You are on page 1of 6

C.

Pengawetan Jenazah
1. Definisi
Pengawetan jenazah (Embalming) adalah proses pengawetan jenazah untuk
mempertahankan penampilan jenazah tetap dalam kondisi yang baik untuk jangka
waktu yang lama. Jenazah akan mengalami pembusukan dalam waktu beberapa hari
setelah kematian, untuk mencegah atau memperlambat proses pembusukan dapat
menggunakan bahan pengawet kimia yang termasuk dalam proses embalming.
Jenazah yang membusuk merupakan tempat berkembang bakteri yang dapat
menyebabkan penyebaran penyakit pada lingkungan sekitar. Pengawetan jenazah
dapat mencegah jenazah menjadi tempat berkembangnya bakteri penyakit. Hal ini
sangat diperlukan ketika jenazah tersebut akan dikirim ke daerah lain, agar jenazah
tidak menyebarkan penyakit selama dalam pengiriman maupun ketika sudah sampai
pada daerah tujuan.1,2
2. Tujuan
Embalming dilakukan untuk tujuan mencegah terjadinya pembusukan atau
dekomposisi. Dekomposisi adalah perubahan terakhir yang terjadi (late post-mortem
periode) pada tubuh mayat setelah kematian, dimana terjadinya pemecahan protein
kompleks menjadi protein yang lebih sederhana disertai timbulnya gas-gas
pembusukan yang bau dan terjadinya perubahan warna.
Penyebab pembusukan adalah kerja bakteri komensalis seperti Clostridium
welchii, Streptococcus, Staphylicocus, Dipteroid, Proteus dan lain-lain serta
binatang-binatang seperti larva lalat, semut dan lainnya turut yang mampu
menghancurkan tubuh mayat.3
3. Indikasi dan Kontraindikasi Pengawetan Jenazah
a. Indikasi Pengawetan Jenazah
Pengawetan jenazah perlu dilakukan pada keadaan:4
a.1. Adanya penundaan penguburan atau kremasi lebih dari 24 jam: Hal ini
penting karena di Indonesia yang beriklim tropis, dalam 24 jam mayat sudah
mulai membusuk, mengeluarkan bau, dan cairan pembusukan yang dapat
mencemari lingkungan sekitarnya.4
a.2. Jenazah perlu dibawa ke tempat lain: Untuk dapat mengangkut jenazah dari
suatu tempat ke tempat lain, harus dijamin bahwa jenazah tersebut aman,
artinya tidak berbau, tidak menularkan bibit penyakit ke sekitarnya selama
proses pengangkutan. Dalam hal ini perusahaan pengangkutan, demi
reputasinya dan untuk mencegah adanya gugatan di belakang hari, harus
mensyaratkan bahwa jenazah akan diangkut telah diawetkan secara baik,
yang dibuktikan oleh suatu sertifikat pengawetan.4
a.3. Jenazah meninggal akibat penyakit menular: Jenazah yang meninggal akibat
penyakit menular akan lebih cepat membusuk dan potensial menulari petugas
kamar jenazah, keluarga serta orang-orang di sekitarnya. Pada kasus
semacam ini, walaupun penguburan atau kremasinya akan segera dilakukan,
tetap dianjurkan dilakukan embalming untuk mencegah penularan kuman/
bibit penyakit ke sekitarnya.4

b. Kontraindikasi
Embalming di Indonesia tidak dapat dilakukan pada kematian tidak wajar
sebelum dilakukan autopsi, hal ini dapat menyebabkan terjadinya kesulitan
penyidikan karena adanya bukti-bukti tindak pidana yang hilang atau berubah dan
karenanya dapat dikenakan sanksi pidana penghilangan benda bukti berdasarkan
pasal 233 KUHP. Oleh karena itu setiap kematian tidak wajar menjadi kontra
indikasi embalming.4
Setiap kematian yang terjadi akibat kekerasan atau keracunan termasuk
kematian yang tidak wajar. Cara kematian pada kematian tidak wajar adalah
pembunuhan, bunuh diri dan kecelakaan. Pada kasus kematian tidak wajar,
kasusnya hendaknya segera dilaporkan ke penyidik, sesuai dengan pasal 108
KUHAP. Adapun yang termasuk dalam kategori kasus yang harus dilaporkan ke
penyidik adalah: 4
1. Kematian yang terjadi di dalam tahanan atau penjara
2. Kematian terjadi bukan karena penyakit dan bukan karena hukuman mati
3. Adanya penemuan mayat dimana penyebab dan informasi mengenai
kematiannya tidak ada
4. Keadaan kematiannya menunjukkan bahwa kemungkinan kematian akibat
perbuatan melanggar hukum.
5. Orang tersebut melakukan bunuh diri atau situasi kematiannya
mengindikasikan kematian akibat bunuh diri.
6. Kematian yang terjadi tanpa kehadiran dokter.
7. Kematian yang disaksikan dokter tetapi ia tidak dapat memastikan
penyebab kematiannya.4

