You are on page 1of 21

BAB I

PENDAHULUAN

Kor pulmonal merupakan suatu keadaan timbulnya hipertrofi dan dilatasi


ventrikel kanan akibat hipertensi pulmonal yang disebabkan oleh penyakit yang
menyerang struktur, fungsi paru, atau pembuluh darah pulmonal yang dapat
berlanjut menjadi gagal jantung kanan.1,2 Menurut World Health Organization
(WHO), definisi kor pulmonal adalah keadaan patologis dengan hipertrofi
ventrikel kanan yang disebabkan oleh kelainan fungsional dan struktur paru.
Tidak termasuk kelainan karena penyakit jantung primer pada jantung kiri dan
penyakit jantung kongenital (bawaan).3 Istilah hipertrofi yang bermakna
sebaiknya diganti menjadi perubahan struktur dan fungsi ventrikel kanan.
Dikarenakan paru berkorelasi dalam sirkuit kardiovaskuler antara
ventrikel kanan dengan bagian kiri jantung, perubahan pada struktur atau fungsi
paru akan mempengaruhi secara selektif jantung kanan. Patofisiologi akhir yang
umum yang menyebabkan kor pulmonal adalah peningkatan dari resistensi aliran
darah melalui sirkulasi paru dan mengarah pada hipertensi arteri pulmonal.5
Kor pulmonal dapat terjadi secara akut maupun kronik. Penyebab kor
pulmonal akut tersering adalah emboli paru masif sedangkan kor pulmonal
kronik sering disebabkan oleh penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Pada kor
pulmonal kronik umumnya terjadi hipertrofi ventrikel kanan sedangkan pada kor-
pulmonal akut terjadi dilatasi ventrikel kanan.1
Insidens yang tepat dari kor pulmonal tidak diketahui karena seringkali
terjadi tanpa dapat dikenali secara klinis. Diperkirakan insidens kor pulmonal
adalah 6% sampai 7% dari seluruh penyakit jantung.5 Di Inggris terdapat
sedikitnya 0,3% populasi dengan resiko terjadinya kor pulmonal pada populasi
usia lebih dari 45 tahun dan sekitar 60.000 populasi telah mengalami hipertensi
pulmonal yang membutuhkan terapi oksigen jangka panjang.4

1
Penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan kor pulmonal adalah
penyakit yang secara primer menyerang pembuluh darah paru dan penyakit yang
mengganggu aliran darah paru.5 Berdasarkan penelitian lain di Ethiopia,
menemukan penyebab terbanyak kor pulmonal berturut-turut adalah asma
bronkial, tuberkulosis paru, bronkitis kronik, emfisema, penyakit interstisial
paru, bronkiektasis, obesitas, dan kifoskoliosis. Menurut penelitian sekitar 80-
90% pasien kor pulmonal mempunyai PPOK dan 25 % pasien dengan PPOK
akan berkembang menjadi kor pulmonal.4
Kor pulmonal terjadi ketika hipertensi pulmonal menimbulkan tekanan
berlebihan pada ventrikel kanan. Tekanan yang berlebihan ini meningkatkan
kerja ventrikel kanan yang menyebabkan hipertrofi otot jantung yang normalnya
berdinding tipis, yang akhirnya dapat menyebabkan disfungsi ventrikel dan
berlanjut kepada gagal jantung.3

1.1. Definisi
Kor pulmonal sering disebut sebagai penyakit jantung paru, didefinisikan
sebagai dilatasi dan hipertrofi ventrikel kanan akibat adanya penyakit parenkim
paru atau pembuluh darah paru.1,2
Menurut WHO, definisi kor pulmonal adalah keadaan patologis dengan
ditemukannya hipertrofi ventrikel kanan yang disebabkan oleh kelainan
fungsional dan struktur paru, tidak termasuk kelainan karena penyakit jantung
primer pada jantung kiri dan penyakit jantung kongenital (bawaan).3
Menurut Braunwahl, kor pulmonal adalah keadaan patologis akibat
hipertrofi atau dilatasi ventrikel kanan yang disebabkan oleh hipertensi pulmonal.
Penyebabnya antara lain penyakit parenkim paru, kelainan vaskuler paru, dan
gangguan fungsi paru karena kelainan thoraks, tidak termasuk kelainan vaskuler
paru yang disebabkan kelainan ventrikel kiri, penyakit jantung bawaan, penyakit
jantung iskemik, dan infark miokard akut.6

