You are on page 1of 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Lahir, kehilangan, dan kematian adalah kejadian yang unuiversal dan kejadian yang sifatnya
unik bagi setiap individual dalam pengalaman hidup seseorang.

Kehilangan dan berduka merupakan istilah yang dalam pandangan umum berarti sesuatu
kurang enak atau nyaman untuk dibicarakan. Hal ini dapat disebabkan karena kondisi ini lebih
banyak melibatkan emosi dari yang bersangkutan atau disekitarnya.

Dalam perkembangan masyarakat dewasa ini, proses kehilangan dan berduka sedikit demi
sedikit mulai maju. Dimana individu yang mengalami proses ini ada keinginan untuk mencari
bentuan kepada orang lain.

Pandangan-pandangan tersebut dapat menjadi dasar bagi seorang perawat apabila


menghadapi kondisi yang demikian. Pemahaman dan persepsi diri tentang pandangan
diperlukan dalam memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif. Kurang
memperhatikan perbedaan persepsi menjurus pada informasi yang salah, sehingga intervensi
perawatan yang tidak tetap (Suseno, 2004).

Perawat berkerja sama dengan klien yang mengalami berbagai tipe kehilangan. Mekanisme
koping mempengaruhi kemampuan seseorang untuk menghadapi dan menerima kehilangan.
Perawat membantu klien untuk memahami dan menerima kehilangan dalam konteks kultur
mereka sehingga kehidupan mereka dapat berlanjut. Dalam kultur Barat, ketika klien tidak
berupaya melewati duka cita setelah mengalami kehilangan yang sangat besar artinya, maka
akan terjadi masalah emosi, mental dan sosial yang serius.

Kehilangan dan kematian adalah realitas yang sering terjadi dalam lingkungan asuhan
keperawatan. Sebagian besar perawat berinteraksi dengan klien dan keluarga yang mengalami
kehilangan dan dukacita. Penting bagi perawat memahami kehilangan dan dukacita. Ketika
merawat klien dan keluarga, parawat juga mengalami kehilangan pribadi ketika hubungan klien-
kelurga-perawat berakhir karena perpindahan, pemulangan, penyembuhan atau kematian.
Perasaan pribadi, nilai dan pengalaman pribadi mempengaruhi seberapa jauh perawat dapat
mendukung klien dan keluarganya selama kehilangan dan kematian (Potter & Perry, 2005).

1.2 Permasalahan

Adapun permasalahan yang kami angkat dari makalah ini adalah bagaimana asuhan
keperawatan pada klien dengan kehilangan dan berduka disfungsional.

1.3 Tujuan Penulisan

1
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini, adalah:

1. Tujuan umum

Mengetahui konsep kehilangan dan berduka.

Mengetahui asuhan keperawatan pada kehila.ngan dan berduka disfungsional

1. Tujuan khusus

Mengetahui jenis-jenis kehilangan.

Menjelaskan konsep dan teori dari proses berduka.

Mengetahui faktor yang mempengaruhi reaksi kehilangan.

2
BAB II

LANDASAN TEORI

A. Proses Menua.

1. Pengertian

Proses Menua Menurut CONTANTINIDES, 1994. Menua (menjadi tua) adalah suatu proses
menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau
mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap
infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita..

Proses menua merupakan proses yang terus menerus (berlanjut) secara alamiah. Dimulai sejak
lahir dan umumnya dialami pada semua makhluk hidup.

Proses Menua Menurut Deskripansi. Proses menua setiap individu pada organ tubuh juga tidak
sama cepatnya. Adakalanya orang belum tergolong lanjut usia (masih muda) tetapi kekurangan-
kekurangan yang menyolok.

1. Perubahan Sistem Tubuh Lansia menurut Nugroho, 2000 Perubahan Fisik

a. Sel.

Pada lansia, jumlah akan lebih sedikit dan ukurannya akan lebih besar.
Cairan tubuh dan cairan intraseluler akan berkurang.

Proporsi protein di otak, otot, ginjal, darah dan hati juga ikut berkurang.

Jumlah sel otak akan menurun.Mekanisme perbaikan sel akan terganggu, dan otak
menjadi atropi.

b.Sistem Persarafan.

Rata-rata berkurangnya syaraf neucortical sebesar 1 per detik (Pakkenberg dkk, 2003).
Hubungan persarafan cepat menurun.

Lambat dalam merespon baik dari gerakan maupun jarak waktu, khusus dengan stres.
Mengecilnya saraf panca indra, serta menjadi kurang sensitif terhadap sentuhan.

3. Sistem Pendengaran.

Gangguan pada pendengaran (presbiakusis).Membran timpani atropi.


3
Terjadi pengumpulan dan pengerasan serumen karena peningkatan keratin.

Pendengaran menurun pada lanjut usia yang mengalami ketegangan jiwa atau stres.

4. Sistem Penglihatan

Timbul sklerosis pada sfingter pupil dan hilangnya respon terhadap sinar.
Kornea lebih berbentuk seperti bola (sferis).

Lensa lebih suram (keruh) dapat menyebabkan katarak.

Meningkatnya ambang.

Pengamatan sinar dan daya adaptasi terhadap kegelapan menjadi lebih lambat dan sulit
untuk melihat dalam keadaan gelap.

Hilangnya daya akomodasi.

Menurunnya lapang pandang dan menurunnya daya untuk membedakan antara warna
biru dengan hijau pada skala pemeriksa.

5. Sistem Kardiovaskular

Elastisitas dinding aorta menurun.


Katup jantung menebal dan menjadi kaku.

Kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun sesudah berumur 20


tahun, hal ini menyebabkan menurunnya kontraksi dan volumenya.

Kehilangan elastisitas pembuluh darah, kurangnya efektifitas pembuluh darah perifer


untuk oksigenasi, sering terjadi postural hipotensi.

Tekanan darah meningkat di akibatkan oleh meningkatnya resistensi dari pembuluh


darah perifer.

6. Sistem Pengaturan Suhu Tubuh.

Suhu tubuh menurun (hipotermia) secara fisiologis +350C, hal ini diakibatkan oleh
metabolisme yang menurun.
Keterbatasan reflek menggigil, dan tidak dapat memproduksi panas yang banyak
sehingga terjadi rendahnya aktivitas otot.

7. Sistem Pernapasan.

Otot-otot pernapasan kehilangan kekuatan dan menjadi kaku.


Menurunnya aktifitas dari silia.
4
Paru-paru kehilangan elastisitas sehingga kapasitas residu meningkat.

Menarik napas lebih berat, kapasitas pernapasan maksimum menurun, dan kedalaman
bernapas menurun.

Ukuran alveoli melebar dari normal dan jumlahnya berkurang, oksigen pada arteri
menurun menjadi 75 mm Hg, kemampuan untuk batuk berkurang, dan penurunan
kekuatan otot pernapasan.

8. Sistem Gastrointestinal

Kehilangan gigi, indera pengecapan mengalami penurunan


Esofagus melebar.

Sensitifitas akan rasa lapar menurun.

Produksi asam lambung dan waktu penggosongan lambung menurun.

Peristaltik lemah dan biasanya timbul konstipasi.

Fungsi absorbsi menurun.

Hati (liver) semakin mengecil dan menurunnya tempat menyimpan.

Serta berkurangnya suplai aliran darah.

9. Sistem Genitourinaria

Ginjal mengecil dan nefron menjadi atropi, aliran darah ke ginjal menurun hingga 50%,
fungsi tubulus berkurang (berakibat pada penurunan kemampuan ginjal untuk
mengonsentrasikan urine, berat jenis urine menurun, protein uria biasanya +1), Blood
Urea Nitrogen (BUN) meningkat hingga 21 mg%, nilai ambang ginjal terhadap glukosa
meningkat.
Otot-otot kandung kemih (vesika urinaria) melemah kapasitasnya menurun hingga 200
ml dan menyebabkan rekurensi buang air kecil meningkat, kandung kemih dikosongkan
sehingga meningkatkan retensi urine.

