Professional Documents
Culture Documents
Oleh:
Merry Kartika
030.13.237
Pembimbing:
dr. H. Didi Sukandi, Sp.A
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas Anugerah Keselamatan dan
Belas Kasih-Nya yang telah memampukan penulis sehingga dapat menyelesaikan
tugas makalah Referat dengan judul Gejala Klinis Dan Tatalaksana Ketoasidosis
Diabetik. Makalah Referat ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam
Kepaniteraan Klinik di Stase Ilmu Kesehatan Anak di Rumah Sakit Umum Daerah
Karawang.
Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak
sangatlah sulit untuk menyelesaikan Referat ini. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. H. Didi Sukandi, Sp.A
selaku pembimbing yang telah membantu dan memberikan bimbingan dalam
penyusunan Referat ini, dan kepada semua pihak yang turut serta membantu
penyusunan Referat ini.
Penulis sangat terbuka dalam menerima kritik dan saran karena penyusunan
Referat ini masih jauh dari kata sempurna. Semoga ini bisa bermanfaat bagi setiap
orang yang membacanya.
Penulis
ii
LEMBAR PENGESAHAN
Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing, sebagai syarat untuk menyelesaikan
kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Anak di RSUD Karawang
iii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI..........................................................................................................................iv
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Diagnosis yang tepat serta tata laksana yang adekuat akan menurunkan angka
kematian dan mengurangi komplikasi. Serebral edema, sebagai salah satu dari
komplikasi ketoasidosis diabetik yang paling langsung, lebih umum terjadi pada anak
anak dan anak remaja dibandingkan pada orang dewasa. Prinsip tata laksana KAD
meliputi pemberian cairan, pemberian insulin, koreksi kelainan elektrolit, dan
mencegah komplikasi.4
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
American Diabetes Association (ADA) mendefinisikan KAD sebagai suatu
trias yang terdiri dari ketonemia, hiperglikemia dan asidosis. KAD merupakan
keadaan diabetes tidak terkontrol berat disertai dengan konsentrasi keton tubuh >5
mmol/L yang membutuhkan penanganan darurat menggunakan insulin dan cairan
intravena. Keterbatasan dalam ketersediaan pemeriksaan kadar keton darah membuat
American Diabetes Association menyarankan penggunaan pendekatan yang lebih
pragmatis, yakni KAD dicirikan dengan asidosis metabolik (pH <7,3), bikarbonat
plasma <15 mmol/L, glukosa plasma >250 mg/dL dan hasil carik celup plasma ( +)
atau urin (++).5
DM tipe-1 adalah kelainan sistemik akibat terjadinya gangguan metabolisme
glukosa yang ditandai oleh hiperglikemia kronik. Keadaan ini disebabkan oleh
kerusakan sel pankreas baik oleh proses autoimun maupun idiopatik sehingga
produksi insulin berkurang bahkan terhenti. Sekresi insulin yang rendah
mengakibatkan gangguan pada metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein. Dalam
perjalanan penyakit DM dapat menimbulkan bermacam-macam komplikasi yaitu
komplikasi jangka pendek dan jangka panjang. 6
Komplikasi jangka pendek antara lain hipoglikemi dan ketoasidosis. Ketoasidosis
diabetik (KAD) dapat dijumpai pada saat diagnosis pertama DM tipe-1 atau pasien
lama akibat pemakaian insulin yang salah. Risiko terjadinya KAD meningkat antara
lain pada anak dengan kontrol metabolik yang jelek, riwayat KAD sebelumnya, masa
remaja, pada anak dengan gangguan makan, keadaan sosio-ekonomi kurang, dan tidak
adanya asuransi kesehatan.
Komplikasi jangka panjang terjadi akibat perubahan mikrovaskular berupa
retinopati, nefropati, dan neuropati. Retinopati merupakan komplikasi yang sering
didapatkan, lebih sering dijumpai pada pasien DM tipe 1 yang telah menderita lebih
dari 5 tahun. Faktor risiko timbulnya retinopati antara lain kadar gula yang tidak
terkontrol dan lamanya menderita diabetes. Nefropati diperkirakan dapat terjadi pada
25%-45% pasien DM tipe 1 dan sekitar 20%-30 akan mengalami mikroalbuminuria
subklinis. Mikroalbuminuria merupakan manifestasi paling awal timbulnya nefropati
diabetik.7,8 Neuropati merupakan komplikasi yang jarang didapatkan pada anak dan
2
remaja, tetapi dapat ditemukan kelainan subklinis dengan melakukan evaluasi klinis
dan pemeriksaan saraf perifer. Komplikasi makrovaskular lebih jarang didapatkan
pada anak dan remaja seperti penyakit jantung dan pembuluh darah, penyakit ginjal
(nefropati), kerusakan saraf (neuropati), kerusakan pada retina (retinopati).
Komplikasi tersebut dapat terjadi akibat kontrol metabolik yang tidak baik.
