Professional Documents
Culture Documents
RHINOSINUSITIS KRONIS
Disusun Oleh :
Reny Selvia S.Ked
Andhika Wicaksana Saputra S.Ked
Pembimbing
dr. Cut Elvira Sp, THT-KL
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul Rhinosinusitis Kronis.
Referat ini diajukan sebagai persyaratan untuk mengikuti KKS pada ilmu kesehaan
THT-KL di RSUD Langsa.
Selain itu saya juga mengucapkan Terima kasih kepada dr,Cut Elvira, Sp. THT-
KL dan segenap staff bagian THT-KL RSUD Siak atas bimbingan dan pertolongannya
selama menjalani kepanitraan klinik bagian THT-KL dan dapat menyelesaikan
penulisan dan pembahasan referat ini.
Dalam penulisan ini, penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari
kesempurnaan, penulis mohon maaf atas segala kesalahan, sehingga kritik dan saran
dari pembaca yang bersifat membangun sangat dibutuhkan untuk kesempurnaan
penulisan referat berikutnya.
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar 2
Daftar Isi 3
BAB I : Pendahuluan 4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3,4,5,6
1. ANATOMI DAN FISIOLOGI
Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal,
sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil
pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam
tulang. Semua sinus mempunyai muara ke rongga hidung. Secara embriologik,
sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan
perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid
dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat anak
lahir, sedangkan sinus frontal berkembang dari dari sinus etmoid anterior
pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid
dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga
hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksila 15-18 tahun. Pada
orang sehat, sinus terutama berisi udara. Seluruh sinus dilapisi oleh epitel
saluran pernapasan yang mengalami modifikasi, dan mampu menghasilkan
mukus dan bersilia, sekret disalurkan ke dalam rongga hidung.
Gambar 1 : Anatomi sinus paranasal
https://paranasalsinuses.files.wordpress.com/
Sinus Maksila
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus
maksila bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan
akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa.
Sinus maksila berbentuk segitiga. Dinding anterior sinus ialah
permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya
adalah permukaan infra temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding
lateral rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar orbita dan dinding
inferior ialah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada
di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris
melalui infindibulum etmoid. Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari
anatomi sinus maksila adalah:
a) Dasar dari anatomi sinus maksila sangat berdekatan dengan akar
gigi rahang atas, yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2),
kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar M3, bahkan akar-
akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi
gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis.
b) Sinusitis maksila dapat menyebabkan komplikasi orbita.
c) Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga
drainase kurang baik, lagipula drainase juga harus melalui
infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus
etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada
daerah ini dapat menghalangi drenase sinus maksila dan selanjutnya
menyebabkan sinusitus.
Sinus Frontal
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan
ke empat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum
etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan
akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun.
Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar
dari pada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah.
Kurang lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan
kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak berkembang.
Ukurannya sinus frontal adalah 2.8 cm tingginya, lebarnya 2.4 cm dan
dalamnya 2 cm. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berleku-
lekuk. Tidak adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus
pada foto Rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal
dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri
anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini.
Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal.
Resesus frontal adalah bagian dari sinus etmoid anterior.
Sinus Etmoid
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan
akhir-akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus
infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus etomid
seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari
anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2.4 cmn dan lebarnya 0.5 cm di bagian
anterior dan 1.5 cm di bagian posterior.
Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai
sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang
terletak di antara konka media dan dinding medial orbita, karenanya sering kali
disebut sebagai sel-sel etmoid. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi antara 4-17
sel (rata-rata 9 sel). Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus
etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior
yang bermuara di meatus superior. Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya kecil-
kecil dan banyak, letaknya di bawah perlekatan konka media, sedangkan sel-sel
sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya
dan terletak di postero-superior dari perlekatan konka media.
Di bagian terdepan sinus etmoid enterior ada bagian yang sempit,
disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid
yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu
penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus
maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat
menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat
menyebabkan sisnusitis maksila. Atap sinus etmoid yang disebut fovea
etmoidalis berbatasan dengan lamina kribosa. Dinding lateral sinus adalah
lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga
orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus
sfenoid.
Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid
posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum
intersfenoid. Ukurannya adalah tinggi 2 cm , dalamnya 2.3 cm dan lebarnya
1.7 cm. Volumenya bervariasi dari 5-7.5 ml. Saat sinus berkembang,
pembuluh darah dan nervus di bagian lateral os sfenoid akan menjadi
sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada
dinding sinus etmoid.
Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa serebri media
dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral
berbatasan dengan sinus kavernosus dan a.karotis interna (sering tampak
sebagai indentasi) dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri
posterior di daerah pons.
