You are on page 1of 30

REFERAT

RHINOSINUSITIS KRONIS

Tugas ini dibuat untuk Melengkapi Persyaratan Mengikuti


Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu THT
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Langsa

Disusun Oleh :
Reny Selvia S.Ked
Andhika Wicaksana Saputra S.Ked

Pembimbing
dr. Cut Elvira Sp, THT-KL

SMF ILMU THT-KL


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM SUMATERA UTARA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA LANGSA
2017

KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul Rhinosinusitis Kronis.
Referat ini diajukan sebagai persyaratan untuk mengikuti KKS pada ilmu kesehaan
THT-KL di RSUD Langsa.

Selain itu saya juga mengucapkan Terima kasih kepada dr,Cut Elvira, Sp. THT-
KL dan segenap staff bagian THT-KL RSUD Siak atas bimbingan dan pertolongannya
selama menjalani kepanitraan klinik bagian THT-KL dan dapat menyelesaikan
penulisan dan pembahasan referat ini.

Dalam penulisan ini, penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari
kesempurnaan, penulis mohon maaf atas segala kesalahan, sehingga kritik dan saran
dari pembaca yang bersifat membangun sangat dibutuhkan untuk kesempurnaan
penulisan referat berikutnya.

Langsa 7 agustus 2017

Penulis

DAFTAR ISI

Kata Pengantar 2
Daftar Isi 3

BAB I : Pendahuluan 4

BAB II : Tinjauan Pustaka 5

1. ANATOMI DAN FISIOLOGI 5


2. DEFINISI 10
3. EPIDEMIOLOGI 10
4. FAKTOR RISIKO 11
5. KLASIFIKASI 11
6. ETIOLOGI 11
7. PATOGENESIS 12
8. MANIFESTASI KLINIS 14
9. KLASIFIKASI 15
10. DIAGNOSIS 15
11. DIAGNOSIS BANDING 18
12. PEMERIKSAAN PENUNJANG 18
13. TATALAKSANA 20
14. KOMPLIKASI 24
15. PROGNOSIS 25
BAB III : Kesimpulan 26

BAB IV : Daftar Pustaka 27


BAB I
PENDAHULUAN

Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya


disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut rhinosinusitis. Penyebab
utamanya ialah selesma (common cold) yang merupakan infeksi virus, yang selanjutnya
dapat diikuti oleh infeksi bakteri. 1
Rhinosinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan, dengan dampak
signifikan pada kualitas hidup dan pengeluaran biaya kesehatan, dan dampak
ekonomi pada mereka yang produktivitas kerjanya menurun. Diperkirakan setiap
tahun 6 miliar dolar dihabiskan di Amerika Serikat untuk pengobatan rhinosinusitis.
Pada tahun 2007 di Amerika Serikat, dilaporkan bahwa angka kejadian rhinosinusitis
mencapai 26 juta individu. Di Indonesia sendiri, data dari DEPKES RI tahun
2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus berada pada urutan ke-25
dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan
di rumah sakit. 2
Di Indonesia, di mana penyakit infeksi saluran napas akut masih merupakan
penyakit utama di masyarakat, angka kejadiannya belum jelas dan belum banyak
dilaporkan. Insiden kasus baru rinosinusitis pada penderita dewasa yang berkunjung di
Divisi Rinologi Departemen THT RS Cipto Mangunkusumo, selama JanuariAgustus
2005 adalah 435 pasien. Di Makassar sendiri, terutama di rumah sakit pendidikan
selama tahun 20032007, terdapat 41,5% penderita rinosinusitis dari seluruh kasus
rawat inap di Bagian THT.7,8 Menurut Task Force yang dibentuk oleh the American
Academy of Otolaryngic Allergy (AAOA), dan American Rhinologic Sosiety (ARS),
gejala klinik pada orang dewasa dapat digolongkan menjadi gejala mayor dan minor.
Rinosinusitis kronik dapat ditegakkan berdasarkan adanya mayor atau lebih, atau satu
gejala mayor ditambah dua gejala minor.
Yang paling sering ditemukan adalah sinusitis maxilla dan sinusitis
ethmoid, sedangkan sinusitis frontal dan sinusitis sphenoid lebih jarang ditemukan.
Pada anak hanya sinus maxilla dan sinus ethmoid yang berkembang sedangkan
sinus frontal dan sinus sphenoid mulai berkembang pada anak berusia kurang lebih 8
tahun. Sinusitis pada anak lebih banyak ditemukan karena anak-anak mengalami
infeksi saluran nafas atas 6 8 kali per tahun dan diperkirakan 5% 10% infeksi
saluran nafas atas akan menimbulkan sinusitis. 1, 2
Ada begitu banyak pemeriksaan untuk mendiagnosis sinusitis. Anamnesis dan
pemeriksaan fisik sudah dapat mencurigai adanya sinusitis, tapi untuk memberikan
diagnosis yang lebih dini, maka diperlukan pemeriksaan radiologis. Pemeriskaan
radiologis dari sinusitis maksilaris sering menggunakan foto waters. 3
Kejadian rhinosinusitis mungkin akan terus meningkat prevalensinya.
Rhinosinusitis dapat mengakibatkan gangguan kualitas hidup yang berat, sehingga
penting bagi dokter umum atau dokter spesialis lain untuk memiliki pengetahuan
yang baik mengenai definisi, gejala, metode diagnosis dan penatalaksanaan dari
penyakit ini. 2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3,4,5,6
1. ANATOMI DAN FISIOLOGI
Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal,
sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil
pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam
tulang. Semua sinus mempunyai muara ke rongga hidung. Secara embriologik,
sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan
perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid
dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat anak
lahir, sedangkan sinus frontal berkembang dari dari sinus etmoid anterior
pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid
dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga
hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksila 15-18 tahun. Pada
orang sehat, sinus terutama berisi udara. Seluruh sinus dilapisi oleh epitel
saluran pernapasan yang mengalami modifikasi, dan mampu menghasilkan
mukus dan bersilia, sekret disalurkan ke dalam rongga hidung.
Gambar 1 : Anatomi sinus paranasal