B. EPIDEMIOLOGI
Insidens tahunan KAD pada pasien diabetes mellitus tipe 1 (T1DM) antara
satu sampai lima persen, berdasarkan beberapa studi yang dilakukan di Eropa dan
Amerika Serikat dan nampaknya konstan dalam beberapa dekade terakhir di negara-
negara barat. Namun demikian studi epidemiologi terbaru memperkirakan insidens
total nampaknya mengalami tren meningkat, terutama disebabkan oleh karena
peningkatan kasus diabetes mellitus tipe 2 (T2DM). Laju insidens tahunan KAD
diperkirakan antara 4,6 sampai 8 per 1000 pasien dengan diabetes. Sedangkan
insidens T2DM sendiri di Indonesia, diperkirakan berkisar antara 6-8% dari total
penduduk.9
2
Tabel 1. Risiko terjadinya KAD
C. ETIOLOGI
Infeksi tetap merupakan faktor pencetus paling sering untuk KAD dan KHH, namun
beberapa penelitian terbaru menunjukkan penghentian atau kurangnya dosis insulin
dapat menjadi faktor pencetus penting. Tabel diatas memberikan gambaran mengenai
faktor-faktor pencetus penting untuk kejadian KAD. Patut diperhatikan bahwa terdapat
sekitar 10-22% pasien yang datang dengan diabetes awitan baru. Pada populasi orang
Amerika keturunan Afrika, KAD semakin sering diketemukan pada pasien dengan
3
T2DM, sehingga konsep lama yang menyebutkan KAD jarang timbul pada T2DM kini
dinyatakan salah.5,10
Infeksi yang paling sering diketemukan adalah pneumonia dan infeksi saluran kemih
yang mencakup antara 30% sampai 50% kasus. Penyakit medis lainnya yang dapat
mencetuskan KAD adalah penyalahgunaan alkohol, trauma, emboli pulmonal dan infark
miokard. Beberapa obat yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat juga dapat
menyebabkan KAD atau KHH, diantaranya adalah: kortikosteroid, pentamidine, zat
simpatomimetik, penyekat alpha dan beta serta penggunaan diuretik berlebihan pada
pasien lansia.10
4
D. PATOFISIOLOGI
Kekurangan insulin relatif maupun absolut yang terjadi pada DMT1 akan
menurunkan penggunaan glukosa di jaringan yang sensitif terhadap insulin dan akan
merangsang terjadinya lipolisis. Kondisi ini ditambah dengan meningkatnya stress-
induced proinflammatory cytokines akan menyebabkan rangsangan terhadap hormon
counter-regulatory seperti glukagon, katekolamin, kortisol dan hormon pertumbuhan.
Hormon ini yang akan mengakibatkan terjadinya lipolisis dan proteolisis. Proteolisis
dan glukoneogenesis akan menyebabkan meningkatnya kadar gula darah akibat
peningkatan produksi glukosa dan menurunnya pemakaian glukosa di perifer.
Hiperglikemia yang terjadi akan menyebabkan diuresis osmotik dan dehidrasi.
Lipolisis selain menyebabkan hiperlipidemia juga akan menimbulkan proses
ketogenesis hepar yang akan menyebabkan ketoasidosis. Meningkatnya keton dan
laktat akan menyebabkan peningkatan anion gap.12,13
5
Gambar 1. Patofisiologi ketoasidosis diabetikum.12
6
E. KLASIFIKASI
Untuk keperluan tata laksana maka KAD dibedakan berdasarkan derajat asidosis,
yaitu:
1. Ringan : pH vena 7,2-7,3 dan bikarbonat <15 mEq/L.
2. Sedang : pH vena 7,1-7,2 dan bikarbonat <10 mEq/L.
3. Berat : pH vena <7,1 dan bikarbonat < 5 mEq/L.
F. DIAGNOSIS KERJA
Pada pasien dengan KAD, nausea vomitus merupakan salah satu tanda dan
gejala yang sering diketemukan. Nyeri abdominal terkadang dapat diketemukan pada
pasien dewasa (lebih sering pada anak-anak) dan dapat menyerupai akut abdomen.
Meskipun penyebabnya belum dapat dipastikan, dehidrasi jaringan otot, penundaan
pengosongan lambung dan ileus oleh karena gangguan elektrolit serta asidosis metabolik
telah diimplikasikan sebagai penyebab dari nyeri abdominal. Asidosis, yang dapat
merangsang pusat pernapasan medular, dapat menyebabkan pernapasan cepat dan dalam
(Kussmaul).
Tabel diatas menunjukan derajat pada KAD ringan, sedang sampai berat,
berdasarkan studi ini nampaknya KAD juga timbul secara bertahap. Gejala- gejala
seperti poliuria, polidipsia dan polifagia yang khas sebagai bagian dari diabetes tak
terkontrol nampaknya sudah timbul selama tiga sampai empat minggu sebelumnya dan
pada beberapa kasus dua bulan sebelum. Begitu pula dengan penurunan berat badan
7
yang bahkan telah timbul lebih lama lagi, yakni tiga sampai enam bulan sebelum dengan
rata-rata penurunan 13 kilogram. Patut diperhatikan gejala-gejala akut yang timbul
dalam waktu singkat, seperti nausea vomitus dan nyeri abdomen, di mana dapat
dijadikan sebagai peringatan untuk pasien bahwa dirinya sedang menuju ke arah KAD.
