You are on page 1of 29

REFERAT

Aplikasi Fotografi dalam Penentuan Bukti


Medikolegal

Oleh :
Agri Asmarayana 115070107121001
Nadiya Elfira Bilqis 125070100111035
Nancy Priscilla Bria 125070107111049
Hestantia Utama 135070107111046
Muhammad Firas Balafif 135070107121011

Pembimbing:
dr. Eriko Prawestiningtyas, Sp.F

LABORATORIUM SMF ILMU KEDOKTERAN FORENSIK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM DR. SAIFUL ANWAR
MALANG
2017
DAFTAR ISI

Halaman Judul ......................................................................... 1

Daftar Isi ...................................................................................2

BAB I Pendahuluan .................................................................. 3

BAB II Tinjauan Pustaka .......................................................... 6

BAB III Kasus ......................................................................... 16

BAB IV Pembahasan ............................................................. 21

BAB V Penutup ...................................................................... 26

Daftar Pustaka ....................................................................... 27

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Pendahuluan

Medikolegal adalah suatu ilmu terapan yang melibatkan dua aspek ilmu
yaitu medico yang berarti ilmu kedokteran dan legal yang berarti ilmu hukum.
Medikolegal berpusat pada standar pelayanan medis dan standar pelayanan
operasional dalam bidang kedokteran dan hukum-hukum yang berlaku pada
umumnya dan hukum-hukum yang bersifat khusus seperti kedokteran dan
kesehatan pada khususnya. Kasus medikolegal adalah kejadian, masalah, kasus
medis atau non medis yang dapat berpotensi menjadi masalah hukum, baik dalam
bentuk kasus pidana maupun perdata seperti cedera, cacat, atau meninggal.
Kasus medikolegal memerlukan keahlian medis serta penyelidikan dari lembaga
penegak hukum untuk mengetahui siapa yang bertanggung jawab atas kasus
tersebut (Kusmayadi, 2014).
Standar profesi dokter di bidang kedokteran forensik dapat didefinisikan
sebagai standar keilmuan dan keterampilan minimal yang harus dikuasai seorang
dokter dalam menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran untuk
membantu penegakan hukum, keadilan dan memecahkan masalah-masalah
hukum (Kusmayadi, 2014). Kemampuan untuk menilai secara tepat, dokumen,
dan interprestasi luka merupakan bagian penting dari pekerjaan seorang dokter
forensik atau ahli patologi forensik. Tujuan dari penilaian dan dokumentasi adalah
untuk membantu dalam menetapkan bagaimana luka atau cedera ini disebabkan,
yang mungkin sering menghadapi masalah di pengadilan. Keterampilan dalam
penilaian dan dokumentasi luka baik melalui fotografi harus dimiliki oleh dokter
manapun, meskipun jarang dilakukan secara penuh dan tepat. Interpretasi dari
penyebab luka dan cedera yang mungkin lebih baik dilakukan oleh ahli forensik,
karena mungkin ada banyak faktor yang terlibat dalam interpretasi luka tersebut.
Karena dalam interpretasi luka dapat dilakukan dengan peninjauan dokumen,
misalnya deskripsi tertulis, pemetaan tubuh grafik, atau fotografi. Sehingga
deskripsi yang dibuat sebagai penilaian dapat dipahami oleh semua pihak (Perkusi
et al., 2015).

3
Penggunaan alat bukti digunakan sebagai salah satu upaya untuk mencari
kebenaran dalil dalam suatu perkara, bersifat wajib dan harus dipertimbangkan
secara logis. Salah satu metode pencarian barang bukti adalah melalui fotografi
oleh penyidik kepolisian. Untuk memperoleh kebenaran atas semua peristiwa yang
disebabkan oleh perbuatan manusia sangat tidak mudah, karena dalam suatu
peristiwa, kerap kali sering terdapat suatu kekurangan atau ketidaklengkapan
barang bukti, sehingga petugas penyidik harus bekerja lebih kerasdan teliti dalam
mengumpulkan bukti-bukti yang sah untuk mendapatkan kebenaran yang
selengkap-lengkapnya dalam mengusut atau menyelidiki suatu tindak pidana yang
sebenarnya (Isdiyanto, 2016). Dalam pembuktian acara pidana setidak-tidaknya
harus terdapat dua alat bukti yang sah sebagai dasar menjatuhkan pidana bagi
terdakwa, ini dijelaskan Pasal 183 KUHAP. Menurut Pasal 184 KUHAP,
disebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah sebagai berikut: (1) Keterangan
saksi; (2) keterangan ahli; (3) Surat; (4) Petunjuk; (5) Keterangan terdakwa
(Handoko, 2015).
Salah satu proses yang paling sering dilakukan dalam setiap upaya
penyelenggaraan pemeriksaan forensik adalah proses dokumentasi. Fotografi
adalah salah satu media yang memiliki andil cukup besar dalam proses ini.
Fotografi forensik sering juga disebut sebagai forensic imaging atau crime scene
photography adalah suatu proses seni menghasilkan bentuk reproduksi dari
tempat kejadian perkara atau tempat kejadian kecelakaan secara akurat untuk
kepentingan penyelidikan hingga pengadilan. Fotografi forensik juga termasuk ke
dalam bagian dari upaya pengumpulan barang bukti seperti tubuh manusia,
tempat-tempat dan setiap benda yang terkait suatu kejahatan dalam bentuk foto
yang dapat digunakan oleh penyidik atau penyidik saat melakukan penyelidikan
atau penyidikan (Perkusi, 2015). Oleh karena itu, dibutuhkan pengetahuan tentang
fotografi forensik dalam menentukan bukti untuk menyelesaikan kasus
medikolegal.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang diangkat pada referat ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah yang dimaksud dengan fotografi forensik?

4
2. Apa saja klasifikasi dari fotografi forensik?
3. Apakah peranan dari fotografi forensik?
4. Apa saja peralatan yang dibutuhkan dalam fotografi forensik?
5. Bagaimana teknik pemotretan fotografi forensik?