Pria dengan usia 65 tahun keatas sebagian besar mengalami pembesaran prostat
hingga +75% dari besar normalnya.

10. Sistem Endokrin

5
Menurunnya produksi ACTH, TSH, FSH, dan LH, aktifitas tiroid, basal metabolik rate (BMR),
daya pertukaran gas, produksi aldosteron, serta sekresi hormon kelamin seperti progesteron,
estrogen, dan testosteron.

11. Sistem Integumen

Kulit menjadi keriput akibat kehilangan jaringan lemak.


Permukaan kulit kasar dan bersisik.

Menurunnya respon terhadap trauma, mekanisme proteksi kulit menurun.

Kulit kepala dan rambut menipis serta berwarna kelabu.

Rambut dalam hidung dan telinga menebal.

Berkurangnya elastisitas akibat menurunnya cairan dan vaskularisasi.

Pertumbuhan kuku lebih lambat, kuku jari menjadi keras dan rapuh, kuku kaki tumbuh
secara berlebihan dan seperti tanduk.

Kelenjar keringat berkurang jumlahnya dan fungsinya.

Kuku menjadi pudar dan kurang bercahaya.

12. Sistem Muskuloskeletal

Tulang kehilangan kepadatan (density) dan semakin rapuh.


Kifosis.

Persendian membesar dan menjadi kuku.

Tendon mengkerut dan mengalami sklerosis.

Atropi serabut otot sehingga gerak seseorang menjadi lambat, otot-otot kram dan
menjadi tremor.

Perubahan Mental

1. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental:

Pertama-tama perubahan fisik, khususnya organ perasa


Kesehatan umum

Tingkat pendidikan

Keturunan (Hereditas)

6
Lingkungan

2. Kenangan ( Memory) berjam-jam sampai berhari-hari yang lalu mencakup beberapa


perubahano Kenangan jangka panjang 0-10 menit, kenangan buruko Kenangan jangka
pendek atau seketika

3. IQ (Intellegentia Quantion)

Tidak berubah dengan informasi matematika dan perkataan verbal.


Berkurangnnya penampilan, persepsi dan keterampilan psikomotor: terjadi perubahan
pada daya membayangkan karena tekanan-tekanan dari faktor waktu.

Perubahan Psikososial

1 Pensiun

Nilai seseorang sering diukur oleh produktivitasnya dan identitas yang dikaitkan dengan
peranan dalam pekerjaan.

Bila seseorang pensiun (purna tugas), ia akan mengalami kehilangan-kehilangan, antara


lain:

Kehilangan finansial (income berkurang)

Kehilangan status (dulu mempunyai jabatan/posisi yang cukup tinggi, lengkap dengan
segala fasilitasnya).

Kehilangan teman/kenalan atau relasi

Kehilangan pekerjaan kegiatan.

Beberapa kondisi faktual di kalangan para pensiunan di Indonesia, disarikan dari Kontjoro 2002
dalam Dharmodjo, 1985 adalah sbb:

Penurunan kondisi kesehatan ternyata tidak disebabkan secara langsung oleh


pensiunan, melainkan oleh problematika kesehatan yang telah dialami sebelumnya.
Tidak jarang masa pensiun malahan dapat meningkatkan kesehatan, misalnya saja
akibat berkurangnya beban tekanan hidup yang harus dihadapi.

Kalangan masyarakat mulai memandang masa pensiun sebagai masa yang berkesan
dan menarik.

Pada masa pensiun, kemungkinan untuk bersantai berkurang, karena waktu yang ada
cenderung tersita untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga.

Kepuasan perkawinan tidak secara signifikan dipengaruhi oleh kondisi pensiun.


7
Akan ada banyak waktu dan kesempatan bersama keluarga pasangan.

Penempatan ke rumah jompo, meninggalnya pasangan, mengidap penyakit serius, serta


adanya cacat biasanya menyebabkan perubahan gaya hidup yang drastis pada mereka
yang pensiun.

2 Merasakan atau sadar akan kematian (sense of awarness of mortality)

3 Perubahan dalam cara hidup, yaitu memasuki rumah perawatan bergerak lebih sempit.

4 Ekonomi akibat pemberhentian dari jabatan (economic depriviation) Meningkatnya biaya


hidup pada penghasilan yang sulit bertambahnya biaya pengobatan.

5 Penyakit kronis dan ketidakmampuan.

6 Gangguan saraf pancaindera, timbul kebutaan dan ketulian.

7 Gangguan gizi akibat kehilangan jabatan.

8 Rangkaian dari kehilangan, yaitu kehilangan hubungan dengan teman-teman dan keluarga

9 Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik: perubahan terhadap gambaran diri, perubahan
konsep diri.

Perkembangan Spiritual:

Agama atau kepercayaan makin terintegrasi dalam kehidupannya (Maslow,1979)


Lansia makin matur dalam kehidupan keagamaannya. Hal ini terlihat dalam berpikir dan
bertindak dalam sehari-hari (Murray dan Zentner,1970)

Perkembangan spiritual pada usia 70 tahun menurut Folwer 1978, Universalizing,


perkembangan yang dicapai pada tingkat ini adalah berpikir dan bertindak dengan cara
memberikan contoh cara mencintai dan keadilan.

KONSEP KEPERAWATAN DEATH &, DYING LOSS & GRIEF

A. Kehilangan
1. Definisi kehilangan.
Kehilangan dan berduka merupakan bagian integral dari kehidupan. Kehilangan
adalah suatu kondisi yang terputus atau terpisah atau memulai sesuatu tanpa hal yang
berarti sejak kejadian tersebut. Kehilangan mungkin terjadi secara bertahap atau

8
mendadak, bisa tanpa kekerasan atau traumatik, diantisispasi atau tidak
diharapkan/diduga, sebagian atau total dan bisa kembali atau tidak dapat kembali.
Kehilangan adalah suatu keadaan individu yang berpisah dengan sesuatu yang
sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan
(Lambert dan Lambert,1985,h.35). Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah
dialami oleh setiap individu dalam rentang kehidupannya. Sejak lahir individu sudah
mengalami kehilangan dan cenderung akan mengalaminya kembali walaupun dalam
bentuk yang berbeda.
Kehilangan merupakan suatu kondisi dimana seseorang mengalami suatu
kekurangan atau tidak ada dari sesuatu yang dulunya pernah ada atau pernah dimiliki.
Kehilangan merupakan suatu keadaan individu berpisah dengan sesuatu yang
sebelumnya ada menjadi tidak ada, baik sebagian atau seluruhnya.

Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi kehilangan, tergantung:


a. Arti dari kehilangan
b. Sosial budaya
c. kepercayaan / spiritual
d. Peran seks
e. Status social ekonomi
f. kondisi fisik dan psikologi individu

2. Tipe Kehilangan
Kehilangan dibagi dalam 2 tipe yaitu:
a. Aktual atau nyata.
Mudah dikenal atau diidentifikasi oleh orang lain, misalnya amputasi, kematian orang
yang sangat berarti / di cintai.
b. Persepsi
Hanya dialami oleh seseorang dan sulit untuk dapat dibuktikan, misalnya; seseorang
yang berhenti bekerja / PHK, menyebabkan perasaan kemandirian dan
kebebasannya menjadi menurun.