Kompleks Ostio-Meatal
Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius, ada
muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid
anterior. Daerah ini rumit dan sempit dan dinamakan kompleks ostio-meatal
(KOM), terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang
prosesus unsinatus, resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior
dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila.
Gambar 2 : Anatomi kompleks ostio-meatal
2. DEFINISI RHINOSINUSITIS
3. EPIDEMIOLOGI 2,7
Rinosinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan, dengan
dampak signifikan pada kualitas hidup dan pengeluaran biaya kesehatan,
dan dampak ekonomi pada mereka yang produktivitas kerjanya menurun.
Diperkirakan setiap tahun 6 miliar dolar dihabiskan di Amerika Serikat untuk
pengobatan rhinosinusitis. Pada tahun 2007 di Amerika Serikat, dilaporkan
bahwa angka kejadian rhinosinusitis mencapai 26 juta individu. Di
Indonesia sendiri, data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa
penyakit hidung dan sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit
peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit.
Yang paling sering ditemukan adalah sinusitis maksila dan sinusitis
ethmoid, sedangkan sinusitis frontal dan sinusitis sfenoid lebih jarang
ditemukan. Pada anak hanya sinus maxilla dan sinus etmoid yang
berkembang sedangkan sinus frontal dan sinus sphenoid mulai berkembang
pada anak berusia kurang lebih 8 tahun. Sinusitis pada anak lebih banyak
ditemukan karena anak-anak mengalami infeksi saluran nafas atas 6 8
kali per tahun dan diperkirakan 5% 10% infeksi saluran nafas atas akan
menimbulkan sinusitis.
5. KLASIFIKASI
Beratnya penyakit
Penyakit ini dapat dibagi menjadi RINGAN, SEDANG dan BERAT berdasarkan skor
total visual analogue scale
(VAS) (0-10 cm):
- RINGAN = VAS 0-3
- SEDANG = VAS > 3-7
- BERAT = VAS > 7-10
Untuk evaluasi nilai total, pasien diminta untuk menilai pada suatu VAS jawaban dari
pertanyaan:
Nilai VAS > 5 mempengaruhi kualitas hidup pasien
6. ETIOLOGI 1,8
Berbagai faktor infeksius dan nonifeksius dapat memberikan kontribusi
dalam terjadinya obstruksi akut ostium sinus atau gangguan pengeluaran cairan oleh
silia, yang akhirnya menyebabkan sinusitis. Penyebab nonifeksius antara lain adalah
rinitis alergika, barotrauma, atau iritan kimia.
Infeksi sinusitis akut dapat disebabkan berbagai organisme, termasuk virus,
bakteri, dan jamur. Virus yang sering ditemukan adalah rhinovirus, virus
parainfluenza, dan virus influenza. Bakteri yang sering menyebabkan sinusitis adalah
Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, dan Moraxella catarralis.
Bakteri anaerob juga terkadang ditemukan sebagai penyebab sinusitis maksilaris,
terkait dengan infeksi pada gigi premolar. Sedangkan jamur juga ditemukan sebagai
penyebab sinusitis pada pasien dengan gangguan sistem imun, yang menunjukkan
infeksi invasif yang mengancam jiwa. Jamur yang menyebabkan infeksi antara lain
adalah dari spesies Rhizopus, Rhizomucor, Mucor, Absidia, Cunninghamella,
Aspergillus, dan Fusarium.
7. PATOGENESIS 1,3,8
Dalam keadaan fisiologis, sinus adalah steril. Sinusitis dapat terjadi bila klirens
silier sekret sinus berkurang atau ostium sinus menjadi tersumbat, yang menyebabkan
retensi sekret, tekanan sinus negatif, dan berkurangnya tekanan parsial oksigen.
Lingkungan ini cocok untuk pertumbuhan organisme patogen. Apabila terjadi infeksi
karena virus, bakteri ataupun jamur pada sinus yang berisi sekret ini, maka terjadilah
sinusitis.
Pada dasarnya patofisiologi dari sinusitis dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu
obstruksi drainase sinus (sinus ostium), kerusakan pada silia, serta kuantitas dan
kualitas mukosa. Sebagian besar episode sinusitis disebabkan oleh infeksi virus. Virus
tersebut sebagian besar menginfeksi saluran pernapasan atas seperti Rhinovirus,
Influenza A dan B, Parainfluenza, Respiratory syncytial virus, Adenovirus dan
Enterovirus. Sekitar 90 % pasien yang mengalami ISPA memberikan bukti gambaran
radiologis yang melibatkan sinus paranasal.
Infeksi virus akan menyebabkan terjadinya edema pada dinding hidung
dan sinus sehingga menyebabkan terjadinya penyempitan atau obstruksi pada ostium
sinus, dan berpengaruh pada mekanisme drainase dalam sinus. Selain itu inflamasi,
polip, tumor, trauma, juga menyebabkan menurunya patensi ostium sinus. Virus yang
menginfeksi tersebut dapat memproduksi enzim dan neuraminidase yang
mengendurkan mukosa sinus dan mempercepat difusi virus pada lapisan mukosilia.