1.3 Tujuan

Tujuan dari penulisan referat ini adalah sebagai berikut:


1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan fotografi forensik.
2. Untuk mengetahui klasifikasi dari fotografi forensik.
3. Untuk mengetahui peranan dari fotografi forensik.
4. Untuk mengetahui peralatan apa saja yang dibutuhkan dalam fotografi
forensik.
5. Untuk mengetahui teknik pemotretan fotografi forensik.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Fotografi Forensik


Fotografi forensik dapat disebut juga crime scene photography atau
forensic imaging yaitu suatu seni fotografi yang menampilkan tempat kejadian
perkara (TKP) secara detail dan akurat untuk kepentingan penyelidikan
hingga pengadilan (Crimesceneinvestigator.org, 2012). Fotografi Forensik ini
bisa digunakan secara spesifik untuk dokumentasi, analisis, intelejen, atau
untuk presentasi suatu kejadian di pengadilan. Disamping itu, foto yang
digunakan dalam suatu proses hukum di pengadilan harus sesuai fakta, serta
harus mengikuti aturan-aturan yang sesuai. Fotografi pada tempat kejadian
perkara dapat digunakan untuk menghubungkan adegan tersangka kepada
korban (Holin Sulistyo, 2013).

2.2 Klasifikasi Fotografi Forensik


1. Fotografi Olah TKP
2. Fotografi Teknik (noda darah, pemeriksaan bercak darah dengan luminol,
bekas gigitan, bekas sepatu (shoeprint), bekas ban,dll)
3. Fotografi Autopsi (Tubagus, 2012)

2.3 Peranan Fotografi Forensik


2.3.1 Fotografi Olah Tempat Kejadian Perkara (TKP)
Tujuannya adalah untuk mendokumentasikan seluruh bagian dari
tempat kejadian perkara, mengumpulkan keterangan, barang bukti,
identitas korban ataupun tersangka untuk kepentingan penyelidikan
selanjutnya (Holin Sulistyo, 2013). Apabila dokter forensik diminta untuk
ikut mengolah TKP maka yang perlu dilakukan adalah memastikan korban
hidup atau meninggal. Bila korban telah meninggal tentukan perkiraan saat
kematian, dari penurunan suhu, lebam mayat, kaku mayat, dan perubahan
post mortal lainnya lalu menentukan jenis luka dan jenis kekerasan yang
dapat memberikan informasi perihal alat atau senjata yang dipakai serta

6
perkiraaan proses terjadinya kejahatan. Setelah itu membuat sketsa
keadaan di TKP secara sederhana dan dapat memberikan gambaran
posisi korban yang terdapat di TKP. Dokter juga berkontribusi dalam
membantu penyidik dalam mencari dan mengumpulkan barang bukti
misalnya racun, pisau, anak peluru (Martin Susanto, 2012).
Pada TKP di dalam ruangan biasanya diambil gambar dengan
metode empat sudut. Pertama foto diambil secara serial di pintu masuk
ruangan tempat korban ditemukan, lalu fotografer berpindah sudut dan
melakukan hal serupa saat di pintu masuk, demikian seterusnya hingga
keempat. Semua ruangan yang berhubungan dengan pada ruangan TKP
diambil gambarnya secara panoramik, termasuk segala sesuatu yang
ditemukan dan dianggap tidak biasa yang berhubungan dengan kejadian
(Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia, 2017).
Petugas yang melakukan olah TKP juga harus memperhatikan
beberapa hal seperti
1. Menggunakan perlengkapan pengamanan diri
2. Jangan banyak memegang benda yang bukan sasaran medik
3. Jangan banyak melakukan perubahan
4. Tidak tergesa-gesa (Tubagus, 2012)

2.3.2 Fotografi Teknik


Fotografi berupa noda darah, pemeriksaan bercak darah dengan
luminol, bekas gigitan, bekas sepatu (shoeprint), bekas ban,dll.
1. Pemeriksaaan Noda Darah
Mendokumentasikan noda darah merupakan hal yang penting
untuk investigasi. Pada noda darah kita dapat melihat angle of
impact (sudut dampak) yaitu sudut interbal dimana darah
menghantam sasaran permukaan. Sudut dampak adalah fungsi
dari hubungan antara lebar dan panjang noda darah yang
dihasilkan. Pada dampak 90, resultan noda darah melingkat akan
memiliki lebar yang sama dan panjang (G. Eckret, 1997).

7
2. Foto bercak darah dengan luminol
Luminol adalah senyawa chemiluminescent yang digunakan
sebagai ujia katalitik dugaan untuk adanya darah, mengambil
manfaat dari peroksidase seperti aktivitas hem untuk memproduksi
cahaya sebagai produk akhir tetapi bukan reaksi warna yang
sebenarnya. Luminol sangat berguna apabila digunakan untuk
mendeteksi jejak darah yang tidak dapat dilihat langsung pada TKP
misalnya pada lantai yang gelap, pada karpet, celah dan retakan di
lantai dan dinding, area dimana dicurigai telah dibersihkan dari
darah sebelumnya (G. Eckret, 1997).

3. Investigasi bekas gigitan


Bekas gigitan pada kulit menunjukan pola luka di kulit yang
diakibatkan oleh gigi. Hal tersebut paling sering ditemukan pada
kasus pembunuhan, kekerasan seksual, kekerasan terhadap anak,
atau mungkin karena gigitan hewan. Tujuan dari menyelidiki bekas
gigitan adalah untuk mengenali tanda gigitan, memastikan bahwa
gigtan tersebut akurat dan didokumentasikan dan untuk

8
membandingkan dengan gigi tersangka. Tanda gigitan harus difoto
bersama kulit dalam posisi dimana ia digigit (G. Eckret, 1997).

4. Investigasi sidik jari


Istilah sidik jari mengacu pada ibu jari, telapak dan jari kaki.
Sidik jari mempunyai beberapa jenis yaitu:
Sidik jari yang terlihat seperti debu, lumpur, darah, minyak atau
permukaan yang kontras dibelakangnya
Sidik jari laten, tersembunyi sebelum dimunculkan dengan
serbuk atau alat pohy light
Sidik jari cetak, pada permukaan yang lembut seperti lilin
Sidik jari etched, pada logam yang halus, disebabkan oleh
asam yang ada di kulit (G. Eckret, 1997).

