You are on page 1of 21

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH III

ASKEP OMA (Otitis Media Akut)

Oleh :

Agustia

Candra Alfianto

Ijana

Marlina Estria S

Iluminata

Nurul Aini

Nur Windahsari

Pipit Haripitono

Rezky

Syamsul R H Latuapo

Yohanes Suni

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS TRIBHUWANA TUNGGADEWI

MALANG

2014
LP KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH III
OMA (OTITIS MEDIA AKUT)

1. Definisi dan Klasifikasi

Otitis Media adalah peradangan pada sebagian atau seluruh mukosa telinga
tengah, tuba Eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid.Otitis media
berdasarkan gejalanya dibagi atas otitis media supuratif dan otitis media non
supuratif, di mana masing-masing memiliki bentuk yang akut dan kronis. Selain itu,
juga terdapat jenis otitis media spesifik, seperti otitis media tuberkulosa, otitis media
sifilitika. Otitis media yang lain adalah otitis media adhesiva (Djaafar, 2007).

Otitis media akut (OMA) adalah peradangan telinga tengah dengan gejala dan
tanda-tanda yang bersifat cepat dan singkat. Gejala dan tanda klinik lokal atau
sistemik dapat terjadi secara lengkap atau sebagian, baik berupa otalgia, demam,
gelisah, mual, muntah, diare, serta otore, apabila telah terjadi perforasi membran
timpani. Pada pemeriksaan otoskopik juga dijumpai efusi telinga tengah (Buchman,
2003). Terjadinya efusi telinga tengah atau inflamasi telinga tengah ditandai dengan
membengkak pada membran timpani atau bulging, mobilitas yang terhad pada
membran timpani, terdapat cairan di belakang membran timpani, dan otore
(Kerschner, 2007).

Skema Pembagian Otitis Media


Skema Pembagian Otitis Media Berdasarkan Gejala

2. Etiologi

1. Bakteri

Bakteri piogenik merupakan penyebab OMA yang tersering. Menurut penelitian, 65-
75% kasus OMA dapat ditentukan jenis bakteri piogeniknya melalui isolasi bakteri terhadap
kultur cairan atau efusi telinga tengah. Kasus lain tergolong sebagai non-patogenik karena
tidak ditemukan mikroorganisme penyebabnya. Tiga jenis bakteri penyebab otitis media
tersering adalah Streptococcus pneumoniae (40%), diikuti oleh Haemophilus influenzae (25-
30%) dan Moraxella catarhalis (10-15%). Kira-kira 5% kasus dijumpai patogen-patogen
yang lain seperti Streptococcus pyogenes (group A beta-hemolytic), Staphylococcus aureus,
dan organisme gram negatif. Staphylococcus aureus dan organisme gram negatif banyak
ditemukan pada anak dan neonatus yang menjalani rawat inap di rumah sakit. Haemophilus
influenzae sering dijumpai pada anak balita. Jenis mikroorganisme yang dijumpai pada orang
dewasa juga sama dengan yang dijumpai pada anak-anak (Kerschner, 2007).

2. Virus

Virus juga merupakan penyebab OMA. Virus dapat dijumpai tersendiri atau bersamaan
dengan bakteri patogenik yang lain. Virus yang paling sering dijumpai pada anak-anak, yaitu
respiratory syncytial virus (RSV), influenza virus, atau adenovirus (sebanyak 30-40%). Kira-
kira 10-15% dijumpai parainfluenza virus, rhinovirus atau enterovirus. Virus akan membawa
dampak buruk terhadap fungsi tuba Eustachius, menganggu fungsi imun lokal, meningkatkan
adhesi bakteri, menurunkan efisiensi obat antimikroba dengan menganggu mekanisme
farmakokinetiknya (Kerschner, 2007). Dengan menggunakan teknik polymerase chain
reaction (PCR) dan virus specific enzyme-linked immunoabsorbent assay (ELISA), virus-
virus dapat diisolasi dari cairan telinga tengah pada anak yang menderita OMA pada 75%
kasus (Buchman, 2003).
3. Faktor Resiko

Faktor risiko terjadinya otitis media adalah umur, jenis kelamin, ras, faktor genetik, status
sosioekonomi serta lingkungan, asupan air susu ibu (ASI) atau susu formula, lingkungan
merokok, kontak dengan anak lain, abnormalitas kraniofasialis kongenital, status imunologi,
infeksi bakteri atau virus di saluran pernapasan atas, disfungsi tuba Eustachius, inmatur tuba
Eustachius dan lain-lain (Kerschner, 2007).