Pemeriksaan fisik dapat menunjukkan temuan-temuan lain seperti bau napas
seperti buah atau pembersih kuteks (aseton) sebagai akibat dari ekskresi aseton melalui
sistem respirasi dan tanda-tanda dehidrasi seperti kehilangan turgor kulit, mukosa
membran yang kering, takikardia dan hipotensi. Status mental dapat bervariasi mulai dari
kesadaran penuh sampai letargi yang berat, meskipun demikian kurang dari 20% pasien
KAD atau KHH yang diperawatan dengan penurunan kesadaran.
G. DIAGNOSIS BANDING
Ketoasidosis alkohol
8
Meskipun demikian, pada studi in vitro perubahan status redoks KAA disebabkan
oleh peningkatan rasio NADH terhadap NAD sehingga menyebabkan penurunan
piruvat dan oksaloasetat, yang pada akhirnya menyebabkan gangguan
glukoneogenesis. Kadar malonil ko-A yang rendah juga membantu menstimulasi
ketoasidosis dan peningkatan kadar katekolamin, sehingga menurunkan sekresi
insulin dan meninkatkan rasio glukagon terhadap insulin. Kesemua keadaan ini
menyebabkan terjadinya pergeseran keseimbangan reaksi ke arah produksi beta-
hidroksibutirat. Sehingga biasanya pasien dengan KAA datang dengan kadar glukosa
normal atau rendah disertai dengan kadar beta-hidroksibutirat yang jauh lebih tinggi
dibanding asetoasetat. Rasio kadar beta-hidroksibutirat terhadap asetoasetat dapat
mencapai 7-10:1, bandingkan dengan KAD yang hanya 3:1. Variabel yang
membedakan antara ketoasidosis diabetik dengan alkoholik adalah kadar glukosa
darah. Ketoasidosis diabetikum dikarakteristikkan dengan hiperglikemia (glukosa
plasma >250 mg/dL) sedangkan ketoasidosis tanpa hiperglikemia secara khas
merujuk kepada ketoasidosis alkohol. Sebagai tambahan, pasien KAA seringkali
mengalami hipomagnesemia, hipokalemia dan hipofosfatemia serta hipokalsemia
sebagai akibat penurunan hormon paratiroid yang diinduksi oleh hipomagnesemia.
Ketosis kelaparan
9
menunjukkan kadar laktat setinggi ini. Meskipun demikian, status redoks yang
terganggu dapat mengaburkan ketoasidosis pada pasien dengan asidosis laktat.
Intoksikasi akut
10
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan carik celup keton urin yang utama biasanya menggunakan reaksi
nitroprusida (Ketostix, Acetest) dan memberikan pengukuran semikuantitatif kadar
asetoasetat, bereaksi lemah dengan aseton dan sama sekali tidak dapat mendeteksi beta-
hidroksibutirat. Aseton bertanggung jawab terhadap bau khas buah atau pembersih
kuteks pada KAD, namun tidak menyebabkan asidosis. Pada KAD, rasio beta-
hidroksibutirat terhadap aseto-asetat meningkat dari 1:1 sampai ke 5:1, sehingga beta-
hidroksibutirat dapat dikatakan sebagai keton tubuh utama yang menyebabkan asidosis.
Satu kegunaan dari pemeriksaan carik celup keton urin adalah untuk menyingkirkan
(rule out) diagnosis KAD. Penelitian yang dilakukan oleh Schwab et al tahun 1999 pada
697 subyek dengan diabetes dan glukosa darah >200 mg/dL di unit gawat darurat
menunjukkan bahwa keton urin negatif dapat digunakan untuk menyingkirkan KAD oleh
11
karena sensitivitas yang tinggi, namun untuk spesifisitas nampaknya rendah oleh karena
banyaknya positif palsu terhadap kaptopril. Sehingga disarankan pada pasien dengan tes
carik celup keton urin negatif kecurigaan KAD dapat disingkirkan dan pasien dengan
carik celup positif dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan beta-hidroksibutirat darah
untuk menegakkan diagnosis.19
Pengukuran keton darah portabel juga disarankan untuk dilakukan pada pasien-pasien
rawat jalan dengan risiko tinggi mengalami dekompensasi akut ke arah KAD. Pasien-
pasien dengan risiko tinggi tersebut dapat diajarkan untuk mengukur keton darah
berkaitan dengan pengukuran glukosa darah mandiri. Keadaan-keadaan yang disarankan
untuk dilakukan pengukuran keton darah setelah pengukuran glukosa darah mandiri
adalah: kadar glukosa darah >250 mg/dL, adanya keadaan- keadaan pencetus KAD
seperti infeksi dan adanya gejala-gejala awitan KAD seperti mual muntah serta nyeri
abdominal. Tabel 11 memberikan gambaran mengenai kadar-kadar beta-hidroksibutirat
normal dan abnormal serta tindakan yang harus dilakukan.21
Ketosis dan asidosis tidak dapat disamakan, oleh karena peningkatan konsentrasi H+
sebagai akibat dari produksi asam keton awalnya didapar oleh bikarbonat. Seiring
dengan peningkatan H+ yang melebihi kemampuan dapar bikarbonat, cadangan
bikarbonat menjadi menurun dan tidak mampu lagi mengkompensasi peningkatan ion H+
dan terjadilah asidosis. Selama fase kompensasi awal asidosis metabolik, gambaran
klinis yang sering dijumpai adalah kadar bikarbonat rendah dan pH normal, yang
dikompensasi dengan kehilangan bikarbonat. Oleh karena itu pada KAD penting untuk
12
dilakukan pemeriksaan pH darah, dan sampel vena sudah mencukupi untuk keperluan
ini.