2.3.3 Fotografi Autopsi


Setelah olah TKP selesai, tubuh korban dikirm ke instalasi kedokteran
untuk mendokumentasikan segala sesuatu yang ditemukan pada jenazah
mulai dari posisi jenazah, luka-luka yang terdapat pada jenazah hingga
proses autopsi selesai. Syarat utama yang dimiliki oleh fotografer adalah
harus mengetahui anatomi tubuh manusia. Pengambilan gambar dimulai
dari jarak jauh pada bagian depan dan belakang tubuh korban, dilanjutkan
pada saat dimulai pemeriksaan yaitu saat melepas pakaian korban hingga
membersihkan tubuh korban. Close-up dilakukan pada pengambilan
gambara yang diperlukan seperti luka tembak, patah tulang, atau tatoo
pada korban dan lain-lainnya. Pada pemeriksaan dalam penga,bilan
gambar dilakukan 2 kali yakni in situ untuk memperlihatkan lokasi dan
beratnya penyakit atau kerusakan yang terjadi dan yang kedua setelah
organ dikeluarkan dan dibersihkan (Tubagus, 2012).

9
2.4 Peralatan Fotografi Forensik
1. Kamera
Kamera yang digunakan adalah kamera single-lens reflex 35mm. Kamera
ini menggunakan sebuah lensa dengan sistem cermin yang bergerak
secara automatis, menerima cahaya yang datang untuk dipantulkan ke
sebuah pentaprism yang ditempatkan di atas jalur optik cahaya yang
berjalan di bagian dalam lensa, yang memudahkan fotografer menemukan
dimensi sesungguhnya (Kent, 2010).
2. Format Film
Format film yang digunakan pada kamera adalah 35 mm. Hasil foto pada
format 35 mm akan memberikan gambaran full frame yang tajam dimana,
dimensi obyek yang dihasilkan fotografer melalui cermin pentaprism akan
sama dengan objek yang ditangkap oleh film ini (Kent, 2010).
3. Lensa
Lensa yang paling sering digunakan adalah lensa standar 50 mm, namun
pada TKP atau pada pengambilan gambar terjauh dari tubuh korban pada
kondisi TKP yang sulit biasanya menggunakan lensa 28 mm atau 30 mm.
Banyak yang mengkombinasi lensa-lensa tersebut yang memiliki variable-
focus zoom lens anatara 28mm 80mm untuk mempersingkat waktu
pengambilan gambar (Kent, 2010).

2.5 Teknik Pemotretan Fotografi Forensik


Teknik yang dibutuhkan adalah mendapatkan jepretan yang dapat
memberikan hasil yang tajam, berkomposisi, seimbang dalam hal
pencahayaan dan warna, dan tidak mengalami perubahan dimensi obyek.

2.5.1 Ketajaman Gambar


Salah satu unusur yang menentukan ketajaman sebuah gambar
adalah kedalaman gambar (depth of field). Untuk membuah sebuah
gambar lebih hidup, dibutuhkan penciptaan rasa akan adanya
kedalaman dari gambar. Kondisi ini dimungkinkan dengan manipulasi
elemen-elemen yang terdapat di latar depan, tengah, dan belakang.

10
Garis sederhana yang membawa pandangan ke area-area dalam
gambar menunu center of interest bisa lebih efektif. Disini, peimilihan
lensa dan bukaan diafragma (aperture) menjadi unsur vital untuk
menciptakan kedalaman. Pada pemotretan organ dalam (viscera),
dapat dilakukan menggunakan gelas yang diletakkan secara terbalik
dan di cat sesuai warna latar belakang yang digunakan (biasanya
hijau) yang trletak agak jauh di bawah gelas untuk menghindari fokus
serta penggunaan lampu tungsten sebagai pencahayaan
(Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia, 2017).

2.5.2 Komposisi Gambar


Pada TKP gambar diambil secara serial dan panoramik
menggunakan lensa-lensa sudut lebar agar seluruh obyek pada TKP
dapat terekam dalam bingkai pemotretan sekaligus. Diperlukan
komposisi obyek yang baik dan kuat agar pesan yang tersirat dala
setiap bingkau pemotretan dapat tersampaikan ke penyidik. Hal ini
sangat penting dalam rekonstruksi kejadian (Perhimpunan Dokter
Forensik Indonesia, 2017).
Dikenal rumus pertigaan pada teknik komposisi fotografi yakni
membagi bingkai gambar menjadi sembilan bagian yang sama.
Pembagiannya adalah dua garis horizontal dan dua garis vertikal.
Rumus ini dapat digunakan dalam segala format baik bujur sangkar,
persegi panjang atau panorama. Komposisi yang dibangun akan
seimbang saat menempatkan obyek tepat di atau dekat titik pertemuan
garis (point of power). Dalam seni fotografi, rumus ini juga dapat
dipergunakan untuk pengambilan gambar jarak dekat tetapi dalam
aplikasinya tidak disarankan pada autopsi karena dalam hal tersebut
lebih ditekankan proses representasi dari realita, misalnya pada
pengambilan organ dalam (Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia).
Sebelum menekan tombol shutter , sebaiknya sudah ditentukan
bagian mana yang menjadi pusat perhatian. Seringkali masalah yang
kita temui adalah latar belakang yang mengganggu kekuatan obyek

11
utama, seperti sesuatu yang berwarna cerah, warna atau bentuk, atau
pemilihan diafragma lensa (aperture) yang kurang baik. Akibatnya
gambar yang dihasilkan akan membingungkan, tidak jelas mana yang
menjadi pusat perhatian tetapi dengan mengubah posisi memotret,
melakukan zooming pada bagian terpenting, dan menggunakan format
potrait, masalah tersebut dapat diatasi (Perhimpunan Dokter Forensik
Indonesia, 2017).

2.5.3 Eksposur
Untuk menciptakan serangkaian warna pada gambar, kamera
harus memastikan bahwa jumlah cahaya yang optimal sampai ke
sensor atau film. Hal tersebut dapat dilakukan dengan mengatur lama
eksposur (kecepatan rana/shutter speed) dan intensitas cahaya
(bukan diafragma/aperture) pada lensa. Gambar dibentuk melalui
akumulasi cahaya di film atau sensor selama eksposur. Kamera juga
berupaya mengarahkan onyek secara keseluruhan ke arah grey tone
18% (area mid tone/kontras netral kamera) sehingga dibutuhkan
pengukuran eksposur. Kurangi eksposur antara 0,7 EV sampa 1 EV
untuk menjaga kedalaman warna dan detail pencahayaan. Saat
pemotretan organ dalam, organ ditempatkan pada suatu area dengan
latar belakang warna biru atau hijau. Warna putih dapat digunakan
meskipun dapat mempengaruhi ukuran eksposur jika latar belakang
terlalu terlihat pada tepi gambar. Walaupun obyek yang diambil
terbilang mid-tone terang atau gelap yang tidak normal bisa
menimbulkan kesalahan eksposur. Organ yang difoto juga harus
dibersihkan atau dabb (penekanan dengan kain atau busa) agar organ
terbebasdari darah pada bagian permukaan dan latar belakang untuk
menghindari terjadinya efek penyinaran yang kuat (Kent, 2010).

