayaan Kembali adalah Satu-Satunya Jalan Maju Mengingat besarnya investasi


yang diperlukan, suatu visi bersama tentang cara untuk maju menjadi sangat penting. Sampai saat
ini, para pemangku kepentingan terjebak dalam diskusi dan perbedaan pendapat, dengan fokus pada
paradigma lama dan tujuan jangka pendek. Masing-masing pemangku kepentingan memiliki
penafsiran berbeda tentang cara mendistribusikan kewenangan administratif, khususnya terkait
dengan semangat otonomi daerah. Namun, keputusan untuk masa depan seharusnya tidak
didasarkan pada keadaan apakah pelabuhan tersebut

Pemerintah-Swasta yang paling berhasil di sektor pelabuhan (Kolombia, Argentina,


Malaysia, dan Inggris) menunjukkan bahwa pasar di setiap negara ditandai dengan adanya satu
perusahaan dominan, atau cukup sangat terkonsentrasi jika uji HHI digunakan seperti di AS.
Dengan demikian, bahkan jika Indonesia menurunkan hambatan persaingan seperti yang dijelaskan
di atas, kemungkinan hasilnya masih berupa pasar yang didominasi oleh segelintir perusahaan.

Oleh karena berfokus pada struktur pasar, dan bukan kinerja pasar, tes- tes ini tidak
menentukan sejauh mana konsumen (atau pengguna dan pengusaha jasa ekspedisi) memiliki
alternatif yang dapat digunakan. Pilihan konsumen (atau opsi pengguna jasa ekspedisi) sebenarnya
250 Bisnis Maritim

adalah faktor yang paling kritis dalam menentukan ada tidaknya masalah anti-monopoli,sedangkan
faktor lainnya, seperti tingkat laba atau profitabilitas, tidak terlalu penting, walau regulator ekonomi
cenderung berfokus pada faktortersebut dalam regulasi yang digunakan saat ini (mungkin karena
konsumen tidak punya pilihan atau pilihannyasangat terbatas). Jika regulator akhirnya menyelidiki
suatu kasus, penyelidikan difokuskan terutama pada masalah yang sangat kritis ini.

Bagaimana Persaingan Pelabuhan Dapat Diatur Lingkungan oligopolistik yang akan


muncul di Indonesia menunjukkan perlunya kerangka peraturan untuk mengawasi ersaingan di
pelabuhan. Kebijakan Indonesia tentang pelabuhan mendukung adanya regulasi dengan minimal
intervensi. Jadi, alih-alih menentukan harga, yang merupakan tantangan dalam hal penentuan harga
yang wajar, kita dapat mengaturnya dengan memantau perilaku persaingan pelabuhan. Ini dapat
dilakukan dengan cara, regulator memantau kinerja operasional, tingkat tarif, kinerja keuangan, dan
menentukan sejauh mana pengguna dan pengusaha jasa ekspedisi memiliki pilihan (dengan
menghitung biaya transportasi total antara terminal dan daerah pedalaman). Pengusaha jasa
ekspedisi memilih untuk menghindari terminal yang buruk operasionalnya, dan akan memilihopsi
lain jika mungkin. Jika regulator menentukan bahwa profitabilitas tinggi, tetapi tarif yang dikenakan
kompetitif, maka mungkin tidak ada masalah. Tetapi jika laba tinggi, dan kinerja buruk, maka
regulator dapat berasumsi operator menerapkan perilaku monopoli. Dalam keadaan bagaimanapun,
dengan memantau perilaku berdasarkan faktor- faktor ini, regulator akan memilikidasar untuk
terlebih dulu menentukan, apakah pengaduan itu benar, dan kedua, apakah perlu dilakukan
penyelidikan lebih lanjut.

Dengan memantau faktor yang menentukan cara operator bersaing, Indonesia dapat
menghindari tantangan yang lebih sulit berupa keharusan menentukan harga. Sebaliknya, regulator
akan mengharuskan operator terminal untuk mengajukan tarif, melaporkan indikator operasional
tertentu, dan menyerahkan laporan keuangan tahunan serta informasi keuangan lainnya terkait
dengan laba atau tingkat pengembalian modal. Perjanjian layanan, yaitu kontrak antara operator dan
pengusaha jasa ekspedisi, juga harus diajukan berdasarkan aturan kerahasiaan untuk memastikan
tidak adanya perilaku diskriminatif. Dan operator juga harus diwajibkan untuk melaporkan niatnya
melakukan merger dengan atau mengakuisisi perusahaan lain.

Kemenhub akan bertanggungjawab meningkatkan persaingan pelabuhan dan dengan


emikian dapat memantau perilaku persaingan. Apabila menurut keadaan, baik sebagai hasil
pemantauan maupun dari pengaduan yang diterima, mungkin terdapat perilaku anti- persaingan
usaha, Kemenhub dapat mengajukannya ke KPPU. Dengan engandalkan pengajuan informasi yang
biasanya sudah tersedia, Kemenhub akan menyesuaikan dengan tujuan kebijakan tentang regulasi
dengan minimal intervensi.

Sebagaimana disebutkan di atas, Indonesia masih perlu mengatasi hambatan yang ada
dalam pengembangan persaingan usaha. Jika tidak diatasi dalam waktu dekat,para pelaku pasar saat
ini dapat terus menggunakan dominasinya dengan menguasai lahan yang seharusnya tersedia untuk
operator baru, atau meningkatkan harga monopoli untuk mengukuhkan dominasinya. Kemenhub
memiliki peran yang jelas untuk memastikan lapangan usaha yang kompetitif. Jika posisi monopoli
para operator terminal tidak diatasi, hal itu juga dapat menghambat investasi di sektor ekonomi
lainnya.

Selain dalam urusan bisnis, dunia pelayaran juga tak luput dari keamanan dan keselamatan
pelaku-pelaku yang terlibat didalamnya . maka dari itu ada aturan atau pedoman yang wajib diikuti
Kondisi Maritim Indonesia, Kondisi Perdagangan Nasional, Kondisi 251
Pelabuhan dan Pelayaran Nasional dan Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia

oleh pelaku dunia pelayaran tersebut, diantaranya adalah ISM code. International Safety
Management Code diartikan sebagai peraturan manajemen keselamatan internasional untuk
keamanan maupun keselamatan pengoperasian kapal dan pencegahan pencemaran yang ditetapkan
oleh International Maritime Organization / IMO yang masih bisa diamandemen.

Berdasarkan data kecelakaan yang dianalisis oleh IMO diketahui bahwa kecelakaan kapal yang
disebabkan oleh kesalahan manusia (human error) sebesar 80% dan dari seluruh kesalahan
manusia tersebut diketahui pula bahwa sekitar 80% diantaranya diakibatkan oleh
buruknya manajemen (poor management) perusahaan pelayaran (ISM training, 2010). Sistem
manajemen perusahaan pelayaran atau operator kapal berpengaruh kuat terhadap keadaan
kelaiklautan kapal.

PT. Maritim Barito Perkasa sebagai salah satu perusahaan pelayaran yang telah
tersertifikasi ISM Code selama 4 tahun sampai dengan tahun 2014 dalam perjalanannya masih
memiliki beberapa masalah dalam penerapan kebijakan sistem manajemen keselamatan pelayaran
baik dikapal maupun dikantor. Di PT. Maritim Barito Perkasa Banjarmasin, penerapan kebijakan
sistem manajemen keselamatan pelayaran pada pelaut sebagai karyawan laut perusahaan
pelayaran merupakan aset yang terpenting dalam pengoperasian kapal. Keselamatan pelayaran di
kapal khususnya dalam perairan Alur Barito harus diperhatikan karena merupakan daerah pelayaran
yang sempit dan lalu lintas yang padat. Kecelakaan kapal seperti tubrukan antar kapal atau bahkan
dengan rumah penduduk sekitar Alur Barito sering terjadi akibat kurangnya pengalaman pelaut
dalam mengoperasikan kapal dan masih minimnya pengetahuan dan kesadaran mengenai
implementasi kebijakan sistem manajemen keselamatan pelayaran di atas kapal sehingga
perusahaan dituntut harus memiliki pelaut yang memiliki pengalaman beroperasi di Alur Barito
dan memiliki kesadaran serta pengetahuan untuk menerapkan kebijakan sistem manajemen
keselamatan pelayaran di atas kapal. Selain dikapal, karyawan perusahaan kantor juga dituntut
kesadaraan dan pengetahuannya untuk menerapkan kebijakan sistem manajemen keselamatan
pelayaran sebagai salah satu persyaratan standar International Safety Manajement / ISM Code.

Implementasi ISM Code di PT.MBP dimaksudkan untuk membangkitkan dan


mempertahankan safety culture dalam keselamatan pelayaran di PT. MBP. Saat ini, ISM
Code di PT. MBP belum diterapkan secara optimal terutama bila dikaitkan dengan kesiapan
perusahaan pelayaran untuk mengikuti persaingan pasar bebas. Oleh sebab itu perlu diketahui
sampai sejauh mana implementasi ISM Code, terutama pada manajemen keselamatan dan
keamanan pengoperasian kapal di PT. MBP Banjarmasin .

Berdasarkan rumusan permasalahan yang telah dipaparkan, maka tujuan dari


penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui sejauhmana implementasi Kebijakan Sistem


Manajemen Keselamatan Pelayaran / ISM Code dalammanajemen keselamatan pengoperasian
kapalsebagai upaya pencegahan kecelakaankapal di PT. Maritim Barito Perkasa Banjarmasin.

2. Untuk mengetahui dan menganalisa permasalahan-permasalahan apa saja yang


dihadapi oleh PT. Maritim Barito Perkasa Banjarmasin dalam upaya pengimplementasian
Kebijakan Sistem Manajemen Keselamatan Pelayaran / ISM Code.
252 Bisnis Maritim

3. Untuk mengetahui solusi apa saja yang harus diambil untuk mengatasi kendala-
kendala yang timbul atau yang dihadapi dalam pengimplementasian Kebijakan Sistem
Manajemen Keselamatan Pelayaran/ ISM Code di PT. Maritim Barito Banjarmasin ?

4. Untuk mengetahui strategi-strategi yang diambil dan digunakan oleh perusahaan


dalam upaya mengimplementasikan Kebijakan Sistem Manajemen Keselamatan
Pelayaran / ISM Code di PT. Maritim Barito Perkasa Banjarmasin ?

Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan rencana dalam
pelaksanaan suatu pekerjaan/kepemimpinan dan cara bertindak (Balai Pustaka, 2007). Menurut
Ealau dan Pewitt (1973) (Edi Suharto, 2008), kebijakan adalah sebuah ketetapan yang berlaku,
dicirikan oleh perilaku yang konsisten dan berulang baik dari yang membuat atau yang
melaksanakan kebijakan tersebut.

Menurut Titmuss (1974) (Edi Suharto,2008), kebijakan adalah prinsip- prinsip yang
mengatur tindakan dan diarahkan pada tujuan tertentu. Kebijakan adalah suatu ketetapan yang
memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara bertindak yang dibuat secara terencana dan
konsisten untuk mencapai tujuan tertentu. Definisi Implementasi Kebijakan

Implementasi adalah merupakan salah satu tahap dalam sebuah proses kebijakan publik.
Biasanya implementasi dilaksanakan setelah sebuah kebijakan dirumuskan dengan tujuan yang
jelas. Implementasi adalah merupakan suatu rangkaian aktifitas dalam rangka menghantarkan
kebijakan-kebijakan kepada masyarakat sehingga kebijakan tersebut dapat membawa hasil
sebagaimana yang diharapkan (Afan Gaffar, 2009: 295).

Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuahkebijakan dapat


mencapai tujuannya, tidak lebih dan kurang. Untuk mengimplementasikan kebijakan publik,
maka ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk
program-program atau melalui formulasi kebijakanderivate atau turunan dari kebijakan
tersebut.Pengertian ISM codeInternational Safety Management Code / ISM code diartikan
sebagai peraturanmanajemen keselamatan internasional untuk keamanan maupun keselamtan
pengoperasian kapal dan pencegahan pencemaran yangditetapkan oleh Dewan Keselamatan
MaritimInternational Maritime Organization / IMOyang masih dimungkinkan untuk
diamandemen.

Tujuan diselenggarakannya International Safety Management / ISM Code adalah


sebagai berikut :

1. Menjamin keselamatan di laut, mencegah kecelakaan dan hilangnya jiwa


manusiaserta menghindari terjadinya kerusakan lingkungan laut;

2. Membentuk dan membiasakan sikap peduli dan bertanggung jawab terhadap


terwujudnya fungsi keselamatan kapal dan pencegahan pencemaran;

3. Meningkatkan efisiensi, efektivitas, kehandalan dan kinerja perusahaan serta kapal,


khususnya pada aspek keselamatan pengoperasian kapal dan pencegahan pencemaran.
Kondisi Maritim Indonesia, Kondisi Perdagangan Nasional, Kondisi 253
Pelabuhan dan Pelayaran Nasional dan Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia

Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara kepada informan kunci


mengenai penerapan manajemen keselamatan pengoperasian kapal yang telah dilaksanakan selama
ini, termasuk kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan ISM Code. Informan kunci yang menjadi
obyek wawancara adalah adalah karyawan kantor yang terkait dalam pelaksanaan Kebijakan Sistem
manajemen Keselamatan Pelayaran di PT. Maritim Barito Perkasa Banjarmasin khususnya
Nakhoda Kapal di PT. Maritim Barito Perkasa Banjarmasin. Untuk memperoleh data
digunakan tehnik-tehnik pengumpulan data sebagai berikut :

a. Studi dokumen

b. Wawancara, yang dilakukan secara terarah dan mendalam

Penentuan sampel dipilih secara purposive-sampling (menentukan dengan sengaja),


yaitu dengan menentukan 1 (satu) perusahaan yang bergerak di bidang pelayaran, yaitu PT Maritim
Barito Perkasa Banjarmasin dengan mempertimbangkan bahwa perusahaan tersebut merupakan
salah satu perusahaan pelayaran besar di Kalimantan Selatan yang telah menerapkan Kebijakan
Sistem Manajemen Keselamatan Pelayaran. Sedangkan untuk data kualitatif dilakukan wawancara
terhadap struktur organisasi PT. Maritim Barito Perkasa Banjarmasin yang terdiri dari 1 (satu)
team leader, 1 (satu) koordinator dan tim pelaksana sebanyak 6 (enam) orang sebagai informan
kunci.

Berdasarkan hasil penelitian didapat bahwa praktek program ISM Code di perusahaan
yang menyangkut implementasi program-program ISM Codedan penerapan prosedur-prosedur
yang terdapat didalam SMK sudah baik, rencana penganggaran dana untuk mendukung
program-program ISM Code juga sudah baik, sesuai dengan prinsip penerapan elemen-elemen
ISM Code yang dipersyaratkan. Semua subjek penelitian melaksanakan program ISM Code secara
tersistem, terorganisir oleh komite ISM Code dan sesuai dengan prinsip ISM Code. Implementasi
program ISM Code di perusahaan adalahperusahaan mempunyai komite ISM Codedengan
komitmen dan kebijakanISM Code yang ditandangani top manajemen serta dievaluasi setiap tahun,.
Semua subjek penelitian melaksanakan bentuk-bentuk program ISM Code.

Selanjutya semua subjek penelitian sudah mengevaluasi program ISM Code yang telah
dilaksanakan baik dikapal maupun di perusahaan.Evaluasi program ISM Code yang telah dilakukan
dikapal dan perusahaan adalah perilaku dalam bentuk tindakan yang sudah konkrit, berupa
perbuatan atau action terhadap situasi dan atau rangsangan dari luar.

Hasil penelitian juga menunjukkan permasalahan yang dihadapi oleh perusahaan menuntut
perusahaan untuk mempertimbangkan secara matang dampak- dampak yang ditimbulkan dari
permasalahan yang muncul ketika Sistem Manajemen Keselamatan Pelayaran / ISM Code
perusahaan dijalankan dalam hal ini perusahaan dituntut untuk dapat menyediakan sumber daya
manusia yang memiliki kompetensi dalam melakukan identifikasi, penilaian dan pengendalian
terhadap Sistem manajeman keselamatan pelayaran perusahaan. Sarana dan Prasarana harus dapat
menunjang terlaksananya sistem manajemen kesalamatan pelayaran perusahaan untuk
254 Bisnis Maritim

meminimalisir bahkan menghilangkan permasalahan-permasalahan atau kendala- kendala yang


timbul dalam pengimplementasian sistem tersebut.

Hasil penelitian ditemukan bahwasumber daya manusia, budaya atau sikap kerja dan
struktur organisasi menjadi faktor-faktor permasalahan di PT. MBP terkait penerapan Kebijakan
Keselamatan Pelayaran/ ISM Code.

Dapat disimpulkan bahwa solusi yang harus diambil oleh PT. MBP untuk
mengatasimasalah-masalah tersebut adalah sebagaiberikut :

1. Meningkatkan komitmen perusahaan dan tenaga kerja di bidang keselamatan


pelayaran/ISM Code.

2. Meningkatkan peran dan fungsi semua sektor dalam pelaksanaan ISM Code.

3. Meningkatkan kemampuan, pemahaman, sikap dan perilaku budaya


keselamatankerja dari pengusaha dan tenaga kerja.

4. Melaksanakan keselamatan kerja melalui manajemen risiko dan manajemen


perilakuyang berisiko.

5. Mengembangkan sistem penilaian keselamatan (Audit ISM Code) di


bidangkeselamatan pelayaran.

6. Meningkatkan penerapan sistem informasi keselamatan pelayaran/ISM Codeyang


erintegrasi.

7. Memberikan pemahaman mengenai Implementasi ISM Code kepada karyawan


terkait yang belum mengetahu.

8. Meningkatkan integrasi keselamatan Pelayaran/ISM Code di setiap departemen


terkait.

9. Melakukan restrukturisasi pengawasan terhadap petugas yang ditunjuk


danpengawas departemen terkait agar dapatmelakukan koordinasi yang baik dalam melakukan
pengawasan implementasi program-program ISM Cod

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa kendala-
kendala atau permasalahan yang timbul dalam Implementasi Sistem Manajemen Keselamatan
Pelayaran di PT. Maritim Barito Perkasa (MBP)adalah sebagai berikut :

1. Permasalahan yang muncul dalam pelaksanaanmenyangkut


kemampuanSumber Daya Manusia dalam memahami dan melaksanakan sistem
manajemenkeselamatan Pelayaran / ISM Code PT. MBP.
Kondisi Maritim Indonesia, Kondisi Perdagangan Nasional, Kondisi 255
Pelabuhan dan Pelayaran Nasional dan Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia

2. Ketersediaan dan kehandalan SumberDaya Manusia (SDM) Kapal, dalam hal ini
crew kapal PT. MBP yang masih belum memadai, terutama dalam hal kemampuan memahami
sistem manajemen keselamatan (terkendala penguasaan bahasa) dan pemahaman Sistem
Manajemen Keselamatan (SMK) perusahaan.

3. Kurangnya dukungan perusahaan dalamSMK serta kurangnya pengawasan


terutama dalam hal ketegasan menegakanperaturan ISM Code
dirasakanmasihkurangtegas, sehinggaterciptanyabudaya mengabaikan aturan di sebagian pekerja
baik crew kapal maupun karyawan perusahaan.

4. Kurangnya komitmen dan konsistensi beberapa pekerja, yaitu crew kapal


dankaryawan perusahaan dalam menjagaeksistensi implementasi Kebijakan Sistem Manjamen
Keselamatan Pelayaran / ISM Code di PT. Maritim Barito Perkasa (MBP) Banjarmasin.

Untuk menghadapi era persaingan global, perusahan pelaharan diharuskan tanggap


terhadap potensi dan ancaman yang ada di dunia saat ini. Maka dari itu diperlukan adanya
perumusan strategi bagi perusahaan pelayaran untuk menghadapi gejolak yang terjadi di dunia
pelayaran baik nasional maupun internasional. Perumusan strategi adalah sebuah taktik permainan
sebuah perusahaan, perumusan strategi mencangkup pengembangan visi dan misi, identifikasi
peluang dan ancaman eksternal suatu organisasi, kedasaran akan kekuatan dan kelemahan
internal, penetapan tujuan jangka panjang, pencarian strategi alternatif, dan pemilihan strategi
tertentu untuk mencapai tujuan. (David, 2012)

Analisis faktor internal dan eksternal merupakan faktor yang sangat penting dalam
merumuskan strategi bersaing perusahaan. Analisis lingkungan internal terdiri dari fungsi-fungsi
Manajemen (perencanaan, pengorganisasian, pemotivasian, penempatan staf, dan pengontrolan) dan
fungsi-fungsi bisnis (pemasaran, keuangan, produksi/operasi, sistem informasi manajemen dan
penelitian dan pengembangan)

. Sedangkan analisis lingkungan eksternal digunakan untuk mengindentifikasi kesempatan


dan ancaman yang mungkin terjadi, analisis lingkungan eksternal terdiri dari lingkungan makro
(kekuatan ekonomi, kekuatan sosial, budaya, demografis dan lingkungan, kekuatan politik,
pemerintahan dan hukum, kekuatan teknologi dan kekuatan kompetitif) dan lingkungan industri
menggunakan model lima kekuatan Porter (Porters Five-forces) meliputi : persaingan antar
perusahaan saingan, potensi masuknya pesaing baru, potensi pengembangan produk pengganti,
daya tawar pemasok, daya tawar konsumen.

Dalam merumuskan strategi bersaing yang tepat bagi perusahaan dapat dilakukan melalui
tahap-tahap sebagai berikut (David, 2012) :

1. Tahap Input

a. Matriks Evaluasi Faktor Internal


256 Bisnis Maritim

Matriks Evaluasi Faktor Internal (Internal Factor Evaluation-IFE Matrix) bertujuan


meringkas dan mengevaluasi kekuatan dan kelemahan utama dalam area-area fungsional bisnis,
dan juga menjadi landasan untuk mengidentifikasi serta mengevaluasi hubungan di antara area
tersebut.

b. Matriks Evaluasi Faktor Eksternal

Matriks Evaluasi Faktor Eksternal (External Factor Evaluation-EFE Matrix)


memungkinkan para penyusun strategi untuk meringkas dan mengevaluasi informasi ekonomi,
sosial, budaya, demografis, lingkungan, politik, pemerintahan, hukuman, teknologi, dan kompetitif.

c. Matriks Profil Kompetitif

Matriks Profil Kompetitif (Competitive Profile Matrix- CPM) mengidentifikasi pesaing-


pesaing utama suatu perusahaan serta kekuatan dan kelemahan khusus perusahaan dalam
hubungannya dengan posisi strategis perusahaan.