Faktor umur juga berperan dalam terjadinya OMA. Peningkatan insidens OMA pada bayi
dan anak-anak kemungkinan disebabkan oleh struktur dan fungsi tidak matang atau imatur
tuba Eustachius. Selain itu, sistem pertahanan tubuh atau status imunologi anak juga masih
rendah. Insidens terjadinya otitis media pada anak laki-laki lebih tinggi dibanding dengan
anak perempuan. Anak-anak pada ras Native American, Inuit, dan Indigenous Australian
menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi dibanding dengan ras lain. Faktor genetik juga
berpengaruh. Status sosioekonomi juga berpengaruh, seperti kemiskinan, kepadatan
penduduk, fasilitas higiene yang terbatas, status nutrisi rendah, dan pelayanan pengobatan
terbatas, sehingga mendorong terjadinya OMA pada anak-anak. ASI dapat membantu dalam
pertahanan tubuh. Oleh karena itu, anak-anak yang kurangnya asupan ASI banyak menderita
OMA. Lingkungan merokok menyebabkan anak-anak mengalami OMA yang lebih signifikan
dibanding dengan anak-anak lain. Dengan adanya riwayat kontak yang sering dengan anak-
anak lain seperti di pusat penitipan anak-anak, insidens OMA juga meningkat. Anak dengan
adanya abnormalitas kraniofasialis kongenital mudah terkena OMA karena fungsi tuba
Eustachius turut terganggu, anak mudah menderita penyakit telinga tengah. Otitis media
merupakan komplikasi yang sering terjadi akibat infeksi saluran napas atas, baik bakteri atau
virus (Kerschner, 2007).
4. Gejala Klinis
Gejala klinis OMA bergantung pada stadium penyakit serta umur pasien. Pada anak yang
sudah dapat berbicara keluhan utama adalah rasa nyeri di dalam telinga, di samping suhu
tubuh yang tinggi. Biasanya terdapat riwayat batuk pilek sebelumnya. Pada anak yang lebih
besar atau pada orang dewasa, selain rasa nyeri, terdapat gangguan pendengaran berupa rasa
penuh di telinga atau rasa kurang mendengar. Pada bayi dan anak kecil, gejala khas OMA
adalah suhu tubuh tinggi dapat mencapai 39,5C (pada stadium supurasi), anak gelisah dan
sukar tidur, tiba-tiba anak menjerit waktu tidur, diare, kejang-kejang dan kadang-kadang anak
memegang telinga yang sakit. Bila terjadi ruptur membran timpani, maka sekret mengalir ke
liang telinga, suhu tubuh turun dan anak tidur tenang (Djaafar, 2007).
Penilaian klinik OMA digunakan untuk menentukan berat atau ringannya suatu penyakit.
Penilaian berdasarkan pada pengukuran temperatur, keluhan orang tua pasien tentang anak
yang gelisah dan menarik telinga atau tugging, serta membran timpani yang kemerahan dan
membengkak atau bulging. Menurut Dagan (2003) dalam Titisari (2005), skor OMA adalah
seperti berikut:
Tabel 2.1. Skor OMA

Penilaian derajat OMA dibuat berdasarkan skor. Bila didapatkan angka 0 hingga 3,
berarti OMA ringan dan bila melebihi 3, berarti OMA berat.

Pembagian OMA lainnya yaitu OMA berat apabila terdapat otalgia berat atau sedang,
suhu lebih atau sama dengan 39C oral atau 39,5C rektal. OMA ringan bila nyeri telinga
tidak hebat dan demam kurang dari 39C oral atau 39,5C rektal (Titisari, 2005).

5. Fisiologi, Patologi dan Patogenesis


a. Tuba Estachius

Fungsi abnormal tuba Eustachius merupakan faktor yang penting pada otitis
media. Tuba Eustachius adalah saluran yang menghubungkan rongga telinga
tengah dengan nasofaring, yang terdiri atas tulang rawan pada dua pertiga ke arah
nasofaring dan sepertiganya terdiri atas tulang (Djaafar, 2007).
Tuba Eustachius biasanya dalam keadaan steril serta tertutup dan baru terbuka
apabila udara diperlukan masuk ke telinga tengah atau pada saat mengunyah,
menelan dan menguap. Pembukaan tuba dibantu oleh kontraksi muskulus tensor
veli palatini apabila terjadi perbedaan tekanan telinga tengah dan tekanan udara
luar antara 20 sampai dengan 40 mmHg. Tuba Eustachius mempunyai tiga fungsi
penting, yaitu ventilasi, proteksi, dan drainase sekret. Ventilasi berguna untuk
menjaga agar tekanan udara dalam telinga tengah selalu sama dengan tekanan
udara luar. Proteksi, yaitu melindung telinga tengah dari tekanan suara, dan
menghalangi masuknya sekret atau cairan dari nasofaring ke telinga tengah.
Drainase bertujuan untuk mengalirkan hasil sekret cairan telinga tengah ke
nasofaring (Djaafar, 2007; Kerschner, 2007).
b. Patogenesis OMA

