Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1
Penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan kor pulmonal adalah
penyakit yang secara primer menyerang pembuluh darah paru dan penyakit yang
mengganggu aliran darah paru.5 Berdasarkan penelitian lain di Ethiopia,
menemukan penyebab terbanyak kor pulmonal berturut-turut adalah asma
bronkial, tuberkulosis paru, bronkitis kronik, emfisema, penyakit interstisial
paru, bronkiektasis, obesitas, dan kifoskoliosis. Menurut penelitian sekitar 80-
90% pasien kor pulmonal mempunyai PPOK dan 25 % pasien dengan PPOK
akan berkembang menjadi kor pulmonal.4
Kor pulmonal terjadi ketika hipertensi pulmonal menimbulkan tekanan
berlebihan pada ventrikel kanan. Tekanan yang berlebihan ini meningkatkan
kerja ventrikel kanan yang menyebabkan hipertrofi otot jantung yang normalnya
berdinding tipis, yang akhirnya dapat menyebabkan disfungsi ventrikel dan
berlanjut kepada gagal jantung.3
1.1. Definisi
Kor pulmonal sering disebut sebagai penyakit jantung paru, didefinisikan
sebagai dilatasi dan hipertrofi ventrikel kanan akibat adanya penyakit parenkim
paru atau pembuluh darah paru.1,2
Menurut WHO, definisi kor pulmonal adalah keadaan patologis dengan
ditemukannya hipertrofi ventrikel kanan yang disebabkan oleh kelainan
fungsional dan struktur paru, tidak termasuk kelainan karena penyakit jantung
primer pada jantung kiri dan penyakit jantung kongenital (bawaan).3
Menurut Braunwahl, kor pulmonal adalah keadaan patologis akibat
hipertrofi atau dilatasi ventrikel kanan yang disebabkan oleh hipertensi pulmonal.
Penyebabnya antara lain penyakit parenkim paru, kelainan vaskuler paru, dan
gangguan fungsi paru karena kelainan thoraks, tidak termasuk kelainan vaskuler
paru yang disebabkan kelainan ventrikel kiri, penyakit jantung bawaan, penyakit
jantung iskemik, dan infark miokard akut.6
2
1.2. Etiologi dan Epidemiologi
Kor pulmonal terjadi akibat adanya perubahan akut atau kronis pada
pembuluh darah paru dan atau parenkim paru yang dapat menyebabkan
terjadinya hipertensi pulmonal.7
Prevalensi pasti kor pulmonal sulit dipastikan karena dua alasan. Pertama,
tidak semua kasus penyakit pru kronis menjadi kor pulmonal, dan kedua,
kemampuan kita untuk mendiagnosa hipertensi pulmonal dan kor pulmonal
dengan pemeriksaan fisik dan hasil laboratorium tidaklah sensitif.
Namun, kemajuan terbaru dalam 2-D echo/Doppler memberikan kemudahan
untuk mendeteksi dan mendiagnosis suatu kor pulmonal. 2 Diperkirakan
prevalensi kor pulmonal adalah 6% sampai 7% dari seluruh penyakit jantung
berdasarkan hasil penyelidikan yang memakai kriteria ketebalan dinding
ventrikel post mortem.5
Penyakit yang mendasari terjadinya kor pulmonal dapat digolongkan
menjadi 4 kelompok :
1. Penyakit pembuluh darah paru.
2. Penekanan pada arteri pulmonal oleh tumor mediastinum, aneurisma,
granuloma atau fibrosis.
3. Penyakit neuro muskular dan dinding dada.
4. Penyakit yang mengenai aliran udara paru, alveoli, termasuk Penyakit Paru
Obstruktif Kronis (PPOK), penyakit paru interstisial dan gangguan
pernafasaan saat tidur.
Penyakit yang menjadi penyebab utama dari kor pulmonal kronis adalah PPOK,
diperkirakan 80-90% kasus.1
1.3. Patogenesis
Penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan kor pulmonal adalah penyakit
yang secara primer menyerang pembuluh darah paru-paru, seperti emboli paru-
3
paru berulang, dan penyakit yang mengganggu aliran darah paru-paru akibat
penyakit pernapasan obstruktif atau restriktif.5
Apapun penyakit awalnya, sebelum timbul kor pulmonal biasanya terjadi
peningkatan resistensi vaskuler paru dan hipertensi pulmonal. Hipertensi
pulmonal pada akhirnya meningkatkan beban kerja dari ventrikel kanan,
sehingga mengakibatkan hipertrofi dan kemudian gagal jantung. Titik kritis dari
rangkaian kejadian ini nampaknya terletak pada peningkatan resistensi vaskuler
paru pada arteri dan arteriola kecil.5
Dua mekanisme dasar yang mengakibatkan peningkatan resistensi vaskuler
paru adalah: (1) vasokontriksi dari pembuluh darah pulmonal akibat adanya
hipoksia dan (2) obstruksi dan/atau obliterasi jaringan vaskular paru-paru.