3. Jenis-jenis Kehilangan
Terdapat 5 katagori kehilangan, yaitu:
a. Kehilangan seseorang seseorang yang dicintai
Kehilangan seseorang yang dicintai dan sangat bermakna atau orang yang berarti
adalah salah satu yang paling membuat stress dan mengganggu dari tipe-tioe
kehilangan, yang mana harus ditanggung oleh seseorang.
Kematian juga membawa dampak kehilangan bagi orang yang dicintai. Karena
keintiman, intensitas dan ketergantungan dari ikatan atau jalinan yang ada,
kematian pasangan suami/istri atau anak biasanya membawa dampak emosional
yang luar biasa dan tidak dapat ditutupi.

b. Kehilangan yang ada pada diri sendiri (loss of self)


Bentuk lain dari kehilangan adalah kehilangan diri atau anggapan tentang mental
seseorang. Anggapan ini meliputi perasaan terhadap keatraktifan, diri sendiri,
kemampuan fisik dan mental, peran dalam kehidupan, dan dampaknya. Kehilangan
dari aspek diri mungkin sementara atau menetap, sebagian atau komplit. Beberapa

9
aspek lain yang dapat hilang dari seseorang misalnya kehilangan pendengaran,
ingatan, usia muda, fungsi tubuh
.
c. Kehilangan objek eksternal
Kehilangan objek eksternal misalnya kehilangan milik sendiri atau bersama-sama,
perhiasan, uang atau pekerjaan. Kedalaman berduka yang dirasakan seseorang
terhadap benda yang hilang tergantung pada arti dan kegunaan benda tersebut.

d. Kehilangan lingkungan yang sangat dikenal


Kehilangan diartikan dengan terpisahnya dari lingkungan yang sangat dikenal
termasuk dari kehidupan latar belakang keluarga dalam waktu satu periode atau
bergantian secara permanen. Misalnya pindah kekota lain, maka akan memiliki
tetangga yang baru dan proses penyesuaian baru.

e. Kehilangan kehidupan/ meninggal


Seseorang dapat mengalami mati baik secara perasaan, pikiran dan respon pada
kegiatan dan orang disekitarnya, sampai pada kematian yang sesungguhnya.
Sebagian orang berespon berbeda tentang kematian.

4. Rentang Respon Kehilangan

Denial > Anger > Bergaining > Depresi > Acceptance

a. Fase denial
Reaksi pertama adalah syok, tidak mempercayai kenyataan
Verbalisasi; itu tidak mungkin, saya tidak percaya itu terjadi .
Perubahan fisik; letih, lemah, pucat, mual, diare, gangguan pernafasan, detak
jantung cepat, menangis, gelisah.Fase anger / marah
Mulai sadar akan kenyataan
Marah diproyeksikan pada orang lain
Reaksi fisik; muka merah, nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan mengepal.
Perilaku agresif.
b. Fase bergaining / tawar- menawar.
Verbalisasi; kenapa harus terjadi pada saya ? kalau saja yang sakit bukan saya
seandainya saya hati-hati .
c. Fase depresi
Menunjukan sikap menarik diri, tidak mau bicara atau putus asa.
Gejala ; menolak makan, susah tidur, letih, dorongan libido menurun.
d. Fase acceptance
Pikiran pada objek yang hilang berkurang.
Verbalisasi ; apa yang dapat saya lakukan agar saya cepat sembuh, yah,
akhirnya saya harus operasi

B. Berduka
1. Definisi berduka

10
Berduka adalah respon emosi yang diekspresikan terhadap kehilangan yang
dimanifestasikan adanya perasaan sedih, gelisah, cemas, sesak nafas, susah tidur, dan
lain-lain.
Berduka merupakan respon normal pada semua kejadian kehilangan. NANDA
merumuskan ada dua tipe dari berduka yaitu berduka diantisipasi dan berduka
disfungsional.
Berduka diantisipasi adalah suatu status yang merupakan pengalaman individu
dalam merespon kehilangan yang aktual ataupun yang dirasakan seseorang,
hubungan/kedekatan, objek atau ketidakmampuan fungsional sebelum terjadinya
kehilangan. Tipe ini masih dalam batas normal.
Berduka disfungsional adalah suatu status yang merupakan pengalaman individu yang
responnya dibesar-besarkan saat individu kehilangan secara aktual maupun potensial,
hubungan, objek dan ketidakmampuan fungsional. Tipe ini kadang-kadang menjurus ke
tipikal, abnormal, atau kesalahan/kekacauan.

2. Teori dari Proses Berduka


Tidak ada cara yang paling tepat dan cepat untuk menjalani proses berduka. Konsep
dan teori berduka hanyalah alat yang hanya dapat digunakan untuk mengantisipasi
kebutuhan emosional klien dan keluarganya dan juga rencana intervensi untuk
membantu mereka memahami kesedihan mereka dan mengatasinya. Peran perawat
adalah untuk mendapatkan gambaran tentang perilaku berduka, mengenali pengaruh
berduka terhadap perilaku dan memberikan dukungan dalam bentuk empati.
c. Teori Engels
Menurut Engel (1964) proses berduka mempunyai beberapa fase yang dapat
diaplokasikan pada seseorang yang sedang berduka maupun menjelang ajal.

Fase I (shock dan tidak percaya)

seorang menolak kenyataan atau kehilangan dan mungkin menarik diri, duduk
malas, atau pergi tanpa tujuan. Reaksi secara fisik termasuk pingsan, diaporesis,
mual, diare, detak jantung cepat, tidak bisa istirahat, insomnia dan kelelahan.

Fase II (berkembangnya kesadaran)

Seseoarang mulai merasakan kehilangan secara nyata/akut dan mungkin


mengalami putus asa. Kemarahan, perasaan bersalah, frustasi, depresi, dan
kekosongan jiwa tiba-tiba terjadi.

Fase III (restitusi)

Berusaha mencoba untuk sepakat/damai dengan perasaan yang hampa/kosong,


karena kehilangan masih tetap tidak dapat menerima perhatian yang baru dari
seseorang yang bertujuan untuk mengalihkan kehilangan seseorang.

Fase IV
11
Menekan seluruh perasaan yang negatif dan bermusuhan terhadap almarhum.
Bisa merasa bersalah dan sangat menyesal tentang kurang perhatiannya di
masa lalu terhadap almarhum.

Fase V

Kehilangan yang tak dapat dihindari harus mulai diketahui/disadari. Sehingga


pada fase ini diharapkan seseorang sudah dapat menerima kondisinya.
Kesadaran baru telah berkembang.

d. Teori Kubler-Ross

Kerangka kerja yang ditawarkan oleh Kubler-Ross (1969) adalah berorientasi


pada perilaku dan menyangkut 5 tahap, yaitu sebagai berikut:

Penyangkalan (Denial)

Individu bertindak seperti seolah tidak terjadi apa-apa dan dapat menolak untuk
mempercayai bahwa telah terjadi kehilangan. Pernyataan seperti Tidak, tidak
mungkin seperti itu, atau Tidak akan terjadi pada saya! umum dilontarkan
klien.

Kemarahan (Anger)

Individu mempertahankan kehilangan dan mungkin bertindak lebih pada setiap


orang dan segala sesuatu yang berhubungan dengan lingkungan. Pada fase ini
orang akan lebih sensitif sehingga mudah sekali tersinggung dan marah. Hal ini
merupakan koping individu untuk menutupi rasa kecewa dan merupakan
menifestasi dari kecemasannya menghadapi kehilangan.

Penawaran (Bargaining)

Individu berupaya untuk membuat perjanjian dengan cara yang halus atau jelas
untuk mencegah kehilangan. Pada tahap ini, klien sering kali mencari pendapat
orang lain.

Depresi (Depression)

Terjadi ketika kehilangan disadari dan timbul dampak nyata dari makna
kehilangan tersebut. Tahap depresi ini memberi kesempatan untuk berupaya
melewati kehilangan dan mulai memecahkan masalah.

