You are on page 1of 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Setiap organisasi memiliki visi, misi dan tujuan yang hendak dicapai. Suatu

organisasi dikatakan berhasil apabila visi, misi dan tujuannya tercapai. Untuk

dapat mencapainya, organisasi harus merumuskan strategi yang kemudian

dijabarkan dalam bentuk program-program atau aktivitas. Keberhasilan suatu

organisasi tidak hanya tergantung dari indahnya strategi yang telah dirumuskan,

tetapi lebih penting lagi terletak pada keberhasilan pengimplementasiannya.

Pengimplementasian tersebut membutuhkan pengukuran kinerja untuk

memastikan apakah strategi berjalan sesuai dengan yang telah direncanakan.

Ukuran keberhasilan organisasi ditentukan berdasarkan lingkup area organisasi itu

berjalan. Berkaitan dengan hal tersebut, sangatlah penting bagi setiap organisasi

untuk memiliki sebuah sistem pengukuran kinerja yang bertujuan untuk

mengevaluasi sejauh mana hasil yang tercapai terhadap tujuan dan sasaran yang

telah ditetapkan.

Menurut (Simons, 2000, dalam Melinda, 2003), organisasi yang dapat

menterjemahkan strategi ke dalam sistem pengukuran kinerjanya akan jauh lebih

baik dalam mengimplementasikan strateginya. Jika strategi dapat dinyatakan

dalam bentuk tujuan strategis, ukuran-ukuran dan target yang jelas, yang

kemudian dikomunikasikan kepada setiap anggota organisasi, maka setiap

anggota organisasi dapat mengerti dan mengimplementasikannya dengan baik


1
sehingga visi organisasi dapat tercapai. Ukuran-ukuran kinerja tersebut digunakan

sebagai dasar untuk melakukan penilaian kinerja, yaitu untuk menilai sukses atau

tidaknya suatu organisasi, program atau kegiatan. Dengan kata lain pengukuran

kinerja merupakan elemen pokok manajemen berbasis kinerja (Mahmudi,

2007:6). Dan menurut Gaspersz, 2002:68) bahwa pengukuran memainkan peran

yang sangat penting bagi peningkatan suatu kemajuan (perubahan) ke arah yang

lebih baik.

Fenomena yang sering terjadi pada kebanyakan manajer suatu organisasi

yaitu mereka terlalu banyak menghabiskan waktunya pada kegiatan operasional,

tetapi sangat disayangkan bila mereka tidak punya waktu sedikitpun untuk

membahas strategi organisasi. Studi dilakukan oleh Kaplan dan Norton

membuktikan bahwa 85% dari pihak manajemen menghabiskan waktu kurang

dari satu jam per bulan untuk membahas strategi. Pembahasan itu pun hanya

berfokus pada hal-hal seperti keuangan, penjualan, dan persediaan semata. Sering

kali hal-hal yang tidak berwujud luput dari perhatian dan pembicaraan. Pada

akhirnya pembahasan tersebut hanya berfokus pada hasil atau capaian mereka

(result oriented) dan tidak memberi perhatian cukup terhadap proses (Luis,

2007:11).

Dalam melaksanakan kegiatan atau program-program organisasi dalam

rangka mencapai tujuannya, setiap organisasi memerlukan suatu pengukuran

kinerja untuk mengevaluasi apakah tujuannya berhasil. Pengukuran kinerja dapat

dilakukan dengan beberapa cara. Suatu pengukuran kinerja yang pada umumnya

digunakan organisasi adalah rasio keuangan, yaitu suatu alat analisis keuangan
2
perusahaan untuk menilai kinerja suatu perusahaan berdasarkan perbandingan

data keuangan yang terdapat pada pos laporan keuangan (Wikipedia Indonesia).