2
1.2. Etiologi dan Epidemiologi
Kor pulmonal terjadi akibat adanya perubahan akut atau kronis pada
pembuluh darah paru dan atau parenkim paru yang dapat menyebabkan
terjadinya hipertensi pulmonal.7
Prevalensi pasti kor pulmonal sulit dipastikan karena dua alasan. Pertama,
tidak semua kasus penyakit pru kronis menjadi kor pulmonal, dan kedua,
kemampuan kita untuk mendiagnosa hipertensi pulmonal dan kor pulmonal
dengan pemeriksaan fisik dan hasil laboratorium tidaklah sensitif.
Namun, kemajuan terbaru dalam 2-D echo/Doppler memberikan kemudahan
untuk mendeteksi dan mendiagnosis suatu kor pulmonal. 2 Diperkirakan
prevalensi kor pulmonal adalah 6% sampai 7% dari seluruh penyakit jantung
berdasarkan hasil penyelidikan yang memakai kriteria ketebalan dinding
ventrikel post mortem.5
Penyakit yang mendasari terjadinya kor pulmonal dapat digolongkan
menjadi 4 kelompok :
1. Penyakit pembuluh darah paru.
2. Penekanan pada arteri pulmonal oleh tumor mediastinum, aneurisma,
granuloma atau fibrosis.
3. Penyakit neuro muskular dan dinding dada.
4. Penyakit yang mengenai aliran udara paru, alveoli, termasuk Penyakit Paru
Obstruktif Kronis (PPOK), penyakit paru interstisial dan gangguan
pernafasaan saat tidur.
Penyakit yang menjadi penyebab utama dari kor pulmonal kronis adalah PPOK,
diperkirakan 80-90% kasus.1

1.3. Patogenesis
Penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan kor pulmonal adalah penyakit
yang secara primer menyerang pembuluh darah paru-paru, seperti emboli paru-

3
paru berulang, dan penyakit yang mengganggu aliran darah paru-paru akibat
penyakit pernapasan obstruktif atau restriktif.5
Apapun penyakit awalnya, sebelum timbul kor pulmonal biasanya terjadi
peningkatan resistensi vaskuler paru dan hipertensi pulmonal. Hipertensi
pulmonal pada akhirnya meningkatkan beban kerja dari ventrikel kanan,
sehingga mengakibatkan hipertrofi dan kemudian gagal jantung. Titik kritis dari
rangkaian kejadian ini nampaknya terletak pada peningkatan resistensi vaskuler
paru pada arteri dan arteriola kecil.5
Dua mekanisme dasar yang mengakibatkan peningkatan resistensi vaskuler
paru adalah: (1) vasokontriksi dari pembuluh darah pulmonal akibat adanya
hipoksia dan (2) obstruksi dan/atau obliterasi jaringan vaskular paru-paru.
Hipoksia alveolar (jaringan) memberikan rangsangan yang kuat untuk
menimbulkan vasokontriksi pulmonal daripada hipoksemia. Selain itu, hipoksia
alveolar kronik memudahkan terjadinya hipertrofi otot polos arteriola paru-paru,
sehingga timbul respon yang lebih kuat terhadap hipoksia akut. Asidosis,
hiperkapnia, dan hipoksemia bekerja secara sinergistik dalam menimbulkan
vasokontriksi. Viskositas (kekentalan) darah yang meningkat akibat polisitemia
dan peningkatan curah jantung yang dirangsang oleh hipoksia kronik dan
hiperkapnia, juga ikut meningkatkan tekanan arteri paru.5
Mekanisme kedua yang turut meningkatkan resistensi vaskuler dan
tekanan arteri paru adalah bentuk anatomisnya. Emfisema ditandai oleh
kerusakan bertahap dari struktur alveolar dengan pembentukan bula dan
obliterasi total dari kapiler-kapiler disekitarnya. Hilangnya pembuluh darah
secara permanen menyebabkan berkurangnya anyaman vaskuler. Selain itu, pada
penyakit obstruktif, pembuluh darah paru juga tertekan dari luar karena efek
mekanik dari volume paru yang besar. Tetapi, peranan obstruksi dan obliterasi
anatomik terhadap anyaman vaskuler diperkirakan tidak sepenting vasokontriksi
hipoksik dalam patogenesis kor pulmonal. Kira-kira duapertiga sampai
tigaperempat dari anyaman vaskuler harus mengalami obstruksi atau rusak