2. Tahap Pencocokan

a. Matriks (SWOT)

Matriks SWOT adalah sebuah alat pencocokan yang penting yang membantu para manajer
mengembangkan empat jenis strategi : Strategi SO (kekuatan-peluang), Strategi WO (kelemahan-
peluang), Strategi ST (kekuatan-ancaman), dan Strategi WT (kelemahan- ancaman).

b. Matriks SPACE

Matriks SPACE merupakan kerangka empat kuadran yang menunjukkan apakah strategi
agresif, kinservatif, defensif atau kompetitif yang paling sesuai untuk suatu organisasi tertentu.
Sumbu-sumbu Matriks SPACE menunjukkan dua dimensi internal (kekuatan finansial [financial
stregth-FS] dan keunggulan kompetitif [competitive advantage-CA]) serta dua dimensi eksternal
(stabilitas lingkungan [environmental stability-ES] dan kekuatan industri [industry strength IS]).

c. Matriks Boston Consulting Group (BCG)

Matriks BCG memungkinkan sebuah organisasi multidivisional mengelola portofolio


bisnisnya dengan cara mengamati posisi pangsa pasar relatif dan tingkat pertumbuhan industri dari
setiap divisi relatif terhadap semua divisi lain di dalam organisasi.

d. Matriks Internal-Eksternal (IE)

Matriks Internal-Eksternal (Internal-External Matrix) memposisikan berbagai divisi suatu


organisasi dalam tampilan sembilan sel. Matriks IE didasarkan pada dua dimensi kunci yaitu skor
bobot IFE dan skor bobot EFE total. Skor bobot total yang diperoleh dari divisi- divisi tersebut
memungkinkan susunan matriks IE di tingkat perusahaan.
Kondisi Maritim Indonesia, Kondisi Perdagangan Nasional, Kondisi 257
Pelabuhan dan Pelayaran Nasional dan Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia

e. Matriks Strategi Besar

Martiks Strategi Besar (Grand Strategy) telah menjadi sebuah alat yang dipopulerkan
untuk merumuskan suatu strategi alternatif. Matriks Strategi Besar didasarkan pada dua dimensi
evaluatif : posisi kompetitif dan pertumbuhan pasar (industri).

3. Tahap Keputusan

Matriks Perencanaan Strategis Kuantitatif (QSPM) adalah alat yang memungkinkan


para penyusun strategi mengevaluasi berbagai strategi alternatif secara objektif, berdasarkan faktor-
faktor keberhasilan penting eksternal dan internal yang diidentifikasi sebelumnya. QSPM
menentukan daya tarik relatif dari berbagai strategi yang dibangun pada tahap pencocokan. Seperti
halnya alat-alat analitis perumusan strategi yang lain, QSPM membutuhkan penilaian intuitif yang
baik. QSPM menggunakan analisis input dari Tahap 1 dan hasil pencocokan dari analisis Tahap 2
untuk secara objektif menentukan strategi yang hendak dijalankan di antara strategi-strategi
alternatif.

Konsep dan Fenomena Bisnis. Perusahaan pelayaran niaga adalah perusahaan yang
mengoperasikan kapal untuk mencari pendapatan melalui usaha pengangkutan barang (khususnya
barang dagangan) atau penumpang, melalui laut, baik yang dilakukan antar pelabuhan-pelabuhan
dalam wilayah sendiri maupun antarnegara (Kosasih dan Soewedo, 2007).

Adanya peluang yang besar di dalam aktivitas perdagangan khususnya dalam industri
pelayaran ini membuat pertumbuhan perusahaan di industri pelayaran meningkat. Peningkatan
pertumbuhan perusahaan pelayaran jasa pengangkutan juga terjadi pada jasa pengangkutan batu
bara akibat melimpahnya sumber daya alam batu bara. Dalam website resmi Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengatakan bahwa total sumber daya batubara di
Indonesia diperkirakan mencapai 105 miliar ton, dimana cadangan batu bara diperkirakan 21 miliar
ton. Tambang batubara utama berlokasi di Sumatera Selatan, Kalimantan Timur dan Kalimantan
Selatan.

Disisi lain, HBA (Harga Batubara Acuan) pada bulan Mei 2012 mencapai 102,12 dollar
AS, turun menjadi 96,65 dollar AS pada Juni, dan kembali turun menjadi 87.56 dollar AS pada
bulan Juli. Adanya tren penurunan harga batubara terjadi sejak November 2011 akibat kelebihan
produksi akan berdampak pada produktivitas perusahaan pelayaran.
258 Bisnis Maritim

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (ASPBI) memproyeksikan


harga batubara akan stagnan dengan kecenderungan turun. Penurunan pada harga batubara karena
produksi batubara yang meningkat dari tahun 2005 2011 memberi dampak pada pendistribusian
batubara. Hal ini menandakan penggunaan armada kapal dari perusahaan pelayaran akan
berkurang sehingga akan menurunkan produktivitas perusahaan pelayaran untuk mendapatkan laba.

Perusahaan yang berdomisili di Samarinda ini telah berkecimpung dalam industri


pelayaran sejak 2003. Perusahaan secara umum belum menunjukan perolehan laba yang meningkat
secara signifikan dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2010. Ada pun kenaikan jumlah pesaing
yang masuk dalam industri berdampak pada persaingan ketat sehingga berdampak pula dengan
perolehan laba perusahaan sehingga perusahaan harus merumuskan strategi perusahaan yang tepat
dalam menghadapi persaingan ini.

Penetapan narasumber dalam penelitian menggunakan teknik purposive sampling,


merupakan teknik pengambilan sampel sumber data dengan berdasarkan pada suatu pertimbangan
tertentu (Sugiyono, 2008). Untuk jenis dan sumber data yang digunakan adalah data primer dan
sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung dari objek yang diteliti.
Data primer dalam penelitian ini berupa hasil jawaban narasumber yang diperoleh dari wawancara.
Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung, artinya data-data tersebut berupa
data yang telah diolah lebih lanjut dan data yang disajikan oleh pihak lain. Data sekunder antara lain
disajikan dalam bentuk data-data, tabel-tabel, diagram-diagram, atau mengenai topik penelitian.
Data sekunder yang diperoleh peneliti pada penelitian ini adalah berupa bagan struktur
organisasi, gambar/foto yang berkaitan dengan penelitian yang diambil secara langsung di lapangan.

Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode wawancara dan observasi.
Dalam penelitian digunakan metode wawancara semiterstruktur (Semistructure interview) adalah
jenis wawancara yang termasuk dalam kategori in- depth interview, di mana dalam pelaksanaannya
Kondisi Maritim Indonesia, Kondisi Perdagangan Nasional, Kondisi 259
Pelabuhan dan Pelayaran Nasional dan Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia

lebih bebas bila dibandingkan dengan wawancara terstruktur. Tujuan dari wawancara jenis ini
adalah untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka, di mana pihak yang diajak
wawancara diminta pendapat dan ide- idenya. Dalam melakukan wawancara, peneliti perlu
mendengarkan secara teliti dan mencatat apa yang dikemukakan oleh informan (Sugiyono, 2008).
Observasi sebagai teknik pengumpulan data mempunyai ciri yang spesifik bila dibandingkan
dengan teknik yang lain, yaitu wawancara dan kuesioner. Kalau wawancara dan kuesioner selalu
berkomunikasi dengan orang, maka observasi tidak terbatas pada orang, tetapi juga obyek-obyek
alam yang lain. Teknik pengumpulan data dengan observasi digunakan bila penelitian
berkenaan dengan perilaku manusia, proses kerja, gejala-gejala alam dan bila responden yang
diamati tidak terlalu besar (Sugiyono, 2008).

Analisa data menggunakan teknik data reduction, data display dan conclusion
drawing/verification. Reduksi data merupakan rangkuman atau memilih hal-hal yang dianggap
pokok sehingga dapat memberikan gambaran yang lebih jelas serta mempermudah peneliti
untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya. Reduksi data bertujuan agar data yang didapat
tidak bertumpuk sehingga dapat mempersulit proses analisis data selanjutnya. Data display
dilakukan setelah hasil dari reduksi data telah tersusun. Data display dalam penelitian kualitatif
dapat dilakukan dalam bentuk tabel, grafik, pie chard, pictogram dan sejenisnya. Dengan penyajian
data tersebut, maka data terorganisasikan, tersusun dalam pola hubungan sehingga mudah dipahami.
Langkah ketiga dalam analisis data kualitatif adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi.
Kesimpulan yang didapat masih bersifat sementara dan tidak menutup kemungkinan akan
mengalami perubahan apabila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat untuk mendukung pada
tahap pengumpulan data berikutnya. (Sugiyono, 2008)

Analisis faktor internal dan eksternal merupakan proses yang sangat penting dalam
merumuskan strategi bersaing perusahaan. Analisis lingkungan internal terdiri dari fungsi- fungsi
Manajemen dan fungsi-fungsi bisnis. Analisis lingkungan eksternal terdiri dari lingkungan makro
menggunakan PEST-C analysis dan lingkungan industri menggunakan model lima kekuatan Porter
(Porters Five- forces). Selanjutnya menurut Fred. R. David (2012) untuk menetapkan strategi yang
paling tepat dalam sebuah perusahaan maka perlu dilakukan tiga tahapan kerja yaitu tahap input,
tahap pencocokan dan tahap pengambilan keputusan.

Analisis Internal Perusahaan Fungsi-fungsi manajemen Berikut adalah hasil analisis


lingkungan internal fungsi- fungsi manajemen perusahaan.

1. Perencanaan

Perencanaan di perusahaan melibatkan seluruh departemen dimana salah satu tujuannya


adalah untuk mencapai tujuan dan target yang telah ditetapkan oleh perusahaan dengan melalui
pencapaian visi dan misi perusahaan. Visi perusahaan adalah menjadikan perusahaan sebagai
armada laut yang sukses dan misi perusahaan adalah armada laut beserta sumber daya manusia yang
handal cepat dan tepat guna untuk mencapai target budgeting. Tujuan perusahaan adalah
membangun mimpi untuk hari esok.

2. Pengorganisasian
260 Bisnis Maritim

Pengorganisasian yang dilakukan oleh perusahaan adalah dengan melimpahkan tanggung


jawab dan wewenang kepada sumber daya manusia (SDM) perusahaan sesuai dengan kemampuan
serta pengalaman yang dimiliki. Struktur organisasi yang ada di perusahaan diawali oleh
direktur utama dan bersifat linear artinya semua departemen/manager tiap ada perencanaan/
permasalahan diputuskan oleh seorang direktur utama sebagai decision maker. Koordinasi antar
bagian yang ada di perusahaan dengan dibuatkan planning, place, price dan target operation.
Perencanaan proyek menggunakan deskripsi untuk melihat lokasi atau tempat proyek, kemudian
harga atau nilai dari proyek tersebut telah sesuai target dari perusahaan.

3. Pemotivasian

Motivasi yang diberikan perusahaan dengan melalui peran pemimpin kepada karyawan
agar karyawan lebih giat dalam bekerja dan menunjukkan serta memberikan hasil kinerja terbaiknya
kepada perusahaan. Perusahaan menyiapkan fasilitas kantor sebagai bentuk pemotivasian karyawan.
Perusahaan juga memberikan insentif atau bonus terhadap karyawan yang memberikan hasil kerja
yang baik. Kepuasan kerja karyawan yang ada di perusahaan selama ini baik-baik saja. Setiap ada
permasalahan di lapangan disampaikan dan dengan cepat ditanggapi oleh pemimpin. Komunikasi
yang kiranya merupakan kata penting dalam manajemen. Komunikasi dua arah yang baik telah
dilakukan perusahaan untuk mendapatkan dukungan dari setiap karyawan yang ada beserta
pemimpin perusahaan.

4. Penempatan Staff

Penempatan staff dilakukan perusahaan sesuai kemampuan berdasarkan tingkat pendidikan


dan pengalaman yang dimiliki oleh masing-masing karyawan/staff. Besaran gaji dan upah
berdasarkan tingkat pendidikan, pengalaman kerja, cakap, memahami bidang kerja yang
dibebankan dan dilihat dari adanya standar upah minimum provinsi (UMP). Tunjangan yang
diberikan perusahaan bergantung pada jabatan atau pengalaman kerja, pendidikan karyawan dan
posisi jabatannya. Sistem rekrutmen karyawan baru berdasarkan pendidikan, keuletan, dan bidang
pengalaman yang bersangkutan. Pelatihan yang diselenggarakan perusahaan untuk meningkatkan
kinerja karyawan diberikan kepada bagian operasional atau pada krew kapal

5. Pengendalian

Kualitas layanan (Persewaan kapal) kepada konsumen dijaga dengan meningkatkan


perawatan armada kapal dan meningkatkan mutu pelayanan yang lebih prima. Perusahaan juga
melakukan pengendalian terhadap keuangan dengan melakukan pencatatan (posting) terhadap setiap
transaksi sehingga ada control budgeting dan dibuatkan pembukuan untuk mengontrol biaya
keluar/masuk agar lebih efisiensi dalam biaya operasional. Upaya yang dilakukan perusahaan untuk
mencapai target penjualan sesuai yang ditetapkan adalah dengan membuat perencanaan kerja,
membuat lobi- lobi kepada konsumen, mengontrol lokasi kerja, mengendalikan pekerjaan-pekerjaan
yang over lost budget, menyiapkan armada kapal dan SDM yang baik serta berkualitas.
Pengendalian pengeluaran perusahaan agar tidak melebihi anggaran yang telah ditentukan dilakukan
dengan cara setiap manager harus melakukan survey, mengetahui biaya yang harus dibutuhkan,
Kondisi Maritim Indonesia, Kondisi Perdagangan Nasional, Kondisi 261
Pelabuhan dan Pelayaran Nasional dan Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia

mempunyai planning budget, memiliki tingkat efektif kerja serta efisiensi biaya operasional dan
memperhatikan biaya yang tidak perlu dikeluarkan dengan memperhatikan prioritas anggaran
project agar tidak lost cost.

5.13 Kemunculan Poros Maritim


Tinjauan di atas menunjukkan ada dua jenis poros maritim yaitu poros maritimperantara dan
poros maritim pusat. Poros maritim Mediterania Timur dan Barat,serta Nusantara adalah tipe poros
maritim perantara karena perannya hanyasebagai jembatan bagi jalur perdagangan antar negara.
Karakteristik dari porosmaritim ini adalah berada pada dua atau tiga kawasan eksotis yang
berdekatan.Eksotis disini bermakna bahwa kawasan tersebut memiliki sumberdaya yang
tidakditemukan di kawasan lain. Yunani terletak antara Asia, Eropa, dan Afrika;Mediterania terletak
antara Eropa dan Afrika; dan Nusantara terletak antara Indiadan Tiongkok. Poros jenis kedua adalah
poros pusat. Karakteristik poros pusatadalah adanya pusat utama eksotis yang besar. Termasuk
dalam poros ini adalahporos Persia, New England, dan Asia Timur. Masing-masing mewakili
sumbereksotis Mesopotamia, Amerika Utara, dan Timur Jauh.
NKRI berdasarkan lokasinya merupakan bagian dari poros perantara. Walaubegitu, situasi ini
sebenarnya situasi yang baru. Di masa lalu, NKRI adalah sebuahporos ganda: perantara sekaligus
pusat. Poros perantara ada di Malaka sementaraporos pusat ada di Maluku, hal ini berkenaan dengan
adanya kendali kerajaan yangterdapat di sana yang menguasai rempah-rempah dan memainkan
peran sebagaiaktor pada poros maritim pada saat itu. Dalam situasi modern, NKRI lebih ada pada
poros perantara karena meredupnya kemampuan perdagangan Indonesia Timurakibat penjajahan
dan orientasi darat serta menguatnya berbagai pesaing,termasuklah Singapura. Berpijak pada fakta
tersebut, maka dapat dideskripsikanbahwa peran perdagangan memiliki andil yang sangat besar di
dalammempengaruhi suatu wilayah, daerah atau negara dalam perannya sebagai porosmaritim, yaitu
yang memegang kontrol atau kendali dalam memanfaatkan wilayahatau kawasan maritim dalam
konteks poros maritim. Jadi dapat disimpulkan secaraobyektif bahwa faktor ekonomi merupakan
faktor terpenting untuk menggiringsebuah bangsa dan negara menjadi aktor utama dalam poros
maritim.
5.14 Berbagai Poros Maritim Duniaa. Poros maritim Klasik
Terdapat beberapa poros maritim klasik yang sempat mendominasikegiatan maritim dunia
sepanjang sejarah. Poros-poros ini tersebar diberbagai kawasan yang beriringan dengan keberadaan
kekuatan militer besardi kawasan tersebut. Pertama, poros maritim kepulauan Yunani yang
terletakdi kawasan Mediterania Timur, melingkupi kawasan Laut Adriatik danmenghubungkan tiga
benua: Eropa, Asia, dan Afrika Poros ini berkembangpada masa Yunani Kuno semenjak masa pra-
Sokratik hingga masa modern.Kedua, poros maritim Mediterania Barat yang mengapit benua Eropa
danAfrika. Kawasan ini berkembang pada era Romawi dan terus berkembanghingga era
Penjelajahan Samudera. Ketiga, poros maritim Persia yang menghubungkan Timur Tengah, Afrika,
dan India.
Poros ini telahberkembang sejak masa Mesopotamia dan terus berkembang di masa kiniberkat
penemuan minyak di kawasan Timur Tengah. Keempat, poros maritimNew England yang
menghubungkan Amerika Utara dan Eropa. Poros ini muncul pertama kali ketika bangsa Eropa
menemukan benuaAmerika dan berperan penting dalam pembentukan Amerika Serikat danKanada.
Kelima, poros maritim Nusantara. Poros ini menghubungkan India dan Tiongkok, dua peradaban
besar yang telah hadir sebelum masa sejarahdi Nusantara sendiri. Ia merupakan bagian dari sistem
yang lebih luas yangdisebut sistem maritim Samudera Hindia yang merentang dari Afrika
hinggaAsia Tenggara, menyatukan poros maritim Persia dan Nusantara. Karenanya, poros ini telah
262 Bisnis Maritim

sangat tua dan berperan besar dalam membentukkebudayaan di Nusantara yang terpengaruh oleh
kebudayaan India, TimurTengah, dan Tiongkok.
5.15. Poros Maritim Modern
Peta maritim dunia telah berubah di masa modern ini akibatkebangkitan Tiongkok yang
memiliki surplus SDM yang besar. Pada dasarnyahanya tersisa dua poros maritim dunia di era
modern ini, yaitu poros maritimNusantara dan poros maritim Asia Timur. Poros maritim Asia Timur
adalahporos maritim baru yang dikuasai oleh Korea Selatan dan Tiongkok. Porosmaritim Nusantara
tetap berada di tangan Singapura. Poros lainnya sepertiYunani, Mediterania, New England, dan
Persia, telah kalah bersaing.
Walau begitu,Yunani tetap mampu memperoleh banyak manfaat dari sejarahkelautan yang
panjang lewat armada lintas samudera yang telahdibangunnya. Yunani saat ini merupakan negara
terbesar dalam kelautandengan mengendalikan 16% armada kapal dunia dalam hal tonase.
Jepangwalaupun kalah dalam persaingan di poros Asia Timur tetap mampumendapat banyak
manfaat lewat armada penangkap ikan yangmemanfaatkan keterbukaan geografisnya dengan
Samudera Pasifik.Keberlangsungan poros maritim Nusantara hingga masa moderndibandingkan
poros maritim lain di dunia menunjukkan bahwa kawasan AsiaTenggara merupakan kawasan yang
sangat strategis dan berperan dalammenentukan kegiatan pelayaran dan perdagangan dunia. Walau
begitu,pemain utama di poros maritim Nusantara bukanlah Indonesia.
Ukuran lautanyang besar tampaknya justru menjadi kendala dibandingkan pemain utamanya,
Singapura, yang merupakan negara terkecil di poros ini. Meskipunsebagai negara yang luas
wilayahnya tidak seberapa, terlebih dibandingdengan negara tetangganya Malaysia dan Indonesia,
akan tetapi Singapuratelah memiliki perhatian yang begitu besar terhadap peran kemaritiman
didalam mendukung optimalitas perekonomian negaranya. Sehingga negarayang sangat minim
dengan kandungan sumber daya alam ini telah menjadiraksasa ekonomi dengan hanya
memanfaatkan sektor kelautan dankemaritiman. Hal ini sangat bertolak belakang dengan kondisi
yang ada diIndonesia. Sebagai sebuah negara yang luas perairannya lebih dominan dariluas daratan,
ternyata Indonesia sejauh ini belum memberikan perhatianserius dalam memanfaatkan geostrategis
negara yang merupakan potensiyang sangat eksotik.
Padahal ketika kembali berpijak dengan obyektifitassejarah Nusantara, maka dua kerajaan
besar di wilayah negara ini telahsangat optimal memanfaatkan wilayah Nusantara untuk mencapai
predikatgemilang menuju kemegahan sebuah peradaban.
5.16 Persaingan antar Negara di dalam Poros Maritim
Semua poros maritim mengalami persaingan antar negara. PorosYunani merupakan kawasan
persaingan Romawi dan Yunani, porosmediterania menjadi persaingan antara Umayah dan Spanyol,
poros Persiamenjadi persaingan antara negara-negara Teluk (Irak, Iran, Kuwait, ArabSaudi, Bahrain,
dan Uni Emirat Arab), poros New England menjadipersaingan Kanada dan AS, poros Nusantara
menjadi persaingan Malaysia,Singapura, dan Indonesia, dan poros Asia Timur menjadi
persainganTiongkok, Korea Selatan, dan Jepang. Dari semua kasus, Yunani, Umayah,Uni Emirat
Arab, AS, Singapura, dan Tiongkok menjadi negara pemenang disetiap poros.Terdapat empat faktor
yang menyebabkan kemenangan negara-negara ini. Pertama, armada samudera. Yunani berhasil
menang dalampersaingan di porosnya karena orientasinya bukan saja lokal, namun global.Kapal-
kapal berbendera Yunani dapat ditemukan di berbagai pelabuhan didunia, jauh dari porosnya. Hal
ini memberikan sarana pemasaran yang baiksekaligus strategi menjemput bola yang memungkinkan
ketertarikan dari
pihak-pihak yang ingin berdagang di kawasan tersebut. Kedua, invasi militer.Umayah
memenangkan persaingan di poros Mediterania ketika ia berhasilmenaklukkan Afrika Utara,
menyeberang ke Semenanjung Iberia danakhirnya menaklukkan Spanyol. Invasi ini memungkinkan
seluruh wilayahporos dikuasai dan negara mampu memonopoli kawasan.Ketiga, pembangunan
Kondisi Maritim Indonesia, Kondisi Perdagangan Nasional, Kondisi 263
Pelabuhan dan Pelayaran Nasional dan Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia

ekonomi secara agresif. Uni Emirat Arab danSingapura memenangkan persaingan di kawasan Persia
dan Nusantarakarena memiliki agresivitas tinggi dalam pembangunan infrastruktur.Pembangunan
ini tentunya ditopang oleh aliran dana besar. Dalam kasus UniEmirat Arab, kelimpahan minyak
bumi memungkinkan hal ini sementaradalam kasus Singapura, investasi dari negara-negara
berkompeten sangatmembantu menggerakan ekonomi negara tersebut. Pembangunaninfrastruktur
ini menarik kapal-kapal untuk memilih bersandar di negaratersebut ketimbang negara pesaingnya.
Keempat, sumber daya manusiayang sangat besar. AS dan Tiongkok berhasil menang karena
jumlahpenduduk yang jauh melebihi para pesaingnya. Jumlah personil kelautanyang besar ini
membuat produktivitas yang tinggi dari kedua negara dalammemproduksi barang-barang eksotis
yang akan dijual di negara lain.
5.17 Keruntuhan Poros Maritim
Pada akhirnya, poros Yunani, Persia, New England, dan Mediteraniaharus redup dan tak lagi
menjadi poros dunia. Poros Yunani runtuh karenablokade Usmaniyah, kemelut politik, dan
perkembangan terusan Suez. PorosPersia runtuh karena menipisnya cadangan minyak dan
konflikberkepanjangan. Poros New England runtuh karena jenuh dan orientasi duniaterarah ke
Pasifik. Poros Mediterania redup karena sepeninggal Umayah,negara-negara Iberia terorientasi pada
penjelajahan samudera yang lebihmenjanjikan. Dari gambaran ini, Indonesia perlu belajar untuk
menjagakeberlanjutannya jika telah menjadi poros maritim dengan menjagakeamanan dan
pertahanan, stabilitas politik, dan terus melakukan eksplorasisumber-sumber eksotis.
5.18 NKRI sebagai Poros Maritim Dunia
Untuk dapat membangkitkan Indonesia sebagai sebuah poros maritim dunia,ada dua jalan:
mengalahkan Singapura atau menjadi sebuah poros pusat. Opsi pertama akan sangat sulit karena
Singapura telah jauh meninggalkan Indonesia danmemiliki kampanye negatif yang efektif
dalam menjauhkan kapal-kapal dari kawasanlaut dalam Indonesia. Selain itu, budaya konsumtif dan
orientasi darat yang telahsangat lama terjadi di Indonesia harus terlebih dahulu dihilangkan sebelum
berupayamengalahkan Singapura.Opsi yang lebih mungkin adalah menjadikan kembali Indonesia
sebagai porossentral.
Hal ini dilakukan dengan menggiatkan kembali perdagangan laut dalamIndonesia, menjamin
keamanan pelayaran di laut dalam, dan upaya promosi gencarproduk-produk khas Indonesia ke
pasar mancanegara. Upaya ini dilakukan secaramerata agar seluruh kawasan Indonesia dapat
memperoleh aliran pelayaran yangseimbang. Potensi-potensi sebenarnya ada dan tinggal di bawa ke
permukaan lewatupaya pemasaran yang agresif. Papua masih belum banyak dieksplorasi
padahalmemiliki sumberdaya yang langka dan bernilai jual tinggi, begitu pula Kalimantan,Sulawesi,
dan Nusa Tenggara.Berpijak pada potensi alami yang dimiliki oleh Indonesia, maka
geostrategisNKRI merupakan suatu alasan krusial yang tidak dapat dibantahkan lagi; menjadisuatu
variabel utama dalam peran Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Luaswilayah (Dua pertiga
kawasan Asia Tenggara adalah wilayah kedaulatan Indonesia.
Selain itu, dua pertiga perairan Asia Tenggara merupakan perairan yurisdiksiIndonesia) dan
bentuk negara yang merupakan negara kepulauan sertakestrategisan letak negara (Indonesia terletak
pada posisi silang, yakni di antara duabenua, yaitu Benua Asia dan Australia; serta di antara dua
samudera, SamuderaHindia dan Samudera Pasifik), menjadi faktor pendorong utama dalam
mengukurkemampuan Indonesia dalam menyandang predikat tersebut. Dari bahasan sebelumnya
telah dijelaskan beberapa faktor yang menjadikunci kemenangan berbagai negara pada persaingan
dalam poros maritim, yaituarmada samudera, invasi militer, pembangunan ekonomi secara agresif
dan sumberdaya manusia yang sangat besar. Indonesia memiliki tiga strategi
untuk menjadikandirinya poros maritim dunia baru. Strategi invasi militer merupakan strategi
yangtidak mungkin, sementara strategi armada samudera, pembangunan infrastruktur,dan
264 Bisnis Maritim

pengembangan sumberdaya kelautan adalah strategi yang sangat mungkin bagiIndonesia. Sebagai
salah satu negara terbanyak penduduknya di dunia, pemerintahtinggal mengarahkan masyarakat
agar tertarik pada mata pencarian di bidangkelautan. Penganggaran yang lebih baik dapat dilakukan
untuk mendorongpembangunan infrastruktur yang membantu penyaluran hasil kreatifitas
maupunsumberdaya alam negara lewat laut.
Begitu pula, posisi Indonesia yang berbatasandengan dua samudera sekaligus memungkinkan
negara ini untuk mengembangkanarmada samudera untuk kawasan barat (Sumatera Jawa) maupun
timur (Maluku Papua) yang menjelajah Samudera Hindia dan Pasifik. Presiden Joko Widodo pada
Pertemuan Puncak Asia Timur (EAS) memaparkan lima pilar yang akan dilaksanakan Indonesia
sebagai poros maritim dunia, yaitu (1)Pembangunan budaya maritim (2) Komitmen menjaga dan
mengelola sumber dayalaut dengan fokus membangun kedaulatan pangan laut melalui
pengembanganindustri perikanan dengan menempatkan nelayan sebagai pilar utama (3) Komitmen
mendorong pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim denganmembangun tol laut,
pelabuhan laut dalam, logistik, dan industri perkapalan, sertapariwisata maritim. (4) Diplomasi
maritim yang mengajak semua mitra Indonesiauntuk bekerja sama pada bidang kelautan (5) Sebagai
negara yang menjadi titiktumpu dua samudera, Indonesia berkewajiban membangun kekuatan
pertahananmaritim. Kelima pilar tersebut merupakan pondasi yang ideal untuk
memudahkanpencapaian dalam program poros maritim dunia yang dicanangkan oleh
pemerintah.Kelima pilar tersebut menjadi pedoman bagi pemerintah dalam
mengalokasikanpembangunan kemaritiman pada berbagai bidang yang terkoneksi dalam
aspekkemaritiman tersebut. Namun demikian, untuk mencapai keberhasilan programPoros Maritim
Dunia, pemerintah harus benar-benar menerapkan kelima pilartersebut yang disertai pengawasan
dan evaluasi sehingga program tersebut dapatberjalan secara signifikan.
a. Kesepakatan Bangsa Sebagai Poros Maritim Dunia
Kelengahan sekian lama yang telah meninabobokan Indonesi sehingga jauh dari peran yang
menjadi kodrat sesungguhnya; harus dibayarmahal. Hal ini dapat dilihat dari pemanfaatan hasil laut
yang masih jauh dibawah standar normatif. Bahkan kerugian dari sektor perikanan, setiap
tahunIndonesia menderita kerugian sekitar Rp 300 triliun akibat kasus pencurianoleh kapal asing.
Belum lagi kerugian dari pencurian BMKT (barang muatankapal tenggelam) yang dilakukan oleh
asing maupun masyarakat lokal. Dapatpenulis katakan bahwa kemunduran wilayah ini, ketika masih
bernamaNusantara atau belum optimalnya kemajuan negara saat ini; dikarenakanbelum adanya
gerakan kembali ke laut yang tentu saja harus diikuti dengansebuah kesepakatan seluruh bangsa.
Kesepakatan merupakanpenyederhananaan keinginan, tuntutan dan kepentingan. Jadi artinya
seluruhbangsa harus bersanding untuk benar-benar melaksanakan programkemaritiman secara
krusial sehingga Indonesia dapat menuju sebagai PorosMaritim Dunia. Hal ini dapat penulis katakan
adalah cita-cita yang sangatmasuk akal.
Alasan pertama adalah karena geostrategis negara yang memang sangat unik dan merupakan
alur pelayaran banyak kapal dariberbagai negara dengan berbagai kepentingan pula. Kedua,
sejarahNusantara telah mendeskripsikan secara tegas bahwa kerajaan besar yangterdapat di tanah air
memanfaatkan aspek kemaritiman secara krusialsehingga mampu mengoptimalkan perannya dalam
poros maritim nusantaraklasik.Kesepakatan seluruh bangsa Indonesia merupakan kata kunci
untukmenyukseskan Poros Maritim Dunia yang telah diprogramkan pemerintah.Sesungguhnya
dengan adanya kesepakatan secara universal, maka penulisbegitu yakin bahwa persoalan bangsa
yang sedang dihadapi akan dapattereliminir bahkan dientaskan secara kualitatif. Ketika kesepakatan
untukmenggerakkan diri sebagai Poros Maritim Dunia telah dilaksanakan olehseluruh bangsa
dengan rangkaian gerakan yang sama, maka secara sinergisgerakan tersebut akan menciptakan
kerjasama terbaik dan menghasilkanaplikasi yang sinergistik (Teori Sinergitas; James A.F. Stoner
and CharlesWankel, 1986).
Kondisi Maritim Indonesia, Kondisi Perdagangan Nasional, Kondisi 265
Pelabuhan dan Pelayaran Nasional dan Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia

Ketika kita berpijak pada Teori Siklus, yang menjelaskan mengenaisiklus suatu keadaan atau
situasi, baik dalam lingkaran mikro ataupun makro,maka alasan mendasar sehingga terjadinya suatu
siklus adalah alasangeografi. Maka bukan sesuatu yang mustahil apabila kebesaran Sriwijaya
danMajapahit akan kembali terulang dalam episode yang berbeda manakalaimplementasi menuju
Poros Maritim Dunia teraplikasi sesuai dengan tatananyang ideal. Hal ini sesuai dengan pendapat
seorang pengamat militer danpertahanan, Connie Rahakundini Bakrie, yang menyatakan kalau
Indonesiapaham betapa pentingnya posisi geopolitiknya, sebenarnya Indonesia bisamenjadi lebih
kuat dibandingkan Sriwijaya dan Majapahit.
Linear denganpendapat tersebut, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyatakan
bahwa masa depan Indonesia berada di laut, seperti jugaNusantara pernah jaya pada masa lalu
karena laut. Kejayaan Indonesia akan menjadi kenyataan manakala kesepakatanseluruh bangsa
Indonesia untuk kembali ke laut dengan jalanmengoptimalkan peran pemerintah dan rakyat
bersama-sama, akan menjadienergi yang besar sehingga program poros maritim dunia akan dapat
berjalanoptimal. Sriwijaya dan Majapahit ketika di masanya telah mengoptimalkangeostrategis
nusantara sebagai wilayah kekuasaannya yang secara dominanadalah lautan, optimalitas tersebut
adalah pilihan yang tepat sehingga keduakerajaan tersebut menjadi kerajaan besar yang disegani
oleh kerajaan-kerajaan lain dikarenakan kekuatan militernya yang berorientasi
kemaritiman,ekonomi yang berorientasi kemaritiman, sosial budaya yang berorientasikemaritiman,
sehingga aspek politik kedua kerajaan itu menjadi politik yangberdasarkan geostrategis yang
dimiliki.
5.19Maritime Doctrine
"Usahakanlah agar kita menjadi bangsa pelaut kembali. Ya, bangsapelaut dalam arti seluas-
luasnya. Bukan sekedar menjadi jongos-jongos dikapal, bukan. Tetapi bangsa pelaut dalam arti
kata cakrawala samudera.Bangsa pelaut yang mempunyai armada niaga, bangsa pelaut
yangmempunyai armada militer, bangsa pelaut yang kesibukannya di lautmenandingi irama
gelombang lautan itu sendiri."(Ir. Soekarno, 1953)
Presiden pertama RI telah menyadari bahwa bangsa Indonesia telahkehilangan jatidirinya
sebagai bangsa pelaut beratus-ratus tahun lamanyaakibat penjajahan bangsa asing serta disorientasi
bangsa yang diarahkanoleh penguasa pada masa itu dan semakin komplek permasalahannyakarena
penjajahan Belanda dan Jepang. Kesadaran berpijak padakemaritiman sebagai tolakan positif untuk
meningkatkan pembangunannegara sesuai dengan geografi wilayahnya, dilaksanakan oleh
PresidenJokowi dengan program menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia.Hal itu dapat
dilihat dari pidatonya yang berbunyi: Kita ingin menjadi bangsa yang bisa menyusun
peradabannya sendiri. Bangsa besar yang kreatif yang bisa ikut menyumbangkan keluhuran
bagiperadaban global. Kita harus bekerja dengan sekeras-kerasnya untukmengembalikan
Indonesia sebagai negara maritim. Samudra, laut, selat danteluk adalah masa depan peradaban
kita. Kita telah terlalu lamamemunggungi laut, memunggungi samudra, memunggungi selat
danteluk. Kini saatnya kita mengembalikan semuanya sehingga JalesvevaJayamahe, di Laut justru
kita jaya, sebagai semboyan nenek moyang kita di masa lalu, bisa kembali membahana (Ir. H. Joko
Widodo, 2014)
Ketika masa penjajahannya, Belanda berupaya secara optimal untukmenghilangkan semangat
persamaan yang dimiliki oleh bangsa ini. Salahsatu semangat yang dimiliki oleh bangsa Indonesia
adalah tumbuh sebagaibangsa pelaut. Kegagalan Cornelis de Houtman menginvasi Aceh
sehinggamenyebabkannya terbunuh pada tanggal 11 September 1599 Oleh Laksamana Malahayati
dengan kekuatan Maritimnya, merupakan pelajaranberharga yang tidak dapat dilupakan Belanda.
Menyikapi sejarah itu, makabelanda berupaya semaksimal mungkin untuk melaksanakan
266 Bisnis Maritim

pemutusanrantai kemaritiman rakyat Nusantara dengan berbagai cara. Adapun langkah-langkah


yang dilakukan Belanda antara lain
(1) Perjanjian Giyanti antarapihak kerjaan mataram dengan VOC pada 13 Februari 1755. Pada pasal
6dijelaskan bahwa Sri Sultan menyerahkan pulau Madura dan daerah-daerahpesisir jawa kepada
VOC. Sebaliknya VOC memberikan ganti rugi kepadaSri Sultan 10.000 Real tiap tahunnya
(2) Pada tanggal 30 Oktober 1787VOC mengeluarkan sebuah resolusi (surat perintah) yang berisi
pelaranganpembuatan kapal berbobot di atas 1200 tonase. Surat perintah ini berlaku diseluruh
wilayah jajahan VOC mulai dari Sabang hingga Merauke
(3)Melaksanakan pembunuhan karakter dan pemikiran masyarakat dengan jalanmelaksanakan
pemindahan profesi masyarakat yang semula berprofesisebagai pelaut dan ahli pembuat kapal
berganti profesi sebagai masyarakat agrari
(4) Penguasaan dan monopoli perkebunan pohon jati yangmerupakan bahan utama dalam
pembuatan kapal. Namun demikian, penghancuran sistem kemaritiman tidak hanyadilakukan oleh
bangsa penjajah saja, kebijakan Raja Mataram Amangkurat I(1647-1677). menghancurkan daerah-
daerah pesisir yang menjadi pusatperdagangan yang lepas dari kendalinya dan melarang rakyatnya
berdagangke seberang lautan serta pada tahun 1655 menutup semua pelabuhan danmemerintahkan
pasukannya menghancurkan seluruh kapal Jawa, jugamerupakan langkah linear dalam konteks itu.
Kondisi itu dimanfaatkan olehBelanda yang dalam hal ini adalah VOC untuk membangun
kantorperdagangan di pesisir dan pedalaman Mataram, mendorong Matarammenjadi kerajaan yang
sepenuhnya agraris. Sehingga pada masa Amangkurat III, VOC mendapatkan semua bandar laut
yang sebelumnya milikMataram (Tjiptoatmodjo, 1983: 190-191).
Harus kita sadari bahwa langkah-langkah yang dilakukan oleh Belanda untuk menghancurkan
karakter maritimbangsa telah berhasil. Bangsa yang dikenal sebagai bangsa pelaut itu
telahmeninggalkan kodratnya sejatinya. Geostragis yang dimiliki sebagai potensiyang luar biasa
terabaikan dalam kurun waktu yang sangat lama. Bahkanpasca kolonialisme pun aspek strategis
tersebut tidak diperhatikan secarasignifikan.Sebagai sebuah kodrat alamiah, kesadaran akan
pemberdayaangeostrategis wilayah negara tersebut pelan-pelan mulai terangkat kepermukaan.
Namun demikian, untuk mengembalikan hal tersebut menjadisebuah acuan yang optimal harus
dilakukan secara serentak pada semua linikehidupan berbangsa. Hal prinsip yang harus dilakukan
adalahmelaksanakan doktrin kemaritiman kepada seluruh rakyat mengenaipentingnya sektor
kemaritiman sebagai faktor utama dalam pembangunanbangsa dan negara. Salah satu cara yang
dapat dilakukan adalah
dengan jalan memberikan pendidikan kemaritiman kepada seluruh siswa dari tingkat dasar sampai
dengan perguruan tinggi sehingga akan melahirkan generasibangsa yang sadar mengenai kodrat
alamiahnya sebagai bangsa maritimyang besar. Dengan adanya Maritime Education, maka generasi
bangsatersebut akan menjadi generasi yang dapat melahirkan berbagai terobosanstrategis dalam
bidang kemaritiman, semisalnya teknologi maritim, strategimaritim, serta kebijakan-kebijakan
kemaritiman yang sangat berguna untukmembangun peradaban bangsa yang besar dari perspektif
bidang itu sendiri.
5.20 Gerakan Budaya Maritim
Romantisme masa lalu Nusantara dengan segala kebesaran ceritanyamengenai kemaritiman
telah pupus ditelan jaman serta berbagaipenyelewengan-penyelewengan kebiasaan yang akhirnya
menciptaka habit yang sangat jauh dari budaya kemaritiman itu sendiri. Disamping itu, telahterjadi
pelunturan figur perkasa dari bangsa maritim yang dimiliki bangsa iniserta hilangnya kisah-kisah
kepahlawanan maupun heroisme para pelaut.
Menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia tidak hanyamenjadi program pemerintah
sehingga hanya dilakukan oleh pemerintah saja.Namun harus diikuti oleh seluruh bangsa dengan
nama gerakan budaya.Budaya kemaritiman memang harus dihidupkan kembali sebagai akar
Kondisi Maritim Indonesia, Kondisi Perdagangan Nasional, Kondisi 267
Pelabuhan dan Pelayaran Nasional dan Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia

budayadari keaslian bangsa ini. Hal itu bukan merupakan sebuah gerakan yang tidakmungkin.
Dapat penulis katakan bahwa tidak ada kemustahilan dalam hal inikarena sejarah kita telah bercerita
secara obyektif betapa besarnya bangsakita dahulu dengan berbagai kerajaan maritim yang
menguasai berbagaibangsa di dunia dan menguasai pula tanah dan wilayah bangsa-bangsa itu.
Gerakan budaya maritim dipandang sebagai langkah yang sangatstrategis untuk menggerakan
roda peradaban kemaritiman Indonesia untukmencapai kesuksesan sebagai Poros Maritim Dunia.
Hal ini dikatakandemikian karena budaya menjadi aspek pokok untuk menggeliatkanketerlibatan
rakyat di dalam program yang dicanangkan pemerintah. Denganadanya keterlibatan rakyat dalam
aspek ini, maka tentu saja kepedulian danrasa memiliki rakyat untuk mensukseskan program Poros
Maritim Dunia menjadi energi yang utama dalam konteks ini. Cara yang sederhanamenggerakan
budaya maritim adalah dengan jalan men-trigger daerah-daerah pesisir untuk menghidupkan
kembali budaya maritim yang dimiliki.Kebesaran sejarah di daerah tersebut akan terangkat dan
dijadikan sebagaisimbol pergerakan kemaritiman yang konsisten. Disatu sisi, pemerintah haruspula
memberikan predikat kepada daerah-daerah yang memiliki potensikemaritiman yang strategis
sebagai daerah istimewah. Hal ini bertujuan untukmenciptakan asumsi positif dalam menggerakan
roda kemaritiman secarakrusial. Ketika budaya kemaritiman ini telah bergerak, tidak
menutupkemungkinan hal ini akan menjadi potensi strategis untuk memancingkedatangan turis,
baik lokal maupun manca negara sehingga dapatmeningkatkan devisa negara.
5.21 Peran TNI AL Dalam Poros Maritim Dunia
TNI AL dalam upaya menjadikan Indonesia sebagai poros maritim barumemiliki sejumlah
peran. Pertama, TNI AL berperan dalam melindungikepentingan negara di laut. Agar dapat menjadi
sebuah poros maritim,perairan Indonesia harus terlindungi. Adanya perlindungan yang kuat dari
TNIAL memungkinkan pemerintah untuk menjalankan program-program strategisyang penting
khususnya dalam mendorong ekonomi kelautan yang bertopangpada keluasan laut Indonesia. Tanpa
jaminan keamanan yang baik di laut,kapal-kapal dagang asing akan berpikir dua kali untuk
memasuki kawasanperairan Indonesia. Hal ini dapat menghambat upaya menjadikan kawasan
inimenjadi kawasan yang penuh dengan aktivitas kelautan. Ancaman dapatdatang dari dalam atau
dari luar NKRI. Tekanan dari Asia Selatan, AsiaTimur, Inggris, dan Amerika Serikat sejak lama
telah muncul dan akansemakin kuat jika mereka semakin menilai kawasan laut NKRI
sangatberharga namun memiliki TNI AL yang lemah. Kedua, TNI AL berperan dalam menjaga
otoritas pemerintah.Konsekuensi menjadi negara yang padat dengan kegiatan kelautaninternasional
adalah meningkatnya kemungkinan konflik otoritas. Setiap kapal asing dapat membawa otoritas
negara lain yang selain mendorong ekonomi,dapat pula membawa maksud tersembunyi yang
mengancam kedaulatanNKRI.
Selain itu, eksploitasi tidak sah dapat dilakukan kapal asing misalnyadengan mengangkut
barang atau manusia yang tidak diizinkan sesuai hukumnasional. TNI AL berperan besar dalam
menjaga agar hal ini tidak terjadidengan melakukan pemeriksaan dan menerapkan prinsip kehati-
hatian padalalu lintas armada asing di kawasan NKRI. Langkah ini kemudianmembutuhkan adanya
pergeseran KRI dari laut dalam ke laut perbatasan.KRI harus terlihat langsung di kawasan
perbatasan ketika kapal-kapal asingmemasuki perairan Indonesia sehingga terlihat bahwa mereka
mendapatkanpengawalan dan merasakan keamanan sejak awal memasuki laut Indonesia,bukan dari
kapal-kapal kecil tetapi langsung dari KRI. Strategi ini telahdilakukan pula oleh Tiongkok lewat
strategi Jinyang fangyu yang menggeserkapal perang mereka yang di masa perang dingin hanya
bertugas di lautpesisir menjadi penjaga kawasan perbatasan laut yang jauh, khususnya dikawasan
Laut Tiongkok Selatan.
Ketiga, TNI AL berperan sebagai manajer konflik di laut. Seperti halnyadi darat, konflik
dagang di kawasan laut dapat terjadi antar sejumlah kapaldari beberapa negara. Sebagai contoh,
268 Bisnis Maritim

situasi seperti ini telah terjadi antaraInggris dan Amerika Serikat dalam kawasan perdagangan
Pasifik Hal inimenjadi lebih penting lagi ketika terjadi kasus yang melibatkan armada
kapalinternasional dengan ancaman dari dalam negeri misalnya pembajakan ataukonflik bersenjata
dengan pemberontak yang menyasar pada kapal asing dilaut Indonesia.Keempat, TNI AL berperan
sebagai pendorong pertumbuhan ekonomikelautan. Upaya TNI AL dalam mendorong ekonomi
kelautan dapatdijalankan dengan tiga cara. Pertama, dengan mengawasi adanyapencemaran dan
eksploitasi laut yang tidak berkelanjutan. Tumpahan minyakatau pukat harimau dapat mengancam
mata pencaharian penangkap ikandan akan semakin besar frekuensinya jika banyak terdapat kapal
besar dan tanker yang melintasi laut NKRI. Kedua, menjaga keseimbangan ekosistemikan dan
transportasi laut.
Armada laut yang besar dapat memberikangangguan bagi ekosistem ikan sehingga mendorong
menurunnya jumlah ikanakibat stress lingkungan, baik secara langsung lewat pencemaran,
maupunsecara tidak langsung lewat menurunnya aktivitas perkembangbiakan. Hal inikemudian
akan menurunkan produktivitas nelayan sehingga pada gilirannya,kapal-kapal yang ada hanya
merupakan kapal-kapal dagang berbasisekonomi darat, bukan ekonomi laut. Karenanya, dibutuhkan
wahanapenyeimbang yang melibatkan sejumlah pihak seperti LSM, KementerianPerikanan,
Kementerian Lingkungan Hidup, dan TNI AL. Ketiga, mendorongkemandirian perikanan. Finlandia
baru-baru saja melakukan studi untukmeningkatkan produksi ikan di negara ini yang menghasilkan
sejumlahrekomendasi Tidak ada alasan untuk menolak studi sejenis dilakukan dinegara ini. TNI AL
bertugas menjaga agar implementasi dari rekomendasiyang dihasilkan dalam upaya peningkatan
ekonomi perikanan ini dapatberjalan dengan baik.
Strategi & Kebijakan Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia.

Tiga Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) merupakan lorong lalu lintas maritim dunia.
Dua samudera strategis itu juga menyimpan kekayaan besar --energi dan sumberdaya laut lainnya
yang akan menentukan masa depan kemakmuran di kawasan.
Indonesia berada tepat ditengah-tengah proses perubahan strategis itu, baik secara geografis,
geopolitik, maupun geo-ekonomi.
Oleh karena itu, sebagai negara maritim, Indonesia harus menegaskan dirinya sebagai Poros
Maritim Dunia, sebagai kekuatan yang berada di antara dua samudera: Samudera Hindia dan
Samudera Pasifik.
Posisi sebagai Poros Maritim Dunia membuka peluang bagi Indonesia untuk membangun
kerjasama regional dan internasional bagi kemakmuran rakyat. (Bisnis.com, JAKARTA Pidato
Presiden Indonesia, Joko Widodo di East Asia Summit (EAS)).
Pidato yang disampaikan Presiden Joko Widodo tersebut mewakili visi dan gagasannya
mengenai Poros Maritim Indonesia, dalam pidato tersebut beliau juga menyampaikan mengenai
lima pilar utama yang harus diperhatikan dalam rangka mewujudkan visi dan gagasan yang beliau
sampaikan.Berikut kelima pilar utama tersebut :
1. Membangun kembali budaya maritim Indonesia
2. Menjaga dan mengelola sumber daya laut
3. Memberi prioritas pada pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim
4. Melalui diplomasi maritim, mengajak semua mitra-mitra Indonesia untuk bekerjasama di
bidang kelautan
5. Membangun kekuatan pertahanan maritim
Melalui kelima hal tersebut, Pak Jokowi yakin Indonesia akan menjadi Poros Maritim Dunia,
kekuatan yang mengarungi dua samudera, sebagai bangsa bahari yang sejahtera dan berwibawa.
Melihat hal tesebut dapat di lakukan analisis mengenai peluang dan tantangan yang harus dihadapi
Kondisi Maritim Indonesia, Kondisi Perdagangan Nasional, Kondisi 269
Pelabuhan dan Pelayaran Nasional dan Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia

Indonesia dengan kebijakan yang sudah dirumuskan oleh bapak Presiden Joko Widodo. Fungsi-
fungsi Bisnis

Berikut ini merupakan pembahasan untuk fungsi- fungsi bisnis yang ada di dalam perusahaan
Perusahaan.

1. Pemasaran

Perusahaan memiliki cara untuk melakukan analisis terhadap konsumen melalui


pengamatan secara umum saja, melakukan pendekatan, pencatatan permasalahan- permasalahan di
lapangan, keluhan-keluhan konsumen dan mengontrol keperluan/kebutuhan operasi kapal agar
tidak terhambat dalam operasional. Perencanaan biaya operasional perusahaan meliputi: biaya
bahan bakar minyak solar, biaya keagenan, biaya spareparts kapal, biaya dokumen kapal dan
piutang pihak ketiga. Perusahaan melakukan analisis terhadap peluang. Salah satu upaya
perusahaan dalam menghasilkan produk yang berkualitas adalah dengan melalui memberikan
pelayanan yang terbaik kepada konsumen/klien. Selain itu perusahaan juga melakukan kegiatan
promosi atas jenis produknya ke khalayak umum dengan melalui kartu nama, kalender, word of
mouth, dan brosur dengan sistem pemasaran atau distribusi secara langsung dari perusahaan kepada
konsumen/klien.

2. Keuangan

Perusahaan menggunakan gabungan dari modal sendiri dan pinjaman bank. Pemegang
saham yang besar/kecil nilainya diatur didalam AKTA pendirian perusahaan yang dibuat oleh
Notaris berdasarkan SK. Menteri Hukum dan HAM RI. Posisi modal perusahaan jika ditinjau dari
analisis keuangan, untuk saat ini biaya permodalan perusahaan belum cukup untuk kegiatan
operasional sehingga perlu mendapatkan suntikan dana dari pihak ketiga untuk ekspansi armada
baru. Modal untuk pendanaan operasional perusahaan saat ini belum mencukupi sebab dana
operasional cukup besar untuk menutupi biaya armada baru, dilihat dari jadwal dan perhitungan
angsuran bank belum selesai. Sistem penganggaran yang dilakukan Perusahaan untuk memenuhi
kebutuhan perusahaan dilakukan dengan sistem penganggaran dan pencacatan pinjaman bank yang
dicairkan sesuai dengan kebutuhan serta dilakukan pencatatan setiap transaksi biaya keluar atau
masuk mulai buku harian kemudian sampai ke buku bank atau buku besar. Kebijakan dividen yang
diterapkan perusahaan adalah devidennya setiap tahun dibagikan/akhir periode sesuai dengan
porsi/presentasi pemegang saham. Upaya perusahaan untuk menjalin hubungan dengan investor dan
pemegang saham dengan cara melakukan kerjasama dalam meningkatkan hubungan kerja secara
operasional yang dituangkan dalam suatu surat perjanjian kerja dengan kriteria bagi hasil, selalu
menjaga hak dan kewajiban tepat pada waktunya.

3. Produksi/Operasional
270 Bisnis Maritim

Perusahaan merancang alur kegiataan operasional dimulai dari perencanaan biaya


(perawatan kapal, pembeliaan keperluan navigasi kapal, biaya minyak solar, dokumen kapal,
keagenan, ransum kru kapal, gaji , premi). Kemudian peninjauan tempat/lokasi muatan sampai
kepada lokasi bongkar, menghitung jarak tempuh pelayaran kapal dalam mile laut, menghitung
harga sewa kapal sampai kepada keputusan sewa kapal yang dituangkan dalam kontrak sewa
kerja kapal (apakah menggunakan harga Freight Charter/kubikasi/matrixton atau time charter/
bulanan). Jumlah armada kapal yang disewakan oleh perusahaan untuk konsumen sekarang ada 8
kapal yang beroperasional (tugboat dan barge) masing-masing: 2 (dua) set muat/tarik kayu logs dan
6 (enam) set muat/tarik batu bara. Perusahaan pada bagian operasional memiliki cara dalam
mengelola angkatan kerja untuk mendukung proses operasional, yaitu selektif memilih dan
menempatkan tenaga kerja yang profesional di bidangnya, mengetahui medan pelayaran, sehat
jasmani, ijazah dan CV angkatan kerja, umur kurang lebih 35 tahun (senior), dilihat dari
pengalaman kerja. Jika kondisi pribadi bagus calon pegawai dapat diangkat kerja berdasarkan posisi
yang ditentukan perusahaan. Kualitas armada yang dimiliki perusahaan cukup bersaing serta sesuai
dengan kondisi alam di wilayah Indonesia yang perlu armada tangguh. Armada diperkuat
teknologi modern seperti bentuk dan postur body kapal yang memiliki stabilitas baik, alat navigasi
modern, perwira dan kru kapal terorganisir serta mengetahui medan pelayaran. Saat ini yang
ditingkatkan adalah pelayanan kepada konsumen serta persaingan harga.

4. Penelitian dan Pengembangan (Litbang)

Penelitian dan pengembangan oleh perusahaan sangat diutamakan untuk menghadapi pasar
global maritim. Saat ini perusahaan telah memesan 2 unit ponton berukuran lebih besar yaitu 300 ft
dengan daya angkut: 8000 M3 dari Shanghai. Pengembangan perusahaan yaitu pembangunan
armada kapal baru. Misi bagian litbang untuk mendukung tujuan perusahaan, sebagai berikut:

a. Menjadikan Perusahaan terdepan dalam maintenance dan pelayanan (service) terhadap


konsumen.

b. Bersaing dengan perusahaan yang lain dan menjadikan Perusahaan go international.


Litbang menghasilkan kualitas armada yang handal dan SDM yang prima. Hasilnya perusahaan
menjadi lebih besar yang dapat dilihat dari kenaikan jumlah armada kapal yang terus bertambah.
Saat ini sedang dibuat kapal ke 9 dan 10.

5. Sistem Informasi Manajemen

Sistem informasi manajemen setiap departemen akan mengetahui kejadian/transaksi di


lapangan sehingga memudahkan mencatat dan membuat data serta studi perbandingan apa yang
perlu ditambahkan di masing-masing departemen. Pada bagian pemasaran pengumpulan data
hanya melalui pengamatan, bagian keuangan dari invoice yang ada, bagian operasional dari
pengamatan di lapangan serta urusan surat kapal dan bagian personalia dari lamaran kerja yang
masuk. Penyimpanan data dalam perusahaan dilakukan secara standar, yaitu data yang ada
dimasukkan dalam komputer di input-output dan file disimpan ke dalam flashdisk. Metode
pengelolahan data yang digunakan perusahaan adalah melalui database.
Kondisi Maritim Indonesia, Kondisi Perdagangan Nasional, Kondisi 271
Pelabuhan dan Pelayaran Nasional dan Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia

Analisis Eksternal Perusahaan Lingkungan Makro

1. Kekuatan Ekonomi

Inflasi sangat berpengaruh pada perencanaan anggaran biaya, khususnya pada pos tertentu
seperti projek pembangunan kapal dan instrumennya. Fluktuasi harga umumnya berpengaryh pada
plat kapal, mesin kapal, alat navigasi kapal, borongan kapal, biaya sewa tempat pembangunan kapal
dan transportasi barang. Semua itu sangat terasa pengaruhnya dalam budget project tersebut. Suku
bunga bank tidak terlalu berpengaruh terhadap perusahaan. Apabila suku bunga bank tidak stabil
atau cenderung naik meskipun perusahaan memiliki target standar, perusahaan tetap mengatur
kewajiban untuk membayar kewajiban - kewajibannya.

2. Kekuatan Sosial, Budaya, Demografis dan Lingkungan

Faktor-faktor sosial yang berpengaruh terhadap perusahaan adalah kepercayaan, nilai,


sikap, opini, gaya hidup, orang-orang di lingkungan, pengaruh kultur, agama, pendidikan demografi
dan etnik. Faktor-faktor budaya yang berpengaruh terhadap perusahaan seperti budaya sopan
santun, tata karma, saling menghargai antara bawahan dan atasan agar sebagai pimpinan selalu
terjaga dan kegiatan pelaksanaan tugas tetap terlaksana dengan sistematis. Faktor-faktor
demografis yang berpengaruh terhadap perusahaan adalah wilayah RI yang cukup luas sehingga
industri pelayaran membutuhkan armada yang handal dan faktor tata letak daerah kantor dan posisi
kantor Perusahaan dengan perkantoran pemerintahan. Faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh
terhadap perusahaan seperti ada mall dan tempat hiburan yang berdekatan dengan lokasi kantor.

3. Kekuatan Pemerintah, Politik dan Hukum

Faktor-faktor pemerintah baik pusat maupun daerah yang berpengaruh terhadap


perusahaan adalah faktor konsep kebijakan pemerintah pusat yang tidak membangun daerah dan
cenderung memperlambat. Faktor-faktor politik yang mempengaruhi terhadap perusahaan
adalah adanya kebijakan pemerintah terhadap kenaikan bahan bakar minyak (BBM). Faktor-
faktor hukum yang berpengaruh terhadap perusahaan adalah faktor ketidakpastian hukum akibat
politik berkepanjangan. Ketidakpastian hukum yang dimaksud oleh perusahaan diantaranya
mengenai peraturan PPh dan PPn.

4. Kekuatan Teknologi
272 Bisnis Maritim

Perusahaan memanfaatkan teknologi untuk mendukung aktivitasnya untuk menyiasati


keusangan serta perusahaan dapat bangkit dengan inovasi. Bentuk pemanfaatan tersebut adalah
absen karyawan kantor menggunakan alat bernama Nikeda Type: NU.2821, dan CCTV dengan
monitor di setiap sudut di ruang kantor. Kapal menggunakan alat ukur kedalaman air seperti
echosounder, alat pengukur kecepatan kapal seperti GPS (Global Posistioning System), radar
pengukur jangkauan jarak dari suatu tempat lainnya misalnya jarak dari satu kapal ke
kapal lainnya dalam kondisi berlayar, Radio SSB (Single Sideband) alat komunikasi jarak jauh dan
sebagai hubungan komunikasi dari kapal ke kantor atau sarana komunikasi sewaktu-waktu
diperlukan bila terjadi SOS. Beberapa mesin kapal perusahaan dibeli dari Cina. Teknologi tersebut
mempersingkat jangkauan komunikasi perusahaan.

5. Kekuatan Kompetitif

Perusahaan memiliki beberapa pesaing dalam menjalankan usahanya. Pesaing-pesaing


tersebut adalah sesama usaha pelayaran dengan kategori perusahaan pelayarannya besar, menengah
atau kecil. Contohnya seperti perusahaan pelayaran lain yang memiliki armada cukup banyak di atas
50 set tugboat dan ponton (tongkang) dikategorikan sebagai pesaing besar. Pesaing besar
perusahaan memegang pangsa pasar industri pelayaran kurang lebih sebanyak 25%. Perusahaan
yang berkategori menengah memegang pangsa pasar industri pelayaran sekitar 10%.

Lingkungan Mikro (Industri)

1. Ancaman Pendatang Baru

Kebijakan pemerintah tidak ada batasan untuk pendatang baru lokal. Sebaliknya
pemerintah memberikan kemudahan-kemudahan kepada pendatang baru, khususnya pelayaran dari
luar negeri, untuk membuka usaha seluas- luasnya di tanah air. Dampak yang ditimbulkan dari
hadirnya pendatang baru adalah tingkat pendapatan lokal menurun karena harga di sekitar daerah
atau lokasi angkutan bersaing. Dampaknya terhadap perusahaan menyebabkan harga (freight
charter) turun dan lokasi muat harus mengantri. Dalam hal ini, upaya perusahaan untuk
mengantisipasi pendatang baru adalah meningkatkan perawatan (maintenance) kapal, ditingkatkan
kerjasama antar departemen agar lebih professional dan mencari informasi tentang peluang baru
angkutan.

2. Kekuatan Daya Tawar Konsumen

Tingginya permintaan konsumen memberi pengaruh kekuatan daya tawar konsumen


terhadap perusahaan. Pengaruh tesebut adalah harga angkutan muatan (freight charter/time charter)
Kondisi Maritim Indonesia, Kondisi Perdagangan Nasional, Kondisi 273
Pelabuhan dan Pelayaran Nasional dan Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia

otomatis menurun dan berdampak terhadap perubahan biaya operasional dan peningkatan
pelayanan. Konsumen memiliki peran yang penting dalam menentukan tarif jasa pengangkutan
sebelum terjadi transaksi angkutan muatan dengan pemilik kapal dan barang, lalu membuat draft
kontrak dan pasal-pasalnya. Konsumen bisa menghitung biaya operasional dan peka terhadap
banyaknya penawaran kapal terhadap konsumen.

3. Kekuatan Daya Tawar Pemasok

Pemasok juga memiliki kekuatan dalam menekan harga perusahaan. Kekuatan pemasok ini
mengacu pada adanya tekanan pemasok dalam bisnis yaitu dengan menaikkan harga, menurunkan
kualitas, atau mengurangi ketersediaan produk mereka. Pemasok dari perusahaan yaitu para mitra
perusahaan dari perusahaan batubara, kayu, toko-toko, bengkel dan usaha dagang. Supplier batubara
adalah perusahaan yang bergerak dalam industri batubara. Ketergantungan perusahaan terhadap
pemasok tergantung sebesar produksi muatan yang perlu diangkut, tergantung dari kebutuhan dan
keperluan kapal atau kantor dan kebutuhan perlengkapan kapal. Kendala yang sering
dijumpai terhadap pemasok antara lain keterlambatan barang tiba di tempat/kantor/kapal, perubahan
harga dan permintaan kapal mendadak tidak dibuat perencanaan dari pemasok, sehingga
berakibat terlambatnya kapal tiba dilokasi muat karena kapal perlu diisi BBM dan persiapan
dokumen.

4. Produk/Jasa Pengganti

Perusahaan tidak memiliki jasa pengganti sehingga tidak ada keunggulan dan
kelemahan produk/jasa pengganti dibanding jasa dari perusahaan. Perusahaan belum perlu
melakukan langkah antisipasi dalam menanggapi kehadiran dari jasa pengganti sehingga tidak
perlu membandingkan produk subtitusi tersebut relatif murah dibandingkan dengan produk
perusahaan.

5. Persaingan dalam Satu Industri

Perusahaan memiliki beberapa pesaing besar yang memiliki armada cukup banyak di atas
50 set tugboat dan ponton (tongkang) dan pesaing lain yang memiliki level setara perusahaan
memiliki pangsa pasar sebesar 10%. Perusahaan dalam mengatasi para pesaingnya adalah dengan
cara mencari peluang-peluang atau muatan yang dibutuhkan, meningkatkan kapasitas produksi dari
standar menjadi lebih banyak/tinggi dan kualitas produksi lebih baik dari standar sebelumnya.