Pemeriksaan pH darah dengan sampel vena telah menunjukkan hasil yang baik dan
berkorelasi cukup tinggi dengan gas darah arterial, sebagaimana ditunjukkan oleh
beberapa penelitian klinis terhadap 44 episode KAD pada satu studi dan 246 pasien
dengan berbagai diagnosis pada studi yang lainnya (pH darah vena vs. pH darah arterial,
r=0,92, mean difference -0,4, 95% CI - 0,11 sampai +0,04). Hambatan yang dapat
dijumpai pada pengukuran pH sampel vena adalah kesulitan dalam mendeteksi gangguan
asam basa campuran (karena tidak ada ukuran hipoksia) dan masih memerlukan
penelitian lanjutan dengan sampel lebih besar untuk memastikan kegunaan klinis dari
pengukuran ini.22
I. PENATALAKSANAAN
Prinsip utama tata laksana KAD meliputi:
1. Diagnosis KAD
2. Koreksi cairan
3. Pemberian insulin
4. Koreksi asidosis dan elektrolit
5. Pemantauan
13
Non-Farmakoterapi
Kalium
14
insulin ditunda sampai kadar kalium mencapai lebih dari 3,3 mEq/L dalam rangka
mencegah terjadinya aritmia atau henti jantung dan kelemahan otot pernapasan.
Pada pasien anak, tidak ada penelitian acak terhadap subyek dengan pH<6,9.
Bila pH tetap <7,0 setelah hidrasi dalam satu jam pertama, nampaknya pemberian
natrium bikarbonat 1-2 mEq/kg selama 1 jam dapat dibenarkan. Natrium bikarbonat
ini dapat ditambahkan ke dalam lauran NaCl dan kalium yang dibutuhkan untuk
membuat larutan dengan kadar natrium tidak melebihi 155 mEq/L. Terapi bikarbonat
tidak dibutuhkan bila pH 7,0.
15
Fosfat
Tatalaksana lainnya
16
Gambar. Algoritme pengukuran benda keton darah pada saat hari sakit dan kadar
glukosa darah diatas 250 mg/dl.15
17
Farmakoterapi
Insulin
Insulin Kerja Pendek (short acting/reguler) Insulin jenis ini tersedia dalam
bentuk larutan jernih, dikenal sebagai insulin reguler. Biasanya digunakan untuk
mengatasi keadaan akut seperti ketoasidosis, penderita baru, dan tindakan bedah.
Kadang-kadang juga digunakan sebagai pengobatan bolus (20-30 menit sebelum
makan), atau kombinasi dengan insulin kerja menengah pada regimen 1-2 kali sehari
atau dengan insulin basal. Penderita DM tipe-1 yang berusia balita sebaiknya
menggunakan insulin jenis ini untuk menghindari efek hipoglikemia akibat pola hidup
dan pola makan yang seringkali tidak teratur. Fleksibilitas penatalaksanaan pada usia
balita menuntut pemakaian insulin kerja pendek atau digabung dengan insulin kerja
menengah.
18
Ketonemia secara khas membutuhkan waktu lebih lama untuk membaik
dibandingkan dengan hiperglikemia. Pengukuran beta-hidroksibutirat langsung pada
darah merupakan metode yang disarankan untuk memantau KAD. Metode
nitroprusida hanya mengukur asam asetoasetat dan aseton serta tidak mengukur beta-
hidroksibutirat yang merupakan asam keton terkuat dan terbanyak. Selama terapi,
beta-hidroksibutirat diubah menjadi asam asetoasetat, sehingga dapat memberikan
kesan ketoasidosis memburuk bila dilakukan penilaian dengan metode nitroprusida.
Oleh karena itu, penilaian keton serum atau urin dengan metode nitroprusida jangan
digunakan sebagai indikator respons terapi.
