You are on page 1of 39

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Anatomi Saluran Makan Bagian Atas


Yang termasuk dalam saluran cerna bagian atas adalah saluran cerna di
atas (proksimal) ligamentum Treitz, dimulai dari jejunum proksimal, duodenum,
gaster dan esofagus. (Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Penyakit
Dalam RSUPN Cipto Mangunkusumo, 2007)

Gambar 1. Sketsa saluran cerna bagian atas.

a. Esofagus
Esofagus merupakan organ silindris berongga dengan panjang sekitar 25
cm dan berdiameter 2 cm, yang terbentang dari hipofaring hingga kardia lambung.
Esofagus terletak di posterior jantung dan trakea, di anterior vertebra, dan
menembus hiatus diafragma tepat di anterior aorta. Esofagus terutama berfungsi
menghantarkan bahan yang dimakan dari faring ke lambung.

1
Gambar 2. Bentuk anatomi dari esofagus

Pada kedua ujung esofagus terdapat otot sfingter. Otot krikofaringeus


membentuk sfingter esofagus bagian atas dan teridri atas serabut serabut otot
rangka. Bagian esofagus ini secara normal berada dalam keadaan tonik atau
kontraksi kecuali pada waktu menelan. Sfingter esofagus bagian bawah, walaupun
secara anatomis tidak nyata, bertindak sebagai sfingter dan beperan sebagai sawar
terhadap refluks isi lambung ke dalam esofagus. Dalam keadaan normal sfingter
ini menutup, kecuali bila makanan masuk ke dalam lambung atau waktu bertahak
atau muntah.
Dinding esofagus seperti juga bagian lain saluran gastrointestinal, terdiri
atas empat lapisan: mukosa, submukosa, muskularis, dan serosa (lapisan luar).
Lapisan mukosa bagian dalam terbentuk dari epitel gepeng berlapis yang berlanjut
ke faring di ujung atas; epitel lapisan ini mengalami perubahan mendadak pada
perbatasan esofagus dalam lambung (garis Z) dan menjadi epitel toraks selapis.
Mukosa esofagus dalam keadaan normal bersifat alkali dan tidak tahan terhadap
isi lambung yang sangat asam. Lapisan submukosa mengandung sel sel sekretori
yang memproduksi mukus. Mukus mempermudah jalannya makanan sewaktu
menelan dan melindungi mukosa dari cedera akibat zat kimia. Lapisan otot
lapisan luar tersusun longitudinal dan lapisan dalam tersusun sirkular. Otot yang
terdapat di 5% bagian atas esofagus adalah otot rangka, sedangkan otot di separuh

2
bagian bawah adalah otot polos. Bagian di antaranya terdiri dari campuran otot
rangka dan otot polos. Berbeda dengan bagian saluran cerna lainnya, tunika serosa
(lapisan luar) esofagus tidak memiliki lapisan serosa ataupun selaput peritoneum,
melainkan lapisan ini terdiri atas jaringan ikat longgar yang menghubungkan
esofagus dengan struktur struktur yang berdekatan. Tidak adanya serosa
menyebabkan semakin cepatnya penyebaran sel sel tumor (pada kasus kanker
esofagus) dan meningkatnya kemungkinan kebocoran setelah operasi.
Persarafan utama esofagus diinervasi oleh serabut serabut simpatis dan
parasimpatis dari sistem saraf otonom. Serabut parasimpatis dibawa oleh nervus
vagus, yang dianggap sebagai saraf motorik esofagus. Fungsi serabut simpatis
hingga saat ini masih kurang diketahui.
Selain persarafan ekstrinsik tersebut, terdapat jala jala serabut saraf
intramural intrinsik di antara lapisan otot sirkular dan longitudinal (pleksus
Auerbach atau mienterikus), dan tampaknya berperan dalam pengaturan peristaltik
esofagus normal. Jala jala saraf intrinsik kedua (pleksus Meissner) terdapat di
submukosa saluran gastrointestinal, tetapi agak tersebar dalam esofagus.
Fungsi sistem saraf enterik tidak bergantung pada saraf saraf ekstrinsik.
Stimulasi sistem simpatis dan parasimpatis dapat mengaktifkan atau menghambat
fungsi gastrointestinal. Ujung saraf bebas dan perivaskular juga ditemukan dalam
submukosa esofagus dan ganglia mienterikus. Ujung saraf ini dianggap berperan
sebagai mekanoreseptor, termoosmo, dan kemoreseptor dalam esofagus.
Mekanoreseptor menerima rangsangan mekanis seperti sentuhan, dan
kemoreseptor menerima rangsangan kimia dalam esofagus. Reseptor termo-osmo
dapat dipengaruhi oleh suhu tubuh, bau, dan perubahan tekanan osmotik.
Distribusi darah ke esofagus mengikuti pola segmental. Bagian atas
disuplai oleh cabang cabang arteria tiroidea inferior dan subklavia. Bagian
tengah disuplai oleh cabang cabang segmental aorta dan arteria bronkiales,
sedangkan bagian subdiafragmatika disuplai oleh arteria gastrika sinistra dan
frenika inferior.
Aliran darah vena juga mengikuti pola segmental. Vena esofagus daerah
leher mengalirkan darah ke vena azigos dan hemiazigos, dan di bawah diafragma

3
vena esofagus masuk ke dalam vena gastrika sinistra. Hubungan antara vena porta
dan vena sistemik memungkinkan pintas dari hati pada kasus hipertensi porta.
Aliran kolateral melalui vena esofagus menyebabkan terbentuknya varises
esofagus (vena varikosa esofagus). Vena yang melebar ini dapat pecah,
menyebabkan perdarahan yang bersifat fatal. Komplikasi ini sering terjadi pada
penderita sirosis hepatis. (Wilson dan Lindseth, 2002)

b. Lambung (Gaster)
Lambung terletak oblik dari kiri ke kanan menyilang di abdomen atas tepat
di bawah diafragma. Dalam keadaan kosong lambung menyerupai tabung bentuk
J, dan bila penuh akan berbentuk seperti buah pir raksasa. Kapasitas normal
lambung adalah 1 sampai 2 L. Secara anatomis, lambung terbagi atas fundus,
korpus, dan antrum pilorikum atau pilorus. Sebelah kanan atas lambung terdapat
cekungan kurvatura minor dan bagian kiri bawah lambung terdapat kurvatura
mayor. Sfingter pada kedua ujung lambung mengatur pengeluaran dan pemasukan
yang terjadi. Sfingter kardia atau sfingter esofagus bawah, mengalirkan makanan
masuk ke dalam lambung dan mencegah refluks isi lambung memasuki esofagus
kembali. Daerah lambung tempat pembukaan sfingter kardia dikenal dengan nama
daerah kardia. Di saat sfingter pilorikum terminal berelaksasi, makanan masuk ke
dalam duodenum, dan ketika berkontraksi sfingter ini akan mencegah terjadinya
aliran balik isi usus ke dalam lambung.

4
Gambar 3. Anatomi lambung (gaster).

Sfingter pilorus memiliki arti klinis yang penting karena dapat mengalami
stenosis (penyempitan pilorus yang menyumbat) sebagai penyulit penyakit ulkus
peptikum. Abnormalitas sfingter pilorus dapat pula terjadi pada bayi. Stenosis
pilorus atau pilorospasme terjadi bila serabut otot di sekelilingnya mengalami
hipertrofi atau spasme sehingga sfingter gagal berelaksasi untuk mengalirkan
makanan dari lambung ke dalam duodenum. Bayi akan memuntahkan makanan
tersebut dan tidak mencerna atau menyerapnya. Keadaan ini mungkin dapat
diperbaiki melalui operasi atau pemberian obat adrenergik yang menyebabkan
relaksasi serabut otot.