https://paranasalsinuses.files.wordpress.com/
Sinus Maksila
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus
maksila bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan
akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa.
Sinus maksila berbentuk segitiga. Dinding anterior sinus ialah
permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya
adalah permukaan infra temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding
lateral rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar orbita dan dinding
inferior ialah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada
di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris
melalui infindibulum etmoid. Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari
anatomi sinus maksila adalah:
a) Dasar dari anatomi sinus maksila sangat berdekatan dengan akar
gigi rahang atas, yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2),
kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar M3, bahkan akar-
akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi
gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis.
b) Sinusitis maksila dapat menyebabkan komplikasi orbita.
c) Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga
drainase kurang baik, lagipula drainase juga harus melalui
infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus
etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada
daerah ini dapat menghalangi drenase sinus maksila dan selanjutnya
menyebabkan sinusitus.
Sinus Frontal
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan
ke empat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum
etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan
akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun.
Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar
dari pada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah.
Kurang lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan
kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak berkembang.
Ukurannya sinus frontal adalah 2.8 cm tingginya, lebarnya 2.4 cm dan
dalamnya 2 cm. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berleku-
lekuk. Tidak adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus
pada foto Rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal
dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri
anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini.
Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal.
Resesus frontal adalah bagian dari sinus etmoid anterior.
Sinus Etmoid
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan
akhir-akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus
infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus etomid
seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari
anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2.4 cmn dan lebarnya 0.5 cm di bagian
anterior dan 1.5 cm di bagian posterior.
Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai
sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang
terletak di antara konka media dan dinding medial orbita, karenanya sering kali
disebut sebagai sel-sel etmoid. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi antara 4-17
sel (rata-rata 9 sel). Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus
etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior
yang bermuara di meatus superior. Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya kecil-
kecil dan banyak, letaknya di bawah perlekatan konka media, sedangkan sel-sel
sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya
dan terletak di postero-superior dari perlekatan konka media.
Di bagian terdepan sinus etmoid enterior ada bagian yang sempit,
disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid
yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu
penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus
maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat
menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat
menyebabkan sisnusitis maksila. Atap sinus etmoid yang disebut fovea
etmoidalis berbatasan dengan lamina kribosa. Dinding lateral sinus adalah
lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga
orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus
sfenoid.

Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid
posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum
intersfenoid. Ukurannya adalah tinggi 2 cm , dalamnya 2.3 cm dan lebarnya
1.7 cm. Volumenya bervariasi dari 5-7.5 ml. Saat sinus berkembang,
pembuluh darah dan nervus di bagian lateral os sfenoid akan menjadi
sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada
dinding sinus etmoid.
Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa serebri media
dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral
berbatasan dengan sinus kavernosus dan a.karotis interna (sering tampak
sebagai indentasi) dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri
posterior di daerah pons.
Kompleks Ostio-Meatal
Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius, ada
muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid
anterior. Daerah ini rumit dan sempit dan dinamakan kompleks ostio-meatal
(KOM), terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang
prosesus unsinatus, resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior
dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila.
Gambar 2 : Anatomi kompleks ostio-meatal

Sampai saat ini belum ada kesesuaian pendapat mengenai fisiologi


sinus paranasal. Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal ini tidak
mempunyai fungsi apa-apa, karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan
tulang muka. Namun ada beberapa pendapat yang dicetuskan mengenail
fungsi sinus paranasal yakni :
a) Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan
mengatur kelembaban udara inspirasi.Keberatan terhadap teori ini
ialah karena ternyata tidak didapati pertukaran udara yang definitive
antara sinus dan rongga hidung.Lagipula mukosa sinus tidak
mempunyai vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak mukosa hidung.
b) Sebagai penahan suhu (thermal insulators)
Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi
orbita dan fossa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah.
c) Membantu keseimbangan kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat
tulang muka. Akan tetapi, bila udara dalam sinus diganti dengan
tulang, hanya akan memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari
berat kepala, sehingga teori dianggap tidak bermakna.
d) Membantu resonansi suara
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan
mempengaruhi kualitas suara.Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi
sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai
resonator yang efektif.Lagipula tidak ada korelasi antara resonansi
suara dan besarnya sinus pada hewan-hewan tingkat rendah.
e) Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan
mendadak misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus
f) Membantu produksi mukus
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil
dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk
membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi
karena mukus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis.

2. DEFINISI RHINOSINUSITIS

Rinosinusitis adalah penyakit peradangan mukosa yang melapisi hidung dan


sinus paranasalis (Dorland, 2002). Rinosinusitis adalah istilah yang lebih tepat karena
sinusitis jarang tanpa didahului rinitis dan tanpa melibatkan inflamasi mukosa hidung,
Inflamasi sering bermula akibat infeksi virus, yang karena keadaan tertentu
berkembang menjadi infeksi bakterial dengan penyebab bakteri pathogen yang terdapat
di saluran napas bagian atas. Penyebab lain adalah infeksi jamur, infeksi gigi, dan dapat
pula terjadi akibat fraktur dan tumor.. Penyebab utamanya ialah selesma (common
cold) yang merupakan infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri.
Sinusitis dikarakteristikkan sebagai suatu peradangan pada sinus paranasal. Sinusitis
diberi nama sesuai dengan sinus yang terkena. Bila mengenai beberapa sinus disebut
multisinusitis. Bila mengenai semua sinus paranasalis disebut pansinusitis. Disekitar
rongga hidung terdapat empat sinus yaitu sinus maksilaris (terletak di pipi), sinus
etmoidalis (kedua mata), sinus frontalis (terletak di dahi) dan sinus sfenoidalis (terletak
di belakang dahi).1,2
Dari 5 guidelines yakni European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal
Polyps 2007 (EP3OS), British Society for Allergy and Clinical Immunology (BSACI)
Rhinosinusitis Initiative (RI), Joint Task Force on Practice Parameters (JTFPP), dan
Clinical Practice Guidelines : Adult Sinusitis (CPG:AS), 4 diantaranya sepakat untuk
mengadopsi istilah rinosinusitis sebagai pengganti sinusitis, sementara 1 pedoman
yakni JTFFP, memilih untuk tidak menggunakan istilah tersebut. Istilah rinosinusitis
dipertimbangkan lebih tepat untuk digunakan mengingat konka nasalis media terletak
meluas secara langsung hingga ke dalam sinus ethmoid, dan efek dari konka nasalis
media dapat terlihat pula pada sinus ethmmoid anterior. Secara klinis, inflamasi sinus
(yakni, sinusitis) jarang terjadi tanpa diiringi inflamasi dari mukosa nasal di dekatnya.
Namun, para ahli yang mengadopsi istilah rinosinusitis tetap mengakui bahwa istilah
rinosinusitis maupun sinusitis sebaiknya digunakan secara bergantian, mengingat
istilah rinosinusitis baru saja digunakan secara umum dalam beberapa dekade
terakhir.10