Selama terapi untuk KAD atau KHH, sampel darah hendaknya diambil setiap
2-4 jam untuk mengukur elektrolit, glukosa, BUN, kreatinin, osmolalitas dan pH vena
serum (terutama KAD). Secara umum, pemeriksaan analisa gas darah arterial tidak
diperlukan, pH vena (yang biasanya lebih rendah 0,03 unit dibandingkan pH arterial)
dan gap anion dapat diikuti untuk mengukur perbaikan asidosis. Pada KAD ringan,
insulin regular baik diberikan subkutan maupun intramuskular setiap jam, nampaknya
sama efektif dengan insulin intravena untuk menurunkan kadar glukosa dan badan
keton. Pasien dengan KAD ringan pertama kali disarankan menerima dosis priming
insulin regular 0,4-0,6 unit/kgBB, separuh sebagai bolus intravena dan separuh
sebagai injeksi subkutan atau intravena. Setelah itu, injeksi insulin regular 0,1
unit/kgBB/jam secara subkutan ataupun intramuskular dapat diberikan.
Bila pasien sudah dapat makan, jadwal dosis multipel harus dimulai dengan
menggunakan kombinasi insulin kerja pendek/cepat dan kerja menengah atau panjang
sesuai keperluan untuk mengendalikan kadar glukosa. Lanjutkan insulin intravena
selama 1-2 jam setelah regimen campuran terpisah dimulai untuk memastikan kadar
19
insulin plasma yang adekuat. Penghentian tiba-tiba insulin intravena disertai dengan
awitan tertunda insulin subkutan dapat menyebabkan kendali yang memburuk; oleh
karena itu tumpang tindih antara terapi insulin intravena dan inisiasi insulin subkutan
harus diadakan. Pasien dengan riwayat diabetes sebelum dapat diberikan insulin
dengan dosis yang mereka terima sebelumnya sebelum awitan KAD atau KHH dan
disesuaikan dengan kebutuhan kendali. Pasien-pasien dengan diagnosis diabetes baru,
dosis insulin inisial total berkisar antara 0,5-1,0 unit/kgBB terbagi paling tidak dalam
dua dosis dengan regimen yang mencakup insulin kerja pendek dan panjang sampai
dosis optimal dapat ditentukan. Pada akhirnya, beberapa pasien T2DM dapat
dipulangkan dengan antihiperglikemik oral dan terapi diet pada saat pulang.
Pemberian terapi insulin analog lewat jalur subkutan juga menjadi fokus
perhatian studi- studi terbaru, terutama untuk memfasilitasi penatalaksanaan KAD di
tempat dengan sumber daya terbatas. Penelitian acak terkontrol terhadap 40 subyek
KAD, 20 dirawat di bangsal biasa atau pengawasan ketat dengan insulin lispro
subkutan dan 20 dirawat di unit rawat intensif dengan insulin regular intravena,
menunjukkan efektivitas dan keamanan yang sama. Demikian juga percobaan
prosedur insulin aspart subkutan setiap 2 jam, untuk menyederhanakan terapi
subkutan, mampu memberikan efektivitas dan keamanan terapi yang serupa dengan
insulin intravena. Fakta ini menunjukkan bahwa, pada daerah-daerah dengan
keterbatasan sumber daya, terapi insulin subkutan mampu memberikan alternatif
terapi yang aman dan efektif. Keuntungan yang diperoleh dari regimen subkutan ini
adalah biaya total rawat inap yang secara signifikan lebih murah dibandingkan dengan
regimen intravena.
20
Jenis insulin Awitan Puncak kerja Lama kerja
Regular, velosulin (kerja pendek) 30-60 menit 2-4 jam 5-8 jam
NPH, IZS, dan Semilente 1-2 jam 4-12 jam 8-24 jam
(kerja menengah)
J. PEMANTAUAN
Pemantauan ketat tanda vital, kondisi klinis dan parameter laboratorium sangat
penting. Tanda-tanda vital harus diperiksa setiap setengah jam untuk satu jam
pertama, setiap jam untuk 4 jam berikutnya dan setiap 2 4 jam sampai KAD pulih.