Gambar 4. Bentuk anatomi dari lambung (gaster) (

5
Lambung tersusun atas empat lapisan. Tunika serosa atau lapisan luar
merupakan bagian dari peritoneum viseralis. Dua lapisan peritoneum viseralis
menyatu pada kurvatura minor lambung dan duodenum kemudian terus
memanjang ke hati, membentuk omentum minus. Lipatan peritoneum yang keluar
dari satu organ menuju ke organ lain disebut sebagai ligamentum. Jadi, omentum
minus (disebut juga ligamentum hepatogastrikum atau hepatoduodenalis)
menyokong lambung sepanjang kurvatura minor sampai ke hati. Pada kurvatura
mayor, peritoneum terus ke bawah membentuk omentum majus, yang menutupi
usus halus dari depan seperti sebuah apron besar. Sakus omentum minus adalah
tempat yang sering terjadi penimbunan cairan (pseudokista pankreatikum) akibat
penyulit pankreatitis akut.
Tidak seperti daerah saluran cernal lain, bagian muskularis tersusun atas
tiga lapis dan bukan dua lapis otot polos: lapisan longitudinal di bagian luar,
lapisan sirkular di bagian tengah, dan lapisan oblik di bagian dalam. Susunan
serabut otot yang unik ini memungkinkan berbagai macam kombinasi kontraksi
yang diperlukan untuk memecah makanan menjadi partikel partikel yang kecil,
mengaduk dan mencampur makanan tersebut dengan cairan lambung, dan
mendorongnya ke arah duodenum.
Submukosa tersusun atas jaringan areolar longgar yang menghubungkan
lapisan mukosa dan lapisan muskularis. Jaringan ini memungkinkan mukosa
bergerak dengan gerakan peristaltik. Lapisan ini juga mengandung pleksus saraf,
pembuluh darah, dan saluran limfe.
Mukosa, lapisan dalam lambung, tersusun atas lipatan lipatan
longitudinal yang disebut rugae, yang memungkinkan terjadinya distensi lambung
sewaktu diisi makanan. Terdapat beberapa tipe kelenjar pada lapisan ini dan
dikategorikan menurut bagian anatomi lambung yang ditempatinya. Kelenjar
kardia berada di dekat orifisium kardia dan mensekresikan mukus. Kelenjar
fundus atau gastrik terletak di fundus dan pada hampir seluruh korpus lambung.
Kelenjar gastrik memiliki tiga tipe utama sel. Sel sel zimogenik (chief cell)
mensekresikan pepsinogen. Pepsinogen diubah menjadi pepsin dalam suasana
asam. Sel sel parietal mensekresikan asam hidroklorida (HCl) dan faktor

6
intrinsik. Faktor intrinsik diperlukan untuk absorpsi vitamin B12 di dalam usus
halus. Kekurangan faktor intrinsik akan mengakibatkan terjadinya anemia
pernisiosa. Sel sel mukus (leher) ditemukan di leher kelenjar fundus dan
mensekresikan mukus. Hormon gastrin diproduksi oleh sel G yang terletak pada
daerah pilorus lambung. Gastrin merangsang kelenjar gastrik untuk menghasilkan
asam hidroklorida dan pepsinogen. Substansi lain yang disekresi dalam lambung
adalah enzim dan berbagai elektrolit, terutama ion natrium, kalium, dan klorida.
Persarafan lambung sepenuhnya berasal dari sistem saraf otonom. Suplai
saraf parasimpatis untuk lambung dan duodenum dihantarkan ke dan dari
abdomen melalui saraf vagus. Trunkus vagus menpercabangkan ramus gastrika,
pilorika, hepatika, dan seliaka. Pengetahuan anatomi ini sangat penting, karena
vagotomi selektif merupakan tindakan pembedahan primer yang penting dalam
mengobati ulkus duodenum. Hal ini akan dibahas dengan lebih lengkap pada
bagian selanjutnya dalam bab ini.
Persarafan simpatis melalui saraf splanchnicus major dan ganglia seliaka.
Serabut serabut aferen menghantarkan impuls nyeri yang dirangsang oleh
peregangan, kontraksi otot, serta peradangan, dan dirasakan di daerah epigastrium
abdomen. Serabut serabut eferen simpatis menghambat motilitas dan sekresi
lambung. Pleksus saraf mienterikus (Auerbach) dan submukosa (Meissner)
membentuk persarafan intrinsik dinding lambung dan mengkoordinasi aktivitas
motorik dan sekresi mukosa lambung.
Seluruh suplai darah di lambung dan pankreas (serta hati, empedu, dan
limpa) terutama berasal dari arteri seliaka atau trunkus seliakus, yang
mempercabangkan cabang cabang yang memperdarahi kurvatura minor dan
mayor. Dua cabang arteri yang penting dalam klinis adalah arteria
gastroduodenalis dan arteria pankreatikoduodenalis (retroduodenalis) yang
berjalan di sepanjang bulbus posterior duodenum. Ulkus pada dinding posterior
duodenum dapat mengerosi arteri ini dan menyebabkan terjadinya perdarahan.
Darah vena dari lambung dan duodenum, serta yang berasal dari pankreas, limpa,
dan bagian lain saluran gastrointestinal, berjalan ke hati melalui vena porta.
(Lindseth, 2002)

7
c. Duodenum dan Jejunum
Panjang duodenum adalah sekitar 25 cm, mulai dari pilorus hingga
jejunum. Pemisahan duodenum dan jejunum ditandai oleh adanya ligamentum
Treitz, yaitu suatu pita muskulofibrosa yang berorigo pada krus dekstra diafragma
dekat hiatus esofagus dan berinsersio pada perbatasan antara duodenum dan
jejunum. Ligamentum ini berperan sebagai ligamentum suspensorium
(penggantung). Sekitar duaperlima dari sisa usus halus adalah jejunum, dan tiga
perlima bagian akhirnya adalah ileum. Jejunum terletak di regio mid-abdominalis
sinistra, sedangkan ileum cenderung terletak di regio abdominalis dekstra sebelah
bawah. Masuknya kimus ke dalam usus halus diatur oleh sfingter pilorus,
sedangkan pengeluaran zat yang telah tercerna ke dalam usus besar diatur oleh
katup ileosekal.

Gambar 5. Bentuk anatomi dari duodenum dan jejunum.

Dinding usus halus terdiri atas 4 lapisan dasar. Yang paling luar (lapisan
serosa) dibentuk oleh peritoneum. Peritoneum mempunyai lapisan viseral dan
parietal, dan ruang yang terletak di antara lapisan lapisan ini disebut sebagai
rongga peritoneum. Peritoneum melipat dan meliputi hampir seluruh visera
abdomen.
Otot yang melapisi usus halus mempunyai dua lapisan: lapisan luar terdiri
atas serabut serabut longitudinal yang lebih tipis, dan lapisan dalam terdiri atas
serabut serabut sirkular. Penataan yang demikian membantu gerakan peristaltik

8
usus halus. Lapisan submukosa terdiri atas jaringan ikat, sedangkan lapisan
mukosa bagian dalam tebal serta banyak mengandung pembuluh darah dan
kelenjar.
Usus halus dicirikan dengan adanya tiga struktur yang sangat menambah
luas permukaan dan membantu fungsi utamanya yaitu absorpsi. Lapisan mukosa
dan submukosa membentuk lipatan lipatan sirkular yang disebut sebgai valvula
koniventes (lipatan Kerckring) yang menonjol ke dalam lumen sekitar 3 sampai
10 mm. Adanya lipatan lipatan ini menyebabkan gambaran usus halus
menyerupai bulu pada pemeriksaan radiografi. Villi merupakan tonjolan
tonjolan mukosa seperti jari jari yang jumlahnya sekitar empat atau lima juta
dan terdapat di sepanjang usus halus. Villi panjangnya 0,5 sampai 1,5 mm dan
menyebabkan gambaran mukosa menjadi menyerupai beludru. Mikrovilli
merupakan tonjolan menyerupai jari jari yang panjangnya sekitar 1 m pada
permukaan luar setiap vilus. Mikrovili terlihat dengan pemeriksaan mikroskop
elektron dan tampak sebagai brush border pada pemeriksaan mikroskop cahaya.
Bila lapisan permukaan usus halus ini rata, maka luas permukaannya hanya
sekitar 2.000 cm2. Valvula koniventes, vili, dan mikrovili sama sama menambah
luas permukaan absorpsi hingga 1,6 juta cm2, yaitu meningkat sekitar seribu kali
lipat. Penyakit penyakit usus halus (mis.,sprue) yang menyebabkan terjadinya
atrofi dan pendataran vili, sangat mengurangi luas permukaan absorpsi dan
mengakibatkan terjadinya malabsorpsi. (Lindseth, 2002)