Berdasarkan uraian analisis faktor internal dan eksternal dan dari setiap matriks dalam
sub bab sebelumnya yang telah dijelaskan. Penulis dapat menyimpulkan menjadi satu dalam
temuan yaitu:
274 Bisnis Maritim

1. Direktur melibatkan semua manajer dalam perencanaan perusahaan, sehingga terbentuk


pemahaman yang komprehensif terhadap visi dan misi.

2. Kebijakan yang dirancang manajemen untuk meningkatkan kedisiplinan


karyawan adalah memberikan perhatian dan motivasi kerja terhadap semua lini manajerial,
dan menjelaskan fungsi agar tercapai target yang diharapkan perusahaan atau memberikan
surprise terhadap karyawan yang berprestasi.

3. Upaya yang dilakukan perusahaan untuk mencapai target penjualan sesuai yang ditetapkan
adalah:
a. Membuat perencanaan kerja
b. Membuat lobi-lobi kepada customer
c. Mengontrol lokasi kerja
d. Mengendalikan pekerjaan-pekerjaan yang over lost budgete. Menyiapkan armada
kapal dan SDM yang baik serta berkualitas

4. Perusahaan melakukan upaya untuk menjaga ketersedian armada dengan membuat jadwal
(time schedule), kapal lalu mengontrol kesiapan armada kapal dan kru kapal kemudian
mencatat seberapa banyak lokasi atau jetty yang harus muat (loading) agar teratur dan
terarah. Pengaturan jumlah kapal yang dibutuhkan konsumen (penyewa) dan apabila
kurang manajemen harus menyiapkan armada tambahan baru.
5. Bentuk penyajian informasi untuk mendukung pembuatan keputusan di perusahaan melalui
database dengan dibuatkan presentasi seperti laporan keuangan.
a. Bagian pemasaran menyajikan data dari data-data perusahaan di dalam komputer yaitu
penawaran masuk.
b. Bagian keuangan menyajikan informasi hanya dari laporan keuangan dengan Microsoft
Excel.
c. Bagian operasional menyajikan informasi dari database komputer seperti surat-
surat kapal, kontrak kerja dan CV karyawan.

6. Faktor lingkungan eksternal yang sangat berpengaruh bagi perusahaan perusahaan adalah
kekuatan ekonomi, kekuatan politik, serta pemerintahan dan hokum.

7. Selama ini belum ada jasa pengganti untuk persewaan kapal angkut barang, sehingga
persaingan hanya dengan perusahaan-perusahaan dengan bidang usaha sejenis.

8. Perusahaan berharap agar kebijakan pemerintah membatasi pendatang baru dari


luar negeri.

9. Perbandingan antara perusahaan dan pesaing berdasarkan faktor penentu keberhasilan,


yang terdiri dari: keahlian manajemen, kemampuan karyawan, jumlah armada, biaya sewa
kapal dan pelayanan pelanggan, di ketahui bahwa pesaing lebih unggul dibandingkan
Perusahaan. Hal tersebut dikarenakan kelima faktor penentu keberhasilan telah menjadi
fokus utama perusahaan.
Kondisi Maritim Indonesia, Kondisi Perdagangan Nasional, Kondisi 275
Pelabuhan dan Pelayaran Nasional dan Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia

Berikut beberapa definisi dan peranan Pelabuhan : Menurut Undang-Undang No. 21 Tahun
1992 tentang Pelayaran Pelabuhan adalah tempat yang terdiri dari daratan dan perairan di sekitarnya
dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan ekonomi yang
dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar berlabuh, naik turun penumpang maupun bongkar
muat barang yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan
penunjangpelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra dan antar moda transportasi. Menurut
Ensiklopedia Indonesia Pelabuhan adalah tempat kapal berlabuh(membuang sauh). Pelabuhan
modern cukup dilengkapi dengan los-los dan gudang besar,beserta pangkalan, dok dan crane yang
kuat untuk membongkar dan memuat perbekalan, batubara dan lain-lain. Menurut Bambang
Triatmodjo Pelabuhan adalah daerah perairan yang terlindung terhadap gelombang, yang
dilengkapai dengan fasilitas terminal laut meliputi dermaga di mana kapal dapat bertambat untuk
bongkar muat barang. Untuk menunjang dan memaksimalkan fungsi dan peranan nya dari sudut
tinjauannya (Bambang Triatmojo,2009) dan menurut kegiatannya (aji suraji). Dari segitinjauannya,
pelabuhan dibagi menjadi :

1. Segi penyelengaraa. Pelabuhan Umum Pelabuhan umum diselenggarakan dan berperan untuk
melayani kepentingan masyarakat umum. Penyelenggaraannya dilakukan oleh Pemerintahdan
pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada badan usaha milik Negara yang didirikan untuk maksud
tersebut. Pelabuhan khusus Pelabuhan khusus diselenggarakan dan berperan untuk melayani
kepentingan sendiri guna menunjang kegiatan tertentu. Pelabuhan khususdibangun oleh pemerintah
atau oleh perusahan swasta yangberfungsi untuk mengirimkan prasarana hasil produksi
perusahaantersebut.

2.Segi pengusahaannya Pelabuhan yang diusahakan Pelabuhan ini diusahakan untuk


memberikan fasilitas-fasilitas yang diperlukan bagi kapal yang memasuki pelabuhan yang berperan
untuk kegiatan bongkar muat barang, menaik turunkan penumpang dan kegiatanlainnya. Pemakaian
pelabuhan ini dikenai biaya seperti jasa labuh, jasa tambat, jasa pemanduan, dan sebagainya.
Pelabuhan yang tidak diusahakan Pelabuhan ini merupakan tempat singgah kapal tanpa bongkar
muatbarang, bea cukai dan sebagainya. Pelabuhan ini merupakanpelabuhan kecil yang disubsidi
oleh pemerintah dan dikelola olehUnit Pelaksana Teknis Direktorat Jendral Perhubungan Laut.
3.Segi fungsi perdagangan nasional dan internasional. Pelabuhan laut Pelabuhan ini adalah
pelabuhan yang dimasuki oleh kapalberbendera asing. Pelabuhan ini biasanya merupakan
pelabuhan utama di suatu daerah yang dilabuhi kapal kapal yangmembawa barang untuk ekspor/impor
secara langsung ke dan dari luar negeri . Pelabuhan pantai Pelabuhan pantai adalah pelabuhan yang
disediakan untuk perdagangan dalam negeri oleh karena itu tidak bebas disinggahi oleh kapal
berbendera asing 4.Segi penggunaannya. Pelabuahan ikan Pelabuhan ikan menyediakan fasilitas
untuk kapal-kapal ikan untuk Melakukan kegiatan penangkapan ikandan memberikan
pelayananyang diperlukan.

Pelabuhan minyak Untuk keamanan, pelabuhan minyak harus diletakkan agak jauh dari
kepentingan umum dan digunakan untuk melayani kapal tanker yangberukuran besar. Pelabuhan
barang Di pelabuhan ini terjadi perpindahan moda transportasi dari laut kedarat ataupun sebaliknya.
Barang dibongkar di termaga untuk selanjutnya diangkut dengan truk ataupun kereta api ke
tempattujuan atau ke gudang penyimpanan atau tempat penumpukanterbuka sebelum dikirim.
Pelabuhan dalam aktivitasnya mempunyai peran penting dan strategis untuk pertumbuhan industri
dan perdagangan serta merupakan segmen usaha yang dapat memberikan kontribusi bagi
pembangunan nasional. Hal ini membawa konsekuensi terhadap pengelolaan segmen usaha
276 Bisnis Maritim

pelabuhan tersebut agar pengoperasiannya dapat dilakukan secara efektif, efisien dan profesional
sehingga pelayanan pelabuhan menjadi lancar, aman, dan cepat dengan biaya yang terjangkau. Pada
dasarnya pelayanan yang diberikan oleh pelabuhan adalah pelayanan terhadap kapal dan pelayanan
terhadap muatan ( barang dan penumpang ). Secara teoritis, sebagai bagian dari mata rantai
transportasi laut, fungsi pelabuhan adalah tempat pertemuan ( interface ) dua moda angkutan atau
lebih serta interface berbagai kepentingan yang saling terkait. Barang yang diangkut dengan kapal
akan dibongkar dan dipindahkan ke moda lain seperti moda darat ( truk atau kereta api). Sebaliknya
barang yang diangkut dengan truk atau kereta api ke pelabuhan bongkar akan dimuat lagi ke kapal.
Oleh sebab itu berbagai kepentingan saling bertemu di pelabuhan seperti perbankan, perusahaan
pelayaran, bea cukai, imigrasi, karantina, syahbandar dan pusat kegiatan lainnya. Atas dasar inilah
dapat dikatakan bahwa pelabuhan sebagai salah satu infrastruktur transportasi, dapat
membangkitkan kegiatan perekonomian suatu wilayah karena merupakan bagian dari mata rantai
dari sistem transportasi maupun logistik. Pelabuhan adalah tempat yang terdiri dan daratan dan
perairan di sekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan
kegiatan ekonomi yang dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, berlabuh, naik turun
penumpang dan/atau bongkar muat barang yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran
dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra dan antar moda
transportasi. Sedangkan yang dimaksudkan dengan kepelabuhan adalah meliputi segala sesuatu
yang berkaitan dengan kegiatan penyelenggaraan pelabuhan dan kegiatan lainnya dalam
melaksanakan fungsi pelabuhan untuk menunjang kelancaran, keamanan dan ketertiban arus lalu
lintas kapal, penumpang dan/atau barang, keselamatan berlayar, tempat perpindahan intra dan/ atau
antar moda serta mendorong perekonomian nasional dan daerah. Maksud dan tujuan tatanan
pelabuhan nasional dimana Tatanan Kepelabuhanan Nasional merupakan dasar dalam perencanaan
pembangunan, pendayagunaan, pengembangan dan pengoperasian pelabuhan di seluruh Indonesia,
baik pelabuhan laut, pelabuhan penyeberangan, pelabuhan sungai dan danau, pelabuhan daratan
dan pelabuhah khusus yang bertujuan: terjalinnya suatu jaringan infrastruktur pelabuhan secara
terpadu, selaras dan harmonis agar bersaing dan tidak saling mengganggu yang bersifat dinamis
terjadinya efisiensi transportasi taut secara nasional; terwujudnya penyediaan jasa kepelabuhanan
sesuai dengan tingkat kebutuhan; terwujudnya penyelenggaraan pelabuhan yang handal dan
berkemampuan tinggi dalam rangka menunjang pembangunan nasional dan daerah Selain itu,
tatanan kepelabuhan nasional ini juga dituntut untuk memperhatikan; a. tata ruang wilayah; b.
sistem transportasi nasional; c. pertumbuhan ekonomi; d. pola/jalur pelayanan angkutan taut
nasional dan internasional; e. kelestarian tingkungan f. keselamatan pelayaran; dan g. standarisai
nasional, kriteria dan norma. Selain itu pebuhan juga melaksanakan tugas dan peranan sebagai
berikut; a. pemerintahan; 1) pelaksana fungsi keselamatan pelayaran; 2) pelaksana fungsi Bea dan
Cukai; 3) pelaksana fungsi imigrasi; 4) pelaksana fungsi karantina; 5) pelaksana fungsi keamanan
dan ketertiban; b. pengusahaan jasa kepelabuhanan:

1) Usaha pokok yang meliputi pelayanan kapal, barang dan penumpang;

2) usaha penunjang yang meliputi persewaan gudang, lahan dan lain-lain. Pelabuhan
terbagi menjadi beberapa jenis menurut hirarki dan fungsinya, yaitu ;

a. Pelabuhan internasional hub merupakan pelabuhan utama primer;

b. Pelabuhan internasional merupakan pelabuhan utama sekunder;

c. Pelabuhan nasional merupakan pelabuhan utama tersier;


Kondisi Maritim Indonesia, Kondisi Perdagangan Nasional, Kondisi 277
Pelabuhan dan Pelayaran Nasional dan Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia

d. Pelabuhan regional merupakan pelabuhan pengumpan primer;

e. Pelabuhan lokal merupakan pelabuhan pengumpan sekunder.

Tiap jenis memiliki fungsi dan perannya sendiri sendiri, yang kesemuanya itu dibagi secara
mengkhusus, yaitu ;

(1) Pelabuhan internasional hub yang merupakan pelabuhan utama primer : a. berperan
sebagai pelabuhan internasional hub yang melayani angkutan alih muat (transhipment ) peti kemas
nasional dan internasional dengan skala pelayanan transportasi laut dunia. b. berperan sebagai
pelabuhan induk yang melayani angkutan peti kemas nasional dan internasional sebesar 2.500.000
TEU's/tahun atau angkutan lain yang setara. c. berperan sebagai pelabuhan alih muat angkutan peti
kemas nasional dan internasional dengan pelayanan berkisar dan 3.000.000 - 3.500.000
TEU's/tahun atau angkutan lain yang setara. d. berada dekat dengan jalur pelayaran internasional
500 mil. e. kedalaman minimal pelabuhan : -12 m LWS. f. memiliki dermaga peti kemas minimal
panjang 350 m',4 crane dan lapangan penumpukan peti kemas seluas 15 Ha. g. jarak dengan
pelabuhan internasional hub lainnya 500 - 1.000 mil.

(2) Pelabuhan intemasional yang merupakan pelabuhan utama sekunder :

a. berperan sebagai pusat distribusi peti kemas nasional dan pelayanan angkutan peti kemas
internasional.

b. berperan sebagai tempat alih muat penumpang dan angkutan peti kemas.

c. melayani angkutan peti kemas sebesan 1.500.000 TEU's/tahun atau angkutan lain yang
setara. d. berada dekat dengan jalur pelayaran internasional + 500 mil dan jalur pelayaran nasional
50 mil. e. kedalaman minimal pelabuhan - 9 m LWS. f. memiliki dermaga peti kemas minimal
panjang 250 m',2 crane dan lapangan penumpukan kontener seluas 10 Ha. g. jarak dengan
pelabuhan internasional lainnya 200 - 500 mil.

(3) Pelabuhan nasional yang merupakan pelabuhan utama tersier : a. berperan sebagai
pengumpan anqkutan peti kemas nasional. b. berperan sebagai tempat alih muat penumpang dan
barang umum nasional. c. berperan melayani angkutan peti kemas nasional di seluruh Indonesia. d.
berada dekat dengan jalur pelayaran nasional + 50 mil. e. kedalaman minimal pelabuhan 9 m LWS.
f. memiliki dermaga multipurpose minimal panjang 150 m', mobile crane atau skipgear kapasitas
50 ton. g. jarak dengan pelabuhan nasional lainnya 50 - 100 mil.

(4) Pelabuhan regional yang merupakan pelabuhan pengumpan primer : a. berperan


sebagai pengumpan pelabuhan hub internasional, pelabuhan internasional pelabuhan nasional. b.
berperan sebagai tempat alih muat penumpang dan barang dari/ke pelabuhan utarna dan pelabuhan
pengumpan. c. berperan melayani angkutan taut antar Kabupaten/Kota dalam propinsi. d. berada
dekat dengan jalur pelayaran antar pulau 25 mil. e. kedalaman minimal pelabuhan -4 m LWS. f.
memiliki dermaga minimal panjang 70 m. g. jarak dengan pelabuhan regional lainnya 20 - 50 mil.

(5)Pelabuhan lokal yang merupakan pelabuhan pengumpan sekunder :


278 Bisnis Maritim

a. berperan sebagai pengumpan pelabuhan hub internasional, pelabuhan internasional,


pelabuhan nasional dan pelabuhan regional.

b. berperan sebagai tempat pelayanan penumpang di daerah terpencil, terisolasi,


perbatasan, daerah perbatasan yang hanya didukung oleh mode transportasi laut.

c. berperan sebagai tempat pelayanan moda transportasi laut untuk mendukung kehidupan
masyarakat dan berfungsi sebagai tempat multifungsi selain sebagai terminal untuk penumpang
juga untuk melayani bongkar muat kebutuhan hidup masyarakat disekitamya.

d. berada pada lokasi yang tidak dilalui jalur transportasi laut reguler kecuali keperintisan.

e. kedalaman minimal pelabuhan -1,5 m LWS. f. memiliki fasilitas tambat. g. jarak dengan
pelabuhan lokal lainnya 5 - 20 mil. Ada beberapa fasilitas pokok dan penunjang yang wajib dimiliki
oleh sebuah pelabuhan, yaitu ;

a. perairan tempat labuh termasuk alur pelayaran

b. kolam pelabuhan

c. fasilitas sandar kapal

d. penimbangan muatan

e. terminal penumpang

f. akses penumpang dan barang ke dermaga

g. perkantoran untuk kegiatan perkantoran pemerintahan dan pelayanan jasa

h. fasilitas penyimpanan bahan bakar (Bunker)

i. instalasi air, listrik dan komunikasi

j. akses jalan dan atau rel kereta api

k. fasilitas pemadam kebakaran

l. tempat tunggu kendaran bermotor sebelum naik ke kapal.

Dan fasilitas penunjangnya adalah :

a. kawasan perkantoran untuk menunjang kelancaran pelayanan jasa kepelabuhanan

b. tempat penampungan limbah

c. fasilitas usaha yang menunjang kegiatan pelabuhan


Kondisi Maritim Indonesia, Kondisi Perdagangan Nasional, Kondisi 279
Pelabuhan dan Pelayaran Nasional dan Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia

d. area pengembangan pelabuhan. Dalam hal otoritas pengelolaannya, pelabuhan dikelola


dengan beberapa jenis pengelolaan sesuai dengan fungsi dan hirarkinya.

Pelabuhan laut lokal yang diselenggarakan oleh Pemerintah (unit Pelaksana Teknis/Satuan
Kerja Pelabuhan), diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota di lokasi pelabuhan laut tersebut
berada sebagai tugas desentralisasi. Kemudian Pelabuhan laut regional yang diselengarakan oleh
Pemerintah (Unit Pelaksana Teknis/satuan Kerja Pelabuhan), dilimpahkan kepada Pemerintah
Propinsi di lokasi pelabuhan laut tersebut berada, sebagai tugas dekosentrasi. Untuk pelabuhan
dengan skala kecil seperti Pelabuhan sungai dan danau diselenggrakan oleh Kabupaten/Kota yang
pelaksanaanya dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis Kabupaten/Kota atau Badan Usaha Pelabuhan
Daerah. Sedangkan untuk pelabuhan yang berfungsi sebagai Pelabuhan penyeberangan
diselenggarakan oleh Pemerintah yang pelaksanaannya diserahkan kepada Badan Usaha Milik
Negara atau oleh Kabupaten/Kota yang pelaksanaannya oleh Unit Pelaksana Teknis
kabupaten/Kota atau Badan Usaha Pelabuhan Daerah. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi
dalam hal pengelolaan pelabuhan, yaitu ;

a. Pelabuhan harus terletak pada lokasi yang dapat menjamin keamanan dan keselamatan
pelayaran serta dapat dikembangkan dan dipelihara sesuai standar yang berlaku;

b. Pelabuhan harus mempertimbangkan kemudahan pencapaian bagi pengguna;

c. Pelabuhan harus mudah dikembangkan, untuk memenuhi peningkatan permintaan akan


jasa angkutan laut;

d. Pelabuhan harus menjamin pengoperasian dalam jangka waktu panjang;

e. Pelabuhan harus berwawasan lingkungan;

f. Pelabuhan harus terjangkau secara ekonomis bagi pengguna dan penyelenggara


pelabuhan. Langkah Pemerintah untuk Meningkatkan Peran Pelabuhan Untuk meningkatkan
kinerja dari pelabuhan, pemerintah perlu untuk sesegera mungkin mengambil langkah nyata dalam
hal penyelesaian masalah masalah yang dihadapi oleh pelabuhan Indonesia agar peran pelabuhan
dapat terlaksana dengan baik. Ada beberapa cara yang dapat dijadikan sebagai alternatif untuk
menyelesaikan permasalahan ini. Namun sebelumnya kita harus menentukan terlebih dahulu
prioritas pengembangan peabuhan yang ada sekarang ini. Dari semua masalah yang telah disebutkan
diatas, masalah yang paling penting untuk diselesaikan terlebih dahulu adalah perbaikan fasilitas
yang ada pada pelabuhan. Langkah pertama ialah merevitalisasi pelabuhan - pelabuhan utama di
Indonesia. Sedikitnya, pemerintah harus serius mengembangkan 10 pelabuhan utama seperti
Belawan, Tanjung Priok, Tanjung Mas, Tanjung Perak, Bitung, Pontianak, Pangkalan Bun, Panjang,
dan beberapa pelabuhan yang memiliki posisi strategis. Dengan kedalaman kolam hanya sekitar
13,5 meter, Pelabuhan Tanjung Priok hanya mampu disandari kapal-kapal kecil-menengah. Kapal-
kapal itu umumnya merupakan kapal feeder dari pelabuhan di Singapura, Malaysia, dan Hong
Kong. Selama ini, 80-90% kegiatan ekspor-impor Indonesia harus melalui pelabuhan di negara lain.
Dengan perbaikan fasilitas - fasilitas pada 10 pelabuhan utama tersebut, diharapkan potensi
ekonomi dari pelabuhan Indonesia tidak menguap ke Negara
280 Bisnis Maritim

Negara tetangga lainnya. Tentu hal ini perlu didukung dengan modal yang besar. Untuk
mengembangkan pelabuhan Tanjung Priok, sebagai pengelola, PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II
mengaku membutuhkan investasi sekitar Rp 22 triliun. Dana sebesar itu dibutuhkan untuk
memperlebar terminal yang akan dilakukan dalam tiga tahap. Namun nilai investasi itu terbilang
kecil dibanding manfaat yang bakal diperoleh ke depan. Angka ini jauh lebih kecil ketimbang defisit
neraca pembayaran Indonesia dari sektor pelayaran yang mencapai US$ 13 miliar per tahun. Dalam
hal perbaikan fasilitas pelabuhan, dal hal ini kolam pelabuhan, para pengusaha pelayaran
mengusulkan kepada pemerintah agar memperdalam kolam pelabuhan di Indonesia hingga 16
meter. Dengan demikian, pelabuhan ini mampu menampung kapal-kapal bermuatan 6.000 TEUs.
Dengan adanya perbaikan kolam pelabuhan tersebut, para pengusaha yakin jika pengelola
pelabuhan dapat meningkatkan produktivitas bongkar muat menjadi 20-25 boks container per jam
per crane. Jika perbaikan (kolam pelabuhan) dapat dilaksankan merata setidaknya pada 10
pelabuhan utama di Indonesia, dapat dipastikan produktivitas pelabuhan Indonesia juga akan
meningkat. Masalah lain yang perlu untuk ditangani secara serius adalah lamanya kepengurusan
kepabeanan di pelabuhan -pelabuhan di Indonesia. Indonesia memang identik dengan birokrasinya
yang berbelit -belit, yang membuka peluang untuk praktek -praktek yang tidak etis seperti korupsi.
Hal -hal ini sungguh telah mengurangi nilai tambah bagi pelabuhan -pelabuhan di Indonesia.
Dengan adanya hal ini, para pengusaha (terutama investor asing) lebih memilih untuk menjadikan
pelabuhan di Indonesia sebagai tempat untuk kapal -kapal feeder mereka. Mereka lebih memilih
untuk menempatkan kapal utamanya di pelabuhan -pelabuhan di negara -negara seperti Singapura
dan Malysia karena kepengurusan administrasi disana jauh lebih efisien dan efektif. Sudah saatnya
Indonesia memanfaatkan potensi ekonomi yang seharusnya menjadi miliknya tersebut. Langkah
yang perlu diambil untuk menyelesaikan permasalahan ini adalah dengan merubah system
administrasi pada pelabuhan di Indonesia. Pelabuhan -pelabuhan di Indonesia memiliki kinerja yang
lambat dari segi administrasi karena terlalu banyak berkas -berkas dan juga birokrat yang harus
dilewati sebelum sistem dijalankan. Permasalahan ini dapat diatasi dengan melengkapi pelabuhan
-pelabuhan di Indonesia dengan sistem informasi yang memadai. Kemudian perlu dilakukan
evaluasi terhadap proporsionalitas dari managamen di pelabuhan. Jika kita ingin mempercepat
jalannya suatu sistem, salah satu caranya ialah menyederhanakan proses dari sitem tersebut tanpa
mengesampingkan esensinya. Oleh karena itu praktek -praktek birokratif harus segera dihilangkan
guna meningkatkan kinerja pelabuhan dari segi pengelolaan waktu. Tetapi hal yang paling penting
untuk diperhatikan adalah pengembangan sumber daya manusia di pelabuhan - pelabuhan di
Indonesia. Hal ini penting karena, jangan sampai perampingan angkatan kerja pada pelabuhan
justru menurunkan tingkat produktivitas dari pelabuhan itu sendiri. Maka dari itu diperlukan tenaga
-tenaga kerja yang terampil, dalam jumlah yang pas, untuk melaksanakan fungsi dan tugas dari
pengelolaan pelabuhan. Tentu saja pengembangan keterampilan dalam hal penggunaan teknologi
berbasis informasi dan juga yang sifatnya teknikal merupakan prioritas. Karena hal inilah yang
mampu mendorong produktivitas.