Penerimaan (Acceptance)
12
Reaksi fisiologi menurun dan interaksi sosial berlanjut. Kubler-Ross
mendefinisikan sikap penerimaan ada bila seseorang mampu menghadapi
kenyataan dari pada hanya menyerah pada pengunduran diri atau berputus asa.

e. Teori Martocchio

Martocchio (1985) menggambarkan 5 fase kesedihan yang mempunyai


lingkup yang tumpang tindih dan tidak dapat diharapkan. Durasi kesedihan
bervariasi dan bergantung pada faktor yang mempengaruhi respon kesedihan itu
sendiri. Reaksi yang terus menerus dari kesedihan biasanya reda dalam 6-12 bulan
dan berduka yang mendalam mungkin berlanjut sampai 3-5 tahun.

f. Teori Rando

Rando (1993) mendefinisikan respon berduka menjadi 3 katagori:

Penghindaran. Pada tahap ini terjadi shock, menyangkal dan tidak percaya.
Konfrontasi. Pada tahap ini terjadi luapan emosi yang sangat tinggi ketika klien
secara berulang-ulang melawan kehilangan mereka dan kedukaan mereka
paling dalam dan dirasakan paling akut.

Akomodasi. Pada tahap ini terjadi secara bertahap penurunan kedukaan akut
dan mulai memasuki kembali secara emosional dan sosial dunia sehari-hari
dimana klien belajar untuk menjalani hidup dengan kehidupan mereka.

PERBANDINGAN EMPAT TEORI PROSES BERDUKA


ENGEL (1964) KUBLER-ROSS MARTOCCHIO RANDO (1991)
(1969) (1985)
Shock dan tidak percaya Menyangkal Shock and disbelief Penghindaran
Berkembangnya kesadaran Marah Yearning and
protest
Restitusi Tawar-menawar Anguish, Konfrontasi
disorganization and
despair
Idealization Depresi Identification in
bereavement
Reorganization / the outPenerimaan Reorganization andakomodasi
come restitution

C. Kematian dan Menjelang Ajal


13
Penuaan dihubungkan dengan kehilangan fisik, psikologis dan sosiologis mayor serta
penurunan kemampuan untuk beradaptasi dan mengompensasi stressor. Lansia dapat
kehilangan rasa pengendalian karena faktor-faktor seperti penurunan fisik, perubahan status
dan peran, sikap budaya yang negatif, pemberitaan media massa yang negatif, dan menjadi
korban kejahatan. Kehilangan seseorang yang dicintai dapat meningkatkan rasa kerentanan
pada lansia, menyebabkan ketakutan dan kecemasan untuk menghadapi kenyataan,
kematiannya sendiri dan menurunkan sumber-sumber koping.

Kematian Pasangan merupakan salah satu kehilangan yang paling berat yang dapat dialami
seseorang adalah kematian pasangan. Masa menjanda atau menduda dapat secara serius
mempengaruhi status finansial lansia, jaringan sosial, serta kesehatan fisik dan mental. Jika
kehilangan pasangan terjadi di usia lanjut, individu tersebut mempunyai risiko yang lebih besar
mengalami depresi, cemas dan penyalagunaan zat daripada orang yang lebih muda karena
penurunan fleksibilitas, insiden yang lebih tinggi mengalami penyakit kronis dan kerusakan
jaringan dukungan sosial. Lansia pria bahkan mempunyai resiko yang lebih besar mengalami
gangguan fisik dan mental dibandingkan lansia wanita.

Selain kehilangan pasangan hidup, masalah yang belum terselesaikan dapat terus diingat
sampai bertahun-tahun setelah kematian pasangan, pernikahan yang berumur panjang belum
tentu sebuah pernikahan yang bahagia. Perasaan bersalah yang belum hilang yang
berhubungan dengan ketidaksetiaan, penganiayaan fisik atau penyalagunaan zat atau masalah
finansial setelah masa menjanda atau menduda adalah beberapa contoh dari masalah-masalah
yang dapat memburuk dan menyebabkan penyakit yang serius kadang kala berlangsung
sampai 10 tahun setelah kematian pasangan. Keluarga dan khusus pemberi asuhan pasangan
tersebut dapat belum terselesaikan.

Kematian anak yang sudah dewasa. Anak yang sudah dewasa adalah bagian penting dari
jaringan dukungan sosial lansia kematian anak yang sudah dewasa dapat membuat lansia lebih
berduka daripada kematian pasangan karena orang tua mengharapkan anak mereka hidup
lebih lama daripada mereka dan menjadi penyokong usia.

Pengaruh kematian terhadap keluarga klien lansia.

1. Bersikap kritis terhadap cara perawatan.


2. Keluarga dapat menerima kondisinya.

3. Terputusnya komunikasi terhadap orang yang menjelang maut.

4. Penyesalan keluarga dapat mengakibatkan orang yang bersangkutan tidak dapat mengatasi
rasa sedih.

5. Pengalihan tanggung jawab dan beban ekonomi.

6. Keluarga menolak diagnosis.

7. Mempersoalkan kemampuan tim kesehatan.


14
1. Pertimbangan Khusus

Pastikan pasien menyadari akan layanan konseling, kelompok pendukung dan sumber
lain tersedia untuk membantunya mengatasi kehilangan pasangan.
Rujuk pasien yang harus menghadapi kehilangan anak yang sudah dewasa ke sumber
komunitas yang tepat seperti interfaith, rohaniawan atau ahli terapi dukacita.

Motivasi pasien mengungkapkan secara verbal ketakutan dan kekhawatirannya mengenal


kematian sendiri. Persiapan akan kematian dapat menjadi pengalaman positif dan tugas
perkembangan yang utama pada masa dewasa.

2. Konsep Perawatan Paliatif

a. Pengertian

Perawatan paliatif adalah semua tindakan aktif untuk meringankan beban penderita,
terutama yang tidak mungkin disembuhkan. Tindakan aktif tersebut di atas artinya
mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri dan keluhan lain serta memperbaiki aspek
psikologis, sosial dan spiritual.

Perawatan paliatif adalah pelayanan aktif dan menyeluruh yang dilakukan oleh satu
tim dari berbagai disiplin ilmu. Tim paliatif terdiri atas tim terintegrasi, antara lain dokter,
perawat, psikolog, ahli fisioterapi, pekerja sosial medis, ahli gizi, rohaniawan dan relawan.
Keberhasilan keperawatan paliatif bergantung pada kerja sama yang efektif dan
pendekatan interdisiplin antara dokter, perawat, pekerja sosial medis, rohaniawan atau
pemuka agama, relawan dan anggota pelayanan lain sesuai dengan kebutuhan.

Tim harus mampu mengupayakan dan menjamin agar pasien lanjut usia mendapat
pelayanan seutuhnya yang mencakup bio-psiko-sosio-kultural dan spiritual. Artinya, tidak
ada anggota tim yang menjadi primadona. Pemimpin tim dibantu anggotanya harus
berusaha keras untuk mencapai tujuan perawatan. Kerjasama yang erat antara anggota
tim perawatan paliatif dengan keluarga pasien dirasakan sebagai kebutuhan utama yang
saling mendukung kelancaran perawatan paliatif.

Dukungan keluarga saat masa sulit sangat penting yaitu:

15
Pada saat perawatan
Pada saat mendekati kematian

Pada saat kematian

Pada saat masa duka

Perawatan tim paliatif merupakan perawatan yang cukup kompleks. Pendekatan


holistik (menyeluruh) terhadap lanjut usia dengan mengikutsertakan keluarga lanjut usia
akan menyentuh faktor fisiki, psikis, sosial, spiritual dan budaya pasien. Keberhasilan
program tidak dapat dijamin tanpa kemantapan dokter dan tim paliatif dalam kualitas ilmu,
kualitas karya dan kualitas perilaku serta pertimbangan etika dalam pelaksanaannya.
Perawatan paliatif perlu dan harus memperhatikan serta mengacu kutipan Dame Cecely
Saunders You matter because are you, you matter to the last moment of your life, and we
will do all we can, not only to help you die peacefully, but to life until you die

b. Tujuan Perawatan Paliatif:

Mencapai kualitas hidup maksimal bagi si sakit (lanjut usia) dan perawatan tim paliatif
Meringankan, bukan menyembuhkan.