2. Perdarahan Saluran Makan Bagian Atas


a. Definisi
Perdarahan saluran makan bagian atas adalah perdarahan yang terjadi dan
berasal pada area proksimal saluran pencernaan bagian proximal dari Ligamentum
Treitz. Yang termasuk organ organ saluran cerna di proximal Ligamentum
Trieitz adalah esofagus, lambung (gaster), duodenum dan sepertiga proximal dari
jejunum. Kejadian perdarahan saluran makan bagian atas merupakan yang paling
sering terjadi dan sering ditemukan dibandingkan dengan kejadian perdarahan
saluran cerna bagian bawah. Lebih dari 50% kejadian perdarahan saluran makan

9
bagian atas dikarenakan oleh penyakit erosif dan ulseratif dari gaster dan/atau
duodenum. (Shuhart, Kowdley, and Neighbor, 2002)

b. Epidemiologi
Data epidemiologik dari Eropa menunjukkan bahwa insidensi tahunan
kejadian perdarahan saluran makan bagian atas terdapat pada 48 dari 145 per
100.000 populasi di tahun 1960-an dan 1970-an. Di tahun 1978 didapatkan
estimasi total dari jumlah rawat inap rumah sakit akibat perdarahan saluran makan
bagian atas di Amerika Serikat sebanyak 150 per 100.000 populasi. Penelitian
HMO tunggal terbaru tentang kesehatan dasar pada suatu populasi di Amerika
Serikat, ditemukan sebanyak 102 kasus rawat inap akibat perdarahan saluran
makan bagian atas per 100.000 populasi di tahun 1995. Pada data 1992 1999
dari National Hospital Discharge Survey ditemukan angka rawat inap tahunan
akibat perdarahan saluran makan bagian atas didapatkan sebanyak 149 172
kasus per 100.000.
Disamping perkembangan pengobatan di bidang endoskopi, kejadian
mortalitas yang berhubungan dengan perdarahan saluran makan bagian atas
meningkat secara signifikan dari semula 5% hingga sekarang telah mencapai
11%. Faktor faktor yang berhubungan dengan kejadian mortalitas akibat dari
perdarahan saluran makan bagian atas telah diidentifikasi dalam penelitian
prospektif. Dalam penelitian ini juga dikutsertakan penyakit kelainan renal, hepar,
neoplastik, penyakit sistem saraf pusat atau paru, dan penyakit lain yang
ditemukan dalam pemeriksaan fisik yang telah dibuktikan melalui pemeriksaan
cardiorespiratori atau hemodinamik, atau gagal fungsi hati. Pasien dengan
perdarahan aktif saat ditemukan pada waktu endoskopi, transfusi darah diperlukan
cukup banyak dan lebih dari 5 kantong darah, dan kebutuhan terhadap
pembedahan juga dapat meningkatkan kejadian mortalitas. Sebagai tambahan,
pasien yang membutuhkan pembedahan darurat memiliki tingkat kejadian
mortalitas yang cukup tinggi dibandingkan dengan pasien yang membutuhkan
pembedahan elektif. Pasien jenis lain yang memiliki tingkat kejadian mortalitas
yang tinggi termasuk di dalamnya pasien dengan perdarahan berulang setelah

10
rawat inap dan pasien dengan perdarahan saluran makan bagian atas yang semakin
parah setelah rawat inap karena alasan alasan yang lain. (Shuhart, Kowdley, and
Neighbor, 2002).
Dari 1673 kasus perdarahan saluran makan bagian atas di SMF Penyakit
Dalam RSU dr.Sutomo Surabaya, 76.9% disebabkan oleh pecahnya varises
esofagus, 19.2% oleh gastritis erosif, 1.0% oleh tukak peptik dan 0.6% oleh
kanker lambung, dan 2.6% oleh karena sebab sebab yang lain. Laporan dari RS
pemerintah di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta urutan 3 penyebab terbanyak
perdarahan saluran makan bagian atas sama dengan di RSU dr.Sutomo Surabaya.
Sedangkan laporan dari RS pemerintah di Ujung Pandang menyebutkan tukak
peptik menempati urutan pertama penyebab perdarahan saluran makan bagian
atas. Laporan kasus di rumah sakit swasta, yakni RS Darmo Surabaya, perdarahan
karena tukak peptik sebanyak 51.2%, gastritis erosif sebanyak 11.7%, varises
esofagus sebanyak 10.9%, keganasan sebanyak 9.8%, esofagitis 5.3%, sindrom
Mallory-Weiss sebanyak 1.4%, idiopatik sebanyak 7% dan penyebab penyebab
lainnya sebanyak 2.7%. Di negara barat, tukak peptik berada di urutan pertama
sebagai penyebab perdarahan saluran makan bagian atas dengan frekuensi sekitar
50%. Walaupun pengelolaan perdarahan saluran makan bagian atas telah banyak
berkembang namun mortalitasnya relatif tidak berubah, masih berkisar 8 10%.
Hal ini dikarenakan bertambahnya kasus perdarahan dengan usia lanjut, dan
akibat komorbiditas yang menyertai. (Adi, 2007)

c. Etiopatologi
Penyebab timbulnya perdarahan saluran makan bagian atas yang sering
dilaporkan adalah varises esofagus, gastritis erosif, tukak peptik, gastropati
kongestif, sindrome Mallory-Weiss, dan keganasan.
Varises Esofagus
Dalam ilmu gastroenterologi, varises esofagus adalah dilatasi berlebihan
pada vena vena di lapisan submukosa pada bagian bawah esofagus. Terjadinya
varises esofagus dikarenakan sebagai konsekuensi dari hipertensi porta akibat
sirosis hepatis sehingga pasien dengan varises esofagus sering sekali mengalami

11
perdarahan. Penegakan diagnosis varises esofagus dilakukan dengan endoskopi.
(Biecker, Schepke, & Sauerbruch, 2005)
Varises esofagus merupakan penyebab perdarahan yang paling sering dan
paling berbahaya pada sirosis hepatis yang merupakan penyebab dari sepertiga
angka kematian keseluruhan. Penyebab lain perdarahan pada saluran cerna atas
yang sering ditemukan juga adalah adalah tukak lambung dan duodenum (pada
sirosis, insidensi gangguan ini meningkat), erosi lambung akut, dan
kecenderungan perdarahan (akibat masa protrombin yang memanjang dan
trombositopenia).
Penderita datang dengan melena atau hematemesis. Tanda perdarahan
kadang kadang adalah ensefalopati hepatik. Hipovolemia dan hipotensi dapat
terjadi bergantung pada jumlah dan kecepatan kehilangan darah.
Berbagai tindakan telah digunakan untuk segera mengatasi perdarahan.
Tamponade dengan alat seperti pipa Sengstaken-Blakemore (triple-lumen) dan
Minnesota (quadruple lumen) dapat menghentikan perdarahan untuk sementara
waktu. Vena vena dapat dilihat dengan memakai peralatan serat optik dan
disuntik dengan suatu larutan yang akan membentuk bekuan di dalam vena,
sehingga akan menghentikan perdarahan. Sebagian besar klinisi beranggapan
bahwa cara ini hanya berefek sementara dan tidak efektif untuk pengobatan
jangka panjang. Vasopresin (Pitressin) telah digunakan untuk mengatasi
perdarahan. Obat ini menurunkan tekanan vena porta dengan mengurangi aliran
darah splangnikus, walaupun efeknya hanya bersifat sementara. Kendati telah
dilakukan tindakan darurat, sekitar 35% penderita akan meninggal akibat gagal
fungsi hati dan komplikasi.