Pencatatan akurat keluaran urin setiap jam sangat penting untuk memantau fungsi
ginjal. Pada saat masuk perawatan, pemeriksaan komprehensif meliputi paling tidak
analisa gas darah arterial atau vena, kadar glukosa plasma, elektrolit, nitrogen urea
darah dan kreatinin, kadar keton serum atau urin atau keduanya dan osmolalitas
serum. Kadar glukosa darah kapiler harus dipantau setiap jam untuk penyesuaian
dosis infus insulin. Kadar elektrolit harus dinilai setiap 1-2 jam awalnya dan setiap 4
jam kemudian. Pengukuran pH vena dapat menggantikan pH arteri dan harus
dilakukan setiap 4 jam sampai KAD terkoreksi.16
21
terjadi hiperglikemia penting diketahui apakah ini disertai dengan ketosis yang
menandakan adanya dekompensasi metabolik atau tidak. Data dari pasien dengan
KAD yang pengukuran kadar beta-hidroksibutirat membantu untuk membedakan
rekurensi ketosis yang membutuhkan terapi insulin intravena kembali dengan
hiperglikemia biasa. Pada keadaan normal, konsentrasi beta-hidroksibutirat tidak
melebihi 1 mmol/L pada pasien dengan T1DM. Pada pasien dengan KAD, nilai rata-
rata KAD sekitar 7 mmol/L namun dapat berkisar antara 4-12 mmol/L. Dengan terapi
optimal KAD, beta-hidroksibutirat diperkirakan akan turun 1 mmol/L per jam,
kegagalan untuk turun dengan level ini menandakan terapi inadekuat dan memerlukan
penyesuaian laju infus insulin dan cairan. Pengenalan pengukuran keton darah baru-
baru ini membuat pemberian insulin dapat dititrasi tehadap penurunan kadar keton
dan bukan kadar glukosa. Namun demikian, pengukuran kadar glukosa darah tetap
diperlukan untuk meminimalisir kejadian hipoglikemia. Pemantauan kadar keton
kapiler mempunyai keuntungan lebih tidak invasif dibandingkan pemantauan gas
darah arterial dan lebih tepat dibandingkan pengukuran bikarbonat plasma, oleh
karena pemulihan kadar bikarbonat plasma tertinggal dibandingkan resolusi asidosis
metabolik. Alur waktu pemulihan bikarbonat dan beta-hidroksibutirat dapat dilihat
pada gambar 8.15
K. KOMPLIKASI
22
dengan bikarbonat, dan hiperglikemia sekunder akibat pemberian insulin yang tidak
kontinu setelah perbaikan tanpa diberikan insulin subkutan. Umumnya pasien KAD
yang telah membaik mengalami hiperkloremia yang disebabkan oleh penggunaan
cairan saline yang berlebihan untuk penggantian cairan dan elektrolit dan non-anion
gap asidosis metabolik seperti klor dari cairan intravena mengganti hilangnya
ketoanion seperti garam natrium dan kalium selama diuresis osmotik. Kelainan
biokemikal ini terjadi sementara dan tidak ada efek klinik signikan kecuali pada
kasus gagal ginjal akut atau oliguria ekstrem.26
Edema Serebral
Edema serebri umumnya terjadi pada anak-anak, jarang pada dewasa. Tidak
didapatkan data yang pasti morbiditas pasien KAD oleh karena edema serebri pada
orang dewasa Peningkatan tekanan intrakranial asimtomatik selama terapi KAD telah
dikenal lebih dari 25 tahun. Penurunan ukurnan ventrikel lateral secara signifikan,
melalu pemeriksaan eko-ensefalogram, dapat ditemukan pada 9 dari 11 pasien KAD
selama terapi. Meskipun demikian, pada penelitian lainnya, sembilan anak dengan
KAD diperbandingkan sebelum dan sesudah terapi, dan disimpulkan bahwa
pembengkakan otak biasanya dapat ditemukan pada KAD bahkan sebelum terapi
dimulai. Gejala yang tampak berupa penurunan kesadaran, letargi, penurunan arousal,
dan sakit kepala. Kelainan neurologis dapat terjadi cepat, dengan kejang,
inkontinensia, perubahan pupil, bradikardia, dan kegagalan respirasi. Meskipun
mekanisme edema serebri belum diketahui, tampaknya hal ini merupakan akibat dari
masuknya cairan ke susunan saraf pusat lewat mekanisme osmosis, ketika osmolaritas
plasma menurun secara cepat saat terapi KAD. Oleh karena terbatasnya informasi
tentang edema serebri pada orang dewasa, beberapa rekomendasi diberikan pada
penanganannya, antara lain penilaian klinis yang tepat dibandingkan dengan bukti
klinis. Pencegahan yang tepat dapat menurunkan risiko edema serebri pada pasien
risiko tinggi, diantaranya penggantian cairan dan natrium secara bertahap pada pasien
yang hiperosmolar (penurunan maksimal pada osmolalitas 2 mOsm/kgH2O/jam), dan
penambahan dextrose untuk hidrasi ketika kadar gula darah mencapai 250 mg/dl.
23
edema serebral, menemukan bahwa penurunan kadar CO2 arterial dan peningkatan
kadar urea nitrogen darah merupakan salah satu faktor risiko untuk edema serebral.
Untuk kadar CO2 arterial ditemukan setiap penurunan 7,8 mmHg PCO2
meningkatkan risiko edema serebral sebesar 3,4 kali (OR 3,4; 95% CI 1,9 6,3,
p<0,001). Sedangkan untuk kadar urea nitrogen darah setiap penurunan kadar sebesar
9 mg/dL meningkatkan risiko sebesar 1,7 kali (OR 1,7; 95% CI 1,2 2,5, p=0,003).17
Suatu pengalaman lebih dari 20 tahun penanganan pasien KAD dengan edema
serebral pada sebuah rumah sakit Australia menyimpulkan langkah yang dapat
dilakukan untuk mencegah KAD. Disarankan protokol yang menggunakan hidrasi
lambat dengan cairan isotonik direkomendasikan untuk menangani pasien dengan
KAD. Beberapa studi lain juga menemukan hubungan antara edema serebral dengan
laju pemberian cairan yang tinggi, terutama pada jam-jam pertama resusitasi cairan.