4
sebelum terjadi peningkatan tekanan arteri paru yang bermakna. Asidosis
respiratorik kronik terjadi pada beberapa penyakit pernapasan dan penyakit
obstruktif sebagai akibat hipoventilasi alveolar umum atau akibat kelainan
perfusi-ventilasi.6 Setiap penyakit paru memengaruhi pertukaran gas, mekanisme
ventilasi, atau jaringan vaskular paru dapat mengakibatkan kor pulmonal.5,8
Patogenesis kor pulmonal sangat erat kaitannya dengan hipertensi
pulmonal dan tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Adanya gangguan pada
parenkim paru, kinerja paru, maupun sistem peredaran darah paru secara akut
maupun kronik dapat menyebabkan terjadinya hipertensi pulmonal.8

Hipertensi pulmonal dapat diartikan sebagai penyakit arteri kecil pada


paru yang ditandai dengan proliferasi vaskuler dan remodeling. Hal ini pada
akhirnya dapat menyebabkan meningkatnya resistensi pembuluh darah paru yang
mengakibatkan terjadinya gagal ventrikel kanan dan kematian. Hipertensi
pulmonal dibagi menjadi primer dan sekunder. Hipertensi pulmonal primer
adalah hipertensi pulmonal yang tidak disebabkan oleh adanya penyakit jantung,
parenkim paru, maupun penyakit sistemik yang melatarbelakanginya. Hipertensi
pulmonal lain selain kriteria tersebut disebut hipertensi pulmonal sekunder. 9
Hipertensi pulmonal akibat komplikasi kronis paru (sekunder) didefinisikan
sebagai peningkatan rata-rata tekanan arteri pulmonal (TAP) istirahat, yakni >20
mmHg. Pada hipertensi pulmonal primer angka ini lebih tinggi yakni >25
mmHg. Pada pasien muda (<50 tahun) TAP normalnya berada pada kisaran 10-
15 mmHg. Dengan bertambahnya usia TAP akan meningkat kurang lebih 1
mmHg setiap 10 tahun. Selain dipengaruhi usia TAP juga dipengaruhi oleh
aktivitas. Semakin berat aktivitas maka TAP akan semakin meningkat. Pada
aktivitas ringan TAP dapat meningkat >30 mmHg. Melihat hal tersebut maka
pemeriksaan TAP harus dilakukan saat pasien dalam keadaan istirahat dan rileks.2
Terdapat tiga faktor yang telah diketahui dalam mekanisme terjadinya
hipertensi pulmonal yang menyebabkan meningkatnya resistensi vaskular.

5
Ketiganya adalah mekanisme vasokonstriksi, remodeling dinding pembuluh
darah pulmonal, dan trombosis in situ. Ketiga mekanisme ini terjadi akibat
adanya dua faktor yakni gangguan produksi zat-zat vasoaktif seperti, nitric oxide
dan prostacyclin, serta akibat ekspresi berlebihan secara kronis dari mediator
vasokonstriktor seperti, endothelin- 1. Dengan diketahuinya mekanisme tersebut
maka pengobatan terhadap hipertensi pulmonal menjadi lebih terang yakni
dengan pemberian preparat nitric oxide, derivat prostacyclin, antagonis reseptor
endothelin-1, dan inhibitor phosphodiesterase-5.9

Hipertensi pulmonal menyebabkan meningkatnya kinerja ventrikel kanan


dan dapat mengakibatkan dilatasi atau hipertropi bilik kanan jantung. Timbulnya
keadaan ini diperberat dengan adanya polisitemia akibat hipoksia jaringan,
hipervolemia akibat adanya retensi air dan natrium, serta meningkatnya cardiac
output. Ketika jantung kanan tidak lagi dapat melakukan adaptasi dan
kompensasi maka akhirnya timbul kegagalan jantung kanan yang ditandai
dengan adanya edema perifer. Jangka waktu terjadinya hipertropi atau dilatasi
ventrikel kanan maupun gagal jantung kanan pada masing-masing orang
berbeda-beda.5
Berdasarkan perjalanan penyakitnya, kor pulmonal dibagi menjadi 5 fase
(tabel 1).10

Tabel 1. Fase perjalanan penyakit kor pulmonal

6
Fase
Fase 1
Pada fase ini belum nampak gejala klinis yang jelas, selain
ditemukannya gejala awal penyakit paru obstruktif kronis
(PPOK), bronkitis kronis, tuberkulosis paru, bronkiektasis dan
sejenisnya. Anamnesa pada pasien 50 tahun biasanya didapatkan
kebiasaan banyak merokok.