Beberapa rasio keuangan yang sering digunakan, antara lain rasio likuiditas,

rasio aktivitas, rasio hutang dan rasio keuntungan. Namun, pengukuran kinerja

dengan menggunakan rasio keuangan dinilai kurang mewakili. Hal ini disebabkan

karena ukuran-ukuran keuangan memiliki beberapa kelemahan, yaitu pendekatan

keuangan bersifat historis sehingga hanya mampu memberikan indikator dari

kinerja manajemen dan tidak mampu sepenuhnya menuntun organisasi ke arah

yang lebih baik (Mulyadi, 1997).

Untuk itu, dirasa perlu menggunakan pengukuran kinerja tambahan atau

pelengkap bagi rasio keuangan. Salah satu pengukuran kinerja yang dapat

digunakan oleh setiap organisasi, baik berorientasi laba maupun organisasi nirlaba

dan pemerintah, yang tidak mempertimbangkan aspek keuangan, namun juga

aspek non-keuangan yang strategis dan mampu menjadi variabel kunci bagi

kesuksesan organisasi yaitu balanced scorecard.

Sejarah perkembangan balanced scorecard dimulai pada tahun 1990 saat

Robert S. Kaplan dan David P. Norton melakukan studi mengenai pengukuran

kinerja pada organisasi swasta. Dua tahun kemudian, pada tahun 1992, mereka

mempublikasikan tulisan yang berjudul The Balanced Scorecard : Measures that

Drive Performance di majalah Harvard Business Review. Ide utama dari metode

balanced scorecard pada saat itu adalah pengukuran kinerja bisnis melalui empat

perspektif. Balanced scorecard sebagai suatu metode perancangan strategi

organisasi berbasis visi, misi, nilai, arah strategi, serta tujuan, merupakan salah
3
satu metode yang tepat yang dapat digunakan untuk mengukur berbagai indikator

dalam empat perspektif yang ada seperti perspektif keuangan, konsumen, proses

bisnis internal, dan pembelajaran dan pertumbuhan. Peta strategi berfungsi

bagaimana organisasi menciptakan nilai bagi pemegang saham, konsumen, dan

warga Negara melalui hubungan sebab akibat setiap sasaran strategis dalam setiap

perspektif (Kaplan dan Norton, 2004).

Metode balanced scorecard terus berkembang hingga saat ini, baik dari segi

muatan maupun penggunanya. Metode balanced scorecard kini tidak hanya

sekedar sebagai alat pengukuran kinerja bisnis tetapi juga sebagai alat manajemen

strategis. Balanced scorecard memiliki keunggulan yang menjadikan sistem

manajemen strategi sekarang berbeda secara signifikan dengan sistem manajemen

dalam manajemen tradisional. Balanced scorecard merupakan suatu sistem

manajemen, pengukuran, dan pengendalian yang secara cepat, tepat, dan

komprehensif dapat memberikan pemahaman kepada manajer tentang performa

bisnis. Pengukuran kinerja tersebut memandang unit bisnis dari empat perspektif,

yaitu perspektif keuangan, konsumen, proses bisnis internal dalam organisasi serta

proses pembelajaran dan pertumbuhan.

Dewasa ini, balanced scorecard tidak hanya digunakan oleh organisasi

bisnis akan tetapi juga oleh organisasi publik. Balanced scorecard dapat

membantu organisasi publik dalam mengontrol keuangan dan mengukur kinerja

organisasi. Organisasi publik adalah organisasi yang didirikan dengan tujuan

memberikan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini menyebabkan organisasi

publik diukur keberhasilannya melalui efektivitas dan efisiensi dalam memberikan


4
pelayanan kepada masyarakat. Organisasi publik harus menetapkan indikator dan

target pengukuran kinerja berorientasi kepada masyarakat (Ittner dan Larcker,

1998).