Namun masalah pelabuhan di Indonesia adalah suatu hal yang kompleks. Diperlukan
kesungguhan dari tiap -tiap stakeholders yang ada untuk memperbaiki kinerja pelabuhan. Selain itu
diperlukan pengukuran yang presisi terhadap tiap strategi yang di terapkan. Agar modal yang besar
yang digunakan untuk membangun pelabuhan dapat dipertanggungjawabkan nantinya. Permerintah
tentu saja memegang peran penting untuk hal ini. Pemerintah harus berperan sebagai penyelia yang
secara berkala memantau penerapan dari semua strategi yang telah disepakati dan diterapkan.
Karena pada umumnya meskipun telah dirumuskan dengan sangat baik, tiap strategi yang ada
menjadi kacau saat diimplementasikan. Hal ini tentu saja karena kurangnya koordinasi. Diharapkan
pemerintah dapat menjalankan peran ini dengan baik, bukan malah semakin memperburuknya.
Kondisi Maritim Indonesia, Kondisi Perdagangan Nasional, Kondisi 281
Pelabuhan dan Pelayaran Nasional dan Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia

Visi pembangunan nasional jangka panjang adalah membangun Indonesia sebagai


negara kepulauan yang berorientasi maritim. Letak geostrategis dan tinjauan sejarah
bangsa telah menjadi pijakan kuat untuk membangun visi Indonesia sebagai Poros Maritim
Dunia. Pilar negara maritim sebagaimana yang disampaikan oleh Presiden mencakup 5
pilar yaitu, membangun budaya maritim; (ii) menjaga dan mengelola sumberdaya laut; (iii)
membangun infrastruktur dan konektivitas maritim; (iv) memperkuat diplomasi maritim;
(v) dan membangun kekuatan pertahanan maritim. Kajian ini bertujuan untuk
mengidentifikasi isuisu strategis dan aspek-aspek utama dalam pengembangan poros
maritim; memetakan tantangan utama di setiap sektor yang terkait dengan persoalan
kemaritiman; menyusun Rancang Bangun dan Agenda Utama Pembangunan di setiap
sektor untuk mendukung Poros Maritim; menyusun Kerangka Kerja Pembangunan
Indonesia sebagai Poros Maritim. Metodologi kajian yang dipakai menggunakan
sumberdata primer dan sekunder berasal dari serial diskusi terfokus yang melibatkan
berbagai narasumber dengan latar belakang yang beragam, baik di pusat maupun di daerah;
serta studi literatur. Yang selanjutnya diuraikan secara deskriptif dan dianalisa secara
mendalam. Hasil kajian menguraikan beberapa tantangan yang masih dihadapi disetiap
sektor terkait, yang akan menjadi domain poros maritim, diantaranya adalah masih belum
optimalnya pemanfatan sumberdaya perikanan, disparitas regional dan transportasi laut
yang tidak efisien, lemahnya pengelolaan pulau-pulau kecil strategis, rendahnya
pemanfatan sumberdaya kelautan, tata kelola kelembagaan yang belum serasi, yang
menyangkut tataruang laut, pengaturan pengawasan, pengelolaan alur laut; budaya bahari
yang sudah lama ditinggalkan dan rusaknya daya dukung lingkungan laut. Diperlukan 3
jenis transformasi, yang mencakup cara pandang/paradigma, pengelolaan ekonomi
maritim, dan efektivitas tata kelola. Mengingat bahwa perwujudan Poros maritim dunia
merupakan visi jangka panjang, maka dibutuhkan roadmap dan milestone pentahapannya
sampai dengan tahun 2045. Langkah awal untuk memulai perwujudan visi ini dimulai
dengan penegasan kedaulatan, pengembangan konektivitas sejalan dengan pembangunan
regional, pembangunan ekonomi maritim sebagai core, penguasaan iptek kelautan dan
penataan mekanisme kerja kelembagaan kemaritiman dimasa mendatang

Kita sudah sering mendengar bahwa secara geografis lndonesia terdiri dari beribu-
ribu pulau, dilintasi garis khatulistiwa, terletak di antara benua Asia dan Australia serta di
antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, luas perairannya yang terdiri dari laut
territorial, perairan kepulauan dan perairan pedalaman seluas lebih kurang2,7 juta
kilometer persegi atau sekitar 7O % dari luas wilayah NKRI, sedangkan daratan seluas
kurang lebih 1,9 juta kilometer persegi. Di samping itu Zona Ekonomi Eksklusif lndonesia
(ZEEI) seluas 3,1 kilometer persegi menambah luas wilayah laut yurisdiksi nasional
lndonesia menjadi 5,8 juta kilometer persegi. Oleh karena itu merupakan suatu keniscayaan
bahwa lndonesia adalah negara berciri maritim. Mencermati konstelasi geografi lndonesia
sedemikian rupa, bangsa lndonesia menyadari bahwa laut merupakan media pemersatu dan
sebagai media penghubung antar pulau dan bahkan penghubung antar negara negara di
dunia. Dengan telah diratifikasinya UNCLOS '82 oleh negara negara di dunia, secara tidak
langsung mengukuhkan lndonesia sebagai negara kepulauan, sehigga sudah sepatutnya
seluruh aspek kehidupan dan penyelenggaraan negara perlu mempertimbangkan
geostrategik, geopolitik, geoekonomi serta geososial budaya sebagai negara kepulauan.
Pola pikir, pola sikap dan pola tindak bangsa harus didasari oleh kesadaran ruang maritim
tempat kita berada, sehingga sejatinya visi maritim menjadituntutan dan kebutuhan bagi
282 Bisnis Maritim

bangsa lndonesia. Sebagai konsekuensi dari posisi lndonesia yang sanBat strategis tersebut
adalah perairan lndonesia menjadi sangat penting bagi masyarakat dunia pengguna laut, hal
tersebut memberi arti bahwa manakala bangsa lndonesia mampu memanfaatkan peluang
dan tantangan maka akan dapat meningkatkan kesejahteraan bangsa lndonesia namun
demikian perlu diwaspadai pula manakala bangsa lndonesia tidak mampu mengantisipasi
dan mengelola kendala dan kerawanan yang timbul maka akan berdampak terhadap
keamanan dan bahkan kedaulatan. lndonesia Poros Maritim Dunia Dalam catatan sejarah
terekam bukti-bukti bahwa nenek moyang bangsa lndonesia menguasai lautan Nusantara,
bahkan mampu mengarungi samudera luas hingga ke pesisir Madagaskar Afrika Selatan.
Hal tersebut membuktikan bahwa nenek moyang bangsa lndonesia telah memiliki jiwa
bahari dalam membangun hubungan dengan bangsa lain di dunia. Di samping itu nenek
moyang bangsa lndonesia telah memahami dan menghayati arti dan kegunaan laut sebagai
sarana untuk menjamin berbagai kepentingan antar bangsa, seperti perdagangan dan
komunikasi. Oleh karena itu dapat dipahami bahwa penggunaan laut secara tradisional
adalah sebagai media perhubungan atau transportasi dan sebagian besar perdagangan di
dunia melewati laut yang volume muatannya terus meningkat hingga sekarang.
Perdagangan melalui lautan merefleksikan meningkatnya karakter dunia modern yang
komplek, saling ketergantungan dan beroperasinya lingkungan pasar bebas yang intens.
Kapal milik sebuah perusahaan dapat didaftarkan di bawah bendera negara lain dan kapal
tersebut barangkali mempunyai awak kapal dari berbagai bangsa. Sebagai konsekuensinya,
identifikasi kepemilikan dan tanggung jawab negara untuk melindungi kapal demi untuk
kepentingan keselamatan pelayaran dan keselamatan kerja di kapal seringkali merupakan
hal yang rumit. Bila pada zaman dahulu pengaturan tentang penggunaan laut seperti
pelayaran dan penangkapan ikan, cukup dilakukan oleh negara pemilik kapal tanpa
memperdulikan kepentingan negara pantai lainnya, dewasa ini pengaturan penggunaan dan
hukum di laut semakin rumit. Dunia internasional semakin menyadari arti kebersamaan,
karena laut dan seluruh isinya adalah warisan bersama seluruh umat manusia yang harus
dapat dinikmati bersama manfaatnya, tidak dimonopolioleh negara-negara maritim tertentu
saja. Sebagaimana telah disinggung diatas bahwa perairan Indonesia pada posisi silang
dunia dan sejak dulu telah digunakan sebagai jalur pelayaran dan perdaganggan
internasional. Frekuensi kapal asing yang melintasi wilayah laut yurisdiksi nasional
lndonesia juga semakin meningkat seiring bergesernya pusat kegiatan ekonomi dunia dari
Atlantik ke Pasifik. Sekitar 70 % angkutan barang dari Eropa, Timur Tengah dan Asia
Selatan ke wilayah Pasifik dan sebaliknya melalui perairan lndonesia. Oleh karena itu
secara geografis sesungguhnya Tuhan telah menganugerahkan kepada Bangsa lndonesia
suatu posisi yang sangat strategis sebagai poros atau sumbu jalur pelayaran dan
perdagangan dunia. Namun demikian posisi strategis tersebut meskipun telah dimanfaatkan
oleh pengguna laut, tidak serta merta lndonesia dapat memperoleh manfaat sebesar-
besarnya untuk kesejahteraan rakyat, apabila tidak didukung oleh kemampuan
memanfaatkan peluang yang ada. 3 Dalam Doktrin TNI AL yang diterbitkan tahun 2001,
kata maritim diartikan berkenaan dengan laut atau berhubungan dengan pelayaran dan
perdagangan' Pengertian yang lebih luas, selain menyangkut sumber-sumber daya intern
laut juga menyangkut faktor ekstern laut yaitu pelayaran, perdagangan, lingkungan pantai
dan pelabuhan serta faktor strategis lainnya' Kata maritim mengandung arti
integrasi/gabungan, dan menunjukkan suatu lingkungan kelautan serta bukan menunjukkan
institusi. Mengalir dari uraian di atas, bangsa lndonesia patut bersyukur karena secara
geografis Tuhan telah memposisikan kepulauan lndonesia pada poros maritim dunia,
pertanyaannya adalah apakah bangsa lndonesia akan memanfaatkannya atau menyia-
Kondisi Maritim Indonesia, Kondisi Perdagangan Nasional, Kondisi 283
Pelabuhan dan Pelayaran Nasional dan Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia

nYiakannYa ? Memanfaatkan posisi strategis lndonesia sebagai poros maritim dunia


sesungguhnya merupakan keharusan karena akan ikut meningkatkan kesejahteraan bangsa,
oleh karena itu diperlukan kemampuan maritim yaitu kemampuan ekonomi, politik dan
militer dari suatu bangsa yang diwujudkan pada pengaruhnya dalam menggunakan laut
untuk kepentingan sendiri, serta mencegah penggunaan laut oleh pihak lain yang
merugikan pihak sendiri' oleh karena itu perlu dirumuskan peluang-peluang yang pada
dasarnya diorientasikan pada kepentingan para penSguna poros maritim dunia, antara lain
penyediaan tempat berlabuh yang aman dan nyaman bagi kapal-kapal yang akan
beristirahat atau perbaikan atau menunggu tempat sandar, penyediaan pelabuhan bongkar
muat yang efisien, penyediaan galangan kapal yang mumpuni, penyediaan pelayanan
pengisian bahan bakar dan air tawar yang kompetitif, mewaiibkan penggunaan pandu bagi
kapal-kapalyang melintasi alur sempit agar tidak teriadi kecelakaan yang dapat
mengakibatkan tertutupnya alur pelayaran' penyediaan keperluan awak kapal yang
reprentatif seperti sarana rekreasi dan wisata serta pusat perbelanjaan yang khas dan
mengesankan, penyediaan sistem informasi yang cepat dan terkini, dukungan manajemen
yang efektif dan handal serta masih banyak lagi peluang yang dapat digali agar para
pengguna laut lebih memilih berhenti sementara waktu di lndonesia untuk memenuhi
kepentingannya atau bahkan meniadikan lndonesia sebagai tempat transit barang muatan
yang akan diteruskan oleh kapal lain ke daerah tuiuan' Memang tidaklah mudah merebut
hatidan menarik minat para pengguna laut bila tidak didukung sarana dan prasarana yang
memadai, efektif, efisien dan memiliki kekhasan tersendiri, serta para pengguna laut
merasa nyaman dan adanya jaminan keamanan selama berada di lndonesia. Jaminan
keamanan tidak saja diperlukan oleh pengguna laut, tetapi juga bagi lndonesia sebagai
negara pantai/kepulauan agar tidak terjadi pelanggaran hukum maupun pelanggaran
kedaulatan. Kedaulatan Maritim lndonesia lndonesia memiliki kedaulatan penuh di
wilayah NKBI yang merupakan satu kesatuan wilayah daratan, perairan pedalaman,
perairan kepulauan dan laut territorial beserta dasar laut 4 dan tanah di bawahnya, serta
ruang udara di atasnya termasuk seluruh sumber kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya. Di wilayah daratan sampai dengan batas garis air rendah (low water line) atau
garis pangkal (base line), termasuk teluk dan muara sungai yang dibatasi garis pangkal
{perairan pedalaman) merupakan wilayah negara yang mempunyai kedaulatan mutlak.
Sedangkan wilayah laut yang meliputi laut teritorialdan perairan kepulauan merupakan
wilayah negara dengan kedaulatan yang dibatasi sebagaimana diatur dalam UNCLOS
L982, wilayah laut tersebut mengakomodasikan berbagai kepentingan internasional seperti
lintas damai, lintas transit maupun lintas alur laut kepulauan. lndonesia juga memiliki hak
hak lain, yurisdiksi dan kewajiban sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan dan
hukum internasional di wilayah perairan yurisdiksi nasional yang terdiri atas zona
tambahan, zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen seperti perikanan, pertambangan,
pelestarian lingkungan laut dan penanggulangan berbagai kejahatan di laut. Oleh karena itu
penegakan kedaulatan dan hukum di laut diselenggarakan sesuai ketentuan hukum laut
internasional, dan dilakukan oleh otoritas yang mewakili negara pantai yang merupakan
bagian dari wilayah kedaulatan negara. Sedangkan di luar wilayah perairan yurisdiksi
nasional, lndonesia memiliki hak dan kewajiban untuk menjaga, melindungi kepentingan
nasional di dan atau lewat laut berdasarkan peraturan perundangan dan hukum
internasional. Adanya perbedaan antara perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut
teritorial pada dasarnya ditentukan oleh hak dan kewajiban negara kepulauan dan juga hak
dan kewajiban yang dimiliki oleh negara lain di perairan tersebut yaitu hak pelayaran dan
284 Bisnis Maritim

penerbangan serta pemanfaatan perairan kepulauan dan laut teritorial. Kedaulatan yang
dimiliki oleh negara kepulauan dapat dilaksanakan dengan memperhatikan beberapa hak
yang dapat dinikmati oleh Negara lain seperti memberikan dan mengakomodasikan hak
pelayaran melalui perairan kepulauan, kewajiban untuk menghormati perjanjian yang telah
ada dengan negara lain sebelum pemberlakuan konvensi hukum laut, mengakui hak
perikanan tradisional, mengakui adanya aktivitas yang sah lainnya serta menghormati
kabel bawah laut dan me m perbole hka n kegiata n pemeli ha raa n/pengga ntia n kabel.
Berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan lndonesia disebutkan, lndonesia
mempunyai kedaulatan (sovereignty) di Perairan lndonesia, yang wilayahnya terdiri dari
Perairan Pedalaman, Perairan Kepulauan dan Laut Teritorial lndonesia. Dengan adanya
pembatasan itu secara jelas lndonesia tidak mempunyai kedaulatan di ZEE dan landas
kontinen lndonesia ataupun di tempat lain selain di perairan lndonesia. Pembatasan
penunjukan wilayah kedaulatan negara lndonesia tersebut sesuai dengan ketentuan dalam
konvensi hukum laut yang menyatakan bahwa negara pantai/kepulauan di ZEE dan landas
kontinen hanya mempunyai hak berdaulat (sovereign right). 5 Konsekuensi lndonesia
sebagai negara kepulauan harus mengakomodasikan kepentingan internasional khususnya
pelayaran dan penerbangan melalui perairan kepulauan dan laut teritorialnya. Sesuai
dengan konvensi hukum laut, setidaknya ada tiga jenis lintas yang diatur yaitu lintas damai,
lintas alur laut kepulauan dan lintas transit serta negara kepulauan diminta untuk
menghormati hak negara tetangga terkait dengan kegiatan/kepentingan yang sah di
perairan kepulauannya di antaranya lintas pelayaran dan penerbangan. lndonesia telah
mengakomodasikan empat jenis lintas bagi kapal dan pesawat udara asing. Pengakuan
akan hak lintas ini telah sesuai dengan konvensi hukum laut dan dituangkan dalam
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1995. Pelaksanaan hak lintas damai telah diakomodasi
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2OO2, hak lintas alur laut kepulauan diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2OA2. lndonesia memberikan akses kepada
kapal dan pesawat udara Malaysia untuk melaksanakan hak lintas akses dan komunikasi
sebagaimana tertuang dalam Perjanjian Bilateralyang telah diratifikasi dengan Undang-
Undang Nomor l Tahun 1983. Hak lintas transit berlaku di Selat Malaka, Selat Philips dan
Selat Singapura yang digunakan untuk pelayaran internasional antara satu bagian laut lepas
atau ZEE dan bagian laut lepas atau suatu ZEE lainnya. Lintas transit berarti pelaksanaan
kebebasan pelayaran dan penerbangan semata-mata untuk tujuan transit yang terus
menerus, langsung dan secepat mungkin. Kapal dan pesawat udara sewaktu melaksanakan
hak lintas transit harus: - lewat dengan cepat melalui atau diatas selat, - menghindarkan diri
dari ancaman atau penggunaan kekerasan apapun terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah
atau kemerdekaan politik negara yang berbatasan dengan selat atau dengan cara lain
apapun yang melanggar asas-asas hukum internasional yang tercantum dalam Piagam
PBB, - menghindarkan diri dari kegiatan apapun selain transit secara terus menerus
langsung dan secepat mungkin dalam cara normal kecuali diperlukan karena force majeure
atau karena kesulitan. Hak lintas damai berlaku di laut teritorial dan perairan kepulauan
untuk keperluan kapal asing melintas dari satu bagian laut bebas atau ZEE ke bagian lain
laut bebas atau ZEE tanpa memasuki perairan pedalaman atau singgah di tempat berlabuh
di tengah laut, atau fasilitas pelabuhan di luar perairan pedalaman, untuk keperluan
melintas dari laut bebas atau ZEE ke atau dari perairan pedalaman atau singgah di tempat
berlabuh di tengah laut atau fasilitas pelabuhan di luar perairan pedalaman. Pelaksanaan
hak lintas damai dilakukan dengan menggunakan alur laut yang lazim digunakan untuk
pelayaran internasional dan memperhatikan pedoman pelayaran yang dikeluarkan oleh
instansi berurenang di bidang keselamatan pelayaran. Setiap kapal asing yang
Kondisi Maritim Indonesia, Kondisi Perdagangan Nasional, Kondisi 285
Pelabuhan dan Pelayaran Nasional dan Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia

melaksanakan lintas damai wajib berada dalam batas-batas alur pelayaran yang wajar
dengan kecepatan dan arah yang sesuai dengan navigasi 6 yang normal dalam rangka
menuju tempat tujuan pelayaran. Dalam melaksanakan lintas damai melalui laut teritorial
dan perairan kepulauan, kapal asing tidak boleh melakukan salah satu kegiata n-kegiatan
sebagai berikut: - melakukan perbuatan yang merupakan ancaman atau penggunaan
kekerasan terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah, kemerdekaan politik Negara pantai, atau
dengan cara lain apapun yang merupakan pelanggaran asas hukum internasional
sebagaimana tercantum dalam Piagam PBB, - melakukan latihan atau praktek dengan
senjata macam apapun, - melakukan perbuatan yang bertujuan untuk mengumpulkan
informasi yang merugikan bagi pertahanan dan keamanan negara. - melakukan perbuatan
yang merupakan propaganda yang bertujuan mempengaruhi pertahanan dan keamanan
negara, - meluncurkan, mendaratkan, atau menaikkan suatu pesawat udara dari atau ke atas
kapal, - meluncurkan, mendaratkan atau menaikkan suatu peralatan dan perlengkapan
militer dari atau ke atas kapal, - hilir mudik di laut teritorial dan perairan kepulauan atau
kegiatan lainnya yang tidak berhubungan la ngsung dengan lintas. Dalam melaksanakan
lintas damai melalui laut teritorial dan perairan kepulauan, kapal asing tidak boleh
melakukan kegiatan-kegiatan: - membongkar atau memuat setiap komoditi, mata uang atau
orang yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan kepabeanan, fiskal,
keimigrasian, atau saniter, - kegiatan perikanan, - kegiatan riset atau survey, - perbuatan
yang bertujuan mengganggu setiap sistem komunikasi, setiap fasilitas atau instalasi kom
unikasi la innya, - perbuatan pencemaran yang dilakukan dengan sengaja dan
menimbulkan pencemaran yang parah, - kapal asing juga tidak boleh merusak atau
mengganggu alat dan fasilitas navigasi serta fasilitas atau instalasi navigasi lainnya,
melakukan perusakan terhadap sumberdaya hayati, atau merusak/mengganggu kabeldan
pipa laut. Hak lintas alur laut kepulauan berlaku di alur laut atau ruang udara di atas alur
laut yang ditetapkan sebagai alur laut kepulauan yaitu ALKI-I, ALKI-2 dan ALKI-3 untuk
pelayaran kapal atau penerbangan pesawat udara asing dari satu bagian laut bebas atau
ZEE ke bagian lain laut bebas atau ZEE melintasi laut teritorial dan perairan kepulauarr
lndonesia. Hak dan kewajiban kapaldan pesawat udara asing dalam melaksanakan hak
lintas alur laut kepulauan: 7 - kapal dan pesawat udara asing harus melintas secepatnya
melalui atau terbang di atas alur laut kepulauan dengan cara normal, semata-mata untuk
melakukan transit yang terus menerus, langsung, cepat dan tidak terhalang, - selama
melintas tidak boleh menyimpang lebih dari 25 mil laut ke dua sisi dari garis sumbu alur
laut kepulauan, dengan ketentuan bahwa kapal dan pesawat udara tersebut tidak boleh
berlayar atau terbang dekat ke pantai kurang dari I}%jarak antara titik-titik yang terdekat
pada pulau-pulau yang berbatasan dengan alur laut kepulauan tersebut, - kapal dan pesawat
udara asing tidak boleh melakukan ancaman atau menggunakan kekerasan terhadap
kedaulatan, keutuhan wilayah, atau kemerdekaan politik Republik lndonesia, atau dengan
cara lain apapun yang melanggar asas-asas hukum internasional yang terdapat dalam
Piagam PBB, - kapal dan pesawat udara asing tidak boleh melakukan latihan perang-
perangan atau latihan menggunakan senjata macam apapun dengan menggunakan amunisi,
- kecuali dalam keadaan force mojeure atau dalam hal musibah, pesawat udara tidak boleh
melakukan pendaratan di wilayah lndonesia, - semua kapal asing tidak boleh berhenti atau
berlabuh jangkar atau mondar mandir kecuali dalam keadaan force majeure atau dalam
keadaan musibahatau memberikan pertolongan kepada orang atau kapalyang sedang dalam
keadaan musibah, - kapal dan pesawat udara asing tidak boleh melakukan siaran gelap atau
melakukan gangguan terhadap sistem komunikasi dan tidak boleh melakukan komunikasi
286 Bisnis Maritim

langsungdengan orang atau kelompok orang yang tidak benlrenang dalam wilayah
lndonesia, - kapal atau pesawat udara asing, termasuk kapal atau pesawat udara riset atau
survey hidrografi tidak boleh melakukan kegiatan riset kelautan atau survey hidrografi,
baik dengan mempergunakan peralatan deteksi maupun peralatan pengambil contoh,
kecualitelah memperoleh ijin untuk hal itu, - kapal asing termasuk kapal penangkap ikan
tidak boleh melakukan kegiatan perikanan, - kapal dan pesawat udara asing tidak boleh
menaikkan ke atas kapal atau menurunkan dari kapal, orang, barang, mata uang dengan
cara bertentangan dengan perundangundangan kepabeanan, keimigrasian, fiskal, dan
kesehatan, kecualidalam keadaan/orce majeure atau dalam keadaan musibah, - kapal asing
dilarang membuang minyak, limbah minyak, dan bahan-bahan perusak lainnya ke dalam
lingkungan laut, dan atau melakukan kegiatan yang bertentangan dengan peraturan dan
standar internasional untuk mencegah, mengurangi dan mengendalikan pencemaran laut
yang berasal dari kapal, - kapal asing dilarang melakukan dumping di Perairan lndonesia.
Mengalir dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kedaulatan maritim lndonesia
merupakan penghormatan terhadap hak dan kewajiban Negara Republik lndonesia sebagai
negara pantai dan pengakuan akan hak dan kewajiban kapal dan pesawat udara asing untuk
menikmati hak lintasnya di Perairan lndonesia. 8 Menegakkan Kedaulatan Maritim
lndonesia Mencermati ketiga jenis lintas tersebut di atas menunjukkan adanya akomodasi
kepentingan antara negara pantai/kepulauan dengan negara pengguna. Dari ketiga jenis
lintas yang telah diuraikan, lintas damai merupakan lintas yang telah dikenal sejak lama,
sedangkan lintas alur laut kepulauan dan lintas transit merupakan jenis lintas baru yang
berhasil disusun dan disepakati dalam sidang konferensi hukum laut ke-3. Khusus untuk
lintas transit, pada dasarnya merupakan perkembangan dari kebebasan pelayaran dan
penerbangan di selat yang pada awalnya merupakan selat yang bukan menjadi milik negara
pantaidan merupakan aplikasi dari kebebasan bernavigasidi laut bebas. Dalam praktek di
lapangan sangatlah sulit membedakan apakah suatu kapal ketika melintas di perairan
kepulauan sedang menikmati hak lintas alur laut kepulauan atau hak lintas damai, oleh
karena itu sangatlah penting untuk membedakan kedua hak tersebut. Perbedaan dari kedua
hak tersebut dapat diidentifikasi sebagai berikut: - kapal selam dan wahana bawah laut
lainnya diperbolehkan bernavigasi secara normal saat lintas alur laut kepulauan, sedangkan
dalam lintas damai disyaratkan untuk bernavigasidi permukaan laut dan menunjukkan
bendera, - hak penerbangan diperbolehkan di lintas alur laut kepulauan dengan melalui rute
udara di atas alur laut, sedangkan dalam lintas damai tidak ada hak penerbangan, - hak
lintas alur laut kepulauan tidak dapat ditangguhkan meskipun alur laut kepulauannya dapat
diganti, sedangkan hak lintas damaidapat ditangguhkan, - dalam lintas alur laut kepulauan
hak negara kepulauan terbatas, sedangkan lintas damai mempunyai kekuasaan yang lebih
untuk mengatur dan melaksanakan control, - dalam lintas alur laut kepulauan tidak ada
persyaratan pemberitahuan atau ijin, sedangkan lintas damai tidak ada aturan yang jelas
dalam hukum internasional terkait dengan persyaratan pemberitahuan atau 'rjin di laut
teritorial. Hak lintas transit dan hak lintas alur laut kepulauan merupakan hak lintas yang
lebih bebas daripada hak lintas damai. Ditinjau dari aspek operasional, lintas transit
merupakan lintas yang pada dasarnya sama dengan lintas alur laut kepulauan hanya
berbeda tempat pelaksanaannya, namun menurut beberapa pakar hukum laut ada perbedaan
antara lain: - lintas transit melalui selat untuk pelayaran internasional mengacu kepada
kebebasan pelayaran {freedom of navigation}, sedangkan lintas alur laut kepulauan
melalui alur laut kepulauan yang telah ditetapkan dan mengacu pada hak melintas (right of
passage), - dalam lintas transit tidak ada kualifikasi bagaimana suatu kapal atau pesawat
udara harus melintas, sedangkan dalam lintas alur laut kepulauan hak pelayaran harus
Kondisi Maritim Indonesia, Kondisi Perdagangan Nasional, Kondisi 287
Pelabuhan dan Pelayaran Nasional dan Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia

dikualifikasikan pada normal mode of navigotion, 9 - dalam lintas transit tidak ada
batasan-batasan seperti pada lintas alur kepulauan yang harus digambarkan dengan suatu
garis sumbu yang berkelanjutan, dengan batasan kapal dan pesawat udara tidak boleh
menyimpang ke kanan/ke kiri sejauh 25 mil laut selama melintas dan tidak boleh berlayar
atau terbang mendekat ke pantai lebih dari IA% dari lebar alur laut kepulauan.
Sebagaimana telah diuraikan bahwa lndonesia memiliki kedaulatan di laut teritorial,
perairan pedalaman dan perairan kepulauan, dan disisi lain konvesi hukum laut mengatur
hak navigasi bagi kapal/pesawat udara yaitu lintas damai, lintas alur laut kepulauan dan
lintas transit. Berdasarkan hak dan kewajiban negara pantai dan para pengguna laut serta
dengan memahami ketentuan dan perbedaan dari ketiga rejim lintas di perairan lndonesia,
maka penegakan kedaulatan maritim Indonesia sesungguhnya adalah pengawasan terhadap
kapal dan pesawat udara asing agar mentaati hak dan kewajibannya serta melaksanakan
penindakan kepada kapal dan pesawat udara asing yang melanggar ketentuan dalam setiap
rejim lintas selama melintas di Perairan lndonesia. Agar mampu melaksanakan tugas
tersebut, beberapa hal penting perlu mendapat perhatian: - Penentuan batas zona-zona
maritim dapat digunakan bagi suatu negara kepulauan untuk menentukan jenis hak lintas
apa yang dapat dinikmati oleh kapal asing ketika sedang berlayar di perairan tertentu.
Sementara ini berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996, batas terluar zona
maritim yang diatur hanya laut teritorial, seharusnya batas terluar ataupun batas dalam dari
perairan pedalaman, laut teritorial perlu juga di atur sehingga memberikan kepastian dan
keyakinan kepada para penegak kedaulatan. Penentuan batas zona-zona maritim juga
sangat penting bagi pemerintah daerah mengingat kabupaten/kota dan provinsi di lndonesia
mempunyai hak eksklusif untuk mengelola perairan yang ada di wilayahnya. - Sistem
deteksi yang memadai perlu dibangun untuk melakukan pengawasan pada setiap rejim
lintas. Saat ini sistem deteksiyang terpasang adalah radar di sepanjang selat Malaka dan
Selat Singapura untuk pengawasan dan menjamin keselamatan kapal laut yang menikmati
lintas transit, dan beberapa radar di ALKI untuk kapal laut yang menikmati lintas alur laut
kepulauan. Dihadapkan luasnya wilayah perairan lndonesia tentu apa yang telah ada saat
ini belumlah cukup, sistem deteksi belum memadai untuk mengawasi kapal asing yang
menikmati lintas damai, kapal dan pesawat udara asing yang menikmati lintas alur laut
kepulauan secara normal belum dapat diawasi terlebih wahana bawah air. Mengingat
luasnya wilayah perairan lndonesia dan sifat letaknya adalah tetap, maka pengawasan
mengunakan satelit penginderaan akan lebih efektif karena sekaligus dapat melaksanakan
pengawasan terhadap semua kapal dan pesawat udara asing yang sedang menikmati lintas
transit, lintas damai dan lintas alur laut L0 kepulauan. Satelit siapa yang dapat
dimanfaatkan, seyogyanya lndonesia memiliki satelit sendiri yang dapat digunakan
bersama oleh beberapa kementerian dan instansi. Sistem informasi yang terintegrasi sangat
diperlukan untuk menunjang pengawasan terhadap kapal dan pesawat udara asing yang
sedang melaksanakan rejim lintas, khususnya yang berkaitan dengan pertukaran informasi
data, informasi perijinan dan informasi lainnya diantara institusi yang terlibat. Kecepatan
dan akurasi informasi sangat diperlukan agar pengawasan dan penindakan dapat dilakukan
dengan cepat dan tepat serta tidak terkesan antar aparat yang benruenang tidak
terkoordinasi dengan baik. Saat ini sistem informasi yang berkaitan dengan penerbangan
telah diupayakan terintegrasi dan menunjukkan hasilnya, namun untuk kepentingan
pengawasan rejim lintas diperlukan integrasi semua instansiyang menangani penerbangan
dan pelayaran. Alut sista penindak dengan kuantitas dan kualitas yang memadai sangat
menentukan kewibawaan negara pantai manakala terjadi pelanggaran kedaulatan. Sistem
288 Bisnis Maritim

deteksi yang canggih tidak ada artinya bila diketahui ada pelanggaran namun tidak mampu
menindaknya, oleh karena itu kehadiran alut sista di seluruh perairan lndonesia merupakan
keharusan untuk menjamin keamanan pengguna laut dan melaksanakan penindakan
manakala terjadi pelanggaran. Semua institusi yang terlibat dalam penindakan di laut dan
udara seyogyanya menghitung ulang apakah asset yang dimiliki saat initelah memadai
untuk tugas tersebut. Organisasi yang responsif dan efektif diperlukan untuk menjamin
komando dan pengendalian yang efektif dan terjaganya kesatuan komando. Saat ini untuk
pengamanan ALKI, TNI menggelar operasi pengamanan ALKI dengan bentuk Satuan
Tugas dan tentunya gelar operasi tersebut diperuntukkan bagi kapal dan pesawat udara
asing yang menikmati lintas alur laut kepulauan. Bagi pengguna lintas damai dan lintas
transit belum ada gelar operasi yang spesifik, namun selalu dikaitkan dengan gelar operasi
keamanan laut. Sebagaimana diketahui bahwa sesuai peraturan perundangan telah banyak
instansi yang diberi wewenang untuk melaksanakan penegakan hukum di laut atau multy
agency single fosk, sehingga dirasakan tidak efektif dan sebagai pemborosan.
Sesungguhnya lndonesia memerlukan organisasi baru single agency multy tosk yang
merupakan penyatuan dari alut sista yang dimiliki oleh beberapa instansi yang ada saat ini.
Diskursus tentang organisasi baru ini telah berjalan beberapa tahun dan semoga dalam
waktu dekat telah dapat direalisasikan. Lembaga peradilan yang menangani secara khusus
pelanggaran kedaulatan perlu menjadi pemikiran kita bersama, apakah ditangani oleh
lembaga peradilan yang telah ada atau lembaga peradilan tersendiri seperti Mahkamah
Pelayaran dan sebagainya. 11 Penutup Bangsa lndonesia patut bersyukur karena
dianugerahi negara kepulauan dengan posisi yang sangat strategis sebagai poros maritim
dunia, dan sesungguhnya anugerah tersebut dapat mensejahterakan bangsa lndonesia bila
peluang yang ada dimanfaatkan sebaik-baiknya, namun juga dapat tidak berarti apa-apa
karena tidak memanfaatkannya. Poros maritim sangat berkaitan erat dengan perdagangan
dan pelayaran, oleh karena itu dalam rangka mengakomodasikan kepentingan masyarakat
lnternasional dan menyeimbangkan kepentingan antar negara, konvensi hukum laut
mengatur adanya hak lintas pelayaran atau penerbangan yang dapat dilakukan oleh kapal
ataupun pesawat udara asing melalui perairan lndonesia. Hak lintas itu meliputi hak lintas
transit, lintas damaidan lintas alur laut kepulauan. Lintas damai, lintas transit dan lintas
alur laut kepulauan memiliki karakteristik tersendiri yang pada hakekatnya adalah untuk
melindungi kepentingan negara pantai/kepulauan dan juga kepentingan kapal dan pesawat
udara ketika melintas di perairan lndonesia. Dari karakteristik tersebut dapat diidentifikasi
adanya persamaan maupun perbedaan dari masing-masing jenis lintas akibat subyek
pelaksanaan hak yaitu kapal dan pesawat udara asing, tempat yang hak-haknya dapat
dilaksanakan dan batasan dari pelaksanaan hak itu sendiri, untuk memastikan hak lintas
yang sedang dinikmati oleh kapal dan pesawat udara asing. lndonesia memiliki kedaulatan
di perairan lndonesia meliputi laut teritorial, perairan kepulauan dan perairan pedalaman
serta ruang udara di atas laut teritorial, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman serta
dasar laut dan tanah di bawahnya termasuk sumber kekayaan alam yang terkandung
didalamnya. Pelaksanaan kedaulatan tersebut tidak sepenuhnya absolut karena adanya
batasan-batasan yang harus di penuhi oleh negara kepulauan yaitu mengakomodasikan
kepentingan komunikasi/pelayaran negara lain. Oleh karena itu perlu adanya upaya-upaya
untuk mencegah terjadinya pelanggaran dan menindak kapal dan pesawat udara asing yang
melakukan pelanggaran kedaulatan saat menggunakan hak lintasnya. Hal-hal penting yang
perlu mendapat perhatian dalam penegakan kedaulatan antara lain kejelasan tentang
penetapan batas zona-zona maritim, sistem deteksi yang memadai, sistem informasi yang
Kondisi Maritim Indonesia, Kondisi Perdagangan Nasional, Kondisi 289
Pelabuhan dan Pelayaran Nasional dan Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia

terintegrasi, alut sista penindak secara kuantitas dan kualitas memadai, organisasi yang
efektif dan responsif serta adanya lembaga peradilan khusus bila diperlukan

Sesuai arahan Presiden, sudah saatnya kita kembali ke laut, kembali menjadikan
laut sebagai kekuatan bangsa dan negara Indonesia, sehingga Indonesia dapat menjadi
Poros Maritim Dunia. Tonggak baru pembangunan negara maritim dicanangkan oleh
Presiden Indonesia ke-7. Cuplikan pidato pelantikan Joko Widodo sebagai Presiden RI di
MPR pada tanggal 20 Oktober 2014, merupakan orientasi baru dan tonggak kebangkitan
bangsa Indonesia menjadi negara kepulauan yang segala aktivitasnya haruslah mencirikan
kemaritiman. 2. Untuk menterjemahkan arahan Presiden tersebut diatas, maka perlu
dilakukan kajian komprehensif untuk penyusunan konsepsi menjadikan Indonesia menuju
Poros Maritim Dunia. Indonesia memiliki posisi geografis strategis, diantara dua benua dan
dua samudera, menjadi alur pelayaran laut dunia yang penting, yang menjadi modal utama
untuk bisa dimanfaatkan guna mewujudkan Poros Maritim Dunia. Di dalam UU No
17/2007 tentang RPJPN 2005-2025, ditegaskan dalam Misi ke-7 untuk Mewujudkan
Indonesia Menjadi Negara Kepulauan yang Mandiri, Maju, Kuat dan Berbasiskan
Kepentingan Nasional (Kotak 1) 3. Lebih lanjut, sesuai Pidato di East Asian Summit tahun
2014, Presiden menyampaikan 5 (lima) pilar Pembangunan Poros Maritim yang mencakup:
(i) membangun budaya maritim; (ii) menjaga dan mengelola sumberdaya laut; (iii)
pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim; (iv) memperkuat diplomasi maritim
dan (v) sebagai Negara yang menjadi titik tumpu dua samudera, Indonesia wajib
membangun kekuatan pertahanan maritim.