Hal ini menyebabkan silia menjadi kurang aktif dan sekret yang diproduksi sinus
menjadi lebih kental, yang merupakan media yang sangat baik untuk berkembangnya
bakteri patogen.
Silia yang kurang aktif fungsinya tersebut terganggu oleh terjadinya akumulasi
cairan pada sinus. Terganggunya fungsi silia tersebut dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti kehilangan lapisan epitel bersilia, udara dingin, aliran udara
yang cepat, virus, bakteri, mediator inflamasi, kontak antara dua permukaan mukosa,
parut, atau primary cilliary dyskinesia (Sindrom Kartagener).
Adanya bakteri dan lapisan mukosilia yang abnormal meningkatkan
kemungkinan terjadinya reinfeksi atau reinokulasi dari virus. Konsumsi
oksigen oleh bakteri akan menyebabkan keadaan hipoksia di dalam sinus
dan akan memberikan media yang menguntungkan untuk berkembangnya bakteri
anaerob. Penurunan jumlah oksigen juga akan mempengaruhi pergerakan silia dan
aktivitas leukosit. Sinusitis kronis dapat disebabkan oleh fungsi lapisan mukosilia
yang tidak adekuat, obstruksi sehingga drainase sekret terganggu, dan terdapatnya
beberapa bakteri patogen.
Antrum maksila mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan akar gigi pre
molar dan molar atas. Hubungan ini dapat menimbulkan problem klinis seperti infeksi
yang berasal dari gigi dan fistula oroantral dapat naik ke atas dan menimbulkan
infeksi sinus. Sinusitis maksila diawali dengan sumbatan ostium sinus akibat proses
inflamasi pada mukosa rongga hidung. Proses inflamasi ini akan menyebabkan
gangguan drainase sinus.
Keterlibatan antrum unilateral seringkali merupakan indikasi dari keterlibatan
gigi sebagai penyebab. Bila hal ini terjadi maka organisme yang bertanggung jawab
kemungkinan adalah jenis gram negatif yang merupakan organisme yang lebih
banyak didapatkan pada infeksi gigi daripada bakteri gram positif yang merupakan
bakteri khas pada sinus.Penyakit gigi seperti abses apikal, atau periodontal dapat
menimbulkan gambaran histologi yang didominasi oleh bakteri gram negatif,
karenanya menimbulkan bau busuk.
Pada sinusitis yang dentogennya terkumpul kental akan memperberat atau
mengganggu drainase terlebih bila meatus medius tertutup oleh oedem atau pus atau
kelainan anatomi lain seperti deviasi, dan hipertropi konka. Akar gigi premolar
kedua dan molar pertama berhubungan dekat dengan lantai dari sinus maksila dan
pada sebagian individu berhubungan langsung dengan mukosa sinus maksila.
Sehingga penyebaran bakteri langsung dari akar gigi ke sinus dapat terjadi
9. DIAGNOSIS 1,3,8
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
Anamnesis
Anamnesis yang cermat dan teliti sangat diperlukan terutama dalam menilai gejala-
gejala yang ada pada kriteria diatas, mengingat patofisiologi rinosinusitis kronik yang
kompleks. Adanya penyebab infeksi baik bakteri maupun virus, adanya latar belakang alergi
atau kemungkinan kelainan anatomis rongga hidung dapat dipertimbangkan dari riwayat
penyakit yang lengkap.18 Informasi lain yang perlu berkaitan dengan keluhan yang dialami
penderita mencakup durasi keluhan, lokasi, faktor yang memperingan atau memperberat
serta riwayat pengobatan yang sudah dilakukan.2 Beberapa keluhan/gejala yang dapat
diperoleh melalui anamnesis dapat dilihat pada tabel 1 pada bagian depan. Menurut EP3OS
2007, keluhan subyektif yang dapat menjadi dasar rinosinusitis kronik adalah:
1) Obstruksi nasal
Keluhan buntu hidung pasien biasanya bervariasi dari obstruksi aliran udara
mekanis sampai dengan sensasi terasa penuh daerah hidung dan sekitarnya
3) Abnormalitas penciuman
Fluktuasi penciuman berhubungan dengan rinosinusitis kronik yang mungkin
disebabkan karena obstruksi mukosa fisura olfaktorius dengan / tanpa alterasi
degeneratif pada mukosa olfaktorius
Selain untuk mendapatkan riwayat penyakit, anamnesis juga dapat digunakan untuk
menentukan berat ringannya keluhan yang dialami penderita. Ini berguna bagi penilaian
kualitas hidup penderita. Ada beberapa metode/test yang dapat digunakan untuk menilai
tingkat keparahan penyakit yang dialami penderita, namun lebih sering digunakan bagi
kepentingan penelitian, antara lain dengan SNOT-20 (sinonasal outcome test), CSS (chronic
sinusitis survey) dan RSOM-31 (rhinosinusitis outcome measure)1,2,11
Pemeriksaan Fisik
Rinoskopi anterior dengan cahaya lampu kepala yang adekuat dan kondisi rongga
hidung yang lapang (sudah diberi topikal dekongestan sebelumnya)1,2,18 Dengan
rinoskopi anterior dapat dilihat kelainan rongga hidung yang berkaitan dengan
rinosinusitis kronik seperti udem konka, hiperemi, sekret (nasal drip), krusta, deviasi
septum, tumor atau polip.18
Rinoskopi posterior bila diperlukan untuk melihat patologi di belakang rongga
hidung.18
Pemeriksaan Penunjang
9,10,11
11. TATALAKSANA
Tujuan utama penatalaksanaan sinusitis adalah:
Mempercepat penyembuhan
Mencegah komplikasi
Mencegah perubahan menjadi kronik.