Rekomendasi terkini adalah membatasi pemberian cairan pada 4 jam pertama terapi
dengan <50 ml/kgBB cairan isotonik.
Hipoksemia
Hipoksemia dan kelainan yang jarang seperti edema paru nonkardiak dapat sebagai
komplikasi KAD. Hipoksemia terjadi mengikuti penurunan tekanan koloid osmotik
yang merupakan akibat peningkatan kadar cairan pada paru dan penurunan
compliance paru. Pasien dengan KAD yang mempunyai gradient oksigen alveolo-
arteriolar yang lebar yang diukur pada awal peneriksaan analisa gas darah atau
dengan ronki pada paru pada pemeriksaan sik tampaknya mempunyai risiko tinggi
untuk menjadi edema paru.26
Suatu komplikasi yang jarang ditemukan namun fatal adalah sindrom distres
napas akut dewasa (ARDS). Selama rehidrasi dengan cairan dan elektrolit,
peningkatan tekanan koloid osmotik awal dapat diturunkan sampai kadar subnormal.
Perubahan ini disertai dengan penurunan progresif tekanan oksigen parsial dan
peningkatan gradien oksigen arterial alveolar yang biasanya normal pada pasien
dengan KAD saat presentasi. Pada beberapa subset pasien keadaan ini dapat
berkembang menjadi ARDS. Dengan meningkatkan tekanan atrium kiri dan
24
menurunkan tekanan koloid osmotik, infus kristaloid yang berlebihan dapat
menyebabkan pembentukan edema paru (bahkan dengan fungsi jantung yang normal).
Pasien dengan peningkatan gradien AaO2 atau yang mempunyai rales paru pada
pemeriksaan fisis dapat merupakan risiko untuk sindrom ini. Pemantauan PaO2
dengan oksimetri nadi dan pemantauan gradien AaO2 dapat membantu pada
penanganan pasien ini. Oleh karena infus kristaloid dapat merupakan faktor utama,
disarankan pada pasien-pasien ini diberikan infus cairan lebih rendah dengan
penambahan koloid untuk terapi hipotensi yang tidak responsif dengan penggantian
kristaloid.
Trombosis vaskular
25
trombosis. Komplikasi ini lebih sering terjadi pada saat osmolalitas sangat tinggi.
Heparin dosis rendah dapat dipertimbangkan untuk profilaksis pada pasien dengan
risiko tinggi trombosis, meskipun demikian belum ada data yang mendukung
keamanan dan efektivitasnya. 5, 16
L. EDUKASI KELUARGA
Dua faktor pencetus utama KAD adalah terapi insulin inadekuat (termasuk
non-komplians) dan infeksi. Pada sebagian besar kasus, kejadian-kejadian ini dapat
dicegah dengan akses yang lebih baik terhadap perawatan medis, termasuk edukasi
pasien intensif dan komunikasi efektif dengan penyedia layanan kesehatan selama
kesakitan akut.
Selain isu edukasi seperti di atas, beberapa studi melaporkan bahwa salah satu
penyebab penting KAD pada pasien dengan T1DM adalah penghentian insulin (67%).
Alasan untuk penghentian insulin diantaranya adalah permasalahan ekonomi (50%),
kehilangan nafsu makan (21%), masalah prilaku (14%) atau rendahnya pengetahuan
26
manajemen hari sakit (14%). Oleh karena penyebab paling umum dari penghentian
insulin adalah alasan ekonomi, perbaikan pelayanan kesehatan masyarakat dan akses
pasien ke pengobatan adalah cara terbaik untuk mengatasinya pada kelompok pasien
ini.
M. PROGNOSIS
Mortalitas dan morbiditas
Dengan tatalaksana cairan yang benar kematian akibat KAD dapat ditekan,
sedangkan asidosis dapat teratasi dengan lebih cepat dan lebih baik. Sebagian besar
mortalitas DMT1 diakibatkan oleh komplikasi KAD. Salah satu komplikasi
terberatnya adalah edema serebri yang terjadi pada sekitar 0,5-0,9% kasus KAD.
Sekitar 10-20% penderita KAD dengan edema serebri akan memiliki gejala sisa.13
Morbiditas lain akibat komplikasi yang dapat timbul pada KAD meliputi
hipokalemia, hipofosfatemia, hipoglikemia, komplikasi intraserebral lainnya, gagal
ginjal akut, trombosis vena perifer, pankreatitis akut, mukormikosis, rabdomiolisis,
aspirasi pneumonia, dan komplikasi paru lainnya.12 Risiko berulangnya KAD
didapatkan sebesar 1-10% per tahun.