4. Larutan Pengawetan Jenazah


a. Formalin
Formaldehyde merupakan aldehyde berbentuk gas dengan rumus kimia H2CO.
Formaldehyde berada dalam wujud gas yang tidak berwarna, memiliki bau yang
sangat menyengat, mudah terbakar dan sangat larut dalam air. Formaldehyde
biasanya dicampur dengan air dengan kadar 37% dan methanol untuk
menstabilkannya dengan nama dagang formalin.
Formaldehyde umumnya dipilih sebagai pengawet karena bahan kimia ini dapat
mengawetkan mayat dengan sangat baik, selain itu formaldehyde juga dapat
digunakan sebagai disinfektan karena cukup efektif dalam membunuh sebagian
besar bakteri. Larutan formaldehyde biasa digunakan sebagai bahan pengawet,
formaldehyde dapat diserap dengan baik oleh jaringan karena ukuran molekulnya
yg cukup kecil walaupun proses penyerapannya relatif lambat.5,6
Penggunaan formalin memiliki ciri khas dari baunya yang menyengat. Selain
baunya yang menyengat, pemaparan formaldehyde yang berlebih dapat
menyebabkan efek samping dari gejala ringan sampai mengancam nyawa. Gejala
pemaparan akut yang memiliki efek samping jangka pendek adalah seperti iritasi
pada mata, hidung, serta tenggorokan. Untuk mengurangi aroma yang menyengat
dari formaldehyde, biasanya larutan akan dicampur dengan larutan aromatic
lainnya.11
Pemaparan jangka panjang pada tubuh, formaldehyde dapat menyebabkan
berbagai macam penyakit seperti gangguan sensitasi pada paru, radang pada
selaput mata, dan iritasi pada saluran pernafasan. Pada beberapa kasus,
pemaparan yang berlebih dapat menybabkan kanker pada hidung.7
b. Glutaraldehyde
Glutaraldehyde dapat digunakan sebagai alternatif formaldehyde untuk
pengawetan. Larutan glutaraldehyde biasanya dijual dengan kadar 25% larut
dalam air dan memiliki bau yang ringan. Ikatan protein dengan glutaraldehyde
mengasilkan protein aldehyde yang stabil. Glutaraldehyde juga berdifusi
menembus jaringan lebih merata dibandingkan dengan formaldehyde.
Konsentrasi optimum glutaraldehyde yang biasa digunakan untuk pengawetan
adalah 1-1,5% cairan. 5,6
Glutaraldehyde memiliki kemampuan sanitasi yang lebih baik dan efektif
dibandingkan dengan formaldehyde. Namun, glutaraldehyde memiliki harga 4-5
kali lipat lebih mahal dibandingkan formaldehyde. Pemaparan gultaraldehyde
juga dapat menyebabkan iritasi pada mata, kulit dan tenggorokan, namun efeknya
tidak separah formaldehyde.7
5. Proses Pengawetan Jenazah
Proses-proses pengawetan jenazah adalah sebagai berikut:1
1. Cuci jenazah atau mandikan jenazah dengan larutan desinfektan.
2. Menyiapkan larutan embalming
3. Hidung, mulut, lubang dubur, lubang vagina dan lubang telinga disumbat
untuk mencegah kebocoran.
4. Setelah itu jenazah dibaringkan dengan ekstensi penuh dan hilangkan kaku
mayat dan dilakukan insisi pada segitiga femoralis untuk mengidentifikasi
arteri femoralis.
5. Pada arteri femoralis dimasukkan trocar, sebuah pipa besi panjang untuk
mengalirkan larutan embalming. Larutan tersebut kemudian dialirkan
melalui alat pompa.
6. Selain pada arteri femoralis, pengaliran cairan pengawet juga dapat
dilakukan lewat arteri carotid, arteri aksilaris maupun vena saphenous.
7. Lakukan pengeluaran darah lewat vena jugular untuk mengurangi tekanan
secara periodik.
8. Pada rongga-rongga tubuh perlu dilakukan aspirasi terhadap cairan pada
rongga tubuh sebelum menginjeksi larutan embalming.
9. Dengan menggunakan trocar, larutan embalming dimasukkan kedalam
rongga-rongga dalam tubuh pada abdomen dan thorax, serta pada otot-otot
dan sendi.
10. Cairan embalming juga dimasukkan lewat superior orbital fissure untuk
mengawetkan otak.1
Beberapa keadaan yang dapat menyulitkan proses embalming1:
Sumbatan pada arteri
Perlu dilakukan penyuntikan cairan embalming pada beberapa tempat
untuk memastikan distribusi cairan embalming yang baik.
Trauma
Dilakukan surface embalming terutama pada luka-luka terbuka
Prosedur autopsi
Pada kasus autopsi, dilakukan hal berikut:
1. Melakukan injeksi cairan embalming dibawah kulit pada daerah-daerah
dimana sistem arterial dirusak oleh proses autopsy.
2. Merendam organ visceral pada larutan embalming minimal selama 1
jam.
DAPUS

1. Bajracharya S, Magar A. Embalming: an art of preserving human body. Kath Univ Med
J. 2006; 4(4): 554-557
2. Morgan O. Infectious disease risks from dead bodies following natural disasters. Rev
Panam Salud Publica. 2004;15(5):30712.
3. Singh S. Ilmu Kedokteran Forensik. Medan, 2012
4. Atmadja DS. Tatacara Dan Pelayanan Pemeriksaan Serta Pengawetan Jenazah Pada
Kematian Wajar. 2002. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik dan Medikolegal FKUI /
RSUPN Cipto Mangunkosumo
5. Bedino JH. Embalming chemistry: glutaraldehyde versus formaldehyde. Champ Exp
Encyclopedia of Mortuary Practices. 2003; 649
6. Kiernan JA. Preservation and retrieval of antigens for immunohistochemistry
methods and mechanisms. 2002; 1: 63-84
7. Departemen Kesehatan Indonesia. Mengenal formalin. 2006; p 2-4

You might also like