2.5.4 Warna
Pilihan auto white balance pada kamera digital akan automatatis
menyesuaikan dengan warna-warna, atau temperatur cahaya yang

12
berbeda untuk mendapatkan hasil yang mendekati normal. Tetapi hal
tersebut tidak diinginkan karena kamera akan berupaya menganalisa
warna-warna yang ada pada obyek foto dan menormalkannya tapi
seringkali gagal membedakan anatar warna cahaya dan warna
bawaan obyek itu sendiri. Maka aturlah white balance secara manual
sesuai pilihan dan dibutuhkan beberapa ekspreimen memotret agar
pengaturan white balance sesuai kebutuhan dan lebih natural
(Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia, 2017).

2.5.5 Pencahayaan
Terdapat empat elemen cahaya yang perlu dipahami yaitu kualitas,
warna, intensitas, dan arah. Kualitas cahaya ditentukan dari bayangan
yang diciptakannya. Pencahayaan yang keras akan membentuk
bayangan yang tajam dan penyinaran yang kuat. Sebaliknya jika
pencahayaan yang lembut akan memunculkan bayangan yang lembut
yang detailnya masih terlihat.
Cahaya bisa menerangi obyek dari tiga arah yaitu depan, samping
dan belakang yang memberikan efek yang berbeda pada foto.
Backlighting dapat memberikan semacam efek halo di sekitar obyek.
Yang perlu diperhatikan adalah cahaya langsung menerpa depan
lensa, karena dapat memunculkan flare yang mengurangi kontras.
Untuk menanganinya gunakan selembar kertas atau tangan untuk
menutupi sinar yang mengarah langsung ke lensa di luar bingkai
pemotretan. Pada sidelighting sangat baik untuk memunculkan tekstur
pada obyek, juga memberi kesan kedalaman. Pada frontlighting baik
untuk pemotretan wajah close-up (Perhimpunan Dokter Forensik
Indonesia, 2017).
Beberapa teknik pencahayaan untuk memotret berbagai bukti :
1. Pencahayaan langsung. Pencahayaan langsung
menggunakan pencahayaan salinan normal dengan satu
atau lebih sumber cahaya pada sudut 45 derajat.Cahaya
dipantulkan langsung dari subjek ke lensa. Tempatkan

13
subjek pada sudut 10 derajat dari lensa untuk latar film dan
menempatkan sumber cahaya di sudut 10 derajat dari
subjek. Sumber cahaya mencerminkan pada sudut 20
derajat ke arah lensa. Sumber cahaya mungkin perlu
disebarkan untuk mencegah hot spot. Metode ini
menciptakan kontras yang sangat tinggi.
2. Pencahayaan reflektif langsung. Cahaya dipantulkan
langsung dari subjek ke lensa. Tempatkan subjek pada
sudut 10 derajat dari lensa untuk latar film dan
menempatkan sumber cahaya di sudut 10 derajat dari
subjek. Sumber cahaya mencerminkan pada sudut 20
derajat ke arah lensa. Sumber cahaya mungkin perlu
disebarkan untuk mencegah hot spot. Metode ini
menciptakan kontras yang sangat tinggi.
3. Pencahayaan oblique. Pencahayaan oblique menggunakan
sumber cahaya pada sudut yang rendah, biasanya untuk
menampilkan detail dengan menciptakan bayangan di
permukaan subjek. Hal ini umumnya digunakan ketika
memotret tayangan, tanda alat dan beberapa jenis sidik jari.
4. Pencahayaan memantul. Cahaya memantul permukaan
reflektif atau putih. Permukaan pantul dapat ditempatkan
pada lokasi yang berbeda (di atas atau ke satu sisi subjek)
untuk menciptakan efek yang diinginkan. Ini biasanya
menghasilkan rata yang tidak menyilaukan bahkan dengan
kontras rendah.
5. Pencahayaan menyebar. Bahan buram ditempatkan antara
sumber cahaya dan subjek untuk menyebarkan cahaya. Hal
ini biasanya menghasilkan pencahayaan bahkan dengan
mengurangi refleksi dan hot spot.
6. Pencahayaan transmisi. Dengan subyek transparan
sumber cahaya ditransmisi kan melalui subjek menuju
lensa. Sudut pencahayaan ditransmisikan dan disesuaikan

14
dari 90 derajat sampai 45 derajat untuk efek yang
diinginkan.
7. Pencahayaan sumbu dan arah depan. Sepotong jelas kaca
ditempatkan di antara subjek dan lensa pada sudut 45
derajat. Sumber cahaya diposisikan sejajar dengan tempat
film dan 45 derajat ke kaca. Sementara cahaya
ditransmisikan melalui kaca, beberapa tercermin ke bawah
langsung pada subjek. Teknik ini efektif bila memotret sidik
jari dicermin pada gelas atau cangkir (Holin Sulistyo, 2013).

15
BAB III
KASUS

Pada hari Rabu tanggal 22 Maret 2017, tepatnya pukul 05.30 WIB, warga
Kadungora, Garut, Jawa Barat dihebohkan dengan penemuan jenazah wanita,
usia sekitar 15 tahun, di sebuah rumah warga. Jenazah tersebut ditemukan oleh
seorang warga yang berniat membeli rokok di toko kelontong milik rumah korban.
Namun setelah memanggil-manggil lama, tidak ada pemiliki toko yang keluar
akhirnya pembeli berinisiatif masuk ke dalam rumah dan langsung terkejut begitu
menemukan jenazah dalam keadaan terlentang dan belumuran darah di dekat
kamar tidur. Jenazah selanjutnya diketahui bernama Dinda, seorang siswi SMA
yang juga putri dari pemilik toko kelontong tersebut. Kedua orangtua Dinda sedang
pergi ke pasar sehingga korban berada di rumah sendirian saat kejadian.
Setelah pihak polisi melakukan olah TKP dan penyidikan, pelaku dapat
ditangkap siang itu juga. Pelaku berinisial DN (23 tahun) yang berprofesi sebagai
buruh dan ditangkap di sekitar lokasi kejadian. Pelaku mengaku membunuh
korban ketika ketauan hendak mencuri rokok di toko kelontong korban. Awalnya
pelaku mencekik korban namun korban melawan dan mengambil pisau di atas
meja. Kemudian pelaku merebut pisau tersebut dari tangan korban dan langsung
menggorok leher korban. Pelaku mengambil smartphone milik korban dan pisau
yang digunakan untuk membunuh tersebut. Kemudian pelaku menyembunyikan
pakaiannya di dalam sebuah ember dan disembunyikan di cucian mobil dekat
TKP. Pelaku selanjutnya berpura-pura terkejut dan ikut membantu keluarga
korban saat korban ditemukan di TKP.