12
Gambar 6. Varises pada esofagus dan gaster.

Bila penderita pulih dari perdarahan (baik secara spontan atau setelah
pengobatan darurat), operasi pirau porta kaval harus dipertimbangkan.
Pembedahan ini mengurangi tekanan porta (tekanan tinggi) dengan vena kava
inferior (tekanan rendah). Pirau merupakan terapi drastis untuk komplikasi utama
sirosis ini. Operasi ini memperkecil kemungkinan perdarahan esofagus
selanjutnya, tetapi menambah resiko ensefalo hepatik. Harapan hidup penderita
tidak bertambah karena masih ditentukan oleh perkembangan penyakit hati.
Perdarahan saluran cerna merupakan salah satu faktor penting yang
mempercepat terjadinya ensefalopati hepatik. Ensefalopati terjadi bila amonia dan
zat zat toksik lain masuk dalam sirkulasi sistemik. Sumber amonia adalah
pemecahan protein oleh bakteri pada saluran cerna. Ensefalopati hepatik akan
terjadi bila darah tidak dikeluarkan melalui aspirasi lambung, pemberian pencahar
dan enema, dan bila pemecahan protein darah oleh bakteri tidak dicegah dengan
pemberian neomisin atau antibiotik sejenis. (Lindseth, 2002)

13
Gambar 7. Hasil gambaran gastroscopy pada varises esofagus yang disertai dengan cherry-red
spot

Gastritis Erosif
Gastritis merupakan suatu keadaan peradangan atau perdarahan mukosal
lambung yang dapat bersifat akut, kronis, difus, atau lokal. Pada gastritis akan
didapatkan mukosa memerah, edema, dan ditutupi oleh mukus yang melekat serta
sering terjadi erosi kecil dan perdarahan. Derajat perdarahan yang ada sangat
bervariasi. Manifestasi klinis gastritis erosif ini dapat bervariasi dari keluhan
abodmen yang tidak jelas, seperti anoreksia, bersendawa, atau mual, sampai gejala
yang lebih berat seperti nyeri epigastrium, muntah, perdarahan, dan hematemesis.
Pada beberapa kasus tertentu, bila gejala gejala tersebut menetap dan adanya
resistensi terhadap pengobatan, maka akan diperlukan tindakan diagnostik
tambahan seperti endoskopi, biopsi mukosa, dan analisis cairan lambung untuk
memperjelas penegakan diagnosis.(Lindseth, 2002).
Terjadinya gastritis erosif dapat disebabkan oleh berbagai hal, misalnya:
Penggunaan obat anti inflamasi non steroid (OAINS) yang memiliki
efek perusakan mukosa yang bersifat lokal dan sistemik. Contoh OAINS
yang dapat menimbulkan gastritis erosif hingga menjadi ulkus ini adalah
indometasin, diklofenak, aspirin (terutama dosis tinggi), ibuprofen,
naproksen, serta obat obat yang lain berupa sulfonamida, steroid, dan
digitalis. Selain itu, asam empedu, enzim pankreas, dan etanol juga
diketahui dapat mengganggu sawar mukosa lambung. Efek anti

14
inflamasi dan analgetiknya terutama didasarkan melalui penghambatan
siklo oksigenase sehingga menghambat sintesis prostaglandin (dari asam
arakidonat). Salah satu efek OAINS yang tidak diinginkan adalah obat ini
menghambat sintesis prostaglandin secara sistemik, termasuk di epitel
lambung dan duodenum, serta menurunkan sekresi HCO3- sehingga
memperlemah perlindungan lapisan mukosa dan juga menghentikan
penghambatan sekresi asam. Selain itu, obat ini juga merusak mukosa
secara lokal melalui difusi non-ionik ke dalam sel mukosa. Efek
penghambatan obat ini terhadap agregasi trombosit akan meningkatkan
bahaya perdarahan ulkus.
Kejadian iskemia, misalnya vaskulitis atau saat melakukan lari maraton.
Stres, yakni kegagalan multi-organ, luka bakar, pembedahan, trauma
sistem saraf pusat.
Penyalahgunaan konsumsi alkohol dan zat kimia korosif.
Trauma akibat gastroskopi, tertelannya benda asing, rasa enek, muntah dan
mual berlebihan.
Trauma radiasi. (Silbernagl dan Lang, 2007; Lindseth, 2002)

Gambar 8. Gastritis erosif, tampak inflamasi pada lapisan mukosa gaster

Tukak Peptik (Ulkus Peptikum)


Penyakit tukak peptik yaitu tukak lambung dan tukak duodenum
merupakan penyakit yang masih banyak ditemukan dalam klinik terutama dalam
kelompok umur di atas umur 45 tahun. Perdarahan yang terjadi pada saluran cerna

15
bagian atas akibat tukak peptik atau ulkus peptikum merupakan penyulit yang
paling sering ditemukan, sedikitnya ditemukan pada 15 hingga 25% kasus selama
perjalanan penyakit. Walaupun ulkus di setiap tempat dapat mengalami
perdarahan, namun tempat perdarahan yang paling sering adalah dinding posterior
bulbus duodenum, karena di tempat ini dapat terjadi erosi arteri
pankreatikoduodenalis atau arteria gastroduodenalis. (Akil, 2007; Lindseth, 2002)

Gambar 9. Ulkus dan perforasi disertai perdarahan pada gaster


Gejala yang berkaitan dengan perdarahan ulkus bergantung pada
kecepatan kehilangan darah. Hematemesis atau melena dengan tanda syok apabila
perdarahan masif dan perdarahan tersembunyi yang kronik sehingga dapat
menyebabkan terjadinya anemia defisiensi besi. Hasil pemeriksaan darah samar
dari feses dapat memperlihatkan hasil yang positif (tes guaiac positif) atau feses
mungkin berwarna hitam dan seperti ter (melena). Perdarahan masif dapat
mengakibatkan hematemesis (muntah darah), menimbulkan syok, dan dapat
memerlukan transfusi darah serta pembedahan darurat. Hilangnya nyeri sering
menyertai perdarahan sebagai efek bufer darah. Mortalitas berkisar hingga 10%,
dan pasien yang berusia lebih dari 50 tahun memiliki angka mortalitas yang lebih
tinggi. Kelompok ini mewakili sekitar 20 hingga 25% kematian total dari ulkus
peptikum. (Akil, 2007; Lindseth, 2002)

16
Gambar 10. Ulkus peptikum pada gaster dan duodenum

Insiden perdarahan akibat tukak sebesar 15 25% dan cenderung


meningkat pada usia lanjut, yakni di atas usia 60 tahun akibat adanya penyakit
degeneratif dan meningkatnya pemakaian OAINS (20% tanpa simptom dan tanda
penyakit sebelumnya). Sebagian besar perdarahan dapat berhenti secara spontan,
sebagian memerlukan tindakan endoskopi terapi, bila gagal dilanjutkan dengan
terapi operasi (5% dari pasien yang memerlukan transfusi darah). Pemberian
pantozol/PPI 2 amp/100cc NaCl 0.9 drips selama 10 jam secara parenteral dan
diteruskan beberapa hari dapat menurunkan kejadian ulang perdarahan, pemberian
transfusi dengan memperhatikan tanda tanda hemodinamik, yakni:
1. Tekanan darah sistol < 100 mmHg
2. Hb < 10 gr%
3. Nadi > 100x/menit
4. Hematokrit < 30% / jam dianjurkan untuk pemberian transfusi dengan
darah segar hingga hematokrit mencapai > 30%. (Tarigan, 2007).

17
Gambar 11. Ulkus peptikum pada duodenum

Gastropati Kongestif
Perdarahan varises merupakan penyebab komplikasi perdarahan yang
paling sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi portal dan sebagian besar
pasien tersebut juga mengalami gastropati kongestif dikarenakan oleh hipertensi
venosus.
Terjadinya gastropati kongestif dikarenakan akumulasi darah yang
berlebihan pada area gaster akibat dari hipertensi porta yang menyebabkan
penekanan dan pembendungan pada vena vena yang memperdarahi area gaster.
Identifikasi terjadinya gatropati kongestif melalui pemeriksaan endoskopi dimana
ditemukan lapisan mukosa yang menggembung bulat dan bersifat mudah rapuh.
Munculnya perdarahan mukosa pasif didahului dengan perdarahan aktif dari
lokasi utama varises. Pemberian blok -adrenergik dengan propanolol dapat
mengurangi tekanan arteri splanknikus sama baiknya pada tekanan vena porta
dimana kadang kadang ameliorasi pada keadaan ini cukup efektif untuk
diterapkan. Pemberian proton pump inhibitor atau preparat lainnya yang sejenis
yang berguna dalam terapi penyakit penyakit peptik seringkali tidak bermanfaat
banyak dalam gastropati kongestif. (Mailliard and Sorrell, 2005)

18
Gambar 12. Endoskopi pada gastropati kongestif

Syndrome Mallory-Weiss
Syndrome Mallory-Weiss adalah suatu keadaan hematemesis atau melena
yang secara khas mengikuti muntah muntah berat yang berlangsung beberapa
jam atau hari, dapat ditemukan satu atau beberapa laserasi mukosa lambung mirip
celah, terletak memanjang di atau sedikit di bawah persambungan
esofagogastrikum. Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh G. Kenneth Mallory
dan Soma Weiss di tahun 1929 pada 15 pasien alkoholik. (Dorland, 2005; Weiss
and Mallory, 1932)

Gambar 13. Robekan mukosa pada pertautan gastroesofageal pada Sindrome Mallory-Weiss

Riwayat umum terjadinya Sindrome Mallory-Weiss dikarenakan oleh


muntah, mual, atau batuk yang disertai hematemesis, terutama pada pasien

19
alkoholik. Perdarahan akibat kejadian ini menyebabkan robekan lapisan mukosa
pada area gastrik pada pertautan gastroesofageal, berhenti secara spontan pada
80% hingga 90% pasien dan kambuh hanya pada 0% hingga 5%. Pengobatan
dengan endoskopi diindikasikan pada perdarahan aktif akibat robekan Mallory-
Weiss. Pengobatan dengan angiografi dengan infusi vasopressin intraarterial atau
embolisasi dan operasi dengan penjahitan pada area robekan jarang diperlukan.