Meningkatkan kualitas hidup dengan menumbuhkan semangat dan motivasi.

Mengurangi beban penderitaan lanjut usia.

c. Prinsip Pemberian Perawatan Paliatif

adalah memberi perawatan paripurna kepada klien lanjut usia dengan pengawasan dari
tim professional.

Dalam memberikan perawatan paliatif, tim tersebut harus berpijak pada pola dasar yang
digariskan oleh WHO yaitu:

Meningkatkan kualitas hidup dan menganggap kematian sebagai proses yang normal.
Tidak mempercepat dan menunda kematian lansia

Menghilangkan nyeri dan keluhan lain yang mengganggu.

Menjaga keseimbangan psikologis dan spiritual.

Berusaha agar lanjut usia yang sakit tetap sakit sampai akhir hayatnya.

Berusaha mambantu mengatasi suasana duka cita keluarga klien lanjut usia.

d. Kekhususan Tim Paliatif:

16
Profesi setiap anggota tim telah dikenal cakupan dan lingkup kerjanya.
Para profesional ini bergabung dalam satu kelompok kerja.

Secara bersama, mereka manyusun dan merancang tujuan akhir perawatan, melakukan
langkah tujuan pendek.

Bila perlu, kepemimpinan dapat terbagi di antara anggota tim, bergantung pada kondisi
yang paling diperlukan oleh pasien lanjut tua.

Tim adalah motor penggerak semua kegiatan pasien.

Proses interaksi adalah kunci keberhasilan.

f. Kekhususan Pasien Lanjut Usia

Lanjut usia menghadapai kondisi yang penyakitnya tidak dapat disembuhkan. Artinya,
terapi yang diberikan hanya bersifat simptomatis atau paliatif (bukan kuratif).
Lanjut usia cenderung mengalami kelemahan dan kerapuhan, baik fisik maupun
mental.

dengan demikian, kemungkinan pasien lanjut usia tidak mampu menghadapi stres fisik
dan mental yang timbul dari luar atau dari lingkungannya.

Lanjut usia berada diambang kematian yang terutama akan menimbulkan ketakutan
dan kegelisahan, yang sudah tentu perlu mendapat simpati dan dukungan mental atau
spiritual.

bila proses kematian berlangsung lama (memakan waktu panjang), faktor etika dapat
menjadi masalah yang harus diatasi.

g. Peran Hospis dalam membantu kematian yang bermartabat:

Secara praktis Almoger,2000 sebagai berikut:

Dengarkan dengan saksama semua keluhan penderit


Bantu penderita untuk menyembuhkan penyakitnya atau setidaknya untuk mengetahui
nyerinya yang banyak terjadi pada stasium akhir. Ringankan pula semua "ketidak
nyamanan" penderita diakhir hayatnya.

Hendaknya petugas responsif atas rasa cemas serta sedih dari penderita dan
berusaha untuk meringankannya.

Tunjukkan kepekaan kita serta coba pahami "keterbatasan dan kekurangan fisik" yang
menyertai penderita yang sakit berat.

Usahakan penderita sebagai manusia "utuh" dan perlakukan sesuai prinsip tersebut.
Jangan perlakuka ia sebagai "anak-anak" apalagi sebagai "penghuni tempat tidur yang

17
menghabiskan dana".
Sangat sulit menentukan waktu kapan tepatnya penderita akan meninggal oleh
karenanya yang terpenting adalah mengenali gejala-gejala yang memberatkan
penderita tersebut.

Cristoper's Hospice, London (dikutip oleh Sunarto,2002) hal tersebut dinyatakan sebagai
Total Pain yang terdiri dari;

1 Nyeri Fisik dan gejala somatik, misalnya anoreksia, nausea, vomitus singultus,
konstipasi, diare, pruritus, batuk, sesak nafas, astenia dan kakeksia.
2 Nyeri Psikologis, antara lain rasa takut, agresif, keputusasaan dan depresi oleh karena
penderita telah dihadapkan pada diagnosa yang fatal

3 Nyeri Sosiologis, antara lain rasa terisolasi di masyarakat, berhenti dari jabatan profesi
yang berkaitan dengan pekerjaan, merasa terpisah dan berada di Rumah Sakit,
masalah finansial.

4 Nyeri Spiritual, antara lain rasa takut yang berkaitan dengan eksistensi manusia dan
hubungannya dengan Tuhan.

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA
DENGAN MASALAH DEATH & DYING, LOSS & GRIEF

A. Asuhan keperawatan pada lansia dengan kehilangan/berduka


1. PENGKAJIAN
Factor predisposisi yang mempengaruhi rentang respon kehilangan adalah:
Genetic

18
Individu yang dilahirkan dan dibesarkan didalam keluarga yang mempumyai riwayat
depresi akan sulit mengembangkan sikap optimis dalam menghadapi suatu
permasalahan termasuk dalam menghadapi perasaan kehilangan.

Kesehatan jasmani
Individu dengan keaadaan fisik sehat,pola hidup yang teratur,cenderung mempunyai
kemampuan mengatasi stress yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang
mengalami ganguan fisik.

Kesehatan mental
Individu yang mengalami gangguan jiwa terutama yang mempunyai riwayat depresi
yang ditandai dengan perasaan tidak berdaya pesimis,selalu dibayangi oleh masa
depan yang suram,biasanya sangat peka dalam mengahadapi situasi kehilangan.

Pengalaman kehilangan dimasa lalu


Kehilangan atau perpisahan dengan orang yang berarti pada masa kanak-kanak
akan mempengaruhi individu dalam mengatasi perasaan kehilangan pada masa
dewasa (stuart-sundeen,1991).

Struktur kepribadian.
Individu dengan konsep yang negative,perasaan rendah diri akan menyebabkan rasa
percaya diri yang rendah yang tidak objektif terhadap stress yang dihadapi

Faktor presipitasi
Stress yang dapat menimbullkan perasaan kehilangan dapat berubah stess
nyata,atapun imjinasi individu seperti:kehiangan sifat bio-psiko-sosial antara lain
meliputi:kehilangan kesehatan,kehilangan fungsi seksualitas,kehilangan peran dalam
keluarga,kehilangan posisi dimasyarakat,kehilangan milik peibadi seperti: kehilangan
harta benda atau orang yang dicintai,kehilangan kewarganegaraan,dan sebagainya.

Perilaku
Individu dalam proses berduka sering menunjukan perilaku seperti:menagis atau
tidak mampu menangis,marah-marah,putus asa,kadang-kadang ada tanda tanda
bunuh diri atau ingin membunuh orang lain.juga sering berganti tempat mencari
informasi yang tidak menyokong diagnosanya.

Mekanisme koping
Koping yang sering dipakai individu dengan kehilangan respon antaralain:denial,
represi, intelektualilsasi, regresi, disosiasi, supresi, dan proyeksi yang digunakan
untuk menghindari intensitas stress yang dirasakan sangat menyakitkan.regresi dan
disosiasi sering ditemkan pada pasien depresi yang dalam.dalam keadaan patologis
makanisme koping tersebut sering dipakai secara berlebihan dan tidak tepat.
Data yang didapatkan, antara lain:
- Perasaan sedih, menangis.
- Perasaan putus asa, kesepian
- Mengingkari kehilangan
- Kesulitan mengekspresikan perasaan
19
- Konsentrasi menurun
- Kemarahan yang berlebihan
- Tidak berminat dalam berinteraksi dengan orang lain.
- Merenungkan perasaan bersalah secara berlebihan.
- Reaksi emosional yang lambat.
- Adanya perubahan dalam kebiasaan makan, pola tidur, tingkat aktivitas.