Pathogenesis OMA pada sebagian besar anak-anak dimulai oleh infeksi saluran
pernapasan atas (ISPA) atau alergi, sehingga terjadi kongesti dan edema pada mukosa saluran
napas atas, termasuk nasofaring dan tuba Eustachius. Tuba Eustachius menjadi sempit,
sehingga terjadi sumbatan tekanan negatif pada telinga tengah. Bila keadaan demikian
berlangsung lama akan menyebabkan refluks dan aspirasi virus atau bakteri dari nasofaring
ke dalam telinga tengah melalui tuba Eustachius. Mukosa telinga tengah bergantung pada
tuba Eustachius untuk mengatur proses ventilasi yang berkelanjutan dari nasofaring. Jika
terjadi gangguan akibat obstruksi tuba, akan mengaktivasi proses inflamasi kompleks dan
terjadi efusi cairan ke dalam telinga tengah. Ini merupakan faktor pencetus terjadinya OMA
dan otitis media dengan efusi. Bila tuba Eustachius tersumbat, drainase telinga tengah
terganggu, mengalami infeksi serta terjadi akumulasi sekret di telinga tengah, kemudian
terjadi proliferasi mikroba patogen pada sekret. Akibat dari infeksi virus saluran pernapasan
atas, sitokin dan mediator-mediator inflamasi yang dilepaskan akan menyebabkan disfungsi
tuba Eustachius. Virus respiratori juga dapat meningkatkan kolonisasi dan adhesi bakteri,
sehingga menganggu pertahanan imum pasien terhadap infeksi bakteri. Jika sekret dan pus
bertambah banyak dari proses inflamasi lokal, perndengaran dapat terganggu karena
membran timpani dan tulang-tulang pendengaran tidak dapat bergerak bebas terhadap
getaran. Akumulasi cairan yang terlalu banyak akhirnya dapat merobek membran timpani
akibat tekanannya yang meninggi (Kerschner, 2007).

Obstruksi tuba Eustachius dapat terjadi secara intraluminal dan ekstraluminal. Faktor
intraluminal adalah seperti akibat ISPA, dimana proses inflamasi terjadi, lalu timbul edema
pada mukosa tuba serta akumulasi sekret di telinga tengah. Selain itu, sebagian besar pasien
dengan otitis media dihubungkan dengan riwayat fungsi abnormal dari tuba Eustachius,
sehingga mekanisme pembukaan tuba terganggu. Faktor ekstraluminal seperti tumor, dan
hipertrofi adenoid (Kerschner, 2007).
c. Penyebab Penyebab Anak Muda Terserang OMA
Dipercayai bahwa anak lebih mudah terserang OMA dibanding dengan orang dewasa.
Ini karena pada anak dan bayi, tuba lebih pendek, lebih lebar dan kedudukannya lebih
horizontal dari tuba orang dewasa, sehingga infeksi saluran pernapasan atas lebih mudah
menyebar ke telinga tengah. Panjang tuba orang dewasa 37,5 mm dan pada anak di bawah
umur 9 bulan adalah 17,5 mm (Djaafar, 2007). Ini meningkatkan peluang terjadinya refluks
dari nasofaring menganggu drainase melalui tuba Eustachius. Insidens terjadinya otitis media
pada anak yang berumur lebih tua berkurang, karena tuba telah berkembang sempurna dan
diameter tuba Eustschius meningkat, sehingga jarang terjadi obstruksi dan disfungsi tuba.
Selain itu, sistem pertahanan tubuh anak masih rendah sehingga mudah terkena ISPA lalu
terinfeksi di telinga tengah. Adenoid merupakan salah satu organ di tenggorokan bagian atas
yang berperan dalam kekebalan tubuh. Pada anak, adenoid relatif lebih besar dibanding orang
dewasa. Posisi adenoid yang berdekatan dengan muara tuba Eustachius sehingga adenoid
yang besar dapat mengganggu terbukanya tuba Eustachius. Selain itu, adenoid dapat
terinfeksi akibat ISPA kemudian menyebar ke telinga tengah melalui tuba Eustachius
(Kerschner, 2007).
Gambar Perbedaan Antara Tuba Eustachius pada Anak-anak dan Orang Dewasa
6. Stadium OMA
OMA dalam perjalanan penyakitnya dibagi menjadi lima stadium, bergantung pada
perubahan pada mukosa telinga tengah, yaitu stadium oklusi tuba Eustachius, stadium
hiperemis atau stadium pre-supurasi, stadium supurasi, stadium perforasi dan stadium
resolusi (Djaafar, 2007).
Gambar Membran Timpani Normal