A. B.
Gambar 14. Endoskopi pada robekan di mukosa pertautan gastroesofageal pada Sindrome
Mallory-Weiss

Keganasan
Keganasan atau karsinoma yang dapat memicu timbulnya perdarahan
saluran makan bagian atas berupa keganasan pada esofagus dan gaster.
Keganasan Pada Esofagus
Perdarahan saluran makan bagian atas akibat dari keganasan pada esofagus
menjadi keluhan yang cukup sering ditemukan pada pasien dimana hematemesis
bisa terjadi dengan atau tanpa disertai melena. Akibat dari perdarahan ini dapat
menimbulkan anemia defisiensi besi pada pasien. (Abdurachman, 2007)

20
Gambar 15. Salah satu bentuk nidasi keganasan pada esofagus.
Keganasan Pada Gaster
Salah satu keluhan yang diutamakan oleh pasien dengan keganasan pada
gaster adalah hematemesis (7%) sehingga menjadi faktor terjadinya perdarahan
saluran makan bagian atas. Hal ini tidak lepas dari bentuk patologi dari keganasan
gaster serta lokasi tumbuhnya keganasan tersebut dalam lumen gaster.
Keganasan atau karsinoma gaster yang paling sering ditemukan adalah
adenokarsinoma (90 99%), sedangkan jenis yang lain berupa limfoma,
leiomiosarkoma, adenoxanthoma, dan lainnya cukup jarang ditemukan.
Kebanyakan lokasi karsinoma terletak pada daerah antropilorik dengan kurvatura
minor lebih sering daripada kurvatura mayor.

Gambar 16. Adenokarsinoma ulseratif pada mukosa gaster.

21
Karsinoma gaster berasal dari perubahan epitel pada membran mukosa
gaster, yang berkembang pada bagian bawah gaster, sedangkan pada atrofi gaster
didapatkan bagian atas gaster dan secara multisenter. Bentuk bentuk dari
karsinoma gaster, antara lain:
1. Seperempatnya berasal dari propia yang berbentuk fungating dan tumbuh
ke lumen sebagai massa.
2. Seperempatnya berbentuk tumor yang berulserasi.
3. Massa yang tumbuh melalui dinding menginvasi lapisan otot.
4. Penyebarannya melalui dinding yang dicemari penyebaran pada
permukaan (8%).
5. Berbentuk linitisplastika (10 15%). (Julius, 2007)

Gambar 17. Tampilan endoskopik dari adenokarsinoma yang menginfiltrasi area kardia dan fundus

d. Gejala dan Tanda Klinis


Gejala dan tanda klinis perdarahan saluran makan bagian atas yang sering
ditemukan pada pasien adalah:
1. Anemia defisiensi besi akibat perdarahan tersembunyi yang telah
berlangsung lama.
2. Hematemesis dan atau melena yang disertai atau tanpa anemia, dengan
atau tanpa gangguan hemodinamik, derajat hipovolemi menentukan
tingkat kegawatan pasien. (Adi, 2007)
Adapun manifestasi klinis yang ditemukan sebagai ciri khas dari
perdarahan saluran makan bagian atas terutama dapat dibedakan dari perdarahan
saluran cerna bagian bawah, antara lain: hematemesis, melena, emesis yang

22
berwarna seperti kopi, nyeri pada epigastrium, dan reaksi vasovagal seperti mual,
muntah dan rasa enek. (Sabatine, 2011)

e. Tatalaksana Perdarahan Saluran Makan Bagian Atas


Pengelolaan dasar pasien perdarahan saluran cerna sama seperti
perdarahan pada umumnya, yakni meliputi pemeriksaan awal, resusitasi,
diagnosis, dan terapi. Tujuan pokoknya adalah mempertahankan stabilitas
hemodinamik, menghentikan perdarahan, dan mencegah terjadinya perdarahan
ulang. Konsensus Nasional PGI PEGI PPHI menetapkan bahwa pemeriksaan
awal dan resusitasi pada kasus perdarahan wajib dan harus bisa dikerjakan pada
setiap lini pelayanan kesehatan masyarakat sebelum dirujuk ke pusat layanan yang
lebih tinggi. Adapun langkah langkah praktis pengelolaan perdarahan saluran
makan bagian atas adalah sebagai berikut:
1. Pemeriksaan awal, penekanan pada evaluasi status hemodinamik.
2. Resusitasi, terutama untuk stabilisasi hemodinamik.
3. Melanjutkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan lain yang
diperlukan.
4. Memastikan perdarahan saluran makan bagian atas atau bagian bawah.
5. Menegakkan diagnosis pasti penyebab perdarahan.
6. Terapi untuk menghentikan perdarahan, penyembuhan penyebab
perdarahan dan mencegah terjadinya perdarahan ulang.
Dengan adanya penegakan diagnosis penyebab perdarahan sangat menentukan
langkah terapi yang akan diambil pada tahap selanjutnya. (Adi, 2007)

Pemeriksaan Awal Pada Perdarahan Saluran Cerna


Langkah awal pada semua kasus perdarahan saluran makanan adalah
menentukan beratnya perdarahan dengan memfokuskan pada status hemodinamik.
Pemeriksaannya meliputi:
1. Tekanan darah dan nadi dalam posisi berbaring.
2. Perubahan ortostatik tekanan darah dan nadi.
3. Ada tidaknya vasokonstriksi perifer berupa akral teraba dingin.

23
4. Kelayakan nafas.
5. Tingkat kesadaran.
6. Produksi urin.
Perdarahan akut dalam jumlah besar melebihi 20% volume intravaskuler
akan mengakibatkan kondisi hemodinamik tidak stabil, dengan tanda tanda
sebagai berikut:
1. Hipotensi (< 90/60 mmHg atau MAP < 70 mmHg) dengan frekuensi nadi
lebih dari 100x/menit.
2. Tekanan diastolik ortostatik turun lebih dari 10 mmHg atau sistolik turun
lebih dari 20 mmHg.
3. Frekuensi nadi ortostatik meningkat 15x/menit.
4. Akral dingin.
5. Kesadaran menurun.
6. Anuria atau oliguria (produksi urin kurang dari 30 ml/jam).
Kecurigaan perdarahan akut dalam jumlah besar selain ditandai dengan
kondisi hemodinamik tidak stabil ialah bila ditemukan:
1. Hematemesis.
2. Hematoskezia.
3. Darah segara pada aspirasi pipa nasogastrik dan dengan lavase tidak
segera jernih.
4. Hipotensi persisten.
5. Dalam waktu 24 jam telah menghabiskan transfusi darah melebihi 800
1000 ml.(Adi, 2007)

Resusitasi Terutama Untuk Stabilisasi Hemodinamik Pada Perdarahan


Saluran Cerna
Pada kondisi hemodinamik tidak stabil, berikan infus cairan kristaloid
(misalnya cairan garam fisiologis) dengan tetesan cepat menggunakan dua jarum
berdiameter besar (minimal 16 G) dan pasang monitor CVP (central venous
pressure); tujuannya memulihkan tanda tanda vital dan mempertahankan tetap
stabil. Biasanya tidak sampai memerlukan cairan koloid (misalnya dekstran)