Hipoksia alveolar (jaringan) memberikan rangsangan yang kuat untuk
menimbulkan vasokontriksi pulmonal daripada hipoksemia. Selain itu, hipoksia
alveolar kronik memudahkan terjadinya hipertrofi otot polos arteriola paru-paru,
sehingga timbul respon yang lebih kuat terhadap hipoksia akut. Asidosis,
hiperkapnia, dan hipoksemia bekerja secara sinergistik dalam menimbulkan
vasokontriksi. Viskositas (kekentalan) darah yang meningkat akibat polisitemia
dan peningkatan curah jantung yang dirangsang oleh hipoksia kronik dan
hiperkapnia, juga ikut meningkatkan tekanan arteri paru.5
Mekanisme kedua yang turut meningkatkan resistensi vaskuler dan
tekanan arteri paru adalah bentuk anatomisnya. Emfisema ditandai oleh
kerusakan bertahap dari struktur alveolar dengan pembentukan bula dan
obliterasi total dari kapiler-kapiler disekitarnya. Hilangnya pembuluh darah
secara permanen menyebabkan berkurangnya anyaman vaskuler. Selain itu, pada
penyakit obstruktif, pembuluh darah paru juga tertekan dari luar karena efek
mekanik dari volume paru yang besar. Tetapi, peranan obstruksi dan obliterasi
anatomik terhadap anyaman vaskuler diperkirakan tidak sepenting vasokontriksi
hipoksik dalam patogenesis kor pulmonal. Kira-kira duapertiga sampai
tigaperempat dari anyaman vaskuler harus mengalami obstruksi atau rusak
4
sebelum terjadi peningkatan tekanan arteri paru yang bermakna. Asidosis
respiratorik kronik terjadi pada beberapa penyakit pernapasan dan penyakit
obstruktif sebagai akibat hipoventilasi alveolar umum atau akibat kelainan
perfusi-ventilasi.6 Setiap penyakit paru memengaruhi pertukaran gas, mekanisme
ventilasi, atau jaringan vaskular paru dapat mengakibatkan kor pulmonal.5,8
Patogenesis kor pulmonal sangat erat kaitannya dengan hipertensi
pulmonal dan tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Adanya gangguan pada
parenkim paru, kinerja paru, maupun sistem peredaran darah paru secara akut
maupun kronik dapat menyebabkan terjadinya hipertensi pulmonal.8
5
Ketiganya adalah mekanisme vasokonstriksi, remodeling dinding pembuluh
darah pulmonal, dan trombosis in situ. Ketiga mekanisme ini terjadi akibat
adanya dua faktor yakni gangguan produksi zat-zat vasoaktif seperti, nitric oxide
dan prostacyclin, serta akibat ekspresi berlebihan secara kronis dari mediator
vasokonstriktor seperti, endothelin- 1. Dengan diketahuinya mekanisme tersebut
maka pengobatan terhadap hipertensi pulmonal menjadi lebih terang yakni
dengan pemberian preparat nitric oxide, derivat prostacyclin, antagonis reseptor
endothelin-1, dan inhibitor phosphodiesterase-5.9
6
Fase
Fase 1
Pada fase ini belum nampak gejala klinis yang jelas, selain
ditemukannya gejala awal penyakit paru obstruktif kronis
(PPOK), bronkitis kronis, tuberkulosis paru, bronkiektasis dan
sejenisnya. Anamnesa pada pasien 50 tahun biasanya didapatkan
kebiasaan banyak merokok.