Selama ini organisasi sektor publik di Indonesia menggunakan laporan

akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (LAKIP) dalam sistem pengukuran

kinerjanya sesuai peraturan pemerintah nomer 8 tahun 2006 tentang pelaporan

keuangan dan kinerja instansi pemerintah dan instruksi presiden nomor 7 tahun

1999 tentang akuntabilitas kinerja instansi pemerintah. LAKIP adalah sebuah

laporan. Seperti halnya laporan yang lain LAKIP merupakan produk akhir dari

sebuah proses yang disebut dengan sistem akuntabilitas kinerja instansi

pemerintah (SAKIP), yaitu sebuah sistem yang secara tahunan berawal dari

penyusunan rencana kinerja, pelaksanaan kegiatan, pengukuran kinerja dan

pelaporan kinerja. Isi dari LAKIP berisi data rencana dibandingkan dengan data

realisasi. Oleh karena itu LAKIP telah cukup baik diterapkan pada instansi

pemerintah namun LAKIP dianggap kurang dapat menggambarkan kinerja

instansi pemerintah secara komprehensif. Sistem pengukuran dan manajemen

yang komprehensif seharusnya menjelaskan keterkaitan antara peningkatan

operasi, layanan pelanggan, serta pengembangan produk dan jasa baru dengan

peningkatan kinerja finansial melalui penjualan yang lebih tinggi, marjin operasi

yang lebih besar, tingkat perputaran aktiva yang lebih cepat, dan biaya operasi

yang menurun (Kaplan dan Norton, 2000). Pengukuran kinerja yang baik adalah

pengukuran kinerja yang dapat memberikan informasi yang komprehensif

mengenai kinerja suatu organisasi. Informasi yang diberikan tidak hanya dari satu
5
sisi saja namun juga mencakup unsur pembentuk kinerja yang lain. Pengukuran

kinerja yang hanya berdasarkan segi keuangan seperti jumlah laba yang diperoleh

tidaklah begitu cocok diterapkan di organisasi sektor publik. Oleh karena itu

balanced scorecard dirasa perlu untuk diterapkan di organisasi sektor publik.

Southeast Asian Ministers of Education Organization Regional Center for

Food and Nutrition (SEAMEO RECFON) sebagai organisasi regional seAsia

Tenggara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia untuk

memenuhi kebutuhan para menteri dalam berbagi ide, keberhasilan dan kebijakan,

dan untuk mempromosikan para professional akademis dan pertukaran budaya

antar Negara-negara Asia Tenggara. Di mana visinya menjadi pusat keunggulan

dalam pengembangan sumber daya manusia di bidang pangan dan gizi di Asia

Tenggara dan misinya melakukan penelitian, pendidikan, pengembangan

kapasitas dan penyebaran informasi dalam bidang pangan dan gizi melalui

kemitraan untuk pengembangan sumber daya manusia yang berkelanjutan.

Kinerja SEAMEO RECFON selama ini diukur berdasarkan kinerja

keuangan dan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (LAKIP) dibawah Satuan

Kerja (Satker) SEAMEO SEAMOLEC serta key performance indicator (KPI)

SEAMEO RECFON. Kinerja keuangan terukur dari besar penyerapan dana yang

tersedia. Apabila penyerapan dana yang digunakan tinggi, maka kinerja keuangan

dianggap baik, dan begitu pula dalam kondisi terbalik. Adapun laporan

akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (LAKIP) yang memuat tentang penilaian

terhadap pencapaian tujuan dan sasaran strategi organisasi. LAKIP digunakan

untuk menilai pencapaian setiap indikator kinerja dengan memberikan gambaran


6
tentang keberhasilan dan kegagalan pencapaian tujuan dan sasaran. Dalam LAKIP

SEAMEO RECFON, pengukuran kinerja hanya berdasarkan aspek input, output

dan outcome yang berpedoman pada LAKIP. Pada kenyataannya, LAKIP sebagai

panduan untuk mengukur kinerja SEAMEO RECFON dengan pengukuran ketiga

indikator tersebut masih dianggap sangat lemah oleh pihak manajemen karena itu

SEAMEO RECFON berusaha untuk merancang KPI berdasarkan key result area

(KRA) dari SEAMEO Secretariat Bangkok. Namun kedua pengukuran tersebut

belum dianggap relevan untuk mencerminkan kinerja organisasi SEAMEO

RECFON hal ini dikarenakan LAKIP sendiri merupakan pengukuran kinerja

keuangan yang hanya melihat dari sisi anggaran dan realisasi anggaran pada setiap