16
Dokumentasi:

Tempat Kejadian Perkara

Jenazah korban saat pertama ditemukan di TKP oleh warga

Pisau yang digunakan oleh pelaku Ember tempat pelaku


untuk membunuh korban menyembunyikan pakaiannya

17
Lampiran berita:

Remaja Putri di Garut Ditemukan Tewas Bersimbah


Darah di Rumahnya

Garut - Warga Kadungora, Garut, Jawa Barat, Rabu (22/03/2017) pagi,


digegerkan dengan penemuan sesosok jasad perempuan di dalam rumahnya di
Jalan Raya Kadungora-Leles Kampung Sukamaju, RT 01 RW 02, Desa
Kadungora.

Salah seorang saksi mata, Dede (37) mengatakan kejadian tersebut berlangsung
Rabu (22/03/2017) pagi sekitar pukul 06.30 WIB. Ketika itu ia hendak membeli
rokok di warung milik orang tua korban.

"Iya pas tadi subuh saya mau beli rokok ke situ, tapi pemiliknya enggak keluar.
Setelah saya coba masuk ternyata ada mayat," ungkap Dede di lokasi kejadian.

Korban yang diketahui bernama Dinda (15), seorang siswi Sekolah Menengah
Atas (SMA) Negeri di Garut ini, ditemukan dalam posisi terlentang di dekat kamar
korban.

"Saya lihat dia udah berlumuran darah, terlentang gitu di lantai," katanya.

Korban hanya sendiri di dalam rumah karena kedua orang tuanya yang
merupakan pedagang jus buah-buahan sedang berbelanja ke pasar.
Berdasarkan pantauan di lapangan, pihak kepolisian masih terus berjaga di
sekitar Tempat Kejadian Perkara (TKP) dan menggelar olah TKP. Belum ada
keterangan resmi dari pihak berwajib. Jenazah Dinda dibawa ke RSUD Dokter
Slamet Garut untuk dilakukan proses autopsi.

Akibat kejadian ini, arus lalu lintas dari arah Bandung menuju Garut macet

18
hingga beberapa kilometer, karena banyak pengendara yang berhenti di sekitar
lokasi (Ghani, 2017).

Pembunuh Dinda Ditangkap di Sekitar TKP Saat Pura-


pura Membantu

Garut - Hanya dalam waktu singkat, Polres Garut berhasil meringkus pelaku
pembunuhan Dinda Sumiarna (15). Dinda ditemukan tewas bersimbah darah
dengan di rumahnya di Jalan Raya Kadungora-Leles Kampung Sukamaju,
Kecamatan Kadungora, Garut, Jawa Barat, Rabu (22/3/2017).

Terduga pelaku diketahui berinisial DN(23) yang berporfesi sebagai buruh. Ia


ditangkap di sekitar Tempat Kejadian Perkara (TKP). "Polres Garut
mengamankan pelaku berinisial DN, di sekitar TKP, Rabu siang," ungkap Kabid
Humas Polda Jabar, Kombes Pol Yusri Yunus dalam rilisnya.

Menurut Yusri pelaku membunuh korban karena tepergok mencuri. "Dia ini mau
mencuri rokok di warung korban, namun saat hendak mencuri aksinya diketahui
oleh korban. Korban mau melempar piring, namun pelaku langsung mencekiknya
dan menyeretnya ke kamar. Korban melakukan perlawanan dengan mancakar
tangan pelaku," ujar Yusri.

Saat pergumulan itu, korban menggapai pisau yang ada di meja, namun pelaku
merebutnya. Tanpa pikir panjang, pelaku langsung melukai leher korban. Setelah
itu DN mengambil telepon seluler milik korban.

"Pelaku ganti baju dan celana lalu mencuci pisau di kamar mandi. Ia
sembunyikan baju dan celananya serta pisaunya ke dalam ember dekat cucian
mobil dekat TKP. Lalu sembunyikan rokok hasil curiannya di bawah tangga
rumah sebelah TKP," beber Yusri.

19
Saat jasad Dinda ditemukan warga, pelaku yang masih berada di lokasi kejadian,
berpura-pura kaget dan ikut membantu keluarga korban.

Dari tangan pelaku polisi menyita beberapa barang bukti diantaranya sebilah
pisau, 3 bungkus rokok, dan sebuah smartphone milik korban.

Polisi kini mengamankan DN (23) ke Mapolres Garut untuk dimintai keterangan.


Polisi juga memanggil beberapa saksi untuk mengembangkan kasus ini.

Sebelumnya diketahui, Rabu (22/03/2017) pagi, warga Kadungora, Garut, Jawa


Barat, dihebohkan dengan penemuan jasad Dinda Sumiarna (15) dirumahnya di
Jalan Raya Kadungora-Leles Kampung Sukamaju, Kecamatan Kadungora,
Garut. Dinda diketahui sebagai seorang siswi kelas 1 di SMAN 2 Garut (Ghani,
2017).