Fase 2
Pada fase ini mulai ditemukan tanda-tanda berkurangnya ventilasi
paru. Gejalanya antara lain, batuk lama yang berdahak (terutama
bronkiektasis), sesak napas, mengi, sesak napas ketika berjalan
menanjak atau setelah banyak bicara. Sedangkan sianosis masih
belum nampak. Pemeriksaan fisik ditemukan kelainan berupa,
hipersonor, suara napas berkurang, ekspirasi memanjang, ronki
basah dan kering, mengi. Letak diafragma rendah dan denyut
jantung lebih redup. Pemeriksaan radiologi menunjukkan
berkurangnya corakan bronkovaskular, letak diafragma rendah
dan mendatar, posisi jantung vertikal.
Fase 3
Pada fase ini nampak gejala hipoksemia yang lebih jelas.
Didapatkan pula berkurangnya nafsu makan, berat badan
berkurang, cepat lelah. Pemeriksaan fisik nampak sianotik,
disertai sesak dan tanda-tanda emfisema yang lebih nyata.
Fase 4
Ditandai dengan hiperkapnia, gelisah, mudah tersinggung kadang
somnolen. Pada keadaan yang berat dapat terjadi koma dan
kehilangan kesadaran.
Fase 5
Pada fase ini nampak kelainan jantung, dan tekanan arteri
pulmonal meningkat. Tanda-tanda peningkatan kerja ventrikel,
namun fungsi ventrikel kanan masih dapat kompensasi.
7
Selanjutnya terjadi hipertrofi ventrikel kanan kemudian terjadi
gagal jantung kanan. Pemeriksaan fisik nampak sianotik,
bendungan vena jugularis, hepatomegali, edema tungkai dan
Untuk mempermudah pemahaman mengenai patogenesis kor pulmonal,
disediakan ringkasan pada gambar 1.
Hipertensi Pulmonal
kronis
Kor pulmonal
8
Hipoksia alveolar (jaringan) memberikan rangsangan yang kuat untuk
menimbulkan vasokontriksi pulmonal daripada hipoksemia. Selain itu, hipoksia
alveolar kronik memudahkan terjadinya hipertrofi otot polos arteriola paru-paru,
sehingga timbul respon yang lebih kuat terhadap hipoksia akut. Asidosis,
hiperkapnia, dan hipoksemia bekerja secara sinergistik dalam menimbulkan
vasokontriksi. Viskositas (kekentalan) darah yang meningkat akibat polisitemia
dan peningkatan curah jantung yang dirangsang oleh hipoksia kronik dan
hiperkapnia, juga ikut meningkatkan tekanan arteri paru.5
Mekanisme kedua yang turut meningkatkan resistensi vaskuler dan
tekanan arteri paru adalah bentuk anatomisnya. Emfisema ditandai oleh
kerusakan bertahap dari struktur alveolar dengan pembentukan bula dan
obliterasi total dari kapiler-kapiler disekitarnya. Hilangnya pembuluh darah
secara permanen menyebabkan berkurangnya anyaman vaskuler. Selain itu, pada
penyakit obstruktif, pembuluh darah paru juga tertekan dari luar karena efek
mekanik dari volume paru yang besar. Tetapi, peranan obstruksi dan obliterasi
anatomik terhadap anyaman vaskuler diperkirakan tidak sepenting vasokontriksi
hipoksik dalam patogenesis kor pulmonal. Kira-kira duapertiga sampai
tigaperempat dari anyaman vaskuler harus mengalami obstruksi atau rusak
sebelum terjadi peningkatan tekanan arteri paru yang bermakna. Asidosis
respiratorik kronik terjadi pada beberapa penyakit pernapasan dan penyakit
obstruktif sebagai akibat hipoventilasi alveolar umum atau akibat kelainan
perfusi-ventilasi.6 Setiap penyakit paru memengaruhi pertukaran gas, mekanisme
ventilasi, atau jaringan vaskular paru dapat mengakibatkan kor pulmonal.5,8
9
BAB II
DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN KOR PULMONAL
10
mendukung ke arah adanya kelainan paru baik secara struktural maupun fungsional.