program kegiatan sesuai dengan Permenpan dan RB No. 29 Tahun 2010

menamakan Laporan Akuntabilitas Kinerja (LAKIP). Laporan akuntabilitas

kinerja adalah laporan kinerja tahunan yang berisi pertanggungjawaban kinerja

suatu instansi dalam mencapai tujuan/sasaran strategis instansi. Laporan ini berisi

ikhtisar pencapaian sasaran sebagaimana yang ditetapkan dalam dokumen

penetapan kinerja dan dokumen perencanaan. Pencapaian sasaran sekurang-

kurangnya menyajikan informasi tentang pencapaian tujuan dan sasaran

organisasi, realisasi pencapaian indikator kinerja utama organisasi, penjelasan atas

pencapaian kinerja, dan pembandingan capaian indikator kinerja sampai dengan

tahun berjalan dengan target kinerja lima tahunan yang direncanakan. Fokus

laporan ini untuk K/L adalah melaporkan pencapaian tujuan/sasaran strategis yang

bersifat hasil (outcome). Unit kerja organisasi eselon I pada K/L fokus pada

pencapaian tujuan/sasaran strategis yang bersifat hasil (outcome) dan atau


7
keluaran (output). Sedangkan KPI dalam standar operation procedure (SOP)

SEAMEO RECFON hanya melihat dari sisi pencapaian kerja pada tahun berjalan

untuk menilai proporsi pembagian bonus terhadap kinerja karyawan.

1.2 Rumusan Masalah

Reformasi birokrasi di Indonesia intinya adalah melakukan perubahan tata

laksana pembangunan menuju pemerintahan yang baik (good governance).

Kepemerintahan yang baik ditandai antara lain dengan tingginya tingkat kinerja,

adanya akuntabilitas publik, transparansi, efisiensi, efektivitas, bersih dari korupsi,

kolusi, dan nepotisme.

Untuk mendukung terwujudnya kepemerintahan yang baik tentunya

diperlukan adanya sistem pengukuran kinerja yang baik. Sistem pengukuran

kinerja ini akan mengintegrasikan proses peningkatan kinerja melalui tahap mulai

perencanaan sampai dengan evaluasi capaiannya. Sistem pengukuran kinerja yang

baik akan bermanfaat untuk berbagai hal diantaranya dapat digunakan untuk

menerapkan sistem reward and punishment, mengevaluasi efisiensi, efektivitas,

dan ekonomis program dan kegiatan, meningkatkan kinerja, dan lain-lain.

Selain itu, dengan diterbitkan paket undang-undang di bidang keuangan

negara (UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1

Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU Nomor 15 Tahun 2004

tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara)

terdapat perubahan orientasi dalam menjalankan pemerintahan. Perubahan

orientasi tersebut adalah pemerintahan dijalankan berorientasi pada hasil (result


8
oriented goverment), bukan pada pada input (lebih spesifik anggaran). Program

dan kegiatan pemerintahan harus mengacu pada hasil yang akan dicapai. Untuk

menjalankan program dan kegiatan tersebut baru disusun anggaran yang

dibutuhkan.

Menyadari akan hal tersebut, SEAMEO RECFON berusaha untuk

meningkatkan kinerja organisasi dengan tepat sasaran disertai dengan pengukuran

yang terukur baik dari sisi keuangan maupun non keuangan, yaitu dengan

menggunakan metode balanced scorecard.

