You are on page 1of 4

A.

Abstrak
Pendahuluan: Refluks laringofaringeal (LPR) merupakan penyakit dengan prevalensi tinggi
dan umum ditemui dalam praktik otolaringologi.
Tujuan: Untuk meninjau literatur mengenai diagnosis dan tatalaksana dari LPR
Sintesis Data: LPR berhubungan dengan gejala iritasi laringeal seperti membersihkan
tenggorokan, batuk, dan suara serak. Metode diagnostik utama yang kini digunakan adalah
laringoskopi dan pemantauan pH. Tanda laringoskopis yang paling umum adalah kemerahan
dan pembengakakan pada tenggorokan. Akan tetapi, temuan ini tidak spesifik untuk LPR dan
mungkin berhubungan dengan penyebab lain atau bahkan dapat ditemukan pada orang yang
sehat. Lebih lanjut, peran pemantauan pH dalam diagnosis LPR masih kontroversial. Trial
terapeutik dengan penyekat pompa proton (Proton Pump Inhibitor/PPI) diketahui hemat biaya
dan berguna untuk diagnosis LPR. Namun, rekomendasi terapi PPI untuk pasien dengan
kecurigaan LPR didasarkan pada hasil dari studi yang tidak terkontrol, dan angka respon
plasebo yang tinggi mengindikasikan patofisiologi LPR yang lebih kompleks dan
multifaktorial alih-alih hanya refluks asam sederhana. Studi molekuler telah dilakukan untuk
mengidentifikasi biomarker dari refluks seperti interleukin, anhidrase karbonik, E-cadherin,
dan mucin.
Simpulan: laringoskopi dan pemantauan pH telah gagal menjadi uji yang reliabel untuk
mendiagnosis LPR. Terapi empiris dengan PPI telah diterima secara umum sebagai uji
diagnostik dan tatalaksana dari LPR. Namun, penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk
mengembangkan uji diagnostik yang definitif untuk LPR.

B. Pendahuluan
Refluks laringofaringeal (LPR) didefinisikan sebagai aliran retrograd dari isi lambung ke laring
dan faring dimana zat ini berkontak dengan saluran aerodigestif atas1. Sebaliknya, penyakit
refluks gastroesofageal (GERD) merupakan aliran balik dari asam lambung ke esophagus.
Penyakit refluks asam lambung sering dijumpai dan GERD serta LPR merupakan epidemi2,6.
Berdasarkan El-Serag2, prevalensi dari penyakit refluks (GERD dan LPR) telah meningkat
sebesar 4% setiap tahun sejak 1976, dan data dari National Cancer Institute of the United States
menunjukkan peningkatan prevalensi kanker esophageal sebesar 600% sejak 19755. Altman
dkk melaporkan peningkatan sebesar 500% kunjungan ke ahli otolaringologi karena LPR dari
tahun 1990 sampai 20013. Lebih lanjut, LPR diperkirakan ada pada 50% dari pasien dengan
disfonia7.
LPR telah terlibat dalam etiologi dari banyak penyakit laryngeal seperti laryngitis refluks,
stenosis subglotis, karsinoma laring, granuloma, ulkus kontak, dan nodul vokal8,9. Pasien
dengan LPR dapat mengalami penderitaan yang berkepanjangan dan melelahkan apabila
dokter tidak bisa menegakkan diagnosis karena gejala dan tanda dari penyakit tidaklah spesifik
dan dapat menjadi manifestasi dari etiologi lain seperti infeksi, vocal abuse, alergi, merokok,
inhalasi iritan, alkohol, atau perubahan nonpatologis. Namun, saat muncul bersamaan, tanda
dan gejala merupakan indikator yang kuat dari refluks1.