Adanya hipertensi pulmonal tidak dapat ditegakkan secara pasti dengan hanya
pemeriksaan fisik dan anamnesis tetapi membutuhkan pemeriksaan penunjang.1
11
hepatomegali, splenomegali, asites dan efusi pleura merupakan tanda-tanda
terjadinya overload pada ventrikel kanan.2
2.2.2. Radiologi
Etiologi kor pulmonal kronis amat banyak dan semua etiologi itu
akan menyebabkan berbagai gambaran parenkim dan pleura yang mungkin
dapat menunjukkan penyakit primernya. Gambaran radiologi hipertensi
pulmonal adalah dilatasi arteri pulmonalis utama dan cabang-cabangnya,
meruncing ke perifer, dan lapang paru perifer tampak relatif oligemia.3
12
Pembesaran
bayangan
jantung ke
anterior
Hipertropi
ventrikel kanan
Gambar 2. Foto thoraks anteroposterior dan lateral kor pulmonal
2.2.3. Elektrokardiogram
Gambaran abnormal kor pulmonal pada pemeriksaan EKG dapat
berupa:
a. Deviasi sumbu ke kanan. Sumbu gelombang p + 900 atau lebih.
b. Terdapat pola S1 S2 S3
c. Rasio amplitude R/S di V1 lebih besar dari sadapan 1
d. Rasio amplitude R/S di V6 lebih kecil dari sadapan 1
e. Terdapat pola p pulmonal di sadapan 2,3, dan aVF
f. Terdapat pola S1 Q3 T3 dan right bundle branch block komplet atau
inkomplet.
13
g. Terdapat gelombang T terbalik, mendatar, atau bifasik pada sadapan
prekordial.
h. Gelombang QRS dengan voltase lebih rendah terutama pada PPOK
karena adanya hiperinflasi.
i. Hipertrofi ventrikel kanan yang sudah lanjut dapat memberikan
gambaran gelombang Q di sadapan prekordial yang dapat
membingungkan dengan infark miokard.
j. Kadang dijumpai kelainan irama jantung mulai dari depolarisasi
prematur atrium terisolasi hingga supraventrikuler takikardi, termasuk
takikardi atrial paroksismal, takikardi atrial multifokal, fibrilasi atrium,
dan atrial flutter. Disritmia ini dapat dicetuskan karena keadaan
penyakit yang mendasari (kecemasan, hipoksemia, gangguan
keseimbangan asam- basa, gangguan elektrolit, serta penggunaan
bronkodilator berlebihan).1
14
Rekaman ini memperlihatkan tipe RBBB di V1 dan V2 (merah). Di lead II,
III, aVF kita melihat gelombang P yang tinggi (biru) yang berhubungan
2.2.4. Ekokardiografi
Salah satu pencitraan yang bisa digunakan untuk melakukan
penegakan diagnosis kor pulmonal adalah dengan ekokardiografi. Berikut
merupakan contoh gambaran ekokardiografi:
15
Gambar 4. Ekokardiografi Kor Pulmonal (Dilatasi atrium dan ventrikel kanan)
2.3. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kor pulmonal dari aspek jantung bertujuan untuk
menurunkan hipertensi pulmonal, mengobati gagal jantung kanan, meningkatkan
kelangsungan hidup, dan mengobati penyakit dasar dan komplikasinya.1
2.3.1. Tirah Baring dan Pembatasan Garam
Tirah baring sangat penting untuk mencegah memburuknya
hipoksemia, yang nantinya akan lebih menaikkan lagi tekanan arteri
pulmonalis. Garam perlu dibatasi tetapi tidak secara berlebihan karena
klorida serum yang rendah akan menghalangi usaha untuk menurunkan
hiperkapnia.11
16
2.3.2. Terapi Oksigen
Mekanisme bagaimana terapi oksigen dapat menigkatkan
kelangsungan hidup belum diketahui pasti, namun ada 2 hipotesis: (1)
terapi oksigen mengurangi vasokontriksi dan menurunkan resistensi
vaskuler paru yang kemudian meningkatkan isi sekuncup ventrikel kanan,
(2) terapi oksigen meningkatkan kadar oksigen arteri dan meningkatkan
hantaran oksigen ke jantung, otak, dan organ vital lainnya.
Pemakaian oksigen secara kontinyu selama 12 jam (National
Institute of Health, USA); 15 jam (British Medical Research Counsil) ,
dan 24 jam (NIH) meningkatkan kelangsungan hidup dibanding kan
dengan pasien tanpa terapi oksigen.