a. Stadium Oklusi Tuba Eustachius

Pada stadium ini, terdapat sumbatan tuba Eustachius yang ditandai oleh retraksi
membran timpani akibat terjadinya tekanan intratimpani negatif di dalam telinga tengah,
dengan adanya absorpsi udara. Retraksi membran timpani terjadi dan posisi malleus menjadi
lebih horizontal, refleks cahaya juga berkurang. Edema yang terjadi pada tuba Eustachius
juga menyebabkannya tersumbat. Selain retraksi, membran timpani kadang-kadang tetap
normal dan tidak ada kelainan, atau hanya berwarna keruh pucat. Efusi mungkin telah terjadi
tetapi tidak dapat dideteksi. Stadium ini sulit dibedakan dengan tanda dari otitis media serosa
yang disebabkan oleh virus dan alergi. Tidak terjadi demam pada stadium ini (Djaafar, 2007;
Dhingra, 2007).

b. Stadium Hiperemis atau Stadium Pre- Suparasi

Pada stadium ini, terjadi pelebaran pembuluh darah di membran timpani, yang ditandai
oleh membran timpani mengalami hiperemis, edema mukosa dan adanya sekret eksudat
serosa yang sulit terlihat. Hiperemis disebabkan oleh oklusi tuba yang berpanjangan sehingga
terjadinya invasi oleh mikroorganisme piogenik. Proses inflamasi berlaku di telinga tengah
dan membran timpani menjadi kongesti. Stadium ini merupakan tanda infeksi bakteri yang
menyebabkan pasien mengeluhkan otalgia, telinga rasa penuh dan demam. Pendengaran
mungkin masih normal atau terjadi gangguan ringan, tergantung dari cepatnya proses
hiperemis. Hal ini terjadi karena terdapat tekanan udara yang meningkat di kavum timpani.
Gejala-gejala berkisar antara dua belas jam sampai dengan satu hari (Djaafar, 2007; Dhingra,
2007).
Gambar Membran Timpani Hiperemis

c. Stadium Suparasi

Stadium supurasi ditandai oleh terbentuknya sekret eksudat purulen atau bernanah di
telinga tengah dan juga di sel-sel mastoid. Selain itu edema pada mukosa telinga tengah
menjadi makin hebat dan sel epitel superfisial terhancur. Terbentuknya eksudat yang purulen
di kavum timpani menyebabkan membran timpani menonjol atau bulging ke arah liang
telinga luar. Pada keadaan ini, pasien akan tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat
serta rasa nyeri di telinga bertambah hebat. Pasien selalu gelisah dan tidak dapat tidur
nyenyak. Dapat disertai dengan gangguan pendengaran konduktif. Pada bayi demam tinggi
dapat disertai muntah dan kejang.
Stadium supurasi yang berlanjut dan tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan
iskemia membran timpani, akibat timbulnya nekrosis mukosa dan submukosa membran
timpani. Terjadi penumpukan nanah yang terus berlangsung di kavum timpani dan akibat
tromboflebitis vena-vena kecil, sehingga tekanan kapiler membran timpani meningkat, lalu
menimbulkan nekrosis. Daerah nekrosis terasa lebih lembek dan berwarna kekuningan atau
yellow spot.
Keadaan stadium supurasi dapat ditangani dengan melakukan miringotomi. Bedah kecil
ini kita lakukan dengan menjalankan insisi pada membran timpani sehingga nanah akan
keluar dari telinga tengah menuju liang telinga luar. Luka insisi pada membran timpani akan
menutup kembali, sedangkan apabila terjadi ruptur, lubang tempat perforasi lebih sulit
menutup kembali. Membran timpani mungkin tidak menutup kembali jikanya tidak utuh lagi
(Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).
Gambar Membran Timpani Bulging dengan Pus Purulen

d. Stadium Perofersi

Stadium perforasi ditandai oleh ruptur membran timpani sehingga sekret berupa nanah
yang jumlahnya banyak akan mengalir dari telinga tengah ke liang telinga luar. Kadang-
kadang pengeluaran sekret bersifat pulsasi (berdenyut). Stadium ini sering disebabkan oleh
terlambatnya pemberian antibiotik dan tingginya virulensi kuman Setelah nanah keluar, anak
berubah menjadi lebih tenang, suhu tubuh menurun dan dapat tertidur nyenyak.