Balanced scorecard menyediakan rerangka untuk menerjemahkan strategi

pilihan ke dalam sasaran strategik yang komprehensif, koheren, terukur dan

seimbang, melalui empat perspektif, yaitu keuangan, konsumen, proses bisnis

internal, dan pertumbuhan dan pembelajaran. Penerapan balanced scorecard di

organisasi, mencakup seluruh kesatuan misi dan visi organisasi, peran kunci, nilai

inti, faktor penentu keberhasilan, tujuan, tolak ukur kinerja, target serta tindakan

perbaikan, sehingga menghasilkan perbaikan, pengembangan dan pembelajaran

yang saling berkesinambungan (Rampersad, 2005 dalam Notosagoro, 2011:3).

Balanced scorecard memberi kemudahan para eksekutif dalam mengukur

seberapa besar kinerja untuk menciptakan nilai bagi stakeholder saat ini dan yang

akan datang, membangun dan meningkatkan kapabilitas internal, serta sistem dan

prosedur yang diperlukan untuk meningkatkan kinerja organisasi (Kaplan dan

Norton, 1996).

9
1.3 Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka pertanyaan penelitian ini adalah:

1. Seperti apakah sistem penilaian kinerja pada SEAMEO RECFON dengan

menggunakan pendekatan balanced scorecard ?

1.4 Tujuan Penelitian

Berdasarkan pertanyaan penelitian di atas, maka tujuan penelitian ini adalah :

1. Merancang suatu sistem pengukuran kinerja dengan menggunakan empat

perspektif balanced scorecard, yaitu perspektif konsumen, perspektif

proses bisnis internal, perspektif pertumbuhan dan pembelajaran dan

perspektif keuangan yang sesuai dengan visi dan misi SEAMEO RECFON

sehingga tujuan organisasi dapat tercapai.

1.5 Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi

organisasi pemerintah yang sejenis dan nirlaba dalam upayanya melakukan

perbaikan terhadap kinerja organisasi, dengan menggunakan metode balanced

scorecard. Penggunaan metode Balanced scorecard diharapkan akan mampu

merumuskan dan menetapkan strategi implementasi bagi manajemen SEAMEO

RECFON.

10
1.6 Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif, yaitu suatu

metode penelitian dengan melakukan analisis data dan kemudian dilakukan

deskripsi yang sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat, dan

hubungan antar kejadian yang diteliti dengan cara mengumpulkan,

mengklasifikasikan, menyajikan serta menganalisis data yang diperoleh mengenai

perancangan balanced scorecard di SEAMEO RECFON, yang kemudian akan

digunakan untuk menarik kesimpulan dari hasil pengamatan.

Peneliti melakukan wawancara dan dokumentasi untuk memperoleh data

tahun 2013 2015. Karena luasnya pembahasan mengenai balanced scorecard,

peneliti akan berfokus pada perancangan balanced scorecard dengan mengacu

data dan kondisi yang terjadi pada tahun 2014/2015. Pembatasan ini dilakukan

untuk memperjelas penerapan konsep perancangan dan penggunaan balanced

scorecard di SEAMEO RECFON sebagai sistem pengukuran kinerja.

1.7 Sistematika Penelitian

Secara garis besar kerangka penelitian dalam penyusunan tesis terbagi dalam 5

(lima) bab, antara lain :

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisi latar belakang, rumusan masalah, pertanyaan

penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup dan batasan

penelitian dan sistematika penelitian.

11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini akan membahas tentang teori yang dijadikan dasar

penelitian. Dalam penelitian karya akhir ini digunakan teori-teori yang

berkaitan dengan balanced scorecard.

BAB III METODE PENELITIAN

Bab ini akan membahas desain penelitian, definisi operasional,

populasi dan sampel, instrumen penelitian, metode pengumpulan data, dan

metode analisis data dan profil organisasi.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini akan membahas tentang perancangan balanced scorecard

berdasarkan analisis data yang sudah dikumpulkan.

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

Bab ini berisi simpulan hasil penelitian dan saran-saran yang

merupakan rekomendasi yang diharapkan dapat memperbaiki pengembangan

balanced scorecard di SEAMEO RECFON.

12

You might also like