Perasaan takut. Kebanyakan pasien merasa takut terhadap rasa nyeri yang tidak
terkendalikan yang begitu sering diasosiasikan dengan keadaan sakit terminal,
terutama apabila keadaan itu disebabkan oleh penyakit yang ganas. Perawat harus
menggunakan pertimbangan yang sehat apabila sedang merawat orang sakit
terminal. Perawat harus mengendalikan rasa nyeri pasian dengan cara yang tepat.
Perasaan takut yang muncul mungkin takut terhadap rasa nyeri, walaupun secara
teori, nyeri tersebut dapat diatasi dengan obat penghilang rasa nyeri, seperti aspirin,
dehidrokodein dan dektomoramid. Apabila oaring berbicara tentang perasaan takut
mereka terhadsap maut, respon mereka secara tipikal mencakup perasaan takut
tentang hal yang tidak jelas, takut meninggalkan orang yang dicintai, kehilangan
martabat, urusan yang belum selesai dsb.

Kematian merupakan berhentinya kehidupan. Semua orang akan mengalami


kematian tersebut. Dalam menghadapi kematian ini, pada umumnya orang merasa
takut dan cemas. Ketakutan dan kecemasan terhadap kematian ini dapat membuat
pasien tegang dan stress.

Emosi. Emosi pasien yang muncul pada tahap menjelang kematian, antara lain
mencela dan mudah marah.

Tanda Vital.tekanan darah. Mekanisme fisiologis yang mengaturnya berkaitan satu


sama lain. Setiap perubahan yang berlainan dengan keadaan yang normal dianggap
sebagai indikasi yang penting untuk mengenali keadaan kesehatan seseorang.

Kesadaran. Kesadaran yang sehat dan adekuat dikenal sebagai awas waspada yang
merupakan ekspresi tentang apa yang dilihat, didengar, dialami dan perasaan
keseimbangan, nyeri, suhu, raba, getar, gerak, gerak tekan dan sikap, bersifat
adekuat.

Fungsi Tubuh.Tubuh terbentuk atas banyak jaringan dan organ. Setiap organ memiliki
fungsi khusus.

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Potensi proses berduka yang tidak terselesaikan sehubungan dengan kematian.
b. Fiksasi berduka pada fase depresi sehubungan dengan amputasi kaki kiri.
c. Potensi respon berduka yang berkepanjangan sehubungan dengan proses berduka
sebelumnya yang tidak tuntas.

20
d. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan ketidakmampuan untuk menerima
kematian seseorang yang disayangi.

3. INTERVENSI KEPERAWATAN
Tujuan jangka panjang: agar individu berperan aktif melalui proses berduka yang tuntas.
Tujuan jangka pendek: pasien mampu:
1. Mengungkapkan perasaan duka
2. Menjelaskan makna kehilangan atau orang atau objek
3. Membagi rasa dengan orang yang berarti
4. Menerima kenyataan kehilangan dengan perasaan damai
5. Membina hubungan baru yang bermakna dengan objek atau orang yang baru
6. Memberikan bantuan loneliness, ketakutan dan depresi
7. Membantu pasien menerima kehilangan

Kriteria Hasil
1. Klien leluasa mengekspresikan perasaan, kebutuhan dan ketakutannya
2. Klien menerima bantuan dan menggunakan sumber yang ada
3. Keluarga menerima berdukanya.
4. Klien tidak merasakan kesepian karena ditinggal orang yang berarti.

Prinsip tindakan keperawatan pada pasien dengan respon kehilangan


1. Bina dan jalin hubungan saling percaya,dengan cara:
Mendengarkan pasien berbicara
Memberi dorongan agar pasien mau mengungkapkan perasaany
Menjawab pertanyaan pasien secara langsung,menunjukan sikap menerima
empati
2. Diskusikan dengan klien dalam mempresepsikan suatu kejadian yang menyakitakan
dengan pemberian makna positif dan mengambil hikmahnya.
3. Identifikasi kemungkinan faktor yang menghambat proses berduka
Bersama pasien mendiskusikan hubungan pasien dengan orang atau objek yang
pergi atau hilang
Menggali pola hubungan pasien dengan orang yang berarti
4. Kurangi atau hilangkan faktor penghambat proses berduka
Bersama pasien mengingat kembali cara mengatasi perasaan berduka dimasa lalu
Memperkuat dukungan serta kekuatan yang dimiliki pasien dan keluarga
Mengenali dan menghargai social,budaya,agama,serta kepercayaan yang dianut
oleh pasien dan keluarga dalam mengatasi perasaan kehilangan.
5. Beri dukungan tehadap respon kehilangan pasien
Memberi gambaran tentang cara mengunkapkan perasaan yanga bisa diterima
Menguatkan dukungan keluarga atau orang yang berarti
6. Tingkatkan rasa kebersamaan antara anggota keluarga
Menjelaskan manfaat hubungan dengan orang lain
Menguatkan dorongan keluarga atau orang yang berarti bagi pasien
7. Tentukan kondisi pasien sesuai dengan fase berikut:
a. Fase pengingkaran
Memberi kesempatan kepada pasien untuk mengungkapkan perasaanya
Menunjukan sikap menerima,ikhlas dan mendorong pasien untukn berbagi rasa

21
Memberikan jawaban yang jujur terhadap pertanyaan pasien tentang
sakit,pengobatan dan kematian
b. Fase marah
Mengizinkan dan mendorong pasien mengungkapkan rasa marahnya secara
verbal tanpa melawan dengan rasa kemarahan
c. Fase tawar menawar
Membantu pasien mengidentifikasi rasa bersalah dan perasaan takutnya
d. Fase depresi
Mengidentifikasi tingkat depresi dan resiko merusak diri pasien
Membantu pasien mengurangi rasa bersalah
e. Fase penerimaan
Membantu pasien untuk menerima kehilangan yang tidak bisa dielakan

Prinsip keperawatan pada orang tua dengan respon kehilangan (kematian anak)
1 Menyediakan sarana ibadah,termasuk pemuka agama.
2 Menganjurkan pasien untuk memegang/melihat jenazah anaknya.
3 Menyiapkan perangkat kenangan.
4 Menganjurkan pasien untuk mengikuti program lanjutan bila diperlukan.
5 Menjelaskan kepada pasien/.keluarga cirri-ciri respon yang patologis serta tempat
mereka minata bantuan bila diperlukan.

4. EVALUASI
1 Apakah pasien sudah dapat mengungkapkan perasaannya secara optimis?
2 Apakah pasien dapat menjelaskan makna kehilangan tersebut terhadap
kehidupannya?
3 Apakah pasien dapat menjelaskan makna kehilangan tersebut terhadap
kehidupannnya?
4 Apakah pasien menunjukan tanda-tanda penerimaannya?
5 Apakah pasien sudah dapat menilai hubungan baru dengan orang lain?
6 Berpartisipasi dalam aktifitas perawatan.
7 Mengungkapkan perasaan marah, berduka cita dan kehilangan secara verbal.
8 Tercapainya hubungan open terbuka dengan orang-orang yang mendukung.