Jika mebran timpani tetap perforasi dan pengeluaran sekret atau nanah tetap
berlangsung melebihi tiga minggu, maka keadaan ini disebut otitis media supuratif subakut.
Jika kedua keadaan tersebut tetap berlangsung selama lebih satu setengah sampai dengan dua
bulan, maka keadaan itu disebut otitis media supuratif kronik (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).
Gambar Membran Timpani Peforasi

e. Stadium Resolusi

Keadaan ini merupakan stadium akhir OMA yang diawali dengan berkurangnya dan
berhentinya otore. Stadium resolusi ditandai oleh membran timpani berangsur normal hingga
perforasi membran timpani menutup kembali dan sekret purulen akan berkurang dan
akhirnya kering. Pendengaran kembali normal. Stadium ini berlangsung walaupun tanpa
pengobatan, jika membran timpani masih utuh, daya tahan tubuh baik, dan virulensi kuman
rendah.
Apabila stadium resolusi gagal terjadi, maka akan berlanjut menjadi otitis media
supuratif kronik. Kegagalan stadium ini berupa perforasi membran timpani menetap, dengan
sekret yang keluar secara terus-menerus atau hilang timbul.
Otitis media supuratif akut dapat menimbulkan gejala sisa berupa otitis media serosa.
Otitis media serosa terjadi jika sekret menetap di kavum timpani tanpa mengalami perforasi
membran timpani (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).
7. Diagnosis
Menurut Kerschner (2007), kriteria diagnosis OMA harus memenuhi tiga hal berikut,
yaitu:

1. Penyakitnya muncul secara mendadak dan bersifat akut.


2. Ditemukan adanya tanda efusi. Efusi merupakan pengumpulan cairan di telinga
tengah. Efusi dibuktikan dengan adanya salah satu di antara tanda berikut, seperti
menggembungnya membran timpani atau bulging, terbatas atau tidak ada gerakan
pada membran timpani, terdapat bayangan cairan di belakang membran timpani,
dan terdapat cairan yang keluar dari telinga.
3. Terdapat tanda atau gejala peradangan telinga tengah, yang dibuktikan dengan
adanya salah satu di antara tanda berikut, seperti kemerahan atau erythema pada
membran timpani, nyeri telinga atau otalgia yang mengganggu tidur dan aktivitas
normal.

Menurut Rubin et al. (2008), keparahan OMA dibagi kepada dua kategori, yaitu ringan-
sedang, dan berat. Kriteria diagnosis ringan-sedang adalah terdapat cairan di telinga tengah,
mobilitas membran timpani yang menurun, terdapat bayangan cairan di belakang membran
timpani, membengkak pada membran timpani, dan otore yang purulen. Selain itu, juga
terdapat tanda dan gejala inflamasi pada telinga tengah, seperti demam, otalgia, gangguan
pendengaran, tinitus, vertigo dan kemerahan pada membran timpani. Tahap berat meliputi
semua kriteria tersebut, dengan tambahan ditandai dengan demam melebihi 39,0C, dan
disertai dengan otalgia yang bersifat sedang sampai berat.
Perbedaan OMA dan Otitis Media dengan Efusi
OMA dapat dibedakan dari otitis media dengan efusi yang dapat menyerupai OMA.
Efusi telinga tengah (middle ear effusion) merupakan tanda yang ada pada OMA dan otitis
media dengan efusi. Efusi telinga tengah dapat menimbulkan gangguan pendengaran dengan
0-50 decibels hearing loss.
Tabel Perbedaan Gejala dan Tanda Antara OMA dan Otitis Media dengan Efusi