Risiko berulangnya KAD akan meningkat jika kontrol metaboliknya buruk,
pemberian insulin tidak adekuat, terdapat riwayat KAD sebelumnya, pada perempuan
(masa pubertas atau remaja), terdapat gangguan psikiatrik (termasuk gangguan
makan), masalah keluarga, keterbatasan akses pelayanan kesehatan, dan penggunaan
pompa insulin.12,13 Faktor lain yang menjadi pemicu terjadinya KAD adalah tata
laksana yang tidak adekuat saat sakit.3,4,12,13
27
BAB III
KESIMPULAN
28
Pemeriksaan fisik dapat menunjukkan temuan-temuan lain seperti bau napas
seperti buah atau pembersih kuteks (aseton) sebagai akibat dari ekskresi aseton
melalui sistem respirasi dan tanda-tanda dehidrasi seperti kehilangan turgor kulit,
mukosa membran yang kering, takikardia dan hipotensi. Status mental dapat
bervariasi mulai dari kesadaran penuh sampai letargi yang berat, meskipun
demikian kurang dari 20% pasien KAD atau KHH yang diperawatan dengan
penurunan kesadaran.
Pada pemeriksaan penunjang dapat digunakan Ketone Urine dipstick, beta-
hidroksibutirat darah kapiler, dan analisa gas darah. Prinsip utama tata laksana
KAD meliputi: diagnosis KAD, koreksi cairan, pemberian insulin, koreksi
asidosis dan elektrolit, pemantauan.
Serebral edema, sebagai salah satu dari komplikasi ketoasidosis
diabetik yang paling langsung, lebih umum terjadi pada anak anak dan anak
remaja dibandingkan pada orang dewasa. Dengan tatalaksana cairan yang benar
kematian akibat KAD dapat ditekan, sedangkan asidosis dapat teratasi dengan
lebih cepat dan lebih baik. Sebagian besar mortalitas DMT1 diakibatkan oleh
komplikasi KAD. Salah satu komplikasi terberatnya adalah edema serebri yang
terjadi pada sekitar 0,5-0,9% kasus KAD. Sekitar 10-20% penderita KAD dengan
edema serebri akan memiliki gejala sisa.13
29
DAFTAR PUSTAKA
30
12. Rosenbloom AL. The Management of diabetic ketoacidosis in children.
Diabetes Ther. 2010;1:103-20.
13. Wolfsdorf J, Craig ME, Daneman D, Dunger D, Edge J, Lee W, dkk. ISPAD
clinical practice consensus guidelines 2009. Compedium Diabetic
Ketoacidosis in Children and Adolescents with Diabetes. Pediatr Diabet
2009;10(sup.12):118-33.
14. Insulin analogs versus human insulin in the treatment of patients with diabetic
ketoacidosis: a randomized controlled trial. Umpierrez, GE, et al. Online First,
April 2009, Diabetes Care, pp. 1-6
15. Diagnosis and treatment of diabetic ketoacidosis and the hyperglycemic
hyperosmolar state. Chiasson, JL, et al. 7, April 1, 2003, Canadian Medical
Association Journal, Vol. 168, pp. 859-866
16. Recent advances in the monitoring and management of diabetic ketoacidosis.
TM, Wallace and DR, Matthews. 2004, Q J Med, Vol. 97, pp. 773-780.
17. Risk factors for cerebral edema in children with diabetic ketoacidosis. Glaser,
N, et al. 4, 2001, New England Journal of Medicine, Vol. 344, pp. 264-269.
18. Point of care ketone testing: Screening for diabetic ketoacidosis at the
emergency department. Charles, RA, YM Bee, PHK Eng and Goh, SY. 11,
2007, Singapore Jounal of Medicine, Vol. 48, pp. 986-989.
19. Screening for ketonemia in patients with diabetes. Schwab, TM. September
1999, Annal of Emergency Medicine, Vol. 34, pp. 342-346.
20. Can serum beta-hydroxybutyrate be used to diagnosed diabetic ketoacidosis.
Sheikh-Ali, Mae, et al. 2008, Diabetes Care, Vol. 31, pp. 643-647.
21. Advantages to using capillary blood beta hydroxybutyrate determination for
the detection and treatment of diabetic ketosis. Guerci, B, et al. 2005, Diabetes
Metab, Vol. 31, pp. 401-406.
22. Venous pH can safely replace arterial pH for the initial evaluation of patients
in the emergency department. AM Kelly, R McAlpine, E Kyle. 2001,
Emergency Medicine Journal, Vol. 18, pp. 340-342.
23. Soewondo P. Ketoasidosis Diabetik. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4th ed.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI;
2006.p.1896-9.
31
24. Van Zyl DG. Diagnosis and treatment of diabetic ketoacidosis. SA Fam Prac
2008;50:39-49.
25. Masharani U. Diabetic ketoacidosis. In: McPhee SJ, Papadakis MA, editors.
Lange current medical diagnosis and treatment. 49th ed. New York: Lange;
2010.p.1111-5.
26. American Diabetes Association. Hyperglycemic crisis in diabetes. Diabetes
Care 2004;27(1):94-102.
32