C. Tinjauan Pustaka
1. Kejadian Berbahaya
a. Sawar Fisiologis
Sawar fisiologis dari LPR termasuk sfingter esophageal bagian bawah, klirens
esophageal yang dipengaruhi oleh peristalsis esophagus, saliva, dan gravitasi, serta
sfingter esophageal bagian atas. Saat sawar ini gagal, isi lambung dapat berkontak
dengan jaringan laringofaringeal, menyebabkan kerusakan pada epitel, disfungsi siliar,
inflamasi, dan perubahan sensitivitas. Dipercaya bahwa anhidrase karbonik tipe III
memiliki fungsi protektif yang penting terhadap epitel dari laring melalui sekresi aktif
dari bikarbonat, mengatur pH untuk merespon refluks asam. Hipotesis ini didukung
dengan tidak ditemukannya enzim ini pada 64% dari biopsy jaringan pada pasien
dengan LPR1.
b. Asam
pH faring adalah netral (pH 7), sementara asam lambung memiliki kisaran pH antara
1,5 sampai 2. Kerusakan pada faring merupakan hasil dari penurunan pH dan paparan
terhadap komponen refluks seperti pepsin, garam empedu, dan enzim pankreatik. Pada
esophagus, 50 episode refluks per hari dapat dianggap sebagai normal, sementara pad
alaring tiga episode refluks sudah dapat menyebabkan kerusakan11. Namun, efek dari
asam terhadap laring masih belum jelas dan beberapa studi menunjukkan bahwa
kombinasi dari pepsin dan asam dibutuhkan untuk membuat kerusakan laring12.
c. Pepsin
Refluks nonasam berhubungan dengan inflamasi pada LPR dan GERD. Pemantauan
impedans pH mendeteksi episode refluks nonasam atau asam lemah dari lambung pada
pasien yang simtomatik, mengindikasikan bahwa komponen refluks seperti pepsin dan
garam empedu dapat menyebabkan kerusakan mukosa13. Bukti menunjukkan bahwa
pepsin secara aktif ditransport ke sel epitel laring dan tetap stabil pada pH 7,414. Tetapi
pepsin terinaktivasi secara ireversibel pada pH 8. Setelah pepsin direaktivasi oleh
penurunan pH dari 7,4 ke 3, 72% dari aktivitas pepsin bertahan. Pepsin berfungsi secara
optimal pada pH 210. Studi terkini menunjukkan bajwa pepsin merupakan agen kausatif
dari cedera laryngeal pada refluks nonasam11,13. Pada rata-rata pH 6,8, laring mungkin
mengandung pepsin stabil yang dapat direaktivasi selama episode refluks setelahnya
atau oleh ion hidrogen dari berbagai sumber termasuk sumber diet4,10. Lebih lanjut lagi,
terdapat bukti yang menunjukkan bahwa pepsin dapat menyebabkan kerusakan
intraseluler karena komponen sel seperti kompleks Golgi dan lisosom memiliki pH
yang rendah (5,0 dan 4,0 masing-masing)14. Dalam studi Johnson dkk, pepsin
intraseluler dideteksi oleh analisis Western blot dari biopsy laring pada 19 dari 20
pasien dengan LPR yang tercatat oleh pemantauan Ph, namun hanya 1 dari 20 pasien
kontrol11. Kehadiran pepsin pada jaringan berhubungan dengan penurunan zat protektif
seperti anhidrase karbonik, E-cadherin, dan Sep 70 (protein stres dari epitel)11,15. Studi
terkini menunjukkan bahwa pepsin meningkatkan marker genetik yang berhubungan
dengan kanker16.
d. Asam Empedu
Refluks dari getah lambung dan duodenum mengandung asam empedu dan sekret
pankreas dan dapat mencapai laring17. Asam empedu terkonjugasi dapat menyebabkan
kerusakan mukosa pada pH rendah (1,2 sampai 1,5)18. Asam empedu jenis asam
kenodeoksikolik aktif pada pH 7 dan bukan pada pH 2. Studi eksperimental
menunjukkan bahwa asam lambung terkonjugasi lebih merusak mukosa pada pH asam,
sedangkan asam kenodeoksikolik aktif pada pH 5 sampai 817. Pada studi tersebut,
mukosa laring dari tikus dipaparkan terhadap asam taurokolik dan asam
kenodeoksikolik pada pH 1,5 sampai 7,4 dan hasilnya dibandingkan dengan tikus
kontrol yang dipapari oleh saline. Asam taurokolik lebih merusak mukosa pada pH 1,5,
sedangkan asam kenodeoksikolik dapat menyebabkan inflamasi maksimum pada pH
7,4. Penelitian menunjukkan bahwa asam empedu dapat menyebabkan inflamasi
laryngeal pada pH asam dan nonasam. Namun, tidak ada bukti mekanisme yang sama
terjadi pada laring manusia
2. Gejala
Menurut Koufman8, penting untuk mengenali LPR dan GERD sebagai entitas yang
berbeda. Dalam studi Kaufman yang melibatkan 899 pasien, usaha membersihkan
tenggorokan ditemukan pada 87% pasien LPR melawan 3% pada pasien GERD. Di sisi
lain, hanya 20% pasien LPR melaporkan adanya rasa terbakar pada ulu hati dibandingkan
83% pada pasien GERD.
Gejala paling umum dari LPR adalah usaha membersihkan tenggorokan yang
berlebihan, batuk, serak, dan globus pharyngeus (sensasi mengganjal di dalam
tenggorokan)1. Serak merupakan gejala umum yang berfluktuasi yang muncul pada pagi
hari dan membaik seiring hari berjalan19. Belafsky dkk mengembangkan kuesioner 9
pertanyaan (Indeks Gejala Refluks (RSI)) untuk menilai gejala pada pasien refluks yang
dapat diselesaikan dalam waktu kurang dari 1 menit9. Skala untuk masing-masing
pertanyaan berkisar dari 0 (tidak ada masalah) sampai 5 (masalah yang berat), dengan skor
maksimum 45 (Tabel 1). Pengarang berkesimpulan bahwa kuesioner ini menunjukkan
reproduksibilitas dan validitas yang tinggi dari diagnosis LPR apabila skor RSI > 13
dianggap sebagai tidak normal. Nilai RSI lebih tinggi secara signifikan pada pasien LPR
dibanding kontrol (p < 0,0001). Penulis menyimpulkan bahwa kuesioner ini menunjukkan
reproduksibilitas dan validitas yang tinggi karena peningkatan akurasi dokumentasi gejala
pada pasien dengan LPR. Satu tantangan dari diagnosis LPR adalah gejala LPR kekurangan
spesifitas untuk mengkonfirmasi LPR sehingga dapat menyingkirkan kemungkinan agen
penyebab lain. Faktanya, beberapa studi menunjukkan korelasi yang buruk antara gejala
LPR, penemuan laringeal, dan penemuan pH hipofaringeal20,21.

You might also like