8. Penatalaksanaan
a. Pengobatan

Penatalaksanaan OMA tergantung pada stadium penyakitnya. Pengobatan pada stadium


awal ditujukan untuk mengobati infeksi saluran napas, dengan pemberian antibiotik,
dekongestan lokal atau sistemik, dan antipiretik. Tujuan pengobatan pada otitis media adalah
untuk menghindari komplikasi intrakrania dan ekstrakrania yang mungkin terjadi, mengobati
gejala, memperbaiki fungsi tuba Eustachius, menghindari perforasi membran timpani, dan
memperbaiki sistem imum lokal dan sistemik (Titisari, 2005).
Pada stadium oklusi tuba, pengobatan bertujuan untuk membuka kembali tuba Eustachius
sehingga tekanan negatif di telinga tengah hilang. Diberikan obat tetes hidung HCl efedrin
0,5 % dalam larutan fisiologik untuk anak kurang dari 12 tahun atau HCl efedrin 1 % dalam
larutan fisiologis untuk anak yang berumur atas 12 tahun pada orang dewasa. Sumber infeksi
harus diobati dengan pemberian antibiotik (Djaafar, 2007).
Pada stadium hiperemis dapat diberikan antibiotik, obat tetes hidung dan analgesik.
Dianjurkan pemberian antibiotik golongan penisilin atau eritromisin. Jika terjadi resistensi,
dapat diberikan kombinasi dengan asam klavulanat atau sefalosporin. Untuk terapi awal
diberikan penisilin intramuskular agar konsentrasinya adekuat di dalam darah sehingga tidak
terjadi mastoiditis terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa dan kekambuhan.
Antibiotik diberikan minimal selama 7 hari. Bila pasien alergi tehadap penisilin, diberikan
eritromisin. Pada anak, diberikan ampisilin 50-100 mg/kgBB/hari yang terbagi dalam empat
dosis, amoksisilin atau eritromisin masing-masing 50 mg/kgBB/hari yang terbagi dalam 3
dosis (Djaafar, 2007). Pada stadium supurasi, selain diberikan antibiotik, pasien harus dirujuk
untuk melakukan miringotomi bila membran timpani masih utuh sehingga gejala cepat hilang
dan tidak terjadi ruptur (Djaafar, 2007).
Pada stadium perforasi, sering terlihat sekret banyak keluar, kadang secara berdenyut
atau pulsasi. Diberikan obat cuci telinga (ear toilet) H2O2 3% selama 3 sampai dengan 5 hari
serta antibiotik yang adekuat sampai 3 minggu. Biasanya sekret akan hilang dan perforasi
akan menutup kembali dalam 7 sampai dengan 10 hari (Djaafar, 2007).
Pada stadium resolusi, membran timpani berangsur normal kembali, sekret tidak ada lagi, dan
perforasi menutup. Bila tidak terjadi resolusi biasanya sekret mengalir di liang telinga luar
melalui perforasi di membran timpani. Antibiotik dapat dilanjutkan sampai 3 minggu. Bila
keadaan ini berterusan, mungkin telah terjadi mastoiditis (Djaafar, 2007).
Sekitar 80% kasus OMA sembuh dalam 3 hari tanpa pemberian antibiotik. Observasi
dapat dilakukan. Antibiotik dianjurkan jika gejala tidak membaik dalam dua sampai tiga hari,
atau ada perburukan gejala. Ternyata pemberian antibiotik yang segera dan dosis sesuai dapat
terhindar dari tejadinya komplikasi supuratif seterusnya. Masalah yang muncul adalah risiko
terbentuknya bakteri yang resisten terhadap antibiotik meningkat. Menurut American
Academy of Pediatrics (2004) dalam Kerschner (2007),
mengkategorikan OMA yang dapat diobservasi dan yang harus segera diterapi dengan
antibiotik sebagai berikut:
Tabel Kriteria Terapi Antibiotik dan Observasi pada Anak dengan OMA

Diagnosis pasti OMA harus memiliki tiga kriteria, yaitu bersifat akut, terdapat efusi
telinga tengah, dan terdapat tanda serta gejala inflamasi telinga tengah. Gejala ringan adalah
nyeri telinga ringan dan demam kurang dari 39C dalam 24 jam terakhir. Sedangkan gejala
berat adalah nyeri telinga sedang-berat atau demam 39C. Pilihan observasi selama 48-72
jam hanya dapat dilakukan pada anak usia enam bulan sampai dengan dua tahun, dengan
gejala ringan saat pemeriksaan, atau diagnosis meragukan pada anak di atas dua tahun.
Follow-up dilaksanakan dan pemberian analgesia seperti asetaminofen dan ibuprofen tetap
diberikan pada masa observasi (Kerschner, 2007).
Menurut American Academic of Pediatric (2004), amoksisilin merupakan first-line
terapi dengan pemberian 80mg/kgBB/hari sebagai terapi antibiotik awal selama lima hari.
Amoksisilin efektif terhadap Streptococcus penumoniae. Jika pasien alergi ringan terhadap
amoksisilin, dapat diberikan sefalosporin seperti cefdinir. Second-line terapi seperti
amoksisilin-klavulanat efektif terhadap Haemophilus influenzae dan Moraxella catarrhalis,
termasuk Streptococcus penumoniae (Kerschner, 2007). Pneumococcal 7-valent conjugate
vaccine dapat dianjurkan untuk menurunkan prevalensi otitis media (American Academic of
Pediatric, 2004).
b. Pembedahan