3. EPIDEMIOLOGI 2,7
Rinosinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan, dengan
dampak signifikan pada kualitas hidup dan pengeluaran biaya kesehatan,
dan dampak ekonomi pada mereka yang produktivitas kerjanya menurun.
Diperkirakan setiap tahun 6 miliar dolar dihabiskan di Amerika Serikat untuk
pengobatan rhinosinusitis. Pada tahun 2007 di Amerika Serikat, dilaporkan
bahwa angka kejadian rhinosinusitis mencapai 26 juta individu. Di
Indonesia sendiri, data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa
penyakit hidung dan sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit
peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit.
Yang paling sering ditemukan adalah sinusitis maksila dan sinusitis
ethmoid, sedangkan sinusitis frontal dan sinusitis sfenoid lebih jarang
ditemukan. Pada anak hanya sinus maxilla dan sinus etmoid yang
berkembang sedangkan sinus frontal dan sinus sphenoid mulai berkembang
pada anak berusia kurang lebih 8 tahun. Sinusitis pada anak lebih banyak
ditemukan karena anak-anak mengalami infeksi saluran nafas atas 6 8
kali per tahun dan diperkirakan 5% 10% infeksi saluran nafas atas akan
menimbulkan sinusitis.

4. FAKTOR RISIKO 1,3,8


Beberapa faktor predisposisi terjadinya sinusitis antara lain ISPA akibat
virus, bermacam rinitis terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita
hamil, polip hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi
konka, sumbatan kompleks ostio-meatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi,
kelainan imunologik, diskinesia silia seperti pada sindrom Kartagener, dan
di luar negeri adalah penyakit fibrosis kistik.
Faktor predisposisi yang paling lazim adalah polip nasal yang timbul
pada rinitis alergika; polip dapat memenuhi rongga hidung dan menyumbat
sinus. Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab
sinusitis sehingga perlu dilakukan adenoidektomi untuk menghilangkan
sumbatan dan menyembuhkan rhinosinusitisnya. Hipertrofi adenoid dapat
didiagnosis dengan foto polos leher posisi lateral.
Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara
dingin dan kering serta kebiasaan merokok. Keadaaan ini lama-lama
menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia.

5. KLASIFIKASI

Terdapat banyak subklasifikasi dari rinosinusitis, namun yang paling sederhana


adalah pembagian rinosinusitis berdasarkan durasi dari gejala. Rinosinusitis
didefinisikan akut menurut 3 guidelines (pedoman) yakni oleh RI, JTFPP, dan oleh
CPG:AS yakni apabila durasi gejala berlangsung selama 4 minggu atau kurang. Oleh
CPG:AS rinosinusitis diklasifikasikan sebagai subakut apabila gejala berlangsung
antara 4 minggu hingga 12 minggu, sedangkan definisi dari JTFPP menentukan durasi
subakut mulai dari 4 minggu hingga 8 minggu. Lebih jauh lagi CPG:AS
mendefinisikan rinosinusitis akut berulang (recurrent) sebagai 4 episode atau lebih
rinosinusitis akut yang terjadi dalam setahun, tanpa gejala menetap di antara episode,
sementara JTFPP mendefinisikan rinosinusitis akut berulang sebagai 3 episode atau
lebih rinosinusitis akut per tahun. Untuk rinosinusitis kronik, hampir semua pedoman
sepakat bahwa rinosinusitis kronik merupakan gejala rinosinusitis yang menetap
selama 12 minggu atau lebih, kecuali JTFFP yang menetapkan gejala rinosinusitis
yang menetap selama 8 minggu atau lebih sebagai kriteria rinosinusitis kronik.10

Beratnya penyakit
Penyakit ini dapat dibagi menjadi RINGAN, SEDANG dan BERAT berdasarkan skor
total visual analogue scale
(VAS) (0-10 cm):
- RINGAN = VAS 0-3
- SEDANG = VAS > 3-7
- BERAT = VAS > 7-10
Untuk evaluasi nilai total, pasien diminta untuk menilai pada suatu VAS jawaban dari
pertanyaan:
Nilai VAS > 5 mempengaruhi kualitas hidup pasien

6. ETIOLOGI 1,8
Berbagai faktor infeksius dan nonifeksius dapat memberikan kontribusi
dalam terjadinya obstruksi akut ostium sinus atau gangguan pengeluaran cairan oleh
silia, yang akhirnya menyebabkan sinusitis. Penyebab nonifeksius antara lain adalah
rinitis alergika, barotrauma, atau iritan kimia.
Infeksi sinusitis akut dapat disebabkan berbagai organisme, termasuk virus,
bakteri, dan jamur. Virus yang sering ditemukan adalah rhinovirus, virus
parainfluenza, dan virus influenza. Bakteri yang sering menyebabkan sinusitis adalah
Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, dan Moraxella catarralis.
Bakteri anaerob juga terkadang ditemukan sebagai penyebab sinusitis maksilaris,
terkait dengan infeksi pada gigi premolar. Sedangkan jamur juga ditemukan sebagai
penyebab sinusitis pada pasien dengan gangguan sistem imun, yang menunjukkan
infeksi invasif yang mengancam jiwa. Jamur yang menyebabkan infeksi antara lain
adalah dari spesies Rhizopus, Rhizomucor, Mucor, Absidia, Cunninghamella,
Aspergillus, dan Fusarium.