Fase 2
Pada fase ini mulai ditemukan tanda-tanda berkurangnya ventilasi
paru. Gejalanya antara lain, batuk lama yang berdahak (terutama
bronkiektasis), sesak napas, mengi, sesak napas ketika berjalan
menanjak atau setelah banyak bicara. Sedangkan sianosis masih
belum nampak. Pemeriksaan fisik ditemukan kelainan berupa,
hipersonor, suara napas berkurang, ekspirasi memanjang, ronki
basah dan kering, mengi. Letak diafragma rendah dan denyut
jantung lebih redup. Pemeriksaan radiologi menunjukkan
berkurangnya corakan bronkovaskular, letak diafragma rendah
dan mendatar, posisi jantung vertikal.

Fase 3
Pada fase ini nampak gejala hipoksemia yang lebih jelas.
Didapatkan pula berkurangnya nafsu makan, berat badan
berkurang, cepat lelah. Pemeriksaan fisik nampak sianotik,
disertai sesak dan tanda-tanda emfisema yang lebih nyata.

Fase 4
Ditandai dengan hiperkapnia, gelisah, mudah tersinggung kadang
somnolen. Pada keadaan yang berat dapat terjadi koma dan
kehilangan kesadaran.

Fase 5
Pada fase ini nampak kelainan jantung, dan tekanan arteri
pulmonal meningkat. Tanda-tanda peningkatan kerja ventrikel,
namun fungsi ventrikel kanan masih dapat kompensasi.
7
Selanjutnya terjadi hipertrofi ventrikel kanan kemudian terjadi
gagal jantung kanan. Pemeriksaan fisik nampak sianotik,
bendungan vena jugularis, hepatomegali, edema tungkai dan
Untuk mempermudah pemahaman mengenai patogenesis kor pulmonal,
disediakan ringkasan pada gambar 1.

Penyakit paru kronis

Kerusakan paru & semakin Asidosis dan Hipoksia Polisitemia dan


terdesaknya pembuluh darah hiperkapnia alveolar hiperviskositas
oleh paru yang darah
mengembang

Berkurangnya vascular bed Vasokonstriksi


paru

Hipertensi Pulmonal

kronis

Hipertrofi dan dilatasi


ventrikel kanan

Kor pulmonal

Gambar 1. Patogenesis Kor Pulmonal

Timbulnya kor pulmonal biasanya terjadi peningkatan resistensi vaskuler


paru dan hipertensi pulmonal. Hipertensi pulmonal pada akhirnya meningkatkan
beban kerja dari ventrikel kanan, sehingga mengakibatkan hipertrofi dan
kemudian gagal jantung. Titik kritis dari rangkaian kejadian ini nampaknya
terletak pada peningkatan resistensi vaskuler paru pada arteri dan arteriola kecil.5
Dua mekanisme dasar yang mengakibatkan peningkatan resistensi vaskuler
paru adalah: (1) vasokontriksi dari pembuluh darah pulmonal akibat adanya
hipoksia dan (2) obstruksi dan/atau obliterasi jaringan vaskular paru-paru.