Tujuan. Kajian Penyusunan Konsep ini secara khusus ditujukan untuk: (i)
Mengidentifikasi isu-isu strategis dan aspek-aspek utama dalam pengembangan poros
maritim; (ii) Memetakan tantangan utama di setiap sektor yang terkait dengan persoalan
kemaritiman; (iii) Menyusun Rancang Bangun dan Agenda Pembangunan di setiap Sektor
untuk mendukung Poros Maritim; (iv) Menyusun kerangka kerja pengembangan Indonesia
sebagai Poros Maritim Dunia. 5. Output. Output kajian ini berupa Laporan Konsep
Pembangunan Poros Maritim. Laporan bermanfaat untuk menjadi pedoman awal
pemikiran komprehensif tentang pengertian Poros Maritim dan langkah-langkah
pembangunannya. Pedoman awal dapat digunakan untuk koordinasi pembangunan Poros
Maritim secara terpadu; dan sebagai rujukan bagi masing-masing sektor dan pemangku
kepentingan untuk mengembangkan program dan langkah-langkah yang sinergis sejalan
dengan konsep yang disusun. III. Metodologi 6. Metoda Pelaksanaan Kajian. Proses
penyusunan Konsep Poros Maritim diperoleh melalui masukan dari berbagai Narasumber
dan serangkaian Diskusi Terfokus, baik di Pusat maupun di Daerah untuk menampung
aspirasi dari wilayah Timur dan Barat; serta studi literatur Data-data primer dan sekunder
yang diperoleh selanjutnya dianalisa dengan dept analysis. Proses FGD dan list para
pembicara, baik dari pakar, praktisi maupun pelaksana kebijakan, disampaikan dalam
Lampiran. 7. Kerangka Kerja Kajian dilakukan dalam 3 tahap. Tahap Pertama adalah
tahapan pengkajian potensi (assesment) yakni melakukan identifikasi, pemetaan dan telaah
terhadap hal-hal yang melatar-belakangi pentingnya kemaritiman bagi Indonesia; Tahap
Kedua adalah mengkaji isu penting, tantangan dan peluang tersebut secara bersamaan,
dengan merancang bangun pembangunan kelautan dan kemaritiman menuju poros maritim
dunia. Tahap ketiga adalah merumuskan langkah kedepan, roadmap, milestone dan
290 Bisnis Maritim

pentahapan secara garis besar dalam rangka mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim
Dunia

Landasan dan Modal menjadi Poros Maritim Dunia. Perwujudan Indonesia


sebagai Poros Maritim memiliki landasan kuat dari berbagai segi, baik landasan hukum,
tinjauan sejarah, mapupun kekuatan sosial ekonomi yang dapat dijadikan domain dan
peluang baru yang timbul dengan adanya dinamika geoekonomi dan geopolitik dunia dan
kawasan/regional. a. Pertama, berdasarkan kerangka hukum yang ada, pengertian negara
maritim perlu mengacu pada Pasal 25 Amandemen ke-2 UUD 1945 sebagai basis, yang
menyatakan: Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang
berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hakhaknya ditetapkan dengan
undang-undang Artinya esensi NKRI sebagai negara kepulauan tetap menjadi ciri khas,
namun perlu didukung juga dengan kemampuan kemaritiman yang kuat.

Kedua. Berbagai aspek pembangunan negara kepulauan, sebagaimana diuraikan


dalam misi ke 7 RPJP 2005-2015, merupakan aset kuat untuk disinergikan dan
didayagunakan untuk menjadikan posisi geostrategis Indonesia bisa diolah menjadi
kekuatan geoekonomi dan geopolitik dan sebagai domain menuju Poros Maritim Dunia.
Pemilihan domain sebagai andalan ini penting sekali, mengingat beberapa negara lain yang
lebih dahulu menguasai aspek kemaritiman dunia telah memiliki domain yang dijadikan
sebagai andalan (Kotak 2)). c. Ketiga, apabila aset yang berpotensi menjadi domain tidak
mampu kita manfaatkan secara baik, maka akan timbul beban (liability) yang harus kita
tanggung ke depan, yang berupa: (i) Aset sumberdaya kelautan akan dieksploitasi bangsa
lain; (ii) Posisi geografis akan dimanfaatkan negara lain menjadi hub; (iii) Indonesia akan
menjadi negara penonton, penjaga lalu lintas ALKI tanpa mendapat manfaat; malahan
bisa mendapatkan polusi yang ditimbulkan dari berbagai kegiatan tersebut. d. Keempat,
Dari sejarah masa kerajaan nusantara dan masa kolonial, nampak bahwa untuk menjadi
Poros Maritim bukan hanya berperan secara pasif memanfaatkan posisi geografis, namun
bagaimana mampu penggunaan seluruh kekuatan bangsa dan negara Indonesia untuk (i)
berkontribusi dalam peradaban maritim dunia; (ii) berperan dalam global supply chain
system (memiliki pangsa /share yang cukup dominan, menjadi hub dalam suatu rantai; dan
Kondisi Maritim Indonesia, Kondisi Perdagangan Nasional, Kondisi 291
Pelabuhan dan Pelayaran Nasional dan Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia

(iii) berperan dalam jaringan dan diplomasi dunia di bidang kelautan dan kemaritiman. e.
Kelima, Berkembangnya Geo-Ekonomi dan Geopolitik Dunia. Pusat ekonomi dunia ke
depan diperkirakan akan bergeser terutama dari kawasan Eropa-Amerika ke kawasan Asia
Pasifik. Kontribusi Pendapatan Domestik Bruto (PDB) negara berkembang terhadap PDB
Dunia pada tahun 2019 diperkirakan akan mencapai 43,8 persen; dimana pada tahun 2010
hanya sebesar 34,1 persen. Akibatnya, aliran modal asing ke negara berkembang
diperkirakan akan terus meningkat, terutama ke negara berkembang di kawasan Asia dan
Amerika Latin. Sumber pertumbuhan akan bertumpu di negara berkembang, sehingga
aliran perdagangan di kawasan ini akan meningkat; tidak saja perdagangan barang namun
juga perdagangan jasa, seperti: jasa logistik dan distribusi, jasa transportasi, jasa keuangan,
dan lain-lain.

Selain itu, berkembangnya regionalisasi perdagangan di dunia, seperti adanya


Regional Comprehensive Economic Partnership dan Trans-Pacific Partnership dapat
menjadi peluang baru, apabila Indonesia memperkuat diri dan meningkatkan peran sebagai
negara yang berada di titik persimpangan dua samudera dan dua benua dan menjadi poros
di tengah-tengah perputaran/dinamika dunia. 4.2. Unsur Pembangun Poros Maritim Dunia
9. Aspek penting untuk dibangun agar dapat mewujudkan Poros Maritim Dunia. Berbagai
aspek yang merupakan unsur-unsur pembangunan kelautan dan kemaritiman dapat
dikelompokkan menjadi dua bagian besar. Kelompok pertama adalah aspek ekonomi
kelautan dan kemaritiman yang menjadi aset andalan pengembangan dan pembangunan
Poros Maritim; Kelompok kedua, adalah aspek-aspek yang merupakan komponen tata
kelola, yang akan menentukan bagaimana aspek pertama tersebut dapat dikelola dan
dikembangkan arahnya untuk mewujudkan Poros Martim Dunia. Kedua kelompok aspek
tersebut, secara integratif penting untuk dikelola sebagai domain Indonesia untuk
menjadi Poros Maritim Dunia. 10. Kelompok aspek Ekonomi Kelautan dan Kemaritiman
a. Perikanan. Sumberdaya perikanan dan kelautan perlu dikelola agar tetap menjadi
kekayaan alam yang berlimpah di perairan Indonesia. Kekuatan armada perikanan
nasional, baik skala besar-menengah-kecil, perlu diperkuat setelah keberhasilan
penanganan illegal fishing. Perikanan budidaya memiliki potensi besar, terutama budidaya
laut dan payau yang perlu dimanfaatkan secara optimal, dimana kontribusinya akan terus
meningkat, sejalan dengan peningkatan konsumsi ikan di dunia. Selanjutnya, terkait
perbaikan pengelolaan perikanan tangkap, dibutuhkan manajemen WPP yang lebih tapat,
karena walaupun sudah lama ada penetapan 11 WPP, namun belum dimanfaatkan sebagai
alat untuk pembangunan perwilayahan perikanan secara strategis. Dengan semakin
tingginya permintaan konsumsi ikan dunia maupun kebutuhan domestik, maka
peningkatan produktifitas dan produksi perikanan budidaya dan perikanan tangkap menjadi
penting. b. Migas dan Mineral Laut. Pemanfaatan migas lepas pantai (offshore) dan
mineral dasar laut sebagai sumber energi merupakan potensi baru jasa kelautan yang harus
dikembangkan. Penguasaan bangsa Indonesia atas aset tersebut masih rendah dan belum
meratanya akses energi di seluruh wilayah Indonesia. Eksplorasi dan eksploitasi mineral
lepas pantai dan dasar laut perlu dilakukan secara bertahap. Pengembangan kapasitas
dalam negeri dalam menguasai usaha Migas dan Mineral offshore (laut lepas) perlu
ditingkatkan baik dari sisi penguasaan teknologi, pengembangan SDM kemampuan
permodalannya. c. Transportasi laut dan industri maritim. Transportasi laut (tol laut)
merupakan aspek penting dalam poros maritim. Selama ini, dengan paradigma
292 Bisnis Maritim

pembangunan yang beorientasi daratan, maka laut diperlakukan sebagai pemisah daratan
NKRI.

Sebagai akibatnya sistem transportasi laut banyak ketinggalan dibanding


pengembangan transportasi udara apalagi darat. Pembangunan kemaritiman memberikan
mandat bahwa laut menjadi penghubung pulau-pulau, sehingga transportasi laut
merupakan perekat dan unsur terpenting untuk pembangunan Poros Maritim. Transportasi
laut harus mampu menghubungkan antar pulau secara efektif, sehingga pusat-pusat
pertumbuhan baru di luar pulau Jawa akan berkembang, sehingga mengurangi kesenjangan
Jawa-luar Jawa. Pengembangan transportasi laut ini perlu didukung dengan pembangunan
industri maritim yang mencakup pembangunan galangan kapal dan industri komponen
kapal, pembangunan pelabuhan dan industri pelayaran, yang harus dijalankan secara
simultan untuk terwujudnya konektivitas maritim. d. Potensi Baru: Wisata Bahari,
Biodiversity Laut dan Potensi Intangible lainnya. Pantai dan pesisir Indonesia yang sangat
panjang, banyak mengandung kekayaan biodiversity pesisir dan laut yang belum
dimanfaatkan secara optimal. Kekayaan bidodiversitas laut yang berada di daerah
konervasi laut, sangat potensial untuk wisata bahari. Pengembangan potensi wisata pulau-
pulau kecil dengan terumbu karangnya, sangat bermanfaat untuk kesejahteraan masyarakat
pesisir dan pulau-pulau kecil. Kekayaan bidodiversity laut juga berpotensi untuk menjadi
bahan pangan baru, bahan pemelihara kebugaran dan kosmetika, bahan obat, dan bahan
bioteknologi, serta menjadi pendapatan hijau. Potensi laut lain untuk energi misalnya
juga masih perlu terus dieksplorasi sehingga laut benar-benar membawa manfaat
kesejahteraan dan sumber pertumbuhan perekonomian masyarakat dan negara. e. Pulau
Kecil terluar/terdepan. Indonesia memiliki 92 pulau kecil terluar/terdepan, yang selain
penting untuk pengembangan potensi baru, juga merupakan titik-titik terluar strategis
untuk titik luar pertahanan dan keamanan nasional. Berbagai negara di dunia saling
memperebutkan pulau-pulau kecil yang berlokasi di titik strategis di berbagai samudera.
Untuk itu, pulau kecil terluar di Indonesia perlu dijadikan titik strategis untuk persebaran
kekuatan pertahanan dan keamanan maritim, menegakan kedaulatan negara sekaligus
untuk mendukung dan memperkuat pembangunan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia.
11. Kelompok Aspek Tata kelola. Aset/kekayaan Kelautan dan Kemaritiman tidak akan
bermanfaat apabila tidak didukung oleh strategi pengelolaan yang tepat. Beberapa aspek
kemaritiman yang termasuk dalam kategori tata kelola adalah sebagai berikut

Penataan Ruang Laut. Ruang laut yang terdiri dari permukaan laut, kolom laut dan
dasar laut, membutuhkan pengaturan yang tepat. Pemanfaatan ruang laut ke depan akan
semakin berkembang untuk berbagai kepentingan, diantaranya untuk transportasi
laut/pelayaran, perikanan tangkap, pembangunan sarana prasarana/bangunan laut,
peletakan kabel/pipa laut, dan alat navigasi laut. Pengelolaan tata ruang dan zonasi pesisir
diperlukan untuk sinergitas pembangunan lintas sektor sekaligus mewujudkan pengelolaan
yang mensejahterakan masyarakat di daerah pesisir. Pemanfaatan ruang laut untuk aktifitas
dunia usaha perlu memperhatikan rentang kendali pengelolaan, dengan memperhatikan
adanya desentralisasi pembangunan, dengan tetap mengutamakan dan menjaga kesatuan
laut yang menjadi penyatu dan ciri Negara Kepulauan Indonesia. b. Pengaturan Alur Laut
Kepulauan. Sebagai negara kepulauan, Indonesia dilintasi 3 alur ALKI (Alur Laut
Kepulauan Indonesia) yang berfungsi sebagai alur pelayaran laut dunia untuk transportasi
logistik dan perdagangan, yaitu: (1) ALKI I melintasi Laut Cina Selatan-Selat Karimata-
Laut DKI-Selat Sunda; (2) ALKI II melintasi Laut Sulawesi-Selat Makassar-Luatan Flores-
Kondisi Maritim Indonesia, Kondisi Perdagangan Nasional, Kondisi 293
Pelabuhan dan Pelayaran Nasional dan Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia

Selat Lombok; dan (3) ALKI III Melintasi Sumadera Pasifik-Selat Maluku, Laut Seram-
Laut Banda. Untuk menuju poros maritim, maka perkembangan ekonomi laut dan maritim
perlu ditingkatkan dan dilaksanakan dengan pemanfaatan ALKI pelayaran internasional
dan menjadikan Indonesia sebagai hub perekonomian dunia. Selain itu, kota-kota
perlintasan ALKI dapat dibangun menjadi kota bandar internasional yang selaras dengan
peran Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. c. Pengawasan Laut. Pengawasan kegiatan
pemanfaatan jasa kelautan, termasuk lalu lintas di laut dilakukan oleh banyak lembaga
(Diantaranya Kepolisian, TNI Angkatan Laut, Kementerian Perikanan, Kementerian
Perhubungan, Kementerian Keuangan/Bea Cukai). Dalam Bagan 1 memang sudah
dibentuk lembaga Bakamla untuk koordinasi berbagai lembaga yang ada tersebut. Akan
tetapi, belum memiliki hubungan yang dominan untuk menyelesaikan masalah di laut
dengan cepat, ketiadaan single authorities selama ini menimbulkan ekses adanya
pemeriksaan oleh bebagai lembaga sehingga memperlambat kelancaran pelaku usaha dan
membuka peluang penyimpangan di laut. Dalam Bagan 1 juga nampak bahwa masih
adanya grey area antara pengawasan militer untuk keperluan pertahanan keamanan,
dengan pengawasan pelayaran sipil. Untuk saat ini, koordinasi berbagai lembaga nampak
mencukupi. Akan tetapi, dengan semakin pentingnya kesatuan dan keterpaduan upaya
pertahanan dan keamanan NKRI untuk mendukung Poros Maritim; dan akan semakin
berkembangnya pelayaran sipil dan komersial di perairan Indonesia, maka perlu ada
pemisahan jelas antara fungsi pengawasan untuk pertahanan keamanan dan menegakkan
kedaulatan NKRI, dengan fungsi pengawasan untuk keamanan pelayaran sipil. d.
Pertahanan dan Keamanan untuk Kedaulatan NKRI. Perkembangan ekonomi kelautan dan
kemaritiman, perlu didukung dengan sistem pertahanan dan keamanan yang kuat dan
tangguh sehingga dapat menopang pemanfaatan domain yang dibangun menjadi
kekuatan strategis geoekonomi dan geopolitik. Sistem pertahanan dan keamanan integratif
darat-udaralaut perlu dibangun sesuai dengan transformasi paradigma yang berkonsentrasi.
keseimbangan darat-laut-udara yang tepat, perlu dikembangkan baik personil, maupun
peralatan pertahanan keamanan, untuk menjaga kedulatan dan mempertahankan negara
pada saat Indonesia nantinya menjalankan perannya sebagai Poros Maritim Dunia. e.
Budaya Bahari, SDM dan Iptek Kelautan yang meliputi cara pandang/paradigma dan
budaya yang tercermin pada wujud konkrit seperti perilaku dan kebiasaan/budaya bahari,
penguasaan imu pengetahuan dan teknologi, serta kapasitas sumberdaya manusia. Cara
pandang merupakan unsur terpenting dan perlu diinternalisasikan ke dalam semua aspek
pembangunan kelautan dan kemaritiman. Pemahaman dan aplikasi budaya bahari perlu
ditingkatkan. Hal ini mencakup pemahaman yang mendalam akan peran laut sebagai
sumber kesejahteraan bangsa sekaligus bagaimana peran bangsa dalam memanfaatkan laut,
hal ini disebut dengan ocean literacy, yang mencakup aspek knowhow, know the facts and
skill yang perlu dibangun kembali, karena selama ini pembangunan sudah sangat
berorientasi darat, sehingga kebiasaan masyarakat, kemampuan sumberdaya manusia
kelautan dan kemaritiman juga relatif tertinggal. Untuk itu: (i) Kapasitas sumberdaya
manusia di berbagai bidang di atas perlu dikembangkan secara lengkap dan sinergi; (ii)
Generasi muda perlu diarahkan pandangannya, sehingga dapat menempatkan laut sebagai
titik sentral paradigma, perilaku dan langkah mereka; (iii) Kearifan lokal perlu dihidupkan
kembali, terutama yang mendukung dan menjadi aset budaya maritim Indonesia, yang
mungkin sangat berbeda dengan budaya maritim di negara dan wilayah dunia lainnya.
294 Bisnis Maritim

5.22 Roadmap Indonesia Poros Maritim Dunia


Kondisi Maritim Indonesia, Kondisi Perdagangan Nasional, Kondisi 295
Pelabuhan dan Pelayaran Nasional dan Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia
296 Bisnis Maritim
Kondisi Maritim Indonesia, Kondisi Perdagangan Nasional, Kondisi 297
Pelabuhan dan Pelayaran Nasional dan Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia
298 Bisnis Maritim
Kondisi Maritim Indonesia, Kondisi Perdagangan Nasional, Kondisi 299
Pelabuhan dan Pelayaran Nasional dan Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia
300 Bisnis Maritim
Kondisi Maritim Indonesia, Kondisi Perdagangan Nasional, Kondisi 301
Pelabuhan dan Pelayaran Nasional dan Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia
302 Bisnis Maritim
Kondisi Maritim Indonesia, Kondisi Perdagangan Nasional, Kondisi 303
Pelabuhan dan Pelayaran Nasional dan Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia
304 Bisnis Maritim
Kondisi Maritim Indonesia, Kondisi Perdagangan Nasional, Kondisi 305
Pelabuhan dan Pelayaran Nasional dan Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia
306 Bisnis Maritim
Kondisi Maritim Indonesia, Kondisi Perdagangan Nasional, Kondisi 307
Pelabuhan dan Pelayaran Nasional dan Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia
308 Bisnis Maritim
Kondisi Maritim Indonesia, Kondisi Perdagangan Nasional, Kondisi 309
Pelabuhan dan Pelayaran Nasional dan Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia
310 Bisnis Maritim

Daftar Pustaka

Aliyah, Y.F., 2014. Analisis Risiko Sosial pada Terminal Penerima LNG Pesanggaran dengan
Metode Fire and Explosion Modellng. pp.12-13.
Berg, A.C.V.D., 2015. Vapor Cloud Explosion Blast Modelling.
Fahreza, Y.A., 2015. Risk Assessment of fire/Explosion Aboard Tankers During Service.
Falopi, T., 2015. Aplikasi Fuzzy Inference System (FIS) Tsukamoto.
Fauzi, R., 2016. Penilaian Risiko Sosial Unloading Muatan Pada Terminal Penerima CNG, Studi
Kasus: Terminal Penerima CNG di Pembangkit Lombok Peaker. Surabaya. Handiyana,
I.G.N., 2016. Anatomi Kapal LPG Carrier.
Hayati, N., 2016. Analisa Risiko Sosial Pada Jalur Pipa LNG Teluk Benoa Bali. Desain pipa gas.
HSE, U., n.d. Fire and Explosion Strategy. Offshore Division.
Kusumadewi, S., 2013. Aplikasi Logika Fuzzy untuk Pendukung Keputusan. Yogyakarta: Graha
Ilmu.
L.A, Z., 1965. Fuzzy Sets. Information and Control.
Munir, R., n.d. [Online].
Pujiono, B., n.d. Analisis Potensi Bahaya Serta Rekomendasi Perbaikan dengan Metode Hazard and
Operability Study (HAZOP) Melalui Perangkingan OHS Risk Assessment and Control.
HAZOP.
Ragheb , M., 2013. Event Tree Analysis.
Rew, P.J. & Spencer, H., 2015. The Sensitivity of Risk Assessment of Flash Fire Events to
Modelling Assumptions.
Rikayanti, N., 2015. Penilaian Risiko Sosial dan Analisis Geoteknik Terhadap Jalur Pipa LPG
Semarang. Surabaya.
Roberts, T., 2001. Consequences of Jet-Fire Interaction with Vessels Containing Pressurised,
Reactive Chemicals.
Saelan, A., 2009. Logika Fuzzy. pp.4-5. Seattle, W., 2013. ALOHA (Areal Locations Of Hazardous
Atmospheres) 5.4.4.
Shipping, I.C.o., 1995. Ship to Ship Transfer Guide. In Shipping, I.C.o. Ship to Ship Transfer Guide.
witherby. pp.8-9.
Stavrou, D.I. & Ventikos, N.P., 2014. Ship to Ship Transfer of Cargo Operations: Risk. Risk
Analysis and Crisis Response, pp.214-27.
Syukur, M., n.d. Penggunaan Liquified Petroleum Gases (LPG): Upaya mengurangi kecelakaan
akibat LPG. Karakteristik LPG.
Soemartojo, Materi Pengantar Teknologi Kelautan Sistem Motor Induk dan Alat Pendorong:2012
Soemartojo, Materi Pengantar Teknologi Kelautan Sistem Pembangkit Daya:2012
Soemartojo, Materi Pengantar Teknologi Kelautan Perkapalan Minggu 1-4, 2012
Taylor, D.A. Introduction to Marine Engineering Second Edition.University Press. Cambridge
Kornsberg Maritime.(2013). Ship Performance System, Korsberg Maritime AS, Normay.
Kornsberg Maritime.(2014). Vessel Performance Optimizer, Korsberg Maritime AS, Normay.
Kornsberg Maritime.(2013). Fleet Management, Korsberg Maritime AS, Normay.
Calleya, J. (2014). Ship Impact Model for Technical Assessment and selection of Carbon Dioxade
ReducingTechnologies (CRTs), University College London, UK.
Varela, J.M. (2014). On-Board Decision Support System for Ship Flooding Emergency Response,
ITMO University, Russia.
ABS. (2012). GUIDE FOR CREW HABITABILITY ON SHIPS. New York: American Bureau of
Shipping.

You might also like