Penyebab sinusitis dibagi menjadi 3:


Rhinogenik
Segala sesuatu yang menyebabkan sumbatan pada hidung dapat
menyebabkan sinusitis. Contohnya rinitis akut, rinitis alergi, polip, deviasi septum
dan lain-lain. Alergi juga merupakan predisposisi infeksi sinus karena terjadi edema
mukosa dan hipersekresi. Mukosa sinus yang membengkak menyebabkan infeksi
lebih lanjut, yang selanjutnya menghancurkan epitel permukaan, dan siklus
seterusnya berulang.
Sinusitis Dentogen
Merupakan penyebab paling sering terjadinya sinusitis kronik. Dasar sinus
maksila adala prosessus alveolaris tempat akar gigi, bahkan kadang-kadang tulang
tanpa pembatas. Infeksi gigi rahang atas seperti infeksi gigi apikal akar gigi,
atau inflamasi jaringan periondontal mudah menyebar secara langsung ke sinus,
atau melalui pembuluh darah dan limfe.
Harus dicurigai adanya sinusitis dentogen pada sinusitis maksila kronik yang
mengenai satu sisi dengan ingus yang purulen dan napas berbau busuk. Bakteri
penyebabnya adalah Streptococcus pneumoniae, Hemophilus influenza,
Streptococcus viridans, Staphylococcus aureus, Branchamella catarhalis dan lain-
lain.
Sinusitis Jamur
Sinusitis jamur adalah infeksi jamur pada sinus paranasal, suatu keadaan yang
jarang ditemukan.Angka kejadian meningkat dengan meningkatnya pemakaian
antibiotik, kortikosteroid, obat-obat imunosupresan dan radioterapi. Kondisi yang
merupakan faktor predisposisi terjadinya sinusitis jamur antara lain diabetes
mellitus, neutopenia, penyakit AIDS dan perawatan yang lama di rumah sakit.
Jenis jamur yang sering menyebabkan infeksi sinus paranasal ialah spesies
Aspergillus dan Candida.

7. PATOGENESIS 1,3,8
Dalam keadaan fisiologis, sinus adalah steril. Sinusitis dapat terjadi bila klirens
silier sekret sinus berkurang atau ostium sinus menjadi tersumbat, yang menyebabkan
retensi sekret, tekanan sinus negatif, dan berkurangnya tekanan parsial oksigen.
Lingkungan ini cocok untuk pertumbuhan organisme patogen. Apabila terjadi infeksi
karena virus, bakteri ataupun jamur pada sinus yang berisi sekret ini, maka terjadilah
sinusitis.
Pada dasarnya patofisiologi dari sinusitis dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu
obstruksi drainase sinus (sinus ostium), kerusakan pada silia, serta kuantitas dan
kualitas mukosa. Sebagian besar episode sinusitis disebabkan oleh infeksi virus. Virus
tersebut sebagian besar menginfeksi saluran pernapasan atas seperti Rhinovirus,
Influenza A dan B, Parainfluenza, Respiratory syncytial virus, Adenovirus dan
Enterovirus. Sekitar 90 % pasien yang mengalami ISPA memberikan bukti gambaran
radiologis yang melibatkan sinus paranasal.
Infeksi virus akan menyebabkan terjadinya edema pada dinding hidung
dan sinus sehingga menyebabkan terjadinya penyempitan atau obstruksi pada ostium
sinus, dan berpengaruh pada mekanisme drainase dalam sinus. Selain itu inflamasi,
polip, tumor, trauma, juga menyebabkan menurunya patensi ostium sinus. Virus yang
menginfeksi tersebut dapat memproduksi enzim dan neuraminidase yang
mengendurkan mukosa sinus dan mempercepat difusi virus pada lapisan mukosilia.
Hal ini menyebabkan silia menjadi kurang aktif dan sekret yang diproduksi sinus
menjadi lebih kental, yang merupakan media yang sangat baik untuk berkembangnya
bakteri patogen.
Silia yang kurang aktif fungsinya tersebut terganggu oleh terjadinya akumulasi
cairan pada sinus. Terganggunya fungsi silia tersebut dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti kehilangan lapisan epitel bersilia, udara dingin, aliran udara
yang cepat, virus, bakteri, mediator inflamasi, kontak antara dua permukaan mukosa,
parut, atau primary cilliary dyskinesia (Sindrom Kartagener).
Adanya bakteri dan lapisan mukosilia yang abnormal meningkatkan
kemungkinan terjadinya reinfeksi atau reinokulasi dari virus. Konsumsi
oksigen oleh bakteri akan menyebabkan keadaan hipoksia di dalam sinus
dan akan memberikan media yang menguntungkan untuk berkembangnya bakteri
anaerob. Penurunan jumlah oksigen juga akan mempengaruhi pergerakan silia dan
aktivitas leukosit. Sinusitis kronis dapat disebabkan oleh fungsi lapisan mukosilia
yang tidak adekuat, obstruksi sehingga drainase sekret terganggu, dan terdapatnya
beberapa bakteri patogen.
Antrum maksila mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan akar gigi pre
molar dan molar atas. Hubungan ini dapat menimbulkan problem klinis seperti infeksi
yang berasal dari gigi dan fistula oroantral dapat naik ke atas dan menimbulkan
infeksi sinus. Sinusitis maksila diawali dengan sumbatan ostium sinus akibat proses
inflamasi pada mukosa rongga hidung. Proses inflamasi ini akan menyebabkan
gangguan drainase sinus.
Keterlibatan antrum unilateral seringkali merupakan indikasi dari keterlibatan
gigi sebagai penyebab. Bila hal ini terjadi maka organisme yang bertanggung jawab
kemungkinan adalah jenis gram negatif yang merupakan organisme yang lebih
banyak didapatkan pada infeksi gigi daripada bakteri gram positif yang merupakan
bakteri khas pada sinus.Penyakit gigi seperti abses apikal, atau periodontal dapat
menimbulkan gambaran histologi yang didominasi oleh bakteri gram negatif,
karenanya menimbulkan bau busuk.
Pada sinusitis yang dentogennya terkumpul kental akan memperberat atau
mengganggu drainase terlebih bila meatus medius tertutup oleh oedem atau pus atau
kelainan anatomi lain seperti deviasi, dan hipertropi konka. Akar gigi premolar
kedua dan molar pertama berhubungan dekat dengan lantai dari sinus maksila dan
pada sebagian individu berhubungan langsung dengan mukosa sinus maksila.
Sehingga penyebaran bakteri langsung dari akar gigi ke sinus dapat terjadi