8
Hipoksia alveolar (jaringan) memberikan rangsangan yang kuat untuk
menimbulkan vasokontriksi pulmonal daripada hipoksemia. Selain itu, hipoksia
alveolar kronik memudahkan terjadinya hipertrofi otot polos arteriola paru-paru,
sehingga timbul respon yang lebih kuat terhadap hipoksia akut. Asidosis,
hiperkapnia, dan hipoksemia bekerja secara sinergistik dalam menimbulkan
vasokontriksi. Viskositas (kekentalan) darah yang meningkat akibat polisitemia
dan peningkatan curah jantung yang dirangsang oleh hipoksia kronik dan
hiperkapnia, juga ikut meningkatkan tekanan arteri paru.5
Mekanisme kedua yang turut meningkatkan resistensi vaskuler dan
tekanan arteri paru adalah bentuk anatomisnya. Emfisema ditandai oleh
kerusakan bertahap dari struktur alveolar dengan pembentukan bula dan
obliterasi total dari kapiler-kapiler disekitarnya. Hilangnya pembuluh darah
secara permanen menyebabkan berkurangnya anyaman vaskuler. Selain itu, pada
penyakit obstruktif, pembuluh darah paru juga tertekan dari luar karena efek
mekanik dari volume paru yang besar. Tetapi, peranan obstruksi dan obliterasi
anatomik terhadap anyaman vaskuler diperkirakan tidak sepenting vasokontriksi
hipoksik dalam patogenesis kor pulmonal. Kira-kira duapertiga sampai
tigaperempat dari anyaman vaskuler harus mengalami obstruksi atau rusak
sebelum terjadi peningkatan tekanan arteri paru yang bermakna. Asidosis
respiratorik kronik terjadi pada beberapa penyakit pernapasan dan penyakit
obstruktif sebagai akibat hipoventilasi alveolar umum atau akibat kelainan
perfusi-ventilasi.6 Setiap penyakit paru memengaruhi pertukaran gas, mekanisme
ventilasi, atau jaringan vaskular paru dapat mengakibatkan kor pulmonal.5,8

9
BAB II
DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN KOR PULMONAL

Diagnosis kor pulmonal dapat ditegakkan jika terbukti terdapat adanya


hipertensi pulmonal akibat dari kelainan fungsi dan atau struktural paru. Untuk
menegakkan diagnosis kor pulmonal secara pasti maka dilakukan prosedur
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang secara tepat. Pada
anamnesis dan pemeriksaan fisik pemeriksa dapat menemukan data-data yang

10
mendukung ke arah adanya kelainan paru baik secara struktural maupun fungsional.
Adanya hipertensi pulmonal tidak dapat ditegakkan secara pasti dengan hanya
pemeriksaan fisik dan anamnesis tetapi membutuhkan pemeriksaan penunjang.1

2.1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik


Perlu dilakukan anamnesis yang teliti ada tidaknya penyakit paru yang
mendasari dan jenis kelainan paru seperti batuk kronik yang produktif, sesak
nafas waktu beraktifitas, nafas yang berbunyi, mudah lelah. Pada fase awal
berupa pembesaran ventrikel kanan, tidak menimbulkan keluhan jadi lebih
banyak keluhan akibat penyakit parunya. Keluhan akibat pembesaran ventrikel
kanan baru timbul bila sudah ada gagal jantung kanan misalnya edema dan nyeri
parut kanan atas. Infeksi paru sering mencetuskan gagal jantung, hipersekresi
branchus, edema alveolar, serta bronkospasme yang menurunkan ventilasi paru
lalu timbul gagal jantung kanan.3
Dispnea merupakan gejala yang paling umum terjadi, biasanya karena
adanya peningkatan kerja pernapasan akibat adanya perubahan dalam elastisitas
paru-paru (fibrosis penyakit paru) atau adanya over inflasi pada penyakit PPOK.
Nyeri dada atau angina juga dapat terjadi. Hal ini terjadi disebabkan oleh iskemia
pada ventrikel kanan atau teregangnya arteri pulmonalis. Hemoptisis, karena
rupturnya arteri pulmonalis yang sudah mengalami arteroslerotik atau terdilatasi
akibat hipertensi pulmonal juga dapat terjadi. Bisa juga ditemukan variasi gejala-
gejala neurologis, akibat menurunnya curah jantung dan hipoksemia.11
Selanjutnya pada pemeriksaan fisik, kita bisa mendapatkan keadaan
sianosis, suara P2 yang mengeras, ventrikel kanan dapat teraba di parasternal
kanan. Terdapatnya murmur pada daerah pulmonal dan triskuspid dan terabanya
ventrikel kanan merupakan tanda yang lebih lanjut. Bila sudah terjadi fase
dekompensasi, maka gallop (S3) mulai terdengar dan selain itu juga dapat
ditemukan murmur akibat insufisiensi trikuspid. Dilatasi vena jugularis,

11
hepatomegali, splenomegali, asites dan efusi pleura merupakan tanda-tanda
terjadinya overload pada ventrikel kanan.2