24
kecuali pada kondisi hipoalbuminemia berat. Secepatnya kirim pemeriksaan darah
untuk menentukan golongan darah, kadar hemoglobin, hematokrit, trombosit,
leukosit. Adanya kecurigaan diatesis hemoragik perlu segera ditindaklanjuti
dengan melakukan tes Rumpel-Leede, pemeriksaan waktu perdarahan, waktu
pembekuan, retraksi bekuan darah, PTT, dan aPTT.
Kapan transfusi darah diberikan sifatnya sangat individual, tergantung dari
jumlah darah yang hilang, perdarahan masih aktif atau sudah berhenti, lamanya
perdarahan berlangsung, dan akibat klinik dari perdarahan tersebut. Pemberian
transfusi darah pada perdarahan saluran cerna dipertimbangkan pada keadaan
berikut ini:
1. Perdarahan dalam kondisi hemodinamik tidak stabil.
2. Perdarahan baru atau masih berlangsung dan diperkirakan jumlahnya 1
liter atau lebih.
3. Perdarahan baru atau masih berlangsung dengan hemoglobin kurang
dari 10 g% atau hematokrit kurang dari 30%.
4. Terdapat tanda tanda oksigenasi jaringan yang menurun.
Perlu dipahami bahwa nilai hematokrit untuk memperkirakan jumlah
perdarahan kurang akurat bila perdarahan sedang atau baru berlangsung. Proses
hemodilusi dari cairan ekstravaskuler selesai dalam waktu 24 hingga 72 jam
setelah onset perdarahan. Target pencapaian hematokrit setelah transfusi darah
tergantung kasus yang dihadapi, untuk usia muda dengan kondisi sehat cukup
sebesar 20 25%, usia lanjut sebanyak 30%, sedangkan pada hipertensi portal
jangan melebihi hingga 27 28%. (Adi, 2007)

Melanjutkan Anamnesis, Pemeriksaan Fisik, dan Pemeriksaan Lain Yang


Diperlukan
Sambil melakukan upaya mempertahankan stabilisasi hemodinamik, maka
bisa dilengkapi anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan pemeriksaan
lain yang diperlukan.

25
Dalam anamnesis yang perlu ditekankan adalah :
1. Sejak kapan terjadinya perdarahan dan berapa perkiraan darah yang
keluar.
2. Riwayat perdarahan sebelumnya.
3. Riwayat perdarahan dalam keluarga.
4. Ada tidaknya perdarahan di bagian tubuh lain.
5. Penggunaan obat obatan terutama anti inflamasi non-steroid dan anti
koagulan.
6. Kebiasaan minum alkohol.
7. Mencari kemungkinan adanya penyakit hati kronik, demam berdarah,
demam tifoid, gagal ginjal kronik, diabetes melitus, hipertensi dan alergi
obat obatan.
8. Riwayat transfusi sebelumnya.

Pemeriksaan fisik yang perlu diperhatikan:


1. Stigmata penyakit hati kronik.
2. Suhu badan dan perdarahan di bagian tubuh lain.
3. Tanda tanda kulit dan mukosa penyakit sistemik yang bisa disertai
perdarahan saluran cerna, misalnya pigmentasi mukokutaneus pada
sindrom Peutz-Jegher.

Kelengkapan pemeriksaan yang perlu diperhatikan:


1. Elektrokardiogram, terutama pada pasien berusia di atas 40 tahun.
2. BUN dan kadar kreatinin serum karena pada perdarahan saluran makan
bagian atas, pemecahan darah oleh kuman usus akan mengakibatkan
kenaikan BUN, sedangkan kreatinin serum tetap normal atau sedikit
meningkat.
3. Kadar elektrolit (Natrium, Kalium, Clorida) dimana perubahan elektrolit
bisa terjadi karena perdarahan, transfusi, atau kumbah lambung.

26
4. Dan pemeriksaan pemeriksaan penunjang lainnya yang perlu dilakukan
tergantung jenis kasus perdarahan saluran cerna atas yang dihadapi. (Adi,
2007).

Perbedaan Perdarahan Saluran Makan Bagian Atas Atau Bawah


Tabel 1. Perbedaan Perdarahan Saluran Makan Bagian Atas Dan
Perdarahan Saluran Makan Bagian Bawah.
Perdarahan Saluran Perdarahan Saluran
Makan Bagian Atas Makan Bagian Bawah
Manifestasi klinik pada Hematemesis dan/melena Hematoskezia
umumnya
Aspirasi nasogastrik Berdarah Jernih
Rasio (BUN/Kreatinin) Meningkat > 35 < 35
Auskultasi usus Hiperaktif Normal

Seorang pasien yang datang dengan keluhan hematemesis, muntahan


seperti kopi karena berubahnya darah oleh asam lambung, hampir pasti
perdarahannya berasal dari saluran cerna bagian atas. Timbulnya melena, berak
hitam lengket dengan bau busuk, bila perdarahannya berlangsung sekaligus
sejumlah 50 100 ml atau lebih. Untuk lebih memastikan keterangan melena
yang diperoleh dari anamnesis, dapat dilakukan pemeriksaan digital rektum.
Perdarahan saluran makan bagian atas dengan manifestasi hematoskezia
dimungkinkan bila perdarahannya cepat dan banyak melebihi 1000 ml dan disertai
kondisi hemodinamik yang tidak stabil atau syok.
Pada semua kasus perdarahan saluran cerna disarankan untuk pemasangan
pipa nasogastrik, kecuali pada perdarahan kronik dengan hemodinamik stabil atau
yang sudah jelas perdarahan saluran cerna bagian bawah. Pada perdarahan saluran
makan bagian atas akan keluar cairan seperti kopi atau cairan darah segar sebagai
tanda bahwa perdarahan masih aktif. Selanjutnya dilakukan bilas lambung dengan
air suhu kamar. Sekiranya sejak awal tidak ditemukan darah pada cairan aspirasi,
dianjurkan pipa nasogastrik tetap terpasang sampai 12 atau 24 jam. Bila selama

27
kurun waktu tersebut hanya ditemukan cairan empedu dapat dianggap bukan
perdarahan saluran makan bagian atas.
Perbandingan BUN dan kreatinin serum juga dapat dipakai untuk
memperkirakan asal perdarahan, nilai puncak biasanya dicapai dalam 24 hingga
48 jam sejak terjadinya perdarahan, normal perbandingannya 20, di atas 35
kemungkinan perdarahan berasal dari saluran cerna bagian atas, dibawah 35
kemungkinan perdarahan berasal dari saluran cerna bagian bawah. Pada kasus
yang masih sulit untuk menentukan asal perdarahannya, langkah pemeriksaan
selanjutnya ialah endoskopi saluran cerna bagian atas. (Adi, 2007)

Diagnosis Penyebab Perdarahan Saluran Makan Bagian Atas


Dari 1673 kasus perdarahan saluran makan bagian atas di SMF Penyakit
Dalam RSU dr.Sutomo Surabaya, 76.9% disebabkan oleh pecahnya varises
esofagus, 19.2% oleh gastritis erosif, 1.0% oleh tukak peptik dan 0.6% oleh
kanker lambung, dan 2.6% oleh karena sebab sebab yang lain. Laporan dari RS
pemerintah di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta urutan 3 penyebab terbanyak
perdarahan saluran makan bagian atas sama dengan di RSU dr.Sutomo Surabaya.
Sedangkan laporan dari RS pemerintah di Ujung Pandang menyebutkan tukak
peptik menempati urutan pertama penyebab perdarahan saluran makan bagian
atas. Laporan kasus di rumah sakit swasta, yakni RS Darmo Surabaya, perdarahan
karena tukak peptik sebanyak 51.2%, gastritis erosif sebanyak 11.7%, varises
esofagus sebanyak 10.9%, keganasan sebanyak 9.8%, esofagitis 5.3%, sindrom
Mallory-Weiss sebanyak 1.4%, idiopatik sebanyak 7% dan penyebab penyebab
lainnya sebanyak 2.7%. Di negara barat, tukak peptik berada di urutan pertama
sebagai penyebab perdarahan saluran makan bagian atas dengan frekuensi sekitar
50%. Walaupun pengelolaan perdarahan saluran makan bagian atas telah banyak
berkembang namun mortalitasnya relatif tidak berubah, masih berkisar 8 10%.
Hal ini dikarenakan bertambahnya kasus perdarahan dengan usia lanjut, dan
akibat komorbiditas yang menyertai.