8. MANIFESTASI KLINIS 1,3


Keluhan utama rinosinusitis akut ialah hidung tersumbat disertai dengan
nyeri/rasa tekanan pada muka dan ingus purulen, yang seringkali turun ke
tenggorok (post nasal drip). Dapat disertai dengan gejala sistemik seperti demam dan
lesu. Tanda dan gejala rhinosinusitia adalah :
Keluhan nyeri atau rasa tekanan di daerah sinus yang terkena merupakan
ciri khas sinusitis akut, serta kadang-kadang nyeri juga terasa di tempat lain
(referred pain). nyeri pipi menandakan sinusitis maksila, nyeri di antara atau
di belakang kedua bola mata menandakan sinusitis etmoida, nyeri di dahi atau
kepala menandakan sinusitis frontal, dan nyeri di kepala yang mengarah ke vertex
cranium menandakan sinusitis sfenoid. Pada sinusitis maksila kadang-kadang
terdapat nyeri alih ke gigi dan telinga.
Gejala lain adalah sakit kepala, hiposmia/anosmia, halitosis, post-nasal drip
yang dapat menyebabkan batuk dan sesak pada anak. Keluhan sinusitis kronik tidak
khas sehingga sulit didiagnosis. Kadang-kadang hanya 1 atau 2 dari gejala-gejala
di bawah ini:
a. Sakit kepala kronik
b. Post-nasal drip
c. Batuk kronik
d. Ganguan tenggorok
e. Ganguan telinga akibat sumbatan di muara tuba Eustachius

9. DIAGNOSIS 1,3,8
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
Anamnesis

Anamnesis yang cermat dan teliti sangat diperlukan terutama dalam menilai gejala-
gejala yang ada pada kriteria diatas, mengingat patofisiologi rinosinusitis kronik yang
kompleks. Adanya penyebab infeksi baik bakteri maupun virus, adanya latar belakang alergi
atau kemungkinan kelainan anatomis rongga hidung dapat dipertimbangkan dari riwayat
penyakit yang lengkap.18 Informasi lain yang perlu berkaitan dengan keluhan yang dialami
penderita mencakup durasi keluhan, lokasi, faktor yang memperingan atau memperberat
serta riwayat pengobatan yang sudah dilakukan.2 Beberapa keluhan/gejala yang dapat
diperoleh melalui anamnesis dapat dilihat pada tabel 1 pada bagian depan. Menurut EP3OS
2007, keluhan subyektif yang dapat menjadi dasar rinosinusitis kronik adalah:

1) Obstruksi nasal
Keluhan buntu hidung pasien biasanya bervariasi dari obstruksi aliran udara
mekanis sampai dengan sensasi terasa penuh daerah hidung dan sekitarnya

2) Sekret / discharge nasal


Dapat berupa anterior atau posterior nasal drip

3) Abnormalitas penciuman
Fluktuasi penciuman berhubungan dengan rinosinusitis kronik yang mungkin
disebabkan karena obstruksi mukosa fisura olfaktorius dengan / tanpa alterasi
degeneratif pada mukosa olfaktorius

4) Nyeri / tekanan fasial


Lebih nyata dan terlokalisir pada pasien dengan rinosinusitis akut, pada
rinosinusitis kronik keluhan lebih difus dan fluktuatif

Selain untuk mendapatkan riwayat penyakit, anamnesis juga dapat digunakan untuk
menentukan berat ringannya keluhan yang dialami penderita. Ini berguna bagi penilaian
kualitas hidup penderita. Ada beberapa metode/test yang dapat digunakan untuk menilai
tingkat keparahan penyakit yang dialami penderita, namun lebih sering digunakan bagi
kepentingan penelitian, antara lain dengan SNOT-20 (sinonasal outcome test), CSS (chronic
sinusitis survey) dan RSOM-31 (rhinosinusitis outcome measure)1,2,11
Pemeriksaan Fisik

Rinoskopi anterior dengan cahaya lampu kepala yang adekuat dan kondisi rongga
hidung yang lapang (sudah diberi topikal dekongestan sebelumnya)1,2,18 Dengan
rinoskopi anterior dapat dilihat kelainan rongga hidung yang berkaitan dengan
rinosinusitis kronik seperti udem konka, hiperemi, sekret (nasal drip), krusta, deviasi
septum, tumor atau polip.18
Rinoskopi posterior bila diperlukan untuk melihat patologi di belakang rongga
hidung.18
Pemeriksaan Penunjang