2.2. Pemeriksaan Penunjang


2.2.1. Angiograf
Kateterisasi jantung merupakan baku emas untuk diagnosis hipertensi
arteri pulmonal. Kateterisasi membantu diagnosis dengan menyingkirkan
etiologi lain seperti penyakit jantung kiri dan memberikan informasi penting
untuk dugaan prognostik pada pasien dengan hipertensi pulmonal. Tes
vasodilator dengan obat kerja singkat (seperti adenosisn, inhalasi nitrit oxid
atau epoprostenol) dapat dilakukan selama kateterisasi, respons vasodilatasi
positif bila didapatkan penurunan tekanan arteri pulmonalis dan resistensi
vaskular paru sedikitnya 20% dari tekanan awal. Pasien dengan hipertensi
arteri pulmonal yang berespon positif dengan vasodilator akut pada
pemeriksaan kateterisasi, survivalnya akan meningkat dengan pengobatan
blokade saluran kalsium jangka lama. Dengan katerisasi jantung juga dapat
memberikan informasi mengenai saturasi oksigen pada vena sentral, atrium
dan ventrikel kanan dan arteri pulmonal yang berguna dalam menilai
prognostik hipertensi pulmonal.9

2.2.2. Radiologi
Etiologi kor pulmonal kronis amat banyak dan semua etiologi itu
akan menyebabkan berbagai gambaran parenkim dan pleura yang mungkin
dapat menunjukkan penyakit primernya. Gambaran radiologi hipertensi
pulmonal adalah dilatasi arteri pulmonalis utama dan cabang-cabangnya,
meruncing ke perifer, dan lapang paru perifer tampak relatif oligemia.3

12
Pembesaran
bayangan
jantung ke
anterior

Hipertropi
ventrikel kanan
Gambar 2. Foto thoraks anteroposterior dan lateral kor pulmonal

Pada hipertensi pulmonal, diameter arteri pulmonalis kanan >16mm


dan diameter arteri pulmonalis kiri >18mm pada 93% penderita. Hipertrofi
ventrikel kanan terlihat pada rontgen thoraks PA sebagai pembesaran batas
kanan jantung, pergeseran kearah lateral batas jantung kiri dan
pembesaran bayangan jantung ke anterior, ke daerah retrosternal pada foto
dada lateral.3

2.2.3. Elektrokardiogram
Gambaran abnormal kor pulmonal pada pemeriksaan EKG dapat
berupa:
a. Deviasi sumbu ke kanan. Sumbu gelombang p + 900 atau lebih.
b. Terdapat pola S1 S2 S3
c. Rasio amplitude R/S di V1 lebih besar dari sadapan 1
d. Rasio amplitude R/S di V6 lebih kecil dari sadapan 1
e. Terdapat pola p pulmonal di sadapan 2,3, dan aVF
f. Terdapat pola S1 Q3 T3 dan right bundle branch block komplet atau
inkomplet.

13
g. Terdapat gelombang T terbalik, mendatar, atau bifasik pada sadapan
prekordial.
h. Gelombang QRS dengan voltase lebih rendah terutama pada PPOK
karena adanya hiperinflasi.
i. Hipertrofi ventrikel kanan yang sudah lanjut dapat memberikan
gambaran gelombang Q di sadapan prekordial yang dapat
membingungkan dengan infark miokard.
j. Kadang dijumpai kelainan irama jantung mulai dari depolarisasi
prematur atrium terisolasi hingga supraventrikuler takikardi, termasuk
takikardi atrial paroksismal, takikardi atrial multifokal, fibrilasi atrium,
dan atrial flutter. Disritmia ini dapat dicetuskan karena keadaan
penyakit yang mendasari (kecemasan, hipoksemia, gangguan
keseimbangan asam- basa, gangguan elektrolit, serta penggunaan
bronkodilator berlebihan).1

Gambar 3. Elektrokardiografi Kor Pulmonal

14
Rekaman ini memperlihatkan tipe RBBB di V1 dan V2 (merah). Di lead II,
III, aVF kita melihat gelombang P yang tinggi (biru) yang berhubungan

dengan P-pulmonale. Sebagai tambahan, terdapat interval ST depresi


dengan gelombang T yang negatif di lead II, III dan aVF yang dapat
berhubungan dengan overload atau lokal iskemik dari jantung.