20
BAB IV
PEMBAHASAN

Forensik tidak dapat lepas dari arah kriminal. Pada umumnya, forensik
dilakukan untuk menemukan bukti yang menguatkan bahwa telah terjadi suatu
peristiwa, salah satunya adalah fotografi forensik. Keberhasilan penyidikan
terhadap suatu kasus bermula dari cukup tidaknya bukti yang ada. Tidak hanya
jumlahnya yang banyak, bukti tersebut harus terhubung dengan pelaku, bukti juga
harus benar, dan dalam penyidikan juga membutuhkan insting alami dari penyidik
itu sendiri. Fungsi bukti mencakup dua hal, yaitu untuk memperkuat pernyataan
dan mengidentifikasi pelaku. Dalam banyak kasus, bukti dapat membantu
menguatkan pernyataan yang dibuat oleh saksi, korban, ataupun tersangka itu
sendiri (National Forensic Science Technology, 2013). Pada kasus ini, fotografi
forensik digunakan untuk mengumpulkan bukti yang ditemukan baik di tempat
kejadian perkara maupun saat autopsi jenazah.
Memperoleh kebenaran atas semua peristiwa yang disebabkan oleh
perbuatan manusia adalah sulit dan tidak mudah, karena dalam suatu peristiwa
sering adanya suatu kekurangan, dan tidak lengkapnya alat bukti, sehingga
petugas penyidik harus dan wajib bekerja lebih keras dalam mengumpulkan bukti-
bukti yang sah untuk mendapatkan kebenaran yang selengkap-lengkapnya dalam
mengusut atau menyelidiki suatu tindak pidana yang sebenarnya. Dalam
pembuktian acara pidana setidak-tidaknya harus terdapat dua alat bukti yang sah
sebagai dasar menjatuhkan pidana bagi terdakwa, ini dijelaskan Pasal 183
KUHAP. Menurut Pasal 184 KUHAP, disebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah
sebagai berikut: (1) Keterangan saksi; (2) keterangan ahli; (3) Surat; (4) Petunjuk;
(5) Keterangan terdakwa (Hamzah, 2008). Penggunaan alat bukti digunakan
sebagai alat untuk membuktikan sebagai salah satu upaya agar dapat
menyelesaikan hukum mengenai kebenaran-kebenaran dalil-dalil dalam suatu
perkara memang wajib dan harus dipertimbangkan secara logis.

Fotografi forensik dalam kasus pembunuhan memiliki peranan yang sangat


penting, antara lain berguna untuk mengumpulkan alat bukti sah untuk
mengungkap kebenaran dibalik rekayasa tersangka, merekap kejadian setelah

21
ditemukan, dan perbandingan dari berbagai variasi fitur fisik (seperti jejak/barang
di sekitar tempat kejadian yang diduga milik pelaku). Di arena investigasi forensik
dan TKP, foto secara rutin dibawa untuk menghasilkan rekaman kejadian
permanen sebelum pemindahan. Karena foto tersebut diambil dengan tujuan
khusus yaitu untuk membantu pengadilan, oleh karena itu sangat penting untuk
pengambilan foto dengan benar tanpa ada rekayasa. Fotografi forensik dalam
kasus pembunuhan memiliki peran penting dalam menguatkan atau menolak
pernyataan yang dibuat oleh saksi maupun tersangka (Isdiyanto, 2016). Beberapa
hal yang perlu diperhatikan dalam pengambilan gambar, yaitu:

1. Menangkap adegan
Instansi yang lebih besar memiliki fotografer TKP yang terlatih khusus dan
bersertifikat dengan kamera dan pencahayaan high-end untuk
mendokumentasikan TKP dan bukti yang ada.
2. Mengkontrol cahaya
Fotografer menggunakan berbagai cara untuk menangkap gambar salah
satunya dengan mengatur pencahayaan termasuk aperture, shutter speed,
depth of field, dan white balance. Aperture mengacu pada ukuran bukaan
yang memungkinkan cahaya masuk ke kamera. White balance
memungkinkan kamera merekam suhu cahaya yang tepat sehingga
menghasilkan representasi nada warna object yang akurat.
3. Mencerahkan kegelapan
Kamera harus memastikan bahwa jumlah cahaya yang optimal sampai ke
sensor atau film

Bidang fotografi juga mendapat imbas dari perkembangan teknologi dan


telekomunikasi. Sekarang orang yang melakukan kegiatan fotografi (photografer)
tidak lagi menggunakan kamera biasa (single lense reflector) yang hasil fotonya
masih standar, tapi sudah berubah menjadi foto warna dan terkomputerisasi
dengan kamera digital yang hasilnya lebih baik. Media penyimpanan foto tidak
hanya dalam bentuk klise namun penyimpanan foto sudah berbentuk digital yang
disimpan dalam komputer. Singkat kata, bidang fotografi telah berbentuk sistem
elektronik (Ferdianto, 2011).

22
Fotografi forensik adalah foto yang merekam objek, adegan, dan peristiwa
untuk digunakan dalam suatu proses hukum. Fotografi forensik bisa digunakan
secara spesifik untuk dokumentasi, analisis, intelejen, atau untuk presentasi
dipengadilan. Satu hal penting, gambar yang digunakan di pengadilan harus
mengikuti aturan-aturan pemaparan bukti-bukti sesuai yurisdiksi yang berlaku di
tempat tertentu. Apabila file foto tersebut sesuai dengan standar yang ditetapkan
hukum, selain itu juga bisa digunakan untuk fungsi dokumentasi analisis intelijen.
Dalam pemeriksaan keaslian file foto digunakan beberapa teknik forensik untuk
pembuktian dan pemeriksaan terhadap foto tersebut baik dengan menggunakan
software yang digunakan untuk memriksa data sensitif yang terdapat di dalam foto
dengan bantuan alat-alat dan teknik fotografi (Peres, 2007)
Fotografi forensik juga sangat berguna untuk dunia kedokteran forensik.
Foto yang dihasilkan untuk forensik klinik harus tajam, berkomposisi, seimbang
dalam hal pencahayaan dan warna, dan tidak mengalami perubahan dimensi
obyek (Idries and Tiptomartono, 2011). Hasil foto yang baik tersebut akan
memberikan kemudahan bagi dokter untuk melakukan repetitif analisa terhadap
suatu luka atau praktisi hukum untuk kepentingan proses penegakan hukum (Reis,
2007).
Pemilihan alat dan teknik fotografi tentunya akan mempengaruhi foto yang
dihasilkan. Dalam kedokteran forensik, pilihan alat yang mampu berbicara banyak
antara lain kamera dengan format film 35mm, lensa 28-80mm, dan pemakaian
eksternal flash (Selain itu, alat lainnya seperti identification marker berskala juga
sangat penting kegunaanya. Sedangkan teknik fotografi yang dipakai untuk
mendokumentasikan sebuah luka adalah tergantung dari kebutuhan pemeriksa
(dokter). Kebutuhan tersebut terkait jenis foto apa yang akan dihasilkan, yaitu foto
jarak menengah atau foto makro (Duncan, 2009).
Setiap luka yang ada pada korban hidup akan mengalami proses
penyembuhan. Luka memar merupakan jenis luka yang mempunyai karakteristik
unik. Dalam proses penyembuhannya, memar akan mengalami perubahan warna.
Perubahan warna tersebut mungkin akan membuat proses dokumentasi luka lebih
sulit. Disinilah kaidah fotografi forensik harus dipenuhi untuk mendapatkan hasil
foto yang baik untuk kepentingan medikolegal. Saat ini, alat dan teknik fotografi