B. Asuhan keperawatan pada klien terminal


1. PENGKAJIAN
Pengkajian pada klien yang sakit terminal, meliputi :
a. Pengkajian Tingkat Kesadaran
Closed Awareness, suatu keadaan dimana klien dan keluarga tidak sadar akan
kemungkinan kematian, tidak dapat mengerti mengapa klien sakit dan mereka
yakin akan sembuh.
Mutual Pretense, suatu kondisi dimana klien, keluarga dan tenaga kesehatan
telah mengetahui prognosis penyakit dalam keadaan terminal, namun mereka
berusaha untuk tidak membicarakan atau menyinggung tentang penyakitnya.
22
Open Awareness, suatu keadaan dimana klien dan orang sekitarnya mengetahui
akan adanya kematian dan merasa tenang untuk mendiskusikannya walaupun itu
dirasakan sulit, pada keadaan ini klien diberi kesempatan untuk berpartisipasi
dalam menentukan saat terakhirnya.
Pengkajian yang harus dilakukan dari tingkat kesadaran ini, adalah :
Kaji apakah klien dan keluarga sadar bahwa klien dalam keadaan terminal?
Kaji tingkat kesadaran klien, apakah klien dan keluarga dalam tingkatan closed
awareness, mutual pretense, open awareness?
Kaji dalam tahap manakah pada proses kematian tersebut?
Kaji support sistem klien, misalnya keluarga atau orang terdekat?
Apakah klien masih mengekspresikan sesuatu yang belum diselesaikan, finansial,
emosional, legal?
Apakah koping yang positif pada klien?

b. Pengkajian Tanda Tanda Klinis Menjelang Kematian


Tanda klinis menjelang kematian, adalah :
Kehilangan tonus otot, sehingga terjadi :
- Relaksasi otot muka, sehingga dagu menjadi turun.
- Kesulitan dalam berbicara, proses menelan, hilangnya reflek menelan.
- Gerakan tubuh yang terbatas (tidak mampu bergerak).
- Penurunan kegiatan GI Tract seperti nausea, vomiting, perut kembung,
konstipasi.
- Penurunan kontrol spinkter urinari dan rectal.
Kelambatan dalam sirkulasi, berupa :
- Kemunduran dalam sensasi.
- Sianosis pada daerah ekstrimitas.
- Kulit dingin, mula-mula daerah kaki, tangan, telinga dan kemudian hidung.
Perubahan perubahan tanda tanda vital berupa :
- Nadi lambat dan lemah (saat ajal nadi cepat dan kecil).
- Penurunan tekanan darah (saat ajal tekanan darah sangat rendah).Pernafasan
cepat, dangkal, tidak teratur atau pernafasan dengan mulut.
Gangguan sensori berupa :
- Penglihatan kabur (saat ajal pupil melebar).
- Gangguan dalam penciuman dan perabaan.
c. Pengkajian Tanda Tanda Klinis Saat Ajal
Pupil melebar, tidak mampu bergerak, kehilangan refleks refleks, nadi cepat dan
kecil, pernafasan cheyne stokes dan ngorok, tekanan darah sangat rendah, mata
dapat tertutup dan agak terbuka.
d. Pengkajian Tanda Tanda Mati Secara Klinis
Tidak ada respon terhadap rangsangan dari luar secara total, tidak adanya gerakan
dari otot khususnya pernafasan, tidak ada refleks, gambaran mendatar pada EKG.
e. Pengkajian Individu atau Anggota Keluarga Pada Saat KlienDengan Dying

23
Reaksi kehilangan, ditandai dengan dada merasa tertekan, bernafas pendek dan
rasa tercekik.
Faktor yang mempengaruhi terhadap reaksi kehilangan :
- Arti dari kehilangan yang tergantung kepada persepsi individu tentang
pengalaman kehilangan.
- Umur berpengaruh terhadap tingkat pengertian dan reaksi terhadap kehilangan
serta kematian.
- Kultur pada setiap suku/bangsa terhadap kehilangan berbeda-beda.
- Keyakinan spiritual, anggota keluarga dengan sakaratul maut melakukan praktek
spiritual dengan tata cara yang dilakukan sesuaI dengan agama dan
keyakinannya.
- Peranan seks, untuk laki-laki diharapkan kuat dan tidak memperlihatkan
kesedihan dan perempauan dianggap wajar atau dibolehkan untuk
mengekspresikan perasaannya atau kesedihannya (menangis) sepanjang tidak
mengganggu lingkungan sekitar (menangis dengan meraung raung atau
merusak).
- Status sosial ekonomi, berpengaruh terhadap sistem penunjang, sehingga akan
berpengaruh pula terhadap rekasi kehilanga akibat adanya kematian

f. Pengkajian Terhadap Reaksi Kematian dan Kehilangan (Berduka Cita)


Karakteristik dari duka cita :
- Individu mengalami kesedihan dan merupakan reaksi dari shock dan
keyakinannya terhadap kehilangannya.
- Merasa hampa dan sedih.
- Ada rasa ketidak nyamanan, misalnya rasa tercekik dan tertekan pada daerah
dada.
- Membayangkan yang telah meninggal, merasa berdosa.
- Ada kecenderungan mudah marah.
Tingkatan dari duka cita :
- Shock dan ketidak yakinan, karena salah satu anggota keluarga akan meninggal,
bahkan menolak seolah-olah masih hidup.
- Berkembangnya kesadaran akan kehilangan dengan perilaku sedih, marah pada
diri sendiri atau pada orang lain.
- Pemulihan, dimana individu sudah dapat menerima dan mau mengikuti upacara
keagamaan berhubungan dengan kematian.
- Mengatasi kehilangan yaitu dengan cara mengisi kegiatan sehari hari atau
berdiskusi dengan orang lain mengenai permasalahannya.
- Idealisasi, dimana individu menyesal karena kurang memperhatikan almarhum
selama masih hidup dan berusaha menekan segala kejelekan dari almarhum.

24
- Keberhasilan, tergantung dari seberapa jauh menilai dari obyek yang hilang,
tingkat ketergantungan kepada orang lain, tingkat hubungan sosial dengan orang
lain dan banyaknya pengalaman kesedihan yang pernah dialami.

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI (RENCANA TINDAKAN


KEPERAWATAN)

1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan terakumulasinya sekret di


tenggorokan, ditandai dengan frekuensi nafas yang cepat, kadang kadang
terdapat sianosis
Tujuan :
Pola nafas efektif
Intervensi :
- Kaji pola nafas klien.
- Observasi tanda tanda vital setiap 1 jam (TD, nadi, respirasi).
- Lakukan suction bilamana perlu.
- Kolaborasi dalam pemberian oksigen dan obat ekspectoran.

2. Merasa kehilangan harapan hidup dan terisolasi dari lingkungan sosial


berhubungan dengan kondisi sakit terminal

Tujuan :
Klien merasa tenang menghadapi sakaratul maut sehubungan dengan sakit
terminal
Intervensi :
- Dengarkan dengan penuh empati setiap pertanyaan dan berikan respon jika
dIbutuhkan klien dan gali perasaan klien.
- Berikan klien harapan untuk dapat bertahan hidup.
- Bantu klien menerima keadaannya sehubungan dengan ajal yang akan
menjelang.
- Usahakan klien untuk dapat berkomunikasi dan selalu ada teman di dekatnya.
- Perhatikan kenyamanan fisik klien.

3. Kehilangan harga diri berhubungan dengan penurunan dan kehilangan fungsi


Tujuan :
Mempertahankan rasa aman, tenteram, percaya diri, harga diri dan martabat klien
Intervensi :
- Gali perasaan klien sehubungan dengan kehilangan.
- Perhatikan penampilan klien saat bertemu dengan orang lain.
- Bantu dan penuhi kebutuhan dasar klien antara lain hygiene, eliminasi.
- Anjurkan keluarga dan teman dekat untuk saling berkunjung dan melakukan hal
hal yang disenangi klien.
25
- Beri klien support dan biarkan klien memutuskan sesuatu untuk dirinya, misalnya
dalam hal perawatan.

4. Depresi berhubungan dengan kesedihan tentang dirinya dalam keadaan terminal


Tujuan :
Mengurangi rasa takut, depresi dan kesepian
Intervensi :
- Bantu klien untuk mengungkapkan perasaan sedih, marah dan lain lain.
- Perhatikan empati sebagai wujud bahwa perawat turut merasakan apa yang
dirasakan klien.
- Bantu klien untuk mengidentifikasi sumber koping, misalnya dari teman dekat,
keluarga ataupun keyakinan klien.
- Berikan klien waktu dan kesempatan untuk mencerminkan arti penderitaan,
kematian dan sekarat.
- Gunakan sentuhan ketika klien menunjukkan tingkah laku sedih, takut ataupun
depresi, yakinkan bahwa perawat selalu siap membantu.
- Lakukan hubungan interpersonal yang baik dan berkomunikasi tentag
pengalaman pengalaman klien yang menyenangkan.