2.2.4. Ekokardiografi
Salah satu pencitraan yang bisa digunakan untuk melakukan
penegakan diagnosis kor pulmonal adalah dengan ekokardiografi. Berikut
merupakan contoh gambaran ekokardiografi:

15
Gambar 4. Ekokardiografi Kor Pulmonal (Dilatasi atrium dan ventrikel kanan)

Dari hasil ekokardiografi dapat ditemukan dimensi ruang ventrikel


kanan yang membesar, tapi struktur dan dimensi ventrikel kiri normal.
Pada gambaran ekokardiografi katup pulmonal, gelombang a hilang,
menunjukkan hipertensi pulmonal. Kadang-kadang dengan pemeriksaan
ekokardiografi susah terlihat katup pulmonal karena accoustic window
sempit akibat penyakit paru.13

2.3. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kor pulmonal dari aspek jantung bertujuan untuk
menurunkan hipertensi pulmonal, mengobati gagal jantung kanan, meningkatkan
kelangsungan hidup, dan mengobati penyakit dasar dan komplikasinya.1
2.3.1. Tirah Baring dan Pembatasan Garam
Tirah baring sangat penting untuk mencegah memburuknya
hipoksemia, yang nantinya akan lebih menaikkan lagi tekanan arteri
pulmonalis. Garam perlu dibatasi tetapi tidak secara berlebihan karena
klorida serum yang rendah akan menghalangi usaha untuk menurunkan
hiperkapnia.11

16
2.3.2. Terapi Oksigen
Mekanisme bagaimana terapi oksigen dapat menigkatkan
kelangsungan hidup belum diketahui pasti, namun ada 2 hipotesis: (1)
terapi oksigen mengurangi vasokontriksi dan menurunkan resistensi
vaskuler paru yang kemudian meningkatkan isi sekuncup ventrikel kanan,
(2) terapi oksigen meningkatkan kadar oksigen arteri dan meningkatkan
hantaran oksigen ke jantung, otak, dan organ vital lainnya.
Pemakaian oksigen secara kontinyu selama 12 jam (National
Institute of Health, USA); 15 jam (British Medical Research Counsil) ,
dan 24 jam (NIH) meningkatkan kelangsungan hidup dibanding kan
dengan pasien tanpa terapi oksigen.
Indikasi terapi oksigen adalah PaO2 55 mmHg atau SaO2 88%,
PaO2 55-59 mmHg, dan disertai salah satu dari tanda seperti, edema yang
disebabkan gagal jantung kanan, P pulmonal pada EKG, dan eritrositosis
hematokrit > 56%.1
2.3.3. Diuretika
Diuretika diberikan untuk mengurangi tanda-tanda gagal jantung
kanan. Namun harus dingat, pemberian diuretika yang berlebihan dapat
menimbulkan alkalosis metabolik yang bisa memicu peningkatan
hiperkapnia. Disamping itu, dengan terapi diuretika dapat terjadi
kekurangan cairan yang mengakibatkan preload ventrikel kanan dan
curah jantung menurun.1,3,7
2.3.4. Vasodilator
Pemakaian vasodilator seperti nitrat, hidralazin, antagonis kalsium,
agonis alfa adrenergik, ACE-I, dan postaglandin belum direkomendasikan
pemakaiannya secara rutin. Vasodilator dapat menurunkan tekanan
pulmonal pada kor pulmonal kronik, meskipun efisiensinya lebih baik
pada hipertensi pulmonal yang primer.1

17
2.3.5. Digitalis
Digitalis hnya digunakan pada pasien kor pulmonal bila disertai
gagal jantung kiri. Digitalis tidak terbukti meningkatkan fungsi ventrikel
kanan pada pasien kor pulmonal dengan fungsi ventrikel normal, hanya
pada pasien kor pulmonal dengan fungsi ventrikel kiri yang menurun,
digoksin bisa meningkatkan fungsi ventrikel kanan. Pada pemberian
digitalis perlu diwaspadai resiko aritmia.1,3
2.3.6. Antikoagulan
Diberikan untuk menurunkan resiko terjadinya tromboemboli akibat
disfungsi dan pembesaran ventrikel kanan dan adanya faktor imobilisasi
pada pasien.1

2.4. Prognosis
Prognosis kor pulmonal yang disebabkan oleh PPOK lebih baik dari
prognosis kor pulmonal yang disebabkan oleh penyakit paru lain seperti
"restrictive pulmonary disease", dan kelainan pembuluh darah paru. Forrer
mengatakan penderita kor pulmonal masih dapat hidup antara 5 sampai 17 tahun
setelah serangan pertama kegagalan jantung kanan, asalkan mendapat
pengobatan yang baik. Padmavati dkk di India mendapatkan angka antara 14
tahun. Sadouls di Perancis mendapatkan angka 10 sampai 12 tahun.3