23
yang digunakan oleh dokter dalam mendokumentasikan luka masih banyak sekali
perbedaan dan variasinya (Budiyanto et al., 1997)
Foto luka dari kasus forensik klinik merupakan hal yang penting, baik bagi
dokter pemeriksa maupun dokter lain yang mungkin akan dimintai pendapat
ahlinya mengenai suatu kasus forensik klinik. Foto luka yang memenuhi kaidah
fotografi forensik akan memberikan kemudahan bagi dokter untuk melakukan
repetitif analisa pada luka tersebut dan tentunya akan memberikan keyakinan yang
tinggi bagi dokter dalam menuangkan pendapatnya (Idries and Tiptomartono,
2011).
Tidak pernah ada dua kasus forensik yang sama persis. Kondisi
pencahayaan, ukuran dan lokasi barang bukti, dan faktor lingkunganakansangat
bervariasidari setiap fotografi forensik. Karena itu, pemeriksa harus siap untuk
mendokumentasikan bukti dalam berbagai kondisi. Seorang fotografer forensik
mebutuhkan beberapa alat fotografi untuk mendapatkan gambar atau dokumen
forensik yang teliti dan akurat yang juga harus diimbangi dengan kemampuan atau
teknik mengambil gambarnya. Tidak semua peralatan tersebut akan digunakan
secara bersamaan, tetapi peralatan tersebut harus ada. Pilihan apa yang harus
dibawa dalam persiapan untuk pengambilan gambar adalah keputusan individu
dan tergantung pada jenis kasus yang akan diperiksa (Duncan, 2009).
Pemilihan alat dan teknik fotografi tentunya akan mempengaruhi foto yang
dihasilkan. Dalam kedokteran forensik, pilihan alat yang mampu berbicara banyak
antara lain kamera dengan format film 35mm, lensa 28-80mm, eksternal flash
(Reis, 2007). Selain itu, alat lainnya seperti identification marker berskala juga
sangat penting kegunaanya (Robinson and Edward, 2010). Sedangkan teknik
fotografi yang dipakai untuk mendokumentasikan sebuah luka adalah tergantung
dari kebutuhan pemeriksa (dokter). Kebutuhan tersebut terkait jenis foto apa yang
akan dihasilkan, yaitu foto jarak menengah atau foto makro (Duncan, 2009).
Pada foto memar yang diambil menggunakan kamera DSLR dengan
exposure programe (mode) manual, tingkat kesesuaian antar expert opinions-nya
lebih tinggi dibandingkan foto memar yang diambil dengan kamera mirrorless dan
handphone. Hal ini menunjukkan bahwa kamera DSLR lebih mumpuni dalam
penggunaanya sebagai alat fotografi forensik. Kamera DSLR dapat memberikan

24
keleluasaan bagi penggunanya untuk mengatur segitiga eksposur sesuai dengan
kondisi cahaya dan obyek yang akan difotonya, sehingga hasil foto seimbang
dalam hal pencahayaan dan warna serta memiliki ketajaman yang baik (Idries and
Tiptomartono, 2011).
Pada dasarnya kamera mirrorless memiliki fitur setting yang hampir sama
seperti kamera DSLR, bahkan kamera handphone yang canggih saat ini juga ada
yang hampir menyamai fitur kamera DSLR. Perbedaan antara kamera DSLR,
mirrorless dan handphone terletak pada proses masuknya cahaya atau refraksi
cahaya. Kamera DSLR memungkinkan fotografer melihat langsung obyek melalui
suatu cermin yang memantulkan cahaya dari luar lalu kemudian di pantulkan ke
pentaprisma dan akhirnya dapat dilihat di viewfinder (Fauzan and Shandy, 2015).
Hal inilah yang membuat kamera DSLR lebih mumpuni untuk fotografi forensik,
karena apa yang terlihat di viewfinder kamera DSLR merupakan bentuk dan warna
asli dari obyek tanpa ada pengolahan digital sebelumnya, seperti yang disebutkan
di literatur yaitu what you see is what you get (Idries and Tiptomartono, 2011).
Sedangkan pada kamera mirrorless, fotografer melihat obyek dari LCD yang ada
di kamera. Gambar obyek sebelum difoto yang ditampilkan di LCD pastinya sudah
mengalami pengolahan digital dari kamera, sehingga warna obyek yang akan
difoto dapat mengalami perubahan. Dalam hal perkiraan usia memar dimana
warna dari memar memegang peranan penting, adanya perubahan warna tersebut
dapat membuat ahli salah dalam memperkirakan usia memar. Perbedaan
exposure bias juga mempengaruhi hasil interpretasi ahli (Wells, 1999).
Pemakaian mode manual ternyata sangat signifikan fungsinya dalam
fotografi forensik. Pengaturan masuknya cahaya melalui setting segitiga
eksposure membuat pencahayaan optimal. Pencahayaan yang baik merupakan
salah satu aspek yang harus dipenuhi dalam fotografi forensic. Dengan
pencahayaan yang tidak baik dapat membuat dokter forensik salah dalam
interpretasi suatu luka. Kesalahan dalam intepretasi luka ini dapat membuat dokter
forensik memberikan keterangan ahli yang salah dan mengakibatkan suatu
putusan hakim yang tidak tepat (Idries and Tiptomartono, 2011).

25
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Fotografi forensik / forensic imaging atau crime scene photography


adalah suatu dokumentasi dari tempat kejadian perkara atau tempat kejadian
kecelakaan secara akurat, upaya pengumpulan barang bukti seperti tubuh
manusia, tempat-tempat, dan setiap benda yang terkait suatu kejahatan
dalam bentuk foto untuk kepentingan penyelidikan hingga pengadilan.