Indikasi terapi oksigen adalah PaO2 55 mmHg atau SaO2 88%,
PaO2 55-59 mmHg, dan disertai salah satu dari tanda seperti, edema yang
disebabkan gagal jantung kanan, P pulmonal pada EKG, dan eritrositosis
hematokrit > 56%.1
2.3.3. Diuretika
Diuretika diberikan untuk mengurangi tanda-tanda gagal jantung
kanan. Namun harus dingat, pemberian diuretika yang berlebihan dapat
menimbulkan alkalosis metabolik yang bisa memicu peningkatan
hiperkapnia. Disamping itu, dengan terapi diuretika dapat terjadi
kekurangan cairan yang mengakibatkan preload ventrikel kanan dan
curah jantung menurun.1,3,7
2.3.4. Vasodilator
Pemakaian vasodilator seperti nitrat, hidralazin, antagonis kalsium,
agonis alfa adrenergik, ACE-I, dan postaglandin belum direkomendasikan
pemakaiannya secara rutin. Vasodilator dapat menurunkan tekanan
pulmonal pada kor pulmonal kronik, meskipun efisiensinya lebih baik
pada hipertensi pulmonal yang primer.1
17
2.3.5. Digitalis
Digitalis hnya digunakan pada pasien kor pulmonal bila disertai
gagal jantung kiri. Digitalis tidak terbukti meningkatkan fungsi ventrikel
kanan pada pasien kor pulmonal dengan fungsi ventrikel normal, hanya
pada pasien kor pulmonal dengan fungsi ventrikel kiri yang menurun,
digoksin bisa meningkatkan fungsi ventrikel kanan. Pada pemberian
digitalis perlu diwaspadai resiko aritmia.1,3
2.3.6. Antikoagulan
Diberikan untuk menurunkan resiko terjadinya tromboemboli akibat
disfungsi dan pembesaran ventrikel kanan dan adanya faktor imobilisasi
pada pasien.1
2.4. Prognosis
Prognosis kor pulmonal yang disebabkan oleh PPOK lebih baik dari
prognosis kor pulmonal yang disebabkan oleh penyakit paru lain seperti
"restrictive pulmonary disease", dan kelainan pembuluh darah paru. Forrer
mengatakan penderita kor pulmonal masih dapat hidup antara 5 sampai 17 tahun
setelah serangan pertama kegagalan jantung kanan, asalkan mendapat
pengobatan yang baik. Padmavati dkk di India mendapatkan angka antara 14
tahun. Sadouls di Perancis mendapatkan angka 10 sampai 12 tahun.3
BAB III
18
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
19
1. Harun S, Ika PW. Kor Pulmonal Kronik. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam,
Ed 4. Jakarta. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2006; 1680-81
2. Fauci AS, Dennis LK, dkk. Heart Failure and Cor Pulmonale. Dalam Harrisons
Principles of Internal Medicine 17th ed. United States of America. The McGraw-
Hill Companies, Inc. 2008; 217-244
3. Weitzenblum E. Chronic Cor Pulmonale. Dalam : Education in Heart
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1767533/. 2003; 89:225-30
4. Aderaye G. Causes and Clinical Characteristics Of Chronic Cor-Pulmonale In
Ethiopia. East African Medical Journal. 2006; 81 (4): 202-205.
5. Price SA, LM Wilson. Gangguan Sistem Pernapasan. Dalam Patofisiologi
Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
2006; 736-866
6. Nidal A Yunis, MD , Cardiovascular Medicine Fellow, St Elizabeth's Medical
Center of Boston; Department of Medicine, Brown University, 2004
7. Kumar, Clark. Cardiovascular Disease. Dalam Clinical Medicine 6th ed.
Philadelphia. Elsevier Saunders. 2005; 725-872
8. Silbernag S, Lang F. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi. Alih bahasa oleh :
Setiawan I, et al. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2006; 214-15.
9. Oakley. C.M, Fishman. A.P. The Management of Primary Pulmonary
Hypertension. JAMA. 2006; 265:1014-20.
10. Allegra et al. Possible Role Of Erythropoietin In The Pathogenesis Of Chronic
Cor Pulmonale. Nephrol Dial Transplant. 2005. 20: 2867.
11. Rich S et al. Pulmonary Hypertension. Dalam Braunwald E, Heart Disease: A
Text Book of Cardiovascular Medicine 7th ed. Philadelphia. Elsevier Saunders.
2005; 1807-42
12. Six Abnormal ECGs Not All Are Cases of the Heart: Slideshow Available
from : http://reference.medscape.com/features/slideshow/abnormal-ecg. Diakses
tanggal 29 Agustus 2015.
20
13. Cor Pulmonale: Evaluation of the Patient with Chronic Cor Pulmonale. Available
from : http://www.medscape.com/viewarticle/458659_6. Diakses tanggal 29
Agustus 2015.
21