28
Sarana diagnostik yang bisa digunakan pada kasus perdarahan saluran
cerna adalah endoskopi gastrointestinal, radiografi dengan barium, radionuklid,
dan angiografi. Pada semua pasien dengan tanda tanda perdarahan saluran
makan bagian atas atau yang asal perdarahannya masih meragukan, maka
pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas merupakan prosedur pilihan.
Dengan pemeriksaan ini sebagian besar kasus diagnosis penyebab perdarahan bisa
ditegakkan. Selain itu dengan endoskopi bisa pula dilakukan upaya terapeutik.
Bila perdarahan masih tetap berlanjut atau asal perdarahan sulit diidentifikasi
perlu dipertimbangkan pemeriksaan dengan radionuklid atau angiografi yang
sekaligus bisa digunakan untuk menghentikan perdarahan. Adapun hasil tindakan
endoskopi atau angiografi sangat tergantung tingkat keahlian, keterampilan, dan
pengalaman operator pelaksana.
Tujuan pemeriksaan endoskopi selain menemukan penyebab serta asal
perdarahan, juga untuk menentukan aktivitas perdarahan. Forest membuat
klasifikasi perdarahan tukak peptik atas dasar temuan endoskopi yang bermanfaat
untuk menentukan tindakan selanjutnya. (Adi, 2007)

Tabel 2. Klasifikasi Aktivitas Perdarahan Tukak Peptik Menurut Forest.


Aktivitas Perdarahan Kriteria Endoskopis
Forest Ia Perdarahan aktif. Perdarahan arteri
menyembur.
Forest Ib Perdarahan aktif. Perdarahan merembes.
Forest II Perdarahan berhenti dan Gumpalan darah pada
masih terdapat sisa sisa dasar tukak atau terlihat
perdarahan. pembuluh darah.
Forest III Perdarahan berhenti Lesi tanpa tanda sisa
tanpa sisa perdarahan. perdarahan.

Terapi Perdarahan Saluran Makan Bagian Atas


Terapi Perdarahan saluran makan bagian atas Non-Endoskopis

29
Salah satu usaha dalam menghentikan perdarahan yang sudah lama
dilakukan adalah bilas lambung lewat pipa nasogastrik dengan air suhu kamar.
Prosedur ini diharapkan mengurangi distensi lambung dan memperbaiki proses
hemostatik, namun demikian manfaatnya dalam menghentikan perdarahan tidak
terbukti. Bilas lambung ini sangat diperlukan untuk persiapan pemeriksaan
endoskopi dan dapat dipakai untuk membuat perkiraan kasar jumlah perdarahan.
Berdasar percobaan hewan, bilas lambung dengan air es kurang menguntungkan,
waktu perdarahan menjadi memanjang, perfusi dinding lambung menurun, dan
bisa timbul ulserasi pada mukosa lambung.
Pemberian vitamin K pada pasien dengan penyakit hati kronis yang
mengalami perdarahan saluran makan bagian atas diperbolehkan, dengan
pertimbangan pemberian tersebut tidak merugikan dan relatif murah.
Vasopressin dapat menghentikan perdarahan saluran makan bagian atas
lewat efek vasokonstriksi pembuluh darah splanknikus, menyebabkan aliran darah
dan tekanan vena porta menurun. Digunakan di klinik untuk perdarahan akut
varises esofagus sejak tahun 1953. Pernah dicoba pada terapi perdarahan
nonvarises, namun berhentinya perdarahan tidak berbeda dengan plasebo.
Terdapat dua bentuk sediaan, yakni pitresin yang mengandung vasopressin murni
dan preparat pituitary gland yang mengandung vasopressin dan oxytocin.
Pemberian vasopressin dilakukan dengan mengencerkan sediaan vasopressin 50
unit dalam 100 ml dekstrose 5%, diberikan 0.5 1 mg/menit/iv selama 20 60
menit dan dapat diulang tiap 3 6 jam; atau setelah pemberian pertama
dilanjutkan per infus 0.1 0.5 U/menit. Vasopressin dapat menimbulkan efek
samping serius berupa insufisiensi koroner mendadak, oleh karena itu
pemberiannya disarankan bersamaan dengan preparat nitrat, misalnya nitrogliserin
intravena dengan dosis awal 40 mcg/menit kemudian secara titrasi dinaikkan
sampai maksimal 400 mcg/menit dengan tetap mempertahankan tekanan sistolik
di atas 90 mmHg.
Somatostatin dan analognya (ocreotide) diketahui dapat menurunkan
aliran darah splanknikus, khasiatnya lebih selektif dibanding vasopressin.
Penggunaan di klinik pada perdarahan akut varises esofagus dimulai sekitar tahun

30
1978. Somatostatin dapat menghentikan perdarahan akut varises esofagus pada 70
80% kasus, dan dapat pula digunakan pada perdarahan nonvarises. Dosis
pemberian somatostatin, diawali dengan bolus 250 mcg/iv, dilanjutkan per infus
250 mcg/jam selama 12 24 jam atau sampai perdarahan berhenti; ocreotide
dosis bolus 100 mcg/iv dilanjutkan per infus 25 mcg/jam selama 8 24 jam atau
sampai perdarahan berhenti.
Obat-obatan golongan anti sekresi asam yang dilaporkan bermanfaat untuk
mencegah perdarahan ulang saluran cerna bagian atas karena tukak peptik adalah
inhibitor pompa proton dosis tinggi. Diawali bolus omeprazol 80 mg/iv kemudian
dilanjutkan per infus 8 mg/kgBB/jam selama 72 jam, perdarahan ulang pada
kelompok plasebo 20% sedangkan yang diberi omeprazol hanya 4.2%. Suntikan
omeprazol yang beredar di Indonesia hanya untuk pemberian bolus, yang bisa
digunakan per infus adalah persediaan esomeprazol dan pantoprazol dengan dosis
sama seperti omeprazol. Pada perdarahan saluran makan bagian atas ini, obat
obatan seperti antasida, sukralfat, dan antagonis reseptor H2 masih boleh
diberikan untuk tujuan penyembuhan lesi mukosa penyebab perdarahan.
Antagonis reseptor H2 dalam mencegah perdarahan ulang saluran cerna bagian
atas dikarenakan tukak peptik kurang bermanfaat.

A B

Gambar 18. Pemasangan Sengstaken-Blakemore tube (SB-tube)


Penggunaan balon tamponade untuk menghentikan perdarahan varises
esofagus dimulai sekitar tahun 1950, paling populer adalah Sengstaken-Blakemore
tube (SB-tube) yang mempunyai tiga pipa serta dua balon masing masing untuk
esofagus dan lambung. Komplikasi pemasangan SB-tube yang bisa berakibat fatal

31
ialah pnemonia aspirasi, laserasi sampai perforasi. Pengembangan balon
sebaiknya tidak melebihi 24 jam. Pemasangan SB-tube seyogyanya dilakukan
oleh tenaga medik yang berpengalaman dan ditindaklanjuti dengan observasi yang
ketat. (Adi, 2007)

Gambar 19. Sengstaken-Blakemore tube (SB-tube)

Gambar 20. Mekanisme pemasangan dan penggunaan SB-tube.

Terapi Perdarahan saluran makan bagian atas Secara Endoskopis


Terapi endoskopi ditujukan pada perdarahan tukak yang masih aktif atau
tukak dengan pembuluh darah yang tampak. Metode terapinya meliputi:
1. Contact thermal (monopolar atau bipolar elektrokoagulasi, heater probe).