Transiluminasi, merupakan pemeriksaan sederhana terutama untuk menilai kondisi


sinus maksila. Pemeriksaan dianggap bermakna bila terdapat perbedaan
transiluminasi antara sinus kanan dan kiri.18
Endoskopi nasal, dapat menilai kondisi rongga hidung, adanya sekret, patensi
kompleks ostiomeatal, ukuran konka nasi, udem disekitar orifisium tuba, hipertrofi
adenoid dan penampakan mukosa sinus.1,13 Indikasi endoskopi nasal yaitu evaluasi
bila pengobatan konservatif mengalami kegagalan.18 Untuk rinosinusitis kronik,
endoskopi nasal mempunyai tingkat sensitivitas sebesar 46 % dan spesifisitas 86 %.18
Radiologi, merupakan pemeriksaan tambahan yang umum dilakukan, meliputi X-foto
posisi Water, CT-scan, MRI dan USG. CT-scan merupakan modalitas pilihan dalam
menilai proses patologi dan anatomi sinus, serta untuk evaluasi rinosinusitis lanjut bila
pengobatan medikamentosa tidak memberikan respon.1,18 Ini mutlak diperlukan pada
rinosinusitis kronik yang akan dilakukan pembedahan.1,2,18 Contoh gambaran CT-scan
rinosinusitis kronik tanpa polip nasi pada orang dewasa dapat dilihat pada gambar 4.
Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan antara lain:1,2,13,18
1. Sitologi nasal, biopsi, pungsi aspirasi dan bakteriologi
2. Tes alergi
3. Tes fungsi mukosiliar : kliren mukosiliar, frekuensi getar siliar, mikroskop elektron
dan nitrit oksida
4. Penilaian aliran udara nasal (nasal airflow): nasal inspiratory peakflow,
rinomanometri, rinometri akustik dan rinostereometri
5. Tes fungsi olfaktori: threshold testing
6. Laboratorium : pemeriksaan CRP ( C-reactive protein)
Gambar 4. CT-scan penampang koronal menunjukkan rinosinusitis kronik akibat
konka bulosa sehingga mengakibatkan penyempitan KOM.19

10. DIAGNOSIS BANDING 8


Diagnosos banding sinusitis adalah luas, karena tanda dan gejala sinusitis tidak
sensitif dan spesifik. Infeksi saluran nafas atas, polip nasal, penyalahgunaan kokain,
rinitis alergika, rinitis vasomotor, dan rinitis medikamentosa dapat datang dengan gejala
pilek dan kongesti nasal. Rhinorrhea cairan serebrospinal harus dipertimbangkan pada
pasien dengan riwayat cedera kepala. Pilek persisten unilateral dengan epistaksis dapat
mengarah kepada neoplasma atau benda asing nasal. Tension headache, cluster
headache, migren, dan sakit gigi adalah diagnosis alternatif pada pasien dengan sefalgia
atau nyeri wajah.
Pasien dengan demam memerlukan perhatian khusus, karena demam dapat
merupakan manifestasi sinusitis saja atau infeksi sistem saraf pusat yang berat, seperti
meningitis atau abses intrakranial

9,10,11
11. TATALAKSANA
Tujuan utama penatalaksanaan sinusitis adalah:
Mempercepat penyembuhan
Mencegah komplikasi
Mencegah perubahan menjadi kronik.
Sinusitis akut dapat diterapi dengan pengobatan (medikamentosa) dan
pembedahan (operasi). Penatalaksanaan yang dapat diberikan pada pasien sinusitis
akut, yaitu:
Antibiotik. Berikan golongan penisilin selama 10-14 hari meskipun gejala
klinik sinusitis akut telah hilang.
Dekongestan lokal. Berupa obat tetes hidung untuk memperlancar
drainase hidung.
Analgetik. Untuk menghilangkan rasa sakit.
Irigasi Antrum. Indikasinya adalah apabila terapi diatas gagal dan ostium
sinus sedemikian edematosa sehingga terbentuk abses sejati. Irigasi antrum maksilaris
dilakukan dengan mengalirkan larutan salin hangat melalui fossa incisivus ke dalam
antrum maksilaris. Cairan ini kemudian akan mendorong pus untuk keluar melalui
ostium normal.
Menghilangkan faktor predisposisi dan kausanya jika diakibatkan oleh
gigi.
Diatermi gelombang pendek selama 10 hari dapat membantu
penyembuhan sinusitis dengan memperbaiki vaskularisasi sinus.
a. Antibiotik
Antibiotik merupakan kunci dalam penatalaksanaan sinusitis supuratif
akut. Amoksisilin merupakan pilihan tepat untuk kuman gram positif dan negatif.
Vankomisin untuk kuman S. pneumoniae yang resisten terhadap amoksisilin.
Pilihan terapi lini pertama yang lain adalah kombinasi eritromisin dan
dulfonamide atau cephalexin dan sulfonamide.
Terapi antibiotik harus diteruskan minimum 1 minggu setelah gejala terkontrol.
Karena banyaknya distribusi ke sinus-sinus yang terlibat, perlu mempertahankan
kadar antibiotika yang adekuat bila tidak, mungkin terjadi sinusitis supuratif kronik.
Tindakan lain yang dapat dilakukan untuk membantu memperbaiki drainase
dan pembersihan sekret dari sinus. Untuk sinusitis maxilaris dilakukan pungsi dan
irigasi sinus, sedangkan untuk sinusitis ethmoidalis frontalis dan sinusitis sfenoidalis
dilakukan tindakan pencucian Proetz. Irigasi dan pencucian dilakukan 2 kali dalam