5. Cemas berhubungan dengan kemungkinan sembuh yang tidak pasti, ditandai


dengan klien selalu bertanya tentang penyakitnya, adakah perubahan atau tidak
(fisik), raut muka klien yang cemas
Tujuan :
Klien tidak cemas lagi dan klien memiliki suatu harapan serta semangat hidup
Intervensi :
- Kaji tingkat kecemasan klien.
- Jelaskan kepada klien tentang penyakitnya.
- Tetap mitivasi (beri dukungan) kepada klien agar tidak kehilangan harapan hidup
dengan tetap mengikuti dan mematuhi petunjuk perawatan dan pengobatan.
- Anjurkan kepada klien untuk tetap berserah diri kepada Tuhan.
- Datangkan seorang klien yang lain yang memiliki penyakit yang sama dengan
klien.
- Ajarkan kepada klien dalam melakukan teknik distraksi, misal dengan
mendengarkan musik kesukaan klien atau dengan teknik relaksasi, misal dengan
menarik nafas dalam.
- Beritahukan kepada klien mengenai perkembangan penyakitnya.
- Ikut sertakan klien dalam rencana perawatan dan pengobatan.

6. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan tidak menerima akan kematian,
ditandai dengan klien yang selalu mengeluh tentang keadaan dirinya, menyalahkan
Tuhan atas penyakit yang dideritanya, menghindari kontak sosial dengan
keluarga/teman, marah terhadap orang lain maupun perawat
Tujuan :
Koping individu positif
26
Intervensi :
- Gali koping individu yang positif yang pernah dilakukan oleh klien.
- Jelaskan kepada klien bahwa setiap manusia itu pasti akan mengalami suatu
kematian dan itu telah ditentukan oleh Tuhan.
- Anjurkan kepada klien untuk tetap berserah diri kepada Tuhan.
- Perawat maupun keluarga haruslah tetap mendampingi klien dan mendengarkan
segala keluhan dengan rasa empati dan penuh perhatian.
- Hindari barang barang yang mungkin dapat membahayakan klien.
- Tetap memotivasi klien agar tidak kehilangan harapan untuk hidup.
- Kaji keinginan klien mengenai harapa untuk hidup/keinginan sebelum menjelang
ajal.
- Bantu klien dalam mengekspresikan perasaannya.

7. Distress spiritual berhubungan dengan kurangnya pengetahuan klien dalam


melaksanakan alternatif ibadah sholat dalam keadaan sakit ditandai dengan klien
merasa lemah dan tidak berdaya dalam melakukan ibadah sholat
Tujuan :
Kebutuhan spiritual dapat terpenuhi yaitu dapat melakukan sholat dalam keadaan
sakit
Intervensi :
- Kaji tingkat pengetahuan klien mengenai ibadah sholat.
- Ajarkan pada klien cara sholat dalam keadaan berbaring.
- Ajarkan tata cara tayamum.
- Ajarkan kepada klien untuk berzikir.
- Datangkan seorang ahli agama.

8. Inefektif koping keluarga berhubungan dengan kehilangan


Tujuan :
Membantu individu menangani kesedihan secara efektif
Intervensi :
- Motivasi keluarga untuk menverbalisasikan perasaan perasaan antara lain :
sedih, marah dan lain lain.
- Beri pengertian dan klarifikasi terhadap perasaan perasaan anggota keluarga.
- Dukung keluarga untuk tetap melakukan aktivitas sehari hari yang dapat
dilakukan.
- Bantu keluarga agar mempunyai pengaharapan yang realistis.
- Berikan rasa empati dan rasa aman dan tenteram dengan cara duduk disamping
keluarga, mendengarkan keluhan dengan tetap menghormati klien serta
keluarga.
- Berikan kesempatan pada keluarga untuk melakukan upacara keagamaan
menjelang saat kematian.

Diagnosa yang Mungkin Muncul Berhubungan Dengan Penyakit :

27
Gangguan Konsep Diri (peran) berhubungan dengan pathologis penyakit dan
kelemahan
Anorexia dan nausea berhubungan dengan pemberian obat kemoterapi

Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan

Konstipasi berhubungan dengan pemberian obat penurun rasa sakit

3. EVALUASI
Terhadap Klien
- Klien bebas dari rasa sakit.
- Klien dapat berpartisipasi dalam perawatan dan pengobatan baik pada tahap
perencanaan maupun pelaksanaannya.
- Klien dapat mengekspresikan perasaannya (marah, sedih dan kehilangan).
- Klien dapat berkomunikasi dengan keluarga, perawat dan tim kesehatan lainnya.

Terhadap keluargaKeluarga dapat mengekspresikan perasaannya.


- Keluarga dapat mengutarakan pengalaman pengalaman emosionalnya.
- Keluarga dapat melakukan kegiatan yang bisa dilakukan.

- Keluarga dapat membentuk hubungan baru dengan orang lain.

BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN
- Kehilangan adalah suatu keadaan Individu berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya
ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan.
- Grieving merupakan respon individu atau reaksi emosi dari kehilangan dan terjadi
karena kehilangan seperti : kehilangan hak, kehilangan hak hidup, menuju kematian
- Tipe dari kehilangan dipengaruhi tingkat distress.
- Kehilangan dapat dirasakan oleh semua orang, baik itu anak-anak, remaja, maupun
dewasa.
- Ada beberapa factor yang mempengaruhi setiap individu dalam merespon kehilangan,
antara lain: karakteristik personal termasuk usia, jenis kelamin, setatus social ekonomi,
yang hilang, karakteristik kehilangan, keyakinan cultural, dan spiritual, system
pendukung, dan potensi pencapaian tujuan mempengaruhi respon terhadap kehilangan.
- Faktor pendukung terjadinya kehilangan dan berduka, antara lain: genetik, kesehatan
mental dan jasmani, dan pengalaman masa lalu.
- Sedangkan faktor pencetus dari kehilangan dan berduka, antara lain: stress, perilaku,
dan mekanisme koping individu.

28
- Berduka disfungsional adalah suatu status yang merupakan pengalaman individu yang
responnya dibesar-besarkan saat individu kehilangan secara aktual maupun potensial,
hubungan, objek dan ketidakmampuan fungsional. Tipe ini kadang-kadang menjurus ke
tipikal, abnormal, atau kesalahan/kekacauan.
- Peran perawat adalah untuk mendapatkan gambaran tentang perilaku berduka,
mengenali pengaruh berduka terhadap perilaku dan memberikan dukungan dalam
bentuk empati.

B. SARAN
Dengan adanya pembahasan mengenai Asuhan Keperawatan Jiwa pada klien death
& dying, loss & grief diharapkan pada semua calon perawat maupun perawat dapat
memahami tentang Asuhan Keperawatan Jiwa pada klien kehilangan dan berduka. Dimana
nantinya perawat akan mengaplikasikan apa yang dipelajari ini dalam praktek
keperawatannya. Oleh karena itu sangat perlu untuk kita semua calon-calon perawat masa
depan memahami hal tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

1. Potter & Perry. 2005. Fundamental Keperawatan volume 1. Jakarta: EGC.


2. Suseno, Tutu April. 2004. Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia: Kehilangan, Kematian
danBerduka dan Proses keperawatan. Jakarta: Sagung Seto.
3. Townsend, Mary C. 1998. Diagnosa Keperawatan pada Keperawatn Psikiatri, Pedoman
UntukPembuatan Rencana Perawatan Edisi 3. Jakarta: EGC.
4. Stuart and Sundeen. 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa, ed.3. Jakarta: ECG.

29

You might also like