BAB III

18
KESIMPULAN

Kor pulmonal adalah pembesaran ventrikel kanan (hipertrofi dan atau


dilatasi) yang terjadi akibat kelainan paru, kelainan dinding dada, atau kelainan
pada kontrol pernapasan, tidak termasuk di dalamnya kelainan jantung kanan
yang terjadi akibat kelainan jantung kiri atau penyakit jantung bawaan.
Penyebab yang paling sering adalah PPOK, dimana terjadi perubahan
struktur jalan napas dan hipersekresi yang mengganggu ventilasi alveolar.
Penyebab lainnya adalah kondisi yang membatasi atau menganggu ventilasi yang
mengarah pada hipoksia atau asidosis (deformitas sangkar iga dan obesitas
massif) atau kondisi yang mengurangi jaring-jaring vaskular paru (hipertensi
arteri pulmonal idiopatik primer dan embolus paru). Kelainan tertentu dalam
sistem persarafan, otot pernafasan, dinding dada, dan percabangan arteri
pulmonal juga dapat menyebabkan terjadinya kor pulmonal.
Patogenesis kor pulmonal sangat erat kaitannya dengan hipertensi
pulmonal yang terjadi akibat mekanisme vasokonstriksi, remodeling dinding
pembuluh darah pulmonal, dan trombosis in situ. Diagnosis kor pulmonal dapat
ditegakkan jika terbukti terdapat adanya hipertensi pulmonal akibat dari kelainan
fungsi dan atau struktural paru. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan
untuk mendukung diagnosis kor pulmonal diantaranya adalah pemeriksaan
laboratoris, pemeriksaan angiograf, pemeriksaan foto toraks, ekokardiografi, CT
scan, serta pemeriksaan EKG
Ada beberapa cara yang dilakukan untuk mengobati kor pulmonal, seperti
pemberian oksigen, tirah baring dan pembatasan garam, diuretik, dan digitalis.
Tetapi dari beberapa cara yang dilakukan tersebut dapat ditemukan adanya efek
samping yang berarti.

DAFTAR PUSTAKA

19
1. Harun S, Ika PW. Kor Pulmonal Kronik. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam,
Ed 4. Jakarta. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2006; 1680-81
2. Fauci AS, Dennis LK, dkk. Heart Failure and Cor Pulmonale. Dalam Harrisons
Principles of Internal Medicine 17th ed. United States of America. The McGraw-
Hill Companies, Inc. 2008; 217-244
3. Weitzenblum E. Chronic Cor Pulmonale. Dalam : Education in Heart
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1767533/. 2003; 89:225-30
4. Aderaye G. Causes and Clinical Characteristics Of Chronic Cor-Pulmonale In
Ethiopia. East African Medical Journal. 2006; 81 (4): 202-205.
5. Price SA, LM Wilson. Gangguan Sistem Pernapasan. Dalam Patofisiologi
Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
2006; 736-866
6. Nidal A Yunis, MD , Cardiovascular Medicine Fellow, St Elizabeth's Medical
Center of Boston; Department of Medicine, Brown University, 2004
7. Kumar, Clark. Cardiovascular Disease. Dalam Clinical Medicine 6th ed.
Philadelphia. Elsevier Saunders. 2005; 725-872
8. Silbernag S, Lang F. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi. Alih bahasa oleh :
Setiawan I, et al. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2006; 214-15.
9. Oakley. C.M, Fishman. A.P. The Management of Primary Pulmonary
Hypertension. JAMA. 2006; 265:1014-20.
10. Allegra et al. Possible Role Of Erythropoietin In The Pathogenesis Of Chronic
Cor Pulmonale. Nephrol Dial Transplant. 2005. 20: 2867.
11. Rich S et al. Pulmonary Hypertension. Dalam Braunwald E, Heart Disease: A
Text Book of Cardiovascular Medicine 7th ed. Philadelphia. Elsevier Saunders.
2005; 1807-42
12. Six Abnormal ECGs Not All Are Cases of the Heart: Slideshow Available
from : http://reference.medscape.com/features/slideshow/abnormal-ecg. Diakses
tanggal 29 Agustus 2015.

20
13. Cor Pulmonale: Evaluation of the Patient with Chronic Cor Pulmonale. Available
from : http://www.medscape.com/viewarticle/458659_6. Diakses tanggal 29
Agustus 2015.

21

You might also like