KKS THT-KL RSUD LANGSA Hal 22


seminggu. Bila setelah 5 atau 6 kali tidak ada perbaikan dan klinis masih tetap
banyak sekret purulen, maka perlu dilakukan bedah radikal.
Antibiotik parenteral diberikan pada sinusitis yang telah mengalami komplikasi
seperti komplikasi orbita dan komplikasi intrakranial, karena dapat menembus
sawar darah otak. Ceftriakson merupakan pilihan yang baik karena selain dapat
membasmi semua bakteri terkait penyebab sinusitis, kemampuan menembus sawar
darah otaknya juga baik.
Pada sinusitis yang disebabkan oleh bakteri anaerob dapat digunakan
metronidazole atau klindamisin. Klindamisin dapat menembus cairan serebrospinal.
Antihistamin hanya diberikan pada sinusitis dengan predisposisi alergi. Analgetik
dapat diberikan. Kompres hangat dapat juga dilakukan untuk mengurangi nyeri.
Untuk pasien yang menderita alergi, pengobatan alergi yang dijalani
bermanfaat. Pengontrolan lingkungan, steroid topikal, dan imunoterapi dapat
mencegah eksesarbasi rhinitis sehingga mencegah perkembangannya menjadi
sinusitis.
b. Dekongestan
Dekongestan Oral (Lebih aman untuk penggunaan jangka panjang) berupa
Phenylproponolamine dan pseudoephedrine, yang merupakan agonis alfa adrenergik.
Obat ini bekerja pada osteomeatal komplek .Dekongestan topikal yaitu Phenylephrine
Hcl 0,5% dan oxymetazoline Hcl 0,5 % bersifat vasokonstriktor lokal. Obat ini bekerja
melegakan pernapasan dengan mengurangi oedema mukosa.
c. Antihistamin
Antihistamin golongan II yaitu Loratadine. Anti histamin golongan II mempunyai
keunggulan, yaitu lebih memiliki efek untuk mengurangi rhinore, dan menghilangkan
obstruksi, serta tidak memiliki efek samping menembus sawar darah otak.
d. Kortikosteroid
bisa diberi oral ataupun topikal, namun pilihan disini adalah kortikosteroid oral
yaitu metil prednisolon, efek samping berupa retensi air sangat minimal, begitupula
dengan efek terhadap lambung juga minimal.

KKS THT-KL RSUD LANGSA Hal 23


Skema 1 : Penatalaksanaan Rinosinusitis Akut Pada Dewasa Untuk Pelayanan
Kesehatan Primer.

European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyposis. Rhinology,2007;


www.rhinologyjournal.com
Skema 2 : Pedoman rujukan pasien rhinosinusitis

European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyposis. Rhinology,2007;


www.rhinologyjournal.com

KKS THT-KL RSUD LANGSA Hal 24


Skema 3 : Skema Penatalaksanaan Rinosinusitis Kronik Tanpa Polip Hidung Pada
Dewasa Untuk Dokter Spesialis THT

European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyposis. Rhinology,2007;


www.rhinologyjournal.com

KKS THT-KL RSUD LANGSA Hal 25


Skema Penatalaksanaan Rinosinusitis Kronik Dengan Polip Hidung Pada Dewasa
Untuk Dokter Spesialis THT

Terapi Bedah Berbasis Bukti Untuk Rinosinusitis


Penelitian mengenai operasi sinus sangat sulit untuk digeneralisasi, karena operasi
diindikasikan pada pasien tertentu yang tidak memberikan respon yang adekuat
terhadap pengobatan medikamentosa. Terdapat masalah khusus dalam melaksanakan
studi operatif, karena operasi sangat sulit untuk diprediksi atau distandarisasi, terutama
pada penelitian multisenter, dan tipe penatalaksanaan sulit dibuat membuta (blinding/
masking). Randomisasi kemungkinan berhadapan dengan masalah etik kecuali kriteria
inklusi dipersempit dan adalah sangat sulit untuk memperoleh kelompok pasien
homogen dengan prosedur terapi yang dapat dibandingkan untuk menyingkirkan bias
evaluasi hasil operasi sinus. Meskipun demikian :
1. Pada rinosinusitis akut, operasi diindikasikan pada kasus yang berat dan
komplikasi yang berhubungan.
2. Lebih dari 100 kasus berseri (level IV) dengan hasil yang konsisten bahwa
pasien rinosinusitis kronis dengan dan tanpa polip mendapat manfaat dari operasi sinus

KKS THT-KL RSUD LANGSA Hal 26


3. Komplikasi mayor terjadi pada kurang dari 1 % dan operasi revisi dilaksanakan
kira - kira 10 % dalam kurun waktu 3 tahun
4. Pada sebagian besar kasus rinosinusitis kronis, pengobatan medikamentosa yang
adekuat sama efektifnya dengan operasi, jadi operasi sinus seharusnya dicadangkan
untuk pasien yang tidak memberikan respon memuaskan terhadap pengobatan
medikamentosa. (level Ib)
5. Bedah sinus endoskopik fungsional lebih superior dibandingkan prosedur
konvensional termasuk polipektomi dan irigasi antrum (Level Ib), tetapi superioritas
terhadap antrostomi meatus inferior atau sfenoetmoidektomi belum terbukti
6. Pada pasien rinosinusitis kronis yang belum pernah dioperasi, operasi yang lebih
luas tidak memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan prosedur operasi yang
terbatas (level Ib). Walaupun bukan berbasis bukti, perluasan operasi biasanya
disesuaikan terhadap perluasan penyakit, yang merupakan pendekatan secara rasional.
Pada bedah sinus paranasal primer, direkomendasikan bedah secara konservatif.
7. Operasi sinus endonasal revisi hanya diindikasikan jika pengobatan
medikamentosa tidak efektif. Perbaikan gejala secara umum diobservasi pada pasien
dengan rinosinusitis kronis dengan dan tanpa polip, walaupun perbaikannya kurang
dibandingkan setelah operasi primer. Angka komplikasi dan terutama resiko rekurensi
penyakit lebih tinggi dibandingkan operasi primer

12. KOMPLIKASI 1,3


Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis
kronik dengan eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita atau intrakranial. Komplikasi
infeksi rinosinusitis sangat jarang dan paling sering terjadi pada anak dan pasien
imunocompromised. Perluasan yang tidak terkendali dari penyakit bakteri atau
jamur mengarah kepada invasi struktur sekitarnya terutama orbital dan otak.
Sinusitis merupakan suatu penyakit yang tatalaksananya berupa rawat jalan.
Pengobatan rawat inap di rumah sakit merupakan hal yang jarang kecuali jika ada
komplikasi dari sinusitis itu sendiri. Walaupun tidak diketahui secara pasti, insiden
dari komplikasi sinusitis diperkirakan sangat rendah. Salah satu studi menemukan
bahwa insiden komplikasi yang ditemukan adalah 3%. Sebagai tambahan, studi
lain menemukan bahwa hanya beberapa pasien yang mengalami komplikasi dari