Sinusitis akut dapat diterapi dengan pengobatan (medikamentosa) dan
pembedahan (operasi). Penatalaksanaan yang dapat diberikan pada pasien sinusitis
akut, yaitu:
Antibiotik. Berikan golongan penisilin selama 10-14 hari meskipun gejala
klinik sinusitis akut telah hilang.
Dekongestan lokal. Berupa obat tetes hidung untuk memperlancar
drainase hidung.
Analgetik. Untuk menghilangkan rasa sakit.
Irigasi Antrum. Indikasinya adalah apabila terapi diatas gagal dan ostium
sinus sedemikian edematosa sehingga terbentuk abses sejati. Irigasi antrum maksilaris
dilakukan dengan mengalirkan larutan salin hangat melalui fossa incisivus ke dalam
antrum maksilaris. Cairan ini kemudian akan mendorong pus untuk keluar melalui
ostium normal.
Menghilangkan faktor predisposisi dan kausanya jika diakibatkan oleh
gigi.
Diatermi gelombang pendek selama 10 hari dapat membantu
penyembuhan sinusitis dengan memperbaiki vaskularisasi sinus.
a. Antibiotik
Antibiotik merupakan kunci dalam penatalaksanaan sinusitis supuratif
akut. Amoksisilin merupakan pilihan tepat untuk kuman gram positif dan negatif.
Vankomisin untuk kuman S. pneumoniae yang resisten terhadap amoksisilin.
Pilihan terapi lini pertama yang lain adalah kombinasi eritromisin dan
dulfonamide atau cephalexin dan sulfonamide.
Terapi antibiotik harus diteruskan minimum 1 minggu setelah gejala terkontrol.
Karena banyaknya distribusi ke sinus-sinus yang terlibat, perlu mempertahankan
kadar antibiotika yang adekuat bila tidak, mungkin terjadi sinusitis supuratif kronik.
Tindakan lain yang dapat dilakukan untuk membantu memperbaiki drainase
dan pembersihan sekret dari sinus. Untuk sinusitis maxilaris dilakukan pungsi dan
irigasi sinus, sedangkan untuk sinusitis ethmoidalis frontalis dan sinusitis sfenoidalis
dilakukan tindakan pencucian Proetz. Irigasi dan pencucian dilakukan 2 kali dalam
Rhinosinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena alergi
atau infeksi virus, bakteri maupun jamur. Terdapat 4 sinus disekitar hidung yaitu sinus
maksilaris, sinus ethmoidalis, sinus frontalis dan sinus sphenoidalis.Penyebab utama
sinusitis adalah infeksi virus, diikuti oleh infeksi bakteri. Secara epidemiologi
yang paling sering terkena adalah sinus ethmoid dan maksilaris. Gejala umum
rhinosinusitis yaitu hidung tersumbat diserai dengan nyeri/rasa tekanan pada muka
dan ingus purulent, yang seringkali turun ke tenggorol (post nasal drip).
Klasifikasi dari sinusitis berdasarkan klinis yaitu sinusitis akut, subakut dan
kronik, sedangkan klasifikasi menurut penyebabnya adalah sinusitis rhinogenik dan
dentogenik. Bahaya dari sinusitis adalah komplikasinya ke orbita dan intrakranial.
Tatalaksana berupa terapi antibiotik diberikan pada awalnya dan jika telah terjadi
hipertrofi, mukosa polipoid dan atau terbentuknya polip atau kista maka dibutuhkan
tindakan operasi. Tatalaksana yang adekuat dan pengetahuan dini mengenai
sinusitis dapat memberikan prognosis yang baik.