32
2. Noncontact thermal (laser).
3. Nonthermal (misalnya suntikan adrenalin, polidokanol, alkohol,
cyanoacrylate, atau pemakaian klip).
Berbagai cara terapi endoskopi tersebut akan efektif dan aman apabila
dilakukan oleh ahli endoskopi yang terampil dan berpengalaman. Endoskopi
terapeutik ini dapat diterapkan pada 90% kasus perdarahan saluran makan bagian
atas, sedangkan 10% sisanya tidak dapat dikerjakan karena alasan teknis seperti
darah terlalu banyak sehingga pengamatan terhalang atau letak lesi tidak
terjangkau. Secara keseluruhan 80% perdarahan tukak peptik dapat berhenti
spontan, namun pada kasus perdarahan yang berasal dari arterial yang bisa
berhenti spontan hanya 30%. Terapi endoskopi yang relatif mudah dan tanpa
banyak peralatan pendukung ialah penyuntikan submukosa sekitar titik
perdarahan menggunakan adrenalin 1 : 10.000 sebanyak 0,5 1 ml tiap kali suntik
dengan batas dosis 10 ml atau alkohol absolut (98%) tidak melebihi 1 ml.
Penyuntikan bahan sklerosan seperti alkohol absolut atau polidokanol umumnya
tidak dianjurkan karena bahaya timbulnya tukak dan perforasi akibat nekrosis
jaringan di lokasi penyuntikan. Keberhasilan terapi endoskopi dalam
menghentikan perdarahan bisa mencapai di atas 95% dan tanpa terapi tambahan
lainnya perdarahan ulang frekuensinya sekitar 15 20%.

Gambar 21. Endoscopic variceal band ligation of esophageal varices.

33
Hemostasis endoskopi merupakan terapi pilihan pada perdarahan karena
varises esofagus. Ligasi varises merupakan pilihan pertama untuk mengatasi
perdarahan varises esofagus. Dengan ligasi varises dapat dihindari efek samping
akibat pemakaian sklerosan, lebih sedikit frekuensi terjadinya ulserasi dan striktur.
Ligasi dilakukan mulai dari distal mendekati cardia bergerak spiral setiap 1 2
cm. Dilakukan pada varises yang sedang berdarah atau bila ditemukan tanda baru
mengalami perdarahan seperti bekuan darah yang melekat, bilur bilur merah,
noda hematokistik, vena pada vena. Skleroterapi endoskopik sebagai alternatif
bila ligasi endoskopik sulit dilakukan karena perdarahan yang masif, terus
berlangsung, atau teknik yang tidak memungkinkan. Sklerosan yang bisa
digunakan antara lain campuran sama banyak polidokanol 3%, NaCl 0.9%, dan
alkohol absolut. Campuran dibuat sesaat sebelum skleroterapi dikerjakan.
Penyuntikan dimulai dari bagian paling distal mendekati kardia dilanjutkan ke
proksimal bergerak spiral sampai sejauh 5 cm. Pada perdarahan varises lambung
dilakukan penyuntikan cyanoacrylate sebab skleroterapi untuk varises lambung
hasilnya kurang baik. (Adi, 2007)

Gambar 22. Contoh alat ligasi varises esofagus

34
Gambar 23. Skleroterapi pada varises esofagus.

Terapi Radiologi
Terapi angiografi perlu dipertimbangkan bila perdarahan tetap berlangsung
dan belum bisa ditentukan asal perdarahan, atau bila terapi endoskopi dinilai gagal
dan pembedahan sangat beresiko. Tindakan hemostasis yang bisa dilakukan
dengan penyuntikan vasopressin atau embolisasi arterial. Bila dinilai tidak ada
kontraindikasi dan fasilitas dimungkinkan, pada perdarahan varises dapat
dipertimbangkan TIPS (Transjugular Intrahepatic Portosystemic Shunt). (Adi,
2007)

Gambar 24. Transjugular Intrahepatic Portosystemic Shunt (TIPS).

35
Pembedahan
Pembedahan pada dasarnya dilakukan bila terapi medik, endoskopi dan
radiologi dinilai gagal. Ahli bedah seyogyanya dilibatkan sejak awal dalam bentuk
tim multidisipliner pada pengelolaan kasus perdarahan saluran makan bagian atas
untuk menentukan waktu yang tepat kapan tindakan bedah sebaiknya dilakukan.
(Adi, 2007)

36
BAB IV
KESIMPULAN

Penyebab perdarahan saluran makan bagian atas dapat digolongkan


menjadi 2 kelompok, yaitu perdarahan varises dan perdarahan non-varises.
Pengelolaan perdarahan saluran cerna secara praktis meliputi : evaluasi
status hemodinamik, stabilisasi hemodinamik, melanjutkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan lain yang diperlukan, memastikan perdarahan
saluran makan bagian atas atau bawah, menegakkan diagnosis pasti penyebab
perdarahan, terapi spesifik.
Prioritas utama dalam menghadapi kasus perdarahan saluran makan bagian
atas adalah penentuan status hemodinamik dan upaya resusitasi sebelum
menegakkan diagnosis atau pemberian terapi lainnya.
Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas merupakan cara terpilih
untuk menegakkan diagnosis penyebab perdarahan dan sekaligus berguna untuk
melakukan hemostasis. Pada perdarahan tukak lambung dapat dilakukan antara
lain dengan penyuntikan adrenalin 1 : 10.000, sedangkan pada perdarahan varises
esofagus dengan ligasi atau skleroterapi.
Manfaat terapi medik tergantung macam kelainan yang menjadi penyebab
perdarahan. Somatostatin dapat digunakan untuk menghentikan perdarahan
saluran makan bagian atas, terutama pada perdarahan varises. Pada perdarahan
karena tukak peptik pemberian PPI intra vena dosis tinggi bermanfaat untuk
mencegah perdarahan ulang.
Ahli radiologi dan ahli bedah seyogyanya dilibatkan dalam tim
multidisipliner pengelolaan perdarahan saluran makan bagian atas.

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Abdurachman, S.A. Tumor Esofagus. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.


Jilid I. Edisi IV. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. 2007. Hal: 327.
2. Adi, Pangestu. Pengelolaan Perdarahan saluran makan bagian atas.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi IV. Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. 2007.
Hal: 289 292.
3. Akil, H.A.M. Tukak Duodenum. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid
I. Edisi IV. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta. 2007. Hal: 345, 347.
4. Julius. Tumor Gaster. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi IV.
Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta. 2007. Hal: 350.
5. Lindseth, Glenda N. Gangguan Lambung dan Duodenum.
PATOFISIOLOGI Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume I.
Edisi 6. EGC:Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta. 2003. Hal: 417-419,
423, 428.
6. Lindseth, Glenda N. Gangguan Usus Halus. PATOFISIOLOGI
Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume I. Edisi 6. EGC:Penerbit
Buku Kedokteran, Jakarta. 2003. Hal: 437-439.
7. Mailliard, Mark E., Michael F. Sorrell. Alcoholic Liver Disease.
Harrisons Principles of Internal Medicine. Volume II. 16thEdition.
McGraw-Hill Medical Publishing Division, USA. 2005. p:1865.
8. Sabatine, Marc S. Gastrointestinal Bleeding. Pocket Medicine: The
Massachusetts General Hospital Handbook of Internal Medicine. Fourth
Edition. Wolters Kluwer Health and Lippincott Williams & Wilkins,
Philadelphia. 2011. Section: GIB 3 3.

38
9. Silbernagl, Stefan dan Florian Lang. Gastritis. Teks & Atlas Berwarna
Patofisiologi. Cetakan I. EGC:Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.2007.
Hal: 142, 146.
10. Tarigan, Pengarapen. Tukak Gaster. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid I. Edisi IV. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. 2007. Hal: 341.
11. Wilson, Lorraine M. dan Glenda N. Lindseth. Gangguan Esofagus.
PATOFISIOLOGI Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume I.
Edisi 6. EGC:Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta. 2003. Hal: 404-405.
12. Kamus Kedokteran Dorland.Edisi ke 27.Jakarta:EGC.2005
13. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUP.
Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo. Jakarta: 2007
14. Biecker, Erwin, Michael Schepke, Tilman Sauerbach. The Role of
Endoscopy in Portal Hypertension. Journal of Digestive Diseases
Clinical Reviews, Vol.23, No.1. Department of Internal Medicine I,
University Hospital of Bonn, Bonn, Germany. 2005.
15. Shuhart, Margaret, M.D., Kris Kowdley, M.D., dan Bill Neighbor, M.D.,
Gastrointestinal Bleeding. Medline Article, Vol.41,
http://www.uwgi.org/guidelines/ch_07/ch07txt.htm (diunduh pada tanggal:
27 Oktober 2011)
16. Weiss S, Mallory GK. Lesions of the cardiac orifice of the stomach
produced by vomiting. Journal of the American Medical
Association,1932;98:1353-55.

39

You might also like