KKS THT-KL RSUD LANGSA Hal 27


sinusitis setiap tahunnya. Komplikasi dari sinusitis ini disebabkan oleh penyebaran
bakteri yang berasal dari sinus ke struktur di sekitarnya.
Penyebaraan yang tersering adalah penyebaran secara langsung terhadap area
yang mengalami kontaminasi. Komplikasi dari sinusitis tersebut antara lain :
1. Komplikasi lokal
a) Mukokel
b) Osteomielitis (Potts puffy tumor)
2. Komplikasi orbital
a) Inflamatori edema
b) Abses orbital
c) Abses subperiosteal
d) Trombosis sinus cavernosus.
3. Komplikasi intrakranial
a) Meningitis
b) Abses Subperiosteal

Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya antibiotik.


Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis kronis dengan
eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita atau intrakranial. CT scan merupakan suatu
modalitas utama dalam menjelaskan derajat penyakit sinus dan derajat infeksi di
luar sinus, pada orbita, jaringan lunak dan kranium. Pemeriksaan ini harus rutin
dilakukan pada sinusitis refrakter, kronik atau berkomplikasi.

13. PROGNOSIS 2,3


Sinusitis tidak menyebabkan kematian yang signifikan dengan sendirinya.
Namun, sinusitis yang berkomplikasi dapat menyebabkan morbiditas dan dalam kasus
yang jarang dapat menyebabkan kematian. Sekitar 40 % kasus sinusitis akut membaik
secara spontan tanpa antibiotik. Perbaikan spontan pada sinusitis virus adalah 98
%.Pasien dengan sinusitis akut, jika diobati dengan antibiotik yang tepat, biasanya
menunjukkan perbaikan yang cepat. Tingkat kekambuhan setelah pengobatan yang
sukses adalah kurang dari 5 %. Jika tidak adanya respon dalam waktu 48 jam
atau memburuknya gejala, pasien dievaluasi kembali.

KKS THT-KL RSUD LANGSA Hal 28


KESIMPULAN

Rhinosinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena alergi
atau infeksi virus, bakteri maupun jamur. Terdapat 4 sinus disekitar hidung yaitu sinus
maksilaris, sinus ethmoidalis, sinus frontalis dan sinus sphenoidalis.Penyebab utama
sinusitis adalah infeksi virus, diikuti oleh infeksi bakteri. Secara epidemiologi
yang paling sering terkena adalah sinus ethmoid dan maksilaris. Gejala umum
rhinosinusitis yaitu hidung tersumbat diserai dengan nyeri/rasa tekanan pada muka
dan ingus purulent, yang seringkali turun ke tenggorol (post nasal drip).
Klasifikasi dari sinusitis berdasarkan klinis yaitu sinusitis akut, subakut dan
kronik, sedangkan klasifikasi menurut penyebabnya adalah sinusitis rhinogenik dan
dentogenik. Bahaya dari sinusitis adalah komplikasinya ke orbita dan intrakranial.
Tatalaksana berupa terapi antibiotik diberikan pada awalnya dan jika telah terjadi
hipertrofi, mukosa polipoid dan atau terbentuknya polip atau kista maka dibutuhkan
tindakan operasi. Tatalaksana yang adekuat dan pengetahuan dini mengenai
sinusitis dapat memberikan prognosis yang baik.

KKS THT-KL RSUD LANGSA Hal 29


DAFTAR PUSTAKA

1.Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis. Buku ajar ilmu kesehatan telinga, hidung,


tenggorok, kepala dan leher. Edisi ketujuh. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2012
2.Arivalagan, Privina. The Picture Of Chronic Rhinosinusitis in RSUP Haji Adam
Malik in Year 2011. E Jurnal FK-USU Volume 1 No. 1 Tahun 2013
3.Anonim, Sinusitis, dalam ; Arif et all, editor. Kapita Selekta Kedokteran, Ed.3,
Penerbit Media Ausculapius FK UI, Jakarta 2001, 102 106
4.Damayanti dan Endang. Sinus Paranasal. Buku ajar ilmu kesehatan telinga, hidung,
tenggorok, kepala dan leher. Edisi ketujuh. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2012
5.Snell, Richard S. Anatomi Klinik Edisi 7. Jakarta:EGC. 2010
6.Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology. Dalam : Rachman LY, editor.
Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta :EGC ; 2008
7.Posumah, AH . Gambaran Foto Waters Pada Penderita Dengan dugaan Klinis
Sinusitis Maksilaris Di Bagian Radiologi Fkunsrat/Smf Radiologi Blu Rsup Prof. Dr.
R. D. Kandou Manado Jurnal e-Biomedik (eBM), Volume 1, Nomor 1, Maret 2013,
hlm. 129-134
8.Adams GL, Boies LR, Higler PH. Hidung dan sinus paranasalis. Buku ajar penyakit
tht. Edisi keenam. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1994.h.173-240
9.European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyposis.
Rhinology,Supplement 20, 2007; www.rhinologyjournal.com; www.eaaci.net.
10. Katzung, B.G., 2008. Farmakologi Dasar dan Klinik. 6th ed. Jakarta: Appleton
and Lange.
11. Gunawan, S. G dkk. Farmakologi Dan Terapi, Edisi 5. Departemen Farmakologi
Dan Terapeutik FKUI. 2007
12. https://paranasalsinuses.files.wordpress.com/. Diakses pada tanggal 20/10/2015
13. http://www.aaaai.org/Aaaai/media/MediaLibrary/Images/sinus-1.jpg Diakses
pada tanggal 20/10/2015
14. https://de.wikipedia.org/wiki/Sinusitis Diakses pada tanggal 20/10/2015
15. http://atlas.mudr.org/ Diakses pada tanggal 20/10/2015

KKS THT-KL RSUD LANGSA Hal 30

You might also like