Terdapat beberapa tindakan pembedahan yang dapat menangani OMA rekuren, seperti
miringotomi dengan insersi tuba timpanosintesis, dan adenoidektomi (Buchman, 2003).
1. Miringotomi
Miringotomi ialah tindakan insisi pada pars tensa membran timpani, supaya terjadi
drainase sekret dari telinga tengah ke liang telinga luar. Syaratnya adalah harus dilakukan
secara dapat dilihat langsung, anak harus tenang sehingga membran timpani dapat dilihat
dengan baik. Lokasi miringotomi ialah di kuadran posterior-inferior. Bila terapi yang
diberikan sudah adekuat, miringotomi tidak perlu dilakukan, kecuali jika terdapat pus di
telinga tengah (Djaafar, 2007). Indikasi miringostomi pada anak dengan OMA adalah nyeri
berat, demam, komplikasi OMA seperti paresis nervus fasialis, mastoiditis, labirinitis, dan
infeksi sistem saraf pusat. Miringotomi merupakan terapi third-line pada pasien yang
mengalami kegagalan terhadap dua kali terapi antibiotik pada satu episode OMA. Salah satu
tindakan miringotomi atau timpanosintesis dijalankan terhadap anak OMA yang respon
kurang memuaskan terhadap terapi second-line, untuk menidentifikasi mikroorganisme
melalui kultur (Kerschner, 2007).
2. Timpanisintosis
Menurut Bluestone (1996) dalam Titisari (2005), timpanosintesis merupakan
pungsi pada membran timpani, dengan analgesia lokal supaya mendapatkan sekret untuk
tujuan pemeriksaan. Indikasi timpanosintesis adalah terapi antibiotik tidak memuaskan,
terdapat komplikasi supuratif, pada bayi baru lahir atau pasien yang sistem imun tubuh
rendah. Menurut Buchman (2003), pipa timpanostomi dapat menurun morbiditas OMA
seperti otalgia, efusi telinga tengah, gangguan pendengaran secara signifikan dibanding
dengan plasebo dalam tiga penelitian prospertif, randomized trial yang telah dijalankan.
3. Adeniidektomi
Adenoidektomi efektif dalam menurunkan risiko terjadi otitis media dengan efusi
dan OMA rekuren, pada anak yang pernah menjalankan miringotomi dan insersi tuba
timpanosintesis, tetapi hasil masih tidak memuaskan. Pada anak kecil dengan OMA rekuren
yang tidak pernah didahului dengan insersi tuba, tidak dianjurkan adenoidektomi, kecuali jika
terjadi obstruksi jalan napas dan rinosinusitis rekuren (Kerschner, 2007).
9. Komplikasi
Sebelum adanya antibiotik, OMA dapat menimbulkan komplikasi, mulai dari abses
subperiosteal sampai abses otak dan meningitis. Sekarang semua jenis komplikasi tersebut
biasanya didapat pada otitis media supuratif kronik. Mengikut Shambough (2003) dalam
Djaafar (2005), komplikasi OMA terbagi kepada komplikasi intratemporal (perforasi
membran timpani, mastoiditis akut, paresis nervus fasialis, labirinitis, petrositis),
ekstratemporal (abses subperiosteal), dan intracranial (abses otak, tromboflebitis).
10. Pencegahan
Terdapat beberapa hal yang dapat mencegah terjadinya OMA. Mencegah ISPA pada
bayi dan anak-anak, menangani ISPA dengan pengobatan adekuat, menganjurkan pemberian
ASI minimal enam bulan, menghindarkan pajanan terhadap lingkungan merokok, dan lain-
lain (Kerschner, 2007).
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
Asuhan Keperawatan pada Otitis Media Kronis

3.1 Pengkajian
A. Identitas Pasien
Nama pasien : Ny. K
Umur : 26 Thn
suku/bangsa :
Agama :
pendidikan :
pekerjaan :
Alamat :
B. Status kesehatan saat ini
Keluhan Utama : klien mengeluh nyeri pada telinga.
Pengkajian karakteristik nyeri
Provok (P) : virus/bakteri
Qualitas (Q) : tertusuk - tusuk
Region/lokasi (R) : telinga bagian tengah
Skala (S) :6
Time (T) :stress

C. Riwayat Penyakit Sekarang : klien mengatakan mengeluh nyeri pada telinga bagian
tengah.
D. Riwayat Penyakit Dahulu : klien mengatakan pernah memiliki riwayat faringitis
E. Riwayat penyakit keluarga :

2. Pemeriksaan fisik
TD : 140/90 MmHg
S : 39,1C
N : 73X/menit
RR : 18X/menit

B3 (Brain) : Nyeri telinga, perasaan penuh dan pendengaran menurun, vertigo, pusing,
refleks kejut
B5 (Bowel) : Nausea vomiting

B6 (Bone) : Malaise, alergi

4. Pemeriksaan diagnostik

a. Tes audiometri : pendengaran menurun

b. Xray : terhadap kondisi patologi, misal kolestetoma, kekaburan mastoid

5. Pemeriksaan pendengaran

- Tes suara bisikan, tes garputala

3.2 Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri berhubungan dengan proses peradangan

2. Perubahan persepsi / sensoris berhubungan dengan obstruksi, infeksi di telinga tengah atau
kerusakan di syaraf pendengaran

3. Kurangnya pengetahuan mengenai pengobatan dan pencegahan kekambuhan

3.3 Intervensi dan Rasional

1. Nyeri berhubungan dengan proses peradangan

Tujuan : Nyeri yang dirasakan klien berkurang rasa

Kriteria hasil : Klien mengungkapkan bahwa nyeri berkurang, klien mampu melakukan
metode pengalihan suasana

Intervensi Keperawatan:

1. Kaji tingkat intensitas klien dengan mekanisme koping klien


Rasional:Mengetahui intensitas nyeri dan respon klien terhadap nyeri
2. Ajarkan klien untuk mengalihkan suasana dengan melakukan metode relaksasi saat
nyeri yang teramat sangat muncul, relaksasi seperti menarik napas panjang
Rasional : Metode pengalihan suasana dengan melakukan relaksasi bisa mengurangi
nyeri yang diderita klien.
3. Kompres hangat di sekitar area telinga
Rasional : Kompres Hangat bertujuan mengurangi nyeri karena rasa nyeri teralihkan
oleh rasa panas di sekitar area telinga.
4 . Atur posisi klien
Rasional : Posisi yang sesuai akan membuat klien merasa nyaman
5. Untuk kolaborasi, beri aspirin/analgesik sesuai instruksi, beri sedatif sesuai indikasi
Rasional : Analgesik merupakan pereda nyeri yang efektif pada pasien untuk
mengurangi sensasi nyeri dari dalam

2. Perubahan persepsi / sensoris berhubungan dengan obstruksi, infeksi di telinga tengah atau
kerusakan di syaraf pendengaran

Tujuan : Persepsi / sensoris baik

Kriteria hasil : Klien akan mengalami peningkatan persepsi / sensoris pendengaran sampai
pada tingkat fungsional

Intervensi keperawatan :

1. Ajarkan klien menggunakan dan merawat alat pendengaran secara tepat

Rasional : Keefektifan alat pendengaran tergantung pada tipe gangguan / ketulian, pemakaian
serta perawatannya yang tepat.

2. Instruksikan klien untuk menggunakan teknik-teknik yang aman sehingga dapat


mencegah terjadinya ketulian lebih jauh

Rasional : Apabila penyebab pokok ketulian tidak progresif, maka pendengaran yang tersisa
sensitif terhadap trauma dan infeksi sehingga harus dilindungi

3. Observasi tanda-tanda awal kehilangan pendengaran yang lanjut

Rasional : Diagnosa dini terhadap keadaan telinga atau terhadap masalah-masalah


pendengaran rusak secara permanen
4. Instruksikan klien untuk menghabiskan seluruh dosis antibiotik ( baik itu antibiotik
sistemik maupun lokal )

Rasional : Penghentian terapi antibiotika sebelum waktunya dapat menyebabkan organisme


sisa berkembang biak sehingga infeksi akan berlanjut

3. Kurangnya pengetahuan mengenai pengobatan dan pencegahan kekambuhan

Tujuan : Klien akan mempunyai pemahaman yang baik tentang pengobatan dan cara
pencegahan kekambuhan.

Kriteria hasil : Klien paham mengenai pengobatan dan pencegahan kekambuhan

Intervensi keperawatan :

1. Ajarkan klien mengganti balutan dan menggunakan antibiotik secara kontinyu sesuai
aturan.

Rasional : pendidikan kesehatan tenyang cara mengganti balutan dapat meningkatkan


pemahaman klien sehingga dapat berpartisipasi dalam pencegahan kekambuhan.

2. Beritahu komplikasi yang mungkin timbul dan bagaimana cara melaporkannya

Rasional : pemahaman tentang komplikasi yang dapat terjadi pada klien dapat membantu
klien dan keluarga untuk melaporkan ke tenaga kesehatan sehingga dapat dengan cepat
ditangani.

3. Tekankan hal-hal yang penting yang perlu ditindak lanjuti / evaluasi pendengaran.

Rasional : follow up sangat penting dilakukan oleh anak karena dapat mengetahui
perkembangan penyakit dan mencegah terjadinya kekambuhan.
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Dalam kasus ini , pada awalnya pasien mengalami infeksi saluran pernapasan atas
(ISPA) dan tonsilitis. Akan tetapi, karena adanya perluasan infeksi di daerah auries media,
maka pasien akan mengalami otitis meda akut. Otitis media akut yang tidak diobati secara
tuntas dapat berlanjut menjadi Otitis media Kronik yang ditandai denagn adanya perforasi
pada membran tympani.

4.2 Saran

Hendaknya dilakukan uji kultur pada pasien untuk mengetahui jenis bakteri yang
menginfeksi dan untuk pemberian antibiotik yang tepat.
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito,Lynda Juall.2006.Buku Saku Diagnosis Keperawatan.Edisi 10.EGC:Jakarta

George L, Adams.1997.Buku Ajar Penyakit THT.Edisi 6.EGC:Jakarta

Abidin, Taufik.2009.Otitis Media Akut.http:/library.usu.ac.id(10 September 2009)

Rothrock, C.J.(2000).Perencanaan Asuhan Keperawatan.Edisi 10. EGC:Jakarta

You might also like