Fotografi forensik terdiri dari fotografi TKP, fotografi teknik, dan fotografi
autopsi. Fotografi TKP bertujuan untuk mendokumentasikan seluruh bagian
dari tempat kejadian perkara, mengumpulkan keterangan, barang bukti,
identitas korban ataupun tersangka untuk kepentingan penyelidikan
selanjutnya. Fotografi teknik meliputi dokumentasi noda darah, pemeriksaan
bercak darah dengan luminol, bekas gigitan, dan sidik jari guna memperkuat
bukti suatu tindak pidana. Fotografi autopsi yaitu mendokumentasikan segala
sesuatu yang ditemukan pada jenazah mulai dari posisi jenazah, luka-luka
yang terdapat pada jenazah hingga proses autopsi selesai. Hal yang perlu
diperhatikan dalam teknik pemotretan fotografi forensik adalah ketajaman
gambar, komposisi gambar, eksposur, warna, dan pencahayaan.

Fotografi forensik dilakukan untuk menemukan bukti / petunjuk yang


menguatkan bahwa telah terjadi suatu peristiwa. Fungsi bukti mencakup dua
hal, yaitu untuk mengidentifikasi pelaku dan memperkuat pernyataan yang
dibuat oleh saksi, korban, ataupun tersangka itu sendiri, sehingga akan
membantu penyidik untuk menyelesaikan kasus kriminal yang terjadi.
Fotografi forensik dalam kasus pembunuhan memiliki peranan yang sangat
penting, antara lain berguna untuk mengumpulkan alat bukti sah untuk
mengungkap kebenaran dibalik rekayasa tersangka, merekap kejadian
setelah ditemukan, dan perbandingan dari berbagai variasi fitur fisik (seperti
jejak/barang di sekitar tempat kejadian yang diduga milik pelaku).

26
DAFTAR PUSTAKA

Andi Hamzah, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, hal.
251.
Budiyanto A, dkk. 1997. Ilmu Kedokteran Forensik. Bagian Kedokteran Forensik
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta; 1997.
Crime scene investigator. 2012. What is forensic photography?. (online)
http://www.crimesceneinvestigatoredu.org/csi-photographer/ (diakses
tanggal 30 Agustus 2017).
Duncan, Christopher D. 2009. Advanced Crime Scene Photography. Boca Raton;
CRC Press.
Fauzan, Shandy. 2015. Modul Sejarah Perkembangan Fotografi Dan Anatomi
Kamera. (online) https://performaupi.files.wordpress.com/2013/12/sejarah-
perkembangan-fotografidan-anatomi kamera.pdf (diakses pada 5 Agustus
2015).
Ferdianto, 2011, Kedudukan Foto Sebagai Alat Bukti Dalam Pembuktian Tindak
Pidana, Tesis .
G Eckret, William. 1997. Introduction to Forensic Science. CRC Press: New York
Handoko, Duwi. 2015. Kekuasaan Kehakiman di Indonesia. Pekanbaru: Hawa dan
Ahwa
Ghani, Hakim. 2017. Remaja Putri di Garut Ditemukan Tewas Bersimbah Darah di
Rumahnya. Detik.com, 22 Maret 2017. (online)
https://news.detik.com/berita-jawa-barat/d-3453493/remaja-putri-di-garut-
ditemukan-tewas-bersimbah-darah-di-rumahnya (diakses tanggal 5 Agustus
2017)
Ghani, Hakim. 2017. Pembunuh Dinda Ditangkap di Sekitar TKP Saat Pura-Pura
Membantu. Detik.com, 22 Maret 2017. (online) https://news.detik.com/berita-
jawa-barat/d-3454055/pembunuh-dinda-ditangkap-di-sekitar-tkp-saat-pura-
pura-membantu (diakses tanggal 5 Agustus 2017).

27
Holin Sulistyo. 2013. Forensic Photography. (online)
http://fotografi.upi.edu/home/6-keahlian-khusus/forensic-photography-1
(diakses tanggal 29 Agustus 2017)
Idries A M, Tiptomartono A L. Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik Dalam Proses
Penyidikan. Jakarta: Sagung Seto. 2011
Isdiyanto, E. 2016. Penggunaan Fotografi Forensik oleh Penyidik Kepolisisan
Polresta Surakarta dalam Penyidikan Tindak Pidana. Tugas akhir.
Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta
Kent, Smotherman. 2010. Forensic Photography : Concept and Application.
(online)
http://www.neiai.org/neiai/uploads/Kent%20Smotherman/files/Forensic%20
Photography%202.pdf (diakses tanggal 30 Agustus 2017)
Kusmayadi, SH. 2014. Penegakan Hukum Terhadap Dokter yang Menolak
Pembuatan Visum et Repertum dalam Tindak Pidana Pembunuhan. Tugas
akhir. Pontianak: Universitas Tanjungpura
Martin Susanto. 2012. Crime Scene Investigation : Peranan Dokter Forensik
Dalam Pemeriksaan Tempat Kejadian Perkara (TKP). (online)
https://www.scribd.com/doc/179854838/Crime-Scene-Investigation-
Peranan-Dokter-Forensik-Dalam-Pemeriksaan-Tempat-Kejadian-Perkara-
TKP (diakses tanggal 29 Agustus 2017)
Michael Peres, 2007, The Focal Encyclopedia of Photography (Fourth Edition),
Digital Imaging: Rochester
Milani, S., Fontani, M., Bestagini, P., Barni, M., Piva, A., Tagliasacchi, M., Tubaro,
National Forensic Science Technology. (2013). National Forensic Science
Perkusi, JE., dkk. 2015. Fotografi Forensik. Preseptorship. Bandung: Universitas
Islam Bandung.
Persatuan Dokter Forensik Indonesia. Fotografi Forensik. (online) http://www.pdfi-
indonesia.org/news/fotografi-forensik/ (diakses tanggal 29 Agustus 2017)
Reis, George. 2007. Photoshop CS3 for Forensic Professionals. Indianapolis;
Wiley Publishing.

28
Robinson, Edward. Crime Scene Photography. Washington; Academic Press.
2010 S. (2012). An Overview on Video Forensics. APSIPA Transactions on
Signal and Information Processing, 1, e2 doi:10.1017/ATSIP.2012.2.
Technology Centre. Retrieved from National Forensic Science Technology
Centre: www.forensicsciencesimplified.org
Tubagus Argie. 2012. Fotografi Forensik. (online)
https://www.scribd.com/doc/83125787/Fotografi-forensik-argie (diakses
tanggal 29 Agustus 2017)
Wells, David. 1999. Injury Interpretation. The Department of Forensic Medicine,
Monash University. Chrchill, Victoria, Australia; Distance Education Centre
Monash University.

29

You might also like